You are on page 1of 16

Hormon Tumbuhan

Hormon adalah molekul-molekul yang kegiatannya mengatur reaksi-reaksi metabolik


penting. Molekul-molekul tersebut dibentuk di dalam organisme dengan proses metabolik
dan t idak berfungsi didalam nutrisi (Heddy, 1989).

Hormon tumbuhan merupakan senyawa organik yang disentesis di salah satu bagian
tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah
mampu menimbulkan suatu respon fisiologis.

Hormon tanaman dapat diartikan luas, baik yang buatan maupun yang asli serta yang
mendorong ataupun yang menghambat pertumbuhan (Overbeek,1950 dalam Kusumo,
1984). Pada kadar rendah tertentu hormon/zat tumbuh akan mendorong pertumbuhan,
sedangkan pada kadar yang lebih t inggi akan menghambat pertumbuhan, meracuni,
bahkan memat ikan tanaman (Kusumo,1984).

Hormon tumbuhan merupakan bagian dari proses regulasi genetik dan berfungsi sebagai
prekursor. Rangsangan lingkungan memicu terbentuknya hormon tumbuhan. Bila
konsentrasi hormon telah mencapai tingkat tertentu, sejumlah gen yang semula tidak aktif
akan mulai ekspresi. Dari sudut pandang evolusi, hormon tumbuhan merupakan bagian
dari proses adaptasi dan pertahanan diri tumbuh-tumbuhan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup jenisnya.

Pemahaman terhadap fitohormon pada masa kini telah membantu peningkatan hasil
pertanian dengan ditemukannya berbagai macam zat sintetis yang memiliki pengaruh
yang sama dengan fitohormon alami. Aplikasi zat pengatur tumbuh dalam pertanian
modern mencakup pengamanan hasil (seperti penggunaan cycocel untuk meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap lingkungan yang kurang mendukung), memperbesar ukuran
dan meningkatkan kualitas produk (misalnya dalam teknologi semangka tanpa biji), atau
menyeragamkan waktu berbunga (misalnya dalam aplikasi etilena untuk penyeragaman
pembungaan tanaman buah musiman), untuk menyebut beberapa contohnya.

Sejauh ini dikenal sejumlah golongan zat yang dianggap sebagai fitohormon, yaitu

* Auksin
* Sitokinin
* Giberelin atau asam giberelat (GA)
* Etilena
* Asam absisat (ABA)
* Asam jasmonat
* Steroid (brasinosteroid)
* Salisilat
* Poliamina.
* Triakontanol

Untuk mempercepat perakaran pada stek diper lukan perlakuan khusus, yaitu dengan
pember ian hormon dari luar. Proses pemberian hormon harus memperhatikan jumlah dan
konsentrasinya agar didapatkan sistim perakaran yang baik dalam waktu relatif singkat.
Konsentrasi dan jumlahnya sangat tergantung pada faktor-faktor seperti umur bahan stek,
waktu/lamanya pember ian hormon, cara pemberian, jenis hormon dan sistim stek yang
digunakan (Yasman dan Smits, 1988).

Zat Pengatur Tumbuh

Beberapa zat pengatur tumbuh yang telah dikenal adalah:

1. AUXIN
2. GIBBERELLIN
3. CYTOKININ
4. ETHYLENE
5. INHIBITORS

AUXIN

Auxin adalah salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan
perkembangan (growth and development) suatu tanaman.
Hasil penemuan Kogl dan Konstermans (1934) dan Thymann (1935) mengemukakan
bahwa Indole Acetic Acid (IAA) adalah suatu auxin.

1. Kejadian di dalam alam


Di dalam alam, stimulasi auxin pada pertumbuhan celeoptile ataupun pucuk suatu
tanaman, merupakan suatu hal yang dapat dibuktikan. Praktek yang mudah dalam
pembuktian kebenaran diatas dapat dilakukan dengan Bioassay method yaitu dengan the
straight growth tets dan curvature test.
Menurut Larsen (1944), Indoleacetaldehyde diidentifikasikan sebagai bahan auxin yang
aktif dalam tanaman, selanjutnya ia mengemukakan bahwa zat kimia tersebut aktif dalam
menstimulasi pertumbuhan kemudian berubah menjadi IAA. Perubahan tersebut menurut
Gordon (1956) adalah perubahan dari Trypthopan menjadi IAA
Tryptamine sebagai salah satu zat organik, merupakan salah satu zat yang terbentuk
dalam biosintesis IAA. Dalam hal ini perlu dikemukakan dalam tanaman fanili Cruciferae
dan merupakan zat yang dapat dikelompokan ke dalam auxin (Jones et al, 1952).
Menurut Thimann dan Mahadevan (1958), zat tersebut atas bantuan enzym nitrilase dapat
membentuk auxin. Ahli lainnya (Cmelin dan Virtanen, 1961) menerangkan bahwa
Indoleacetonitrile yang terdapat pada tanaman, terbentuk dari Glucobrassicin atas
aktivitas enzym Myrosinase. Dan zat organik lain (Indoleethanol) yang terbentuk dari
Trypthopan dalam biosin. Thesis IAA adalah atas bantua bakteri (Rayle dan Purves,
1976).

