You are on page 1of 152

Eyangku, Eyangmu, Eyang Kita

Publikasi 04/03/2003 09:00 WIB

eramuslim - Hujan rintik waktu itu. Saya bergegas menembus jalanan pagi yang padat
dengan payung terkembang. Berpacu dengan pejalan kaki lainnya, juga mobil dan motor
yang suka merebut kavling pejalan kaki di trotoar. Saya harus segera tiba di kantor. Tiba-
tiba sesuatu menghentikan langkah kaki saya dan memaksa saya menoleh.

Lagi, untuk yang kesekian kali. Seorang wanita berusia di akhir 60 tahunan, berkain,
kebaya dan kerudung sampir, menyandang tas kantong, tertatih tanpa pelindung dari
hujan.

"Ibu hendak kemana?” sapa saya. Payung langsung saya condongkan ke arah beliau.
Bersama kami melangkah satu-satu, menapaki jalan yang licin dan berlubang-lubang.

"Mau naik angkot di depan situ, Neng. Ibu hendak ke Cibubur"

MasyaAllah! Cibubur? Dari Salemba? Sendirian? Dalam hujan dan tanpa payung?

"Ibu sendirian?" Saya masih bertanya, sekedar menepis kegalauan, meski saya tak butuh
jawaban, apa yang saya saksikan toh sudah menjawab pertanyaan itu.

"Allah yang mengantarkan Ibu, Neng!" jawabnya, sedikit melegakan saya. Dan akhirnya,
ketika saya melepasnya naik Mikrolet 01A, saya tak lagi merasa terlalu bersalah. Allah
yang akan mengantarnya sampai tujuan.

Entah berapa kali saya menjumpai peristiwa serupa. Dan semuanya mendorong pada
tumbuhnya satu rasa: Iba. Bagaimana tidak? Mereka melangkah satu-satu, jarak 500
meter ditempuh lebih dari setengah jam. Belum lagi trotoar yang miring atau berlobang,
atau dihuni kendaraan parkir, sehingga kadang-kadang pejalan kaki terpaksa turun ke
badan jalan yang penuh dengan kendaraan lalu lalang. Kadang saya terpikir: kemana
anak-anak mereka? Kemana cucu-cucu mereka? Hingga membiarkan bapak/ibu atau
eyangnya bepergian sendiri? Di Jakarta pula.

Mungkin dunia memang sudah sedemikian tua, hingga penghuninya tak lagi memiliki
cinta dan perhatian, bahkan kepada orang tua sendiri yang sudah mulai lemah. Barangkali
dunia memang sudah sedemikian merana, hingga orang di jalanan tak lagi menganggap
manula sebagai makhluk lemah yang, Tapi, sebentar! Apa hak saya ‘menuduh’ anak dan
cucu yang mengabaikan orang tua/eyangnya di jalanan? Apa hak saya ‘menghakimi’
manusia dan dunia yang tak lagi mempedulikan para manula? Memangnya saya sudah
berbuat baik kepada eyang dan orang tua saya dengan sempurna?
Dan, tiba-tiba saya teringat eyang kakung saya di kampung sana. Usia beliau sudah di
atas 80 tahun, pendengaran sudah jauh berkurang, penglihatan sudah tidak awas lagi dan
berjalan pun sudah harus ditopang tongkat.

Sekalipun secara fisik –seingat saya- saya tak pernah mengabaikannya, harus saya akui,
selama ini saya sulit untuk bisa akrab dengan beliau. Pertama, karena jarak yang
memisahkan kami, sehingga sedikit kesempatan untuk bersama. Kedua, pendengaran dan
penglihatan beliau yang kurang, membuat sulit untuk berkomunikasi. Saya harus agak
berteriak supaya beliau mendengar apa yang saya katakan. Ketiga, saya kesulitan
menemukan bahan pembicaraaan yang nyambung. Kondisi tersebut membuat saya jarang
bercakap-cakap dengan Eyang, kecuali saat melayani makan, mandi dan semua keperluan
sehari-hari lainnya.

Jadi, apa bedanya saya dengan mereka yang menelantarkan orang tua dan eyangnya di
jalanan? Meski tak tampak secara fisik, namun secara psikologis nyaris tak ada bedanya:
saya telah mengabaikannya, betapapun alasan saya.

Dan saya pun merasa perlu mengoreksi kembali penilaian saya kepada para anak dan
cucu dari eyang-eyang di jalan raya itu. Mencoba menemukan alasan, mengapa mereka
tak mengantarkan orang tua atau eyangnya yang bepergian. Barangkali saja keluarganya
miskin, sehingga tak mampu mengantarkan dengan kendaraan memadai. Bisa saja anak-
anaknya sedang sibuk bekerja, demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian melilit.
Mungkin saja cucu-cucunya sedang bersekolah sampai sore dan masih ditambah dengan
kesibukan membantu pekerjaan rumah tangga. Barangkali,… ada alasan entah apa lagi.
Namun, semoga saja, meski anak dan cucunya tidak mengantarkan para eyang di jalanan
itu, mereka tetap memberi perhatian dan berbuat baik kepada eyangnya dengan cara yang
lain. Hingga Allah akan melindungi mereka, seperti kata Ibu tua tadi: "Allah yang akan
mengantar saya, Neng!”

Semoga demikian adanya, dan semoga yang demikian itu adalah melalui tangan kita. Ya,
semoga Allah menolong para eyang itu dengan menggerakkan hati dan meringankan
langkah kita untuk mengantar dan menemani para eyang di jalanan itu. Semoga
kemudian Allah menolong dan menjaga eyang dan orang tua kandung kita, karena kita
mengikhlaskan hati menolong para eyang di sekeliling kita.

Karena mereka adalah eyangku, eyangmu, eyang kita semua. (Saat ini saya berharap-
harap cemas, jika saya membantu para eyang di jalanan dan di sekeliling saya, di jauh
sana, Allah akan memberikan teman dan penjaga bagi eyang saya, meskipun itu seorang
anak batita yang senang mengajaknya bermain, tanpa kata-kata verbal, namun penuh
ketulusan cinta. Ya, Allah kabulkanlah harapan saya, dan titip salam rindu saya
kepadanya). (azi_75@yahoo.com, saat saya mengingati eyang)

Mbok Narti
Publikasi 27/02/2003 09:45 WIB
eramuslim -
Mbok Narti
Begitu kami sekeluarga memanggilnya. Usia-nya sudah 60 tahun namun kegagahan dan
kegesitannya justru membuat sosoknya terlihat 10 tahun lebih muda. Mbok Narti baru
bekerja beberapa minggu di tempat kami. Seorang tetangga membawanya ke rumah ibu
ketika mengetahui bahwa kami membutuhkan asisten di rumah kami. Ayah yang sudah
sakit dalam 8 bulan terakhir tentu menyita waktu ibu untuk mengurusnya. Alhasil
pekerjaan rumah tangga sedikit 'keteteran' karena kami bekerja seharian di luar rumah.

Alhamdulillah, kami dapat bernafas lega ketika mendapatkan bantuan mbok Narti ini.
Setiap ba'da shubuh dia sudah rajin bekerja dari mencuci, memasak dan menyetrika.
Mbok Narti tidak pernah mengijinkan ibu untuk membantunya, alih-alih mbok Narti
menyarankan ibu untuk konsentrasi menyiapkan dan mengurus keperluan ayah yang
sedang sakit.

Mbok Narti hidup sebatang-kara di dunia ini, begitu informasi yang kami dapatkan lewat
tentangga. Dia tidak pernah menceritakan asal-usul dirinya dengan jelas. Mbok Narti,
sosok baru di rumah kami ini langsung menjadi idola. Senyumnya tidak pernah lepas dari
bibirnya. Pekerjaan dia selesaikan dengan giat dan gesit. Setiap malamnya tidak pernah
dilewatkan mbok Narti dengan bersimpuh di hadapan Sang Khaliq. Selalu khusyuk dalam
sujud dan do'a-nya.

Dan suatu hari, setelah hampir tiga minggu mbok Narti bekerja di rumah kami. Tiba-tiba
kami kedatangan seorang tamu. Seorang dokter dari Jakarta. Awalnya kami agak terkejut
dengan maksud dan tujuan dokter tersebut untuk menjemput mbok Narti. Astaghfirullah,
kami sempat bersu'udzon tentang sesuatu hal yang buruk yang pernah terjadi kepada si
mbok ketika bekerja di Jakarta dahulu. Namun, dokter yang ternyata bekas majikan si
mbok tersebut justru memohon maaf kepada kami untuk menjemput mbok Narti karena si
mbok dirindukan oleh anaknya. Rupanya putera si dokter meminta ayahnya untuk datang
ke rumah kami menjemput mbok Narti. Ah, rupanya ada yang merindukan si mbok di
sana.

Si dokter itupun bercerita bahwa anak bungsu-nya tidak mau makan sejak mbok Narti
pulang ke kampungnya. Persis seperti di sinetron-sinetron memang, namun itulah fakta
yang terjadi. Entah apa yang membuat mbok Narti berhenti bekerja dari rumah si dokter
tersebut sebelumnya. Namun dari kehidupan, tindak-tanduk mbok Narti yang baru
beberapa minggu di rumah kami, mbok Narti adalah sosok yang sangat baik dan
mendekati sempurna sebagai asisten keluarga kami.

Akhirnya kami pun harus melepas mbok Narti dengan berat hati. Walau baru beberapa
minggu bekerja di rumah kami, namun kesan yang ditinggalkan begitu mendalam. Terus
terang, kami tidak pernah mendapatkan asisten rumah tangga seperti sosok mbok Narti
ini.

Satu minggu berlalu sejak kepergian mbok Narti dan tetanga kami yang pernah
mengantarkan si mbok datang untuk mengambil uang gaji mbok Narti yang belum sempat
kami bayarkan. Memang ketika mbok Narti dijemput dahulu, dia berpesan agar gajinya
dititipkan saja ke tetangga kami itu.

Satu hal yang sangat mengejutkan kami adalah ketika si tetangga bercerita bahwa uang
gajinya mbok Narti akan diberikan kepada Yayasan yatim piatu di kampung mbok Narti.
Rupanya selama ini dia menyerahkan seluruh penghasilannya sebagai asisten kepada si
tetangga untuk diberikan kepada Yayasan tersebut setiap bulannya. Bagi si mbok, dengan
bekerja di suatu tempat, mendapat jaminan tempat berteduh, mendapat makan, itu sudah
lebih dari cukup buat dia. Sedang penghasilannya (gajinya) dia anggap sebagai rejeki
anak-anak yatim itu.

Subhanallaah... dalam asma Allah dan hati yang bergetar penuh haru, ternyata baru kami
sadari bahwa kami ini bukan apa-apa dibandingkan dengan mbok Narti. Setiap saat kami
hanya memikirkan diri kami sendiri. Setiap saat kami hanya memikirkan makan apa
besok, membeli baju dan kosmetika, rencana liburan dan hal lain yang tak bukan hanya
untuk keperluan diri kami sendiri. Di sisi lain mbok Narti yang 'cuma' sebagai asisten
rumah tangga yang mungkin gajinya tidak seberapa untuk ukuran orang yang mampu,
justru dia sumbangkan semuanya -semuanya!- kepada orang-orang yang tidak mampu.

Ah, lewat mbok Narti kami seakan di'sentil' Allah agar cepat-cepat membuka mata dan
hati kami yang selama ini tertutup, bahwa hidup ini bukan hanya untuk hari ini dan esok.
Bahwa hidup ini bukan hanya untuk sekedar mencari makan dan belanja pakaian.
Namun, hidup ini justru menjadi lebih berarti ketika kita dapat membagi kebahagiaan kita
kepada orang lain.

Mbok Narti,
Sungguh teladanmu melorotkan tulang-tulang kesombongan kami...
Sungguh kerendah-hatianmu meruntuhkan keangkuhan kami...
Sungguh kedalaman sujud-sujud malammu, menggetarkan sukma kami...
Sungguh kedermawananmu membuat kami malu di hadapan Tuhan kami,
Astaghfirullaah.
Sungguh, kami merindukanmu mbok.

Rosanti K Adnanyose@ratelindo.co.id

Kucing
Publikasi 20/02/2003 08:52 WIB

eramuslim - Beberapa hari yang lalu, saya menemukan seekor anak kucing di jalan.
Suaranya ribut betul hingga mendorong kaki saya keluar untuk mencari posisi suara
kucing tadi. Ternyata di tepi jalan , terdapat seekor bayi kucing yang saya perkirakan
baru lahir beberapa hari yang lalu. Entah dimana Ibu si kucing, Akhirnya saya bawa ke
rumah, kebetulan ada dua ekor kucing di rumah yang juga sedang menyusui anaknya.
Awalnya saya khawatir kucing di rumah itu tidak mau menyusuinya. Karena semalaman
dia biarkan anak kucing tersebut mengeong tanpa mau mendekatinya walaupun sudah
dipaksakan untuk menyusui bayi kecil kucing tadi. Apalagi kucing itu anak-anaknya
sudah besar.

Paginya saya coba letakkan kucing kecil tadi bersama anak kucing yang lain. Beberapa
jam sempat saya paksakan si Hitam untuk menyusuinya, tapi tetap tidak mau, si Hitam
hanya menjilatinya. Akhirnya saya tinggalkan kucing tadi di luar bersama anak-anaknya.
Namun beberapa jam kemudian saya dengar kucing kecil tadi sudah diam. Saya coba
lihat, ternyata, subhanallah si Putih (kucing lain yang juga menyusui anaknya) sudah
menyusui kucing kecil tadi. Sambil menjilati kucing kecil tadi. Sampai sekarang si Putih
masih menyusui si kucing kecil.

Saya yakin ibu si kucing tadi tidak pernah bermaksud mencampakkan anaknya, tapi ada
tangan jahil manusia yang membuang, Beberapa hari yang lalu saya juga pernah
mendengar kasus seperti ini, tapi bukan kucing. Kisah manusia. Persis sama, hanya satu
yang berbeda kucing tadi tidak membuang anaknya tapi manusia yang membuang ke
jalan. Sementara kisah yang baru saya dengar ini si ibunya sendiri yang membuang
anaknya di tempat sampah.

Jangan merasa aneh ketika saya saat ini bercerita tentang kucing, karena ada sesuatu yang
unik di balik roman kucing ini. Sebuah kejujuran yang mampu merobek-robek
keangkuhan kemanusiaan manusia. Seekor binatang yang mampu memberikan kasih
sayang kemanusiaan disaat manusia meninggalkan sebuah nilai kemanusiaan menuju
sifat kebinatangan seekor binatang yang tidak punya sedikitpun akal. "Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan
mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda
kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk
mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan meraka lebih
sesat lagi". (QS. 7:179).

Masih tentang kucing. Saya juga pernah menyaksikan kucing melahirkan. Bisa dibilang
itu kali pertama dia melahirkan anaknya. Suaranya ribut, ketika saya lihat ketubannya
keluar. Akhirnya kucing tersebut menemukan tempat yang cukup strategis untuk
melahirkan anaknya. Namun yang menakjubkan, orang tua kucing yang 'bunting' tadi (si
Hitam) terus mengekori. Subhanallah Ketika si Putih tadi mengalami proses kelahiran
anaknya, si Hitam turut membantu mengeluarkan anaknya, menjilati dan membersihkan
anak si Putih tadi, sementara si putih terkulai lemah. Kasih sayang ibu sepanjang zaman.
Itu pepatah yang dibuat manusia, tetapi kucing jauh lebih memahami, dimandingkan ibu-
ibu yang lain yang ketika anaknya bunting, justru disuruh gugurkan karena malu ayahnya
tidak jelas.

Satu lagi tentang kucing, Ketika saya memberikan sepiring makanan kepada kucing-
kucing di rumah, jumlahnya mungkin lebih banyak dibandingkan muatan piring untuk
dilingkari makan. Apa yang anda bayangkan? Kucing-kucing itu akan berebut dan saling
mendahului untuk secepatnya menghabiskan makanan? Kalau begitu anda salah, yang
terjadi adalah si putih maju untuk lebih dahulu makan dan beberapa saat kemudian tanpa
interupsi mereka satu persatu bergantian menghabiskan makanan. Bagi yang belum
menunggu giliran dengan tenang. Dan yang anehnya lagi kucing yang didahulukan
makan pasti yang sedang menyusui anaknya. Tahukah anda saya sama sekali tidak
pernah menulis di dinding tempat makan kucing itu “Antri dong” atau “Budayakan
Antri” dan lain-lain. Lagian mereka juga tidak akan bisa membaca. Tapi anehnya praktek
teori antri tersebut tidak secanggih antrian kita kalau di tempat umum: di Bank, di kasir,
bahkan di kamar mandi. Mungkin bukan masalah antrinya tetapi konsep itsar
(mendahulukan kepentingan saudara) jauh lebih mereka pahami dibandingkan sebahagian
besar manusia saat ini. Demi kepentingan pribadi sebagian orang rela untuk
menghancurkan saudaranya.

Masih banyak lagi tentang kucing, tapi cukup disini saja, karena kucing saya tidak suka
dipublikasikan. Ada pertanyaan yang mengganjal di dalam fikiran saya, benarkah kucing
tidak memiliki akal dan hati? Maaf, pertanyaan saya terbalik, benarkah manusia memiliki
akal dan hati?

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapt memahami atau mempunyai telinga yang yang dengan itu
mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta adalah hati yang di dalam dada" (QS. 22:46).

Yanti. RMuthiah11@yahoo.com

Jangan Pernah Mengeluh


Publikasi 19/02/2003 09:32 WIB

"Berkali kita jatuh,


Berdiri jangan mengeluh.
Berkali kita gagal,
Ulangi lagi dan cari akal"

Baris baris pantun di atas saya pelajari belasan tahun lalu saat masih duduk di bangku
SMP. Saya lupa pengarangnya, namun jika tak salah, pantun ini ditulis oleh penyair
Sumatera Barat. Sampai saat ini, pantun itu terus terpatri di benak saya setiap menemui
kegagalan dan jatuh dalam hidup. Intinya bagi saya adalah dalam hidup ini jangan pernah
mengeluh dan teruslah berusaha. Namun, usaha tanpa berusaha memperbaiki cara fikir
(akal) adalah sia-sia. Untuk itulah, kita harus terus mencari akal-akal baru sehingga
peluang untuk berhasil menjadi lebih besar.

Mengeluh. Barangkali pekerjaan paling mudah di dunia ini adalah mencari kelemahan
dari situasi yang dihadapi dan kemudian mengeluhkannya. Namun, apakah hanya dengan
berkeluh kesah masalah yang dihadapi akan hilang? Sepertinya tidak. Malah, masalah
baru akan datang dalam bentuk hilangnya rasa percaya diri dan pesimis.
Hidup ini, by nature, selalu penuh masalah. Mulai dari masalah sepele seperti ketinggalan
bis, file penting terhapus, kehilangan uang, sampai masalah yang besar seperti ditinggal
pergi orang yang dikasihi untuk selamanya atau dipecat dari pekerjaan.

Namun, selama kita masih bernafas, masalah tersebut seakan menjadi nihil begitu kita
ingat bahwa ternyata semua itu 'bukan masalah'. Begitu ada masalah 'baru', kita selalu
menganggap bahwa masalah 'lama' adalah 'bukan masalah', dan kadang berfikir kok bisa-
bisanya kita pernah terkungkung oleh masalah 'lama' tersebut. Begitulah, dengan
berjalannya hidup, masalah datang silih berganti. Rugi sekali jika alih-alih menikmati
hidup kita malah terkungkung oleh masalah.

Belasan tahun kemudian, saya kembali menemukan puisi yang juga bernafaskan sama.
Namun kali ini, ditulis di negeri Skandinavia.

"Fear less, hope more;


Whine less, breathe more;
Talk less, say more;
Hate less, love more;
And all good things are yours."
(Swedish Proverb)

Di timur dan di barat muka bumi ini, ternyata semangat optimis selalu ditanamkan. Jika
demikian, kenapa juga kita selalu mengeluh?

Akhirnya, sebagai penutup, mari kita renungkan kalam Ilahi, sang Pencipta yang tahu
akan kelemahan makhluk ciptaanNya:

"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan
daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu
sebutan (nama)mu [1586], Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap" (Surah Alam Nasyrah)

Kepada Allah-lah kita senantiasa berharap.

Edi Hamdi
Esbjerg, DK
(edi_hamdi@yahoo.dk)

Qolbu Yang Kenal Dengan Allah


Publikasi 17/02/2003 08:57 WIB

eramuslim - Begitu besarnya pengaruh qolbu dalam menentukan karakter dari manusia
yang memilikinya sehingga Rasulullah pernah mengatakan bahwa di dalam tubuh setiap
manusia ada segumpal daging yang disebut dengan qolbu. Apabila qolbu itu baik maka
baiklah manusia yang memilikinya dan begitu juga sebaliknya apabila qolbu itu jelek
maka jelek pulalah manusia yang memilikinya.

Beruntunglah manusia yang memiliki qolbu yang baik. Karena dengan qolbu yang baik
maka akan menghasilkan pemikiran, tindakan dan ucapan yang baik pula. Hanya manusia
dengan qolbu yang baik yang akan memiliki akhlak yang baik.

Sebaliknya, sudah dapat dipastikan bahwa tingkah laku yang jelek dan tidak terpuji hanya
akan dilakukan oleh manusia-manusia yang memiliki qolbu yang jelek pula. Ucapan-
ucapan yang tidak bermakna dan bahkan sering melukai hati dan perasaan orang lain
hanya akan terucap dari mulut manusia-manusia dengan qolbu yang tidak baik. Sering
terjadi di tengah masyarakat perbuatan atau tindakan yang begitu kejam, sadis dan
bahkan tidak dapat dipahami dengan akal sehat. Ini bisa terjadi karena para pelakunya
memiliki qolbu yang kejam dan sadis pula.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara agar kita dapat memiliki qolbu yang baik
atau bagaimana cara membuat qolbu menjadi lebih baik? Jawabannya adalah, jadikanlah
qolbu itu kenal dan semakin kenal dengan Allah. Semakin kenal dan akrab dengan Allah
maka qolbu akan semakin baik. Bagaimana bisa demikian? Karena Allah adalah Zat
Yang Maha Baik, Allah begitu mencintai hamba-hamba-Nya yang senantiasa berusaha
untuk berbuat baik. Karena itu, qolbu yang kenal dengan Allah maka akan selalu tersinari
dengan cahaya Illahi. Qolbu yang selalu bersinar penuh cahaya kebaikan. Qolbu yang
senantiasa membisikkan kepada pemiliknya untuk selalu berpikir, bertindak dan
berbicara yang baik. Qolbu yang akan memicu dan memdorong pemiliknya untuk
mempunyai akhlak yang baik.

Orang-orang yang memiliki qolbu yang baik maka akan disayang tidak hanya oleh
manusia dan makhluk lainnya tetapi juga oleh Allah. Allah amat menyayangi hamba-
hamba-Nya yang memiliki qolbu yang baik.

Ada suatu kisah yang terjadi pada seorang ulama terkenal Abdullah bin Mubarak. Setelah
selesai melakukan tawaf, Abdullah bin Mubarak tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi
mendengarkan pembicaraan dua malaikat. Malaikat pertama mengatakan bahwa alangkah
banyaknya orang yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Malaikat kedua
menanggapi bahwa amat disayangkan semua amal yang dilakukan jemaah ini tidaklah
sempurna sehingga tidak bernilai di hadapan Allah. Hanya saja, karena amal yang
dilakukan oleh seorang tukang sepatu maka Allah berkenan menerima amal semua
jemaah haji tahun itu. Begitu selesai melakukan ibadah haji, Abdullah bin Mubarak pergi
mencari tukang sepatu yang disebutkan malaikat dalam mimpinya. Setelah bertemu
dengan tukang sepatu tersebut, Abdullah bin Mubarak bertanya, apa amalan yang telah
dilakukan yang membuat Allah begitu menyukai dan menghargai amalan tersebut
sehingga dapat menyempurnakan amalan dari ribuan jemaah haji waktu itu. Si tukang
sepatu menceritakan bahwa semenjak tiga puluh tiga tahun lalu dia mempunyai keinginan
untuk melaksanakan ibadah haji. Untuk itu, setiap hari dia menabung dan setelah dihitung
maka dirasa cukup untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun itu. Beberapa hari
sebelum berangkat, istrinya yang sedang hamil menciumi wangi masakan. Ternyata
wangi masakan tersebut berasal dari rumah tetangga. Karena istrinya begitu
menginginkan dan karena sayangnya melihat istri yang lagi hamil maka Abdullah
menemui tetangganya untuk meminta sedikit dari masakan yang wangi tersebut. Si
tetangga mengatakan bahwa demi Allah makanan ini tidak halal bagi keluarga Abdulllah
karena yang dimasak adalah sisa bangkai binatang yang didapatkan. Si tetangga terpaksa
memasak bangkai binatang ini karena sudah berapa hari dia dan anaknya tidak makan.
Demi menghentikan tangis anaknya dan demi mempertahankan hidup maka dia terpaksa
memasak bangkai yang didapat tadi. Rasulullah pernah mengatakan bahwa dalam
keadaan darurat maka bangkai binatang dihalalkan untuk dimakan. Mendengar cerita dari
tetangganya ini Abdullah berlinang air matanya dan memohon ampun kepada Allah
karena dia telah lalai memberikan perhatian kepada tetangganya. Lalu dia bergegas
pulang mengambil semua tabungannya dan menyerahkan kepada tetangganya. Dengan
lembut dia berkata, "silahkan ambil uang tabungan ini, inilah hajiku."

Itulah suatu amalan yang lahir dari seorang hamba Allah yang memiliki qolbu yang baik.
Suatu amalan yang sangat disukai oleh Allah. Bahkan suatu amalan yang dengannya
membuat banyak amalan lainnya diterima. Mengapa begitu tingginya penghargaan yang
diberikan oleh Allah? Karena inilah suatu amalan yang lahir dengan dilandasi oleh
keihlasan yang tinggi. Suatu amalan yang terjadi tanpa mengharapkan balasan apapun,
termasuk pahala sekali pun. Suatu amalan yang muncul hanya sebagai bentuk syukur atas
nikmat Allah yang begitu banyak yang telah dilimpahkan Allah kepada kita. Sebagai rasa
syukur karena kita relatif lebih mudah untuk mendapatkan nikmat tersebut dibandingkan
dengan sebagian saudara kita yang lain. Inilah suatu kesadaran yang muncul dari qolbu
yang baik bahwa kenikmatan yang telah dititipkan Allah ini tentunya harus
didistribusikan juga bagi hamba-hamba-Nya yang lain.

Seseorang yang beramal dengan keikhlasan yang tinggi maka dia tidak dipusingkan
dengan balasan yang akan diterima. Dia tidak mengharapkan pujian dan penghargaan
bahkan balasan pahala sekalipun. Dia yakin bahwa Allah menyukai orang-orang yang
bersyukur. Karena itu, Dia hanya berusaha mengoptimalkan dan menyempurnakan akan
kebaikan yang diberikan sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat dan karunia Allah. Dia
begitu yakin bahwa Allah Maha Lembut, Maha Bijak, Maha Menatap dan Maha
Mengetahui. Jadi, barometer dari perbuatannya adalah apakah Allah suka atau tidak. Jika
Allah suka maka dia dengan senang melakukan. Sebaliknya jika Allah tidak suka maka
dia berusaha sekuat tenaga menghentikan atau menjauhi perbuatan itu. Ini bisa muncul
jika didorong oleh qolbu yang baik.

Alangkah indahnya amalan yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang memiliki
qolbu yang baik. Qolbu yang kenal dengan Allah. Qolbu yang disukai oleh Allah.
Semoga kita dikaruniai memiliki qolbu yang demikian oleh Allah, amin.

(Salman, presiden@imeanet.org)
(Diilhami oleh ceramah K.H. Susanto pada pengajian Qolbun Salim IMEA, Enschede 14
Pebruari 2003)
Ketika Cinta Harus Memilih
Publikasi 13/02/2003 12:01 WIB

eramuslim - Ketika kita didudukan dalam situasi untuk memilih, tentu naluri
kemanusiaan kita akan memilih yang terbaik (best of the best). Lalu bagaimana jika
justru ketika pilihan tersebut tidak ada yang memenuhi kriteria kita, haruskah kita
tinggalkan dan mencari pilihan lain? Bagaimana jika seandainya pilihan tersebut mutlak
yang terakhir? Dan bagaimana jika seandainya pilihan tersebut adalah suatu keputusan
yang justru berimplikasi terhadap masa depan kita? Bagaimana seandainya jika justru
pilihan tersebut adalah ujian dari Allah Swt sebagai wujud dari kasih sayang-Nya
terhadap kita?

Banyak cerita di sekeliling kita yang dapat dijadikan bahan renungan tentang makna
pilihan, dan buntutnya tentu masalah cinta. Jangan berpikiran sempit dulu tentang cinta
itu sendiri. Cinta bukan hanya cinta antara pasangan suami istri (pasutri), atau cinta
antara anak dan orang tua, namun juga termaktub cinta kepada suatu barang, misalnya
buku dan lainnya. Bahkan ada seseorang yang sangat mencintai idola-nya, entah itu
seorang artis atau aktor film.

Bukan suatu kebetulan jika saya mengetengahkan makna cinta ini kok sepertinya
berhubungan dengan hari 'valentine' yang sebentar lagi tiba. Jujur saja saya sudah tidak
ambil pusing dengan perayaan tersebut semenjak saya tahu bahwa perayaan hari
valentine itu sangat jauh dari nilai islami. Bagi saya, cinta itu bersifat universal yang
berhak dimiliki dan dinikmati oleh setiap makhluk hidup di bumi Allah ini tanpa batas
waktu dan jarak.

Lalu, bagaimana jika kita dihadapkan kepada suatu keharusan untuk memilih satu dari
dua pilihan yang ada? Sudahkah kita memaknai bahwa pilihan tersebut adalah yang
terbaik menurut Allah Swt untuk kita, bukan sebaliknya.

Suatu kali pernah seorang teman bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang
bermasalah. Namun sayangnya hal tersebut dijadikan alasan oleh sang teman untuk
membalas-dendam dengan, maaf, berselingkuh dengan orang lain. Saya pun kerap
bertanya kepada diri saya sendiri, bukankah ketika kita memutuskan menikahi pasangan
kita adalah suatu pilihan yang pasti terbaik dari segala pilihan yang ada?

Tapi tunggu dulu, terbaik menurut siapa?

Allah Swt menganugerahi setiap manusia sebuah bonus yang bernama 'akal', mengapa
saya katakan 'bonus' karena selain manusia, makhluk lain (hewan dan tumbuhan) tidak
dianugerahi hal yang sama. Selain itu, sebagai manusia kita pun dianugerahi 'titel'
khalifah (di bumi) oleh Allah Swt.

"Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi". (Faathir:39)


Kembali kepada cerita seorang teman di atas, salahkah dia dengan pilihan hatinya?
Salahkah dia ketika meresa kecewa karena pilihannya ternyata jauh dari apa yang dia
impikan? Atau ketika dia diberikan pilihan, sudahkah dia memutuskan memilihnya
dengan atas nama Allah?

Suami selalu mengingatkan saya untuk tidak terlalu mencintainya kalau bukan karena
Allah Swt, karena ketika suatu saat Allah memanggil suami, tidak ada lagi cinta dan
tempat bernaung yang tersisa, karena kesemua cinta yang ada sudah dibawanya pergi.
Namun, ketika ketika kita mencintainya atas nama Allah, badai rintangan apapun yang
menghadang, kita masih dapat berlindung di bawah kasih sayang-Nya karena hanya
Allah Swt yang mampu memberikan kesempurnaan perlindungan.

Keputusan sang teman untuk berselingkuh, jelas meletakkan nafsu di atas akal. Bukan
hanya tidak akan memecahkan masalah, bahkan akan menambah masalah baru. Akal pun
dikorbankan atas nama nafsu semata.

Saya teringat ketika adzan maghrib berkumandang, sebagian kita mungkin sedang asyik
menyimak berita demonstrasi di sebuah liputan berita nasional di televisi. Dan pilihan
kembali disorongkan kepada diri kita. Mematikan televisi dan langsung berwudhu atau
mentolerir diri kita dengan 'pembenaran', tokh beritanya tinggal lima menit, dan terus
menonton. Kembali akal pun kita korbankan atas nama 'tinggal lima menit' ketika kita
diberikan suatu pilihan di hadapan kita.

Bangun di waktu subuh ketika adzan berkumandang adalah satu pilihan terberat bagi
sebagian orang yang lemah iman. Ketika orang lain sudah melangkah menuju
surau/masjid di sisi lain kita mungkin masih enggan beranjak dari dalam selimut. Tidak
hiraukan seruan dari surau.... ash shalatu khairun minan naum...

****

Cinta kepada orang lain melebihi cinta kepada suami, cinta kepada liputan berita daripada
mendirikan sholat maghrib dan cinta kepada kehangatan selimut kita daripada bergegas
ke surau adalah suatu pilihan yang diberikan Allah Swt bagi kaum yang berakal.
Sudahkah kita termasuk ke dalam orang-orang yang berakal? Sudah pantaskah kita
menjadi khafilah di bumi Allah ini?

Marilah kita bersegera sujud memohon ampun kehadirat-Nya atas segala keterlenaan kita
dan atas keterbiusan kita akan gemerlap duniawi yang sebenarnya tiada kekal. "Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)." (Al-Baqarah:269)

Lalu, cinta manakah yang akan Anda pilih? Wallaahu'alam bishshowab. (Rosanti K
Adnan/yose@ratelindo.co.id)

Khutbah Idul Adha: Selamatkan Bangsa dan Negara dari


Kehancuran Total
Publikasi 10/02/2003 10:34 WIB

Allahu Akbar 3 x Allahu Akbar Wa Lillahilhamd.

Ma'asyiral Muslimin jama'ah shalat iedul adlha rahimakumullah.


Hari ini ummat Islam berkumpul untuk memperingati peristiwa bersejarah. Peristiwa
wujudnya sosok pemimpin dunia pertama yang patut menjadi teladan sepanjang masa.
Pemimpin itu, dialah Nabi Ibrahim as. yang disebut sebagai abul anbiya yang kisahnya
banyak diabadikan dalam Al-Qur'an. Allah Swt. berfirman:

"Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhanya dan ia bisa menuanaikannya dengan
sempurna, Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku jadikan kamu sebagai pemimpin."
Ibrahim berkata: "Dan dari anak turunku (ya Allah)? Allah berfirman: "Janji-Ku (tentang
kepemimpinan) tidak berlaku atas orang-orang yang dhalim." (QS. 2: 124)

Ayat ini menunjukkan bagaimana proses lahirnya seorang pemimpin yang tepat, bahwa
pemimpin itu tidak sembarangan, dan bukan pula karena atas dasar keturunan, darah,
maupun gelar dan status sosial. Seorang pemimpin hendaknya lahir setelah melalui
proses ujian dan seleksi tarbawi secara ketat, seperti sosok nabi Ibrahim, yang kemudian
mencetaknya menjadi pribadi yang sangat kuat terutama dalam keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah. Maka kalau seorang itu dhalim, siapapun dia kendatipun keturunan nabi
Ibrahim sekalipun, tidak boleh kepemimpinan diberikan kepadanya.

Kepemimpinan adalah suatu amanat yang sangat menentukan dalam kehidupan.


Rasulullah Saw. bersabda:

"Jika amanat itu disia-siakan, maka tunggulah saatnya kehancuran. Seorang sahabat
bertanya, "Bagaiamana menyia-nyiakan amanat itu?" Rasulullah bersabda: "Jika
diberikan amanat itu kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saatnya kehancuran."
(HR. Bukhari)
Allahu Akbar 3x Walillahilhamd.

Ma'asyiral muslimin Rahimakumullah Apa yang dinyatakan oleh Rasulullah saw. itu
benar-benar kini kita rasakan bersama. Semenjak merdeka tahun 1945 hingga hari ini kita
telah salah dalam memberikan amanat kepemimpinan ini sehingga kita dipimpin oleh
orang-orang dhalim yang jauh sekali dari sifat dan keteladanan yang diberikan oleh nabi
Ibrahim. Akibatnya kini negeri kita benar-benar bangkrut, berada di ambang kehancuran.

Secara ekonomi, negeri kita ini sudah tidak punya apa-apa. Bayangkan utang luar negeri
kita, sudah mencapai lebih dari Rp. 1.500 trilyun. Jika utang itu dibebankan kepada setiap
jiwa dari penduduk Indonesia, maka setiap orang termasuk bayi yang lahir detik ini
terbebani utang tidak kurang dari 10 juta Rupiah. Kini pemerintah tidak mampu lagi
membayarnya. Jangankan membayar pokoknya, untuk sekedar membayar bunga
(riba)nya saja sudah tidak mampu.
Pantas jika kemudian negara harus menjual aset-asetnya dengan harga yang amat murah.
Industri-industri setrategis yang melayani hajat hidup orang banyak sekalipun terpaksa
harus dijual dengan harga yang sangat rendah. Dalam waktu yang tidak lama lagi
mungkin semua perusahaan besar menjadi milik luar negeri. Jika itu yang terjadi sama
saja kita bangsa Indonesia menjadi tamu bahkan pengemis di negaranya sendiri.

Dalam keadaan seperti ini, jangankan melakukan politik luar negeri yang bebas dan aktif,
sedangkan untuk melindungi kedaulatan negara dari intervensi asing saja sudah sulit
dilakukan. Kenapa Indonesia -- misalnhya-- tidak bisa bersikap tegas, mengutuk agresi
AS ke Afganistan dan kini ke Irak bahkan ikut-ikutan dalam kampanye anti terorisme ala
Amerika dan terbelenggu mengikuti apa saja kemauan AS dalam soal ini meskipun harus
menggadaikan bangsa sendiri? Tak lain karena negara ini sudah tergadai. Takut tak diberi
utang. Takut investor asing akan lari. Takut tak diberi bantuan. Takut dikucilkan.
Takut..takut.. dan takut.. Itulah kenyataan yang dihadapi.

Indonesia hari ini betul-betul sudah sangat bergantung kepada luar negeri. Mulai dari
beras, gula, kedelai sampai buah-buahan didatangkan dari luar negeri. Terhadap bahan-
bahan pangan saja kita sudah tergantung dengan luar negeri, apalagi terhadap barang-
barang industri. Mana produk dalam negeri kita saat ini? Mobil, motor, sampai jarum
jahit semua adalah impor. Padahal kita sudah merdeka 57 tahun. Kita bertanya-tanya, apa
arti kemerdekaan itu? Inilah bila suatu negara itu diurus oleh penguasa-penguasa yang
bodoh, fasiq dan dholim, yang tidak seharusnya suatu urusan diserahkan kepada mereka.

Mereka tidak tahu dan masa bodoh bahwa sebenarnya penjajah Barat tidak pernah rela
negara-negara timur itu merdeka pasca era Imperiaslisme. Maka lewat jalur ekonomi,
Barat selalu berusaha menjadikan negara-negara timur khususnya Indonesia yang
berpenduduk muslim terbesar agar sepenuhnya bergantung kepada Barat. Strategi ini
nampaknya sudah berhasil dengan menjadikan Indonesiua misalnya sepenuhnya
bergantung pada utang luar negeri. Tanpa utang luar negeri, Indonesia tidak bisa
membangun; tanpa utang luar negeri roda pemerintahan juga macet. Dari mana
sumbernya untuk membayar pegawai negeri? Dari mana sumbernya operasional
departemen-departemen? Sebagian terbesar diambilkan dari utang, sekali lagi dari utang.

Kebutuhan pokok rakyat saja mulai bergantung pada pasokan luar negeri. Beras harus
impor, kedelai impor, gula impor, daging impor, buah-buahan impor. Maka wajar bila,
rupiah menjadi semakin tidak berharga dan barang-barang itu semakin melangit jauh di
atas kepala. Bayangkan, bila misalnya karena suatu hal, lalu negara-negara pengekspor
beras menghentikan pasokannya, kita rakyat indonesia mau makan apa?!

Allahu .. 3x walillahilhamd.
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-sauadara sekalian rahimakumullah.

Di sisi lain, sungguh sangat meperihatinkan, betapa kemerosotan moral yang melanda
bangsa ini sudah semakin parahnya. Tak masuk akal, dalam situasi ekonomi seret sepert
ini, justru omset Narkoba meningkat drastis. Menurut catatan, omset Narkoba setiap
harinya mencapai 2 milyar. Jika dihitung sebulan berarti 60 milyar. Jika dikalikan
setahun berarti 720 milyar, suatu angka yang fantastis. Dengan uang sebanyak itu sudah
banyak kiranya anak-anak putus sekolah yang dapat dibantu, para pengungsi dan korban
bencana dapat ditolong. Tapi tak habis pikir, bagaimana uang sebesar itu digunakan
untuk menggali kuburan sendiri. Mengkonsumsi Narkoba sama halnya dengan
membangun lubang kematian diri sendiri.

Menjadi orang tua sekarang harus waspada, jangan sampai membiarkan anak-anaknya
bebas memilih pergaulan. Orang tua harus tahu dengan siapa anak-anaknya bergaul di
luar rumah, sebab dari pergaulan itulah bermula segala perilaku menyimpang, termasuk
nyandu narkoba.

Jika anak sudah mulai merokok, segera ditegur dan dihentikan. Survei telah
membuktikan bahwa merokok merupakan pintu pembuka pengguna narkoba. Mulanya
sekedar merokok, kemudian minum, kemudian ganja, dan seterusnya nyandu. Jika sudah
sampai pada taraf ini, maka segala perilaku menyimpang, termasuk seks bebas akan
terjadi pada mereka. Sungguh sangat mengerikan. Apalagi jika diingat bahwa rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika sangat sulit dan jarang sekali yang bisa sampai tuntas.
Membiarkan anak kecanduan narkoba sama halnya dengan membunuh anak kita sendiri,
membunuh masa depannya. Mereka lemah fisik, lemah pikiran dan lemah mental. Tak
ada yang bisa diharapkan dari mereka.

Selain narkoba, podan pornoaksi juga marak di mana-mana. Dengan sangat mudah dan
murah VCD porno bisa didapat karena dijual bebas di emper-emper toko di pinggir jalan.
Belum lagi di tempat-tempat rental (penyewaan), mereka menyiapkan CD porno secara
terang-terangan. Siapapun boleh membeli atau menyewa, termasuk anak-anak di bawah
umur. Pemerintah dan aparat keamanan bukannya tidak mengerti masalah ini, tetapi
mereka tidak berbuat apa-apa. Inilah yang kita sesalkan.

Belum lagi media bacaan, TV dan radio. Tayangan film dan iklan sekarang sudah banyak
yang di luar adat ketimuran. Norma kesopanan dan norma agama dilanggar begitu saja.
Adegan-adegan yang memancing nafsu birahi lolos begitu saja tanpa sensor.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita relakan anak-anak, generasi masa depan ini dirusak
moralnya oleh produk-produk elektronik seperti TV, radio, VCD porno dan lain-lain?
Tidak, kita tidak rela. Dengan alasan apapun kita harus selamatkan bangsa dan negara ini
dari degradasi moral. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh sampai
merusak moral dan akhlaq bangsa.

Allahu Akbar … 3x walillahilhamd.


Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-sauadara sekalian rahimakumullah.

Keadaan gawat dan genting ini bukannya menyadarkan kita untuk bersikap prihatin.
Bapak-bapak kita yang di atas, yang kita pilih untuk membawa bangsa dan negara ini
keluar dari krisis ternyata hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Sibuk dengan rebutan
jabatan dan kursi, sibuk dengan pembagian rezeki. Kapling otaknya hanya dipenuhi
hasrat untuk memanfaatkan kedudukannya saat ini dan bagaimana mempertahankannya
pada pemilu 2004 nanti. Mereka berfoya-foya tidak peduli dengan penderitaan rakyat,
kecuali satu dua orang diantara mereka berhati nurani.

Oleh karena itu, mulai saat ini kita harus cerdas dalam memilih pemimpin. Jangan asal
memilih orang, apalagi dalam pemilu yang akan datang, semua mereka akan dipilih
secara langsung. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, anggota DPR dan DPRD
dipilih secara langsung, menyusul kemudian gubernur dan bupati, mungkin juga dipilih
langsung.
Hendaknya kita sadar bahwa sudah berulang kali kita salah pilih dan tertipu oleh
pemimpin-pemimpin yang culas. Ada pemimpin yang hidupnya diwarnai dengan syahwat
dan birahi, ada yang hanya mengeruk harta dan kekayaan, ada yang buta hati, nurani dan
sebagainya.

Saat ini kita sangat membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memenuhi syarat, yang
amanah, jujur dan berakhlaq. Sudah terlalu lama bangsa ini dipimpin oleh para penguasa
yang culas, yang memeras dan menindas rakyat. Kebangkrutan bangsa ini adalah akibat
ulah mereka.

Dalam keadaan negara yang sudah berada di ujung tanduk ini, semestinya seluruh
komponen bagsa sadar dan melakukan instropeksi, kemudian mengambil langkah-
langkah strategis untuk berbenah diri. Kita harus keluar dari krisis. Kita harus mentas dari
kerusakan moral, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Kita harus mempunyai
visi yang sama dalam membangun negeri ini kembali. Kita tetap optimis bahwa di antara
ribuan pemimpin dan calon pemimpin, masih ada yang memenuhi kreteria tadi. Kita
bangun negeri ini bersama pemimpin yang adil, berpengetahuan, amanah, jujur dan
berakhlaqul karimah.

Dan akhirnya marilah kita renungkan firman Allah Swt, sebagaimana yang tersebut
dalam Surat Toha ayat 124-126:

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya


penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam
keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman:
"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan
begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan."

Semoga kita tidak termasuk orang yang berpaling dari peringatan dan ajaran Allah Swt.

Ya Allah ampunilah dosa-dosa kami, kedua orang tua dan saudara-saudara kami kaum
muslimin semua, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup.

Ya Allah hanya kepada-Mu kami mengabdi, hanya kepada-Mu kami sholat dan sujud,
hanya kepada-Mu kami menuju dan tunduk. Kami mengharapkan rahmat dan kasih
sayang-Mu. Kami takut akan azab-Mu kerena azab-Mu pasti menimpa kaum fasiq.
Ya Allah jagalah kami dengan Islam dalam keadaan berdiri. Ya Allah jagalah kami
dengan Islam dalam keadaan duduk dan jagalah kami dengan Islam dalam keadaan tidur.
Jangan jayakan orang-orang kafir atas kami.

