You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah Dengue mengacu pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh


virus dengue, mencakup: Dengue Fever (DF), Dengue Haemorrhagic Fever
(DHF), serta Dengue Shock Syndrome (DSS). DF merupakan infeksi virus
dengue yang paling ringan dan biasanya ditandai dengan gejala sakit kepala,
nyeri tulang atau persendian maupun otot, ruam dan leukopenia. Sedangkan
DHF ditandai dengan empat manifestasi klinis yang utama, meliputi: (i)
demam tinggi, (ii) fenomena perdarahan, (iii) seringkali disertai hepatomegali,
dan (iv) pada kasus yang parah akan dijumpai tanda-tanda kegagalan sirkulasi.
Keadaan ini dapat berlanjut menjadi DSS jika terjadi hypovolaemic shock
akibat kebocoran plasma.
DF, DHF, DSS tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat, karibia
dan negara-negara beriklim tropis lainnya. Tercatat ± 75 juta kasus DF terjadi
setiap tahunnya di seluruh dunia, ± 250 ribu kasus DHF dan ± 25 ribu kasus
kematian karena DHF dan DSS. Kasus DHF di Indonesia, pertama kali
dijumpai di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Berdasarkan laporan
World Health Organization (WHO), terdapat empat kejadian luar biasa (KLB)
DHF di Indonesia yang signifikan selama periode 1968-1998, yaitu pada
tahun 1973, 1983, 1988 dan 1998. Pada tahun 1998, tercatat 16.005 kasus
DHF dengan jumlah kematian 250 orang (Case Fatality Rate/CFR: 1,5%).
Selanjutnya, area sebaran maupun jumlah kasus DHF cenderung meningkat.
Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan
di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi
DHF oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan
tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DHF, khususnya
pada anak. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006
(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi
dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar
1,01% (2007).

1
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama
kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi
yang optimal pada penderita DHF, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus
dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang
spesifik untuk DHF, prinsip utama dalam terapi DHF adalah terapi suportif,
yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan
penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan
penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Selanjutnya pada
refrat ini akan dibahas terapi cairan pada demam dengue dan demam berdarah
dengue sebagai penatalaksaan definitif pada kasus ini yang akan sangat
berguna dan mampu menambah wawasan mengenai DF, DHF dan DSS.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam flavivirus, keluarga flaviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat empat serotype virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan
demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi
silang antara serotype dengue dengan flavivirus lain seperti yellow fever,
japanese enchepalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda,
sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk Aedes (Stegomya) dan Toxorhynchites.

II. Epidemiologi 3
Di Indonesia, penyakit demam berdarah dengue cenderung semakin
meningkat jumlah penderitanya dan semakin menyebar luas. Pada tahun 1968
terjadi wabah demam berdarah dengue di Surabaya dengan jumlah penderita
58 orang dan kematian 24 orang (41,3 % ). Selanjutnya penyakit DHF ini
kemudian menyebar keseluruhan tanah air Indonesia dan mencapai puncak
klimaksnya pada tahun 1988, yaitu 20 tahun sejak keberadaannya di Indonesia
penyakit ini mengukir puncak tertinggi serangannya. Angka insiden pada
waktu itu mencapai 27,09 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 3,2
%.
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada
tahun 1999 terjadi 21.134 kasus, tahun 2000 terjadi 33.443 kasus, tahun 2001

3
terjadi 45.904 kasus, tahun 2002 terjadi 40.377 kasus dan tahun 2003 terjadi
50.131 kasus dengan jumlah kematian 743 orang.

III. Etiologi5
Dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue adalah
suatu arbovirus yang termasuk ke dalam genus Flavivirus. Virus dengue
terdiri dari 4 serotipe yaitu:
1. Dengue 1 (DEN-1), diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
2. Dengue 2 (DEN-2), diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 (DEN-3), diisolasi oleh Sather.
4. Dengue 4 (DEN-4), diisolasi oleh Sather.
Keempat serotipe ini bisa menyebabkan penyakit yang berat dan fatal.
Infeksi oleh salah satu dari keempat serotipe tersebut tidak menimbulkan
kekebalan protektif silang, artinya jika seseorang pernah terinfeksi oleh DEN 1,
maka di kemudian hari mungkin saja orang tersebut akan terinfeksi oleh
serotipe lainnya, sehingga orang-orang yang tinggal di daerah endemis dengue,
bisa menderita keempat jenis infeksi dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi

4
silang antara serotype dengue dengan flavivirus lain seperti yellow fever,
japanese enchepalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia
seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda,
sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk Aedes (Stegomya) dan Toxorhynchites

IV. Virus Dengue5


Dengue merupakan penyakit tropis dan virus penyebabnya bertahan
dalam suatu siklus yang melibatkan manusia dan Aedes aegypti. Aedes
aegypti adalah sejenis nyamuk rumah yang lebih senang menggigit manusia di
siang hari. Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina, yang lebih
menyukai untuk menyimpan telurnya di dalam wadah yang berisi air bersih
dan terletak di sekitar habitat manusia.

Siklus transmisi virus di dalam tubuh manusia:


1. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui liur nyamuk
2. Virus berkembangbiak di dalam organ target, misalnya kelenjar
getah bening dan hati

5
3. Virus dilepaskan dari organ tersebut dan melalui darah
menyebar untuk menginfeksi sel darah putih dan jaringan getah
bening lainnya
4. Virus dilepaskan dari sel darah putih dan jaringan getah bening
lainnya dan beredar di dalam darah.

Siklus transmisi virus di dalam tubuh nyamuk:


1. Nyamuk menelan darah yang mengandung virus
2. Virus berkembangbiak di dalam usus, indung telur, jaringan saraf
dan lemak tubuh nyamuk; kemudian virus masuk ke dalam rongga
tubuh dan menginfeksi kelenjar liur nyamuk
3. Virus berkembangbiak di dalam kelenjar liur dan jika nyamuk
menggigit manusia lainnya, maka siklus transmisi akan berlanjut.
Pada kebanyakan kasus, demam dengue akan sembuh dengan sendirinya
dan tidak pernah berkembang menjadi DHF. Beberapa faktor resiko yang
berperan dalam berkembangnya demam dengue menjadi DHF adalah:
• Jenis dan serotipe virus (DHF bisa terjadi pada infeksi primer oleh virus
serotipe tertentu)
• Adanya antibodi anti-dengue akibat infeksi sebelumnya atau akibat
berpindahnya antibodi dari ibu ke janin yang dikandungnya
• Faktor genetik (misalnya faktor ras tampaknya berperan karena
berdasarkan data, di Kuba DHF lebih banyak ditemukan pada orang kulit
putih)
• Usia (di Asia Tenggara, DHF lebih banyak menyerang anak-anak,
sedangkan di Amerika DHF bisa menyerang semua kelompok umur)
• Resiko yang lebih tinggi pada infeksi sekunder
• Resiko yang lebih tinggi dari lokasi dimana lebih dari 2 serotipe virus
beredar secara bersamaan pada kadar yang tinggi (transmisi
hiperendemik)

6
V. Patogenesis2
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory) dan hipotesis immune enhancement.
Pertama, menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte,
1977, sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda,
respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan
transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena
bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka
replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-
antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan
peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan
dalam rongga serosa
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada gambar di bawah ini, yang
dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.

7
8
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam
waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi Ig G anti dengue. Disamping itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa
(efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu,
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.

9
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DHF. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh
RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

10
Kedua, hipotesis immune enhancement menjelaskan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DHF berat.
Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian
membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari
membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok.

VI. Bentuk Klinis6,7


Terdapat 4 sindroma klinis dengue:
• Demam biasa
• Demam dengue klasik
• Demam berdarah dengue (DHF)
• Sindroma syok dengue (DSS, Dengue Shock Syndrome).

11
Demam biasa merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan pada
dengue. Suatu penelitian prospektif di Bangkok melaporkan bahwa 90 dari
103 (87%) siswa yang terinfeksi oleh virus dengue menunjukkan gejala yang
minimal atau bahkan tanpa gejala, dan hanya absen sekolah selama 1 hari.