2. Metabolisme Auxin
Hasil penelitian terhadap metabolisme auxin menunjukan bahwa konsentrasi auxin di
dalam tanaman mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi konsentrasi IAA ini adalah :
a. Sintesis Auxin
b. Pemecahan Auxin
c. In-aktifnya IAA sebagai akibat proses pemecahan molekul.
Sebagaimana diketahui, IAA adalah endogeneous auxin yang terbentuk dari Trypthopan
yang merupakan suatu senyawa dengan inti Indole dan selalu terdapat dalam jaringan
tanaman di dalam proses biosintesis. Trypthopan berubah menjadi IAA dengan
membentuk Indole pyruvic acid dan Indole-3-acetaldehyde. Tetapi IAA ini dapat pula
terbentuk dari Tryptamine yang selanjutnya menjadi Indole-3-acetaldehyde, selanjutnya
menjadi Indole-3-acetid acid (IAA). Sedangkan mengenai perubahan Indole-3-
acetonitrile menjadi IAA dengan bantuan enzym nitrilase prosesnya masih belum
diketahui.
Pemecahan IAA dapat pula terjadi di dalam alam. Hal ini sebagai akibat adanya photo
oksidasi dan enzyme. Dalam peristiwa photo oksidasi ini, pigmen pada tanaman akan
menyerap cahaya kemudian energi ini dapat mengoksidasi IAA. Adapun pigmen yang
berperan dalam photo oksidasi ialah Ribovlavin dan B-Carotene.
Ada hubungan yang berbanding terbalik antara aktivitas oksidasi IAA dengan kandungan
IAA dalam tanaman. Dalam hal ini apabila kandungan IAA tinggi, maka aktivitas IAA
oksidasi menjadi rendah, begitu pula sebaliknya. Di dalam daerah meristematic yang
kadar auxinnya tinggi, ternyata aktivitas IAA oksidasinya rendah. Sedangkan di daerah
perakaran yang kandungan auxinnya rendah, ternyata aktivitas IAA oksidasinya tinggi.
Proses lain yang menyebabkan inaktifnya IAA ialah karena adanya degradasi oleh photo
oksidasi atau aktivitas suatu enzym.

3. Struktur molekul dan aktivitas auxin


Menurut Koeffli, Thimann dan went (1966), aktivitas auxsin ditentukan oleh :
a. adanya struktur cincin yang tidak jenuh,
b. adanya rantai keasaman (acid chain)
c. pemisahan karboksil grup (-COOH) dari struktur cincin.
d. Adanya pengaturan ruangan antara struktur cincin dengan rantai keasaman.

CH2COOH

NH
IAA
Keempat persyaratan diatas merupakan faktor yang menentukan terhadap aktivitas auxin.