Ya Allah Yang menyelamatkan Nuh dari taufan badai dan banjir yang menenggelamkan
dunia, Yang menyelamatkan Ibrahim dari kobaran api menyala, Yang menyelamatkan Isa
dari salib kaum durjana, Yang menyelamatkan Yunus dari gelapnya perut ikan, Yang
menyelamatkan Nabi Muhammad dari makar kafir Quraisy, Yahudi pendusta, munafik
pengkhianat, pasukan ahzab angkara murka…

Ya Allah Yang mendengar rintihan hamba lemah teraniaya


Ya, Allah tolonglah saudara-saudara kami yang sedang didholimi di negeri ini, di
Ambon, Maluku, Aceh, di Kosovo, di Chechnya, di Palestina, di Afghanistan, di Irak dan
di tempat-tempat lain dari bumi-Mu.

Ya Allah hancurkan pasukan Amerika dan Israil yang telah berbuat angkara murka,
membunuhi hamba-hamba-Mu dan berbuat kerusakan di alam semesta. Ya Allah jangan
biarkan mereka (orang-orang kafir) berbuat semena-mena terhadap kami, rumah-rumah-
Mu dan anak keluarga kami. Ya Allah lindungilah kami dari tipu daya, makar dan
kedholiman kaum kafir.

Ya Allah satukanlah barisan kaum muslimin, dan cerai-beraikanlah barisan kaum kuffar,
munafikin dan musyrikin.

Ya Allah kumpulkanlah hati-hati kami di atas dasar kecintaan kepada-Mu, pertemukanlah


pada jalan keta'atan kepada-Mu, satukanlah di jalan dakwah-Mu dan ikatlah di atas janji
setia demi membela syari'at-Mu. Ya Allah padukanlah jiwa-jiwa ini sebagai pasukan
yang berjihad dan berjuang di jalan-Mu.

Ya Allah lepaskanlah dan jauhkanlah dari kami penguasa-penguasa yang dholim,


penindas dan fasiq. Anugerahkan kepada kami pemimpin yang beriman dan bertaqwa,
yang menjadikan Kitab-Mu sebagai landasan kepemimpinannya, yang mau menerapkan
syariat-Mu, yang membawa kami ke jalan yang benar, jalan yang Engkau ridhoi.

Ya Allah berikan kepada kami pemimpin berhati lembut bagai Nabi yang menangis
dalam sujud malam-nya, tak henti menyebut kami dalam akhir hayatnya: ummati..
ummati.. ummatku.. ummatku; pemimpin bagai para kholifah yang rela mengorbankan
semua kekayaan demi perjuangan, yang rela berlapar-lapar agar rakyatnya sejahtera, yang
lebih takut dosa dari pada hilangnya pangkat atau harta.

Ya Allah selamatkanlah kami, anak-anak kami, keluarga kami, negeri kami dan ummat
kami dari badai krisis, lilitan utang, fitnah dan dosa yang membinasakan.

Ya Allah janganlah Engkau goyangkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk, dan
tetapkankan hati kami atas agama-Mu.
Ya Allah jadikanlah hari terbaik kami sebagai hari pertemuankami dengan-Mu,
jadikanlah amal terbaik kami sebagai pamungkasnya, dan jadikan usia terbaik kami
sebagai akhir ajal kami.

Ya Allah kami berlindung kepada-Mu dari suul khatimah….Ya Allah anugerahkan


kepada kami husnul khatimah Ya Allah limpahkanlah rahmat, ampunan dan hidayah-Mu
kepada kami semuanya. Aamiin aamiin ra Rabbal ‘alamiin.

Muhammad Syamlan
Sekum MUI Propinsi Bengkulu

E-mail: syamlan2001@plasa.com

Terima Kasih!
Publikasi 06/02/2003 09:46 WIB

eramuslim - Nicodemus (32) dan Abdul Rohim (23), Anda pasti tak mengenalnya.
Seperti saya, sebelum media-media massa hari ini memberitakan jatuhnya Gondola
seberat 2 ton yang membawa dua lelaki naas itu saat sedang melakukan aktifitas rutinnya
membersihkan kaca Gedung Bank Indonesia (BI). Jatuh dari lantai 13 dan terhempas di
lantai 5 bersama dengan benda seberat 2 ton di gedung tersebut, jelas membuat keluarga
Nicodemus dan Rohim menangis kehilangan orang yang dicintainya.

Setelah kejadian naas tersebut, seolah dua nama tersebut dikenal orang, meski dalam
waktu sepekan bisa dipastikan sudah hilang oleh derasnya arus informasi di kota sebesar
Jakarta ini. Saya, seperti juga Anda tak pernah mengenal dua lelaki itu, bahkan bisa jadi
sebagian besar pegawai BI pun tak pernah mengenalnya meski hampir setiap hari mereka
hadir dan melakukan sesuatu untuk (gedung) mereka. Mungkin diantara mereka ada yang
berkata: “Ya Allah, kasihan sekali” atau “oooh... itu yang namanya Nico dan Rohim”.
Dan bisa jadi ada yang bertanya, “Yang mana sih, koq saya nggak pernah tahu”.

Ada dua hal mutlak yang ada pada diri manusia, pertama, waktu yang dimiliki manusia
itu terbatas. Dan kedua, manusia yang satu tidak akan pernah bisa hidup tanpa manusia
yang lain. Bahwa waktu yang kita miliki itu terbatas itu suatu kemutlakan yang tidak bisa
dibantah. Bukan hanya dalam hitungan jam yang tidak pernah lebih dari menjadi 25 jam
perhari, tetapi lebih jauh dari itu, setiap manusia semestinya menyadari batas waktu yang
diberikan oleh Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang akan hidup kekal, seperti halnya
bumi tempat kita berpijak ini pun akan hancur pada masa akhir nanti.

Kemutlakan kedua, setiap manusia sebenarnya tak bisa membantah hal ini, namun
terkadang tidak sedikit yang menafikan keberadaan, keterlibatan maupun partisipasi
manusia lain dalam setiap kesuksesan, prestasi, keberhasilan dan kemenangan yang
diraihnya. Nah, kaitannya dengan kemutlakan kedua inilah sedianya setiap kita
menyadari status manusia sebagai makhluk sosial yang –setidaknya- telah teringankan
sebagian besar beban hidup ini dengan adanya manusia yang lain.

Seperti Nico dan Rohim yang setiap hari membantu orang lain menjadikan pemandangan
keluar melalui jendela kantor Bank Indonesia tidak nampak kusam. Bayangkan jika tidak
ada orang seperti mereka yang mau menanggung resiko terjatuh dari lantai 13. Begitu
juga dengan para office boy yang sudah menyiapkan teh atau kopi panas di meja kerja
bahkan sebelum sempat kita duduk. Bagaimana dengan para pembantu rumah tangga
yang setiap hari melayani kebutuhan Anda dan keluarga, terbangun lebih awal dan tidur
paling akhir. Mungkin kita bisa berkilah, karena telah membayar keringat mereka, selain
juga mereka yang membutuhkan pekerjaan itu. Bahkan ada yang cukup sarkas
menganggap bahwa sudah nasib mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.

Nico dan Rohim, para office boy, pembantu rumah tangga kita, tukang sampah yang
mengangkut sampah dari rumah, sopir bus ataupun sopir pribadi, mereka mungkin tak
pernah berharap tips, imbalan atau bonus lain dari apa yang sudah menjadi hak mereka.
Mereka tak pernah iri dengan kenaikan gaji atau pangkat kita, tak pernah bermimpi suatu
saat tak lagi menghidangkan teh atau kopi panas karena mereka sangat sadar betapa
berbedanya mereka dengan kita. Tak pernah terbersit dalam benak para pembantu kita
akan menjadi majikan yang kerap dilayani. Tapi, apakah kita pernah menghargai kerja
mereka? Bahkan sekedar mengucapkan terima kasih. Ketinggian jabatan, pakaian yang
bagus dan mobil mentereng, juga status sebagai majikan, bukan alasan untuk tak sekedar
mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa mereka. Sungguh, sebagian dari kita ternyata
sudah membuktikan, ucapan terima kasih yang tulus kita alamatkan kepada mereka atas
setiap pelayanannya, cukup membuat mereka tersanjung dan merasa diri sebagai manusia
yang utuh. Dan buat kita, jangan kaget jika hanya karena ucapan ringan itu kualitas
pelayanan dan pengabdian mereka kepada kita akan lebih meningkat.

Tapi sayang, sebagian kita memang egois dan tak tahu rasa bersyukur. Bahkan sampai
orang-orang ‘kecil’ yang telah banyak membantu kita itu telah menemui kemutlakan
pertama, kita tak pernah menyapa mereka dengan kasih sayang. Masih ingatkah kita
terhadap pembantu rumah tangga yang pernah sekian tahun mengabdi? Dimana mereka
sekarang? Masih hidupkah mereka? (Bayu Gautama)

Not In My Back Yard


Publikasi 05/02/2003 08:15 WIB

eramuslim.

Not in My Back Yard

Kata-kata itu saya dapatkan saat saya mendengarkan salah satu talk show pagi hari. Not
in My back yard – bukan di pekaranganku, dengan kata lain “menjaga pekaranganku”.
Kedengarannya memang tidak terlalu berarti. Tapi, bisa juga sangat berarti –kalau kita
mau merenungkannya. My back yard– pekaranganku, apa sih pekaranganku? ada apa di
pekaranganku? apa hak dan kewajibanku atas pekaranganku, bagaimana aku
memanfaatkanya? Mengapa sih harus dijaga? dan lain-lain.

Selintas saya merenungi “my back yard” sambil mengayun kaki menikmati pagi.
Pekarangan kita –agak luas lagi- tempat tinggal kita, sebidang tanah yang kita tinggali
setiap hari. Kehidupan keluarga kita berdenyut tiap hari di situ. Milik kita, jadi apapun
bisa kita lakukan di situ. Tapi, apa iya ‘benar-benar’ milik kita? Lantas teringat saya bait-
bait puisi renungan dari Rendra,

“Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,


bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?”

Ternyata, pekarangan kita bukan milik kita, jangankan pekarangan dan rumah, ternyata
‘tubuh dan jiwa kita’ bukan milik kita, namun milik Sang Pencipta, Allahu Rabbii. Dan
kita telah berjanji bahwa sesungguhnya hidup dan mati ini untuk-Nya. Tapi, untuk apa
semua ini Kau titipkan pada kami, Ya Tuhan, apakah kami mampu mengemban amanah
ini? Astaghfirullah, sering kita merasa tak yakin, dan kurang mampu memahami bahwa
Allah menciptakan kita dengan sebaik-baiknya dan well-equipped, untuk itu diwajibkan
atas kita untuk melakukan dua fungsi utama, sebagai ‘abdun’ (hamba Allah) dan
Khalifah fil ardh (khalifah di bumi). That’s it, kita semestinya memperlakukan dan
mempergunakan segala yang di’amanah’kan kepada kita berdasarkan tatanan dan aturan
Allah.

“Apa aku sudah melakukan itu yaa?” pikirku.

Tiba-tiba brakk!! Saya menabrak kursi rusak yang dibuang di selokan. Astaghfirullah,
renungan saya terhenti. Terlihatlah oleh saya, selokan macet penuh air dan sampah,
beberapa inchi lagi airnya meluber ke jalan. Kondisi selokan itu benar-benar sangat
memprihatinkan, padahal sekelilingnya penuh dengan rumah-rumah yang bagus.
Astaghfirullah, saya ingin sekali membersihkan selokan itu mengingat musim hujan
segera datang, tapi selokan itu bukan di lingkungan rumah saya. Bisa-bisa malah
menimbulkan salah persepsi bagi yang tinggal di sekelilingnya. Spontan saya ingat
selokan depan rumah saya, di lingkungan pekarangan saya, apakah juga mengganggu
orang lain? Cepat-cepat saya pulang dan memeriksa selokan di depan rumah, ‘not in my
back yard (NIMBY)’ – bukan di pekaranganku!! Tiba-tiba saja kata-kata itu lebih berarti.

Kedengarannya NIMBY memang sepertinya ‘egois’, tapi kembali kalau kita mau
mengembangkan maknanya. Hal tersebut bisa menjadi langkah awal kita untuk
melakukan perubahan, tentunya ke arah yang lebih baik. Jika setiap orang melakukan
gerakan NIMBY, setidaknya mau menjaga dirinya, keluarganya, lingkungannya dari hal-
hal yang merugikan dan hal yang terlarang. Dari lingkungan yang kecil -keluarga,
melebar menjadi satu RT, meluas menjadi satu kampung, membahana menjadi satu
daerah, yang kemudian Insya Allah seluruh daerah di negara tercinta ini terjaga. Bumi
Allah akan terjaga. Mulai dari hal-hal yang kecil-menjaga selokan agar bersih- sampai
hal-hal yang paling besar, menjaga hati dan keimanan kita agar tetap bersih sehingga
dapat menjaga ‘amanah’ Allah. Insya Allah, diri kita, keluarga kita, masyarakat kita,
negara kita dapat terjaga dari sengsaranya musibah. Insya Allah, banjir tak akan
mengancam, narkoba tak mampu menjamah, korupsi tak lagi trendy, kemiskinan bukan
tak dapat teratasi.

Ya Allah, berilah kekuatan dan petunjuk pada kami untuk menjaga amanah-Mu dan
mewujudkan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghaffur. Amien. (Sitta Izza
Rosdaniah/sitta@rocketmail.com)

Menjembatani Langit dan Bumi


Publikasi 03/02/2003 08:54 WIB

eramuslim - Kebijakan-kebijakan pemerintah yang melakukan divestasi Indosat,


privatisasi asset-asset negara, menaikkan harga-harga BBM, Tarif Dasar Listik (TDL),
Telepon yang menyebabkan kenaikan di berbagai sektor lainnya. Semakin menegaskan
jarak antara pemerintah dengan rakyat yang jelas-jelas menolak semua kebijakan
tersebut. Rakyat berpikir, semua kebijakan pemerintah itu tak satupun yang didasari atas
kepentingan jangka panjang, atas kepentingan dan kemaslahatan orang banyak,
melainkan kepentingan sesaat yang semakin memburukkan keadaan rakyat sudah
terperosok selama sekian tahun sejak krisis ekonomi melanda negeri ini.

Kebijakan pemerintah dan harapan rakyat ibarat langit dan bumi. Yang pada
kenyataannya, selama malaikat pesuruh Allah belum meniupkan sangkakala pertanda hari
akhir, tidak akan pernah langit menyatu dengan bumi. Namun jika secara fisik keduanya
tidak bisa bertemu, bukankah masih ada harapan kesenyawaan itu tercipta ketika hati dan
pikiran orang-orang yang dilangit menjemput yang di bumi? Jika terlalu berat bagi yang
dibumi untuk menghusung hati ke atas, bukankah lebih ringan bagi yang berada diatas
untuk turun?

Penguasa yang cerdas selalu peduli terhadap pola pikir rakyat yang diperintahnya. Itulah
salah satu kunci keberhasilan suatu kepemimpinan yang paling mendasar. Saat ini,
pemerintah mempunyai pola pikirnya sendiri, sementara masyarakat juga memiliki pola
pikirnya sendiri. Memaksakan pola pikir yang satu terhadap yang lain tentulah hanya
akan melahirkan konflik. Selanjutnya, sudah pasti akan muncul berbagai praktek
kekerasan yang timbul akibat tumbuhnya benih-benih perlawanan, ketidaksukaan dan
perbedaan.
Maraknya aksi-aksi mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat akhir-akhir ini, awalnya
hanya sekedar ‘pemaksaan’ pola pikir pemerintah yang tidak sejalan dengan kepentingan
rakyatnya. Pemaksaan yang dilanjutkan dengan sikap tegas dan represif kekuatan
kekuasaan terhadap siapapun yang tidak sejalan, sesungguhnya merupakan potret awal
keruntuhan. Teori manapun yang pernah kita pelajari berkenaan dengan perubahan
mengajarkan, tidak akan pernah suatu perubahan (progresif) tercipta tanpa adanya
kesatuan antara orang-orang yang di depan dengan mereka yang memberikan
kepercayaan penuh kepada yang di depan. Membangun sebuah peradaban baru, perlu
kesatuan yang utuh antara orang-orang berpendidikan, intelektual yang dipercaya sebagai
pemimpin suatu bangsa, dengan anggota masyarakat dari bangsa itu sendiri (Ali
Syari’ati).

Masalahnya kemudian, ada kesenjangan hubungan, tidak adanya kontak dari hati ke hati
antara langit dan bumi. Sekali lagi, untuk sementara langit memang takkan pernah
menjumpai langit, tapi sejauh apapun jarak itu bukankah tetap bisa tersatukan ketika hati
dan pikiran keduanya duduk menyatu dalam satu kepentingan, dalam satu tujuan
selayaknya orang-orang terdahulu di negeri ini melakukannya saat merumuskan bentuk
dan kelahiran bangsa, ketika bahu membahu membidani perjuangan memerdekakan
negeri bernama Indonesia ini.

Semestinya setiap penguasa belajar dari sejarah, bahwa kejatuhan yang pernah dialami
oleh hampir semua pemimpin adalah saat langkahnya tak lagi seiring dengan orang-orang
yang dipimpinnya. Begitu juga dengan negeri ini, mendiang Presiden Pertama RI,
Soekarno sangat menyadari artinya rakyat bagi sebuah bangsa, pemahaman yang teramat
mendalam dari Soekarno itu tercermin dari pidatonya pada tahun 1957: “Dulu itu kita
semua adalah ‘rakyati’, dulu itu kita semua adalah ‘volks’. Api pergerakan kita dulu itu
kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala pikiran dan angan-angan kita dulu itu kita
tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu adalah satu
masyarakat adil dan makmur bagi rakyat.”

Kalaulah Allah begitu teramat sering menjumpai hamba-hamba-Nya di bumi, melihat


langsung dari dekat setiap bulir air mata ummat yang menetes di sepanjang malam.
Begitu juga dengan para malaikat (makhluk langit lainnya) yang penuh kearifan
menghampiri anak-anak Adam dan melaporkan kepada Tuhan setiap aduan, keluhan atau
bahkan jeritan ketidakberdayaan manusia menjalani hidup. Kalaulah para Nabi dan Rasul
Allah memberikan teladan bagaimana menyentuh hati rakyat, mengangkat yang jatuh,
menggandeng yang lemah dan bahkan mengutamakan kepentingan rakyat diatas semua
kepentingan diri dan keluarganya. Jika pemimpin-pemimpin di negeri ini masih
menjadikan Allah sebagai sesembahan mereka, masih percaya adanya malaikat-malaikat
yang senantiasa hadir bersamanya, dan menempatkan Rasul sebagai teladan hidup,
semestinya mereka mau turun ke bumi.

Anak-anak dalam Kepompong Jalanan


Publikasi 31/01/2003 08:55 WIB
eramuslim - Jakarta diguyur hujan, jalanan basah. Suasana pagi kelam diwarnai macet
jalanan oleh orang-orang yang berangkat kerja. Di setiap halte dan beberapa emperan
perkantoran, tampak tubuh-tubuh kecil dengan baju yang basah kuyup. Padahal di
tangannya yang kurus terpegang sebuah payung besar, lebih dari cukup untuk melindungi
tubuhnya. Namun payung tersebut tidak terkembang. Setiap saat anak-anak tersebut
mengacungkan payung kepada mereka yang baru turun dari bus atau mobil.

Satu demi satu lelaki maupun perempuan yang berjas, berdasi maupun blazer melintasi
jalan dengan pemandangan khas. Mereka menapakkan kaki hati-hati seakan takut air
yang kotor menodai pakaian mereka yang bersih dan licin di bawah payung lebar,
sementara di sisinya atau di belakang si bocah mengikuti. Tanpa payung, bermandikan
hujan! Mereka adalah bocah-bocah yang baru berumur 10 tahun ke bawah. Dengan kaos
oblong yang sudah tidak jelas warnanya, lengket di tubuh karena air hujan.

Sebuah tanya terlintas, siapa bocah malang tersebut? Di pagi hari di mana anak-anak lain
berangkat sekolah menenteng tas dan bekal, mereka hanya menenteng sebuah payung
besar. Ketika sebagian yang lain tinggal di rumah bergelung selimut tebal, ditemani
makanan dan minuman hangat, tubuh mereka menggigil kedinginan dengan perut yang
keroncongan. Di manakah ayah-bunda mereka berada?

Beberapa hari lalu, ketika siang di Jakarta bermandikan cahaya matahari yang bersinar
terik, saya naik bus kota. Bus penuh sesak. Di antara deru bus dan himpitan penumpang
tampak seorang bocah yang berusaha menyalip tubuh-tubuh besar di sekitarnya. Bocah
usia enam tahunan tersebut bermata bening, dengan penampilan yang lusuh dan kotor.
Dengan krecekan dari tutup botol dan suara cadelnya yang cempreng, ia menyanyi.

Usai satu lagu, tangan kurus tersebut mengulurkan bungkus plastik bekas permen yang
kosong. Mengharapkan kepingan logam dari penumpang yang entah mendengarkan atau
tidak. Nampaknya tidak banyak keping yang berhasil ia kumpulkan. Kemudian dengan
lincah tubuh mungil tersebut menerobos pintu dan meloncat dari bus yang masih berjalan
pelan tertahan macet jalanan. Di manakah ayah-bunda mereka?

Bagian lain Jakarta, keramaian pasar tradisional melahirkan suara hiruk-pikuk yang khas.
Di sela kesibukan berbelanja, anak-anak usia belasan tahun mengulurkan tangan
menawarkan jasa membawa belanjaan! Masih di bagian lain Jakarta, tampak anak-anak
yang mengemis, menyemir, mengelap kaca mobil, menjual makanan, menjual Koran.
Begitu mudah tertangkap mata pemandangan seperti itu di sebuah ibukota negeri
bernama Jakarta.

Mereka masih terlalu muda, tapi kekerasan hidup telah menempa mereka menjadi pribadi
yang lain. Bukan lagi dunia anak-anak yang diwarnai gelak tawa dan bermain. Melainkan
sebuah aktivitas untuk mencari sesuap nasi. Sebuah dunia orang dewasa yang terlalu
cepat mereka masuki.

Di mana busur -meminjam perumpamaan Khalil Gibran-- yang telah melesatkan anak
panah tersebut? "Engkaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur," kata
Gibran. "Sebagaimana Dia mengasihi anak panah yang melesat, demikian pula Dia
mengasihi busur nan mantap," demikian penggal puisi tentang anak yang ditulisnya.

Lalu, karena kurang mantapnya busur inikah, yang telah mengantarkan anak-anak
tersebut ke gerbang yang belum saatnya mereka masuki? Padahal begitu masuk, hanya
kerasnya hidup orang dewasa yang akan mereka rasakan. Sebagai anak panah, tentu
mereka merindukan busur yang mantap yang akan mengantar mereka pada sasaran yang
tepat dalam ukuran kemanusiaan. Sebuah keluarga dengan ayah-bunda yang penuh
kehangatan dan rezeki yang cukup.

Bila ternyata panah itu meleset dari sasaran, adakah mereka berhak menyesali?
Mengingkari :"…Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di rahim.
Dan tiada seorang pun dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal" (QS. Luqman : 34).

Mereka yang terlahir dari rahim yang kurang beruntung adalah anak-anak masyarakat.
Semestinya ada tangan-tangan yang terulur untuk membantu mereka. Tetapi di zaman ini
orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan kepompongnya sendiri. Dan anak-anak itupun
diserahkan kepada jalanan sebagai kepompongnya.

Semoga saya dan Anda tidak termasuk mereka yang dimaksudkan QS. Luqman: 18 :
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Naudzubillahi min
dzalik, semoga Allah melindungi kita, melindungi anak-anak kita, melindungi anak-anak
zaman. Mari ulurkan tangan buat mereka. (Eva Deswenti dari Yayasan Martabat,
Yayasan yang memberi santunan pendidikan bagi anak-anak dhuafa.
yayasanmartabat@yahoo.com)

Yayasan Martabat
Jl. Kali Anyar II RT 008/ RW 001 No. 3
Kelurahan Kali Anyar, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat
Telp. (021) 6346954

Ibu Indonesia
Publikasi 30/01/2003 09:11 WIB

eramuslim - Bukan sesuatu yang ringan ketika seorang ibu melepaskan anaknya
menuntut ilmu sambil mondok di sebuah pesantren. Si anak tertua yang cerdas dan masih
duduk dibangku sekolah dasar. Tidak pula sesuatu yang menentramkan hati bila seorang
ibu tak bisa lagi memandangi wajah anaknya diwaktu malam, ketika tengah pulas
tertidur. Hanya demi kepentingan masa depan buah hatinya, ia berupaya meredam rintih
sedih itu semua. Dan meyakinkan diri sekuat-kuatnya, bahwa anaknya akan beroleh ilmu
dan pengajaran dari guru yang lebih baik. Ilmu yang lebih dari yang dapat ia berikan
selama sang anak masih bersamanya.

Memang ia tak menunjukkan raut muka sedih ketika memandangi kamar baru anaknya
yang sederhana. Memperhatikan meja belajar, lemari pakaian, serta tempat tidur susun,
tempat anaknya akan tinggal bersama beberapa anak lainnya. Dia malah tersenyum saja
dan berkisah tentang hal-hal yang menggembirakan kepada anaknya sambil duduk
beriringan disisi tempat tidur. Memeluk dan meninggalkan buah hatinya di seberang
pintu gerbang, kemudian menunggu kendaraan umum yang akan mengantarnya kembali.

Namun seorang ibu tetap lah seorang wanita. Bagaimanapun ia tegar dihadapan anaknya,
tak kuasa ia menyembunyikan perasaan di depan Rabb-nya. Betapa ia kesulitan ketika
membaca Al-Qur’an selepas maghrib seperti biasanya. Tenggorokannya seakan-akan
terasa sesak, nafasnya pendek-pendek. Hingga seringkali ia bisa membaca ayat demi ayat
dalam kitab suci itu hanya dalam hati saja. Isak tangis juga sering terdengar di
keheningan malam dalam kepasrahan tahajjudnya. Saya masih ingat beberapa kata dalam
do'anya yang nyaris tak bersuara.

"Ya Allah, hambamu ini hanya lah seorang ibu yang biasa, tak ada sesuatu yang
istimewa kecuali amanah yang Engkau berikan. Wahai Dzat yang Maha Kuasa atas
segala sesuatu, hanya kepada-Mu hamba titipkan nasib dan masa depan anak-anak
hamba. Ya Allah lindungilah mereka, karuniakanlah anak-anak hamba keberkahan,
tinggikanlah derajatnya, terangkanlah pikirannya, jernihkanlah hatinya, selamatkanlah
mereka di dunia dan akhirat." Lalu ia menyebut nama suami dan anaknya satu persatu.
Dan selepas shubuh berjalanlah ia ke pasar sebagaimana biasanya, menggelar
dagangannya seperti para pedagang lainnya.

Tentu akan banyak ibu-ibu pejuang seperti itu di tanah air kita. Berjuta jumlahnya dan
terserak dimana-mana. Berpuluh tahun mereka melakoni episode kehidupan yang amat
berat untuk sebagian orang, mungkin juga kita diantaranya. Bagi mereka, kesusahan itu
sudah tak dirasakan kesusahan lagi saking biasanya. Kepedihan dan keperihan menjadi
sesuatu yang normal karena seringnya.

Kini, beban kesulitan itu akan lebih menekan lagi. Payahnya mencari nafkah, berbagai
jenis persoalan hidup yang lebih berat sudah berderet antri di depan mata. Harga-harga
barang sudah merambah naik, sementara tak ada jaminan bahwa penghasilannya mereka
juga akan bertambah. Tak ada gaji ataupun tunjangan untuk besok hari dan hari-hari
berikutnya. Yang ada hanyalah terus-menerus kerja lembur dan "mematikan" berbagai
keinginan atau kesenangan memiliki barang.

Di depan manusia mereka menjadi golongan kecil dan lemah saja. Menjadi bagian
masyarakat yang tidak penting untuk dicatat dalam sejarah bangsa yang besar seperti
Indonesia. Sebuah negeri yang banyak meyimpan cerita kemewahan para pejabat dan
pengusahanya. Cerita kejayaan pemimpin dengan kekuasaannya. Kenangan akan
kefleksibelan hukum dan peraturan yang dibuat oleh ahli-ahli hukumnya. Tapi yakinlah
bahwa itu semua tak paralel dengan senyum dan kebahagiaan sebagian besar rakyatnya.
Tidak mesti senada dengan ibu-ibu pedagang kecil yang semenjak shubuh sudah tertatih
menggendong barang dagangan. Demikian jauh perbedaan kehidupan antara rakyat dan
pejabat yang mengurusinya. Begitu lebar ketimpangan sosial orang kaya dengan rakyat
biasa.

Betapa ibu-ibu kita begitu bersih hatinya. Tak ada dendam, tak ada makian atau kata-kata
kotor lainnya. Allah Maha Tahu betapa mereka amat sulit hidupnya. Kesulitan yang
seringkali diabaikan saja oleh golongan lainnya, bahkan oleh orang-orang yang diberi
amanah untuk memimpin mereka. Orang-orang yang semestinya membantu perbaikan
nasib dan mensejahterakannya.

Betapa bangsa kita amat berhutang pada ibu-ibu mulia itu. Mungkin karena do'a dan air
mata pengharapannya, karena perih dan letih yang disimpan saja, Allah masih bersabar
terhadap kelakuan manusia lainnya di muka bumi ini. Banyak orang kadang merasa besar
dan penting, lebih berpendidikan serta berwawasan luas. Kekuasaan dan ketinggian
jabatan yang dicapai sering menjadi bandrol harga penghargaan yang harus diberikan
orang. Merasa sudah berbuat banyak dan mempunyai jasa yang tak terhingga. Hidup
sudah sedemikian melambung dan tak ingin kehilangan itu semua. Kemiskinan jadi hal
yang harus disembunyikan, kekurangan lantas menjadi pantangan dan harus dipenuhi
dengan jalan apa saja. Hilang sudah getaran iba dan rasa sayang pada orang papa dan
penuh kesusahan dalam hidupnya.

Tak pernah berusaha menemani kesedihan "wong cilik" walau sebentar saja. Menatap
seorang ibu pada suatu siang yang terik, sepulang dari pasar yang jauh dari prasyarat
kesehatan, berjalan ibu kita ini kembali dengan dagangan yang hampir utuh. Pulang
dengan menangis yang tak keluar. Dan lebih perih lagi ketika hari itu pula si sulung
datang mengharap uang untuk membayar pondok dan sekolahnya. Sungguh suatu situasi
yang menggetarkan, menatap mata duka sang ibu mulia ini.

Kalau saja pada saat itu Sayidina Umar bin Khaththab dihadirkan kembali. Tentulah akan
pucat wajah khalifah yang diridhai Allah ini, dan gemetar tubuhnya. Segemetar kala
beliau mendapati diantara rakyatnya yang kelaparan di suatu malam.

Kalau saja pada momen menggetarkan tersebut, hadir pula orang yang diberikan amanah
berupa tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib ibu kita...

din-din (mukhyidin@yahoo.de)

Kurbankan "Ismail-Ismail" Kita


Publikasi 28/01/2003 09:27 WIB

eramuslim - Jum'at, 1 Februari lalu, saya mengantarkan kawan saya suami istri yang
pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika menutup pintu pagar dan naik
ke taxi, istri kawan saya tak kuasa menahan tangisnya karena sedih meninggalkan
anaknya yang baru berusia 14 bulan di rumah yang hanya dijaga oleh pembantu, ibu, saya
dan istri saya.

Saya yang duduk di jok depan taxi hanya bisa ikut terenyuh mendengar isak tangisnya,
hingga saya dengar suaminya berkata, "Sudahlah, kita ini masih beruntung bisa
meninggalkan anak kita dalam keadaan cukup, masih ada orang-orang yang menjaganya.
Lagi pula dirumah segala macam kebutuhan anak kita sudah tersedia. Bandingkan dengan
Ibrahim yang harus meninggalkan istri dan anaknya dilembah yang tandus, tanpa
perbekalan apapun, jauh sekali. dan lagi kita ini sungguh telah diberi kemudahan oleh
Allah untuk mengunjungi Baitullah, semuanya dilancarkan, saya saja seperti mimpi
menjalani ini semua, kamu jangan sedih."

Sepanjang perjalanan saya merenungi kata-kata kawan saya tersebut, membandingkan


diri kita dengan Ibrahim 'alaihissalaam rasanya memang belum ada apa-apanya,
seringkali kita merasa begitu berat meninggalkan atau berpisah dengan orang orang yang
kita cintai.

Menjelang 'Iedul Qurban besok, satu hal lagi yang patut kita renungkan, apa yang telah
dilakukan oleh Ibrahim dahulu, bertahun-tahun ia tidak memiliki keturunan, bisa
dibayangkan bagaimana rasanya keluarga yang dibangun bertahun-tahun namun buah
hati tak juga kunjung datang, hingga kemudian ketika Allah berkehendak untuk
memberikan keturunan, lahirlah Isma'il, tentu kita bisa membayangkan kebahagiaan
Ibrahim saat itu. Namun kebahagiaan itu harus diuji lagi, tatkala Ibrahim harus
meninggalkan istri dan anak yang dicintainya itu di sebuah lembah yang jauh dan tandus,
subhanallah, bisakah anda membayangkan harus meninggalkan istri atau suami
tersayang, juga anak anak yang anda impikan dan masih bayi itu berpisah dari anda?

Saya yakin mungkin kita akan sedih atau menitikkan air mata membayangkan orang yang
paling kita kasihi harus ditinggalkan sendirian. Beberapa tahun kemudian, ketika Ibrahim
mendapat kesempatan untuk mengunjungi anak istrinya, dilihatnya Ismail sudah menjadi
seorang anak yang gagah, betapa bahagianya ayah yang bertahun-tahun tak menjumpai
anaknya dan ketika telah berjumpa anaknya telah besar dan gagah. Namun, sekali lagi
Allah tak membiarkan kecintaan ayah pada anak itu berlebihan, maka Allah berkehendak
untuk menguji cinta Ibrahim pada-Nya, disuruhnya Ibrahim menyembelih anak yang
dicintainya itu, bayangkan... coba anda bayangkan menyembelih orang yang paling anda
cintai!

Terus terang saya sendiri tak pernah sanggup membayangkannya. Ketika saya mengantar
anak teman saya untuk opname di rumah sakit beberapa hari yang lalu, saya sungguh tak
tega melihatnya meronta-ronta menangis ketika akan diinfus tangannya. Apalagi
membayangkan orang yang saya cintai disembelih, sungguh tak sanggup. Tapi itulah
Ibrahim kholilullah (kekasih Allah), cintanya pada Ismail berdiri kokoh diatas landasan
kecintaannya pada Rabbnya. Maka menyembelih anak yang dicintainya menjadi bagian
dari kecintaannya pada Rabbnya.
Dan sekarang, untuk membuktikan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, saya hanya
berpikir, sanggupkan kita mempersembahkan "Ismail-Ismail" kita di jalan Allah?
Sanggupkah kita memberikan apa-apa yang paling kita cintai untuk berkhidmat di jalan
Allah? Saya berikan tanda kutip pada "Ismail-Ismail" kita, karena bukan saja anak yang
kita cintai, apapun yang paling kita cintai sekarang ini adalah "Ismail-Ismail" kita,
sanggupkan kita mengorbankannya di jalan Allah?

Istri, suami, anak, sudahkan kita arahkan pada jalan Allah? Harta yang kita miliki,
sudahkah ianya kita infakkan dijalan Allah dan kita gunakan dengan baik? Mungkin kita
sudah menyumbang barang seratus dua ratus perak, atau seratus dua ratus ribu, tapi
berapa banyak yang kita tahan? berapa banyak yang digunakan hanya untuk hal-hal yang
remeh temeh bahkan sia-sia?

Saya pikir Allah tak hanya melihat seberapa banyak yang kita berikan, tapi juga seberapa
banyak yang kita tahan, dan seberapa ikhlas kita berikan. Cobalah kalkulasi apa-apa yang
menjadi kecintaan kita, apa apa yang menjadi "Ismail-Ismail kita", sudahkan kita sanggup
untuk menyerahkannya pada hal-hal yang Allah inginkan? layaknya Ibrahim
menyembelih Ismail karena perintah Allah?

Jika kita belum siap, atau belum pernah memikirkannya, inilah saatnya untuk membuka
Al Qur'an, cari kisah Ibrahim, teladani dan renungkanlah dengan cara membayangkan
apa yang terjadi pada Ibrahim adalah keluarga karib kerabat kita sendiri. Dan itulah
"Ismail-Ismail" kita, yang dengan rela atau terpaksa harus kita serahkan dan kita
kembalikan pada Allah Subhaanahu wa ta'ala. Wallahu a'lam bisshawab

"Katakanlah: "Jika Bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum


keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik."

from the Desk of Hilal


(hill@ratelindo.co.id)

Cinta Versus Nafsu


Publikasi 27/01/2003 14:25 WIB

eramuslim - “Maafkanlah, karena itu lebih mulia” Itulah salah satu pesan Rasulullah
yang sangat terkenal. Membalas perlakuan tak adil dan kezhaliman dari seseorang, tidak
dilarang. Namun tentu ada alasan yang sangat khusus mengapa Rasul menganjurkan
ummatnya untuk memberikan maaf kepada orang zhalim.

Mari kita lihat ulang soal maaf memaafkan ini. Perintah Allah berkenaan dengan “maaf”
ini termaktub dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 134: “... dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang”. Menahan amarah dan
memaafkan kesalahan orang lain, merupakan dua dari ciri orang yang bertaqwa.
Nampaknya seperti sesuatu hal yang sangat sepele, dan tak sedikit orang yang
menganggap itu sebagai hal biasa yang teramat mudah. Padahal, sungguh teramat berat
untuk bisa melakukannya, jika bukan karena seseorang itu telah memiliki kebersihan hati
dan ketulusan cinta kepada Allah Swt.

Ada satu hadits yang termasuk dhaif, namun dalam hal ini bisa diambil hikmahnya. Usai
perang Badr yang terkenal sebagai salah satu perang terbesar dalam sejarah Islam,
seorang sahabat mengatakan, “Kita baru saja melakukan peperangan terbesar” Kemudian
Rasulullah berkata: “Tidak, perang terbesar adalah perang melawan hawa nafsu”. Meski
terbilang hadits dhaif, tak ada salahnya jika kita sepintas “sepakat” bahwa mengendalikan
hawa nafsu tidaklah ringan. Kalaulah kita mau membuka catatan sejarah perjalanan hidup
manusia, betapa hawa nafsu sudah terlalu sering mengalahkan manusia, bahkan sejak
manusia pertama diciptakan.

Adam alaihi salam yang telah diberikan limpahan nikmat oleh Allah berupa kesenangan
dan kebahagiaan hidup di surga yang tak berkekurangan. Masih ditambah nikmat itu
dengan dihadirkannya Hawwa sebagai pelengkap hidup yang membawa kedamaian dan
ketentraman. Cukupkah Adam? Ternyata tidak. Syetan menggelincirkan dua manusia itu
hanya dengan rayuan buah keabadian yang dihembuskan syetan. Adam (juga Hawwa) tak
mampu membendung nafsunya untuk tidak menyentuh buah “terlarang” tersebut.
Berlanjut kepada keturunan Adam, Qabil tega membunuh saudara kandungnya sendiri
Habil demi mendapatkan calon istri Habil yang lebih cantik.

Sejarah juga mencatat nama-nama lain dari zaman ke zaman, Fir’aun dan sederet nama
haus kekuasaan di muka bumi ini akan selalu menjadi catatan hitam keserakahan
manusia. Begitu juga dengan Qarun dan sejumlah nama orang-orang yang rakus harta.
Seiring bergulirnya masa, nafsu manusia pun terus berkembang dan semakin tak
terkendalikan. Sedikit punya kuasa, ingin punya harta dan kemudian wanita. Terus dan
terus meningkat, ingin meningkatkan kekuasaannya, melebihkan hartanya dan
memperbanyak wanitanya. Tidak berhenti sampai disitu, kenikmatan dunia yang telah
memalingkannya dari Allah membuatnya cinta akan dirinya, cinta akan dunianya. Dan itu
akan melambungkan dirinya kepada kesombongan, dan mengagungkan harga diri yang
diukur dengan parameter kekuasaan, kekayaan, kecantikan, ketampanan dan ukuran
materi lainnya.

Hingga saat ini, takkan pernah terhitung jumlah orang-orang yang pernah terjerumus dan
akhirnya jatuh oleh karena memperturutkan nafsunya. Namun demikian, jangan lupa
bahwa sejarah pun mencatat dengan tinta emas orang-orang yang menang melawan hawa
nafsunya. Orang tentu tak akan lupa dengan nama Yusuf alaihi salam yang menampik
rayuan Zulaikha yang cantik jelita, Ali bin Abi Thalib yang urung menebas leher
musuhnya setelah sang musuh meludahi wajahnya. Alasannya, ia tak ingin amarah dan
nafsunya yang menjadi alasan utama saat ia menghujamkan pedangnya. Siapa yang tak
ingat betapa besar kecintaan Abu Bakar kepada Allah dan rasul-Nya sehingga
menginfakkan semua harta miliknya hingga tak tersisa untuk perjuangan Islam.
Manusia bisa menjadi sangat mulia karena menahan dan mengendalikan nafsunya.
Sebaliknya, manusia mulia pun akan teramat hina dan menjijikkan ketika sedetik saja tak
kuasa mengendalikan nafsu. Sebagai contoh, amarah, yang merupakan satu bagian kecil
dari semua hawa nafsu yang ada pada diri manusia, akan sangat berpotensi membuat
seseorang menjadi sangat hina. Orang yang tak dapat mengendalikan amarahnya, akan
terlihat seperti orang bodoh, bahkan gila. Dan ujungnya, bisa dipastikan adalah
penyesalan.

Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan sejumlah peristiwa lain yang terjadi di


muka bumi ini, sumber utamanya adalah nafsu yang tak terkendali. Oleh karenanya,
jangan pernah menyepelekan pentingnya menata hati, membersihkan jiwa dan
mengendalikan diri. Karena bukan tak mungkin, pada saat lengah, orang baik dan mulia
pun bisa tersungkur oleh sebab nafsu yang tak terkendali itu.

Soal memaafkan misalnya, kenapa hanya dengan memaafkan manusia menjadi lebih
mulia? Jawabannya tentu sudah menjadi jelas sekarang. Ketika seseorang
memperturutkan nafsunya dan tak mempu menahan amarahnya, saat itulah pintu terbuka
bagi masuknya syetan ke dalam hati manusia untuk terus memanasi setiap relung di
dalamnya. Hingga pada hitungan detik berikutnya, saat api amarah menyala, tak pelak
lagi balasan terhadap perlakuan orang lain yang dilakukan biasanya jauh lebih besar, dan
lebih menyakitkan. Disinilah syetan berperan menciptakan ketidakadilan, dan kemudia ia
juga yang menghembuskan aroma ketidakadilan tersebut kepada lawannya untuk
membalas kembali ketidakadilan itu dan seterusnya. Pada akhirnya, syetan akan tertawa
melihat dua anak, dua kelompok manusia saling baku hantam.

Padahal, kalau saja ia mau memaafkan kesalahan (atau kezhaliman) orang lain, sikap itu
tentu tidak akan menjatuhkan derajatnya dimata orang yang menzhaliminya. Seperti
halnya Rasulullah yang kerap memaafkan orang yang meludahinya setiap hari, derajatnya
tak pernah jatuh sekalipun ia justru menjadi orang yang pertama menjenguk ketika si
peludah itu menderita sakit.

Itu baru sekedar masalah maaf memaafkan, bukankah jauh lebih mulia orang-orang yang
tak serakah harta, mereka yang tak ambisi kekuasaan dan jabatan, juga pria-pria dan
wanita yang tak memperturutkan syahwatnya pada jalan yang halal? Adakah yang lebih
mulia dari orang-orang yang mampu menahan dan mengendalikan nafsunya karena takut
kepada Allah?

Hawa nafsu, dari yang kecil seperti bangga diri, tak mampu menahan amarah serta tak
mau memaafkan kesalahan orang, sampai yang besar seperti rakus harta, kekuasaan dan
juga nafsu syahwat. Semuanya adalah karena kelengahan kita yang membiarkan pintu-
pintu hati ini terbuka bagi masuknya syetan yang memang senantiasa menantinya celah
kelengahan manusia.

Cinta yang tulus kepada Allah akan membuahkan cinta dan kasih sayang yang juga tulus
dari Allah kepada hamba-Nya. Dan dengan cinta dan kasih sayang yang Allah tanamkan
itulah, manusia mencintai, mengasihi juga menyayangi sesama makhluk. Jika yang
demikian yang dimiliki oleh manusia selaku hamba Allah, tidak akan pernah cinta
berubah menjadi amarah, tak akan pernah kasih dan sayang tertandingi oleh ganasnya
hawa nafsu. Orang yang marah hanya karena kekhilafan manusiawi orang lain, berarti ia
hanya mencintai dirinya sendiri. Salah satu parameter orang yang mencintai dirinya
sendiri adalah, terluka, terhina, atau menaruh dendam terhadap orang yang menyakitinya,
menzhaliminya, atau mengkhianatinya. Hamba yang dipenuhi hatinya dengan kasih tulus
dari dan karena Allah, tidak akan ada ruang kosong dalam hatinya untuk rasa benci,
amarah, apalagi dendam. Jika untuk hal kecil saja tak ada ruang, apatah lagi untuk nafsu-
nafsu besar lainnya.

Seandainya David J Schwartz adalah seorang muslim, tentunya dia akan menjadikan
Rasulullah dan sederet nama-nama yang memenangkan hawa nafsunya sebagai refrens
dalam bukunya yang amat terkenal, “Berpikir dan berjiwa besar”.

Selain terus menanamkan cinta tulus kepada Allah, sejatinya kita senantiasa menjaga agar
hati ini terus terlindungi agar tak kotor, agar tak terbuka celah masuknya syetan yang
menggerogoti benteng-benteng ketegaran di dalamnya. Menentramkan hati dengan dzikir
(mengingat Allah) sebagai bukti cinta seseorang terhadap Dzat yang dicintainya, adalah
terapi yang tak terbantahkan setiap orang yang mendambakan ketenangan hidup. Selain
dzikir, qona’ah dan ikhlas dalam menjalani hidup semestinya juga menjadi modal utama
ditengah ganasnya terpaan nafsu yang terus dipanas-panasi oleh syetan.

Setelah itu, tak ada lagi yang menjadi kepuasan dari seorang hamba di dalam hidupnya
ketika kelak mengakhiri hidup tetap dalam kemuliaan. Sehingga meski tak sedikitpun
terbetik niat mengukir nama dalam sejarah manusia yang memenangkan pertarungan
melawan hawa nafsu, siapapun yang mengenalnya akan tetap menjadikannya figur dan
teladan yang pantas untuk diikuti jejaknya, jika ingin mendapatkan kemuliaan dihadapan
Allah. (Bayu Gautama, thanks 4N)

You Are What You Think You Are


Publikasi 23/01/2003 07:52 WIB

eramuslim - Di perut kereta rel listrik dalam perjalanan Depok-Jakarta, siang itu, sekitar
14.30 wib, muncul sekelompok pengamen cilik dengan segala atributnya. Sembari
mengucap salam, dentam musik mereka membangunkan sebagian besar penumpang yang
terserang kantuk. Lalu mengalirlah lagu-lagu lawas bernada gembira, serasa membawa
nuansa angin segar pada siang yang cukup suntuk dan gerah.