Demam dengue adalah suatu penyakit virus akut yang ditandai oleh:
• demam (seringkali muncul secara tiba-tiba)

12
• sakit kepala hebat (seringkali digambarkan sebagai sakit di belakang
mata)
• mialgia (nyeri otot) dan atralgia (nyeri persendian) - mual dan muntah
• ruam kulit yang mungkin muncul pada stadium penyakit yang
berlainan dan bisa berupa makulopapuler, peteki maupun eritema
• manifestasi perdarahan.
Penderita juga mungkin mengeluhkan gejala lainnya, seperti gatal-gatal
dan gangguan pengecapan (terutama lidah terasa seperti logam). Beberapa
kasus infeksi dengue akut mungkin disertai dengan tanda dan gejala
ensefalitik atau ensefalopatik, seperti:
• penurunan kesadaran (berupa letargi, linglung dan koma)
• kejang
• kakuk kuduk
• kelumpuhan
Beberapa dari kasus tersebut kemudian diikuti dengan timbulnya DHF.

. Manifestasi perdarahan pada dengue


Sebanyak sepertiga penderita mungkin akan mengalami manifestasi
perdarahan, yang biasanya bersifat ringan. Pada beberapa kasus, perdarahan
tampak jelas dan cukup berat sehingga menyebabkan syok akibat kekurangan
darah Manifestasi perdarahan tersebut antara lain: perdarahan kulit (peteki,
purpura, ekimosis), perdarahan gusi, hidung, perdarahan saluran pencernaan
(hematemesis, melena, hematokezia), hematuria, dan bertambahnya
perdarahan menstruasi.

VII. Diagnosis2,6,7
Dasar diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DHF ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.

13
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa;
hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
umur dan jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi
cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DHF (WHO, 1997), yaitu:


Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab,
tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
DSS: Kalau memenuhi kriteria diatas ditambah dengan bukti
kegagalan sirkulasi berupa tekanan nadi sempit < 20 mmHg
atau hipotensi untuk usia itu, kulit yang dingin dan lembab
serta anak gelisah. (Derajat III dan IV)

14
Langkah diagnosis
• Pemeriksaan klinis: panas, manifestasi perdarahan, tanda efusi,
hepatomegali, tanda kegagalan sirkulasi.
• Pemeriksaan laboratorium: uji torniquet, hematokrit dan hitung
trombosit secara berkala serta pemeriksaan serologi, pemeriksaan
LPB, albumin darah, CT, BT, PT, PTT, gambaran darah tepi pada
kecurigaan DIC.
• Pemeriksaan penunjang: foto thorak pada dispneu untuk menelusuri
penyebab lain disamping efusi pleura, USG bila ada, dapat dipakai
untuk memeriksa efusi pleura minimal
Indikasi rawat
• Penderita tersangka demam berdarah derajat I dengan panas 3 hari
atau lebih sangat dianjurkan untuk dirawat.

15
• Tersangka demam berdarah derajat I disertai hiperpireksia atau tidak
mau makan atau muntah-muntah atau kejang-kejang atau Ht cenderung
meningkat dan trombosit cenderung turun harus dirawat.
• Penderita demam berdarah derajat I pada follow up berikutnya
ditemukan status mental berubah, nadi menjadi cepat dan kecil, kaki
tangan dingin, tekanan darah menurun , oligouria harus dirawat.
• Seluruh derajat II, III, IV

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,


jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3).
Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya
demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam. Pada
DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan
adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.

16
Untuk membuktikan etiologi DHF, dapat dilakukan uji diagnostik
melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas
adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga
laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya
yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah
metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui
pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat
bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal
serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil
positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan
serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi
berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan
menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada
hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.

17
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural
protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi
virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai
berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan
mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar
tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer
Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan
antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan
tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji
dini terbaik untuk pelayanan primer.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus
kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan USG.

IX. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7
proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian
cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan

18
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum).
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi
cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah
dengue:
1. jenis cairan
2. jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di
ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,
cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi
kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan
koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang
ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki
sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang
singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut

19
dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular
dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam
aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai
komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari
kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu
lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid
memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih
stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan
koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar.
Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan
alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan
kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil
sebanding pada kedua jenis cairan.
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DHF Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada penderita DHF atau diduga DHF di Instalasi Gawat Darurat
dan juga bisa dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang
yang tersangka menderita DHF di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan trombosit bila:
• Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit
tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke IGD.
• Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
• Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.