Tentang sifat dari rantai keasaman, Koeffli (1966) menerangkan bahwa posisi dan
panjang rantai keasaman, berpengaruh terhadap aktivitas auxin. Rantai yang mempunyai
karboksil grup dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen akan memberikan
aktivitas yang normal.
4. Arti auxin bagi fisiologi tanaman.
Auxin sebagai salah satu hormon tumbuh bagi tanaman mempunyai peranan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dilihat dari segi fisiologi, hormon tumbuh ini
berpengaruh terhadap :
a. Pengembangan sel
b. Phototropisme
c. Geotropisme
d. Apical dominasi
e. Pertumbuhan akar (root initiation)
f. Parthenocarpy
g. Abisission
h. Pembentukan callus (callus formation) dan
i. Respirasi
a. Pengembangan sel
Dari hasil studi tentang pengaruh auxin terhadap perkembangan sel, menunjukan bahwa
terdapat indikasi yaitu auxin dapat menaikan tekanan osmotik, meningkatkan
permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel,
meningkatkan sintesis protein, meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel.
Dalam hubungannya dengan permeabilitas sel, kehadiran auxin meningkatkan difusi
masuknya air ke dalam sel. Hal ini ditunjang oleh pendapat Cleland dan Brustrom (1961)
bahwa auxin mendukung peningkatan permeabilitas masuknya air ke dalam sel.
b. Phototropisme
Suatu tanaman apabila disinari suatu cahaya, maka tanaman tersebut akan membengkok
ke arah datangnya sinar. Membengkoknya tanaman tersebut adalah karena terjadinya
pemanjangan sel pada bagian sel yang tidak tersinari lebih besar dibanding dengan sel
yang ada pada bagian tanaman yang tersinari. Perbedaan rangsangan (respond) tanaman
terhadap penyinaran dinamakan phototropisme.
Terjadinya phototropisme ini disebabkan karena tidak samanya penyebaran auxin di
bagian tanaman yang tidak tersinari dengan bagian tanaman yang tersinari. Pada bagian
tanaman yang tidak tersinari konsentrasi auxinnya lebih tinggi dibanding dengan bagian
tanaman yang tersinari.
c. Geotropisme
Geotropisme adalah pengaruh gravitasi bumi terhadap pertumbuhan organ tanaman. Bila
organ tanaman yang tumbuh berlawanan dengan gravitasi bumi, maka keadaan tersebut
dinamakan geotropisme negatif. Contohnya seperti pertumbuhan batang sebagai organ
tanaman, tumbuhnya kearah atas. Sedangkan geotropisme positif adalah organ-organ
tanaman yang tumbuh kearah bawah sesuai dengan gravitasi bumi. Contohnya
tumbuhnya akar sebagai organ tanaman ke arah bawah.
Keadaan auxi dalam proses geotropisme ini, apabila suatu tanaman (celeoptile) diletakan
secara horizontal, maka akumulasi auxin akan berada di dagian bawah. Hal ini
menunjukan adanya transportasi auxin ke arah bawah sebagai akibat dari pengaruh
geotropisme. Untuk membuktikan pengaruh geotropisme terhadap akumulasi auxin, telah
dibuktikan oleh Dolk pd tahun 1936 (dalam Wareing dan Phillips 1970). Dari hasil
eksperimennya diperoleh petunjuk bahwa auxin yang terkumpul di bagian bawah
memperlihatkan lebih banyak dibanding dengan bagian atas.
Sel-sel tanaman terdiri dari berbagai komponen bahan cair dan bahan padat. Dengan
adanya gravitasi maka letak bahan yang bersifat cair akan berada di atas. Sedangkan
bahan yang bersifat padat berada di bagian bawah. Bahan-bahan yang dipengaruhi
gravitasi dinamakan statolith (misalnya pati) dan sel yang terpengaruh oleh gravitasi
dinamakan statocyste (termasuk statolith).
d. Apical dominance
Di dalam pola pertumbuhan tanaman, pertumbuhan ujung batang yang dilengkapi dengan
daun muda apabila mengalami hambatan, maka pertumbuhan tunas akan tumbuh ke arah
samping yang dikenal dengan "tunas lateral" misalnya saja terjadi pemotongan pada
ujung batang (pucuk), maka akan tumbuh tunas pada ketiak daun. Fenomena ini kita
namakan "apical dominance"
Hubungan antara auxin dengan apical dominance pada suatu tanaman telah dibuktikan
oleh Skoog dan Thimann (1975). Dalam eksperimennya, pucuk tanaman kacang (apical
bud) dibuang, sebagai akibat treatment tersebut menyebabkan tumbuhnya tunas di ketiak
daun. Dari ujung tanaman yang terpotong itu diletakan blok agar yang mengandung
auxin. Dari perlakuan tersebut ternyata bahwa tidak terjadi pertumbuhan tunas pada
ketiak daun. Hal ini membuktikan bahwa auxin yang ada di apical bud menghambat
tumbuhnya tunas lateral.
e. perpanjangan akar (root initiation)
dalam hubungannya dengan pertumbuhan akar, Luckwil (1956) telah melakukan suatu
eksperimen dengan menggunakan zat kimia NAA (Naphthalene acetic acid), IAA (Indole
acetid acid) dan IAN (Indole-3-acetonitrile) yang ditreatment pada kecambah kacang.
Dari hasil eksperimennya diperoleh petunjuk bahwa ketiga jenis auxin ini mendorong
pertumbuhan primordia akar. Perlu dikemukakan pula di sini, bahwa menurut Delvin
(1975), pemberian konsentrasi IAA yang relatif tinggi pada akar, akan menyebabkan
terhambatnya perpanjangan akar tetapi meningkatkan jumlah akar.
f. Pertumbuhan batang (stem growth)
Di dalam alam, hubungan antara auxin dengan pertumbuhan batang nyata erat sekali.
Apabila ujung coleoptile dipotong, kemungkinan tanaman tersebut akan terhenti
pertumbuhannya.
Di dalam tanaman, jaringan-jaringan muda terdapat pada apical meristem. Hubungannya
dengan pertumbuhan tanaman peranan auxin sangat erat sekali. Dalam gambar diatas
diperoleh petunjuk bahwa kandungan auxin yang paling tinggi terdapat pada pucuk yang
paling rendah (basal).
g. Parthenocarpy
Di dalam alam sering kita menjumpai buah yang tidak berbiji. Seperti ; Anggur,
Strawberry dan tanaman famili mentimun. Keadaan seperti ini disebabkan tidak
dialaminya pembuahan pada perkembangan buah. Di dalam fisiologi, keadaan seperti ini
dinamakan Parthenocarpy.
Di dalam proses Parthenocarpy, hormon auxin bertalian erat. Seperti dikemukakan
massart (1902) hasil eksperimennya menunjukan bahwa pembengkakan dinding ovary
bunga anggrek dapat distimulasi oleh tepung sari yang telah mati.
Pada tahun 1934 Yasuda berhasil menemukan penyebab Parthenocarpy dengan
menggunakan ekstrak tepung sari pada bunga mentimun. Hasil analisisnya menunjukan
bahwa ekstrak tersebut mengandung auxin. Selanjutnya pada tahun1936, Gustafon telah
menemukan terjadinya Parthenocarpy dengan menggunakan IAA yang dicampur dengan
lanolin pada stigma. Hasil penelitian Muir (1942) menunjukan pula bahwa kandungan
auxin pada ovary yang mengalami pembuahan (pollination) meningkat bila dibandingkan
dengan ovary yang tidak mengalami pembuahan.
h. Pertumbuhan buah (fruit growth)
Peningkatan volume buah ada hubungannya dengan pertumbuhan buah. Keadaan ini
akibat hasil pembelahan sel dan/atau pengembangan sel. Menurut Weaver (1972), fase
pembelahan sel biasanya overlap dengan pengembangan sel (cell enlargementh).
Keadaan perkembangan ini selalu diikuti oleh peningkatan ukuran buah.
Mengenai hubungannya dengan auxin, diterangkan oleh Muller-Thurgau dalam tahun
1898 bahwa endosperma dan embrio di dalam biji menghasilkan auxin yang
menstimulasi pertumbuhan endosperma. Suatu anggapan mengenai peranan auxin dalam
pertumbuhan buah, telah dibuktikan oleh Crane dalam tahun 1949 dengan menggunakan
2,4, 5-T sebagai exogenous auxin yang diaplikasikan pada blak berry, anggur, strawberry
dan jeruk. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pertumbuhan buah lebih cepat 60 hari
dari fase normal rata-rata 120 hari.
i. Abscission
Abscission adalah suatu proses secara alami terjadinya pemisahan bagian/organ tanaman
dari tanaman, seperti ; daun, bunga, buah atau batang.
Menurut Addicot (1964) maka dalam proses abscission ini faktor alami seperti ; dingin,
panas, kekeringan, akan berpengaruh terhadap abscission. Dalam hubungannya dengan
hormon tumbuh, maka mungkin hormon ini akan mendukung atau menghambat proses
tersebut.
Di dalam proses abscission, akan terjadi perubahan-perubahan metabolisme dalam
dinding sel dan perubahan secara kimia dari pectin dalam midle lamella.
Pembentukan lapisan abscission (abscission layer), kadang-kadang diikuti oleh susunan
cell division proximal. Disini sel-sel baru akan berdiferensiasi ke dalam periderm dan
membentuk suatu lapisan pelindung (Weaver, 1972).
Mengenai hubungan antara abscission dengan zat tumbuh auxin, Addicot et al (1955)
mengemukakan sbb: Abscission akan terjadi apabila jumlah auxin yang ada di daerah
proksimal (proximal region) sama atau lebih dari jumlah auxin yang terdapat di daerah
distal (distal region). Tetapi apabila jumlah auxin yang berada di daerah distal lebih besar
dari daerah proximal, maka tidak akan terjadi abscission. Dengan kata lain proses
abscission ini akan terlambat.
Teori lain (Biggs dan Leopold 1957, 1958) menerangkan bahwa pengaruh auxin terhadap
abscission ditentukan oleh konsentrasi auxin itu sendiri. Konsentrasi auxin yang tinggi
akan menghambat terjadinya abscission, sedangkan auxin dengan konsentrasi rendah
akan mempercepat terjadinya abscission.
Teori terakhir dikemukakan oleh Robinstein dan Leopold (1964) yang menerangkan
bahwa respon abscission pada daun terhadap auxin dapat dibagi kedalam dua fase jika
perlakuan auxin diberikan setelah daun terlepas. Fase pertama, auxin akan menghambat
abscission, dan fase kedua auxin dengan konsentrasi yang sama akan mendukung
terjadinya abscission.
j. Senescence
Menurut Alex Comport (1956) dalam Leopold (1961) "senescence" adalah suatu
penurunan kemampuan tumbuh (viability) disertai dengan kenaikan vulnerability suatu
organisme. Namun di dalam tanaman, istilah ini diartikan; menurunnya fase pertumbuhan
(growth rate) dan kemampuan tumbuh (vigor) serta diikuti dengan kepekaan
(susceptibility) terhadap tantangan lingkungan, penyakit atau perubahan fisik lainnya.
Ciri dari fenomena ini selalu diikuti dengan kematian.
Di dalam alam, senescence terjadi pada daun, batang dan buah. Menurut Leopold (1961)
ada empat bentuk senescence yang terjadi pada tanaman yaitu :
1. Semua organ tumbuh mengalami senescence (over-all senescence)
2. Senescence yang terjadi pada bagian atas (top senescence)
3. Senescence yang terjadi seluruh bagian daun dan buah (decideus senescence)
4. Senescence berkembang dari daun paling bawah menuju kearah atas (progresive
senescence)
Ciri-ciri terjadinya senescence dapat ditemukan pada morfologi dan perubahan di dalam
organ atau seluruh tubuh tanaman. Keadaan seperti ini diikuti oleh meningkatnya
abscission serta daun dan buah berguguran dari batang pokok. Begitu pula pertumbuhan
dan pigmentasi warna hijau berubah menjadi warna kuning, yang akhirnya buah dan daun
terlepas dari batang pokok.