“Oo... Carol….

Gitar, gendang, kecrekan dan lengkingan suara bocah 9 tahun-an itu terdengar begitu
riang. Tanpa sadar menarik senyum dan hentakan kaki tiap penumpang KRL yang ada.

Seolah tanpa lelah, bocah-bocah itu membawakan 3-4 lagu, hingga ketika bait terakhir
nyaris usai, 2 orang mahasiswa yang sejak awal begitu menikmati sajian mereka,
berteriak lantang, “Lagi! Lagi!”. Dan temannya menimpali, “We want more! We want
more!”.

***

Kawan, terkadang hidup ini terasa begitu berat. Jam kerja yang padat, jadwal kuliah yang
penuh, kognitif yang tertekan oleh ujian-ujian, ulah anak-anak yang banyak tingkah,
kepenatan yang menumpuk, amanah yang tak habis-habis dan tak kunjung selesai, dan
segala problematika kehidupan lainnya, terasa begitu membuat tertekan.

Tapi, mari kita tengok dan renungkan sejenak.

Lihatlah wajah-wajah bocah pengamen cilik tadi yang begitu riang gembira, tetap
menghibur orang lain meski tak pernah tahu apakah sukacita dalam dirinya telah cukup
melebur. Mereka hanya bernyanyi, dan itu mereka lakukan dengan demi segenggam
logam dan recehan. Dan mereka perbuat semua itu demi mempertahankan hidupnya;
mungkin untuk makan, mungkin untuk membayar biaya sekolah yang semakin tidak
memanusiawikan rasa, atau mungkin hanya untuk setoran kepada ‘atasan’. Sekali lagi,
segala sesuatunya itu dilakukan tanpa keluhan, apalagi duka.

Tapi kita, Kawan…


Kita yang mungkin telah bekerja dengan sangat nyaman di ruangan ber-ac, yang mungkin
telah cukup santai belajar di perguruan tinggi atau sekolah yang kadang tidak pantas
disebut layak sebagai tempat menimba ilmu, atau yang mungkin telah berpenghasilan
tetap tiap bulannya, yang mungkin tengah sibuk berkutat dengan agenda-agenda ummat,
berda’wah, mengajar, mengisi forum-forum kajian, berjibaku dengan berbagai amanah,
atau apapunlah namanya.

Terkadang masih juga mengeluh dan meratap. “Gaji kecil apanya yang menyenangkan?”,
“Dosen killer gimana mau nyaman belajar?”, “Materi segudang gimana mau siap ujian?”,
“Murid sedikit dan jarang datang, gimana mau semangat?”, “Makanan itu-itu melulu,
gimana mau sehat?”, “SDM sedikit, gimana da’wah mau berhasil?”…. dan berjuta
keluhan yang kita lontarkan setiap detiknya.

Padahal Kawan, dibandingkan bocah-bocah pengamen tadi, kita jauh lebih beruntung.
Ada lembar-lembar rupiah yang tiap bulannya kita terima, ada materi-materi kuliah yang
dosen kita ajarkan, ada istri yang siap menyambut dengan cinta dan senyuman,
memasakkan makanan, membenahi rumah dan mencucikan pakaian, ada objek-objek
da’wah yang dengan adanya mereka, ladang pahala siap dialirkan, ada setumpuk amanah
yang jika ditunaikan, akan memberatkan timbangan amal kebajikan, ada buah hati yang
siap menghibur perasaan dengan kepolosannya yang menggemaskan, dan berjuta lagi
kenikmatan yang mungkin justru seringkali kita anggap beban.

Kawan, bukan kesyukuran yang ingin diangkat dalam tulisan ini. Tapi yang ingin
ditekankan disini bahwa imajinasi kita-lah penentu segala hal yang kita terima.
Ketika mungkin gaji kecil yang kita peroleh, kita persepsikan sebagai suatu rezeki dari
Allah, tentu kita tak akan banyak mengeluh. Ketika ada dosen 'killer' mengajar, kita
persepsikan sebagai cambuk untuk giat belajar, mungkin kita akan selalu bersemangat.
Ketika para murid yang jarang hadir, kita persepsikan sebagai akibat dari kekurangan kita
dalam membawakan materi (pelajaran) misalnya, mungkin kita akan senantiasa
termotivasi untuk memperbaiki diri. Ketika amanah yang bertumpuk dan datang bertubi,
kita persepsikan sebagai kesempatan ‘tuk meraih pahala sebesar-besarnya, mungkin tak
ada lagi wajah-wajah tertekuk dan cemberut. Ketika pelayanan istri yang ‘begitu-begitu
saja’, kita persepsikan sebagai latihan untuk qona’ah dengan apa yang ada, mungkin
rumah tangga akan senantiasa terasa tenteram. Ketika tingkah polah dan kenakalan para
bocah yang mengesalkan, kita persepsikan sebagai ajang untuk melatih kesabaran,
mungkin kita akan menjadi orangtua yang begitu dicintai putra-putrinya. Ketika hanya
ada segelintir SDM di lingkungan kita untuk berda’wah, kita persepsikan sebagai
pembelajaran dari Allah dan peluang ‘tuk meraih imbalan-Nya yang lebih besar, mungkin
tak akan ada lagi berbagai keluhan.

Begitulah, Kawan.
Ternyata persepsi kita, cara pandang kita, paradigma kita dalam mengolah kognisi dan
rasa jiwa, begitu menentukan sikap kita dalam menjalani kehidupan. Seperti bocah-bocah
pengamen tadi. Mereka mempersepsikan kerja keras menghibur orang sebagai suatu
keriangan, senyuman, keceriaan, dan rasa sukacita tanpa setitik pun duka. Padahal
mereka tidak tahu apakah dengan berlaku seperti itu, mereka cukup dapat memenuhi
tuntutan kehidupan yang bisa jadi jauh lebih berat dari kehidupan kita sekarang.

Ya, sebab persepsi mereka membahasakannya sebagai suatu kepositifan, bukan hal yang
menyebalkan dan menambah beban.

Kawan, ada pepatah barat yang mengatakan, You Are What You Think You Are (Kita
adalah apa yang kita pikirkan), maka mengapa kita tidak mencoba mengubah pola pikir
kita, persepsi-persepsi kita, untuk menjadi lebih positif dan memandang segalanya
sebagai hal yang bukan beban? Jika kita telah berpersepsi demikian, maka insya Allah,
kehidupan adalah kenikmatan yang harus kita syukuri setiap detiknya, dan kebahagiaan
hakiki pun dapat terasakan oleh jiwa-jiwa yang ikhlas lagi lapang.

Nah Kawan,
Matahari belum terbit di sebelah barat dan belum tenggelam di sebelah timur bumi.
Semoga Dia berkenan memberi kita kesempatan untuk terus memperbaiki diri dalam
menghadapi perjalanan yang sangat sebentar ini, salah satunya dengan mempersepsikan
segala yang terjadi dalam sebuah kepositifan berfikir, sehingga kita ‘kan terus bersyukur
kepadaNya, dalam keadaan apapun. Bagaimana? (indra fathiana,
psychofath@yahoo.com)

Masih Lebih Mudah Bagi Kita


Publikasi 22/01/2003 07:49 WIB
eramuslim - Seperti yang sudah saya duga. Sekeping gopekan keluar lagi dari jendela
mobil. Penasaran saya makin betambah. Ini bukan yang pertama kali. Sering. Teramat
sering malah. Tapi apa alasannya? Sulit bagi saya untuk mengerti. Mereka bukan tak
bisa. Hanya kurang berusaha saja. Memberi uang sama artinya dengan memberikan
persetujuan dan pembenaran. Sedangkan kita sudah selayaknya memberikan pelajaran.
Kenapa dia harus selalu memberi? Tanpa pernah memilih lagi.

Dulu. Pertama kali saya menjadi anak buahnya. Seorang penjual pengharum ruangan
masuk ke kantor. Meskipun di pintu depan sudah tertulis besar-besar "PARA
PEDAGANG DAN PEMINTA SUMBANGAN DILARANG MASUK". Tetap saja tiada
hari tanpa pedagang keliling dan peminta sumbangan di kantor ini. Entah mereka sudah
bebal atau kebal, saya juga tidak tahu.

Penjual pengharum itu berkeliling ke meja-meja pegawai, menawarkan dagangannya.


Sebagian cuek, sebagian lagi menolak dengan halus. Ada pula yang menawar, tapi
akhirnya tidak jadi membeli. Ketika para pedagang itu sampai di meja si bapak, tanpa
banyak kata, si bapak mengambil beberapa buah barang dagangannya dan membayar
tanpa menawar.

Beberapa kali kejadian semacam berulang. Si Bapak hampir selalu membeli barang
dagangan setiap pedagang yang masuk ke ruangan kami. Pernah suatu saat saya bertanya
kenapa beliau suka membeli barang dari para pedagang yang ke kantor. "Siapa lagi yang
akan membeli kalau bukan kita? Sudah terlalu banyak yang berbelanja di mall. Biarlah
saya berbelanja pada mereka", begitu jawab beliau.

Namun ternyata bukan hanya itu. Kalau membeli barang dagangan, sebagaimana
alasannya di atas, saya bisa menerima dan mengerti. Tapi ternyata dia juga selalu
memberi kepada para peminta sumbangan yang bergantian datang ke kantor kami.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa tak semua peminta sumbangan itu benar-benar
peminta sumbangan untuk masjid, anak yatim piatu atau sejenisnya. Banyak dari mereka
yang menggunakan metode peminta sumbangan untuk menghidupi diri. Dan saya pernah
mengingatkan bapak ini tentang hal itu. Tapi ia tak berkomentar.

Beberapa hari terakhir, beliau hampir selalu memberikan koran harian pada saya. Beliau
tahu saya suka membaca.

"Saya tak butuh koran itu," kata beliau.


"Lantas mengapa membeli?" tanya saya.
"Karena saya tahu tak banyak orang yang membeli koran dari tukang koran seperti dia,".
Itu jawabnya.

Dan kini? Ini sudah kesekian kali, ketika saya satu mobil dengan beliau karena ada tugas
keluar kantor. Peristiwa yang sama terjadi kembali. Beliau memberi uang kepada setiap
peminta-minta di jalanan, baik yang memang terang-terangan meminta-minta,
mengamen, polisi cepek maupun yang setengah memalak dengan 'berorasi'.
Kali ini saya tak lagi bisa diam. Menurut saya apa yang beliau lakukan tidak mendidik,
membuat mereka makin malas, tak mau bekerja keras dan mengharapkan uluran tangan
seperti ini. Setidaknya, kalau mau memberi, hendaknya kita pilih-pilih, mana yang
tampak betul-betul membutuhkan. Atau, kalau mau berinfak kenapa tidak melalui
lembaga yang benar-benar dapat dipercaya akan menyampaikan amanah kepada yang
benar-benar berhak? Saya memberondongnya dengan sebuah argumentasi panjang.

"Saya tak yakin dengan tidak memberi akan mendidik mereka. Semestinya ada orang-
orang yang aware dengan program penyadaran itu. Tugas merekalah yang menyadarkan.
Sedang saya, hanya ini yang bisa saya lakukan. Mungkin mereka memang tak sungguh-
sunguh miskin, bisa jadi mereka hanya malas. Tapi saya yakin, jika mereka bisa semudah
kita mencari rizki, mereka tak akan melakukan itu semua. Jika karena tak ada yang mau
memberi mereka kelaparan, lantas kepada siapa mereka meminta. Kemana mereka
mencari? Sedang kita? Kalaupun harta kita habis karena mereka, setidaknya masih lebih
mudah bagi kita untuk mencari lagi dengan bekal kemampuan yang diberikan Allah pada
kita."

Urain panjang lebarnya membuat saya tertegun. Masih lebih mudah bagi kita. Ya, masih
lebih mudah bagi kita mendapat rezeki dibanding para tukang koran. Masih lebih mudah
bagi kita mencari penghidupan dibanding para pedagang asongan. Masih lebih mudah
bagi kita mencari makan dibanding para pengamen jalanan. Masih lebih mudah bagi kita
meminta bantuan teman, dibanding mereka, gelandangan tak berkawan. Masih lebih
mudah bagi kita. (azimah rahayu, azi_75@yahoo.com)

Karena Bintang Pun Bercahaya


Publikasi 20/01/2003 09:11 WIB

eramuslim - Sesekali pandanglah langit di malam hari. Kalau tidak mendung, kita bisa
melihat betapa indahnya kelap-kelip bintang menghiasi langit. Ada yang terlihat terang
ada yang terlihat meredup. Ada yang terlihat berwarna jingga, ada yang terlihat berwarna
biru, ada yang terlihat putih. Semuanya membuat indah walaupun kita sedang di dalam
suasana kegelapan malam.

Tahukah Anda bahwa sebetulnya cahaya bintang-bintang yang kita lihat saat ini bukan
merupakan cahaya yang sebenarnya pada saat ini dipancarkan dari bintang-bintang itu.
Bintang-bintang itu sama seperti matahari kita, juga memancarkan cahaya ke bumi.
Cahaya itu sampai ke penglihatan kita setelah menempuh waktu yang amat sangat lama.
Cahaya itu menempuh jarak dalam satuan tahun cahaya (light year). Kalau biasanya kita
menghitung jarak dengan meter, inci, dan lainnya, astronom menggunakan satuan tahun
cahaya untuk menghitung jarak yang sangat jauh. Satu tahun cahaya adalah jarak yang
ditempuh oleh cahaya dalam satu tahun.

Sedikit angka-angka, kecepatan cahaya dalam ruang hampa adalah sekitar 300,000
kilometer per detik. Sehingga dalam satu tahun cahaya berarti mempunyai jarak
9,460,800,000,000 kilometer, hmmm... sungguh jarak yang luar biasa jauh. Ibaratkan
seseorang yang menempuh perjalan sejauh itu, tentu akan memakan waktu yang sangat
lama. Demikian pula dengan cahaya dari bintang yang jaraknya bisa sampai ratusan
tahun cahaya. Misalnya bintang Alkaid mempunyai jarak sekitar 101 tahun cahaya dari
bumi. Berarti cahaya yang kita lihat dari bintang Alkaid sekarang merupakan pancaran
cahaya dari 101 tahun yang lalu. Jadi kita melihat cahaya dari masa lampau. Subhanallah.

Selain itu, sebagaimana matahari yang suatu saat nanti tidak lagi beraktivitas, semua
bintang mempunyai umur hidup yang menentukan pancaran cahaya yang diberikannya.
Beberapa bintang sebetulnya bintang itu sudah tidak ada... sudah mati... sudah tidak
beraktivitas lagi, tetapi saat ini kita masih bisa melihat pancaran cahayanya. Subhanallah.

Kita diberi Allah suatu keajaiban. Di satu sisi, kita diberi alam semesta yang amat sangat
luas, sehingga perlu memakan waktu yang sangat lama untuk mengeksplorasinya. Di sisi
lain, kita diberi kemampuan untuk melihat masa lampau dari alam semesta ini, melalui
cahaya bintang tadi. Melalui cahaya bintang itu, kita bisa mengukur seberapa jauh bumi
kita ini dengan bintang lain. Melalui cahaya bintang itu, kita bisa menggunakannya untuk
menghitung berapa lama lagi matahari akan meredup dan menjadi mati.

Sama halnya dengan bintang, manusia pun diberi waktu hidup. Nabi Muhammad pernah
berkata, bahwa kita ini mempunyai umur sekitar 60-70 tahun. Dalam kurun waktu itu,
kalau boleh diandaikan dengan bintang, merupakan waktu dimana kita memancarkan
cahaya. Waktu dimana kita bisa memberikan yang terbaik untuk kemaslahatan umat dan
mencari ridho Allah. Setelah kita wafat nanti, seperti bintang di langit, kita akan meredup
dan tidak beraktivitas lagi.

Seperti bintang, 'cahaya' dari diri ini masih bisa terus hidup. Cahaya dalam diri ini masih
bisa hidup jika amalan yang kita kerjakan bermanfaat bagi umat. Amalan yang baik dan
digunakan terus menerus oleh umat akan selalu membuat diri kita yang sudah wafat tadi
masih terus dikenang. Lihatlah nama-nama Newton, Einstein, Galileo dan tidak
ketinggalan ilmuwan dan tokoh muslim seperti Imam Bukhari, Al-Khawarizmi, Ibnu
Sina, dan masih banyak lagi yang lain. Mereka tetap dikenang, karena 'cahaya' dari
mereka yaitu amal perbuatan mereka berguna bagi umat ini.

Apa saja yang sudah kita lakukan? Cukupkah dalam umur begitu pendek, kita
mengisinya dengan amalan yang baik? Cukupkah amal yang kita kerjakan membuat
'cahaya' yang kita berikan bertahan? Tinggal bagaimana kita menggunakan waktu kita
untuk berbuat baik, sehingga 'cahaya' dari diri kita ini dapat terus menerus menerangi
kehidupan orang lain sampai saat ini, walaupun kita sudah wafat.

"Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah
sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan
sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah." (Qur'an Al Mulk:1-4)
Wallahu'alam bi shshawab

Zulfikar S. Dharmawan
(zulfikar@ukhuwah.or.id)

Tuhan, di Dada-Mu Kutemukan Kedamaian


Publikasi 17/01/2003 08:08 WIB

eramuslim - Ya Rabbul Izzati, sekian lama aku mengembara mencari cinta. Terperosok
aku dalam kubangan rindu bersulam palsu. Pedih jiwaku, gersang ragaku. Tapi aku tak
pernah berhenti memadu rindu, karena ku tahu cinta sejatimu adalah musim semi dalam
jiwaku.

Allah, kuberharap pengembaraan cintaku membawaku pada sebuah taman. Menuju ke


sana, kulalui dengan tertatih-tatih. Kadang terpikir olehku untuk menuntaskan jalan itu
agar aku segera sampai. Tapi yang kutemui hanyalah taman yang gersang dan tandus di
bawah panasnya terik matahari yang menyiksa jiwaku.

Rabbku, telah kupenuhi panggilan-Mu, membawa tubuh ringkih ini melewati jalan yang
Kau kehendaki. Telah kucoba melepas segenap yang aku mampu untuk mengatasi
beratnya medan yang menghalang. Telah coba kuatasi sedapatnya panasnya hari-hari
kulewati.

Namun ampuni aku ya Rabbi. Betapa seringnya hamba tertegun ragu, untuk melanjutkan
perjalanan yang panjang ini. Semuanya memang dikarenakan kelemahan hati ini yang
masih saja berharap mencicipi kenikmatan duniawi.

Kinipun hati yang peragu ini masih diguncang gundah. Akankah Kau terima buah karya
tangan lemah ini? Akankah Kau hargai, apabila saat ini hatiku masih juga mengharapkan
wajah lain selain wajah-Mu. Jika masih juga kunanti senyum lain selain senyum-Mu.
Juga masih kudambakan pujian selain dari pujian-Mu. Betapa semakin berat
persangkaanku akan kesia-siaan amalanku, jika kuingat Engkau Maha Pencemburu!!!

Rabbi, bukan tak ingin aku istiqomah melewati hari-hari. Bukan tak hendak aku sabar
menanti janji-Mu. Namun Rabbi, apakah salah jika aku menyandarkan diri pada dinding
lain dalam sebuah bangunan Islam-Mu? Angkuhkah aku yang lemah ini Rabb? Salahkah
aku yang dhoif ini Rabb?

Namun Rabb, lagi-lagi Kau didik aku dalam kealpaan mimpi semuku. Kau dekap aku
dalam belaian tarbiyah yang telah banyak mengajarkan aku banyak hal. Tak sanggup
kubendung air mata keharuan atas semua belaian ini. Karena aku tahu, tidak semua
hamba-Mu Kau perlakukan sama seperti aku. Tersibak juga tirai kelam yang senantiasa
menyeret langkahku menjauh dari-Mu, sungguh aku bersyukur atas semua ini. Aku sadar
tidak sama pejuang dengan perintang, Kembali ku ingat sebait doa yang pernah kurenda,
tentang sebuah janji yang telah kupatri, tentang azzam yang kutanam dan juga segala
amanahku. Mengingatnya, semakin deras air mata ku mengalir, semakin kuat dan kokoh
kakiku melangkah. Ternyata tanggung jawab itu besar berada di pundakku.

Rabbana, kekuatan apakah gerangan ini, yang mengantarkan kakiku ke dada pelangi.
Jauh melesat meninggalkan bayang-bayang. Bergerak bagai awan putih merindukan
terang. Kadang kala kabut pekat yang kutemui. Langkahkupun seolah terhenti. Namun
aku tidak mau terjebak di dalamnya, sekuat tenaga kucoba berlari, tapi langkah kaki
kecilku berpacu dengan nafsu yang menahan jiwaku. Aku bergumul seorang diri,
mulutku berteriak, namun suaraku bersembunyi. Beruntung aku masih punya nafas, yang
bisa kudendangkan tatkala hatiku sunyi. Dengan nafas itu aku berjalan di atas bumi.
Menuntun hamba-hamba-Mu yang mendambakan cinta sejati.

Rabb, apakah ini jawaban setiap doa-doaku? Agar Engkau sertakan aku di dalam barisan
para salafussholeh?. Apakah ini jawaban setiap rintihanku, agar Engkau jadikan setiap
nikmat yang ada pada diriku sebagai mahar yang akan aku persembahkan pada-Mu?

Oh Rabbi, ampuni atas segala kelemahan imanku, bimbing aku melewati jalan orang-
orang bernyali singa, namun aku cukup arif menyadari Rabb, siapalah aku ini, betapa diri
ini tak layak disejajarkan dengan mereka. Siapalah aku ini dibandingkan mereka yang
senantiasa bersimbah peluh dan debu untuk membuktikan kecintaanya kepada-Mu?
Betapa lancangnya aku mengukur diri dengan mereka yang menghabiskan malam-
malamnya dengan sujud tersungkur mengharapkan ampunan dan cinta-Mu.

Ya Rabbana, kesimpulan dari riak-riak hatiku ini, aku ingin sampaikan terima kasihku
kepada-Mu. Walaupun syukur dan taubatku sering mungkir, namun lautan kasih sayang
dan ampunan-Mu kuyakini tak pernah bertepi

Ya Muhaimin, untuk yang kesekian kalinya, kuucapkan terima kasih yang tak terhingga,
atas segala cinta dan pelabuhan rindunya. Kau adalah musim semi dalam relung jiwaku.
Dalam pangkuan-Mu, terhimpun seluruh kekuatanku, dengan kekuatan itu tanganku
memainkan melodi, mulutku menyanyi lagu syurgawi. Izinkanlah ya Allah aku menjadi
penyambung cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.

Allah, Walaupun aku tak layak mensejajarkan diri, tapi aku ingin katakan, tarbiyah telah
merubah diriku, melesat meninggalkan angan-angan hampa, bayang-bayang semu, serta
dongeng yang tak memiliki cerita. Dalam dekapannya runtuh keangkuhanku, sirna
kesombongnnku, lenyap sifat jahiliyahku. Yang ada saat ini bagaimana membentuk diri,
seperti yang Engkau kehendaki ...

Rabbi, di dada-Mu kupasrahkan kehidupan, di sana kutemukan kedamaian yang abadi,


sujudku tak akan pernah merenggang, jemariku kan terus kususun, bibirku akan terus
bergetar, memohon agar senantiasa Kau beri aku kebahagiaan, karena memang hanya
dari-Mulah sumber kebahagiaan. (Yesi Elsandra, inspirasi dari sebuah tulisan di majalah
Ishlah)
Menikmati Hidup
Publikasi 16/01/2003 08:27 WIB

eramuslim - Kawan, ingin kuceritakan padamu indahnya menggenjot pedal sepeda


membelah persawahan, menempuh jarak 5 sampai 10 kilometer. Angin segar menerpa,
cicit burung dan lenguhan kerbau mengiringi setiap putaran roda. Kehijauan sawah
sepanjang mata memandang, berbatas cakrawala langit yang biru dengan saputan awan
putih di ketinggian. Sebenarnya semua itu biasa saja, karena aku anak desa. Tapi
sungguh, keindahan itu menjadi terasa lebih indah karena lima tahun terakhir aku nyaris
tak lagi menyentuh sepeda onthel. Ya, lima tahun terakhir aku lebih banyak naik motor
atau menggunakan kendaraan umum. Bahkan ke warung tetangga berjarak dua ratus
meter pun selama ini aku tak mau lagi naik sepeda.

Indah karena sambil menggenjot pedal aku mengenang masa-masa sebelum lima tahun
yang lalu. Saat tiap hari aku menempuh puluhan kilometer di atas sepeda jengki atau
sepeda mini, bersaing dengan bis kota di atas sadel sepeda. Bermandi peluh saat matahari
siang bolong panas membakar, atau bernafas embun saat kabut pagi masih melingkupi.
Kini, lima tahun kemudian, aku naik sepeda hanya sebagai selingan, sekedar sarana untuk
berolahraga dan berekreasi.

Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?

Kawan, ingin kuceritakan padamu nikmatnya mengurus ternak. Mencari dan memberi
makan ayam, bebek dan kambing. Juga membersihkan kandang mereka dari ranting-
ranting sisa makanan, juga dari kotorannya. Bau khas ayam, serudukan kambing dan
kotorannya terasa nyaman. Beberapa jam berkutat dengan mereka memang melelahkan,
tapi sungguh terasa nikmat dan menyenangkan. Bagaimana tidak nikmat dan
menyenangkan, sedang aku mengerjakan semua itu hanya sekali dua, saat menjalani
liburan. Dulu, lima tahun yang lalu, aku harus melakukan pekerjaan itu tiap hari. Dan
kini, rasanya indah sekali, mengenang betapa beratnya pekerjaan itu dulu.

Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?

Kawan, ingin kubagi padamu tentang asyiknya menimba air dari sumur dengan tali.
Meskipun lengan sempat kram dan pegal selama beberapa hari, derit roda katrolnya
menimbulkan sensasi yang menggembirakan. Tempelasan air yang menerpa teramat
menyenangkan. Segar. Dan keasyikan itu berubah menjadi perasaan yang indah,
mengenang lima tahun yang lalu aku harus bercapai-capai menimba berpuluh-puluh
ember untuk seluruh kegiatan rumah tangga, juga usaha batu bata ibu. Sedang kini, aku
hanya perlu menimba saat listrik mati.

Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?

Kawan, aku ingin engkau tahu, menyenangkan sekali memasak dengan kayu bakar.
Kuhembus bara-bara dengan sepenuh tenaga, agar makanan di tungku menjadi masak.
Meskipun itu berarti abu berhamburan mengotori baju, keringat berleleran karena udara
panas di sekitar tungku, dan panci-panci menjadi menghitam serta butuh usaha ekstra
untuk mencucinya. Kata orang, memasak dengan api tungku lebih enak. Tapi bukan itu
yang paling nikmat dari memasak dengan tungku dan kayu bakar, tapi karena aku sudah
lebih dari lima tahun tak melakukannya. Ya, selama ini untuk memasak aku tinggal
menyalakan kompor minyak atau kompor gas, menanak nasi dengan rice cooker,
memasak air dengan ketel listrik. Dan kini, aku menikmati memasak dengan kayu bakar
seperti sedang berpiknik. Lima tahun lalu, tiap hari aku bergulat dengan kayu bakar, abu
dan tungku.

Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?

Kawan, hari ini di sini, nikmat sekali aku mengunyah potongan apel, pir dan jeruk
mandarin. Buah-buahan itu beberapa tahun terakhir rasanya tak terlalu istimewa bagiku,
bahkan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Namun kini, rasanya lain sekali. Saat
mengulumnya ingatan tentang masa lima tahun yang lalu melintas-lintas. Ya, lima tahun
lalu, aku menahan air liur untuk sekedar dapat mencicipi melon, mangga, semangka
apatah lagi buah pir, apel merah dan anggur. Tak ada uang untuk sekedar membeli
sepotong, sedang jajan di sekolah pun hanya seminggu sekali, ketika ada pelajaran olah
raga.

***

Kawan, hari ini, aku ingat sekali, sudah lebih dari lima tahun aku menjadi pegawai
negeri. Banyak orang mengatakan, menjadi pegawai negeri itu enak. Kerjanya santai, gaji
tetap.

Tapi selama ini aku merasa tidak nyaman. Pertama karena aku tidak suka bersantai-
santai. Kedua, karena peningkatan prestasi dan karir berjalan sangat lambat. Ya, aku
merasa kurang beruntung dibanding teman-teman yang bisa sekolah lagi, kemudian
bekerja di tempat swasta dengan gaji besar. Aku merasa kurang beruntung dibanding
teman-teman yang sudah menjadi para profesional, dengan gelar akademis tinggi. Aku
merasa kurang dibanding teman-teman yang sudah mencapai keberhasilan jauuh di
atasku: dalam hal keluarga, karir, pendidikan maupun aktifitas sosial.

Tapi hari ini aku tahu, bahwa aku pun telah mendapat pencapaian besar. Dulu aku naik
sepeda ontel, kini dapat naik motor dan naik bus kemana-mana. Dulu aku harus
mengurus ternak untuk biaya sekolah, kini aku memelihara binatang untuk teman. Dulu
aku harus berhemat air agar hemat tenaga untuk menimba, kini aku bisa mandi sepuasnya
tanpa usaha. Dulu aku harus puas dengan ubi, pisang dan pepaya dari kebun, kini aku
bisa sarapan tiap pagi dengan apel dan jeruk.

Maka nikmat Allah yang manakah yang (dapat) aku dustakan?

Mensyukuri nikmat. Phrase ini terdengar teramat klise. Karena ia adalah salah satu ajaran
agama Islam dan agama lain yang hampir semua orang ernah mendengarnya. Namun
kekliseannya tidak membuat kalimat tersebut gampang diaplikasikan. Ada saat-saat
dimana kata-kata tersebut begitu abstrak, sulit dimengerti dan berat dilaksanakan. Atau
malahan mudah diucapkan, tapi perbuatan tak sesuai dengan yang dikatakan. Padahal
ternyata, phrase itu ternyata bisa teramat sederhana.

Mengenang kembali lima tahun yang lalu itu, ternyata semua biasa saja. Dulu aku
sanggup hidup sedemikian, maka mengapakah sekarang aku lebih tak bahagia? Mengapa
aku harus membandingan diri dengan orang lain dan selalu merasa kurang?

Dulu aku sanggup menikmati apa yang ada, apa yang diberikan Allah padaku. Dulu,
dengan status anak kos sejak kelas 1 SMA, aku sanggup hidup dengan uang 3-5 ribu
rupiah seminggu untuk makan, ongkos jalan dan fotocopy. Oke saja bagiku berjalan kaki
maupun ngontel berkilo-kilo. Mie sebungkus untuk dua kali makan pun tak masalah. Dan
semua itu dahulu biasa saja. Karena saat itu aku malah belum mengenal dunia, dan apa
yang kuperoleh sudah terasa cukup.

Menikmati hidup. Tampaknya itu saja kuncinya. (Azi_75@yahoo.com, hari-hari seputar


lebaran)

Saat Aku Melihatnya …


Publikasi 14/01/2003 07:49 WIB

eramuslim. “Ya Allah…. ridhailah hamba …”, kata-kata itu yang selalu terucap saat aku
melihatnya.

Acara TV itu selalu kutunggu setiap tahun, acara siaran langsung dari Mekkah. Gambar
dan suara di TV itu telah mengirimkan sinyal ke otak, dan membuat hati berdebar serta
menstimulasi butir-butir air mata yang membasahi pipiku. Labbaikallahumma labbaik,
beriring seluruh jama'ah haji menyambut penggilan Allah. Terlihat jelas dari layar gelas
itu, mereka bertawaf mengitari rumah-Mu Ya Tuhan, mereka duduk tafakur memanjatkan
do’a di padang Arafah, mereka berlari-lari kecil dari Shofa dan Marwah, dan melempar
kerikil kecil yang bermakna besar- untuk menghalau iblis jahannam. Aku terhanyut
seakan jiwaku bersama mereka. Semua itu, aku saksikan di TV dengan dentuman jantung
dan lelehan air mata, seraya tak henti mengucap Ya Allah … ridhailah hamba
menyambut panggilan-Mu kelak untuk menjadi tamu-Mu, untuk melakukan haji dan
umroh hanya untuk-Mu.

Kalau dihitung secara matematis, gajiku sebagai seorang calon PNS tidak akan cukup
untuk membiayai impianku– menjadi tamu Allah di Masjidil Haram dan berziarah ke
makam Rasulullah di Madinah. Tapi, aku yakin akan firman Allah bahwa kita tidak boleh
berputus asa dalam mencapai rahmat Allah. Aku tak bosan-bosan berucap “Ya Allah ...
ridhailah hamba…”, setiap saat aku melihat gambar ka’bah dan mendengar talbiyah
dikumandangkan.

Di suatu malam yang sunyi dalam Ramadhan di bulan Maret 1997, aku berdiri di
pelataran masjid Istiqlal memandang ke langit yang jernih dan berhias bintang, aku
menangis menikmati suasana malam itu. “Ya Allah, terima kasih atas saat yang damai ini
di rumah-Mu, ridhailah hamba untuk menikmati damainya Masjidil Haram Ya Tuhan”,
gumamku.

Hamba akan sabar menanti panggilan-Mu Ya Tuhan. Namun rizqiku bukan di tangan
Pemerintah, bukan di tangan bosku, bukan di tangan orang tuaku, tapi Penciptaku yang
mencukupi dan mendengar do’aku. Rizqi itu datang dari arah yang tak pernah aku
sangka. Setelah beberapa bulan aku bekerja tak kenal lelah baik di kantor di pagi hari dan
mengajar di malam hari, aku tertegun melihat jumlah saldo tabunganku. Telah cukup
bekalmu untuk menunaikan umroh, bisik hati kecilku. Namun, setan mulai membisik-
bisik dengan segala rayuan dan tipu dayanya berusaha membelokkan niatku. Hampir saja
aku tergelincir, tapi Allah menyelamatkan aku. Bergegas aku menukarkan rupiahku
dengan US$ yang nilainya semakin naik sampai sekarang dan tidak pernah turun.

Allahu Akbar, dengan ridha Allah tersungkur aku bersujud di depan ka’bah, tersedu aku
di masjid Nabawi mengingat Rasulullah, menapak kakiku di Masjidil Aqsha.
Alhamdulillaah, Ya Allah, telah kaubawa hamba ke tempat yang Kau wajibkan hamba-
Mu untuk mendatanginya.

Perjalanan umroh itu menjadi tambahan spirit dalam hidupku, menambah keyakinan akan
kasih dan sayang Allah pada hamba-Nya. Hal itu pula yang menguatkan semangatku
untuk berusaha mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2. Tahun 1998,
aku mendaftar untuk mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Inggris, yang kedutaannya
selalu aku lewati jika menuju ke kantor. Setiap aku melintas di depannya setiap hari, dari
balik jendela Kopaja secara refleks aku bergumam “Ya Allah … ridhailah hamba …”,
kata-kata itu yang selalu terucap saat aku melihatnya.

Subhanallaah, di tahun 2000 dengan ridha Allah aku dapat meraih gelar master di
Inggris.

Kembali ke Indonesia, aku jalani kehidupan sendiri dengan usia yang semakin merambat.
Dalam kesepian, di jalan menuju kos-kosan baru aku melihat papan penunjuk jalan itu.
Setiap hari aku lewati, sampai aku hafal, ada tanda panah dan tulisan Kantor Urusan
Agama di sebelahnya. Setiap hari … spontan aku berucap “Ya Allah, hamba merindukan
pendamping hidup”. “Ya Allah ... ridhailah hamba …”, kata-kata itu yang selalu terucap
saat aku melihatnya.

11 Januari 2002, dua hari setelah Pak Ustadz menanyakan keputusanku, tanpa persiapan
yang rumit namun dengan ridha Allah aku menikah dengan seorang muslim. Betapa
terkejutnya aku ketika menyadari bahwa KUA yang mencatat pernikahan kami adalah
KUA yang tiap hari aku lewati. Allahu Akbar ... Subhanallaah.

“Ya Allah … tunjukilah hamba untuk mensyukuri nikmat-Mu ... ibadah hamba, sujud
hamba, tangisan hamba tak akan pernah sebanding dengan nikmat-Mu Ya Tuhan. Ya
Allah … ridhailah hamba … untuk senantiasa berada dalam ajaran-Mu”…. Selalu
terucap setiap saat aku melihat keindahan dan kebesaran segala ciptaan-Mu Ya Tuhan ...

Sitta Izza Rosdaniah


(sitta@rocketmail.com)

Satu Pinta Kepada Orang Yang Hidup Mewah


Publikasi 13/01/2003 15:15 WIB

eramuslim - Kepada Anda yang masih senang menikmati hidup mewah ditengah-tengah
keterpurukan yang terjadi di sekeliling manusia yang lain. Kepada Anda yang gemar
menghambur-hamburkan harta disaat orang lain teramat sulit mendapatkan sesuap nasi.
Kepada Anda yang tak lagi peduli berapa harta terkuras untuk kesenangan yang penuh
kesia-siaan ketika tetangga-tetangganya masih terus menerus merogoh kantong yang jelas
kosong melompong sambil bermimpi Tuhan menaruh sekeping logam penebus dahaga.

Kepada Anda yang membuang-buang makanan setelah membelinya dengan harga yang
sangat mahal, sementara di belakang mereka periuk-periuk kaleng berbunyi nyaring
karena tak ada lagi yang terisi diatasnya. Atau bahkan di depan mereka anak-anak jalanan
dan pengemis mengais-ngais sisa-sisa makanan dari tempat sampah Anda. Kepada Anda
yang tak hentinya gemar memberikan tontonan parade kekayaan kepada fakir miskin dan
kaum dhuafa dengan kendaraan mentereng yang hilir-mudik melintasi mata kosong
mereka.

Kepada Anda yang tak lagi peduli apakah saudaranya bisa makan atau tidak hari ini
sementara ia sibuk mengatur menu makan dan jadwal tempat yang mesti dikunjungi demi
memuaskan selera gengsi. Kepada Anda yang tak pernah melirik sedikitpun ke arah
depan, belakang, samping kanan dan kiri mereka saat puluhan, ratusan bahkan jutaan
manusia mengerang menahan lapar, kedinginan dengan pakaian yang tak kenal baru dan
bagus, dan mereka yang terkapar tak berdaya bersaing dengan ganasnya kehidupan.

Kepada Anda yang terus bangga mempercantik dan memperbagus anak-anak mereka
dengan segala model pakaian dan perhiasan, menyenangkan mereka dengan segudang
mainan kesukaan, namun tak menghiraukan tangisan memilukan anak-anak yatim di
sebelah kamar mereka, di panti-panti asuhan yang bagi mereka, untuk bermimpi
mempunyai mainan dan pakaian bagus pun tak berani.

Kepada Anda yang masih senang hidup mewah, hanya satu pinta kami, buka mata dan
telinga lebar-lebar! Perhatikan dan dengarkan peringatan Allah. Sekarang juga! Karena
jika Anda tidak mendengar peringatan Allah, maka kami tidak akan pernah tahu kapan
Allah akan membinasakan kami beserta hancurnya negeri ini.

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya
perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-
hancurnya.” (Al Israa:16) (Bayu Gautama)

Tangan
Publikasi 07/01/2003 07:16 WIB

eramuslim - Manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna. Salah satu kesempurnaan
yang Allah berikan adalah pada tangan kita. Ya, tangan yang sehari-hari kita gunakan.
Tangan mengandung unsur mekanika yang begitu sempurna. Begitu sempurnanya,
sampai-sampai tangan menjadi inspirasi dalam bidang rancang bangun. Tangan yang
begitu kecil dibandingkan dengan tubuh kita secara keseluruhan, dapat mengangkat
beban yang beratnya jauh melebihi tangan bahkan tubuh kita sendiri. Kekuatan tangan
kita gunakan untuk mengangkat beban. Tangan menjadi inspirasi bagi persendian engsel
dalam rancang bangun. Tangan pun menjadi inspirasi dari beberapa alat bantu mekanika
lain.

Begitu susah untuk mendesain suatu tangan, ketika manusia berusaha pertama kali
membuat tangan-tangan buatan. Didapat bahwa persendian tangan manusia mempunyai
gerakan yang hampir tidak terhitung jumlahnya. Setiap hari kita melakukan gerakan yang
hampir tidak terhitung, yang mana semua gerakan itu ada yang sifatnya refleks atau
dalam hitungan detik dan ada yang memang kita inginkan untuk bergerak.

Koordinasi dari tangan dengan bagian lain dari tubuh kita gunakan untuk berbagai
pekerjaan sehari-hari. Tangan dapat kita putar sehingga bisa untuk membuka sesuatu,
seperti pintu, jendela, dan lain-lain. Gerakan tangan pun begitu fleksibel dengan berbagai
persendian yang terdapat padanya. Kita dapat bergerak dengan leluasa. Kita dapat leluasa
menulis baik dengan pena maupun dengan keyboard. Saat penulis, melakukan kegiatan
menulis ini pun menggunakan tangan untuk mengetik pada keyboard. Betapa murah
hatinya Allah memberi kita berbagai kemudahan dalam melakukan gerakan-gerakan
seperti mengangkat, mendorong, menarik, memutar, dan lain sebagainya.

Bukan hanya itu saja! Allah juga memberi kita indera peraba yang paling peka pada
kedua jari-jari atau ujung dari tangan kita. Apa yang terjadi jika kita tidak bisa merasakan
sesuatu. Apa yang terjadi jika suatu benda yang tajam tidak terasa tajam, tentu setiap hari
badan kita akan terluka-luka. Apa yang terjadi jika seorang yang tidak mempunyai
penglihatan tidak dapat meraba daerah sekitarnya. Jika ia tidak mempunyai tangan,
bagaimana ia akan menggunakan tongkatnya untuk mencari jalan?

Dengan tangan kita pun dapat melakukan komunikasi. Bahkan kadang gerakan tangan
merupakan bahasa yang universal. Kita berjabat tangan merupakan tanda universal
bahwa kita memberikan pesan perdamaian. Kita menadahkan tangan merupakan tanda
meminta, kita memberi pun dengan gerakan tangan. Seorang yang tuli pun dapat
menggunakan gerakan tangan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Berbagai kegunaan dan kemudahan telah Allah berikan melalui tangan yang Ia ciptakan
untuk kita. Bagaimana kita memanfaatkan maha karya Ilahi ini? Tentu dengan sebanyak
mungkin menggunakan demi kemaslahatan kita bersama. Lalu seperti apa yang terjadi
sekarang, apakah kita sudah melakukan itu? Hmmm... belum sepenuhnya. Kita masih
melihat mereka yang menggunakan tangan untuk mencuri. Kita masih melihat mereka
yang menggunakan tangannya untuk menyakiti orang lain. Kita masih melihat mereka
yang menggunakan tangan menindas orang yang lemah. Kita masih melihat tangan yang
digunakan untuk korupsi. Kita masih lihat tangan-tangan berbuat jahil. Kita masih
banyak melihat tangan yang menengadah di bawah, tapi tangan yang di atas sama sekali
tidak memberi.

Apa yang terjadi jika suatu karya seni tidak digunakan semestinya? Tentu sang pembuat
akan merasa terhina dan merasa bahwa apa yang telah dibuatnya telah diselewengkan.
Apalagi Allah, Sang Pencipta, yang telah menciptakan tangan dengan sempurna. Bisa
kita lihat balasan orang yang tidak mensyukuri tangannya pada ayat berikut:

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara
pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka
sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (Qur'an Al-Ma'idah:38-39)

Allah tetap memberi kita wadah untuk memperbaiki diri. Marilah kita bertobat, dan kita
syukuri nikmat yang Allah telah berikan melalui kesempurnaan tangan ini untuk
membantu sesama. Wallahu'a'lam bishshawab

Zulfikar S. Dharmawan
(zulfikar@ukhuwah.or.id)

Hari Baru
Publikasi 02/01/2003 11:26 WIB

eramuslim - Hening dan gelapnya malam tidak bertahan selamanya. Keadaan itu
berangsur-angsur akan berubah. Jika tiba waktunya, sinar matahari pagi akan mulai
menyeruak dan memberi cahaya atas kegelapan yang malam bawa. Pagi hari, terdengar
suara kokok ayam. Kita pun bangun. Sudah sepatutnyalah kita mengucapkan rasa syukur
kepada Allah. Allah telah memberi kita hari baru. Suatu hari dimana kita dapat
mengerjakan apa yang ingin kita kerjakan. Hari dimana kita dapat beraktivitas sesuai
dengan bidang pekerjaan kita masing-masing. Hari dimana harapan bisa tercapai dengan
bekal ikhtiar yang sungguh-sungguh dan tawakkal kepada Allah.

Di tengah kesibukan kita, sering kita lupa untuk menikmati keindahan pagi hari.
Jangankan menikmati keindahan pagi, mengucapkan syukur atas kehadiran pagi maupun
kehadiran diri kita di pagi itu pun terkadang terlupakan. Sering kali, kita begitu terlena
dengan kenikmatan tidur ataupun sibuk mempersiapkan pekerjaan yang akan kita lakukan
di siang hari, sampai-sampai kita lupa untuk mengucap syukur bahwa Allah memberi kita
kesempatan. Ucapan, 'Alhamdulillah' sudah merupakan bentuk optimisme bahwa hari ini
dengan izin-Nya akan kita lalui dengan baik. Dengan 'Alhamdulillah' kita telah
mensyukuri kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, yaitu kenikmatan untuk
dizinkan hidup satu hari lagi.

Bersinarnya matahari pagi membatasi dua periode waktu yang berbeda. Pertama adalah
periode malam hari dan hari sebelumnya. Itulah waktu dimana apa yang sudah kita
lakukan tidak mungkin akan kembali lagi. Waktu yang tidak perlu kita rindukan lagi
kedatangannya, karena yang berlalu akan berlalu. Yang lain adalah periode waktu yang
akan kita lalui ke depan. Itulah waktu yang perlu kita persiapkan dengan baik. Waktu
dimana segala harapan dan impian masih luas terbentang di hadapan kita. Itulah waktu
yang harus kita gunakan sebaik-baiknya. Kita bisa melihat dan belajar dari apa yang
sudah kita lalui. Akan tetapi tidak ada yang bisa memulai dari kemarin. Semua harus
dilakukan dari sekarang.