20
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DHF Dewasa di Ruang
Rawat
Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif fan
tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan
jumlah rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut;
1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
• Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan tiap 12 jam.
• Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian
cairan sesuai cairan sesuai dengan protokol penatalaksaan DHF dengan Ht
> 20%

21
Protokol 3. Penatalaksaan DHF dengan Peningkatan ht > 20%

Meningkatknya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit


cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan
yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun,
tekanan darah stabil, produksi urine meningkat maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan
kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan
infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantuan keadaan tetap
membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka
kita harus menaikkan jumlah cairan infus mejadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah pemberian cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam
tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah pemberian
cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda
syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana DSS pada
dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti
terapi pemberian cairan awal.

22
Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DHF Dewasa

Perdarahan spontan masif pada penderita DHF dewasa adalah:


perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun talah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kemih (hematuria), perdarahan otak atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan 4-5 ml/kgBB/jam. Pada
keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan
trombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC

23
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan dan masif dengan
jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Penatalaksaan Sindrom Syok Dengue pada DHF Dewasa

Bila kita berhadapan dengan dengue shock syndrome (DSS) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa rejatan harus segera diatasi dan oleh
karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan.
Angka kemtian DSS sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF
tanpa rejatan, dan rejatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF
mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksaan yang tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda rejatan dini, dan
penatalaksanaan rejatan yang tidak adekuat.
Pada kasus DSS cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Selain resusitasi cairan, penderita juga diberi oksigen 2-4 liter/menit.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah
perifer lengkap, hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan
klorida, serta ureum dan kreatinin.

24
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila rejatan telah teratasi jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit keadaan tetap
stabil pemberian cairan sebanyak 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam
setelah rejatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta
diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika
reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadim ditandai
dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan
hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya rejatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi rejatan (karena
selain proses patogenesis penyakit masih berlangsungm ternyata cairan
kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah
1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah rejatan telah
teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital secara ketat. Diuresis
diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar Hb, Htm dan jumlah trombosit
dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata rejatan belum teratasi,
maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 10-30 ml/KgBB,
dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai Ht meningkat, berarti
perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid
merupakan pilihan, tetapi bila nilai Ht menurun, berarti terjadi perdarahan
(internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB
dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan
dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila
keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan
dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat

25
ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 liter/hari)
dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum
teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam
basa, elektrolit, hipoglikemi, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena
sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi rejatan tetap belum teratasi
maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

X. Tindak Lanjut
Pengamatan rutin
 DSS : tensi/nadi diperiksa setiap 15-20 menit sampai keadaan
stabil, Ht, trombosit setiap 3-6 jam sampai keadaan menetap.
 Derajat I dan II : pemeriksaan Ht dan trombosit minimal 2 kali
sehari.

26
 Pada semua DSS pada saat masuk rumah sakit harus diperiksa juga
CT dan BT. Bila CT cenderung memanjang lakukan juga pemeriksaan
gambaran darah tepi.
 Pemeriksaan khusus: EKG bila gagal jantung, foto thorax bila
pleural efusi dan edema paru. USG bila curiga efusi pleura minimal.
BT, CT, PT, PTT, dan gambaran darah tepi bila curiga DIC.
 Penderita yang berobat jalan diperiksa trombosit setiap hari.
Penderita yang dirawat, tampung urine 24 jam, bila kurang dari 2
ml/kgBB/jam periksa ureum dan kretinin.
 Elektrolit darah astrup bila keadaan umum tidak membaik.
 Pelaporan pada dinas kesehatan Tk II setempat melalui kurir,
telepon atau surat secara mingguan.

Indikasi pulang
Keadaan umum baik dan masa krisis telah berlalu atau >7 hari sejak panas.
Keadaan umum baik ditandai dengan:
 nafsu makan membaik,
 keadaan klinis penderita membaik,
 tidak demam paling sedikit 24 jam tanpa antipiretik,
 tidak dijumpai distress pernafasan minimal 3 hari setelah syok teratasi,
 hematokrit stabil
 trombosit >50.000 mm3

XI. Komplikasi6,7
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh DHF adalah sebagai
berikut: perdarahan gastrointestinal masif, ensepalopati, edema paru, DIC, dan
efusi pleura.

27
XII. Prognosis5
Angka kematian kasus di Indonesia secara keseluruhan < 3%. Angka
kematian DSS di RS 5-10%. Kematian meningkat bila disertai komplikasi.
DHF yang akan berlanjut menjadi syok atau penderita dengan komplikasi sulit
diramalkan, sehingga harus hati-hati dalam melakukan penyuluhan.