ke atas

GIBBERELLIN

Gibberellin adalah jenis hormon tumbuh yang mula-mula diketemukan di Jepang oleh
Kurosawa pada tahun 1926. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Yabuta dan Hayashi
(1939). Ia dapat mengisolasi crystalline material yang dapat menstimulasi pertumbuhan
pada akar kecambah. Dalam tahun 1951, Stodola dkk melakukan penelitian terhadap
substansi ini dan menghasilkan "Gibberelline A" dan "Gibberelline X". adapun hasil
penelitian lanjutannya menghasilkan GA1, GA2, dan GA3.
Pada saat yang sama dilakukan pula penelitian di Laboratory of the Imperial Chemical
Industries di Inggris sehingga menghasilkan GA3 (Cross, 1954 dalam Weaver 1972).
Nama Gibberellin acid untuk zat tersebut telah disepakati oleh kelompok peneliti itu
sehingga populer sampai sekarang.

1. Kejadian di dalam alam.


Di dalam alam telah ditemukan lebih dari sepuluh buah jenis gibberellin. Menurut Mac
Millan dan Takashashi (1968), Kang (1970) dan Weaver (1972), gibberellin ada yang
diketemukan dalam jamur Gibberella Fujikuroi, ada yang diketemukan pada tanaman
tinggi dan ada juga yang diketemukan pada keduanya.
Jenis gibberellin yang diketemukan pada jamur yaitu ; GA1, GA2, GA3, GA4, GA7,
GA9, s.d GA16, GA24, GA25, GA36. Sedangkan jenis gibberellin yang diketemukan
pada tanaman derajat tinggi yaitu ; GA1, s.d GA9, GA13, GA17, s.d GA23, GA26, s.d
GA35. Dan yang terakhir yaitu gibberellin yang diketemukan pada jamur dan tanaman
derajat tinggi yaitu ; GA1, s.d GA4, GA7, GA9, dan GA13.
Gibberellin ; GA1 s.d GA5, GA7 s.d GA9, GA19, GA20, GA26, GA27, dan GA29
diketemukan pada Pharbitis nil, GA1, GA5, GA8, GA9, GA13, diketemukan pada umbi
tulip, kemudian GA3, GA4, GA7, diketemukan pada anggur, GA18, GA19, GA20,
diketemukan pada pucuk bambu, GA3, GA4, GA7, dijumpai pada biji apel, selanjutnya
GA21, dan GA22, dijumpai pada sword bean. Pada tanaman lain yaitu : Lipinus lutens
(GA18, GA23, GA28), pada pucuk tanaman jeruk dan biji mentimun diketemukan GA1,
tebu (GA5), pisang (GA7), kacang, jagung, barley wheat diketemukan GA1. Adapun
pada tanaman Phaseolus coclirecus diketemukan ; GA1, GA3 s.d GA6, GA8, GA13,
GA17, dan GA20. Kemudian pada Rudbeckia bicolor diketemukan ; GA1, GA4, GA7,
s.d GA9. Dan yang terakhir yaitu pada Calonyction aculeatum diketemukan : GA30,
GA31, GA33, dan GA34. Hasil penelitian Meizger dan Zeivaart (1980) menunjukan
bahwa pada pucuk bayam (spinach) didapatkan gibberellin ; GA53, GA44, GA19, GA17,
GA20, dan GA29,.

2. Metabolisme gibberelline
Gibberellin adalah zat kimia yang dikelompokan kedalam terpinoid. Semua kelompok
terpinoid terbentuk dari unit isoprene yang terdiri dari 5 atom karbon.

C
C-C-C
C
Unit Isoprene (5-C)

Unit-unit isoprene ini dapat bergabung sehingga menghasilkan monoterpene (C-10),


Sesqueterpene (C-15), diterpene (C-20) dan triterpene (C-30).
Biosintesis gibberelline yang terdapat dalam jamur Gibberella Fujikuroi berproses dari
Mevalonic acid sampai menjadi gibberellin. Di dalam proses biosintesis telah
diketemukan zat penghambat (growth retardant) di dalam aktivitas ini. Beberapa contoh
growth retardant yang menghambat biosintesis gibberelline pada tanaman antara lain
Amo-1618 (2-isopropil-4-dimetil-kamine-5 metil phenil-4pipendine karboksilatmetil
klorida) menghambat biosintesis gibberelline pada tanaman mentimun liar (Exhmocytis
macrocarpa). Amo-1618 menghambat dalam proses perubahan dari Geranylgeranyl
pyrophosphat ke Kaurene. Begitu pula growth retardant CCC (2-chloroethyl) trimethyl (-
amonium chloride) memperlihatkan aktivitas yang sama dengan Amo-1618.