Allah memberi kita suatu keajabaian kepada kita. Kejadian itu terjadi setiap hari di depan
mata kita. tidak perlu menunggu setahun untuk berubah menjadi lebih baik. Tidak perlu
menunggu hari-hari tertentu saja untuk menjadi baik. Karena sesungguhnya setiap hari
Allah telah memberi harapan baru bagi kita untuk berusaha sebaik mungkin bagi
kehidupan dunia maupun akhirat nanti. Lupakan yang lampau, mari kita lihat ke depan
untuk menuju cita-cita yang selalu kita inginkan, yaitu ridha Allah.

"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang
ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan.
Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari." (Al Qur'an Faathir:13)

Wallahu'alam bi shshawab
Zulfikar S. Dharmawan
(zulfikar@ukhuwah.or.id)

Aqua, Coca Cola, McDonald, ..., ..., ...


Publikasi 31/12/2002 13:34 WIB

eramuslim - Sebut saja, Aqua, pastilah orang segera mengkaitkannya dengan air mineral
kemasan. Atau sebaliknya, ketika disebut air mineral maka yang disebut pertama adalah
Aqua. Bisa dibilang, air mineral adalah Aqua, dan Aqua adalah air mineral. Pendapat ini
tidaklah berlebihan karena memang upaya keras dari produsen air mineral kemasan ini
patut diberi penghargaan demikian besar, yakni berupa image mendalam dan melekat di
hati masyarakat, selain juga tentunya, keuntungan (laba bersih) yang diperoleh
perusahaan tersebut.
Ya, Aqua patut mendapatkan semua itu sebagai ‘balasan’ setimpal dari apa yang mereka
terima di tahun-tahun awal perusahaan tersebut memulai usahanya. Mungkin tidak
banyak dipublikasikan, tapi sebagian orang tahu bahwa kehadiran air mineral dalam
kemasan sempat mendapatkan cibiran karena menjual ‘air putih’ yang semua orang (kaya
atau miskin) pasti mudah mendapatkannya, secara gratis pula!

Vini, Vidi, Vici, semboyan kesuksesan Julius Caesar, ternyata bisa juga berlaku dalam
dunia bisnis. Setidaknya, Aqua membuktikan hal tersebut. Karena mereka yakin, bukan
sekedar ‘air putih’ yang ditawarkan kepada masyarakat, melainkan kesehatan yang
diperoleh dari tubuh yang mengkonsumsi air bermineral. Martin Fox seorang
environmental researcher and nutritionist penulis buku Healthy Water For A Longer
Life, memaparkan, penelitian terhadap penyakit jantung dan kanker menunjukkan bahwa
air sehat adalah yang padat (yaitu yang mengandung kalsium dan magnesium tinggi,
sekitar 300 mg/l) dan secara moderat berjumlah TDS tinggi (Total Disolved Solids/Total
Pemisahan Kepadatan, yaitu ukuran dari kandungan mineral dalam air). Bagaimanapun,
air tanpa mineral hampir sama saja dengan air lunak tanpa kalsium dan magnesium, dan
sangat rendah total kepadatan yang telah dipudarkan sehingga sebenarnya sudah tidak
sehat lagi untuk diminum.

Kualitas Air minum (baik air minum dalam kemasan maupun air PAM), lanjut Fox,
penting untuk kesehatan kita. Barangkali hal tersebut kadang menjadi sebuah garis yang
terputus terhadap program menjaga kesehatan tubuh Anda.

Banyak orang bilang, kunci keberhasilan orang-orang yang sukses terletak pada
kemampuannya melihat sekecil apapun peluang, atau kesempatan, dan kedua, seberapa
tepat dia memanfaatkan setiap kesempatan yang ada tersebut. Nah, masalahnya adalah
hanya sedikit orang yang mampu menangkap peluang-peluang dan kesempatan tersebut
yang mungkin saja terus menerus berkelebatan di depan matanya. Kalaupun ada yang
mampu menangkapnya, kesalahan kedua kebanyakan orang yang lain, adalah
ketidakmampuannya memanfaatkan peluang tersebut sebaik mungkin.

Sejatinya, Aqua menjadi contoh bahwa menjadi yang pertama melakukan satu hal yang
belum pernah dilakukan kebanyakan orang merupakan satu hal besar yang pernah terjadi
dalam perjalanan setiap orang. Orang boleh mencibir di tahun awal mereka menjual ‘air
putih’ kemasan, tapi sekarang, Anda pun bisa membayangkan betapa bangganya mereka
ketika setiap penjual air kemasan di bus-bus atau kendaraan umum selalu berteriak’
Aqua’ meski yang diusung merk lain. Kebanggaan yang sama, tentu pernah dirasakan
O’dol (perusahaan pasta gigi), Kodak (kamera), Jeans (celana yang digandrungi anak-
anak muda), Supermi (mie instan), Rinso (detergen), dan masih banyak lagi.

Belajar dari Aqua, ternyata mereka tidak berhentinya untuk belajar. Banyak pesaing
bukan berarti penjualan semakin terpuruk, karena justru semakin membuat mereka
kreatif. Ya, kreatif menelurkan inovasi baru merupakan syarat utama keberhasilan. Soal
inovasi ini, tentu kita bisa menengok perusahaan-perusahaan besar lainnya yang lebih
dulu berjaya, sebutlah Coca Cola minuman khas Amerika, juga McDonald makanan
cepat saji yang juga dari negeri Paman Sam itu.
John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam bukunya yang terkenal, Megatrend 2000
menyebutkan Coca Cola sebagai salah satu perusahaan besar yang pertama kali
menembus pasar Asia, dan diprediksikan akan terus jaya sampai tahun 2000 (sekarang
sudah tahun 2002). Sekedar membuktikan prediksi Naisbitt dan Patricia (keduanya
merupakan futurolog) akan keberlangsungan perusahaan-perusahaan yang disebutnya
dalam buku tersebut (disebutkan juga, IBM, Honda, Capuccino, dan lain-lain), ternyata
semuanya masih eksis hingga sekarang, dan besar!

Jika mau belajar, mungkin hampir semua melakukan apa yang disebut Inovasi, demi
keberlangsungan usaha mereka. Misalkan, apa sih yang dijual Coca Cola, sejak pertama
kali diproduksi hingga sekarang, rasa dan aroma Coca Cola ya tetap sama. Hanya
kemudian mereka tak hentinya berinovasi (selain mengeluarkan produk Fanta dan Sprite)
misalnya dengan Coca Cola kemasan kaleng, kemasan satu liter (family), kemasan botol
plastik (dulu minuman ini hanya tersedia dengan botol beling), botol plastik ukuran besar
dan kecil dan masih banyak lagi.

Seperti Coca Cola, McDonald, makanan cepat saji juga demikian. Yang dijual ya ayam
dengan rasa yang tidak berubah sejak dulu sampai sekarang. Namun sekarang, kita
mengenal paket hemat, paket nasi, Nugget, McWing, Mccrispy dan bahkan mereka
berkolaborasi dengan Coca Cola, mengingat orang makan pasti butuh minum. Hal sama
juga dilakukan Aqua dan minuman lainnya, Inovasi!

Tentu sebagai orang yang tidak ingin kalah dalam persaingan, tidak ingin tertinggal oleh
laju kehidupan yang semakin kencang, tidak mau terinjak oleh kaki-kaki yang terus
melangkah cepat, dan tak menghendaki ketertindasan oleh karena ketidaksiapan diri,
semestinya dua hal yang pernah dilakukan orang-orang (perusahaan) sukses diatas juga
berlaku pada diri kita, menangkap kesempatan dan memanfaatkannya dengan baik,
kemudian tak henti melakukan inovasi. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama,
tidak bermaksud mempromosikan semua merk yang disebut dalam tulisan diatas, apalagi
menganjurkan).

Pagi ...
Publikasi 27/12/2002 09:05 WIB

eramuslim - Pagi merupakan awal dari kegiatan bagi sebagian besar makhlukNya untuk
berikhtiar. Sementara cuaca masih terasa dingin anak-anak sekolah sudah bertebaran di
pinggir jalan menunggu kendaraan umum, begitu pula para pegawai kantoran, pabrik,
pasar, atau hanya sekedar buruh di proyek-proyek pembangunan rumah. Satu persatu
kendaraan mengangkut penumpangnya, dengan berbagai ekspresi yang sering kita lihat,
ada yang bercanda, melamun, atau sekedar memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

Pada saat berkendara, mungkin tidak terlalu merugikan apabila sejenak kita coba alihkan
perhatian pada lingkungan sekeliling. Rumah-rumah, gedung sekolah, pepohonan, dan
sebagainya tampak seperti biasanya tidak ada yang berubah, hanya sedikit saja mungkin,
sekolah itu catnya semakin pudar, atau ada pohon kecil yang baru ditanam, atau bahkan
ada gedung baru yang dengan kokoh berdiri menjulang.

Kendaraan melaju dengan berbagai kecepatan ada yang berjalan perlahan, ada yang
menyalip, ada yang membelok dan sebagainya. Tahukah berapa kecepatan kendaraan
yang dikendalikan bapak atau ibu sopir itu?

Di kota-kota umumnya pada kecepatan sedang sekitar 40-60 km/jam. Lebih jauh lagi,
pada kecepatan itu mesinnya sendiri berputar pada kecepatan +/- 2000 rpm (putaran per
menit). Mungkin angka ini tidak terlalu berarti bagi kita, namun apabila menengok
kembali pada telaah lebih jauh akan diperoleh kenyataan yang menakjubkan.

Pada kendaraan umum kecil yang biasa disebut angkot biasanya menggunakan mesin
1000 cc - 1300 cc (1.0 liter-1,3 liter). CC (centimeter cubic) dalam hal ini merupakan
kapasitas ruang pembakaran mesin yang digunakan oleh angkot tersebut, sehingga
semakin besar angkanya maka ruang bakarnya semakin besar dan tenaga mobil itu
semakin besar dan biasanya ukurannya pun semakin besar, seperti sebuah truk sedang
dengan mesin 4000 cc atau truk besar dengan mesin 10 000 cc.

Secara umum dari data di atas dapat diambil penelusuran bahwa pada sekali proses
pembakaran BBM atau satu putaran mesin dihasilkan 1 liter gas buang untuk kendaraan
dengan kapasitas mesin 1000 cc atau 1 liter. Melihat kembali kecepatan kendaraan yang
melaju sedang dengan kecepatan 40 km/jam dan putaran mesin 2000 putaran/menit, maka
dapat diperoleh gas buang kendaraan sebanyak 2000 putaran/menit dikali 1 liter gas
buang/putaran mesin atau sebesar 2000 liter gas buang/menit!

Padahal mungkin kita berkendara lebih dari 60 menit dalam satu hari atau menyumbang
lebih dari 120 000 liter gas pencemar perhari kepada lingkungan kita, Astaghfirulloh!
Bandingkan pula dengan kendaraan truk sedang dengan kapasitas mesin 4.0 liter (4000
cc) akan dihasilkan 4000 liter gas buang permenit!

Menurut pengamatan Pusat Teknologi Prasarana Jalan, Bandung pada tahun 2000 tercatat
bahwa untuk jalan arteri perkotaan terdapat sekitar 2000 kendaraan perjam yang
melewati sebuah ruas jalan. Sehingga apabila kita anggap semua kendaraan itu angkot
dengan kapasitas mesin 1000 cc maka dihasilkan gas polusi sebanyak 240 juta liter tiap
jam!

Sulit, sangatlah sulit untuk mendaur ulang udara yang sudah tercemar. Hal ini disebabkan
udara sulit untuk dilokalisir, berbeda dengan air, yang umum bisa dipisahkan antara air
kotor dan air bersih.

Udara adalah universal, betul-betul anugerah kebebasan, tidak membeda-bedakan warna


kulit, agama, harta, sakit atau sehat, penjahat, ulama, dan sebagainya. Kita bersama-sama
menghirup udara yang sama, bahkan si pelaku pencemaran sekalipun.
Musibah, musibah yang terjadi baru-baru ini mungkin menjadi tidak berarti dibandingkan
penghancuran bumi secara masal yang kita lakukan secara gotong royong tanpa disadari.
Lebih dahsyat, karena mungkin dalam beberapa generasi manusia berikutnya udara
merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup mereka. Walaupun begitu besar produksi
limbah terhadap udara kita tiap harinya, kegiatan berkendara merupakan kebutuhan yang
tidak dapat ditinggalkan.

Solusi, meningkatkan kesadaran akan kesehatan lingkungan merupakan solusi terbaik


yang relevan pada saat ini. Namun, kesadaran itu sangatlah sulit untuk dikenali karena
sifat manusia yang senantiasa khilaf sehingga memerlukan waktu yang tidak sedikit dan
perlu kerjasama semua pihak untuk membinanya. Seperti diungkapkan dalam renungan
berikut ini,

"bila melihat alam yang indah ini

tiada terasa kebesaran Allah

bila mendapat musibah lupa dirinya hamba

nikmat yang datang tiada rasa dariNya

patutlah malu kepadaNya

karena anugerahNya kepada kita

membuat dosa rasa kekesalannya

buta hati lebih berbahaya

buta mata tidak nampak dunia

buta hati tidak nampak kebenaran

buta hati ditipu nafsu dan syaitan

bahkan dilupakan saja

semua rasa bangga dengan dosa

bila menyebut neraka tidak terasa akan derunya

bila menyebut syurga tidak terasa akan nikmatnya

jiwa itu telah mati... atau buta..." (izzatun nissa')


Dan firman Allah Swt tentang orang-orang fasik (durhaka), "... (Yaitu) orang-orang yang
melanggar perjanjian Allah, sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang oleh
Allah disuruh menghubungkannya, dan mengadakan kerusakan di bumi ini. Merekalah
orang-orang yang rugi." (Al Baqarah:27)

Dan tidak ada salahnya untuk mengetahui beberapa peraturan pemerintah, seperti
keputusan Menteri Lingkungan Hidup KEP-35/MENLH/10/1993 TENTANG AMBANG
BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR

"Kandungan CO (karbon monoksida) dan HC (hidro karbon) dan ketebalan asap pada
pancaran gas buang: Sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar bensin dengan
bilangan oktana ³ 87 ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 3.000 ppm untuk HC;
Sepeda motor 4 (empat) langkah dengan bahan bakar bensin dengan bilangan oktana ³ 87
ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 2.400 ppm untuk HC; Kendaraan bermotor
selain sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar bensin dengan bilangan oktana ³
87 ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 1.200 ppm untuk HC; Kendaraan bermotor
selain sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar solar disel dengan bilangan
setana ³ 45 ditentukan maksimum ekivalen 50% Bosch pada diameter 102 mm atau 25%
opasiti untuk ketebalan asap.

Kandungan CO dan HC sebagaimana dimaksud di atas diukur pada kondisi percepatan


bebas (idling). Ketebalan asap gas buang sebagaimana dimaksud di atas diukur pada
kondisi percepatan bebas."

Sudahkah kendaraan Anda layak uji emisi ? Komposisi gas buang kendaraan sebenarnya
lebih kompleks seperti senyawa nitrogen oksida(NOx), senyawa belerang oksida(SOx),
Ozon (O3), senyawa hidrokarbon (HC), H2O, CO, CO2, dan unsur logam berat yang
sekarang pemerintah berusaha menguranginya. Pada kota-kota besar seperti New York
dengan tingkat polusi tinggi kehadiran gas pencemar ini sudah sangat kentara berupa
kabut putih yang sering di sebut smog (smoke and fog) atau kabut asap.

Termenung sejenak menatap ke luar jendela, di lantai delapan di hadapan meja resik
tempat saya bekerja. Kota Jakarta terlihat indah dari sini, menerawang jauh ke depan
gedung-gedung tinggi, masjid yang artistik, dan hijau pepohonan di perumahan
penduduknya diselimuti kabut putih yang samar, seperti di negeri awan, ah ternyata hari
masih pagi. Segera kubaca email satu per satu sambil berharap ada seorang teman yang
mengingatkanku akan khilaf hari ini (Je toi aime aussi mon ami, peri kecil).

Jakarta, 23 Desember 2002 Riki Hendriana (Riki@excelcom.co.id)

Yang Berilmu Yang Terpilih


Publikasi 26/12/2002 07:10 WIB
eramuslim - Tercatat dalam sejarah bahwa, daerah di sekitar kepulauan Mediterania
tepatnya Sicillia merupakan daerah yang berkembang di bawah ajaran Islam. Selama
hampir 3 abad, Islam berkembang dengan pesat di wilayah ini, termasuk dalam hal ilmu
pengetahuan. Pada era ini muncul beberapa ilmuwan muslim berasal dari daeah ini. Baru
kemudian di sekitar awal abad ke 11, bangsa Norman berhasil mengambil alih kekuasaan
di Sicillia. Berakhir pulalah kekuasaan Islam di daerah Mediterania, tapi apakah itu
adalah kekalahan bagi muslim?

Walaupun secara militer, kekuasaan sudah diambil alih oleh bangsa Norman, secara ilmu
pengetahuan muslim tetaplah insan-insan yang mempunyai kualitas yang tidak bisa
ditandingi. Ketika Roger II dari bangsa Norman menjadi penguasa di daerah Sicillia, ia
mengambil ilmuwan muslim untuk membantu mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah
satu ilmuwan yang terkenal adalah Al-Idrisi. Al-Idrisi merupakan cartographer muslim
yang pertama kali membuat atlas dunia terdiri atas tujuh puluh peta dan dilengkapi
dengan data-data geografis yang akurat. Beliau oleh Roger II diberi amanat untuk
membuat peta atas wilayah kekuasaan Norman.

Al-Idrisi dipilih, karena Roger II mengetahui bahwa secara ilmu pengetahuan muslim
merupakan yang terdepan pada saat itu. Di bidang lain pun demikian, bagaimana ia
menghormati ilmuwan muslim dengan menjadikan muslim sebagai pemimpin armada
maritim-nya. Sehingga pada zaman itu tidak dikenal istilah admiral bagi pemimpin
armada laut, tapi dikenal dengan 'emir'. Bahkan karena mengetahui betapa pesatnya ilmu
pengetahuan para muslim, ia menjadikan Sicillia sebagai pusat pertemuan antara
ilmuwan muslim dengan ilmuwan Eropa yang sebetulnya saat itu masih terbelakang.

Apa yang bisa kita ambil sebagai hikmah dari sejarah itu? Kita memang kalah dalam
pertempuran. Akan tetapi secara intelektual, muslim tetap menjaga dominasi ilmu
pengetahuannya bahkan bagi penakluknya sekalipun. Sebagai seorang muslim sudah
menjadi kewajiban bagi kita untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang semua itu
berasal dari Allah. Muslim menganggap ilmu pengetahuan adalah amanat dari Allah.

Namun apa yang kita lihat sekarang? Muslim diidentikan dengan terorisme. Muslim
selalu dikaitkan dengan kekerasan. Jarang sekali kita mendapat pengakuan sebagai yang
paling terdepan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Muslim sekarang lebih memilih
untuk melakukan 'protes' dan mengeluh terhadap kedigdayaan negara-negara non
Muslim.

Bukan saatnya lagi bagi kita untuk mengeluh. Bukan waktunya lagi untuk terus
menghujat negara-negara non Muslim. Sebagaimana kita lihat dari pengakuan Roger II
terhadap Al-Idrisi, bahwa sebetulnya kita tidak perlu melakukan penyerangan balik. Kita
tidak perlu memprotes kepada mereka. Kita tidak perlu melakukan tindakan-tindakan
yang justru akan mengindentikkan kita dengan kekerasan. Kita tidak perlu melakukan itu
untuk mendapat pengakuan dunia. Yang perlu kita lakukan adalah dengan menjadi insan
manusia yang benar-benar menguasai bidangnya.
Jika Anda seorang ekonom, maka jadilah ekonom yang handal dan berakhlak Islami. Jika
Anda seorang engineer, maka jadilah engineer yang handal dan berakhlak Islami. Apapun
bidang pekerjaan Anda, tekunilah bidang itu sungguh-sungguh dan jadikanlah Islam
dihormati kembali sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Wallahu'alam
bishshawab.

Zulfikar S. Dharmawan
(zulfikar@ukhuwah.or.id)

Menjadi Ibu
Publikasi 23/12/2002 12:41 WIB

eramuslim - "Menjadi Ibu". Ketika SMP dan SMA dulu, selalu itu yang saya tulis pada
saat saya mengisi lembar biodata. Untuk teman, untuk guru sekolah, untuk lembaran
Osis, Rohis dan lain-lain. Semuanya. Dimana saja, yang menyediakan isian kolom cita-
cita.

Tentu saja banyak yang heran. Teman-teman berkomentar ”Cita-cita, kok menjadi Ibu.
Kamu kan perempuan! Sudah pasti, tanpa dicita-citakan, suatu saat kamu akan menjadi
seorang ibu!”. Ada juga yang bertanya ”Apa maksudnya cita-cita menjadi Ibu?”. Bahkan
ada yang meledek ”Cita-cita kok menjadi Ibu. Cita-cita tuh menjadi dokter, insinyur,
guru, dan lain-lain”. Ada lagi yang menyindir ”Udah pengin kawin ya? Kok, pengin jadi
ibu rumah tangga?”.

Dan kemudian, dengan senang hati dan panjang lebar saya menerangkan apa maksud
cita-cita Menjadi Ibu. Menjadi (seperti) Ibu (saya). Itulah maksudnya. Itulah cita-cita
saya.

Kenapa?
Pasti, pertanyaan seperti itu pun kembali meruyak. Apa istimewanya Ibumu sehingga kau
ingin menjadi sepertinya? Mengidolakannya di saat para remaja lainnya mengidolakan
para selebritis dan sejenisnya? Apakah Ibumu seorang wanita karier yang sukses? Bukan,
bukan! Ibu saya bukan siapa-siapa.

Ibu saya bukan wanita karier, bukan pula -apalagi- selebrities. Tapi kesibukannya
melebihi wanita karier. Ibu saya bisa mengerjakan apa saja. Dari pekerjaan rumah tangga
(termasuk yang biasanya dikerjakan kaum laki-laki seperti membenahi genteng),
mengurus warung kecil di rumah, mengurus sawah, mengurus ayam, bebek, angsa, dan
kambing peliharaan kami, bahkan membuat batu-bata. Dulu Ibu saya juga sempat bekerja
di konveksi dan mengambil jahitan. Semua itu dilakukannya, utama sekali untuk
membantu ekonomi keluarga, karena Bapak yang cuma guru SD di kampung. Selain itu
juga untuk membantu keluarga besar Ibu dan sebagai bentuk kemandirian ibu. Beliau
memang tidak suka berdiam diri.
Ibu saya bukan aktivis, tapi aktivitasnya juga luar biasa. Ia rajin ‘rewang’ jika ada
tetangga yang punya hajat. Ia juga rajin membantu jika ada tetangga yang meninggal,
sakit, maupun lahiran. Ibu rajin hadir ke pengajian Yasinan, juga pengajian aisiyah yang
diselenggarakan di tingkat kecamatan. Namun, meski aktif di masyarakat, ibu saya tak
pernah bergosip, padahal di kampung kami gossip hampir merupakan 'keniscayaan’
seorang perempuan. Termasuk di warung sayur kecil kami, yang tetangga sering mampir
namun lebih banyak bergosipnya daripada berbelanja. Karenanya, ibu dicintai oleh semua
orang, saudara maupun tetangga.

Ibu saya tidak pandai memasak resep-resep umum apatah llagi resep modern. Tak ada
kue, cake dan makanan-makanan enak lainnya. Tapi semua yang dimasak ibu lezat.
Sering dulu saya bertanya nama masakan yang dibuat ibu. Tapi ibu menjawab tidak tahu,
karena memang tidak ada namanya. Masakan itu beliau buat dari bahan yang apa adanya,
yang kami miliki di dapur kami.

Ya, ibu memang kreatif. Kondisi kami yang berkekurangan tak pernah membuat kami
ingin masakan dan kue-kue modern, karena ibu bisa membuat makanan-makanan lezat,
meskipun tanpa alat dan bahan memadai. Hingga kami tidak tumbuh menjadi anak yang
suka jajan, makanan yang dibuat ibu sudah cukup bagi kami.

Ibu bukan pula wanita berpendidikan tinggi. Bahkan SD pun beliau tidak lulus. Tapi ibu
pintar dan dulu sering membantu saya belajar. Ibu juga bercita-cita tinggi untuk anak-
anaknya. Sekolah anak-anak adalah nomor satu baginya. Ketika orang tua-orang tua lain
membelikan anak-anaknya baju yang bagus-bagus, saya dan adik saya hanya mendapat
baju-baju sederhana (namun tetap terawat rapi dengan seterika arang). Ketika anak-anak
lain mendapat uang saku 100 rupiah sehari, kami hanya mendapat 50 rupiah. Tapi di lain
pihak, saya tak pernah menunggak bayaran sekolah seperti teman-teman lainnya. Dan
buku pelajaran dan perlengkapan sekolah saya cukup lengkap.

Ibu juga bukan wong agung keturunan ningrat, melainkan hanya wanita desa yang
sederhana. Yang dibesarkan tanpa pendidikan etika dan unggah-ungguh jawa yang tinggi.
Tapi beliau cukup mengerti bagaimana bersikap sesuai situasi dan kondisi. Make-upnya
hanya bedak tipis dan lipstik murahan. Bajunya pun tak pernah dari bahan sutera atau
bordir. Tapi beliau selalu rapi dalam kesederhanaannya.

Tentu saja, ibu saya juga memiliki banyak kekurangan, tapi rasanya kekurangan yang
dimiliki ibu tak ada artinya dibanding segala ‘keluarbiasaannya’ di mata saya.

Kekaguman-kekaguman saya terhadap ibu sempat hilang. Bukan, bukan karena ibu tidak
lagi seperti ibu yang dulu. Tapi lebih karena saya kemudian hidup jauh dari ibu, dan
menjalani dunia kampus dengan berbagai aktivitas keislaman yang menyita seluruh
kekaguman saya.

Namun kini, ketika saya kembali banyak berpaling kepada ibu. Ketika saya banyak
memiliki waktu berinteraksi dengan ibu lagi, ibu saya masih tetap sehebat yang dulu.
Bahkan makin hebat.
Beliau tetap pekerja keras, wanita karier yang kuat. Saat ini, ketika dua anaknya sudah
tak lagi membutuhkan biaya, beliau tetap ke sawah, menjalankan warung, dan membuat
batu-bata serta memelihara banyak ternak. Beliau tetap aktivis sosial yang baik, yang
penolong, yang ringan tangan, tapi tak ringan mulut.

Ibu saya bahkan tetap tegar ketika beberapa waktu lalu badai menggoncang keluarga
kami. Gosip dan goncangan yang menerpa tak membuatnya berubah. Bahkan, beliau tak
pernah menunjukkan kesedihan di hadapan kami anak-anaknya, saat permasalahan itu
merundung.

Dan yang paling berkesan, meskip pengetahuan agama Ibu minim, namun keyakinannya
kepada Allah sedemikian kuat. Suatu hari, ibu saya berkata,” Nduk, ibu selalu berdo’a
dan meminta pada Allah tiap habis sholat, semoga kamu mendapat jodoh yang sholeh dan
sepadan denganmu. Dan ibu juga minta, semoga jodohmu orang dekat sini saja, agar
kalau ibu pengin menengok kalian, ibu tak harus jauh-jauh ke Jakarta. Agar ibu cukup
dibonceng bapak, karena ibu pasti mabok kalau naik bis atau mobil”.

“Ah, ibu yang realistis dong. Saya kan sudah tujuh tahun tinggal di Jakarta. Darimana
jalannya saya mendapat jodoh orang sini?” jawab saya.

Ibu saya menjawab kalem, ”Lho, jodoh itu khan urusan Allah. Kita hamba-Nya boleh
minta apa saja. Kalau Allah menghendaki, ora kurang jalaran (tidak kurang sebab)".

Duh, Ibu. Betapa kesederhanaanmu ternyata menyimpan samudera makna kehidupan


yang dalam. Kini, jika saya mengisi lembar biodata lagi yang ada isian cita-cita, saya
kembali mengisinya dengan mantap: Menjadi Ibu. (@az, kado hari Ibu untuk para
wanita nan tegar penuh cinta)

Azimah Rahayu (azi_75@yahoo.com)

Lima Detik Pertama Penentu Sukses


Publikasi 18/12/2002 09:45 WIB

eramuslim - Sukses, mungkin tidak satupun manusia di dunia ini yang tak ingin
meraihnya, karena bahkan seorang yang berencana bunuh diripun tak ingin mengalami
kegagalan. Maksudnya, orang akan menanggung malu teramat besar jika upaya bunuh
dirinya ternyata tidak berhasil, meskipun seharusnya ia bersyukur. Mungkin terlalu
ekstrim jika yang diambil contoh adalah soal bunuh diri, namun hal itu sekedar ingin
memberikan gambaran bahwa untuk hal paling hina pun orang berusaha maksimal untuk
merealisasikannya.

Apapun, untuk meraih sukses, kuncinya adalah rencana yang matang dan usaha yang
maksimal untuk menjalankan semua yang telah terencana itu. Dalam prinsip manajemen,
langkah ini biasa dikenal dengan, Rencanakan Apa Yang Hendak Dikerjakan, dan
Kerjakan Apa yang Sudah Direncanakan. Artinya, jika keluar dari prinsip tersebut, bisa
jadi satu keniscayaan bahwa kegagalan segera menghampiri Anda.

Namun, tahukah Anda apa yang paling menentukan dari semua proses awal menuju
kesuksesan ketika hendak memulai satu upaya merealisasikan semua rencana? Rahasia
sukses seseorang dalam meraih semua impiannya, entah itu berkenaan dengan karir,
hubungan interpersonal atau apapun yang menjadi obsesinya ternyata ada pada lima detik
pertama setiap langkah awalnya. Lima detik begitu menentukan? Tepat! Karena yang
harus Anda lakukan pada lima detik pertama itu adalah kunci sukses nomor satu yang
tidak boleh dilewatkan, satu hal yang sangat mudah dan praktis untuk dilakukan:
Tersenyum. David J Lieberman dalam sebuah buku laris yang berjudul, Get Anyone To
Do Anything menyebutkan, taktik nomor satu untuk menciptakan kesan pertama yang
luar biasa tetapi mudah dilakukan adalah: Tersenyum.

Mengapa senyum? Jangan pernah pernah menganggap sepele tersenyum, karena


Rasulullah pun memberikan nilai sedekah untuk setiap senyum yang kita berikan kepada
saudara kita. Selain itu, senyum mampu menciptakan empat hal yang luar biasa:
Menimbulkan rasa percaya diri, kebahagiaan, dan semangat. Dan yang lebih penting,
tersenyum menandakan penerimaan yang tulus.

Orang yang tersenyum dianggap sebagai orang yang penuh percaya diri karena ketika
kita sedang grogi atau tidak yakin dengan diri kita atau sekitar kita, kita cenderung untuk
tidak tersenyum. Tentu saja tersenyum menimbulkan kebahagiaan sehingga akan
mempertemukan kita kepada orang-orang yang bahagia karena kita melihat mereka
dengan cara yang positif. Semangat sangat penting untuk menciptakan kesan yang baik
karena semangat itu dapat menular kepada orang lain. Dengan tersenyum menunjukkan
bahwa Anda menyenangi tempat dimana Anda berada dan senang bertemu dengan orang
yang Anda temui sehingga pada gilirannya dia akan semakin tertarik untuk bertemu
Anda. Pada akhirnya, tersenyum menunjukkan penerimaan yang tulus dan menyebabkan
orang lain tahu bahwa Anda mau menerima dia dengan tulus.

Anda tentu masih ingat pesan sebuah iklan produk parfum pria yang pernah ditayangkan
di TV yang berbunyi, “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda …”.
Ya, kesan pertama, itulah yang harus Anda ciptakan untuk bisa memulai segalanya lebih
lancar sehingga kesuksesan seolah sudah digenggaman Anda. Dan tersenyum, jelas cara
yang paling ampuh untuk menciptakan kesan pertama yang mengagumkan. Berkenaan
dengan kesan pertama ini, ada sesuatu yang disebut pengaruh pertama, yakni sebuah
proses dimana kesan pertama kita terhadap orang lain menyebabkan kita menilai perilaku
berikutnya atas dasar kesan pertama kita. Ini artinya, kesan pertama kita terhadap
seseorang sangat penting karena segala sesuatu yang kita lihat dan kita dengar
selanjutnya disaring melalui pendapat kita yang pertama. Akibatnya, Anda menciptakan
citra orang tersebut sebagaimana ketika mula-mula Anda bertemu dengannya dan Anda
melihat perilakunya pada masa-masa selanjutnya melalui citra ini. Jadi, apabila kesan
pertama seseorang terhadap Anda baik, maka dia akan cenderung lebih baik dalam
menilai anda pada masa-masa selanjutnya.
Dimanapun, kapanpun, bersama siapapun, sedang apapun ketika Anda tengah
berinteraksi dengan orang lain, jadikan senyum sebagai modal utama Anda. Senyum bisa
menjadi senjata yang paling ampuh dalam berbagai kondisi, seperti hubungan
interpersonal dan interelasi, saat interview, wawancara dan lain sebagainya. Sebagai
ingatan, jangan pernah sia-siakan momentum awal (detik-detik pertama) untuk tidak
menjadikannya sebaik mungkin, karena percakapan dan hubungan Anda selanjutnya akan
disaring melalui momentum awal ini, dengan demikian akan menciptakan kesan yang
sangat baik. Itulah sebabnya mengapa tersenyum itu sangat penting. Lakukanlah dengan
segera dan senyum akan menjelaskan banyak hal tentang diri Anda: Semuanya Positif.
Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Jangan Jadi Robot!


Publikasi 17/12/2002 08:45 WIB

eramuslim - Mungkin kita sering melihat film fiksi ilmiah dimana terdapat makhluk
yang menyerupai manusia tapi bukan manusia, yang lebih dikenal dengan robot manusia.
Secara sepintas memang robot itu seperti manusia. Mereka memiliki mata, telinga, mulut,
dan berbagai indera lain sama halnya seperti manusia. Dimana walupun secara fisik
berbeda, alat indera itu secara fungsionalitas memiliki kesamaan dengan yang dimiliki
manusia.

Robot itu merupakan salah satu kreasi manusia. Tujuannya adalah bagaimana agar hidup
ini dapat lebih dipermudah dengan mendelegasikan pekerjaan yang rutin maupun
pekerjaan yang seharusnya tidak dikerjakan manusia. Sebagai hasil kreasi manusia, robot
akan selalu mengikuti perintah yang membuatnya. Robot bisa diberdayagunakan di
pabrik mobil untuk merakit komponen. Robot itu juga bisa digunakan untuk
mengoperasikan tugas-tugas tertentu yang beresiko tinggi, misalnya mengendalikan
reaktor nuklir. Sampai mungkin suatu saat kita bisa melihat robot bisa dijadikan sebagai
angkatan bersenjata sebagaimana kita lihat di film-film fiksi ilmiah.

Saat ini bahkan sudah dibuat robot yang mempunyai kemampuan untuk menambah
pengetahuannya sendiri. Inilah yang disebut sebagai Artificial Intelligence (AI). Dengan
AI, robot itu seakan-akan mempunyai kemampuan berpikir sendiri. Bahkan kini sudah
ada emosi buatan disebut artificial emotion, dimana robot akan mempunyai kemampuan
untuk beremosi, sebagai respon atas suatu kejadian. Sehingga pada suatu saat,
pengetahuan robot itu bisa saja melebihi manusia yang membuatnya dan merespon
berdasarkan emosi. Sampai pada tahap tertentu nantinya bisa saja robot akan mengatakan
'tidak' terhadap manusia pembuatnya.

Alhamdulillah, kita adalah manusia. Kita bukan robot yang selalu menjalankan tugas-
tugas yang rutin. Tidak seperti robot, kita bisa saja istirahat dari segala aktivitas kita.
Tidak seperti robot, kecerdasan yang ada pada diri kita bukanlah buatan tapi merupakan
kecerdasan yang sebenar-benarnya. Tidak seperti robot, emosi yang ada pada diri kita
juga merupakan emosi yang memang tidak bisa ditebak keadaannya, karena memang
itulah sifat dari emosi. Itu semua telah diberikan oleh Allah, sang Maha pencipta.
Walaupun demikian, sama halnya seperti robot. Dalam kehidupan sehari-hari kita
terjebak dalam keadaan yang memaksa kita berperilaku seperti robot. Selain itu terkadang
kecerdasan yang ada pada diri kita ini digunakan untuk berpikir dan menghimpun
pengetahuan yang tidak membuat kita semakin mendekatkan diri kepada Allah, tetapi
justru semakin menjauhkan kita dari Allah. Kita justru akan mengatakan 'tidak' kepada
Allah, pencipta kita sendiri. Sampai-sampai kita merasa orang yang paling pintar di dunia
ini dan berlaku sombong. Padahal kecerdasan yang kita miliki hanyalah bagian kecil saja
dari seluruh ilmu Allah. Sebagaimana firman Allah: "Katakanlah: Sekiranya lautan
menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Allah, sungguh habislah lautan itu
sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Allah, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula)" (Quran Surat Al-Kahfi:109).

Beruntung bagi kita manusia yang diberikan sisi lain yang tidak mungkin ada pada robot,
yaitu sisi spiritual. Sisi spiritual itulah yang memungkinkan kita untuk selalu mengingat-
Nya. Bersyukurlah kita yang tetap menjaga sisi spiritual kita, karena inilah yang
membedakan kita dengan robot-robot. Karenanya jika kita tidak ingin dikatakan sebagai
robot, ingatlah selalu kepada Allah dengan dzikir dan bersyukur kepada-Nya agar kita
bisa menjadi manusia yang sebenarnya.

"Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini
yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya." (Quran Surat At-Tin 1-4).

Wallaahu'alam bishshawab
Zulfikar S. Dharmawan
(zulfikar@ukhuwah.or.id)

Lelah …
Publikasi 16/12/2002 07:33 WIB

eramuslim - Kalau ada orang-orang yang masih terus menerus berdusta, aku tidak
mengerti, terbuat dari apakah lidah mereka sehingga teramat hebat merangkai kata-kata
indah menutupi kebenaran, menyembunyikan hakikat mengedepankan kepalsuan.
Padahal sekali saja berdusta, sudah sedemikian lelahnya kita berpikir untuk mencari
segudang alasan baru untuk dusta berikutnya, sudah sebegitu kelunya lidah ini terpaksa
menari mengikuti irama gendang kepalsuan yang tak hentinya bertabuh.

Jika masih ada sebagian orang yang saling mencaci, menghina, menggunjing,
berprasangka buruk dan menjelek-jelekkan saudaranya, aku tidak tahu, sekuat apa
penciuman dan mulutnya karena pada saat itu ia seperti tengaha memakan bangkai
saudaranya sendiri.

Seandainya masih beredar orang-orang yang tak hentinya berlaku sombong, angkuh dan
takabbur, aku tak habis pikir, sebesar apa dirinya sehingga sangat lancang menantang
kebesaran Tuhannya, dan sekuat apa tubuhnya kelak menanggung akibat dari
kesombongannya. Padahal semestinya ia tahu, kesombongan adalah mutlak miliki Allah
semata.

Sekiranya tetap hidup manusia-manusia yang enggan menyisihkan sebagian harta yang
dimilikinya, sementara bertebaran di seluruh penjuru bumi Allah ini anak-anak yatim
piatu, fakir miskin dan orang-orang lemah, aku semakin heran, apakah ia selalu berpikir
bahwa semua itu diperolehnya murni dari hasil jerih payahnya? Tak pernahkah ia tahu
bahwa semua yang ada padanya itu adalah atas kehendak Allah Sang Pemberi Rizki?
Yang seandainya Dia berkehendak, dengan sangat mudah pula Dia mengambil darinya?

Mungkin saja masih ada segelintir makhluk Allah bernama manusia yang tak bosannya
berzina, sungguh aku semakin bingung dibuatnya. Padahal seratus kali ayunan cambuk
atau lemparan batu hingga mati bisa jadi satu-satunya alasan Allah untuk memberikan
ampunan atas perbuatannya. Dan jika itu tidak dilakukannya, sudah pasti kilatan cambuk
Allah di akhirat nanti bukan sekedar mematikan, tetapi menghancurkan tubuh kecil tak
berarti ini. Lalu kenapa masih ada yang berani meski sekedar mendekatinya?

Umpamanya masih hidup orang-orang yang gemar berbuat maksiat, bangga dengan dosa-
dosanya, sungguh aku tidak akan pernah memahami, setebal apa kulit mereka menahan
api neraka Allah, sekuat tubuh orang-orang itu menerima adzab Allah yang tak pernah
berhenti.

Namun, jika saja ada sebagian kecil dari orang-orang diatas yang berhenti melakukan
semua yang dilarang Rabb-nya, ini yang sangat mudah aku pahami, tidak terlalu sulit
untuk dimengerti, karena akupun pernah mengalaminya. Aku sangat tahu betul, lelah
rasanya terus menerus berbuat dosa. Lelah menahan hentakan demi hentakkan yang
bergemuruh di dalam dada ini setiap kali aku melakukan perbuatan maksiat. Dan lelah
untuk terus memikirkan ancaman dan hukuman macam apa yang diberikan Allah kelak di
hari pembalasan. Astaghfirullaah … (Bayu Gautama)

11 Bulan Pembuktian Paska Ramadhan


Publikasi 11/12/2002 09:31 WIB

eramuslim - Apa yang bisa kita ambil dari ibadah selama bulan Ramadhan? Banyak lika-
liku, suka-duka, maupun pengalaman mengesankan dalam menjalankan roda kehidupan
di kala bulan Ramadhan. Dimulai dari dini hari, pada saat dimana pada umumnya
manusia masih terlelap, kita memulai aktivitas Ramadhan dengan bersahur. Sahur kita
lakukan untuk mempersiapkan diri sebelum berpuasa sepanjang hari nantinya. Walaupun
hanya segelas air, itupun sudah cukup, sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah.

Dilanjutkan di siang hari, di kala kita sedang beraktivitas. Di tengah terik panas matahari,
kita tetap bersabar untuk menahan haus. Demikian pula, ketika beban kerja begitu
menekan. Dalam keadaan ingin marah, kita langsung ingat bahwa kita sedang berpuasa.
Sehingga amarah menjadi reda kembali. Tidak lupa kita senantiasa menjaga pandangan
dari hal yang menjurus maksiat dan sia-sia. Begitu tiba saatnya berbuka, kita lepas lapar
dan dahaga. Rasulullah menganjurkan menyegerakan berbuka dan dengan makanan-
makanan yang ringan seperti korma. Aktivitas kita diakhiri dengan melakukan ibadah
shalat malam. Demikian seterusnya selama satu bulan penuh.

Kalau kita mau memikirkan hikmah di balik aktivitas selama Ramadhan, insya Allah
banyak pelajaran yang bisa diambil. Dalam memulai beraktivitas kita dianjurkan untuk
selalu mempersiapkan diri, sebagaimana tercermin dari sahur. Bagaimana kita akan
menjadi manusia yang sukses jika kita tidak mengawali dengan persiapan yang baik. Kita
pun dituntut untuk bekerja dengan efektif, yaitu menjauhi perbuatan sia-sia dan maksiat,
sebagaimana kita lakukan di siang hari kala berpuasa. Hal ini merupakan kontrol yang
efektif bagi manusia. Karena tanpa perlu disuruh atasan, kita akan selalu mengendalikan
diri, karena merasa ada yang mengawasi yaitu Allah. Demikian pula di saat berbuka,
pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa dalam hidup kita dituntut untuk senantiasa
sederhana. Walaupun kita dapat mengumbar nafsu untuk menyantap hidangan semaunya,
kita tetap dianjurkan untuk memakan makanan yang sederhana terlebih dahulu.

Satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah manajemen waktu yang begitu terjaga di
kala Ramadhan. Mulai dari sahur, berpuasa di siang hari, sampai berbuka, kita dituntut
untuk selalu mematuhi waktu itu. Setelah melakukan semua rangkaian aktivitas itu, kita
diminta untuk mengembalikan semua itu kepada Allah saat melakukan shalat malam. Di
dalam hidup ini, demikianlah adanya dimulai dengan berikhtiar semaksimal mungkin dan
harus selalu dibarengi dengan tawakkal hanya kepada Allah.

Betapa murahhatinya Allah, memberikan pelatihan kepada kita selama Ramadhan ini
untuk bisa menjadi manusia yang dapat mengatur hidupnya menjadi lebih baik. Apakah
berhasil pelatihan yang Allah berikan ini? Pelatihan di bulan Ramadhan akan berhasil
jika kita bisa mengimplikasikannya dalam bulan-bulan selain Ramadhan. Karena
sesungguhnya hal itu bisa kita lakukan tidak hanya di bulan Ramadhan. Justru cobaan
akan terjadi di sebelas bulan mendatang, apakah Ramadhan kita berhasil atau tidak.
Ibadah Ramadhan kita dikatakan berhasil, jika di sebelas bulan ke depan, kita dapat
beraktivitas sebaik di bulan Ramadhan.

Akan sangat beruntunglah kita yang dapat tetap menjaga ibadah maupun ritme kehidupan
seperti di kala Ramadhan dalam sebelas bulan mendatang sampai bertemu Ramadhan
yang akan datang, insya Allah. Betapa kita akan menjadi orang yang beruntung, karena
setiap hari lebih baik dari hari yang kemarin. Bulan ini menjadi lebih baik dari yang
kemarin, dan insya Allah bulan yang akan datang lebih baik dari bulan ini. Ramadhan
kali ini lebih baik dari Ramadhan kemarin, dan demikian pula insya Allah Ramadhan
yang akan datang kita persiapkan agar lebih baik dari Ramadhan kali ini. Dengan
demikian insya Allah kita akan menjadi manusia berhasil dunia dan akhirat.
Wallahu'a'lam bishshawab (Zulfikar/zulfikar@ukhuwah.or.id)

Wajah Kemusliman Kita


Publikasi 10/12/2002 09:44 WIB
eramuslim - Siapa yang sanggup menahan rasa sedih yang mendalam ketika perlahan-
lahan senja terakhir Ramadhan berlalu dan terbenam. Siapa pula yang sanggup
menggambarkan perasaan damai dalam suasana gelombang takbir tak berkesudahan di
malam menjelang fajar 1 Syawal.

Ada getaran perasaan luar biasa yang tak terlukiskan di saat-saat itu. Sedih karena
berpisah dengan bulan mulia penuh berkah dan ampunan. Bahagia karena akan bertemu
dengan hari yang dijanjikan oleh Allah sebagai hari kemenangan dan kembali kepada
kefitrian.

Begitu usai ibadah Ramadhan, kebesaran Allah SWT jua yang diserukan. Dengan penuh
kesadaran diri, bahwasannya apapun saja yang dilakukan hanyalah berkat perkenan dan
pertolongan dari Allah semata. Termasuk juga kesanggupan untuk melakukan ibadah
puasa.

Kehambaan sebagai mahluk diserukan dalam kumandang pentakbiran akan


Kemahabesaran Allah, Tuhan seru sekalian alam yang terkumpul pada-Nya segala puji.