28
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan
Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DHF
oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya
angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DHF, khususnya pada anak.
Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan
tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan
yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).
Penyakit demam dengue atau demam berdarah dengue disebabkan oleh
virus dengue. Virus dengue adalah suatu arbovirus yang termasuk ke dalam
genus Flavivirus. Virus dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu:
1. Dengue 1 (DEN-1), diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
2. Dengue 2 (DEN-2), diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 (DEN-3), diisolasi oleh Sather.
4. Dengue 4 (DEN-4), diisolasi oleh Sather.
Keempat serotipe ini bisa menyebabkan penyakit yang berat dan fatal.
Infeksi oleh salah satu dari keempat serotipe tersebut tidak menimbulkan
kekebalan protektif silang, artinya jika seseorang pernah terinfeksi oleh DEN 1,
maka di kemudian hari mungkin saja orang tersebut akan terinfeksi oleh
serotipe lainnya, sehingga orang-orang yang tinggal di daerah endemis dengue,
bisa menderita keempat jenis infeksi dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi
silang antara serotype dengue dengan flavivirus lain seperti yellow fever,
japanese enchepalitis dan West Nile virus.

29
Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina, yang lebih
menyukai untuk menyimpan telurnya di dalam wadah yang berisi air bersih
dan terletak di sekitar habitat manusia.
Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui liur nyamuk,
berkembangbiak di dalam organ target, misalnya kelenjar getah bening dan
hati. Kemudian virus dilepaskan dari organ tersebut dan melalui darah
menyebar untuk menginfeksi sel darah putih dan jaringan getah bening lainnya
Perdarahan gastrointestinal masif, ensepalopati, edema paru, DIC, efusi
pleura, syok hipovolemik bahkan kematian merupakan komplikasi dari
demam berdarah dengue.
Pencegahan terhadap perkembangan hidup nyamuk Aedes aegepty
merupakan langkah terpenting dalam upaya menekan angka kejadian demam
dengue dan demam berdarah dengue.
Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DHF,
asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen
cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi
secara bermakna.

II. Saran
Demam dengue dan demam berdarah dengue merupakan penyakit
infeksi yang cukup serius dan banyak menyebabkan kematian individu tanpa
membedakan umur dan jenis kelamin. Oleh karena itu informasi tentang
penyakit ini di seluruh kalangan masyarakat harus terus diperluas. Informasi
tersebut dapat melalui diskusi, penyuluhan, seminar dan sejenisnya untuk
memperdalam pengetahuan masyarakat mengenai demam dengue dan demam
berdarah dengue, terutama mengenai proses terjadinya, pencegahan serta
pengobatan yang benar.

30
Pada kasus yang telat terdeteksi dimana pasien dalam kondisi syok
lebih sering dijumpai dengan berbagai komplikasi sebagai akibatnya dan
angka kematiannya pun cukup tinggi. Sehingga kontrol terhadap kurva suhu,
pemberian cairan oral, pencegahan maupun pengobatannya perlu perhatian
khusus. Pencegahan dan pengobatan perlu dilakukan sedini mungkin guna
menghentikan penyebaran parasit lebih luas dan mencegah komplikasi yang
lebih berat.
Dengan keputusan dan pemberian terapi yang tepat maka diharapkan
angka kejadian demam dengue dan demam berdarah dengue bisa diturunkan
dan komplikasi serta akibat lainnya yang lebih berat pun bisa dihentikan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Media informasi peresepan rasional bagi tenaga kesehatan


Indonesia, Vol.2, No.4, Maret-April 2002.
2. Pohan, Herdiman. dan Khie Chen. Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. 2009. Medicinus: Medical Journal of
Pharmaceutical Development and Medical Application; Vol.22 No.1; hlm
3-7.
3. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani9.pdf.
4. Anonim. Dengue Fever. From Wikipedia, the Free Encyclopedia.
5. http://www.geocities.com/trisaktigeology84/Demam_Berdarah_Dengue.p
df.
6. Staf pengajar FK UI. Infeksi Virus: Dengue. 2005. Buku Kuliah Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI; hlm
1709-1713.
7. Staf pengajar Fk UI. Infeksi Tropik: Demam Dengue. Edisi Ketiga. 2005.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UI; hlm 428-433

32

You might also like