3. Struktur molekul dan aktivitas gibberelline


Gibberelline merupakan suatu compound (senyawa) yang mengandung "gibban
skeleton".
Menurut Weaver (1972), perbedaan utama pada gibberelline adalah:
a. beberapa gibberelline mempunyai 19 buah atom karbon dan yang lainnya mempunyai
20 buah atom karbon.
b. Grup hidroksil berada dalam posisi 3 dan 13 (ent gibberellene numbering system)
Semua gibberelline dengan 19 atom karbon adalah monocarboxylic acid yang
mengandung COOH grup pada posisi 7 dan mempunyai sebuah lactonering.
Di dalam alam, dijumpai pula beberapa senyawa yang di ekstrak dari tanaman. Senyawa
tersebut tidak mengandung gibberelline atau gibberellane structure tetapi termasuk ke
dalam gibberelline. Dari hasil penelitian Tamura dkk, ia menemukan suatu substansi
dalam jamur Helminthosporium sativum yang dinamakan "helminthosporol" yang aktif
dalam perpanjangan daun pada kecambah padi dan barley. Senyawa lain yang ditemukan
tanpa gibban skeleton yaitu "Steviol", namun aktivitasnya seperti gibberelline.

O H OH
CO CH2

HO H COOH H CH3 H
GA3 (gibberellic acid)

4. Arti gibberellin bagi fisiologi tanaman


Gibberellin sebagai hormon tumbuh pada tanaman sangat berpengaruh pada sifat genetik
(genetic dwarfism), pembuangan, penyinaran, partohenocarpy, mobilisasi karbohidrat
selama perkecambahan (germination) dan aspek fisiologi kainnya. Gibberelline
mempunyai peranan dalam mendukung perpanjangan sel (cell elongation), aktivitas
kambium dan mendukung pembentukan RNA baru serta sintesa protein.
a. Genetic dwarfism
Genetic dwarfism adalah suatu gejala kerdil yang disebabkan oleh adanya mutasi. Gejala
ini terlihat dari memendeknya internode. Terhadap Genetic dwarfism ini, gibberelline
mampu merubah tanaman yang kerdil menjadi tinggi. Hal ini telah dibuktikan oleh Brian
dan Hemming (1955). Dalam eksperimennya mereka telah memberi perlakuan
penyemprotan gibberellic acid pada berbagai varietas kacang. Hasil dari eksperimen ini
menunjukan bahwa gibberellic acid berpengaruh terhadap tanaman kacang yang kerdil
dan menjadi tinggi.
Mengenai hubungannya dengan cell elengation, dikemukakan bahwa gibbberelline
mendukung pengembangan dinding sel.
Menurut van Oberbeek (1966) penggunaan gibberelline akan mendukung pembentukan
enzym protolictic yang akan membebaskan tryptophan sebagai asal bentuk dari auxin.
Hal ini berarti bahwa kehadiran gibberelline tersebut akan meningkatkan kandungan
auxin.
Mekanisme lain menerangkan bahwa gibberelline akan menstimulasi cell elengation,
karena adanya hidrolisa pati yang dihasilkan dari gibberelline, akan mendukung
terbentuknya a amilase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi gula
meningkat yang mengakibatkan tekanan osmotik di dalam sel menjadi nai, sehingga ada
kecenderungan sel tersebut berkembang.
b. Pembungaan (flowering)
Gibbereline sebagai salah satu hormon tumbuh pada tanaman, mempunyai peranan dalam
pembungaan. Penelitian yang dilakukan Henny (1981) pada bungan spothiphyllum
Mauna loa. Dengan memberikan perlakuan GA3 dengan dosis: 250, 500 dan 1000 mg/l.
hasil eksperimen tsb dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 1. Pengaruh GA3 terhadap pembungaan Spathiphyllum Mauna Loa


GA3 (mg/l) Pembangunan (%) minggu setelah perlakuan
10 12 14 16 18 20
0 0 0 0 0 0 10
250 0 0 30 70 70 90
500 20 50 70 100 100 100
1000 0 60 90 100 100 100
c. Parthenocarpy dan fruit set
Seperti auxin, gibberelline pun berpengaruh terhadap Parthenocarpy. Hasil penelitian
menunjukan bahwa gibberellic acid (GA3) lebih efektif dalam terjadinya Parthenocarpy
dibanding dengan auxin yang dilakukan pada blueberry. Hasil eksperimen lain
menunjukan pula bahwa GA3 dapat meningkatkan tandan buah (fruit set) dan hasil.
d. Peranan Gibberellin dalam pematangan buah (fruit ripening)
Pematangan (ripening) adalah suatu proses fisiologis, yaitu terjadinya perubahan dari
kondisi yang tidak menguntungkan ke suatu kondisi yang menguntungkan, ditandai
dengan perubahan tekstur, warna, rasa dan aroma.
Dalam proses pematangan ini, gibberelline mempunyai peran penting yaitu mampu
mengundurkan pematangan (repening) dan pemasakan (maturing) suatu jenis buah.
Dari hasil penelitian menunjukan aplikasi gibberelline pada buah tomat dapat
memperlambat pematangan buah, sedangkan gibberellic acid yang diterapkan pada buah
pisang matang, ternyata pemasakannya dapat ditunda.
e. Mobilisasi bahan makanan selama fase perkecambahan (germination)
Biji cerealia terdiri dari embrio dan endosperm. Didalam endosperm terdapat masa pati
(starch) yang dikelilingi oleh suatu lapisan "aleuron".. sedangkan embrio itu sendiri
merupakan suatu bagian hidup yang suatu saat akan menjadi dewasa. Pertumbuhan
embrio selama perkecambahan bergantung pada persiapan bahan makanan yang berada di
dalam endosperm. Untuk keperluan kelangsungan hidup embrio maka terjadilah
penguraian secara enzimatik yaitu terjadi perubahanpati menjadi gula yang selanjutnya
ditranslokasikan ke embrio sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa gibberelline berperan penting dalam proses
aktivitas amilase. Hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan GA yang mengakibatkan
aktivitas amilase miningkat.
Aktivitas enzym a amilase dan protease di dalam endosperm juga didukung oleh GA
melalui de novo synthesis. Hal ini ada hubungannya dengan terbentuknya DNA baru
yang kemudian menghasilkan RNA.
f. Stimulasi aktivitas cambium dan perkembangn xylem
Gibberelline mempunyai peranan dalam aktivitas kambium dan perkembangn xylem.
Aplikasi GA3 dengan konsentrasi 100, 250, dan 500 ppm mendukung terjadinya
diferensiasi xylem pada pucuk olive. Begitu pula dengan mengadakan aplikasi GA3 +
IAA dengan konsentrasi masing-masing 250 dan 500 ppm, maka terjadi pengaruh
sinergis pada xylem. Sedangkan aplikasi auxin saja tidak memberi pengaruh pada
tanaman.