Bagi seorang muslim, hubungan dengan Allah akan diperbaiki dan dijaga keeratannya
selama sebulan penuh menunaikan ibadah puasa. Dan pantulan dari peningkatan kualitas
keimanan itu semestinya akan tercermin dari semakin indahnya ahlak dan perilaku
selepas Ramadhan. Seluruh aktivitas kesehariannya sebagai seorang muslim tentu akan
lebih bermakna baik dalam interaksi dengan keluarga maupun dengan lingkungan di
sekitarnya.

Ia pantulkan kembali Kemahapengasihan Allah dalam sikap yang santun dan penyayang
kepada mahluk Allah lainnya. Hatinya semakin sadar akan beratnya beban amanat yang
dipanggul sebagai khalifah Allah di muka bumi. Tugas untuk menjadi rahmat bagi
lingkungan dengan kebenaran dan keindahan nilai-nilai Islam.

Jiwanya akan semakin lembut dan sensitif terhadap nilai-nilai ketauhidan yang
berdimensi ridho Illahi. Dan akan semakin kokoh lah sosok muslim yang penyayang,
penyantun dan anti membuat kerusakan dimanapun ia berada.

Demikian halnya dengan hubungan sosial lainnya, baik vertikal maupun horizontal. Baik
antara seorang pimpinan dengan seluruh bawahannya, atau antar sesama karyawan itu
sendiri. Baik seorang pemimpin dengan rakyatnya, ataupun sesama rakyat semata-mata.
Pada saat-saat itu terlebur semua rasa benci, dendam dan bibit-bibit permusuhan. Nuansa
Idul Fitri seakan memagari kita untuk hidup dalam manisnya ukhuwah islamiyah yang
hangat dan saling menyayangi.

Alangkah indah jika negeri kita bertabur barokah dari Ramadhan dan Idul Fitri seperti ini.
Salah dan khilaf memang hal yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Namun tak
berarti itu dijadikan alasan atau suatu yang dimaklumkan untuk dilakukan berulang-
ulang. Apalagi kalau sampai menyakiti dan merugikan banyak orang. Alangkah bijaksana
jika seorang muslim bisa mengkaji diri dari pahitnya kesalahan, dengan tetap menjaga
kedekatan dengan Allah SWT dan semangat perbaikan diri untuk berupaya sekuat
mungkin tidak mengulanginya.

Bukan suatu kecengengan kalau kemudian mata seorang suami berkaca-kaca dihadapan
istrinya. Tidak pula suatu kemanjaan yang berlebihan kalau seorang anak terisak-isak
dipelukan ibundanya. Adalah sebuah kebesaran pribadi ketika seorang pemimpin yang
selalu teringat akan besarnya salah dan kekeliruan yang diperbuatnya, lantas karena itu
semua ia menangis begitu dijabat erat oleh para bawahan. Kemuliaan orang alim dan
ulama justru bersinar ketika ia dengan harap cemas memohon ketulusan maaf dari orang
awam yang dibimbingnya. Keteladanan seorang pemimpin akan cemerlang ketika ia
justru menghampiri rakyat dan memohon keikhlasan dari akibat kepemimpinannya. Pada
momen-momen seperti ini, yang ada hanya pengharapan akan kebersihan batin dari dosa-
dosa kemanusiaan dengan orang-orang yang dimintakan pemaafannya. Karena setiap diri
tentu tak ingin timbangan amal baiknya tereduksi dihari pembalasan nanti, lantaran
kesalahan yang belum termaafkan. Setiap jiwa yang berhati-hati tentu tidak pernah
merasa aman sebelum dosa dan salahnya terampuni.

deni mukhyidin
mukhyidin@yahoo.de

Adakah Ramadhan Menyapa Kita Lagi Tahun Depan?


Publikasi 04/12/2002 15:22 WIB

eramuslim - Ramadhan tak lama lagi akan meninggalkan kita. Tak terasa bulan yang
penuh rahmat dan ampunan Allah itu berlalu. Dan tak lama lagi pula malam penuh
kemuliaan dan keindahan bersama Tuhan, Laitul Qadar tak menyapa kita untuk
bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Boleh jadi kegigihan baca Al-Qur’an
kita pun berubah jadi kemalasan dengan berubahnya bulan!

Sementara itu, kita yang ditinggalkan tak sadar bahwa sikap dan perilaku kita di bulan
Ramadhan itu tak jauh beda dengan di bulan-bulan lainnya. Kita masih lalai dengan
amal-amal mulia yang sesungguhnya di bulan suci itu. Yakni, berbuat sesuatu tanpa
pamrih, meniru akhlak Tuhan. Hidupnya tidak bergantung kepada sesuatu apa pun, dari
mulai jabatan, pangkat, status sosial, uang, harta dan semacamnya kecuali hanya kepada
Allah Swt saja. Kita pun masih sibuk dengan urusan-urusan yang tak pernah menjanjikan
apa pun di bulan Ramadhan.

Memang rugi dan sangat rugi bagi mereka yang berpuasa tapi tak merubah niat dan tata
cara hidupnya untuk menuju keridhaan Tuhan. Nihil sama sekali nilai Ramadlan kita kali
ini jika cara berpikir, bicara, bergaul, makan, tidur, berpolitik, berpakaian, bekerja dan
sebagainya masih menimbun rasa duka dan derita bagi orang lain. Kita harus berani
meninggalkan cara dan gaya hidup setan itu agar kita betu-betul menjadi hamba yang
pandai bersyukur.
Sesungguhnya kegagalan kita menjadi orang yang pandai bersyukur adalah karena
kegagalan kita menjadi orang yang memperoleh petunjuk-Nya. Dan kegagalan kita
memperoleh petunjuk adalah karena kegagalan kita dalam beramadlan. Jika kita gagal
dalam hal itu semua berarti kita juga gagal dalam mengagungkan Allah Swt. Bukankah
semua ibadah dalam Islam untuk mengagungkan Rabb Pencipta Alam Semesta ini?
“Wa litukabbiru Allah ‘ala maa hadaakum wa la’allakum tasykuruun” (Dan hendaklah
kalian mengagungkan Allah atas pentujuk-Nya, supaya kalian menjadi orang yang pandai
bersyukur, QS. Al-Baqarah : 185).

Jika kita gagal mengisi Ramadlan, berarti langkah kita di bulan-bulan selanjutnya pun
akan mengalami kesulitan dan kemalasan untuk mengisi keindahan dan kemuliaan dalam
kehidupan . Boleh jadi pula Ramadhan di tahun depan terus terlewatkan begitu saja tanpa
sebuah pemaknaan dan harapan. Karena, bagi seorang Muslim, kehidupan di bulan
Ramadlan itu cara hidup yang sesungguhnya. Dan di bulan itu pula cara beriman kita
yang seharusnya, yakni, bermakrifatullah (mengenal Allah Swt) lalu ikhlas kepada-Nya.

Bagi mereka yang sudah optimal dengan khusyu’ dan ikhlas mendayagunakan energi,
perasaan, dan harta di bulan Ramadlan maka mereka juga harus meramadlankan
hidupnya di bulan-bulan lain hingga kematian datang seperti datangnya Ramadlan. Kita
gembira saat Ramadlan datang dan kita juga gembira di saat ajal datang menjemput
badan.

Kita berharap kepada-Nya mudah-mudahan di tahun mendatang Ramadlan masih


menyapa kita dengan keteduhan dan kedamaian. Amien. (Udien Al-Farry)

Berpuasa Dikala Berbuka


Publikasi 04/12/2002 14:14 WIB

eramuslim - Banyak orang susah payah berusaha menyelamatkan ibadah puasanya. Bagi
mereka yang bekerja keras dengan mengandalkan kekuatan fisik, hari yang terik dan
panas menyengat tentu menjadi ujian tersendiri. Karena itu tak heran bila banyak dari
mereka yang menyengajakan diri untuk mandi di siang hari atau tidur demi menjaga
puasa mereka. Sedang bagi mereka yang beraktivitas tanpa banyak mengandalkan
kekuatan fisik, bekerja dalam kantor atau ruangan yang sejuk, mungkin punya
kesempatan lebih banyak untuk membaca al-quran atau mengikuti pengajian. Sungguh
momentum Ramadhan menjadi suatu dorongan luar biasa untuk beramal ibadah lebih
dari hari-hari biasanya.

Puasa juga menjadi penge-rem yang canggih untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan


yang tercela. Menggunjing dan memperkatakan orang dengan serta merta akan
ditinggalkan. Marah dan dengki akan pula diredam dengan sepenuh kebijaksanaan.
Apalagi hal-hal yang membatalkan puasa. Dengan sepenuh kesadaran diri kita tentu
berusaha menghindarinya.
Dengan lemah dan letih kita dididik untuk menyadari kelemahan diri. Allah menciptakan
manusia dengan kemampuan biologis yang serupa. Keinginan akan makan, rasa lapar dan
haus, sakit, derita atau bahagia, semua orang akan merasakan hal yang sama, tak terbatas
oleh banyaknya kepemilikan harta ataupun perbedaan bangsa yang berlainan rupa.
Kondisi demikian menjadikan kita di sepanjang siang bulan Ramadhan sebagai hamba
yang lebih berbakti, lebih rajin dan lebih menghayati hakekat penciptaan diri sebagai
mahluk.

Begitu maghrib menjelang, tibalah saatnya waktu berbuka puasa. Kegiatan-kegiatan yang
sepanjang siang tidak diperkenankan, kini diperbolehkan kembali. Pada saat-saat inilah
justru kita sering berbuat diluar kontrol. Demi melihat deretan makanan yang lezat
terhidang, demi melihat aneka minuman yang menggiurkan, tak terkendali lagi tangan
dan mulut kita untuk menghabiskannya. Tak peduli akan isyarat perut akan kelebihan
beban yang ditampungnya. Demikian pula kegiatan tak terpuji lainnya, menggunjing
sembari makan, marah yang diumbar sembarangan, bahkan mengerjakan sesuatu yang
diharamkan. Yang muncul dalam benak kita pertama kali adalah pemuasan akan
keinginan yang sedari pagi tertahankan. Atau pula merasakan kelonggaran untuk kembali
melakukan hal-hal yang santai dan sia-sia.

Perjuangan kita sepanjang siang menjadi tak berbekas setelah maghrib tiba. Kita amat
bersungguh-sungguh dikala pembatasan melingkupi seputar panca indera dan hati kita.
Namun prestasi puasa kita merosot tajam disaat semuanya diperkenankan. Itulah pula
mungkin gambaran realisasi puasa pada diri dan keseharian kita. Disaat kita dihimpit oleh
berbagai aturan, kebijakan pimpinan, atau sempitnya ruang gerak yang diberikan, kita
menjadi manusia yang bersungguh-sungguh. Berdaya upaya dengan sekuat tenaga, hati
pun sedemikian bersih dan selalu bermunajat kepada Allah akan terkabulnya cita-cita.

Diwaktu kita tertindas oleh kekuasaan orang lain yang memenjara ruang gerak dan peran
sosial kemsyarakatan, kita sanggup menjadi pejuang kemerdekaan hati nurani dan
demokrasi.

Namun setelah kesempatan dianugerahkan, sesudah jalan dilapangkan, dikala kekuasaan


tergenggam, kita malah menjadi pelopor pemborosan dan kemubaziran. Nafsu kita untuk
berbuat apa saja menjadi sedemikian tak terkendali. Sampai pula pada hal-hal yang
merendahkan nilai-nilai moral dan etika. Puasa kita hanyalah pelaksanaan ibadah semata
di bulan Ramadhan. Tak berefek pada peningkatan kualitas iman dalam berbagai aktivitas
keseharian kita. Jika kondisi ini menjadi hal yang biasa dan dilakukan tanpa rasa berdosa,
maka bukan tak mungkin kalau kebangkrutan sudah menunggu kita di penghujungnya.

Semoga Allah menganugerahkan ruh puasa dalam jiwa kita. Sehingga akan membekas
dalam perjalanan hidup kita ke depan, di hari-hari setelah Ramadhan. Hari-hari dimana
kita lebih banyak berbuka terhadap berbagai aktivitas selayaknya Ramadhan. Mudah-
mudahan hidup kita akan lebih bermakna dan berkualitas karenanya, didepan Tuhan dan
dalam sejarah perjalanan kemanusiaan kita. Wallahu 'a'lam bishshowab (Deni
mukhyidin/mukhyidin@yahoo.de)
Hidup Di Bawah Naungan Tauhid
Publikasi 04/12/2002 11:34 WIB

eramuslim - Sering orang bertanya, “Apakah Allah itu ada?” ”Dimana Allah?”
Keberadaan Allah hanya bisa kita akui bila kita memiliki landasan tauhid yang benar.
Allah memang tidak menampakkan wujudnya, tapi Allah dengan segala sifatnya dapat
kita rasakan keberadaan-Nya. Kejelasan tauhid akan tergambar dari kalimat syahadat
yang kita ucapkan. Dari kalimat ini akan terjalin hubungan yang harmonis, penuh
kecintaan kepada Allah. Kecintaan kepada Allah akan melahirkan pengorbanan kepada-
Nya untuk berjuang di jalan-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi segala
larangan-Nya.

Zat Allah lebih besar dari apa yang kita perkirakan. Manusia tidak akan sanggup
memikirkan zat Allah. Allah berfirman, “katakanlah Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS.112:1-2)

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS.6:103)

Tauhid yang murni hanya akan tercapai bila kita mengenal hakekat penciptaan kita,
begitu juga dengan zat yang menciptakan kita. Betapa indah hidup di bawah naungan
kasih sayang dan belain Allah. Namun banyak diantara kita sulit untuk memurnikan
tauhidnya, karena selain tidak kenal dengan Allah, mereka masih menyekutukan Allah
dengan tandingan-tandingan yang lain.

Tak kenal maka tak sayang, begitu orang mengatakan. Tidak kita akan pernah tahu siapa
Einstein jika kita belajar ilmu Fisika, kita tidak akan mengenal Jendral Sudirman jika kita
tak belajar sejarah, kita juga tidak akan mungkin kenal Ronaldo kalau kita tidak
mengenal sepak bola. Begitu juga dengan Allah. Bagaimana mungkin kita akan
merasakan keindahan bertauhid kepadanya jika “kreasi” Allah tidak pernah kita baca dan
pikirkan.

Kita bisa lihat kreasi Allah denga kasat mata. Tidak perlu ke gunung, lembah atau pantai.
Pandangi saja diri kita. Renungkan mata yang elok ini, subhanallah kenapa mata yang
berdiameter kecil ini bisa mengantarkan kita melihat indahnya dunia, alangkah
meruginya manusia jika mata ini buta. Hidung yang sempurna bertengger di wajah
mampu menghirup udara segar, tanpa indra kecil itu tentulah kita tidak bisa bernafas.
Subahanallah, mampukah kita membuat penggantinya, bila salah satu indera kita itu
tidak berfungsi?

Secara tekstual, kreasi Allah itu adalah Al-Quran. Ialah pedoman hidup yang banyak
ditinggalkan kaum muslimin sekarang ini, akibatnya banyak kaum muslimn yang
kehilangan arah. Padahal Sayyid Qurb dalam tafsir fi-zilalnya yang puitis dan romantis
itu mengatakan, “Hidup di bawah naungan Al-Quran merupakan suatu kenikmatan.
Kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah mereguknya. Kenikmatan
yang mengangkat, memberkati dan mensucikan umur kehidupan…”

Jadi, kembalilah kepada Al-Quran. Jadikan ia sebagai pegangan utama kita, bacaan
pertama yang kita baca sebelum koran terhidang. Petunjuk hidup, jalan keselamatan.
Lantunan ayat suci Al-quran saja telah membuat hati tentram, apa lagi hikmah yang
terkandung di dalamnya. Wallahu 'a'lam bishshowaab (Yesi Elsandra, Untuk orang-
orang yang telah menunjukkan jalan terang)

Sekedar Contoh
Publikasi 29/11/2002 08:45 WIB

eramuslim - Kalaulah kita mau belajar, manusia yang hidup pada zaman ini bisa
mendapatkan berbagai contoh hidup manusia sebelumnya. Predikat dan profesi apapun
yang tersematkan pada diri ini, tentu pernah terjadi pada masa sebelumnya. Bahkan tidak
sedikit dari deretan nama-nama pelaku sejarah kehidupan manusia itu tercantum dalam
kitab Allah, Al Qur’an. Tentu dengan maksud yang satu, hikmah bagi yang sekarang
menjalani hidup agar tidak mengulangi kesalahan manusia-manusia terdahulu sesuai
dengan salah satu fungsi Al Qur’an itu sendiri, yakni sebagai petunjuk (huda) bagi
mereka yang hidup, karena sesudah mati nanti yang harus dilakukan manusia hanyalah
mempertanggungjawabkan setiap inci perjalanan hidup yang pernah dilaluinya.

Dari daftar nama pelaku sejarah pada masa lalu itu, kita bisa temukan dua tipe manusia,
yang pertama adalah mereka yang ingkar kepada Allah dan sebagai akibatnya kecelakaan
dan laknat Allah adalah balasan yang paling setimpal buat mereka. Sedangkan yang
kedua, hamba-hamba Allah yang taat, beriman dan takut akan adzab Allah sehingga
mereka tak henti-hentinya berupaya mendekatkan diri kepada Rabb-nya seraya berharap
ridho dan cinta Allah yang menjadi tujuan hidupnya.

Allah pernah menghidupkan Fir’aun, Raja Namruj, Raja Abraha, Raja Jalut yang
bertindak diluar kapasitasnya sebagai makhluk ciptaan Allah. Sombong, zhalim, serta
serakah adalah beberapa diantara karakter yang seharusnya tidak berlaku bagi manusia,
karena itu sudah diluar kapasitas yang seharusnya dilakukan. Sesungguhnya, Allah telah
memberikan batasan-batasan mana yang pantas, baik dan sepatutnya (boleh) dilakukan
dan mana yang tidak. Sehingga ketika ada orang-orang yang melakukannya melebihi
kapasitas yang diberikan, melanggar batas-batas yang sudah digariskan, maka Allah
menghukumnya sebagaimana hukuman kepada orang-orang yang berlebih-lebihan.
Karena itulah, Allah juga menghidupkan seorang manusia agung bernama Sulaiman,
yang kekayaannya tak mampu lagi dihitung, kemasyhurannya yang tak tertandingi,
namun tetap takut dan berharap perlindungan Tuhannya dari sikap sombong dan zhalim.
Sikap rendah hati dan penyayang yang ditunjukannya, berbuah ketaatan dari semua bala
tentara yang dimilikinya. Selain shalih dan taat kepada Tuhannya, Sulaiman juga terkenal
dermawan, murah hati dan menghormati hak makhluk lain.
Hamman, seorang ilmuan dengan kemampuan teknologinya yang hebat. Namun
ketinggian ilmunya itu tidak membuatnya sadar bahwa segala ilmu yang didapatnya
adalah atas kehendak Sang Maha Pemberi Ilmu. Dan ia tetap ingkar kepada Allah.
Namun Allah juga menghidupkan seorang Yusuf yang menjadikan ilmunya semata untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah. Begitu pula dengan Nuh dan Daud, hamba-hamba
Allah yang meraih kemuliaan Allah karena ketaqwaan dan kelebihan ilmu yang
dimilikinya.

Kemudian ada Qarun, seorang kaya raya yang hidup pada zaman Fir’aun. Kunci-kunci
gudang hartanya harus dibawa oleh unta-unta yang berbaris, sebagai kiasan betapa
berlimpahnya harta kekayaan yang dimiliki Qarun. Namun ternyata, semua harta dunia
itu semakin menjauhkan dirinya dari Yang Maha Kaya, Qarun pun ingkar dan Allah
menenggelamkan manusia yang tak pernah bersyukur itu bersama dengan seluruh
hartanya. Maka ada hamba-hamba Allah yang juga terkenal kaya raya, namun
menjadikan kekayaannya untuk biaya dakwah dan perjuangan menegakkan agama Allah.
Dialah Ustman bin Affan yang menginfakkan seribu unta miliknya yang sudah dipenuhi
barang-barang dan perbekalan hidup pada saat Rasulullah mengalami masa paceklik
penuh kesusahan. Selain Ustman, ada Abdurrahman bin Auf yang juga kaya raya.
Seorang pengusaha yang sangat takut jika hartanya itu kelak akan memberatkan
pertanggungjawabannya dihadapan Allah, takut jika harta kepunyaannya akan
membutakan dan menjauhkannya dari Allah, sehingga tak pernah sedikitpun ia sungkan
untuk bersedekah dan menyisihkan harta yang dimilikinya itu untuk membantu fakir
miskin.

Tentu masih banyak contoh-contoh baik dan buruk yang bisa kita hadirkan, untuk bisa
dijadikan pelajaran dalam menjalani kehidupan ini. Adalah suatu kebodohan jika kita tak
pernah belajar dari ketaqwaan dan keimanan, kegagalan dan keberhasilan, kecelakaan
dan keberuntungan manusia terdahulu, karena sesungguhnya semua itu sudah terekam
jelas pada ayat-ayat Allah. Sungguh, Kitab Al Qur’an yang mulia itu lembar-demi
lembarnya, ayat demi ayatnya mengandung rekaman peristiwa sejarah perjalanan
kehidupan manusia hingga pada akhir zaman ini. Kezhaliman dan kesewenang-wenangan
Fir’aun, Namruj, Abraha dan Jalut, juga terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan
hingga kini. Kesombongan ilmuan seperti Hamman juga bisa ditemui pada perjalanan
manusia-manusia sesudahnya. Begitu juga keserakahan dan ketamakkan macam Qarun
juga dengan mudah hadir dan terpampang di depan mata.

Kita ini, seperti halnya manusia-manusia terdahulu, hanyalah pelaku sejarah dalam
lembaran-lembaran kehidupan manusia sepanjang hayat. Manusia yang hidup pada saat
ini, menjadikan manusia-manusia sebelumnya sebagai pelajaran, kebaikan ataukah
keburukan yang diambil. Begitu juga kita, tentu akan dijadikan contoh hidup bagi
menusia-manusia setelah kita mati. Masalahnya adalah, apakah mereka menjadikan kita
sebagai contoh baik atau buruk, mengambil pelajaran dari kegagalan atau kesuksesan,
serta hikmah dari kecelakaan atau keberuntungan. Inilah yang seharusnya kita persiapkan
dari sekarang, selama Allah masih memberikan kita kesempatan untuk mengukir prestasi,
meningkatkan keimanan sehingga saat mati nanti orang mengenal kita sebagai pribadi
yang patut diteladani, dan dibanggakan, setidaknya oleh anak cucu kita.
Sungguh, Allah telah memberikan peringatan mengenai hal tersebut dengan sangat jelas
dalam ayatnya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran:
190). Ayat Allah yang tertulis dalam Kitab Al Qur’an memang masih bisa terhitung
dalam bilangan, namun ayat-ayat Allah yang tidak tertulis, akan tetap berkembang seluas
langit dan bumi, sepanjang sejarah keberadaan manusia di bumi, dan tentu tidak akan
pernah habis sebelum Allah menghentikan semua proses kehidupan makhluk di dunia.
Hanya saja, sedikit manusia yang mau mengambil pelajaran dari ilmu-ilmu Allah yang
berserakan itu. Wallaahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Mengusung Ruh Dari Emperan Toko Cempaka Putih


Publikasi 27/11/2002 07:44 WIB

eramuslim - Setelah melewati sebuah hari kerja yang sangat melelahkan, masih adakah
sisa tenaga kita untuk tarawih di malam Ramadhan ini? Andai kita seorang musafir atau
perantau yang jauh dari keluarga, akankah kita tetap sholat tarawih di perantauan?

Salah satu sudut Jakarta, tepatnya di bawah jalan tol daerah Cempaka Putih adalah rumah
bagi para pekerja bangunan (kuli) lepas yang tak mampu untuk menyewa rumah/tempat
kost. Mereka tinggal di bawah jalan tol, berbekalkan cangkul dan pakaian seadanya. Jauh
dari keluarga mereka di kampung halaman. Mengumpulkan uang dengan bekerja menjadi
kuli lepas. Setiap hari menanti pekerjaan yang belum tentu datang.

Memasuki Ramadhan, malam hari mereka menempati teras/emperan sebuah toko di


jantung Cempaka Putih. Setiap maghrib, sekitar 20 pekerja ‘pulang’ ke teras mereka.
Subhanallah, walaupun jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga tercinta, mereka
tidak jauh dari Allah SWT. Setiap maghrib, mereka berbuka dan sholat berjamaah di
emperan toko. Cangkul dan peralatan kerja ditempatkan di salah satu sudut emperan.
Mereka juga tampak sangat menjaga kebersihan. Saat sholat, mereka melepaskan celana
kerja mereka yang terkadang kotor berlumuran tanah. Berganti dengan sarung bersih
yang mereka bawa. Mereka ingin bersih menemui Khaliknya.

Memasuki Isya, Tarawih ditegakkan dengan berjamaah. Sholat berjamaah mereka adalah
sebuah pemandangan yang sangat menggetarkan hati. Bagaimana tidak, mungkin tubuh
mereka sangat penat setelah seharian bekerja keras menjadi kuli bangunan, mungkin
mereka rindu pada kenyaman rumah mereka di kampung. Mereka bisa memilih untuk
beristirahat, tidur. Mereka juga bisa memilih untuk bergerombol tak tentu tujuan. Tapi
setiap malam mereka menegakkan tarawih. Allah memanggil mereka untuk tarawih.
Bersinarkan pendar lampu-lampu dari kaki lima di sekitar dan rembulan redup di atas
sana. Beralaskan sajadah usang atau terpal usang di atas tanah. Beratapkan langit Jakarta
yang nyaris tanpa bintang. Mereka bersujud, sujud merendah kepada Yang Maha Tinggi.
Menaikkan ruh mereka menemui Yang Maha Tinggi. Karena pada saat mereka bersujud
merendah, sesungguhnya ruh mereka naik ke langit, menemui-Nya. (Dari Yayasan
Martabat, Yayasan yang memberikan santunan kepada anak-anak yatim.
yayasanmartabat@yahoo.com)
Buruk Muka, (Jangan) Cermin Dibelah
Publikasi 25/11/2002 07:25 WIB

eramuslim - Kita tentu sering bercermin, memperhatikan setiap inci dari wajah dan
penampilan sebelum keluar rumah. Tidak sedikit orang yang memerlukan waktu berjam-
jam untuk bercermin, membenahi dandanan, membersihkan wajah, menyingkirkan segala
apapun yang sekiranya dapat mengurangi keindahan penampilan, serta menambahkan
apapun (juga) yang dapat memperindah, mempercantik diri. Bahkan tidak jarang, meski
sudah berjam-jam berada di depan cermin, masih muncul perasaan kurang percaya diri
sehingga memaksanya untuk kembali lagi ke depan cermin, memutar tubuh, ke kanan ke
kiri, sedikit menunduk, melenggak-lenggok bolak-balik di seputar cermin hingga
semuanya terasa perfect, barulah ia melangkah keluar kamar. Sudah cukup? Belum.
Karena di halaman tamu, masih saja bertanya kepada ibu, adik, kakak, suami, atau istri
tentang penampilannya hari ini.

Siapa sih yang tidak pernah bercermin? Jika bukan karena tempat tinggalnya yang jauh
sangat terpencil sehingga tidak ada penjual cermin yang datang ke tempat itu, atau karena
teramat sangat papanya bahkan sebuah cermin pun tak dapat dibelinya, mungkin tak ada
orang yang tidak memiliki cermin. Kalau memang sekiranya demikian, toh bisa saja
pecahan kaca cukup untuk sekedar melihat bagaimana penampilan hari ini. Tidak cukup
bercermin di rumah, (biasanya wanita) masih ada orang yang tak ketinggalan untuk
membawa serta cermin kecil (menyatu dengan bedak) di dalam tas kerjanya.

Di kendaraan, baik di bus maupun kendaraan pribadi kita senantiasa menyempatkan diri
untuk bercermin, itupun masih ditambah senyum-senyum sendiri ketika mendapatkan
‘OK’ di wajahnya. Setiap berjalan melewati tempat parkir dimana mobil-mobil berjajar,
jujur saja, pasti Anda adalah satu dari orang yang tidak membuang kesempatan untuk
sekedar menoleh melihat bayangan sendiri disitu. Atau juga ketika melewati etalase-
atalase toko, hal yang sama kita lakukan.

Rasa cemas biasanya langsung bereaksi ketika sekilas saja mendapatkan sesuatu yang
tidak pas pada penampilan kita. Tidak jarang bahkan ada yang panik sedemikian rupa,
apalagi bila saat itu tengah berada di tempat khalayak ramai. Jatuh pasaran lah, harga
dirilah, malu dan sebagainya menjadi alasan untuk segera mencari tempat untuk
memperbaiki penampilan. Kondisi demikian sangat wajar, karena setiap orang pada
dasarnya selalu ingin tampil menarik, baik selain juga ada hasrat untuk dipandang baik.
Untuk sebagian orang mungkin, berpenampilan cantik dan indah juga untuk menarik
perhatian orang lain, mengharap pujian, pusat perhatian, atau sekedar kesenangan.

Apapun alasannya, termasuk karena memang ada orang-orang yang terbiasa tampil baik
dan menarik, menjadikan diri ini berharga di mata orang lain itu sangat lah penting.
Karena jelas, performa seseorang juga bisa terlihat dari caranya berpakaian (termasuk
keserasian paduan warna), berjalan, bersikap. Tidak cukup dengan itu, masih ada
tambahan aksesoris dan wewangian yang dipakai untuk menambah kesempurnaan diri.
Intinya, setiap orang butuh (merasa wajib) bercermin!
Namun demikian, tentu sangat naif jika kita hanya memperhatikan penampilan luarnya
saja tanpa mempedulikan aspek dalam diri kita yang sesungguhnya jauh lebih berharga.
Karena jauh lebih berharga, sudah barang tentu semestinya jauh lebih diperhatikan,
dibenahi dan diperindah. Dua hal yang berada didalam diri ini yang jauh lebih berharga
dimaksud adalah, Akal dan Hati.

Ingat iklan layanan masyarakat “tulalit” tentang seruan membaca? Tentu saja, sebaik dan
sesempurna apapun penampilan fisik jika tidak ditunjang akal pikiran yang cerdas dan
sehat, menjadikannya sebagai pribadi yang tidak berharga. Kalaupun ada yang sempat
meliriknya, bisa dipastikan tidak berapa lama hal itu berlangsung, mungkin bisa dihitung
sesaat setelah obrolan pertama.

Hal kedua, yakni Hati. Semestinya menjadi kepentingan setiap individu juga untuk
menata dan membersihkannya, untuk kemudian senantiasa memperbaharui isinya dengan
hal-hal kebaikan. Jika dibiarkan tak tertata, tak diperhatikan dan apalagi tak sekalipun
dibersihkan dari kotoran-kotoran yang kerap menyerang, niscaya cermin hati ini menjadi
pekat oleh titik-titik debu yang pekat. Padahal, hati adalah cermin, dengan melihat hati,
kita tentu bisa melihat setiap kesalahan dan kebaikan, setiap kebenaran dan kebatilan
yang dilakukan. Untuk kemudian mengambil sikap, sadar dan taubat jika melakukan hal
salah, dan terus meningkatkan setiap amal kebaikan.

Namun jika cermin hati ini sudah hitam pekat, tentulah tak ada yang bisa memberi tahu
kita salah dan benar. Hati yang bersih senantiasa menolak setiap kebatilan, akan tetapi
jika ianya sudah sedemikian kotornya, seakan tak sanggup lagi menolak setiap perbuatan
maksiat yang terus menerus kita tumpuk. Maka sebelum semakin sulit dibersihkan,
sebaiknya setiap titik debu yang menempel segera dibersihkan, agar cermin hati ini kerap
bergetar ketika menyebutkan asma-Nya, dan bertambah keimanan setiap mendengarkan
ayat-ayat Allah. Agar juga cermin hati ini bisa berteriak lantang menentang setiap
kekhilafan yang kita akan perbuat.

Dan jika kedua cermin itu, (Akal dan Hati) sudah terus terasah dan dibersihkan, maka
cermin diri ini akan semakin sempurna menambah kesempurnaan penampilan luar yang
juga setiap hari dibenahi. Paduan dua cermin akal dan hati tentu melahirkan pribadi yang
berwibawa, profesional, elegant, bijaksana, sadar kewajiban dan hak secara proporsional,
selain juga pribadi shaleh yang menjadi penghias diri yang paling utama. Jadi, jangan
pernah biarkan cermin akal dan hati ini tak terurus, apalagi memecah cermin itu saat
mendapati diri ini tak indah dalam bayangan cermin.

Andai suatu ketika bercermin mendapatkan wajah dan penampilan yang buruk, kenapa
harus membelah cermin itu? Toh, pada saat bercermin itu hanya kita yang tahu keburukan
sendiri. Sikap terbaik adalah membasuh wajah agar nampak bersih berseri sehingga
cermin yang tak jadi kita belah itu tetap bisa memberi tahu setiap keburukan yang ada,
setiap saat. Jika setiap hari menyempatkan diri bercermin (juga membawa cermin) untuk
memperbaiki penampilan luar, kenapa juga tak membawa serta cermin akal dan hati.
Cermin akal adalah membaca. Membaca dalam arti luas. Dengan membaca, kata yang
keluar bukan tanpa makna, bukan omong kosong, melainkan kata-kata penuh isi yang
berpengaruh. Sedangkan cermin hati, adalah dzikir. Dengan senantiasa mengingat Allah,
maka menjadikan hati ini peka terhadap apapun yang bathil, salah dan tidak tepat, dan
sebaliknya, akan senang atas segala kebenaran yang berlaku. Wallahu ‘a’lam
bishshowaab (Bayu Gautama).

Mempuasai Dunia
Publikasi 21/11/2002 06:50 WIB

eramuslim - Berpuasa memang olah batin yang memerlukan tingkat ilmu dan
pengendalian diri yang tinggi. Dan manajemen pengendalian diri memang menjadi salah
satu poin tertinggi dalam pelaksanaan ibadah puasa. Rasakan saja dalam puasa yang kita
lakukan, baik itu ramadhan maupun puasa sunnah lainnya. Dalam batasan waktu tertentu,
dari ketika subuh hingga maghrib kita tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu
yang biasa kita lakukan. Walaupun kesemuanya itu adalah pekerjaan yang halal dan
berpahala ketika dilakukan diluar hari puasa.

Tengoklah makanan yang kita beli dari jerih payah kerja kita adalah halal tentu saja,
demikian juga minuman yang kita reguk, yang dengan itu kemudian kesegaran akan
terasa menjalar ke seluruh tubuh. Haramkah itu? Tidak. Hubungan badan antara suami
dan istri pun halal pula di hari biasa. Tapi mengapa pada saat-saat itu dilarang?
Jangankan melakukan semua itu, berkeinginan untuk melakukannya pun akan merusak
pelaksanaan ibadah puasa.

Mengapa untuk sekian waktu kita harus menahannya. Kita dilarang melakukannya?
Padahal semua itu halal semata? Bahkan sebaliknya, jika kita tetap saja melakukan
aktivitas itu, malah kita akan terlempar dari kasih-sayang Allah.

Dengan puasa kita diajarkan untuk mensikapi dunia dengan sebenarnya. Mendudukannya
pada tempat yang semestinya, kedudukan yang remeh dan kecil saja jika dibandingkan
dengan tujuan penciptaan kita sebagai mahluk Allah. Artinya untuk mendekatkan diri
kepada Allah, menjadi mahluk yang dimuliakan dan diridhai-Nya, manusia semestinya
mampu membebaskan diri dari ketergantungan terhadap dunia.

Selama Ramadhan kita dilatih untuk menikmati dunia batin dengan seluruh panca indera
kita. Perut yang lapar, mata yang tertahan, penurunan kinerja jasmani, hati yang sibuk
dan ramai dengan dzikir, mulut yang terus melantunkan kalam Ilahi. Kita dituntun untuk
menemukan jalan yang sebenarnya dari pengaruh pahit-manisnya kehidupan. Kita
lakukan semuanya itu ditengah kegiatan keseharian yang terus berjalan, bekerja keras
ikut mengisi detik demi detik perjalanan sejarah kemanusiaan kita.

Idealnya, dari pelatihan ibadah puasa kita dapat ilmu pengendalian diri. Mengatur dengan
bijaksana setiap keinginan yang muncul tak ada habisnya dalam diri manusia. Agama kita
tak melarang ummatnya menjadi orang kaya, mempunyai harta yang banyak, kedudukan
dan jenjang karier yang tinggi. Justru Islam sangat mengkhawatirkan kemiskinan,
kebodohan dan ketidakberdayaan ummatnya. Tapi dalam keadaan tertentu kita terkadang
harus berpuasa terhadap itu semua. Dikala kondisi itu justru menjauhkan kita dari kasih
sayang Allah. Berpuasa dari tekanan keinginan-keinginan yang tak habis-habisnya.
Hingga pada akhirnya kita akan jadi manusia yang berhati-hati terhadap apa yang
diperbuat dan dimiliki.

Kalau punya rumah satu sudah cukup kenapa harus dua? Kalau rumah biasa sudah lah
memadai kenapa harus membeli rumah mewah yang berharga milyaran dan berkamar
belasan? Kalau kondisi seperti itu adanya, kita semestinya berpuasa untuk jadi orang
kaya. Rumah yang terbangun berhambur kemubaziran seperti itu sepatutnya dihindari.
Lantaran setiap partikel semen, setiap butir pasir yang tersusun di dalamnya akan menjadi
beban yang dipikulkan pada hari pertanggungjawaban nanti. Bukankah orang yang kaya
dimata Allah adalah orang yang paling kaya amal baiknya, dengan apapun saja yang dia
miliki? (Deni Mukhyidin/mukhyidin@yahoo.de)

Agar Nikmat Allah Bertambah


Publikasi 20/11/2002 10:16 WIB

eramuslim - Ada sebagian manusia yang Allah cukupkan (bahkan lebih) nikmatnya pada
satu sisi dimana orang-orang lain belum mendapatkannya. Misalnya soal harta. Keadaan
yang demikian sesungguhnya tidak bisa dipandang bahwa Allah tidak adil dalam
memberikan rizki kepada hamba-hamba-Nya. Setidaknya kita bisa menyebutkan tiga
hikmah dari kebijakan Allah yang demikian. Pertama, Allah sedang menguji manusia
dengan kelebihan dan kekurangannya, kedua, Sesungguhnya Dia mencukupkan sebagian
nikmat kepada sebagian hamba namun menahan nikmat yang lain pada sebagian hamba
tersebut, sementara nikmat yang lain itu diberikannya kepada sebagian hamba yang lain.
Dan ketiga, Allah jelas sangat ingin melihat seberapa bersyukurnya manusia akan apa
yang dinikmatinya saat ini.

Rizki Allah yang bisa kita nikmati tentu beragam bentuknya, ia bisa berupa harta yang
dicukupkan oleh-Nya, diberinya kita pasangan hidup yang menentramkan, kehadiran
seorang anak, ketenangan hidup, terhindar dari marabahaya, kenaikan pangkat dan
promosi jabatan, atau bahkan sekedar masih diberikan kesempatan bisa makan meski
seadanya untuk satu hari ini. Tinggal bagaimana kita memandang semua itu sebagai
nikmat yang mesti disyukuri sehingga bisa menyelamatkan kita dari kekafiran dan
ancaman adzab Allah yang nyata.

Allah telah memberikan nikmat pada sebagian manusia di bumi dan memberikan nikmat
dalam bentuk yang lain kepada sebagian lainnya. Demikian pula Dia menahan nikmat
untuk sebagian manusia, juga menahan nikmat yang lain juga untuk sebagian manusia
yang lain. Hal ini perlu disadari oleh kita, bahwa setiap kali Allah menambahkan nikmat
kepada saudara kita, tentu Allah dengan Kemaha-Adilan-Nya juga menambahkan nikmat
kepada kita, meski dalam bentuk yang lain. Misalnya, ketika ada yang naik jabatan dan
kita ikut bersyukur atas keberhasilan saudara tersebut, maka pada saat itulah Allah
menambahkan nikmat berupa hati yang bersih tanpa dikotori rasa iri dan dengki.
Masalahnya kemudian, kebanyakan manusia sering terlupa untuk terlebih dulu
mensyukuri nikmat yang sudah diterimanya sementara ia terus menerus meminta Allah
agar menambah nikmat kepadanya. Seperti ditegaskan Allah, bahwa Dia (pasti) akan
menambah nikmat kepada hamba yang pandai mensyukuri nikmat yang telah diberikan-
Nya dan memberikan adzab (yang pedih) kepada mereka yang mengingkari (QS.
Ibrahim:7).

Sekarang, sebelum lagi terus menerus meminta kepada Allah akan tambahan nikmat,
hitung-hitunglah seberapa besar rasa syukur kita terhadap segala nikmat yang telah
diberika Allah kepada kita selama ini. Sudah barang tentu, jumlah nikmat yang takkan
pernah bisa terhitung itu membuat kita lalai untuk mensyukurinya. Bentuk syukur itupun
bisa dengan berbagai cara, dengan membagi sebagian rizki yang kita peroleh kepada fakir
miskin, menghadirkan suasana bahagia di hati anak-anak yatim piatu dengan
menyantuninya, dan yang paling berkenan adalah semakin dekatnya kita kepada Allah
melalui peningkatan kualitas ibadah, atau bermacam bentuk ungkapan kesyukuran
lainnya.

Allah itu Maha Kaya, disamping itu Dia juga Maha Pemurah. Maka jangan pernah ragu
akan kasih sayang-Nya. Tanpa memintapun, jika Dia sudah melihat begitu bersyukurnya
kita akan nikmat yang selama ini dirasakan, niscaya dia akan menambahkannya dengan
nikmat-nikmat lain. Sungguh, Allah Maha Tahu akan kebutuhan, keinginan setiap
hamba-Nya sehingga Dia mencukupi hal-hal yang belum dimiliki setiap hamba itu.
Namun jika belum cukup terlihat rasa syukur itu, jangan pernah berharap Allah
menambahkan nikmat-Nya, bahkan justru memberikan adzab yang nyata terhadap
mereka yang mengingkari.

Maha benar Allah dengan segala ucapan dan ketentuan-Nya, adzab yang paling nyata dan
terasa diberikan Allah kepada hamba yang tak pandai bersyukur adalah dengan cara ia
menahan bentuk nikmat yang lain, atau bahkan menghentikan nikmat yang ada saat ini.
Di dunia ini, ada orang-orang yang diberikan kecukupan harta, namun karena ia tak
bersyukur atas nikmat itu, Allah tak berikan rasa aman dan ketenangan dalam hidupnya.
Hidupnya senantiasa diliputi kekhawatiran dan kecemasan dalam menjaga hartanya.
Padahal, seandainya ia menginfakkan sebagian rizkinya itu, insya Allah ketenangan akan
menyelimuti setiap langkahnya.

Atau mereka yang mendapatkan kesempatan memiliki karir bagus dengan gaji yang
memuaskan, namun ia tak juga memiliki seseorang yang menjadi pendamping hidupnya,
padahal usianya sudah semakin beranjak. Mungkin Allah belum melihat rasa syukur yang
cukup atas nikmat yang telah kita terima saat ini, sehingga Dia menahan nikmat yang
lain. Sebaliknya, mereka yang telah dipasang-pasangkan dan dihadirkan kasih sayang dan
ketentraman dalam rumah tangganya, itu adalah sebuah nikmat yang juga perlu
disyukuri. Jika pasangan-pasangan itu belum dikaruniai anak atau belum mendapatkan
kecukupan harta dan selalu kekurangan, bisa jadi mereka belum benar-benar bersyukur
atas karunia dan nikmat mendapatkan pasangan hidupnya. Sesungguhnya, kebijakan
Allah menahan nikmat lain merupakan ‘adzab’ karena kita belum benar-benar bersyukur
atas nikmat sebelumnya.
Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang terus menerus ditambah nikmatnya padahal
tak sedetikpun ia pernah mengucapkan pujian kepada Allah. Atau sebaliknya, mereka
yang tak henti-hentinya mendekatkan diri kepada Allah namun tetap dalam hidup
kekurangan. Tentu saja, Allah tengah menguji mereka dengan keadaan yang sekarang,
apakah ia tetap beriman atau ingkar. Dalam hal ini, Allah menegaskan dalam sebuah
hadits qudsi, "Diantara hamba-hamba-Ku yang mukmin ada sebagian yang tidak bisa
baik urusan agama mereka kecuali dengan diberi kekayaan, kelegaan, dan kesehatan
badan. Lalu kami menguji mereka dengan kekayaan, kelegaan, dan kesehatan badan
sehingga baiklah urusan agama mereka. Diantara hamba-hamba-Ku yang mukmin ada
pula sebagian yang tidak bisa baik urusan agama mereka kecuali dengan diberi
kekurangan, kemiskinan, dan penyakit sehingga baiklah urusan agama mereka. Aku
mengetahui dengan apa hamba-Ku yang mukmin menjadi baik dalam urusan agamanya".

Sekali lagi, kita menyadari akan kasih sayang dan pemurahnya Allah, namun yang perlu
diketahui adalah bagaimana membuat Allah menjadi lebih kasih, lebih sayang dan lebih
pemurah kepada hamba-hamba-Nya, yakni dengan cara mensyukuri setiap nikmat yang
telah diberikannya. Niscaya, sesuai janji-Nya, Allah akan menambahkan dan mencukupi
nikmat kepada kita, tanpa harus kita memintanya. Karena sesungguhnya, Dia Maha
Mengerti akan setiap keluhan yang tak terlontarkan dari hamba-hamba yang bersyukur.
Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Akan Selau Ada Pahlawan Di Setiap Kezhaliman


Publikasi 18/11/2002 10:30 WIB

Ibrahim kecil gagah menantang Raja Namruj yang tengah geram, dikelilingi sejumlah
pasukan dan beberapa algojonya, Namruj bertanya, “Hai anak kecil, kamukah yang
menghancurkan patung-patung sesembahan kami?”. Dengan enteng Ibrahim berkata,
“Tanyakan saja pada patung yang lebih besar itu, mungkin dia yang melakukannya
karena kapak itu masih tergantung padanya,” ledek Ibrahim sambil menunjuk patung
yang besar yang sengaja tidak dihancurkannya. Tentu saja Raja Namruj yang terkenal
kejam itu semakin berang mendengar jawaban Ibrahim. Bukan hanya karena merasa
dipermainkan seorang anak kecil, melainkan juga, jawaban itu, terasa menohok sisi
kebodohan dirinya dan semua pengikutnya dengan menyembah sesuatu yang tak
memiliki kuasa melakukan satu apapun.

Alhasil, keberangan yang bercampur perasaan terhina Raja Namruj membuat Ibrahim
‘dihadiahi’ hukum bakar, selain karena Ibrahim adalah tersangka utama pelaku ‘teror’
terhadap tempat ibadah kaum yang dipimpin Raja Namruj itu. Namun kuasa Allah
bermain, makar apapun yang dibuat manusia takkan pernah bisa mengalahkan makar
Allah. Seganas dan semerah menyala api membakar tubuh Ibrahim kecil, tak sedikitpun
kulitnya tersentuh oleh jilatan api.

Kisah lain, Daud yang memiliki kemampuan berperang yang hebat tak gentar
menghadapi pertarungan “semut lawan gajah” melawan Raja Jalut yang terkenal bengis
dan kejam. Daud yang berasal dari kalangan bawah dengan berbekal sebilah pedang
tanpa baju besi, akhirnya mampu mengalahkan Raja Jalut yang besar dengan segudang
pengalaman bertarungnya. Dalam versi barat, kisah ini dikenal dengan “David Versus
Goliath”.

Sementara itu, seorang utusan Allah lainnya, Musa dengan ditemani saudaranya Harun,
menentang kekejaman ‘ayah asuhnya’ sendiri, Raja Fir’aun yang zhalim dan diktator.
Kekuasaanya yang begitu tinggi membuat Fir’aun teramat angkuh menobatkan diri
sebagai Tuhan. Kesombongan yang didukung oleh seorang ilmuan hebat bernama
Hamman dan seorang kaya bernama Qarun, jadilah ia semakin jumawa. Fir’aun yang
terkenal kejam tidak ingin seseorang kelak menghancurkannya, maka kemudian atas
perintahnya, semua bayi laki-laki yang lahir pada masa pemerintahannya pun dibunuhi.
Sekali lagi, Kuasa Allah bermain, bahwa kemudian seorang pemuda Musa yang justru
hidup di lingkungan istana Fir'aun oleh lembutnya kasih sayang Asiah, menenggelamkan
Raja zhalim itu ke dasar lautan.

Dalam khazanah barat, kita pun mengenal kisah yang hampir serupa, yakni kisah
kepahlawanan yang berasal dari orang-orang kecil yang menentang kezhaliman
penguasa. Cerita rakyat Robin Hood mungkin bisa menjadi contoh. Berjuang dari
pedalaman hutan Sherwood, Robin bersama para pengikut setianya ‘merampok’ harta
para bangsawan yang hendak menyerahkan upeti kepada King Richard The Lionheart.
Otomatis, meski makin dicintai rakyat kecil, sepak terjang si pemanah ulung itu
menempatkannya dalam daftar buronan nomor wahid di Inggris saat itu. Cerita yang
hampir sama juga dilakukan legenda Meksiko, Zorro. Dibalik topeng yang
menyembunyikan identitasnya, Zorro membantu orang-orang lemah untuk melawan dan
bangkit dari ketertindasan. Mungkin dua cerita diatas hanyalah mitos atau sekedar cerita
rekaan. Namun setidaknya memberikan satu hikmah, bahwa harus ada orang-orang
pemberani untuk melawan kezhaliman.

Nampaknya, soal keberadaan orang-orang besar yang berlaku zhalim di setiap negeri di
setiap zaman sudah menjadi sunnatullah. Hal itu ditegaskan-Nya dalam Surat Al An’aam
ayat 123: “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang
terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. ...”.

Kalau dulu ada Ibrahim yang menentang Namruj, Daud versus Jalut, Musa yang
menenggelamkan Fir’aun serta masih banyak lagi tokoh kepahlawanan yang berani
berdiri menantang segala bentuk kezhaliman di muka bumi dalam satu negeri, kini disaat
negeri ini, agama ini tengah dihujani dengan cobaan bertubi-tubi, oleh kekuatan-kekuatan
yang terus merongrong, menteror bahkan mencoba menjadikan agama ini hitam pekat
oleh karena kejahilan orang-orang yang tak bertanggungjawab, adakah lagi pahlawan-
pahlawan yang menjadi tameng pembela seperti halnya Ibrahim, Daud dan Musa? Tentu
saja ada. Karena gemuruh jihad tengah bergelora dalam dada-dada para pahlawan itu.
Tinggal bagaimana diri ini menentukan sikap, memadamkan gemuruh itu dan
membiarkan orang lain mengambil kesempatan menorehkan nama pada kemuliaan atau
menjadikan gemuruh itu sebuah halilintar yang menggetarkan nyali musuh Allah.
Wallaahu a’lam bishshowaab. (Bayu Gautama_
Ketika Tuhan Menyeka Air Mata Kita
Publikasi 15/11/2002 08:46 WIB

eramuslim - Sahabat, Alhamdulillah Allah masih memberikan kesempatan kepada kita


berjumpa dengan Ramadhan, walaupun dalam suasana mencekam, duka yang mendalam,
akibat begitu banyaknya bencana yang melanda negeri ini.

Sahabat, Betapa bahagianya setelah sekian lama kita merindukan saat-saat seperti ini,
Allah berkenan menyertakan kita dalam indahnya menahan lapar, gembiranya menunggu
beduk, nikmatnya santap sahur, syahdunya Al-quran yang kita lantunkan, khusuknya
ibadah malam, dan tunduknya hati beri’tikaf di rumah Allah, subhanallah mudah-
mudahan kita bukan termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan keindahan nikmat bulan
yang penuh berkah dan maghfirah ini dengan kemaksiatan ...

Sahabat, Ketika orang-orang tidak menyadari kekhilafannya, Allah menancapkan


kesadaran dalam jiwa kita akan dosa-dosa yang selama ini telah berurat dan berakar
dalam kulit dan tulang-tulang kita. Kita menyadari lisan-lisan yang selama ini sering
berdusta, hati yang tidak mau tunduk, kotor dan penuh kedengkian, jiwa yang sombong,
keingkaran yang amat sangat kepada Allah, kebencian kepada sesama saudara, durhaka
pada orang tua, kelalaian tanggung jawab mendidik dan melayani anak, istri serta suami,
ketidak sabaran menuggu datangnya seorang kekasih yang akan memantapkan langkah,
kebahagiaan melihat orang lain menderita, iri, benci termasuk dendam kesumat. Kita
menyadari itu semua sebagai akibat dari lemahnya iman yang tertanam, astaghfirullah al
aziem, mohon ampun ya Allah ...

Sahabat, Saat bulan yang penuh ampunanan ini datang menghampiri, Allah mengulurkan
tanganya untuk kita sambut walaupun tangan kita tak kuasa digerakkan untuk
merangkulnya. Walaupun tangan itu sering menepis tapi Allah tidak pernah berhenti
mengulurkannya. Meskipun dosa-dosa kita seluas langit dan bumi, tapi ampunan Allah
tidak pernah bertepi. Walaupun tobat kita sering mungkir, tapi Rahman dan Rahim Allah
tidak pernah mangkir …

Sahabat, Tidak ada yang lebih membahagiakan tatkala kita menyadari dosa-dosa yang
pernah ada, kemudian kita berencana untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri.
Tumpahkanlah air mata penyesalan itu. Biarkan dia membanjiri sepertiga malam yang
hening, saat itu biarkanlah tangan Allah yang kuat dan lembut itu menyeka air mata
penyesalan kita. Kemudian kitapun akan meresakan sebuh kekuatan ghaib akan tumbuh
dan membawa kita ke dada pelangi, di sana hanya akan kita temukan keindahan warna-
warni kehidupan yang menyejukkan, membahagiakan, yang akan membuat diri kita
menjadi orang yang produktif, kreatif, inovatif dan prestatif.

Sahabat, Tundukkanlah hati, rendahkanlah diri di hadapan-Nya. Jangan biarkan


ramadhan yang romantis ini berlalu begitu saja. Tumpahkanalah sujud ke bumi di
sepertiga malam terakhir, kuatkan azzam agar dapat bercengkrama dengan Allah di
rumah-Nya pada sepuluh hari terakhir. Isilah pundi-pundi investasi abadi kita dengan
infak, zakat dan sedekah. Semailah benih-benih kebaikan, kelak kita akan menuainya
dengan sebuah kenikmatan abadi di sebuah taman, yang di bawahnya mengalir sungai-
sungai …

Sahabat, Selamat menjalankan ibadah ramadhan, mudah-mudahan segala kebaikan dan


kindahannya bukan sekedar fatamorgana, tetapi sebuah energi yang membawa perubahan
baru bagi diri dan jiwa kita, serta sebagai momentum untuk melakukan perubahan ke arah
yang lebih baik, karena perubahan tidak mesti memperbaiki sesuatu, tetapi untuk menjadi
lebih baik kita mesti berubah (Yesi Elsandra, for members of surau@yahoogroups.
Special womens, bundo, ni yus, ni GM, ni ta, ni susi, ni rahima let’s try to do our best for
minang future)

Dua Pilihan Yang Tidak Bisa Ditawar


Publikasi 14/11/2002 11:53 WIB

eramuslim - Setelah “panggung sandiwara” ini usai, kita mendapati dua pilihan atas
peran yang telah kita mainkan. Di atas panggung, kita bebas berimprovisasi, asalkan tetap
berada dalam kerangka naskah yang telah di atur dan ditetapkan oleh Sang Sutradara.
Penilaian hanya ada dua, baik dan buruk, jalan lurus atau jalan menyimpang. Maka
tidaklah sama antara yang haq dan yang batil. Sangat jauh berbeda kehidupan surga dan
neraka.

Pilihan Pertama.

Dalam Al-Quran Surat Qaaf ayat 30 dikatakan “Dan ingatlah akan hari (yang pada hari
itu) Kami bertanya kepada jahanam: “Apakah kamu sudah penuh? “Dan jahanam
menjawab: “Masih adakah tambahan? Ini adalah dialog Allah yang Maha kuasa dengan
neraka jahanam. Suasana manakah yang lebih mengerikan dari suasana di dalam neraka
jahanam. Semua makhluk tidak akan sanggup dan bercita-cita ingin memasukinya, semua
ingin selamat dari neraka.

Tapi neraka senantiasa memangil-mangil bahkan bertanya "masih adakah lagi tambahan
anggotaku?" Panggilan itu bertebaran di muka bumi berupa acara yang mengelar
syahwat, walaupun untuk mengikutinya tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan.
Panggilan neraka itu mengarah kepada mereka yang menurutkan hawa nafsu, wanita
yang menggelar aurat dan harga dirinya dengan harga yang sangat murah.

Panggilan neraka itu tertuju kepada mereka yang melupakan Tuhan yang telah
menciptakan mereka. Mereka lebih sibuk dengan bisnis haram, hiburan memabukkan,
mereka mempermainkan agama, mereka terus mendengar panggilan neraka, hingga maut
menjemput baru tumbuh kesadaran, insyaf, namun sayang semuanya sudah terlambat,
kematian sudah tidak dapat lagi ditunda.

Maka pada hari perhitungan digiringlah pendengar seruan neraka tadi ke jahanam,
mereka dilemparlah satu-persatu dengan kasarnya. Jumlah mereka semakin bertambah
saja, "Apakah kamu sudah penuh wahai neraka?" tanya Allah.
"Masih adakah tambahan?" jawab neraka.

Masya Allah, neraka senantiasa memanggil-mangil manusia, tempatnya masih cukup


untuk memuat sebanyak apapun manusia. Cukuplah sampai disini saja, jangan hiraukan
lagi panggilan dunia, hentikan perbuatan dosa, kembalilah kepada Rabb yang telah
menciptakan kita!!!

Pilihan Kedua

Pada hari Senin tangal 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H, kematian menjemput Rasulullah.
Manusia sempurna yang telah dijanjikan Allah surga itu telah menemui Rabbnya dengan
jiwa yang tenang. Ia hanyalah seorang manusia biasa, kematian tidak lupa menghampiri
kekasih Allah itu. Disaat sakaratul maut itu, Aisyah mendengar apa yang beliau katakan:
"Ya Alah ampunilah aku, rahmatilah aku, dan pertemukanlah aku dengan Kekasih Yang
Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi"

Keindahan surga tidak akan terbayang di pelupuk mata, tidak pernah terdengar oleh
telinga, tidak terpikirkan oleh akal. Menurut Ibnu Qayyim, bagaimana bisa dibayangkan,
rumah penghuni surga yang dibangun Allah dengan Tangan-Nya sendiri berbentuk
istana. Yang materi batu batanya dari emas dan perak, yang atapnya Arasy Ar-Rahman,
yang pepohonannya dari emas dan perak sebening kaca, yang buah-buahannya lebih
lembut dari keju dan lebih manis dari madu, yang sungai-sungainya mengalirkan susu,
madu dan arak yang tidak memabukkan, yang kebagusan wajah penghuninya seperti
rembulan, yang kendaraanya kuda dan unta bersayap, yang istri mereka bidadari yang
disucikan, cantik jelita nan bermata jeli.

Surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai tidak akan mungkin kita temui di dunia
ini. Kematian merupakan jembatan menuju jannah-Nya. Jika kita berharap akan
mendapatkan jannah-Nya maka persiapkanlah bekal menuju ke arah sana. Sehingga
kematian menjadi suatu yang sangat kita nanti-nantikan, sebagimana pejuang Islam yang
syahid di belahan bumi Islam sana, mati syahid telah mengharumkan ruhnya, perjumpaan
dengan Tuhan menjadi cita-cita mereka. Sedikitpun mereka tidak takut, karena mereka
memiliki seni tersendiri menghadapi kematiannya.

Kematian dapat menghantarkan manusia kepada perjumpaan dengan Kekasihnya. Hal ini
di buktikan dalam diri manusia sempurna Rasulullah. Jika Rasul saja tidak luput dari
kematian, lalu apakah kita yang tidak ada jaminan untuk bisa masuk surga ini akan kekal
hidup di dunia?

Setiap jiwa memiliki seni tersendiri menyiapkan kematiannya, manusia bebas memilih
kedua pilihan itu. Bagaimana dengan kita, apakah sudah siap jika detik ini juga kematian
itu menghampiri, kemudian kita dihadapkan pada kedua pilihan itu, mana yang akan
Anda pilih? Wallahu'a'lam bishshowab (Yesi Elsandra)

Seperti Malaikat
Publikasi 12/11/2002 08:08 WIB

eramuslim - Innallaaha ma ‘anaa ... Rasulullah menenangkan sahabatnya, Abu Bakar


Shiddik yang ketakutan saat bersembunyi dari kejaran pasukan kafir yang hendak
membunuh mereka, di gua Tsur. Saat itu mereka tengah dalam perjalanan hijrah menuju
Kota Madinah. Rasulullah yakin, Allah segera menurunkan para malaikat untuk
melindungi dan menyelamatkan mereka. Dan keyakinan itu terbukti, seperti dikisahkan
bahwa ada seekor laba-laba yang membuat sarangnya menutupi mulut gua segera setelah
kedua hamba Allah itu masuk gua. Tindakan laba-laba itu tentulah dapat mengelabui
orang-orang yang mengejar Rasulullah, sehingga mereka berpikir, mustahil Rasulullah
masuk ke dalam gua tanpa merusak sarang laba-laba.

Di Thaif, Jibril seolah ‘marah’ melihat kekasih Allah, Muhammad Saw dihina, dicaci,
diejek sebagai penipu, diludahi bahkan disakiti dengan lemparan batu saat menerangkan
ajaran Islam kepada kaum di tempat itu. ‘Kemarahan’ malaikat pendamping setia
Rasulullah itu ditunjukkan dengan tawarannya untuk membalikkan gunung-gunung di
sekitar Thaif untuk membinasakan kaum yang menindas Rasul dan para sahabat itu.

Dalam perang Badar, tiga ratus pasukan mukminin mampu memukul mundur pasukan
kafir Quraisy yang jumlahnya sangat tidak sebanding, yakni tiga kali lebih banyak dari
pasukan yang dipimpin Rasul. Rasulullah dan para sahabat yang bersyukur merayakan
kemenangan itu merasa yakin, Allah dan para malaikat-Nya lah yang ‘turun tangan’
membantu mengalahkan musuh, disamping semangat tinggi, keberanian yang tak
diragukan serta kehebatan berperang para pasukannya.

Masih banyak kisah-kisah yang bisa kita hadirkan untuk membuktikan betapa Allah
sangat peduli dengan mengirimkan para malaikat untuk membantu kaum mukminin
dalam segala hal. Seperti yang dibuktikan para pejuang mujahidin Afghanistan saat
berperang melawan pasukan Rusia. Secara logika, adalah mustahil kesederhanaan
persenjataan dan keterbatasan amunisi yang dimiliki pejuang Afghan mengalahkan
kehebatan senjata otomatis dan modern miliki pasukan Rusia. Belum lagi ditambah
dengan kendaraan lapis baja serta serangan udara yang mematikan dari Rusia. Sebuah
buku kecil yang terbit sekitar akhir tahun 1980-an yang ditulis oleh Dr. Abdullah Azzam,
Ayaaturrohman fii Jihadil Afghan, banyak mengisahkan pertolongan-pertolongan Allah
dengan menurunkan malaikat-malaikat-Nya untuk membantu perjuangan mujahidin
Afghan.

Kini, sebagian orang memudar keyakinannya akan datangnya pertolongan Allah seperti
yang pernah dialami kaum mukminin sebelumnya. Bahkan tidak sedikit yang berpikir,
malaikat-malaikat Allah itu hanya turun pada saat Rasulullah masih ada. Padahal
seharusnya kita meyakini bahwa Allah tetap menurunkan para malaikat-Nya guna
membantu hamba-hamba-Nya yang beriman, para abdi Allah yang komitmen pada
agamanya, dan mereka yang tak selangkahpun mundur atau keluar dari jalan perjuangan
menegakkan, membela agama Allah.
Dalam banyak kesempatan, saat kesedihan melanda, datang seseorang saudara yang
dengan caranya sendiri mencoba membuat kita tersenyum, sekaligus mengajarkan kita
agar senantiasa kuat menerima segala bentuk cobaan. Saat kesulitan datang, ada saudara
lain memberikan jalan keluar sehingga kita tak gelap mata dan dengan mudah
menyelesaikan setiap persoalan yang terasa begitu rumit untuk dipecahkan. Saudara-
saudaranya yang menghibur dikala sedih, menunjukkan jalan keluar dari kesesatan,
mereka bukanlah malaikat. Tetapi apa yang dilakukannya seperti malaikat yang
dihadirkan Allah bagi orang-orang yang memerlukannya.

Mereka yang lebih kuat ketika mengangkat orang-orang yang lemah sehingga dapat
‘terbang’ bersama, para dermawan yang menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim
piatu, orang yang memberikan pertolongan saat terjadi musibah, bencana alam, atau
orang-orang yang sekedar menyapa lembut menyentuh hati seseorang yang terluka, atau
juga mereka yang ikhlas memaafkan kekeliruan orang yang berbuat salah. Termasuk
sahabat-sahabat yang menyentil kita dengan nasihatnya saat diri ini salah melangkah.
Allah seperti menurunkan para malaikat-Nya saat itu, tanpa kita sadari. Seperti halnya
Jibril dan ribuan malaikat yang pernah membantu Rasulullah dan kaum mukminin
sebelumnya, ‘malaikat-malaikat’ yang berada di sekeliling kita saat ini pun memberikan
bantuannya tanpa berharap balasan, tak meminta pujian dan penghargaan dari siapapun.
Bagi mereka, mengulurkan tangan kepada orang yang membutuhkan pertolongan
menjadi kebahagiaan tersendiri, selain juga bentuk rasa syukur telah diberikan nikmat
lebih oleh Allah, juga bagian lain dari ibadah.

Bersyukurlah, Allah masih berkenan menurunkan malaikat-malaikat-Nya yang menyertai


saudara, sahabat, atau siapapun yang kita sadari atau tidak telah banyak membantu. Dari
yang terjatuh hingga mampu berdiri tegak, dari yang terpuruk sampai bangkit menatap
masa depan yang cerah, yang tersenyum setelah kesedihan melanda, yang melonjak
gembira saat meraih prestasi setelah sebelumnya merasa putus asa, dan dari yang terkulai
lemah menjadi penuh semangat bergelora. Meski para ‘malaikat’ itu tak pernah berharap
balasan, tentu mereka juga punya satu harapan, agar kita pun senantiasa menjadi malaikat
bagi orang lain. Irwin Saranson dan koleganya (1991) melakukan penelitian terhadap
10.000 pelajar SMU, dari penelitiannya tersebut terungkap bahwa para pelajar yang
diperlihatkan slide yang berisi tiga puluh delapan foto tentang aksi donor darah,
mengalami kenaikan 17% untuk mendonorkan darah mereka daripada yang tidak melihat
foto tersebut. Melihat orang lain “melakukan perbuatan yang benar dan baik”
membangkitkan hasrat bawah sadar untuk meniru perbuatan tersebut.

Maka, jadilah (seperti) malaikat bagi orang lain, sehingga tak ada lagi yang pernah
berpikir, Allah telah membenci ummat-Nya karena tak lagi menolong .... Wallaahu a’lam
bishshowaab (Bayu Gautama, spesial 4-N, Thanks)

Harapan Adalah Masa Depan


Publikasi 11/11/2002 07:31 WIB
eramuslim - Dalam ritme kehidupan yang sangat majemuk ini, manusia dihadapkan pada
kenyataan-kenyataan hidup yang beragam. Dari sekian keberagaman pilihan itu, semua
pasti berharap mendapatkan kehidupan yang bahagia, bermakna, serta berguna. Namun
pada kenyataannya, ada kalanya manusia mengabaikan harapannya itu karena
ketidaktahuan bagaimana merealisasikannya.

Abu Ridho dalam buku Recik-Recik Spritualitas Islam mengatakan, harapan merupakan
pancaran suasana batin atau situasi kemanusiaan yang sedang menanti-nanti atau
mengharapkan sesuatu yang disenanginya bakal menjadi kenyataan. Sedangkan dalam
perspektif Imam Al-Ghazali, sebuah harapan tepat disebut harapan bila istilah itu
digunakan untuk penantian sesuatu yang disenangi, dan telah disiapkan semua sebab dan
sarana yang masuk dalam kategori usaha seorang hamba; usaha yang dilakukan secara
maksimal dan habis-habisan sehingga yang tersisa, dan ini yang menentukan, adalah
sesuatu yang tidak masuk dalam kategori usahanya, yaitu karunia dan ketentuan Allah.

Menurut kedua tokoh spiritual tersebut, harapan adalah keinginan terhadap sesautu yang
dapat membuat kehidupan ini bahagia, sesuai dengan apa yang kita inginkan. Harapan
merupakan pembangkit semangat, pelumas mencapai tujuan. Memiliki harapan berarti
kita memiliki keinginan terhadap sesuatu yang dapat memberikan kekuatan bagi kita
untuk mewujudkan sebuah kebahagian hidup yang bermakna. Betapa meruginya manusia
jika tidak memiliki harapan terhadap masa depannya, atau memiliki harapan tetapi tidak
berusaha mewujudkannya, atau bahkan tidak memiliki harapan hidup sama sekali.

Siapa yang tidak berharap mendapatkan pasangan serta keturunan yang baik, siapa yang
tidak berharap memenuhi hidupnya dengan prestasi, siapa yang tidak berharap
kesuksesan dalam bisnis, karier, studi dan masa depan, siapa yang tidak berharap adanya
kedamaian, siapa pula yang tidak berharap dapat menjalankan hidup ini dengan tenang
melalui ibadah, serta dekat dengan Tuhan? Siapapun pasti menginginkan itu semua,
karena semua itu adalah salah satu sumber kebahagiaan.

Setiap manusia dapat mewujudkan harapan-harapan tersebut jika memiliki semangat,


optimisme nan pantang menyerah, serta bekerja keras untuk mewujudkannya. Namun
pada tahap realisasi, sering harapan tersebut tidak sesuai dengan keinginan manusia, atau
sebaliknya, keinginan manusia terkadang melebihi harapannya. Atau bahkan harapan itu
tidak direalisasikan sama-sekali, dan yang ada justru angan-angan belaka. Keadaan ini
membuktikan kepada kita bahwa ada kekuatan lain yang seharusnya kepada-Nya kita
gantungkan harapan. Itulah yang disebut oleh Imam Al-Ghazali sebagai karunia dan
ketentuan Allah.

Agar kita tidak kehilangan harapan, agar harapan sesuai dengan keinginan, agar harapan
dapat memberikan kebahagiaan, maka tidak ada cara lain, yaitu mengantungkan harapan
hanya kepada Allah. Ketidaksesuain harapan dengan kenyataan yang inginkan, jika kita
tidak bertawakal kepada Allah maka dapat membuat kita putus asa. Berharap pada
manusia dapat membuat kecewa, tapi jika kita berharap kepada Allah, Allah pasti akan
memenuhi harapan kita.
Mulailah dari sekarang mencatat apa-apa yang Anda inginkan, kemudian tanamkan
harapan agar Anda memiliki kehidupan yang baik di masa depan. Realisasikan
semaksimal mungkin dengan kerja keras, jangan mengandalkan orang lain, setelah itu
bertawakallah kepada Allah dan gantungkanlah semua harapan tersebut hanya kepada-
Nya, kelak apapun yang terjadi Anda tidak akan kecewa. (Yesi Elsandra)

Mengubah Dunia Dengan Senyuman


Publikasi 08/11/2002 07:17 WIB

Oleh: Azimah Rahayu.

eramuslim - Mengeja baris demi baris yang tertulis di rubrik muda Majalah Annida
Akhir Oktober 2002 (Gatot Wahyudi: Pemenang I Remaja Berprestasi Annida 2002),
airmata meleleh di pipi. Haru dan kagum padanya sekaligus juga malu pada diri sendiri.
Haru dan kagum atas ketegarannya, malu karena sering merasa menjadi orang paling
merana di dunia. Saat yang sama, semangat pun terbangun, untuk meneladaninya.

Laki-laki muda dengan segudang prestasi di tingkat lokal maupun nasional itu ternyata
hidup serba berkekurangan. Terlahir dari keluarga sangat sederhana. Bahkan sempat
menggelandang bersama sang bapak ketika usianya masih sangat belia: 3 tahun. Sewaktu
SMU, ia dua tahun tidur di sekolah demi mengirit ongkos perjalanan, karena jarak rumah
dan sekolah lebih dari 20 km sedang alat transportasi tiada. Terbiasa puasa senin kamis,
saat kuliah memilih puasa daud demi menghemat biaya makan namun tetap bisa makan
teratur. Pernah 21 hari tak makan nasi, karena duit di kantong sudah sangat menipis.

Namun dia menjalani semuanya dengan ringan. Senyum ceria selalu menghiasi bibirnya
-seperti yang tampak di semua photo yang menghiasi halaman itu- hingga hampir tak ada
dari teman-temannya yang tahu akan kehidupan kesehariannya. Senyum itu juga tetap
merekah, ketika tak sengaja saya berkesempatan beberapa jam bersamanya dalam sebuah
acara. Riang, penuh canda, tanpa beban.

"Senyum". Satu kata ini sederhana dalam segala hal, namun memberikan kekuatan yang
tak terkira.

Dalam hal pelaksanaan, senyum adalah aktifitas sederhana untuk dilakukan. Hayo, siapa
sih orang hidup di dunia ini yang tak bisa tersenyum? Orang miskin maupun kaya pun
bisa tersenyum, karena senyum tak membutuhkan modal, kecuali niat dan ketulusan hati.
Manusia pinter dan tidak pinter sama-sama bisa tersenyum karena untuk bisa tersenyum
tak perlu sekolah. Sejak kita lahir, orang-orang di sekeliling kita telah menyambut kita
dnegan senyum lebar, sekaligus mengajarkannya pada kita. Sakit atau sehat, cacat
ataupun normal, semua orang masih bisa tersenyum, karena ia tak membutuhkan usaha
luar biasa. Cukup menarik kedua ujung bibir ke atas sedikit. Kecuali jika sakit dan
cacatnya seputar mulut.
Secara fisik, tersenyum dapat membuat kita selalu dalam kondisi riang. Bobby De Porter
dalam bukunya Quantum Learning mengatakan bahwa sikap tubuh seseorang dapat
mempengaruhi perasaan atau mood seseorang sebagaimana perasaan juga mempengaruhi
sikap tubuh seseorang. Ayo kita coba. Anda sedang sedih atau marah. Kemudian
usahakan menarik ujung kedua bibir anda keatas, membentuk sebuah senyuman. Dan
tanyakan pada hati anda dengan jujur: Apakah anda masih tetap merasa sedih seperti
semula?. Saya percaya, setidaknya perasaan anda tidak seblue sebelumnya. Kemudian
cobalah sebaliknya. Anda sedang berperasaan biasa saja atau bahkan tengah riang dan
gembira. Kemudian duduklah dengan bahu merunduk. Bungkam mulut anda dan
kerucutkan. Maka tiba-tiba anda akan merasa sedih. Nah, kenapa kita tidak gunakan
sikap tubuh untuk mempengaruhi kondisi mental dan jiwa kita? Menyikapi segala sesuatu
dengan senyum, insya Allah segalanya akan ringan.

Kata Emha Ainun Najib dalam buku 'Mati Ketawa ala…" orang yang selalu riang dan
suka tertawa sulit dimasukin jin dan setan, karena aura tubuh mereka yang rileks tidak
menyenangkan bagi jin. Makhluk ini lebih suka memasuki tubuh orang yang suka
melamun, berdiam diri dan menyendiri dan selalu bersedih hati.

Dalam hal makna, senyum juga bermakna sederhana. Mendengar kata "senyum", pasti
yang terbayang pertama kali adalah wajah manis penuh keramahan dan cinta (Kecuali
kalau dibelakang kata itu diberi embel-embel 'sinis', 'sarkastis' dan lain-lain).

Senyum bisa menjadi pembuka komunikasi. Pun senjata jika kita sedang grogi. Senyum
adalah bahasa dunia. Jika kita tak saling mengerti bahasa lawan bicara, meski tak saling
sapa, senyum sudah cukup menjadi isyarat persahabatan. Senyum akan mencairkan
kekakuan. Hingga ketegangan di antara dua sahabat pun terlelehkan. Hingga kemarahan
pun padam, dan cinta serta aura kedamaian tersebar dalam sebuah kelompok, lingkungan
dan komunitas.

Bahkan Rasulullah pernah bersabda, "Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah".


Ah, alangkah indahnya. Betapa damainya, betapa menyenangkan. Karena kita bisa
beramal dan bersedekah, tanpa harus memiliki sesuatu yang besar. Cukup satu hal
sederhana. Senyum penuh cinta, penuh ketulusan.

Senyum adalah solusi sederhana. Terhadap kepedihan pribadi, kesedihan keluarga, luka
masyarakat dan juga nestapa dunia. Lalu, mengapa kita tidak tersenyum saja? Agar
perjalanan lebih ringan. Agar persahabatan lebih menyenangkan. Agar dunia lebih damai.
Agar hidup lebih nyaman. Dan tanpa kita sengaja, kita telah berkontribusi terhadap
perdamaian dunia. Alangkah indahnya! (azi_75@yahoo.com special 4 adikku Gatot:
jazakallah telah memberi izin menulis tentangmu. Teruslah tersenyum, agar dunia
belajar darimu bahwa hidup ini indah dan ringan bila disikapi dengan senyum)

Kepercayaan
Publikasi 07/11/2002 08:01 WIB
eramuslim - Para pemimpin besar biasanya memiliki orang-orang kepercayaan. Sering
pula beberapa keputusan penting turut dipengaruhi oleh orang-orang ini. Kepercayaan
yang diberikan kepada orang lain sering membantu banyak manusia mencapai tujuannya.
Ia akan merasa aman, tenang, tanpa was-was. Tidak sedikitpun ada keraguan membagi
resiko, keuntungan dan rahasia. Bahkan tidak jarang kepercayaan ini merupakan energi
tersendiri bagi orang-orang hingga menjadikannya besar.

Jika manusia memiliki kepercayaan yang begitu besar kepada orang lain untuk meraih
tujuannya -padahal bisa saja suatu saat ia dapat berkhianat- mengapa manusia ragu untuk
percaya kepada dirinya sendiri? Jika kepercayaan kepada orang lain dapat menbantu
manusia mencapai cita-citanya, mengapa manusia mengabaikan potensi yang ada pada
dirinya kemudian mengabaikan kepercayaan pada diri mereka sendiri yang sesungguhnya
tidak kalah memiliki energi yang jauh lebih besar?

Kepercayaan kepada diri sendiri merupakan kekuatan besar yang dapat mengantarkan
kita pada berbagai tujuan yang mungkin sulit untuk kita realisasikan. David J. Schwartz
dalam bukunya, The Magic of Thinking Big mengatakan, "Jika Anda percaya sesuatu itu
tidak mungkin, pikiran Anda akan bekerja bagi Anda untuk membuktikan mengapa hal
itu tidak mungkin. Akan tetapi jika Anda percaya, benar-benar percaya, sesuatu dapat
dilakukan, pikiran Anda akan bekerja bagi Anda dan membantu Anda mencari jalan
untuk melaksankannya."

Jika kita mempercayai diri kita, maka kita akan memiliki pikiran-pikiran kreatif untuk
membuktikan bahwa sebenarnya kita bisa mencapai tujuan kita. Pikiran kita akan
membawa kita menyisir setiap kesulitan, hanbatan, bahaya dan segala rintangan.
Kemudian dengan kekuatan besar yaitu keyakinan kepada diri sendiri bahwa "saya
mampu melakukan itu" maka kita akan keluar dari segala rintangan dan menemukan
jalan keluar dari setiap kesulitan, selanjutnya, setiap perjuangan kelak pasti akan kita
menangkan.

Menurut John Fereira yang dikutip dalam buku Emotional Spiritual Quotient, "Seseorang
yang memiliki kepercayaan diri, disamping mampu untuk mengendalikan dan menjaga
keyakinan dirinya, juga akan mampu membuat perubahan di lingkungannya" Betapa
besar produktifitas yang dapat dihasilkan dari kepercayaan kepada diri kita sendiri ini.

Namun jika kita dipenuhi oleh ketidakpercayaan kepada diri sendiri, maka pikiran
kitapun bekerja untuk merealisasikan ketidak percayaan itu. Kemudian kita akan gagal,
cita-cita kandas ditengah jalan, perjuangan menjadi sesuatu yang menakutkan. Itu artinya
kita telah mengabaikan kekuatan besar yang sesungguhnya dapat membawa kita melejit,
yaitu kepercayaan kepada diri kita sendiri. Akibatnya kreatifitas kita akan mati, daya
juang kita akan tumpul, cita-cita hanya sebatas lisan, kemudian kesuksesan hanya tinggal
mimpi.

Kepercayaa merupakan sebuah energi besar dalam diri manusia. Tapi ada energi yang
jauh lebih besar dari itu, yaitu kepercayaan kepada Zat yang menciptakan energi itu.
Kepercayaan itu signifikan dengan iman seseorang. Refleksi terhadap kepercayaan
kepada Tuhan dirangkum dalam 6 rukun iman.

Betapapun besarnya kepercayaan kepada diri sendiri, jika tidak dilandasi dengan
kepercayaan kepada sumber energi, maka kepercayaan itu hanya akan sia-sia.
Sinkronisasi kedua kepercayaan inilah sesungguhnya yang kelak membawa kita pada apa
yang kita inginkan. Karena mudah saja bagi Tuhan menjadikan sesuatu yang tiada
menjadi ada, begitu juga sebaliknya.

Hargailah diri kita, sebagaimana Tuhan telah menghargai kita dengan melimpahkan
segala Rahmat-Nya. Tinggal kita mau berjuang keras dan berusaha maksimal, kemudian
dunia inipun akan ada dalam gengaman kita, mudah, semudah Tuhan menghidupkan dan
mematikan kita. (Yesi Elsandra, untuk rang awak dima se barado)

Ramadhan nan Penuh Cinta


Publikasi 06/11/2002 07:43 WIB

eramuslim - Merindu haru hati ini menanti saat kedatangannya, hingga tak kuasa
menahan setiap tetesan air kesyukuran yang memancarkan kebahagiaan tak terlukiskan
saat ianya tiba malam tadi. Segala puji bagi Allah yang telah berkenan kembali
mempertemukan kita dengan bulan bertabur cinta. Cinta yang ditawarkan Allah kepada
segenap makhluk di bulan Ramadhan selayaknya kita sambut dengan suka cita, seraya
berharap kelak kita menjadi bagian dari golongan yang mendapatkan cinta-Nya.

Detik-detik menjelang satu ramadhan, ungkapan cinta bertaburan di seantero dunia


menyambut hangat ramadhan ditandai dengan jalinan silaturahim melalui surat, telepon,
SMS, email, atau bahkan rangkaian acara-acara khusus menyambut tamu agung ini. Cinta
yang diberikan-Nya bukanlah sesuatu yang abstrak, setidaknya dengan ramadhan, mereka
yang terbiasa sibuk sedemikian rupa sedikit mempercepat aktifitasnya agar segera tiba di
rumah untuk menikmati berbuka bersama keluarga. Juga yang biasanya tak sempat untuk
sarapan bersama, Allah memfasilitasinya saat makan sahur. Bukankah yang demikian
dapat kembali menyuburkan cinta dan menghangatkan keharmonisan keluarga?

Kata Rasul, saling mencintai dan berkasih sayanglah kepada sesama yang di bumi, maka
seluruh yang di langit akan mencintai dan mengasihimu. Cinta sosial, Allah berikan juga
kesempatan manusia untuk mengaplikasikannya saat-saat bersama melakukan shalat
tarawih berjama’ah, saling menghantarkan makanan berbuka kepada tetangga, juga tak
lupa memberi sedekah dan hidangan berbuka kepada pengemis, fakir miskin dan anak
yatim-piatu. Bahkan menjelang hari akhir ramadhan, wujud cinta juga terealisasi dengan
mengeluarkan sebagian harta kita untuk zakat guna melengkapi proses pembersihan diri
menuju kesucian.

Infaq, sedekah, dan zakat yang kita keluarkan, adalah bukti cinta kita kepada Allah
sekaligus menegaskan bahwa kita tak termasuk orang-orang yang cinta harta dunia dan
sadar akan adanya sebagian hak orang lain dari apa-apa yang kita miliki. Adakah yang
cintanya sebesar sahabat Abu Bakar Shiddik yang mengeluarkan seluruh hartanya di
jalan Allah hingga Rasul-pun bertanya apa yang tersisa untuknya. “Allah dan rasul-Nya,
cukuplah bagiku” jawab Abu Bakar. Dan tentu saja, perlulah diri ini belajar dari Ibrahim
alaihi salam dan keluarganya tentang hakikat dan bentuk cinta kepada Allah. Hal yang
tidak kalah menakjubkan juga ditunjukkan Rasulullah kepada seorang anak yatim yang
bersedih di hari raya. Ia menjadikan dirinya ayah, dan Fatimah saudara perempuan anak
yatim tersebut seraya membahagiakannya saat hari bahagia, Idul Fitri.

Malam-malam ramadhan, adalah saat terbaik kita bercengkerama dan bermesraan dengan
Allah melalui tilawah dan tadarrus qur’an, tahajjud serta munajat kepada-Nya. Hati yang
terpaut cinta, seperti enggan menuju pembaringan. Inginnya menghabiskan malam-
malam ramadhan dengan tangis penyesalan atas khilaf dan dosa, atas segala alpa, juga
lalai. Sadar akan semua nikmat yang Allah berikan tanpa pernah alpa, tanpa pernah pula
khilaf, salah dan lalai. Dia senantiasa memberikan pelayanan terbaik kepada hamba-
hamba-Nya, namun kita membayarnya dengan cinta yang semu, cinta yang terkadang
hanya terucap di lidah tanpa wujud yang nyata. Astaghfirullaah …

Jika hati ini sedemikian rindunya menanti kedatangan bulan penuh rahmat dan maghfirah
ini, tentulah, selayaknya orang saling mencinta, akan ada tangis jika kekasihnya pergi.
Tetesan air mata yang akan mengalir nanti, takkan terhitung betapa derasnya
membayangkan kemungkinan bertemunya kembali kita dengan ramadhan nan penuh
cinta ini.

Saat hari fitri tiba, pantaslah ada keceriaan bagi mereka yang mendapatkan kemenangan
melewati masa-masa ujian selama ramadhan, dengan satu harap menjadikan taqwa
sebagai hasil akhir ramadhan. Namun tentu saja, sambil menghitung-hitung betapa
menyesalnya kita tak memanfaatkan ramadhan yang telah lalu dengan amal sebaik-
baiknya, dengan ibadah yang bernilai, hingga tangis ini akan semakin keras berteriak
dalam hati. Satu tanya bergelayut “Akankah kita kan sampai di ramadhan tahun depan?”
Maka, hati pun berdo’a penuh harap, “berilah hamba kesempatan”. Wallaahu a’lam
bishshowaab (Bayu Gautama)

Senyumlah …
Publikasi 05/11/2002 12:16 WIB

eramuslim - Jangan bermuka masam, karena Allah sangat tidak menyenangi perbuatan
itu. Bahkan Rasulullah pun pernah ditegur-Nya karena bermuka masam dan
memalingkan muka terhadap Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta
yang mengharap agar Rasulullah Saw membacakan kepadanya ayat-ayat Al Qur’an yang
telah diturunkan Allah. Pada saat itu Rasul tengah menerima dan berbicara dengan
pemuka-pemuka Quraisy yang beliau harapkan agar mereka masuk Islam.

Kisah teguran Allah kepada Rasulullah diatas merupakan asbaabunnuzul (sebab-sebab


turunnya) surah ‘Abasa (bermuka masam) yang dapat menjadi pelajaran bagi sekalian
manusia betapa Allah tidak senang dengan sikap demikian. Pelajaran pertama yang bisa
kita ambil, bahwa Rasulullah pun manusia biasa yang masih mungkin melakukan
kesalahan dan kedua, terkait dengan sikap bermuka masam alias acuh terhadap orang lain
(siapapun) yang tidak dibenarkan oleh Allah.

Sebelas ayat pertama surah ‘Abasa menjelaskan secara lengkap larangan bermuka masam
atau sikap mengacuhkan orang lain. Bahkan ditegaskan Allah dengan kalimat “Sekali-
kali jangan (demikian)!” pada ayat ke sebelasnya. Peringatan itu tentu menjadi pelajaran
yang berharga bagi baginda Rasul, dan hendaknya demikian juga bagi kita pengikutnya.

Manusia memiliki ego pada dirinya masing-masing, dan dengan (pengaruh) ego-nya
itulah setiap watak dan karakter manusia terbentuk. Meski ada anasir lain yang
membentuk watak dan karakter manusia, namun keberadaan ego sangatlah penting,
makanya menjadi kepentingan utama juga bagi setiap manusia untuk menjaga, memenej
dan mengolah ego-nya agar terkendali sehingga teraplikasi dengan baik. Mereka yang
tidak mampu mengendalikan ego-nya, lazim disebut sebagai orang yang egois, mau
menang sendiri dan tidak toleran. Salah satu ciri khas dari orang egois adalah berbuat
dengan sekehendaknya, artinya apa yang menurutnya benar maka ia itulah yang
dikerjakannya.

Masalahnya kemudian, tidak semua orang memiliki tingkat pemahaman yang baik
tentang ‘benar-salah’ menurut norma maupun nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
Islam. Sehingga yang terjadi adalah pembenaran atas kebenaran subjektifitas, dan inilah
pangkal awal dari kesalahan orang bersikap dan bertindak.

Soal pilah-pilih sahabat misalnya. Baik sih jika yang menjadi patokan adalah, kesesuaian
norma dan nilai yang dipegang (dalam hal ini misalnya, tidak bertentangan secara aqidah)
atau standar akhlak dan kebiasaan. Tapi kalau yang menjadi ukuran adalah soal, pantas
tidak pantas, like or dislike, ataupun hal-hal subjektif lainnya, tentu tidak bisa dibenarkan.

Subjektifitas itulah yang kemudian dengan bebasnya menentukan siapa yang pantas
disikapi dengan baik siapa yang tidak, siapa yang didahulukan siapa yang harus
‘dicuekin’, atau bahkan siapa yang akan dijadikan sahabat dan siapa yang semestinya
dimusuhi. Sikap ramah misalnya, seringkali kita hanya bersikap ramah kepada orang-
orang yang kita kenal dan baik hati. Atau senyum, biasanya terkhususkan bagi siapa yang
menurut kita pantas untuk disenyumi.

Padahal Islam tidak mengajarkan demikian, selain pelajaran tentang teguran Allah
terhadap Rasulullah diatas, Rasulullah pun mengajarkan tentang keutamaan sikap-sikap
kebaikan terhadap sesama, meski hanya sekedar menebarkan senyum, terhadap siapa saja
yang kita jumpai. Tidak membeda-bedakan sikap berdasarkan kepentingan, atau
mengukur prioritas pelayanan dari seberapa menguntungkannya orang tersebut buat kita.

Sebuah pelajaran lain bisa kita dapatkan dari cerita ketika para sahabat sedang berkumpul
bersama Rasulullah, maka dihadapan mereka lewat seorang dengan pakaian compang-
camping dan beberapa sahabat berujar dan menilai orang yang barusan tidak
mendapatkan kemuliaan Allah. Mendengar itu, Rasulullah berkata: “Sesungguhnya Allah
tidak melihat pada bentuk rupa dan jasad kamu. Tetapi sesungguhnya Allah melihat hati-
hati kamu.”

Keberkahan Allah, tidak hanya datang dari orang-orang dermawan yang kerap
menyisihkan sebagian hartanya untuk diinfakkan, melainkan juga dari tangan-tangan
terbuka para pengemis yang setiap hari lalu lalang di depan kita. Rahmat Allah, tidak
hanya singgah kepada mereka yang diberi kesempatan untuk menikmati hidup
berkecukupan di dunia ini, karena Rahmat itu juga sesungguhnya ada pada yang tak
memiliki harta karena Allah sayang padanya sehingga tak membebaninya dengan
pertanggungjawaban harta yang bertumpuk. Kasih sayang Allah tidak hanya tercurah
kepada segelintir orang, sesungguhnya Ia Maha Adil atas Rahmaan dan Rahiim-Nya,
hanya saja kita sering salah mengartikannya atau tidak mampu mencernanya.

Maka semestinya, senyuman dan sikap ramah menjadi keutamaan sikap terhadap
siapapun. Karena dengan itu modal utama penerimaan orang lain terhadap kita. Dengan
senyum ramah itulah kita bisa berharap besar akan kebaikan orang lain. senyum dan
ramah jugalah yang mampu meluluhkan amarah dan kebencian orang terhadap kita. Dan
karena dengan itu jugalah Allah menyapa hamba-hamba-Nya di surga kelak. Wallaahu
a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Warisan Paling Berharga


Publikasi 31/10/2002 08:04 WIB

eramuslim - Pada suatu hari Abu Hurairah radiallaahuanhu berdiri di pasar kota
Madinah. Kemudian dia berkata kepada para pedagang, "Wahai para pedagang, mengapa
kalian masih belum menutup dagangan kalian?" Mereka bertanya kebingungan, " Ada
apa kiranya ya Aba Hurairah?"