g. Dormansi
Dormansi adalah masa istirahat bagi suatu organ tanaman atau biji. Menurut Copeland
(1976), dormansi adalah kemampuan biji untuk mengundurkan fase perkecambahannya
hingga saat dan tempat itu menguntungkan untuk tumbuh.
Secara umum terjadinya dormansi adalah disebabkan oleh faktor luar dan faktor dalam.
Faktor yang menyebabkan dormansi pada biji adalah sbb:
1. tidak sempurnanya embrio (rudimentery embriyo)
2. embrio yang belum matang secara fisikologis (physiological immature embriyo)
3. kulit biji yang tebal (tahan terhadap gerakan mekanis)
4. kulit biji impermeable ( impermeable seed coat)
5. adanya zat penghambat (inhibitor) untuk perkecambahan (presence of germination
inhibitors).
Fase yang terjadi dalam dorminasi biji, menurut Amen (1968) ada empat fase yang harus
dilalui :
1. fase induksi, ditandai dengan terjadinya penurunan jumlah hormon (hormon level)
2. fase tertundanya metabolisme (a period of partial metabolic arrest)
3. fase bertahannya embrio untuk berkecambah karena faktor lingkungan yang tidak
menguntungkan.
4. Perkecambahan (germination), ditandai dengan meningkatnya hormon dan aktivitas
enzym.
Peranan hormon tumbuh di dalam biji yang mengalami dorminasi telah dibahas oleh
warner (1967) yang mengatakan bahwa GA3 dapat menstimulasi sintesis ribonukleas,
amilase dan protoase di dalam endospem biji barley.

ke atas

CYTOKININ

Cytokinin adalah salah satu zat pengatur tumbuh yang ditemukan pada tanaman. Zat
pengatur tumbuh ini mempunyai peranan dalam proses pembelahan sel (cell division).
Cytokinin pertama kali ditemukan dalam kultur jaringan di Laboratories of Skoog and
Strong University of Wisconsin. Material yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
batang tembakau yang ditumbuhkan pada medium sintesis. Menurut Miller et al (1955,
1956), senyawa yang aktif adalah kinetin (6-furfuryl amino purine). Hasil penelitian
menunjukan bahwa purine adenin sangat efektif.

1. Struktur kimia Cytokinin


Bentuk dasar dari cytokinin adalah adenin (6-amino purine). Adenin merupakan bentuk
dasar yang menentukan terhadap aktifitas cytokinin. Di dalam senyawa cytokinin,
panjang rantai dan hadirnya suatu double bond dalam rantai tersebut akan meningkatkan
aktifitas zat pengatur tumbuh ini.
NH2

NH
Adenine (6-amino purine)

2. Arti Cytokinin bagi fisiologi tanaman


Penelitian pertumbuhan pith tissue culture dengan menggunakan cytokinin dan auxin
dalam berbagai perbandingan telah dilakukan oleh Weier et al (1974). Dihasilkan bahwa
apabila dalam perbandingan cytokinin lebih besar dari auxin, maka hal ini akan
memperlihatkan stimulasi pertumbuhan tunas dan daun. Sebaliknya apabila cytokinin
lebih rendah dari auxin, maka ini akan mengakibatkan stimulasi pada pertumbuhan akar.
Sedangkan apabila perbandingan cytokinin dan auxin berimbang, maka pertumbuhan
tunas, daun dan akar akan berimbang pula. Tetapi apabila konsentrasi cytokinin itu
sedang dan konsentrasi auxin rendah, maka keadaan pertumbuhan tobacco pith culture
tersebut akan berbentuk callus.
Sedangkan dalam pembelahan sel, dikemukakan bahwa IAA dan kinetin, apabila
digunakan secara tersendiri akan menstimulasi sintesis DNA dalam tobacco pith culture.
Dan menurut ahli tsb, kehadiran IAA dan kinetin ini diperlukan dalam proses mitosis
walaupun IAA lebih dominan pada fase tersebut.

3. Interaksi Cytokinin, Gibberellin dan Auxin dalam perkembangan tanaman


Di dalam alam tidak satu unsurpun yang berdiri sendiri. Kesemuanya berinteraksi antara
satu sama lainnya, sehingga merupakan suatu sistem. Begitu pula dengan zat pengatur
tumbuh.
Pada tanaman, zat pengatur tumbuh auxin, gibberellin dan cytokinin bekerja tidak
sendiri-sendiri, tetapi ketiga hormon tersebut bekerja secara berinteraksi yang dicirikan
dalam perkembangan tanaman.

ke atas

ETHYLENE

Ethylene adalah hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan Auxin, Gibberellin,
dan Cytokinin. Dalam keadaan normal ethylene akan berbentuk gas dan struktur
kimianya sangat sederhana sekali. Di alam ethilene akan berperan apabila terjadi
perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman. hormon ini akan berperan pada proses
pematangan buah dalam fase climacteric.
Penelitian terhadap ethylene, pertama kali dilakukan oleh Neljubow (1901) dan
Kriedermann (1975), hasilnya menunjukan gas ethylene dapat membuat perubahan pada
akar tanaman. Hasil penelitian Zimmerman et al (1931) menunjukan bahwa ethylene
dapat mendukung terjadinya abscission pada daun, namun menurut Rodriquez (1932), zat
tersebut dapat mendukung proses pembungaan pada tanaman nanas.
Penelitian lain telah membuktikan tentang adanya kerja sama antara auxin dan ethylene
dalam pembengkakan (swelling) dan perakaran dengan cara mengaplikasikan auxin pada
jaringan setelah ethylene berperan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kehadiran auxin
dapat menstimulasi produksi ethylene.