Abu Hurairah menjawab, "Apakah kalian tidak tahu kalau warisan Muhammad SAW
tengah dibagi-bagikan sehingga kalian masih berdiri disini? Apakah kalian tidak ingin
mengambil bagian kalian?" Dengan keinginan yang meluap mereka bertanya serius,
"Dimana ya Aba Hurairah?!" "Di Masjid Rasulullah," jawab Abu Hurairah ra.

Setelah diberitahu demikian, para pedagang itu segera bergegas ke Masjid Rasulullah,
sedangkan Abu Hurairah tetap tinggal disitu, tidak ikut pergi.

Tak Berapa lama kemudian para pedagang itu kembali ke pasar. Abu Hurairah bertanya
kepda mereka, "Mengapa kalian kembali?" Mereka segera menjawab dengan nada kesal,
"Ya Aba Hurairah, kami telah datang ke Masjid, tetapi setiba disana kami tidak melihat
ada sesuatu yang dibagikan Rasulullah..."

Abu Hurairah bertanya lagi memancing, "Apakah kalian tidak melihat seorangpun di
Masjid?". "Bukan demikian ya Aba Hurairah, kami melihat banyak orang tetapi bukan
yang seperti yang kau maksud, kami melihat banyak orang sedang sholat, sementara
sekelompok lainnya ada yang mengaji Al Qur'an dan ada pula yang sedang mempelajari
soal-soal yang haram dan halal..." jawab para pedagang dengan agak sewot.

Mendengar uraian para pedagang tersebut, Abu Hurairah menjelaskan, "Wahai para
pedagang, ketahuilah, itulah warisan Muhammad SAW yang paling berharga untuk
kalian semua...". (Hadist Riwayat Tabrani)

***

Saudaraku, Ketahuilah bahwa tidak ada yang lebih berharga dari apapun yang kita miliki
di dunia ini melainkan sesuatu hal yang senantiasa kita lakukan demi mengharap ridha
Allah. Karena dengan itu semua, Dia akan membalasnya dengan sesuatu yang tak pernah
terukur nilainya, takkan pernah ternilai besarnya, yakni kecintaan-Nya akan orang-orang
yang mencintai.

Maka, tatkala datang seruan-Nya, buktikanlah bahwa kita termasuk orang-orang yang
mencintai Allah diatas segala kecintaan terhadap apapun. Wallaahu a'lam bishshowaab
(Dwi Ryan/ ryan_088@yahoo.com)

Menjadi Manusia Kreatif


Publikasi 30/10/2002 11:15 WIB

eramuslim - Pernah nonton film Mission Impossible? Film layar lebar yang dibintangi
oleh Tom Cruise itu sebenarnya pernah menjadi film seri yang diputar setiap minggu di
sebuah TV swasta di tahun 1990-an. Satu hal yang menarik dari film tersebut, se-
impossible apapun misi yang diemban oleh Ethan Hawk (diperankan oleh Tom) namun
endingnya selalu saja mengisahkan keberhasilan. Satu hal yang tergambarkan dengan
jelas dalam film tersebut (baik layar lebar maupun seri-nya) adalah kebiasaan para tokoh
yang tergabung dalam tim pengemban ‘misi yang tidak mungkin’ alias ‘mustahil’ dicapai
itu untuk senantiasa memiliki plan A, plan B, bahkan plan C, sehingga hampir setiap film
itu diakhiri dengan keberhasilan menjalankan misi.

Norman Vincent Peal, menuliskan buku best seller, You Can If You Think You Can (Anda
bisa jika Anda berpikir bahwa Anda bisa), sebuah buku yang memberikan motivasi besar
kepada para pembacanya untuk optimis meraih hal-hal yang sesungguhnya ‘bisa’ diraih.

Antara Norman (dan bukunya) dengan film Mission Impossible memang tidak ada
kaitannya, hanya saja jika kita mau melihat sisi pelajaran yang mau diambil, tentu ada
kaitannya. Roger Von Oech, lewat bukunya A Whack on Side of the Head, bisa
menjelaskan keterkaitan antara keduanya. Karena lewat buku tersebut, Von Oech
mengetengahkan sepuluh kebiasaan manusia kreatif, dimana tertulis “suka mencari
jawaban kedua” sebagai kebiasaan pertama seorang yang kreatif. Menurut Oech, Anda
jangan hanya punya satu solusi yang berati hanya punya satu pilihan. Kreativitas
meminta Anda menemukan jawaban kedua yang mungkin lebih tepat. Nah, kesuksesan
Ethan Hawk mengemban misi yang dianggap tidak mungkin dicapai itu adalah karena
kebiasaan timnya untuk menyiapkan lebih dari satu solusi. Dan Norman menguatkannya
dengan satu motivasi, bahwa tidak satupun yang ada dihadapan manusia itu tidak bisa
diraih.

Dan yang perlu diketahui, Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat terakhir telah
jauh terlebih dulu memberikan motivasi kepada setiap mukmin, bahwa Dia tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Masalahnya adalah
sifat manusia yang sering kali memperturutkan hawa nafsunya, yang dalam hal ini salah
satunya adalah sifat malas, dan enggan berusaha keras. Sehingga kemudian yang tampak
didepannya adalah sebuah gunung batu menjulang tinggi yang tak mungkin dilewati,
sebuah tembok raksasa yang mustahil ditembus.

Padahal sejarah pun mencatat, Rasulullah dengan 300 pasukan mukmin mampu memukul
mundur pasukan kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dalam perang
Badar. Orang dulu berpikir ruang angkasa adalah sesuatu yang invisible, namun para ahli
Rusia membuktikan dengan mengirimkan Yuri Gagarin ke luar angkasa menggunakan
Sputnik. Bahkan sekarang, orang sudah menjajaki pariwisata luar angkasa meski harus
merogoh kocek yang tak sedikit. Sejarah lain juga ditorehkan oleh George Leigh Mallory
dan Andrew Irvine yang disebut-sebut sebagai orang pertama menapakkan kakinya di
puncak tertinggi dunia, Mount Everest pada 1924. Kini ribuan pendaki sudah
membuktikan bahwa puncak tertinggi itu bisa ditapaki.

Menjadi manusia kreatif, tambah Oech, tidak cukup hanya dengan memiliki satu
kebiasaan diatas. Oech juga memaparkan tentang kebiasaan lainnya, yakni suka berpikir
lunak. “Kreativitas adalah pengembangan hasil otak kiri yang bersikap keras terhadap ide
oleh otak kanan yang lunak yang mengabaikan batasan dan lunak terhadap berbagai ide,”
kata Oech.

Kebiasaan ketiga adalah Suka menggugat aturan. Jika aturan telah membatasi pilihan
maka Anda harus mencari tahu mengapa suatu aturan dibuat. Mungkin alasan itu tidak
relevan lagi. Mungkin sekarang ada pemecahannya yang lebih efektif. Suka mencoba
kemustahilan, adalah yang selanjutnya. Oleh karena itu, jangan sekali pun pernah
membuang ide sepintas yang kelihatan mustahil. Merenungkan lagi ide yang muncul
dapat memicu berbagai kemungkinan baru.

Toleran terhadap hal dilematis, disebut sebagai kebiasaan kelima. Dalam kenyataan,
sering ide kretif lahir dari situasi dilematis atau kepepet. Adalah jarang inovasi muncul
dari pola pikir yang tunggal, linier dan pasti. Kemudian yang keenam adalah, Melihat
kesalahan sebagai peluang. Ada orang yang suka mencari aman dan menghindari dari
kemungkinan salah atau gagal. Sesungguhnya kesalahan justru menempatkan kita
memperoleh hal yang tak didapat bila melakukan dengan benar.

Gede Prama, pernah menyebut Dedi ‘Miing’ Gumelar sebagai satu dari sekian orang
yang dijadikan sahabatnya. Alasannya, tidak banyak orang yang bisa membuat orang lain
tertawa, meski tidak meninggalkan aspek kecerdasannya. Nampaknya, untuk yang satu
ini, Oech juga sepakat, karena ia menempatkan Suka humor dan santai sebagai kebiasaan
orang kreatif pada urutan selanjutnya. Memang ide kreatif muncul ketika terdesak situasi,
tapi lebih banyak ide brilian dan segar lahir dari suasana santai dan gembira. Saat kita
santai dan gembira pertahanan mental jadi longgar sehingga tidak pusing terhadap aturan,
hal mustahil maupun yang keliru.

Orang yang sibuk melihat dunia dalamnya sendiri akan kehilangan banyak ide. Meninjau
dunia luar adalah wahana meraih ide baru untuk dunia dalam kita. Maka dari itu, Suka
meninjau dunia luar sebaiknya menjadi satu kebiasaan tersendiri bagi orang-orang
kreatif. Selain itu, Berani berpikir beda seolah menjadi ciri yang paling khas dari orang
kreatif. Umumnya orang berusaha menyesuaikan dengan budaya organisasinya. Padahal
tekanan organisasi bisa memasung kretaivitas. Jadi, beranilah pro terhadap hal yang tidak
disetujui mayoritas walau tidak harus terlalu terbuka. Dalam hal ini, bukan berarti
mengesampingkan kebenaran, karena disini akan lebih bernilai jika sikap satu ini untuk
berbeda terhadap mayoritas ketidakbenaran.

Dan yang terakhir disebutkan Oech, adalah senantiasa Terbuka terhadap gagasan baru.
Orang yang mengaku bukan orang yang kreatif berarti telah memasung diri sendiri.
Ingatlah, bahwa ide akan berkembang bila kita memberinya ruang. Baik dengan
tambahan dari luar diri Anda atau tidak menekan ide yang telah dipunyai.

Sudahkah menjadi orang kreatif? Mulailah hari ini juga! Wallaahu a’lam bishshowaab
(Bayu Gautama)

Mari Menebar Kasih Sayang


Publikasi 24/10/2002 09:05 WIB

eramuslim - Siapa yang tak mengakui kebaikan hati seorang Bunda Theresia? Meski ia
tak pernah menganut ajaran Islam yang penuh kedamaian, cinta dan kasih sayang, namun
kebaikan hatinya tak diragukan bahkan dirasakan juga oleh yang bukan ummat nasrani.
Sama halnya dengan Mahatma Gandhi, siapa yang berani membantah jika dikatakan
bahwa Gandhi adalah manusia berhati mulia. Kebaikan yang dilakukannya, cinta dan
pengabdiannya yang besar kepada ummatnya, menjadikan Gandhi sebagai sosok yang
boleh diteladani dalam hal berbuat baik terhadap sesama.

Kita pernah mempelajari bagaimana kebaikan hati Yusuf alaihi salam yang tidak
menaruh dendam sedikitpun kepada saudara-saudaranya yang telah mencoba
mencelakainya. Juga ketika seorang dipenjara yang melupakan kebaikan dirinya, tak
sedikitpun ia marah. Kebersihan hati Yusuf itulah yang akhirnya secara tidak langsung
menghantarkannya kepada kejayaan diri. Seorang Sulaiman yang dengan segala
kebesarannya, masih menghormati makhluk kecil, semut, dan memerintahkan derap dan
langkah para pasukannya untuk tidak mengganggu atau bahkan menginjak sekelompok
semut yang mereka lewati.

Rasulullah Muhammad saw tidak pernah sedikitpun mengajarkan kepada ummatnya


untuk melakukan kejahatan, ketidakadilan, tindak kesemena-menaan bahkan kezhaliman.
Islam dengan segala ajaran kasih sayang dan kedamaiannya, justru mengutamakan
perbuatan baik terhadap manusia itu sebagai perwujudan dari rahmantan lil ‘aalamiin-
nya ajaran yang disempurnakan Muhammad saw. Setelah para Nabi Allah sebelumnya
juga mengajarkan hakikat Islam.

Sebelum menjadi Rasul, Muhammad dikenal sebagai orang yang berhati mulia, jujur,
sopan, bersikap lembut dan menghargai sesama. Itulah kemudian ia mendapatkan gelar al
amiin, juga menarik hati seorang saudagar kaya Khadijah binti Khuwailid yang kemudian
menjadi istrinya. Setelah menjadi Rasul Allah, kemuliaan hatinya tidak hanya diakui oleh
kaum mukminin melainkan juga oleh kaum kafir Quraisy. Sebenci apapun para pembesar
suku Quraisy seperti Abu Lahab, Abu Jahal, mereka tak pernah membenci Muhammad
karena perilakunya yang buruk. Justru yang mereka khawatirkan adalah ajaran kebaikan,
kedamaian, dan kemuliaan hati dari Islam yang langsung dicontohkan Muhammad-lah
yang akan menggusur kekuasaan, kedudukan mereka. Bagaimana tidak, ketika orang-
orang memperjualbelikan budak dengan harga yang tidak manusiawi, Rasulullah (Islam)
memuliakannya. Ketika para wanita dianggap masyarakat kelas sekian dan menjadi suatu
kehinaan diri jika mempunyai keturunan seorang wanita, Muhammad justu mengangkat
derajatnya.

Tidak hanya itu, ketika ketidakadilan semakin mempertegas jarak dan perbedaan antara
orang-orang kaya dengan fakir miskin, antara yang kuat dan yang lemah, Rasulullah
datang dengan mengajarkan zakat dan infaq shodaqoh, mencontohkan bagaimana
seharusnya kasih sayang dan cinta sesama saudara bagaikan mencintai diri sendiri.

Islam adalah agama kebaikan, agama kasih sayang. Maka tidak sewajarnya ketika mereka
yang mengaku mukmin melakukan kejahatan dan tindak kezhaliman. Kecuali dalam
kondisi yang memang mengharuskan setiap mukmin mempertahankan harga diri dan
melakukan pembelaan, Rasulullah tak pernah mengajarkannya. Bayangkan, saat para
sahabat mulai marah dan tidak mampu menahan diri untuk melakukan balasan terhadap
intimidasi dan penganiayaan terhadap kaum muslimin, Rasulullah baru mengabulkannya
setelah ada izin dari Allah yang membolehkan berperang.

Ada sebuah kisah seorang panglima perang besar kaum muslimin Amru bin Ash yang
begitu mulia hatinya. Saat fajar sebelum berangkat melakukan penyerbuan ke wilayah
musuh yang menentang Islam, para pasukan terheran karena hanya tinggal tenda Sang
Panglima yang masih utuh belum dikemas. Alasannya, mungkin bagi kita sangat sepele,
hanya karena ia mendapati seekor burung yang bertengger di atas tendanya tengah
mengerami telurnya dan terpaksa menunda keberangkatan pasukannya. Kejadian itu
sungguh mengherankan dua orang penyusup dari pasukan musuh yang menyamar
bergabung dalam pasukan Amru bin Ash. Padahal pendelegasian keduanya menyusup itu
sebelumnya karena para pembesar dan masyarakatnya mendengar berita tentang
kekejaman Panglima Amru bin Ash beserta pasukannya yang dikatakan gemar
membunuh, menyiksa dan menganiaya orang. Rupanya, dari kejadian itu mereka tak
menemukan anggapan itu. Pikir mereka, bagaimana mungkin dikatakan kejam jika
terhadap seekor burung pun sang Panglima sangat mengasihi.
Menjadi seorang muslim, berarti didirinya tertanam sifat-sifat kebaikan, cinta dan kasih
sayang. Jika seorang muslim tak memiliki sifat diatas, tentulah karena ia tidak
sepenuhnya mengamalkan ajaran Rasulullah. Sebaliknya, mereka yang meski berbuat
baik, dan penuh kasih seperti Bunda Theresia dan Mahatma Gandhi, amalnya akan
terputus dan tak diperhitungkan dihadapan Allah kelak karena mereka bukan muslim dan
tak mengimani Allah. Oleh karenanya, perbaikilah segala sifat yang tak mencerminkan
kebaikan dan kasih sayang itu, karena Rasulullah pun menegaskan, jika kita berbuat baik
dan penuh kasih sayang terhadap semua makhluk di bumi, maka yang ada di langit akan
mengasihi dan menyayangi kita. Amiin Allaahumma Amiin. Wallahu a’lam bishshowaab.
(Bayu Gautama)

Karena Rasulullah pun Mendambakan Ramadhan


Publikasi 23/10/2002 07:23 WIB

eramuslim - Segala puji bagi Allah SWT, yang Insya Allah memperkenankan kita
menjumpai bulan suci, bulan mulia, bulan Ramadhan. Sholawat dan Salam senantiasa
terucap kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, para tabi'in,
tabi'it tabi'in, serta pengikutnya yang komitmen dengan risalahnya Dienul Islam hingga
hari akhir nanti.

Saudaraku, jika kita menantikan suatu saat yang sangat berharga bagi diri kita, katakanlah
sebagai contoh, hari ulang tahun kita. Niscaya kita akan sangat bergembira jika saatnya
tiba. Bahkan jauh hari sebelumnya, kita sudah mempersiapkan dengan 'full action',
potong rambut, bersih-bersih, dan aktivitas yang akan menunjang penampilan kita pada
hari yang dinanti-nanti itu.

Tapi apakah kita sudah bersiap-siap untuk menyambut bulan yang sangat dinantikan oleh
ummat Islam sepanjang masa? Bulan yang sangat dinantikan oleh Rasulullah, sehingga
teruntai sebuah do'a yang sangat indah: "Allahumma bariklana fii rajab wa bariklana fii
sya'ban wa balighna fii ramadhan" Ya Allah, berkahilah bulan Rajab ini, dan berkahilah
bulan Sya'ban ini, dan sampaikanlah kami, panjangkanlah umur kami hingga bulan
Ramadhan.

Subhanallah, Rasulullah sendiri, manusia yang sangat mulia, sangat mendambakan akan
datangnya bulan Ramadhan ini. Sudahkah kita meneladani beliau? Menantikan dengan
penuh harap? atau kita hanya biasa-biasa saja menyambut kedatangannya, sama seperti
bulan-bulan sebelumnya? Na'udzubillahi tsumma na'udzubillahi.

Saudaraku, hakikat bulan Ramadhan ini sesungguhnya pada sejauh mana kita telah
melakukan persiapan untuk menyambutnya. Sehingga pada bulan Ramadhan, kita dapat
memanfaatkan waktu dengan optimal. Persiapan itu sendiri tidak dilakukan pada awal
bulan Ramadhan, karena jika itu yang kita lakukan, maka kita akan ketinggalan kereta
pahala dengan hamba Allah lainnya. Yang telah mempersiapkan diri jauh sebelum
datangnya bulan Ramadhan.
Sangat sayang jika bulan Ramadhan yang hanya 29-30 hari itu, datangnya hanya sekali
setahun, harus kita potong waktunya seminggu menjadi 22-23 hari hanya untuk persiapan
yang seharusnya bisa kita lakukan jauh-jauh hari sebelumnya.

Dalam hadits juga diungkapkan, bahwa Rasulullah pada orang yang paling banyak dan
menyempurnakan puasanya pada bulan Sya'ban. Pengkondisian fisik sudah dicontohkan
oleh Rasul sebelum datangnya bulan Ramadhan. Pengkondisian ruhiyah juga sudah
seyogyanya dilakukan sebelum bulan Ramadhan, shoum sunnah, tilawah qur'an, qiyamul
layl, wirid ma'tsurat harian, dan lainnya. Buku Fiqh Shiyam juga menjadi bacaan wajib,
agar kita mengetahui dalil dan fadhilah puasa yang akan kita lakukan, dan memperluas
tsaqofah (wawasan) keilmuan kita.

Juga yang harus kita ingat, agar sebelumnya mengqadha puasa-puasa wajib kita
sebelumnya kita tinggalkan, entah karena sakit atau karena halangan lainnya.

Semua persiapan ini dilakukan agar kita bisa menjalani Ramadhan ini dengan ringan,
dengan bersemangat, dengan jihad (bersungguh-sungguh), serta berharap kita semua
dapat menjadi Alumni teladan bulan Ramadhan, yang dapat membekas pada 11 bulan
berikutnya.

Selamat berjuang saudaraku, semoga Allah berkenan mempertemukan kita pada bulan
Ramadhan esok. Amiin Allaahumma Amiin. (Bramsi Prenata/bramsi@cakraweb.com)

Kepada Anda Yang Bukan Perokok!


Publikasi 22/10/2002 07:35 WIB

eramuslim - Seorang gadis spontan menutup hidung dengan tissue ketika laki-laki di
depannya, penumpang lain dalam angkot itu menyalakan rokok kemudian menghisapnya
dengan nikmat dan menghembuskan asap ke seantero ruangan. Beberapa penumpang lain
bersikap biasa saja, barangkali karena merokok sudah merupakan budaya di Indonesia,
sementara si gadis makin kuat menutup hidungnya, sesekali terbatuk-batuk dan terus-
menerus menatap lekat si perokok dengan mata berair. Jadi sah-sah saja jika si perokok
tidak peduli, bahkan makin menikmati hisapan demi hisapan sementara si gadis terus
memelototinya dengan hati yang makin jengkel.

Mengapa tidak menegur?

Ingin si gadis menegur, tapi nyalinya tak cukup besar untuk melakukan itu. Takut
dibilang rese? Takut dibilang memberangus hak orang lain untuk merokok? Sungkan?
Takut dimarahi? Kalau boleh saya bilang, sesungguhnya si perokok lah yang seharusnya
lebih merasa sungkan dibanding orang yang menegur.

Kampanye tentang bahaya dan dampak negatif rokok sudah terlalu sering diadakan.
Bahkan iklannya selalu muncul di televisi berbarengan dengan iklan rokok. Meskipun
bisa dikatakan itu merupakan iklan setengah hati, sebagaimana setengah hatinya
pemerintah menyikapi masalah rokok ini. Bagaimanapun, rokok merupakan salah satu
sumber pendapatan negara yang cukup besar.

Nah, kalau begitu siapa dong yang bisa mengatasi -setidaknya mencegah- makin
meningkatnya intensitas merokok dan akibat-akibatnya? Mengharapkan para perokok
sadar? Wah, ini sih bagai pungguk merindukan bulan. Mereka tahu betul akan bahaya
rokok, tapi mereka memang dengan sadar untuk terus merokok. Toh, mereka tidak
merugikan orang lain. Kalaupun rugi, yang rugi tubuh mereka sendiri. Begitu mungkin
argumentasi mereka.

Sesungguhnya yang paling memungkinkan itu adalah kita: Orang-orang yang bukan
perokok dan sadar akan dampak negatif rokok. Mungkin tidak semua kita tahu dan sadar
bahwa menjadi perokok pasif (orang-orang yang secara tidak sengaja terhisap asapa
rokok yang diproduksi oleh para perokok di sekelilingnya) itu relatif lebih berbahaya di
banding perokok aktif.

Jika anda wanita hamil, biasanya dokter akan menyarankan anda menjauhi rokok dan
asapnya (bahkan suami pun diminta untuk menghentikan/mengurangi kegiatan merokok).
Hal ini karena dipastikan asap rokok bisa mengganggu pertumbuhan janin. Pengaruh
yang tidak kurang berbahaya juga dapat dialami oleh orang dewasa dan anak-anak yang
bukan perokok, namun tanpa sadar menjadi perokok pasif. Teman saya akhirnya dirawat
di rumah sakit karena sakit paru-paru gara-gara beberapa tahun bekerja diantara para
perokok, sekalipun dia sendiri tidak pernah merokok. Nah, apakah anda rela menderita
akibat yang bukan merupakan hasil perbuatan anda?

Karena itu anda berhak sekali untuk melindungi diri anda dengan menolak menghisap
asap rokok dari para perokok. Seperti tadi saya tengarai di atas, manusia Indonesia
memiliki rasa sungkan yang cukup tinggi jika mengganggu orang lain, kenapa ini tidak
kita jadikan senjata untuk memperkecil ruang bagi para perokok? Bukankah dengan
demikian selain kita mempertahankan hak kita untuk tidak menghisap asap rokok dan
melindungi diri dari kemungkinan menderita penyakit yang disebabkan status perokok
pasif, kita juga secara tidak sengaja membantu si perokok mengurangi intensitas
merokoknya?

Cerita tentang gadis di paragraf pertama di atas adalah cerita tentang diri saya sendiri.
Saya selalu merasa terganggu jika ada orang yang merokok di sekitar saya. Cuma waktu
itu saya tidak berani menegur karena sungkan dan sebagainya itu tadi. Hingaga kemudian
suatu hari saya membaca salah satu serial Olin karya Ali Muakhir. Si Olin ini dengan
berani menegur seorang penumpang di angkot yang merokok. Kisah itu mengilhami saya
untuk melakukan hal serupa meski dengan alasan berbeda. Suatu hari, dalam perjalanan
kereta Solo-Jogya, seorang laki-laki hendak menyalakan rokok di dekat saya. Serta merta
saya menegur, “Maaf, Mas! Bagaimana kalau merokoknya nanti saja saat sudah di luar
kereta? Saya tidak tahan dengan asap rokok”. Dia mengangguk dan membatalkan
rencananya untuk menyalakan rokok. Beberapa saat kemudian seorang penumpang
masuk dengan rokok menyala di sela jari-jarinya. Karena tadi sudah ada yang saya tegur,
saya rasa tidak adil kalau yang ini tidak saya tegur juga. Maka, saya kembali beraksi,
”Mas, boleh rokoknya dihabiskan di dekat pintu?” Rupanya dia malas kalau merokok
harus menjauh dari teman-temannya. Maka rokok itu langsung ia injak. “Terima kasih”,
kata saya. Dua pengalama di atas memberi keberanian dan kepercayaan diri pada saya
untuk menerapkan hal yang sama di tempat-tempat umum lain. Di Bus, angkot, halte,
ruang pertemuan, kantor dan lain-lain.

Dan saya terpikir, kalau saja kita semua yang bukan perokok mau peduli akan hak kita
untuk tidak menjadi perokok pasif dan menggunakannya, maka ruang bagi para perokok
akan makin sempit. Mereka sebenarnya sungkan andai saja anda berani menegur.
Masalahnya adalah, seberapa tinggi kesadaran anda untuk mempertahankan hak tidak
menjadi perokok pasif? Seberapa besar pula nyali dan kepercayaan diri anda untuk
menegur? Semuanya tergantung kepada anda.

Bagaimana jika ada yang tebal muka, tetap cuek bebek dengan rokoknya meskipun sudah
kita tegur? Gampang, anda tinggal memberinya masker plastik dan katakan, “Anda
berhak merokok di sini sebagaimana saya berhak untuk tidak menghisap sampah asap
rokok anda. Jadi silakan anda gunakan plastik ini untuk menutup muka anda agar anda
dapat menikmati sendiri asap rokok itu”.

Anda mau coba?

Ayo, kita punya kemampuan untuk merubah sedikit wajah dunia dengan menggunakan
hak kita. Jika ada diantara anda yang membaca tulisan ini adalah seorang perokok, maaf,
tulisan ini bukan untuk anda. Tapi kalau anda terlanjur membaca, sebaiknya anda hati-
hati jika akan merokok di tempat umum, dari pada anda 'malu ati' karena ditegur orang
nanti. (Azimah Rahayu/azi_75@yahoo.com)

Mulianya Memaafkan
Publikasi 18/10/2002 08:58 WIB

eramuslim - Ada sebuah buku yang ditulis oleh seorang penulis terkenal, Dave Pelzer,
berjudul A Man Named Dave, yang menggambarkan sebuah kisah tentang keberhasilan
dan kekuatan dari sikap memaafkan. Buku tersebut - yang merupakan kesimpulan dari
dua buku Pelzer sebelumnya yang menjadi best seller, A Child Called “It” dan The Lost
Boy – begitu menyentuh hati siapapun yang membacanya, karena tidak seperti buku
sebelumnya yang membuat dada berdegub, A Man Named Dave juga mengajak kita
untuk meneguhkan hati, membalas kezaliman dengan sikap memaafkan.

Sebagaimana digambarkan Pelzer, selama tidak kurang dari delapan tahun –sejak usia 4
tahun hingga usia 12 tahun- mengalami berbagai siksaan yang sangat brutal dari ibunya
sendiri yang menganggap Pelzer hanya sebagai “It” yang bisa diperlakukan dengan
seenaknya, meninju, menendang, melemparkan dari atas menggelundung ke dasar
tangga, menginjak-injak bahkan mencekiknya sampai nyaris mati. Sebuah kebesaran hati
yang mengesankan dari Dave Pelzer bahwa kemudian ia tak sedikitpun menyalahkan
sikap The Mother (ibunya) selama delapan tahun itu yang menyebabkan ia tak bisa lepas
dari bayang-bayang masa lalu. Hingga akhirnya Pelzer menemukan dirinya sendiri di
dalam hati, sampai ia mampu membebaskan diri.

Bahkan dalam catatan di belakang buku tersebut, Jack Canfield, salah seorang penulis
Chicken Soup for The Soul mengatakan bahwa Pelzer adalah bukti nyata yang
menunjukkan bahwa kita masing-masing memiliki kemampuan untuk mengembangkan
diri sendiri, tak peduli pengalaman seburuk apapun yang menimpa diri kita.

Dalam buku Mensucikan Jiwa, Said Hawwa menerangkan tentang empat kategori
manusia dalam hal kemarahan, yang pertama, seperi ilalang yang cepat tersulut dan cepat
pula reda. Kedua, seperti pohon bakau; lambat tersulut dan lambat pula redanya, ketiga,
lambat tersulut dan cepat reda. Jenis ini yang paling terpuji, selagi tidak mengakibatkan
redanya ghirah dan semangat pembelaan kebenaran. Sedangkan yang keempat, cepat
tersulut dan lambat redanya. Jenis ini yang paling buruk.

Berkaitan dengan itu, Imam Ghazali pernah mengajarkan bagaimana seharusnya seorang
mukmin melampiaskan kemarahan. Bahwa kesabaran seseorang memang ada batasnya
dan pada saatnya telah melampaui ambang batas itu, sangat wajar bilang seseorang harus
marah. Hanya saja, yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mengukur kadar
marah itu sesuai dengan tingkat kesalahan orang membuat kita marah, selain juga
kemarahan yang dilampiaskan masih wajar dan berada dibawah kesadaran yang tinggi.
Inilah yang sulit, makanya Rasulullah pun pernah mengatakan bahwa memaafkan adalah
sikap mulia dari seorang mukmin.

Memaafkan, bukan memberi maaf, jelas perintah dalam surat Ali Imran ayat 134, karena
memaafkan bermakna lebih mulia ketimbang memberi maaf. Memaafkan adalah sikap
yang diberikan secara ikhlas terlepas orang yang melakukan kesalahan, sikap dan tindak
semena-mena, dan atau ketidakadilan itu memintanya atau tidak. Dan sikap memaafkan
itu dikatakan Allah sebagai satu sikap orang-orang bertaqwa yang Allah sediakan bagi
mereka syurga seluas langit dan bumi.

Bayangkan betapa mulianya orang-orang yang mampu “memaafkan”, karena sikap


memberi maaf setelah orang meminta maaf saja sudah sedemikian luhur. Bahwa juga
sikap seseorang yang meminta dimaafkan setelah melakukan satu kesalahan pun sudah
begitu bagusnya. Sungguh membutuhkan kebesaran jiwa untuk bisa memaafkan
kesalahan orang tanpa menunggu orang memintanya, karena pada saat itu kita telah
membunuh kesombongan, dan rasa sebagai orang menang.

Karena jika kita tak mampu melakukannya, dan menelan kemarahan itu karena
ketidakmampuan untuk melampiaskannya seketika maka ia akan kembali ke dalam
bathin dan menyelinap ke dalamnya lalu menjadi kedengkian. Kata Said Hawwa, makna
kedengkian ialah hati senantiasa merasa berat dalam menelan kemarahan, merasa benci
kepadanya dan lari darinya. Kedengkian adalah buah dari kemarahan.

Sikap yang sebaiknya dilakukan seseorang adalah, selain memaafkan adalah


meningkatkan kebaikan terhadapnya sebagai perlawanan terhadap hawa nafsu dan syetan
maka hal itu merupakan maqam orang-orang yang tergolong shiddiqin, dan termasuk
perbuatan orang-orang yang mencapai maqam Muqarrabin (orang-orang yang dekat
dengan Allah). Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Ketika Orang Cerdas Jadi Bodoh


Publikasi 17/10/2002 08:51 WIB

eramuslim - Meski setiap hari harus menerima ludahan dari seorang kafir quraisy,
namun Rasulullah Muhammad Saw tidak pernah menaruh dendam ataupun kebencian.
Bahkan ia membalasnya dengan menjadi orang yang pertama kali menjenguk ketika si
peludah itu sakit. Begitu juga dengan peristiwa Thaif, sedemikian kejamnya masyarakat
wilayah itu melempari batu, menzhalimi Rasulullah dan para sahabat sampai Izrail pun
tak kuasa ‘menahan amarah’ dan menawarkan membalikkan gunung untuk ditimpakan
kepada kaum Thaif. Namun manusia agung itu lebih memilih memaafkan.

Rasulullah mengajarkan (sekaligus mempraktekkan) keutamaan memberi maaf. Lebih


umumnya, Rasulullah juga menekankan pentingnya setiap mukmin untuk memiliki
kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri, yang kemudian kita lebih
mengenalnya dengan istilah sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling
tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan,
ikhlas menghadapi berbagai cobaan, dan tenang dalam tekanan.

Daniel Goleman dalam bukunya yang menjadi best seller, Emotional Intellegence
memaparkan tentang satu bagian penting dalam jiwa manusia yang bernama emosi yang
dikatakannya justru sangat menentukan kebahagiaan dan penderitaan manusia. Menurut
Goleman, emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika mengambil keputusan
karena tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali
keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya karena seluruh keputusan
manusia memiliki warna emosional. Jika kita memperhatikan keputusan-keputusan dalam
kehidupan manusia, ternyata lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat.

Pada emosi, tambah Golemen, bergantung suka, duka, sengsara, dan bahagianya
manusia; bukan pada rasio. Karena itulah hendaknya kita memperhatikan kecerdasan
emosi selain kecerdasan otak. Disebutkannya, bahwa yang menentukan sukses dalam
kehidupan manusia bukanlah rasio tetapi emosi. Berkaitan dengan ini, dari hasil
penelitiannya ditemukan satu situasi yang disebut dengan When smart is dumb, ketika
orang cerdas jadi bodoh. Ia menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki kecerdasan
atau IQ diatas 125 umumnya bekerja pada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100.
Artinya, orang yang cerdas umumnya menjadi pegawai dari orang yang lebih bodoh dari
dia. Kecerdasan intelektual memang bisa membantu orang meraih kesuksesan, namun
kesuksesan seringkali ditentukan oleh kecerdasan emosional. Dan kecerdasan emosional
diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri, itulah yang disebut
sabar.
Seringkali kita menjumpai orang yang bersikap bodoh hanya karena tidak mampu
mengendalikan emosinya. Rasulullah yang kita kenal tak memiliki kemampuan membaca
dan menulis ternyata memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa tinggi. Bayangkan
betapa luhurnya orang yang memberi maaf kepada mereka yang melakukan kesalahan.
Padahal perintah-Nya adalah memaafkan, terlepas orang yang melakukan kesalahan itu
memintanya atau tidak. Mulialah mereka yang melakukan itu.

Demikian juga dengan kesadaran dan ketenangan yang tinggi dalam menghadapi
berbagai kesulitan. Kunci suksesnya adalah mengendalikan emosi dan menahan diri
(sabar), sehingga ia tak melakukan kebodohan dari ketergesa-gesaan atau amarahnya
yang biasanya berujung pada penyesalan. Dan tidak jarang pada saat itu, tangan ini
refleks memukul kepala, “bodohnya aku”. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Etika Meminjam, Jangan Kalah Sama Anak-Anak!


Publikasi 15/10/2002 07:14 WIB

eramuslim - Sore itu, anak-anak sedang ramai di Taman Bacaan saya. Tiba-tiba suara
tangis pecah meningkahi keramaian. Saya buru-buru menghentikan aktifitas mencatat
buku yang akan di pinjam dan turun ke halaman. Ika, gadis 5 tahun itu tengah duduk di
bangku sambil tersedu-sedu menutup muka dalam rangkulan kakaknya Nisa.

“Ada apa?” tanya saya.


“Ika pikir buku yang dipinjamnya hilang, Kak! Padahal sudah saya kembalikan bareng
punya saya,” Nisa menjelaskan.

Saya tersenyum dan memeluk Ika. “Ika sedih dan takut dimarahin karena bukunya hilang,
ya? Nah, bukunya bukan hilang tapi dikembalikan. Ika anak baik. Nangisnya udah yaa.”
Dan Ika pun berhenti menangis, meski sesekali sedu sedannya masih terdengar.

Beberapa saat kemudian, Niki, pengunjung taman bacaan yang lain datang. Ia takut-takut
mengembalikan buku yang sudah berubah muka. Sampulnya lecek bekas basah dan
diselotip asal-asalan.

“Niki, kenapa kok bukunya baru dikembalikan?’ tanya saya. Di daftar pinjaman, buku itu
sudah tiga hari di tangan Niki.

“Bukunya jatuh ke got, Kak!” jawab gadis kelas dua SD itu takut-takut.

”Iya, Kak. Kemarin dia takut mengembalikan buku,” sahut Oki saudara kembar Niki.

”Oh, begitu. Terima kasih Niki sudah berusaha membenahi bukunya. Besok lagi hati-
hati, ya?”
Suatu hari yang lain, Ihsan mendekati saya takut-takut sambil bertanya, ”Kak, beli buku
ini dimana?”. “Kenapa? Kamu ingin beli?”

Dia membuka lembaran tengah yang robek dan menunjukkan ke saya dengan air muka
penuh rasa bersalah. “Oh, bukunya robek. Sini, kita selotip bareng-bareng. Lain kali hati-
hati ya?” jawab saya.

Sungguh saya terharu dengan usaha anak-anak itu menjaga amanah. Padahal mereka
masih kecil. Padahal pula selama ini mereka dicap ‘kurang baik’ oleh beberapa orang
dewasa yang saya kenal di lingkungan kami. Ya, kegiatan saya menjalankan rumah
bacaan di tempat saya tinggal bukan tanpa hambatan. Terutama pemilik rumah yang tidak
setuju dan menganggap anak-anak itu hanya mengganggu, juga mereka punya kebiasaan
mencuri. Barangkali beliau benar, karena beliau lebih paham tentang lingkungan
tinggalnya.

Pernah memang, selembar uang lima ribu rupiah di meja hilang saat saya tinggal ke
dalam. Tapi itu dulu sekali. Dan saya pikir justru karena itulah saya ingin dan tertantang
untuk mengubahnya. Saya berusaha memberi kepercayaan kepada anak-anak itu, dengan
harapan mereka akan membalas kepercayaan saya (tentu saja di sisi lain, saya lebih
berhati-hati menyimpan barang berharga).

Saya menganggap mereka orang dewasa yang sanggup menjaga amanah. Dan rasanya,
saya pikir usaha itu tidak sia-sia. Kejadian di atas adalah contohnya.

Namun di sisi lain, kejadian di atas juga mengingatkan saya atas fenomena (kalaulah bisa
disebut fenomena) kurang dipenuhinya adab pinjam meminjam di kalangan dewasa.
Bahkan di kalangan para aktifis yang sudah mengerti Islam.

Uang maupun barang. Saya tak ingin membahas yang besar-besar, tapi yang kecil saja
yaitu buku. Karena suatu hal besar itu dimulai dari hal kecil.

Setiap kita pasti pernah meminjam buku atau meminjamkan buku. Tapi berapa kali kita
mengembalikan buku yang kita pinjam kembali dalam kondisi sperti awal dipinjamkan?
Dan berapa pula yang tak kembali? Atau, adakah buku teman yang belum kita
kembalikan?

Selain taman bacaan anak, saya juga punya koleksi cukup banyak buku untuk orang
dewasa. Dari berbagai majalah, novel Islami dan novel umum, buku-buku referensi
keagamaan, buku-buku self help dan How to’s dan lain dan lain. Buku-buku itu juga saya
pinjamkan secara terbuka kepada teman-teman saya atau temannya teman saya.

Setiap kali meminjamkan buku, saya selalu berpesan agar buku dijaga dan dikembalikan
segera jika sudah selesai. Namun sedihnya, ada saja buku yang kembali dalam kondisi
kotor maupun bekas basah maupun halamannya bredel. Ada juga buku yang sejak
dipinjam tak pernah kembali. Ada yang merasa sudah mengembalikan tapi nyatanya buku
itu tak pernah sampai ke tangan saya.
Ada lagi yang sudah ditelepon berkali-kali namun selalu saja ada alasannya untuk tidak
mengembalikan buku. Cukup sering saya mendapat jawaban dibawah saat saya
menanyakan buku-buku yang mereka pinjam.

“Oh belum saya kembalikan, ya? Saya lupa nih. Ya udah, tolong mbak lihat di rumah dan
saya lihat juga di rumah. Kalo di rumah saya ada berarti memang belum saya
kembalikan.”

Atau, “Aduh, waktu itu dibaca sama si anu, ntar deh ditanyain”. Ketika ditanya lagi,
mereka kelihatan cuek dan tak mau tahu siapa yang memegang buku pinjaman berantai
itu.

***

Buku memang hanya sebuah buku. Pinjam meminjam buku juga sudah biasa. Tapi
apakah karena sudah biasa dan ‘hanya sebuah buku’ lantas membuat statusnya sebagai
barang pinjaman yang mesti dipenuhi adabnya batal? Saya kira tidak. Betapapun
statusnya tetap barang pinjaman. Sebagaimana hutang yang dapat menghambat seseorang
masuk surga, maka saya khawatir demikian juga halnya dengan barang pinjaman.

Kalau anak-anak lupa mengembalikan atau tidak mengembalikan, saya yakin bukan
karena mereka meremehkan atau bermaksud mengukuhi buku itu, tetapi lebih karena
mereka belum paham makna ‘meminjam’ dan bagaimana adab terhadapnya. Sedang kita,
orang dewasa? Apalagi sudah belajar Islam?

Semestinya kita lebih bisa memenuhi adab ini dan mengajarkan pada anak-anak. Sudah
tiba masanya, hal-hal seperti ini mendapat perhatian lebih dari kita semua. Menegur,
mengingatkan atau bersikap tegas dalam hal ini, meskipun sering ditanggapi tidak enak,
sebenarnya adalah suatu usaha untuk menjaga si peminjam dari perbuatan dzalim
terhadap dirinya sendiri maupun Saudaranya.

Azimah Rahayu (azi_75@yahoo.com)

Agenda Profesional Muslim di Era Cyber


Publikasi 14/10/2002 07:51 WIB

eramuslim - Tatkala negeri Islam dalam keadan terbelakang, penuh konflik dan
mengalami ketergantungan terhadap Barat, kalangan Muslim profesional adalah sebuah
kakuatan ummah. Sebagai sebuah kekuatan ummah, kalangan Muslim profesional
mempunyai kemampuan untuk menjadi agen perubahan. Perkembangan era cyber bahkan
menyediakan celah untuk meningkatkan kemampuan ini, mengarahkan dan
mendayagunakannya untuk menggerakkan perubahan menuju cita-cita gerakan Islam
yaitu tumbuh, berkembang dan tegaknya khairu ummah.
Kekuatan utama dari kalangan Muslim profesional yang dapat didayagunakan adalah
penguasaannya atas bidang-bidang keahlian. Bidang keahlian ini beraneka ragam dari
teknologi antariksa hingga teknologi pertanian, dari teknologi informasi hingga teknologi
permesinan, dan dari teknologi konstruksi hingga teknologi kimia. Dengan keahlian yang
dimilikinya kalangan Muslim profesional dapat terlibat mencerdaskan ummah,
mengembangkan solusi tepat guna untuk ummah ataupun mendukung aksi
pengembangan ummah yang dikembangkan LSM ataupun pemerintah.

Tantangannya adalah kalangan Muslim profesional perlu mengembangkan agenda


perubahan di dalam diri, keluarga dan lingkungannya sebelum dapat berperan sebagai
agen perubahan. Kalangan Muslim profesional perlu berjuang untuk menyelamatkan diri
dari bahaya eksploitasi sumber daya manusia, polusi budaya dan erosi ruhiyah.

Di antara indikator dari eksploitasi sumber daya manusia adalah kesibukan, dan kelelahan
dalam kehidupan yang tidak mempunyai tujuan bagi pengembangan ummah. Adalah
lumrah diantara kalangan Muslim profesional untuk mengalami kesulitan menyediakan
waktu, tenaga, emosi dan pemikiran bagi berinteraksi dan berkolaborasi dalam aktivitas
tarbiyah, dakwah dan amal Islami pada umumnya.

Di antara indikator polusi budaya adalah penerimaan pemikiran dan budaya Barat dalam
berbagai bidang kehidupan seperti ketidakpedulian terhadap bahaya riba dalam ekonomi
dan bisnis, berkembangnya pacaran dalam hubungan dengan lawan jenis, dan layunya
hubungan emosional dan intelektual antara ummah dan pemimpin dalam masyarakat
Islam.

Di antara indikator erosi ruhiyah adalah melemahnya emosi dan interaksi terhadap Al
Qur'an, sangat beratnya menegakkan Qiyamul Lail dan keringnya hati dalam empati
terhadap permasalahan dunia Islam.

Ancaman terhadap kalangan Muslim profesional di atas juga semakin menguat di era
cyber. Penguatan ancaman ini merupakan dampak dari tertembusnya batas-batas
geografi, terbangunnya sebuah peradaban cyber yang global, dan berkembangnya
komunikasi, interaksi dan kolaborasi lintas kepentingan, lintas masyarakat, dan lintas
budaya.

Untuk dapat menyelamatkan diri dari ancaman ini, kalangan profesional Muslim perlu
mengembangkan suatu agenda. Agenda muslim profesional perlu mencakup suatu
perubahan yang mendasar, menyeluruh dan berkelanjutan. Agenda ini perlu dimulai dari
pribadi, keluarga dan dikembangkan untuk berpengaruh dalam lingkungan sosial.

Pertama, mengembangkan emosi, visi, dan aspirasi sebagai Muslim. Pribadi-pribadi


profesional Muslim perlu membersihkan hati, menyegarkannya dengan kesejukan,
kejernihan dan ketenangan iman, dan menyuburkan emosi sebagai Muslim. Emosi
sebagai Muslim yang perlu disuburkan adalah cinta kepada Allah, Rasul dan jihad.
Dengan emosi sebagai Muslim, pribadi-pribadi Muslim mengembangkan visi kehidupan
Islami dalam kehidupan pribadi, keluarga, perusahaan, organisasi maupun masyarakat.
Dengan visi ini, pribadi-pribadi Muslim bangun, berdiri dan bergerak dengan suatu
aspirasi yaitu tercapainya keadaan yang lebih baik bagi dakwah, dan ummah.