1. Struktur kimia dan Biosintesis ethylene


Struktur kimia ethylene sangat sederhana yaitu terdiri dari 2 atom karbon dan 4 atom
hidrogen seperti gambar di bawah ini :
HH
C=C
HH
Ethylene

Biosintesis ethylene terjadi di dalam jaringan tanaman yaitu terjadi perubahan dari asam
amino methionine atas bantuan cahaya dan FMN (Flavin Mono Nucleotide) menjadi
Methionel. Senyawa tersebut mengalami perubahan atas bantuan cahaya dan FMN
menjadi ethykene, methyl disulphide, formic acid.
2. Peranan ethylene dalam fisiologi tanaman
Di dalam proses fisiologis, ethylene mempunyai peranan penting. Wereing dan Phillips
(1970) telah mengelompokan pengaruh ethylene dalam fisiologi tanaman sbb:
a. mendukung respirasi climacteric dan pematangan buah
b. mendukung epinasti
c. menghambat perpanjangan batang (elengation growth) dan akar pada beberapa species
tanaman walaupun ethylene ini dapat menstimulasi perpanjangan batang, coleoptyle dan
mesocotyle pada tanaman tertentu, misalnya Colletriche dan padi.
d. Menstimulasi perkecambahan
e. Menstimulasi pertumbuhan secara isodiametrical lebih besar dibandingkan dengan
pertumbuhan secara longitudinal
f. Mendukung terbentuknya bulu-bulu akar
g. Mendukung terjadinya abscission pada daun
h. Mendukung proses pembungaan pada nanas
i. Mendukung adanya flower fading dalam persarian anggrek
j. Menghambat transportasi auxin secara basipetal dan lateral
k. Mekanisme timbal balik secara teratur dengan adanya auxin yaitu konsentrasi auxin
yang tinggi menyebabkan terbentuknya ethylene. Tetapi kehadiran ethylene
menyebabkan rendahnya konsentrasi auxin di dalam jaringan.
Hubungannya dengan konsentrasi auxin, hormon tumbuh ini menentukan pembentukan
protein yang diperlukan dalam aktifitas pertumbuhan, sedangkan rendahnya konsentrasi
auxin, akan mendukung protein yang akan mengkatalisasi sintesis ethylene dan precursor.

3. Peranan ethylene dalam proses pematangan buah


Harsen (1967) dalam Dilley (1969) telah mempelajari hubungan antara ethylene dengan
tingkat kematangan pada buah pear. Ia mengemukakan bahwa pematangan ini menjadi
suatu sequential dalam proses kesinambungan kehidupan buah. Menurut konsep tsb,
ethylene berpebgaruh terhadap beberapa yang mengontrol pola normal dari proses
pematangan.
Menurut Frenkel et al (1968), sintesa protein diperlukan pada tingkat pematangan yang
normal. Protein disintesa secepatnya dalam proses pematangan. Dari hasil eksperimen
terhadap buah pear, memperlihatkan bahwa pematangan buah dan sintesa protein
terhambat sebagai akibat perlakuan cycloheximide pada permulaan fase climacteric.
Setelah cycloheximide hilang, ternyata sintesis ethylene tidak mengalami hambatan.
Di dalam proses pematangan, ribonucleic acid synthesis pun diperlukan. Dalam
eksperimen menggunakan buah pear, buah tersebut ditreated, dengan actinomysin D pada
tingkat pre climacteric. Dari hasil eksperimen ini diperoleh petunjuk bahwa actinomysin
D menghambat terbentuknya DNA yang bergantung pada RNA sintesis.
Imascshi et al (1968) mengemukakan bahwa ethylele mendukung peningkatan aktivitas
metabolisme dalam jaringan akar ubi jalar. Ethylene yang berkonsentrasi 0,1 ppm,
menstimulasi perkembangan peroxidase dan phenyl alanine ammonialyase. Penelitian
lain mengemukakan bahwa perlakuan ethylene pada kecambah kapas menstimulasi
aktivitas peroksida dan IAA oksida.
4. Interaksi ethylene dengan auxin dan kinetin
Dari hasil penelitian terhadap tanaman kacang (pea), menunjukan bahwa pembentukan
ethylene lebih tampak pada jaringan meristem tempat auxin dihasilkan. Disini IAA
mengontrol pembentukan ethylene dalam perpanjangan batang pea. Kehadiran kinetin
dalam pertumbuhan tunas lateral dapat mengatasi penghambatan yang diakibatkan oleh
IAA. Hasil penelitian lain menunjukan bahwa adanya penghambatan transportasi auxin
oleh endogenous ethylene yang menyebabkan terjadinya abscission pada daun.

ke atas

INHIBITORS

Yang dimaksud dengan istilah inhibitor adalah zat yang menghambat pertumbuhan pada
tanaman, sering didapat pada proses perkecambahan, pertumbuhan pucuk atau dalam
dormansi.
Di dalam tanaman, inhibitor menyebar disetiap organ tubuh tanaman tergantung dari jenis
inhibitor itu sendiri. Menurut weaver (1972), beberapa jenis inhibitor adalah merupakan
bentuk phenyl compound termasuk phenol, benzoic acid, cinamic acid dan coffeic acid.
Gallic acid dan shikimic acid merupakan turunan dari benzoic acid. Selanjutnya ia
mengemukakan pula bahwa gallic acid dapat diketemukan pada buah yang matang,
sedangkan ferulic acid dan p-coumaric acid merupakan ko faktor untuk IAA oksida.
Di dalam alam, abscisic acid dapat dijumpai pada daun, batang, rizoma, ubi (tuber), tunas
(bud), tepung sari, buah, embrio, endosperm, ataupun kulit biji (seed coat) misalnya pada
tanaman kentang, kacang, apel, adpokat rose dan kelapa.
Plant growth retardant adalah inhibitor yang berperan dalam menghambat aktivitas apical
meristematic. Zat kimia yang dikelompokan dalam growth retardant adalah : Amo-1618,
Phosfon-D, CCC (cycocel), SADH (succinic acid-2,2-dimethyl hyrdazide) dan
Morphactins (methyl-2-chloro-9-hydroxy fluorene-9-carboxylate/IT 3456 dan n-butyl-9-
hydroxyfluerene-9-carboxylate/IT 3233).

1. Peranan inhibitor di dalam tanaman


a. Abscissic acid
Di dalam tanaman, Abscissic acid (ABA) menyebar di dalam jaringan. Inhibitor ini
mempunyai fungsi atau peranan yang berlawanan dengan zat pengatur tumbuh: auxin,
gibberellin, dan cytokinin.
b. Plant growth retardant
Plant growth retardant adalah inhibitor yang berlawanan dengan kegiatan gibbberellin
pada perpanjangan batang. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Lang dkk dengan
menggunakan CCC dan Amo-1618 pada jamur fusarium moniliforme dan tanaman
derajat tinggi. Ternyata bahwa sintesis gibberellin diblokir sehingga gibberellin tersebut
tidak berpengaruh. Sedangkan SADH menghambat diamin oksida (yang berperan dalam
perubahan tryptamine menjadi IAA).
Secara garis besar ternyata inhibitor ini menghambat aktivitas auxin, gibberellin dan
cytokinin. ABA sebagai salah satu jenis inhibitor mendukung dormansi, abscission dan
senscence. Sedangkan SADH, CCC, Phosfon-D dan Amo-1618 menghambat
perpanjangan batang (cell elongation). Growth retardant ini aktifasinya berlawanan
dengan gibberellin.
MH (Maleic Hydrazide) sering digunakan sebagai herbisida dalam konsentrasi yang
tinggi. Aktifitas MH ini menghambat aktifitas meristematic, sehingga menghambat
perpanjangan batang. Begitu pula morphactin dan turunannya, dengan menggunakan
konsentrasi yang tinggi, dapat dipergunakan sebagai weed killer. Peranan bahan kimia ini
adalah menghambat perpanjangan batang dan berfungsi pula untuk memecahkan
auxillary bud.

ke atas

Mathedu Unila
Kumpulan Artikel-artikel Pembelajaran, Artikel Pendidikan, Artikel Bisnis, , Artikel
Kesehatan, dan Lain-lain tentunya.

• Home
• Agama
• Info Kesehatan
• Hiburan
• International
• Olah Raga
• Pembelajaran
• Pendidikan
• Politik
• Sains
• Sosial

Browse » Home » Sains » Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Wednesday, February 10, 2010

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

• camera bags
• yang deficiency
• online shop
• home network
• penelitian
• dosis
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sebagai Herbisida

Kalau kita berbicara mengenai ZPT, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa yang
dinamakan hormon tanaman. Hal ini sangat penting karena sering terjadi kerancuan
pengertian di masyarakat antara ZPT dengan hormon tanaman. Hormon berasal dari kata
Yunani yaitu hormon yang berarti menggiatkan, merangsang, membangkitkan timbulnya
suatu aktivitas. Menurut Moore (1979) hormon adalah suatu zat /senyawa organik yang
bukan nutrisi tanaman, aktif dalam jumlah yang sangat kecil, disintesa pada bagian
tertentu tanaman kemudian diangkut ke bagian lain dimana zat tersebut menimbulkan
pengaruh khusus secara biokimia. Yang dimaksud hormon disini adalah Auxin,
Giberelin, Cytokinin, ethylen dan ABA. Sedangkan zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah
senyawa organik yang bukan nutrisi tanaman yang dalam jumlah kecil atau konsentrasi
rendah akan merangsang dan mengadakan modifikasi secara kwalitatif terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
semua hormon adalah zat pengatur tumbuh tetapi tidak sebaliknya karena ZPT dapat
dibuat atau disintesa oleh manusia tetapi hormon tidak.

Yang dimaksud dengan ZPT disini adalah 2,4-D, 2,4-S-T, IBA, NAA dan lain lain.
Penggunaan Zat pengatur tumbuh bila digunakan dengan konsentrasi rendah akan
merangsang dan menggiatkan pertumbuhan tanaman, dan sebaliknya bila digunakan
dalam jumlah besar/konsentrasi tinggi akan menghambat pertumbuhan bahkan dapat
mematikan tanaman. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan tekhnologi di bidang
pertanian, dan berdasarkan berbagai macam penelitian maka ditemukan aneka ragam zat
pengatur tumbuh yang dapat difungsikan sebagai herbisida untuk mematikan gulma atau
tanaman pengganggu. ZPT dapat berubah fungsi menjadi racun bila dipakai melebihi
kadar tertentu dan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak zat pengatur tumbuh
(ZPT) yang dapat dipergunakan sebagai herbisida. Lebih lanjut didapatkan pula bahwa,
zat pengatur tumbuh tertentu memepunyai sifat-sifat yang selektif sehingga gulma dapat
dimatikan tetapi tanaman pokok yng dibudidayakan tidak terganggu. Di era tekhnologi
modern saat ini, ZPT yang banyak digunakan sebagai herbisida pemberantas gulma
terutama adalah 2,4-D, 2,4,5-T dan MCPA atau MCP.

Pengaruh 2,4-D, 2,4,5 – S dan MPCA terhadap gulma bervariasi. Untuk pengaruh yang
sama , penggunaan dosis MPCA biasanya lebih tinggi daripada 2,4-D. Saat ini diantara
2,4-D, 2,4,5-T dan MCPA herbisida yang merupakan ZPT yang paling banyak
digunakan adalah 2,4-D. Herbisida jenis 2,4 -D ini sangat ideal karena memiliki
beberapa kelebihan diantaranya relatif murah, tidak meninggalkan racun pada hewan,
tidak menyebabkan karatan, tidak mudah terbakar dan mudah diencerkan.
Selain itu penggunaan Herbisida 2,4-D lebih populer pada lahan sawah dibandingkan
yang lain karena mempunyai beberapa spesifikasi diantaranya dapat dipergunakan untuk
mengendalikan gulma pada lahan sawah, tidak efektif untuk mengendalikan gulma jenis
alang-alang namun sangat ampuh dalam membasmi gulma berdaun sempit.

You might also like