Kedua, memahami fikrah Islamiyah, membangun syakhsyiyah Islamiyah dan


mengembangkan akhlaq Islamiyah. Pribadi-pribadi profesional Muslim perlu mempunyai
pemahaman yang mendalam tentang makna syahadatain, tentang Al Qur'an, tentang
rukun iman dan rukun Islam. Selanjutnya, pengetahuan ini perlu dijalankan, diterapkan
dan ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbangun kepribadian Islami. Dari
pribadi Islamilah diharapkan mekarnya akhlaq Islami, seperti bunga-bunga di taman yang
menebarkan wangi.

Ketiga, mengumpulkan informasi intelijens sosial kemasyarakatan. Pribadi-pribadi


Muslim dituntut mengumpulkan informasi intelijens untuk memahami dinamika
perkembangan ummah, mencakup keadaan, maupun perubahan yang sedang
berlangsung, baik yang baik maupun yang buruk. Informasi intelijens juga dibutuhkan
untuk memantau perkembangan dunia baik perkembangan yang mendukung
pengembangan ummah maupun yang mengancam keberlangsungan ummah. Lebih lanjut,
dan yang sangat strategis, pribadi-pribadi Muslim profesional perlu mengumpulkan
informasi intelijens untuk mengetahui perkembangan tarbiyah, dakwah dan jihad yang
berkembang di negeri Islam. Berbekal informasi intelijens akan berbagai perkembangan
dari ummah, dunia maupun gerakan Islam ini, kalangan Muslim profesional bisa
mengembangkan kapasitas, keterlibatan dan aksi yang tepat.

Keempat, memahami visi, misi dan nilai dari gerakan Islam dalam kehidupan tarbiyah,
dakwah dan jihad. Dengan pemahaman ini, pribadi-pribadi Muslim profesional dapat
lebih segar, hidup, bersemangat, berdiri, terlibat, bergerak, berjuang, tegar, berkarya dan
bekerjasama. Dengan pemahaman ini, pribadi-pribadi Muslim profesional dapat lebih
terarah menuju terbangunnya khairu ummah. Dengan pemahaman ini pribadi-pribadi
Muslim profesional dapat bergerak dengan panduan nilai-nilai Islam di jalan Islam dan
demi ridha Ilahi.

Kelima, membangun competency, creativity dan endurance. Pribadi-pribadi Muslim


profesional perlu membangun competency dalam bidang keahlian masing-masing,
menggunakan berbagai media pembelajaran yang tersedia. Ini adalah kekuatan inti dari
kalangan Muslim profesional yang bisa disumbangkan untuk pengembangan ummah.
Selanjutnya pribadi-pribadi Muslim profesional diharapkan mengembangkan creativity
bagi pengembangan idea, produk atapun layanan untuk memecahkan masalah ummah.
Dan untuk berjalannya proses perubahan yang berkelanjutan, pribadi-pribadi Muslim
profesional dituntut membangun endurance, ialah kesabaran untuk terus terlibat, bergerak
dan mendukung pengembangan ummah.

Keenam, membina keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Keluarga mempunyai


peran strategis, bagi pribadi-pribadi Muslim profesional sendiri, bagi berkembangnya
ummah maupun bagi tertegakknya Islam sebagai jalan hidup. Bagi pribadi-pribadi
Muslim keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah dapat mengawalnya,
mendukungnya dan mendorongnya agar senantiasa menjadi pribadi Muslim yang
bergerak. Bagi ummah, keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah adalah sebuah
kelompok terdiri suami, istri dan anak-anak yang berkarya bersama dan sinergis untuk
ummah. Bagi Islam sebagai jalan hidup, keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah
adalah sebuah qudwah, atau tauladan bagaimana Islam ditegakkan dalam kehidupan.

Ketujuh, membina lingkungan, organisasi dan masyarakat. Pribadi-pribadi Muslim


diharapkan secara proaktif membina lingkungan sosial seperti persahabatan, mailing list
dan juga lingkungan kerja, agar sejalan dengan budaya Islam. Ini dapat terus diperluas ke
organisasi dimana pribadi-pribadi Muslim menjadi anggota untuk mengembangkan
aturan, kebijakan, aksi yang mendukung pengembangan ummah. Akhirnya masyarakat
pada umumnya melalui media-media massa yang ada.

Demikianlah agenda yang dibutuhkan oleh kalangan Muslim profesional untuk bisa
terlibat dalam pengembangan ummah. Agenda profesional Muslim adalah panjang,
mendaki dan berliku, membutuhkan emosi, intelektual dan fisik yang tangguh untuk
menjalani, menyusuri dan menegakkannya. Dengan menjalani, menyusuri dan
menegakkannya dengan kesabaran, ummah dapat berharap bahwa kalangan Muslim
profesional akan membawa perubahan yang strategis bagi terbangunnya khairu ummah.

Eko Budhi Suprasetiawan


Muslim Information Technology Association
(ekobs@developerforce.net)

Maafkan Aku, Ayah


Publikasi 11/10/2002 08:13 WIB

eramuslim - Sewaktu usiaku belum lima tahun, aku hampir tak pernah mengenalnya.
Bukan karena usiaku yang belum bisa mengenal secara detail siapapun, tapi lebih karena
pria ini hampir tidak pernah kujumpai. Kecuali sesekali di hari minggu, ia seharian penuh
berada di rumah dan mengajakku bermain. Namun meski sekali, aku merasa sangat
senang dengan keberadaanya.

Sejak aku mulai sekolah hingga masa remaja, aku menganggap pria ini tidak lebih dari
sekedar pria tempat ibu meminta uang bulanan, juga untuk keperluan sekolahku dan adik-
adikku. Tidak seperti anak-anak lainnya yang mempunyai seorang pria dewasa yang
membela mereka saat berseteru dengan teman mainnya, atau setidaknya merangkul
menenangkan ketika kalah berkelahi, aku tidak. Pria dewasa yang sering kujumpai di
rumah itu sibuk dengan semua pekerjaannya.

Hingga aku dewasa, pria ini masih kuanggap orang asing meski sesekali ia mengajariku
berbagai hal dan memberi nasihat. Sampai akhirnya, kutemukan pria ini lagi sehari, dua
hari, seminggu, sebulan dan bahkan seterusnya berada di rumahku. Rambutnya sudah
memutih, berdirinya tak lagi tegak, ia tak segagah dulu saat aku pertama mengenalnya,
langkahnya pun mulai goyah dan lambat. Kerut-kerut diwajahnya menggambarkan
kerasnya perjuangan hidup yang telah dilaluinya. Bahkan suaranya pun terdengar parau
menyelingi sakit yang sering dideritanya.

Kini pikiranku jauh melayang pada sayup-sayup suara ibu, sambil menyusuiku ia
memperkenalkan pria ini setiap hari, “nak, ini ayah …” meski aku pun belum begitu
mengerti saat itu. Bahkan menurut ibu, pria ini justru yang pertama kali menyambutku
ketika pertama kalinya aku melihat dunia. Cerita ibu, karena pria ini yang mengantar,
menemani ibu hingga saat persalinan. Bahkan suaranyalah yang pertama kudengar
dengan lembut menerobos kedua telingaku dengan lantunan adzan dan iqomat hingga aku
tetap mengenali suara panggilan Allah itu hingga kini.

Dari ibu juga aku mengetahui, bahwa ia rela kehilangan kesempatan untuk mencurahkan
kasih sayang dan cintanya kepadaku demi bekerja seharian penuh sejak dinginnya shubuh
masih menusuk kesunyian hari saat aku masih tertidur hingga malam yang larut ketika
akupun sudah terlelap. Ia tahu resiko yang harus diterimanya kelak, bahwa anak-anaknya
tak akan mengenalnya, tak akan lebih mencintainya seperti mereka mencintai ibu mereka,
tak akan menghormatinya karena merasa asing dan tidak akan memprioritaskan
perintahnya karena hampir tak pernah dekat. Tapi kini kutahu, ia lakukan semua demi
aku, anaknya.

Ibu juga pernah bercerita, pria ini selelah apapun ia tetap tersenyum dan tak pernah
menolak saat aku mengajaknya bermain dan terus bermain. Ia tak pernah menghiraukan
penat, peluh dan lelahnya sepulang kerja demi membuat aku tetap senang. Ia tak
mengeluh harus bangun berkali-kali dimalam hari bergantian dengan ibu untuk sekedar
menggantikan popok pipisku atau membuatkanku sebotol susu. Dan itu berlangsung terus
selama beberapa tahun, yang untuk semua itu ia ikhlas menggadaikan rasa kantuknya.
Kusadari kini, semua dilakukannya untukku. Untuk sebuah cinta yang tak pernah ia
harapkan balasannya.

Seperti halnya ibu, ia juga rela ketika harus terus menggunakan kemeja usangnya untuk
bekerja, atau celananya yang beberapa kali ditambal. Kata ayah seperti diceritakan ibu,
uangnya lebih baik untuk membelikan aku pakaian, susu dan makanan terbaik agar aku
tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Terima kasih Ayah, kutahu engkau juga tak kalah cintanya kepadaku dengan kecupan
hangatmu saat hendak berangkat kerja dan juga sepulangnya ketika aku terlelap. Meski
tak banyak waktu yang kau berikan untuk kita bersama, namun sedetik keberadaanmu
telah mengajarkan aku bagaimana menjadi anak yang tegar, tidak cengeng dan mandiri.
Kerut diwajahmu, memberi aku contoh bagaimana menghadapi kenyataan hidup yang
penuh tantangan.

Maafkan aku Ayah, aku tak pernah membayangkan sedemikian besar cinta dan
pengorbananmu kepadaku. Ayah tak pernah mengeluh meski cinta dan pengorbanan itu
sering terbalaskan dengan bantahan dan sikap kurang hormatku. Meski kasih sayang yang
kau berikan hanya berbuah penilaian salahku tentangmu.
Jangan menangis Ayah, meski kini kau nampak tua dan lelah, bahu dan punggungmu
yang tak sekekar dulu lagi, bahkan nafasmu yang mulai tersengal. Ingin aku bisikkan
kepadamu, “Aku mencintaimu …” Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Ada Yang Lebih Tegar


Publikasi 10/10/2002 07:44 WIB

eramuslim - Namanya Hambali, 25 tahun, kakak dari enam adik itu sudah tiga hari ini
selalu terlambat datang ke masjid untuk sholat shubuh berjama’ah, namun meski terburu-
buru ia masih menyempatkan diri menjadi masbuk atau bahkan setelah jama’ah lainnya
sudah mengucapkan salam. Tak apalah, katanya, yang penting ia dan adik-adiknya tak
absen ke masjid untuk berjama’ah. Sebelumnya ia tak pernah begitu, wajar karena empat
hari yang lalu, dini hari sekitar pukul 03.00 ayahnya yang tukang angkut sampah di
perumahan sekitar tempatku tinggal, meninggal dunia. Makanya, kalau dulu ada yang
membantunya membangunkan adik-adiknya untuk bersiap-siap shubuh di masjid, kini ia
harus melakukannya sendiri. Pasalnya, dua belas tahun lalu, ibunya telah terlebih dulu
meninggalkan mereka saat melahirkan si kecil, Salma.

Hambali dan semua adiknya, memang bersedih ketika ayah mereka meninggalkan
mereka saat tengah terlelap. Tak dinyana, perjumpaan sesaat sebelum tidur semalam
adalah terakhir kali mereka bercanda dengan ayah mereka. Namun Hambali tetap tegar,
sebagai kakak tertua dari enam adiknya, ia merasa harus menunjukkan bahwa
bagaimanapun kesedihan melanda, mereka tak bolah larut. Tetap tegak menatap hari
esok, sambil berpikir bagaimana berjalan tanpa pegangan kokoh yang keduanya telah
hilang sekarang, tanpa bimbingan orangtua, tanpa ada lagi tempat mengadu, apalagi
minta uang saku sekolah bagi adik-adiknya.

Pagi ini di depan gang sambil menunggu kendaraan, aku bertemu Hambali. Ia sudah
kembali bekerja –menjadi pesuruh di sebuah lembaga tinggi negara-. Ia tersenyum
melihatku, padahal masih ada kegetiran didadaku merenungi nasib Hambali dan adik-
adiknya. Namun pagi itu Hambali memberi pelajaran terbaik buatku ketika ia
mengatakan, “Allah menyayangi anak-anak yatim, kalau dulu sewaktu ibu meninggal,
masih ada bapak yang menyayangi. Saya yakin selama ini Allah sudah menyayangi kami.
Tapi kini, keyakinan saya bertambah bahwa Allah semakin sayang kepada kami. Cara
Dia mengambil bapak dari tengah-tengah kami, menumbuhkan keyakinan didiri kami
kalau Allah ingin lebih total mencurahkan cinta dan kasih sayangnya, tinggal bagaimana
kami tetap tawakal dan bersyukur atas segala kehendak-Nya, seraya bersegera membalas
cinta-Nya”.

Subhanallaah … aku tak menyangka Allah berikan kekuatan hati melebihi ketegaran batu
karang di lautan, lebih kokoh dari gunung-gunung yang berdiri menjulang kepada
seorang anak yatim piatu. Nampaknya, keyakinannya terbukti, bahwa kasih sayang Allah
tengah tercurah kepada mereka, Hambali dan semua adiknya. Saat itu juga aku menengok
ke dalam hati ini yang begitu kerdil, cengeng, sering tidak kuat ketika menerima cobaan
hidup, dan terkadang memaki-maki Allah menganggap Ia tak adil memberikan
keputusan-Nya kepadaku. Padahal, aku disampingku masih ada dua orangtua yang sehat
dan bugar, keadaan ekonomi keluargaku pun masih lebih baik dari Hambali.

Nampaknya falsafah air semakin ditekan kebawah semakin besar dorongannya keatas,
menjadi pelajaran tersendiri buatku. Hambali, juga semua anak-anak yatim di negeri ini
jauh lebih tegar, hati mereka sekokoh gunung, justru karena setiap hari mereka ditempa
cobaan yang tak henti-hentinya, sehingga mereka menjadi terbiasa menghadapi semua
cobaan, ujian hidup seberat apapun. Jika anak-anak yatim itu melihat kecengenganku
ketika tertimpa cobaan kecil saja misalnya, mungkin mereka akan tertawa terbahak-bahak
dan menganggap aku seorang yang tidak bakal mampu bersaing melawan kerasnya
kehidupan.

Padahal dengan semua kelebihan yang kumiliki, seharusnya aku jauh lebih kuat dari
mereka, jauh lebih tegar menghadapi cobaan hidup. Toh aku masih punya tempat
berpegang ketika merasa tak kuat, atau setidaknya kedua orangtuaku akan memapahku
seraya membangunkanku ketika aku jatuh. Lagi pula, seharusnya juga aku bisa menjadi
kaki-kaki kokoh yang membantu Hambali dan anak-anak yatim itu tegak berdiri. Dengan
kelebihan yang kupunya, seharusnya kuberikan sebagiannya kepada mereka, agar
senyum keceriaan menikmati hidup tak hanya milik orang-orang berpunya.

Lalu apa artinya sholatku selama ini jika keberadaanku tak berarti apapun bagi anak-anak
yatim dan orang miskin di sekitarku. Padahal Allah menempatkan urutan diatas sebelum
memperbaiki sholat seorang mukmin adalah memperhatikan anak-anak yatim dan orang
miskin (QS. Al Maa’uun).

Tentu bukan hanya Hambali dan Salma anak yatim di negeri ini, tengoklah kesamping
kanan dan kiri kita, masih banyak anak-anak yang tak dapat menikmati sarapan pagi,
sementara kita santai menghabiskan uang untuk makan di tempat mahal. Tidak sedikit
dari mereka yang tak memiliki pakaian layak, sementara kita sibuk setiap hari membeli
model terbaru untuk penampilan kita. Kita merasa puas dan senang jika bisa mengajak
beberapa teman untuk makan bersama, tapi tak pernah bergetar menyaksikan mulut-
mulut ternganga yang memperhatikan kita dibalik kaca restoran. Padahal sesungguhnya
saat itu juga, kita tengah mengesampingkan kunci surga yang tergeletak dihadapan kita.
Tak semestinya, kita membiarkan kunci surga itu terbuang begitu saja atau diambil
orang-orang selain kita yang memang berlomba mendapatkannya.

Hmmm, aku tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya Hambali, Salma dan seluruh
anak-anak yatim di negeri ini di bulan ramadhan yang akan segera tiba ini. Karena
bukankah salah satu kebahagiaan ramadhan adalah sahur dan berbuka bersama dengan
seluruh keluarga. Mungkinkah masih ada keceriaan di hari raya nanti bagi mereka, saat
tak ada lagi pakaian baru dan makanan enak di rumah mereka, ketika tak ada lagi tangan-
tangan hangat yang harus mereka kecup di hari fitri itu. Jawabnya ada pada diri kita, yang
Allah titipkan rezeki mereka pada sebagian dari harta yang kita miliki. Kalaulah si Anak
Yatim Baginda Rasulullah begitu memuliakan anak-anak yatim, kenapa kita yang
mengaku sebagai pengikutnya tidak meniru? Wallahu’a’lam bishshowaab (Bayu
Gautama)
Pelajaran Dari Negeri Yang Hilang
Publikasi 08/10/2002 07:12 WIB

Tegak rumah karena sendi, Runtuh sendi rumah binasa, Sendi bangsa ialah budi, Runtuh
budi runtuhlah bangsa.

eramuslim - Pantun Melayu yang sudah berumur ratusan tahun lalu itu mengingatkan
kita akan peran budi pekerti suatu bangsa. Bangkit dan runtuhnya suatu bangsa tercermin
dari budi bangsa tersebut. Dalam Al Qur'an banyak dikisahkan bermacam bangsa yang
pernah memegang peradaban dan mencapai puncak kejayaan, namun tidak bisa bertahan
dan akhirnya runtuh. Lihatlah contoh bangsa A'ad, Tsamud, Romawi, Persia dan lain
sebagainya. Bangsa-bangsa ini pernah berjaya, namun karena rusaknya moral individu
dan bangsa, runtuh juga kejayaan bangsa-bangsa tersebut.

Negeri-negeri Islam pun pernah mengalamami kejayaan. Sejarah telah mencatat


bagaimana negeri-negeri Islam pada masa kekuasaan Bani Umayyah, Bani Abbasyiah,
Turki Utsmani telah berabad-abad memegang peradaban dunia. Begitu juga di Nusantara
ini dengan puluhan kerajaan Islam. Namun semuanya itu berakhir, karena rusaknya moral
(akhlak) pemimpin dan (juga) sebagian rakyatnya.

Runtuhnya negeri-negeri yang disebutkan di atas menjadi tanda bahwa budi pekertilah
yang memegang peran dalam kehidupan bernegara. Bila budi di negeri tersebut rusak,
rusaklah negeri tersebut. Untuk memperbaiki semua, itulah sebab kenapa Allah SWT
mengutus pada tiap-tiap masa seorang Nabi dan Rasul.

Demikian juga halnya dengan Rasul kita Muhammad SAW. "Aku diutus tidak lain
hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti". Sabdanya itu dengan tegas menjelaskan
maksud kedatangannya ke alam dunia ini. Kepadanya diturunkan Tuhan kitab Al Qur'an.
Dan tujuan kitab itupun dijelaskan, yaitu membenarkan kandungan dan tujuan dari kitab-
kitab yang diturunkan kepada Rasul-Rasul sebelumnya. Dijelas dalam Al Qur'an
bagaimana Tuhan memberikan tuntunan-Nya kepada manusia, supaya manusia itu
mencapai setinggi-tinggi budi dan setinggi-tinggi tujuan hidup, yaitu ketaqwaan kepada
Allah SWT.

Sebelum Al Qur'an itu disampaikan kepada orang lain, Rasulullah sendirilah yang
terlebih dahulu mengamalkannya. Aisyah yang menyaksikan kehidupan Rasulullah SAW
setiap harinya mengatakan, "Akhlak Nabi SAW itu ialah Al-Qur'an". Nabi Saw pun
dengan tegas mengatakan, "Tuhan sendiri yang membentuk diriku, maka sangat indahlah
bentukan-Nya".

Budi Al Qur'an itulah yang telah menjadikan suatu ummat dan bangsa menjadi besar,
yang berkumandang suaranya dibawah kolong langit ini, ke Timur, ke Barat, ke Utara
dan ke Selatan, menegakkan suatu negara, dan peradaban yang diakui sebagai rantai emas
yang gilang gemilang dalam peradaban manusia. Sehingga Allah SWT berfirman:
"Bahwasanya bumi ini akan Kami wariskan kepada hamba Kami yang sudi melakukan
amal yang mulia".

Dan siapakan yang memungkiri sejarah bangsa-bangsa yang hilang, baik di Barat atau di
Timur, sejak bangsa Yunani dan Romawi kuno sampai kepada kaum Muslimin yang
telah mencapai puncak kejayaan? Bagaimana mereka sampai mengalami keruntuhan dan
kehancuran? Bukankah setelah budi (moral) mereka merosot jatuh? Inilah Hukum Allah,
Sunnatullah yang tidak dapat diubah.

Bangsa Indonesia khususnya dan kaum Muslimim umumnya yang saat ini sangat
terpuruk dibawah cengkeraman bangsa barat harus bangkit kembali. Bangunlah kaum
muslim kembali, insaflah akan keruntuhan selama ini, kembalilah kepada budi Al Qur'an.
Firman Allah SWT: "Ikutilah jalanKu, jangan kamu ikuti jalan yang lain, engkau akan
terpecah belah kalau itu juga engkau turutkan".

Itulah tujuan kemanusian yang paling tinggi, tegaknya budi pekerti. Hidup berbudi itulah
tujuan kita.

Diribut tunduklah padi, Dicupak Datuk Temenggung, Hidup kalau tidak berbudi, Duduk
tegak ke mari canggung.

Nusrizar M.
(noes@indonesian-aerospace.com)

Karena Hidup Hanya Sekali ...


Publikasi 07/10/2002 08:10 WIB

Seberat apapun beban hidup kita hari ini ...


Sekuat apapun godaan yang harus kita hadapi, Sekokoh apapun cobaan yang harus kita
jalani, Sebesar apapun kegagalan yang kita rasai, Sejenuh apapun hari-hari kita lalui

Jangan pernah berhenti berharap pada pertolongan Ilahi ...


Jangan pernah berhenti berdoa kepada Rabbi, Karena harapan adalah masa depan,
Karena harapan adalah sumber kekuatan, Karena doa adalah pintu kebaikan, Karena
doa adalah senjata orang beriman.

eramuslim - Kita mungkin pernah merasakan betapa tidak berartinya hidup ini, jenuh
dan membosankan. Kita seperti manusia yang tidak ada gunanya lagi hidup di dunia.
Hari-hari yang kita lalui hampa tiada arti. Kegagalan kita temui disana-sini. Cobaan dan
rintangan kita hadapi tiada henti. Beban hidup tarasa berat menjerat. Bagi mereka yang
tidak punya iman, mengakhiri hidup yang indah ini seringkali menjadi pilihan.

Hidup ini hanya sekali, terlalu indah untuk kita buat sia-sia, karena memang Allah
menciptakan makhluknya tidak untuk sia-sia. Betapa bahagianya hidup ini bila kita jalani
dengan penuh semangat dan optimisme yang tinggi. Betapa indahnya hidup ini bila hari-
hari kita jalani dengan senyum kebahagiaan dan sikap positif memandang masa depan.
Betapa sejuknya bila kita sabar menghadapi setiap permasalahan, kemudian kita berusaha
memecahkannya dan mengambil ibroh dari setiap kejadiaan.

Sebuah pakupun akan menghadapi masalah pada tubuhnya bila tidak tepat menempatkan
diri. Bila ia terletak di tanah basah, suatu saat ia akan berkarat, tidak memiliki guna,
terinjak, bahkan mungkin suatu saat akan terkubur bersama karat yang menyelimutinya.
Tapi bila kita bisa menempatkannya di tempat yang tepat, kita tancapkan pada sebuah
dinding, walaupun ia berkarat, paku itu berguna bagi manusia. Sebagai penyangga,
tempat gantungan, atau sebagai penyatu berbagai benda.

Begitu pula kehidupan manusia. Bila kita tidak tepat menempatkan diri kita, tidak sadar
siapa diri kita, tidak tahu untuk apa kita di dunia, kita hanyalah seonggok jasad hidup
yang terlunta-lunta. Bila kita tidak memanfaatkan potensi yang ada, selalu memandang
negatif setiap peristiwa, membiarkan diri berlumur dosa, bahkan tidak tahu dengan Sang
Pencipta, kita adalah makhluk hidup yang tidak berguna. Kemudian hidup ini pun terasa
berat untuk kita lalui.

Masalah dan cobaan adalah bunga kehidupan orang-orang beriman. Kembalilah kepada
Tuhan bila kita menghadapinya agar kita tenang. Lihat, apakah kita sudah tepat
menempatkan diri. Jangan menjadi paku yang terletak di tanah basah. Tapi jadilah paku
yang dapat menyangga kehidupan manusia. Walaupun kecil, tanpa paku itu sebuah
bangunan besar tidak akan pernah berdiri. (Yesi Elsandra, Saudaraku, aku tunggu
senyummu lagi)

Beri Aku Nasihat …


Publikasi 03/10/2002 08:47 WIB

eramuslim - Pagi ini aku menerima sebuah pesan dalam telepon genggamku dari seorang
sahabat, “Saudaraku, beri nasihat untukku hari ini …” Aku sempat tertegun membacanya,
sambil menghela nafas kata-kata itu seperti menembus relung terdalam bathinku yang
sedang berteriak keras, bahwa sejujurnya disaat ini akulah yang seharusnya lebih banyak
mengirimkan pesan semacam itu kepada semua sahabat, saudaraku dimana saja.

Sungguh aneh rasanya jika ada orang yang enggan menerima nasihat, dan lebih aneh lagi
jika ternyata ada orang yang gemar berkata-kata tanpa banyak menggunakan telinganya
untuk mendengarkan orang lain. Dilihat dari struktur indera yang kita miliki, seharusnya
setiap manusia sadar bahwa keberadaan dua telinga yang ditempatkan Allah di kanan dan
kiri manusia agar dapat menangkap setiap pesan dan masukan lebih banyak. Bukan
sebaliknya, menutup telinga rapat-rapat sementara membuka mulut dengan lebar sambil
mengeluarkan banyak kata. Fitrah dan kodratnya demikian.

Allah ciptakan mulut dengan dua katup bibir yang bisa bergerak menutup dan membuka
agar manusia bisa mengerti kapan waktunya diam dan kapan waktunya bicara. Dua bibir
itu pula yang seharusnya mengontrol gerak lidah yang letaknya didalam rongga mulut.
Sudah jelas, jika bibir tidak terbuka maka lidah pun tidak akan bergerak sehingga tak ada
kata-kata yang keluar. Sedangkan Dia ciptakan sepasang telinga dengan cuping yang
lebar tanpa kemampuan bergerak menutup dan selamanya terbuka. Tentu saja, karena
Allah menginginkan kita terus menerus memasang telinga ini untuk mendengar,
filterisasinya hanya ada di otak manusia yang menyeleksi apakah setiap pesan yang
masuk akan diteruskan ke hati, mata da indera lainnya atau tidak.

Paul Madaule, Direktur The Listening Centre di Toronto dalam bukunya Earobics,
mengatakan bahwa otak bekerja lebih cepat daripada lidah, dimana otak menerima
masukan lebih banyak dari mendengar dan melihat (dua telinga dan dua mata). Ini
menyadarkan kita, bahwa kecil kemungkinan orang belajar dari kata-katanya sendiri.
Lagi pula biasanya lidah akan bekerja jika otak sudah menerima input dari indera yang
lain. Tentu saja, jika ada orang yang berbicara tanpa bekal masukan dari otak
(sebelumnya dari telinga dan mata), kita fahami bahwa apa yang keluar darinya tidak
lebih dari sekedar bualan belaka, nyaris tanpa makna.

Di halaman lain buku tersebut, Paul malah menegaskan bahwa dengan mengefektifkan
pendengaran, seseorang bisa mendapatkan energi baru, arah dan fokus untuk
membantunya menemukan motivasi kuat dalam langkah-langkah selanjutnya. Sekali lagi
kita mendapatkan pelajaran, bahwa jika mau disadari pada saat kita berbicara yang kita
harapkan adalah orang lain memusatkan perhatiannya sehingga menemukan energi baru
dari kata-kata yang kita keluarkan. Lalu kenapa tidak kita yang melakukan proses
mendengar itu?

Oleh karenanya, kepada sahabat yang pagi ini mengirimkan SMS untuk meminta nasihat
kepadaku, terus terang aku meminta, berlakulah adil kepada saudaramu ini. Bahwa
sebenarnya saat ini aku yang jauh lebih memerlukan masukan, agar aku mendapatkan
suntikan energi, arah dan motivasi yang lebih segar. Bukankah demikian perintah yang
berbunyi dalam Surah Al Ashr, bahwa orang beriman hendaknya saling menasihati.
Artinya, jika anda sudah sering mendapatkan nasihat dari saudara anda selama ini, adillah
kepadanya dengan memberikan nasihat kepadanya. Tentu saja, ini bukan sekedar latihan
bahwa kelak di akhirat mulut ini akan terkunci. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu
Gautama)

Biarkan Alam Mengajarkan Kita


Publikasi 01/10/2002 07:07 WIB

eramuslim - Ada masanya dalam hidup ini, kita menyadari keburukan-keburukan dan
kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Keburukan dan kesalahan yang bisa jadi
disebabkan karena ketidaktahuan, ketidaksengajaan atau mungkin juga secara sadar kita
lakukan itu dengan harapan timbul kesenangan walaupun orang lain menderita akibat
keburukan kita itu.

Adalah sebuah prestasi besar dalam hidup ini bila kita menyadari keburukan-keburukan
dan kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan, kemudian kita berniat
memperbaikinya. Untuk memperbaikinya tidak ada jalan lain kecuali kita berani
melakukan suatu perubahan dengan tingkat resistensi tertentu yang kita miliki. Karena
perubahan tidak mesti memperbaiki sesuatu, tetapi untuk menjadi lebih baik kita mesti
berubah.

Setiap manusia, hari ini, esok dan lusa tetap berada dalam sebuah proses perubahan
menuju tangga-tangga kebaikan. Jika input yang kita miliki bagus, kemudian ditunjang
dengan proses yang baik, maka kita boleh berharap akan memperoleh output yang baik
pula. Pada dasarnya input yang kita miliki baik, karena Allah mengatakan setiap manusia
dilahirkan secara fitrah. Kemudian orang tua dan lingkungannyalah yang memiliki
otoritas memproses dia menjadi baik atau buruk.

Keinginan menjadi lebih baik, menjadi orang yang bermanfaat, menyenangkan,


berprestasi, kokoh dengan iman adalah keinginan luhur dan murni yang dimiliki orang
besar. Sedangkan orang kecil tidak pernah memikirkan manfaat untuk orang lain bahkan
dirinya sendiri. Untuk mejadi lebih baik diperlukan sebuah usaha dan kerja keras. Tidak
sedikit rintangan yang akan kita temui. Mereka yang memiliki visi yang jelas, semangat
yang kuat, keinginan yang besar, dan cita-cita yang tinggilah yang akan memenangkan
perubahan itu.

Alam adalah guru yang paling jujur mengajarkan banyak hal kepada kita. Seperti proses
metamorfosis ulat menjadi seekor kupu-kupu. Bila ulat berhasil melalui proses itu dengan
baik, maka ia akan menjadi seekor kupu-kupu yang cantik dan indah. Perjuangan
melepaskan diri dari kepompong adalah proses yang sangat menyiksa bagi kupu-kupu.
Melihat keadaan kupu-kupu yang kesusahan memisahkan diri dari kepompong menarik
hati seseorang untuk membantu dengan memotong kepompong agar sang kupu-kupu
dapat keluar dengan mudah. Tetapi akibatnya bantuan itu justru mematikan sang kupu-
kupu karena membuat otot-otot sayap kupu-kupu tidak kuat untuk menahan beban
tubuhnya. Akibatnya, ketika kupu-kupu itu keluar, ia kehilangan resistensi, kemudian
diam dan akhirnya mati.

Apa makna yang bisa kita petik dari kisah alam itu? Untuk menjadi cantik dan indah,
untuk menjadi lebih baik, kita memerlukan perubahan dalam hidup kita. Perubahan itu
menghadapkan kita pada suatu tantangan yang besar. Semakin besar hambatan dan
rintangan yang kita hadapi, maka akan semakin besar nilai yang akan kita raih. Daya
tahan terhadap perubahan itu mempengaruhi tingkat keberhasilan kita.

Hadapilah tantangan itu dengan senyum dan keyakinan yang tinggi, optimalkan
kemampuan yang kita miliki untuk memenangkannya. Jangan mengeluh bila kita
terjatuh, jangan menjerit bila kita sakit. Jangan minta bantuan orang lain yang hanya akan
memperparah keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan kita, tapi carilah orang
yang benar-benar ikhlas membantu kita menuju tangga-tangga kebaikan. Jangan merasa
kita tidak mampu memperbaiki setiap keburukan dan kesalahan yang pernah kita
lakukaan, kita pasti mamapu. Jangan lihat ke belakang, tapi tataplah ke depan, karena
masa lalu tidak menjanjikan perubahan, tetapi masa depan menyediakan kita banyak
pilihan keberhasilan.
Terakhir, bingkailah usaha kita dengan figura doa dan kepasrahan yang tinggi pada Allah,
karena sebagai manusia yang diselimuti kekurangan, kita hanya bisa berusaha. Allah
jualah yang menentukan segala nasib kita. (Yesi Elsandra, spesial untuk saudara yang
berencana duet membuat buku, mudah-mudahan Allah merealisasikannya)

Bubur Ayam
Publikasi 25/09/2002 11:14 WIB

eramuslim - Dibalik cerita kesuksesan orang-orang sukses, tersimpan banyak kegagalan


yang dilipat rapi dalam sebuah simpul pengalaman sejarah. Simpul-simpul itulah yang
justru mendorong lahirnya kesuksesan. Tom Watson mengatakan, “Jika Anda ingin
sukses, perbanyaklah angka kegagalan Anda.” Karena memang, kegagalan adalah
kesuksesan yang tertunda. Semakin banyak kegagalan yang kita hadapi, maka kita akan
semakin dewasa menerima kesuksesan yang sesungguhnya, sebagai buah jerih payah dan
usaha yang kita lakukan.

Orang sukses, bukanlah orang-orang yang luar biasa, tetapi mereka melakukan hal-hal
kecil dengan cara luar biasa. Ketika ia menemukan kegagalan dalam hidupnya, dia tidak
mengeluh, putus asa, apa lagi menyalahkan Tuhannya.

Siapa tak kenal Abraham Lincoln. Pria ini pernah mengalami kegagalan dalam bisnis
dalam usia 21 tahun, kalah dalam pemilihan anggota legislatif di usia 22 tahun, gagal lagi
dalam bisnis di usia 24 tahun, menderita kesedihan akibat kematian kekasihnya di usia 26
tahun, menderita gangguan syaraf di usia 27 tahun, gagal dalam pemilihan anggota
kongres di usia 34 tahun, gagal dalam pemilihan anggota senat di usia 45 tahun, gagal
dalam upaya menjadi wakil presiden di usia 47 tahun, gagal dalam upaya pemilihan
anggota senat di usia 49 tahun, namun akhirnya terpilih sebagai presiden Amerika Serikat
di usia 52 tahun.

Lain lagi kisah seseorang yang sedang menuju tangga-tangga kesuksesannya. Gagal
UMPTN tidak membuatnya kecewa. Masih dengan akal yang jernih dan semangat untuk
hidup bahagia, dia masuki sebuah Perguruan Tinggi Swasta. Disana ia giat belajar.
Baginya kegagalan berkompetisi dalam memperebutkan Perguruan Tinggi Negeri
bukanlah akhir segala-galanya. Dengan bekal keyakinan dan dorongan yang kuat untuk
mendapatkan apa yang menjadi cita-citanya, dia terpilih sebagai mahasiswa teladan dan
mendapatkan beasiswa. “Kalau saya kuliah di PTN, mungkin belum tentu begini
ceritanya.” Begitu batinnya berbisik riang.

Kesuksesan dan kegagalan tidak dapat kita elakkan sebagai konsekwensi atas berbagai
pilihan dan keputusan dalam memilih cara hidup. Inilah bukti nyata lemahnya manusia.
Tanpa subsidi kekuatan berupa sikap dan improvisasi berupa kemauan keras untuk
berusaha dari Allah SWT, kita hanyalah pemain yang pasrah mementaskan peran kita.
Maka oleh karena itu, keberhasilan kita melipat kegagalan dan menyimpannya sebagai
guru dalam sejarah hidup kita, turut dipengaruhi oleh sikap, kemauan keras dan
keyakinan kita pada Tuhan, sebagai Zat yang Maha berkehendak atas diri kita.
Bersikap positif memandang kegagalan sebagai awal kesuksesan adalah pelajaran yang
paling berharga. Ibaratnya seorang ibu yang gagal menanak nasi hingga menjadi bubur.
Jika terlanjur menjadi bubur, jangan buang bubur itu. Kenapa tidak kita jadikan saja
bubur itu menjadi bubur ayam. Tambahkan bumbunya, beri daging, ati ampela ayam,
taburi bawang goreng dan kecap. Hidangkan dengan sedikit kerupuk. Bukanhkan ia tetap
dapat kita makan, bahkan memberikan variasi dalam menu kita hari itu. Bukankah tidak
sedikit pula yang favorit terhadap bubur ayam? (Yesi Elsandra, untuk saudara yang
hilang, masih ingat bubur ayam?)

Izinkan Aku Menciummu, Ibu


Publikasi 24/09/2002 08:19 WIB

eramuslim - Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia
selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya
setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta
sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku
bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus
mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku
merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya
aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga
akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah
lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku
menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku
hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari
jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk
pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga
rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai
bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-
teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan
pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku
meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian
dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi.
Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar
orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan
penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua
untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga
perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang
dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia
mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-
erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku
semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan
seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti
apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya
sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan
tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar
sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya,
pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak
akan pernah menjadi aku yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana


meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang
senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai
akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku
menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir
ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya
atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada
suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah
aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak
lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu,
meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Bayu Gautama, Untuk Semua Ibu Di
Seluruh Dunia)

Bayaran Langsung
Publikasi 23/09/2002 07:23 WIB

eramuslim - Beberapa tahun lalu, yang terpikirkan olehku adalah bagaimana menjadikan
hidup ini menyenangkan. Punya pekerjaan bagus, posisi lumayan dengan penghasilan
yang memuaskan. Maka, jadilah hidup yang ingin aku jalani hanya berputar dari mencari
uang dan menghabiskannya dengan memanjakan diri sendiri. Entahlah, waktu itu tidak
pernah ada dalam benakku untuk memikirkan kesulitan orang lain.

Namun kenyataan yang aku dapatkan lain dari bayangan, karena begitu sulitnya mencari
pekerjaan. Alhasil, jangankan untuk memanjakan diri, sekedar untuk mencari sesuap
nasipun terasa begitu berat. Namun demikian kondisi tersebut mampu merubah
kepribadianku hingga menjadi orang yang sedikit peduli sesama orang lain. Hanya saja,
pemahamanku yang minim tentang agama tidak membuatku giat bersedekah. “Kalau lagi
ada yang ngasih, kalau nggak ada ya buat sendiri dulu”. “Orang lain nanti dululah, aku
sendiri sedang kesusahan”. Selain juga aku selalu beranggapan bahwa setiap amal dan
sedekah merupakan bekal kita di akhirat nanti.

Yang masih kuingat, terakhir aku mengajak seorang peminta-minta tua untuk makan
bersamaku. Waktu itu aku di sebuah warung nasi, tak sengaja mataku menangkap
orangtua tersebut menelan ludah saat melihatku yang begitu bersemangat melahap
santapan siangku. Segera aku turunkan kakiku yang naik bersilah di atas bangku warung
dan menghampirinya. Kuajak dia masuk dan memesankan sepiring nasi beserta lauk
untuknya kepada penjual nasi. Seperti halnya aku, ia pun tak kalah gesitnya melahap
makanan itu, hingga kami berdua seolah tengah berlomba makan. “Biar saya yang bayar
pak” tak lupa kuselipkan uang seribu perak ke kantong bajunya. Kemudian kuperhatikan
orangtua itu berdo’a yang isinya samar-samar kudengar agar aku diberikan rizki yang
banyak atas kebaikanku padanya. Bukan aku tak senang dengan do’anya, tapi kupikir,
kenapa ia tidak mendo’akan dirinya saja agar bisa hidup lebih baik lagi tanpa harus
menjadi peminta-minta.

Beberapa saat kemudian aku baru sadar bahwa uangku tidak cukup untuk membayar dua
piring nasi. Aku ingin lari saja seperti dulu sewaktu masih di sekolah, tapi, “Ah tidaklah,
itu dosa masa lalu” pikirku. Aku mencari cara dan alasan bagaimana caranya agar bisa
berhutang dan besok-besok kalau sudah punya uang baru aku bayar. Namun nampaknya
mbok penjual warung sudah menangkap gelagat tidak baik yang akan aku lakukan
sehingga akhirnya kutitipkan arloji kesayanganku. “Besok saya tebus mbok, dompet saya
hilang nih,” aku ngeloyor pergi setelah berpura-pura kehilangan dompet. “ndak punya
duit aja sok-sok-an mbayarin orang makan” kata-kata itu sempat tertangkap sesaat
sebelum aku pergi meninggalkan malu di warung itu.

Satu hari, dua hari, sampai satu minggu aku tak kembali ke warung itu. Gajian masih
enam belas hari lagi … ya sudahlah, nanti saja setelah gajian aku bayar, kalau perlu
berikut dendanya, pikirku. Pas hari gajian tiba, segera aku ke warung hendak menebus
arloji antik pemberian dari mendiang ayahku itu. Namun, kecewanya aku karena barang
itu sudah dijual oleh simbok penjual nasi. “Sampean janjinya besok, ini sudah lebih dua
minggu. Jadinya arloji itu milik saya”. Inginnya sih marah-marah, tapi sudahlah, wong
aku yang salah kok.

Hidup terkadang harus dijalani apa adanya, kalau lagi senang ya tersenyumlah
sewajarnya. Kalau kesulitan melanda, hadapi dengan ikhlas dan sabar. Toh, aku pikir
masih banyak orang yang jauh lebih susahnya ketimbang aku. Hingga suatu ketika aku
mengalami kesulitan yang begitu memberatkan, ibuku sakit dan harus segera dibawa ke
dokter. Sebenarnya ia sudah lama sakit hanya saja selama ini dipaksakan untuk tidak
memeriksakan ke dokter karena kami tak punya biaya. Disaat kebingungan itulah, Allah
mengirimkan seorang ‘malaikat’ ke rumah kami. Kamil, sahabat lama yang entah sudah
sekian tahun tak bertemu. Sudah hebat dia, bermobil pula.
Allah memang Maha Adil. Disaat orang lain kesulitan, Dia mengirimkannya kepadaku.
Dan kini disaat aku yang kebingungan, ia kirimkan seorang penunjuk jalan. Kejadian
yang baru saja kualami, kembali memberikan satu hikmah kepadaku. Kini, meski juga
masih dalam kekurangan aku akan selalu menebar kebaikan kapanpun dan kepada
siapapun. Karena kini aku yakini, amal yang sekarang kita kerjakan tidak hanya menjadi
bekal di akhirat. Allah bayarkan juga kebaikan kita di dunia. Ini seperti menebar benih
yang hasilnya bisa langsung dipetik di kemudian hari, seperti menabung yang isinya bisa
kita dapatkan kapan saja, namun tak mengurangi jumlahnya. Malah bertambah dan terus
bertambah ratusan kali lipat. Mungkin bukan untuk kita, tapi bisa untuk orang yang kita
cintai. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti disaat kita begitu membutuhkannya. Dan
mungkin tidak langsung dari orang yang pernah merasakan kebaikan kita, tapi bayaran
langsung dari-Nya itu bisa datang melalui tangan siapa saja yang tidak diduga
kedatangannya.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan


hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(2:261) (Bayu Gautama, terima kasih kepada semua yang telah memberikan kesempatan
untukku berbuat kebaikan)

Batu-Batu Pijakan
Publikasi 20/09/2002 08:00 WIB

eramuslim - Sabtu pagi. “Amru … dipanggil kepala sekolah!” lagi-lagi namaku


dipanggil. Aku sudah tahu apa yang akan disampaikan kepala sekolah. Bulan lalu bu Isti
wali kelasku memanggil menyampaikan salam untuk orangtuaku untuk segera membayar
biaya SPP-ku yang sudah nunggak hampir 6 bulan. Sebulan sebelumnya bahkan bagian
Tata Usaha sudah berkali-kali memanggilku hingga semua teman-teman tahu setiap kali
aku dipanggil pasti urusannya dengan soal bayaran sekolah.

Sejak orangtuaku bercerai dan aku memutuskan untuk ikut ibu setahun yang lalu, kondisi
ekonomi keluargaku memang semakin terdesak. Terlebih sejak ayah menyetop kiriman
uang yang seharusnya menjadi kewajibannya 6 bulan lalu. Ibu yang hanya lulusan PGA
(Pendidikan Guru Agama) menggunakan kemampuannya mengetuk satu persatu pintu
orang-orang berada dan menawarkan jasanya untuk mengajar ngaji anak-anak mereka.
Akibat kebutuhan yang mendesak itulah, ibu selalu kehabisan uang untuk biaya
sekolahku, juga adik-adikku.

Ada Wicaksono, kami memanggilnya Sony, di kelas ia selalu menjadi biang keributan,
sering membuat onar dan tidak jarang berbuat usil terutama kepada perempuan. Hampir
semua anak dikelas tak menyukainya, selain ia juga sombong. Ia sangat suka pamer jika
mempunyai barang-barang bagus yang baru dibelikan orangtuanya, seperti sepatu dan tas.
Dilihat dari merk-nya sih, jelas tidak murah, bagus pula modelnya. Aku tak pernah iri
kepadanya, hanya saja yang membuat aku membencinya lebih karena ocehannya setiap
petugas tata usaha memanggilku. “Pinter-pinter nunggak …” atau sindiran lainnya.

Sore menjelang Ashar, dengan langkah gontai aku memasuki teras rumah. Kulihat ibu
sedang menyapu lantai. Sejak dalam perjalanan pulang sudah kuputuskan untuk tidak
menyampaikan surat panggilan kepala sekolah agar tidak menjadi beban pikiran ibu. Lagi
pula mulai besok sampai minggu depan sekolah libur.

Satu minggu sesudah jadwal masuk aku masih belum mau ke sekolah. Aku
‘membohongi’ ibu dengan mengatakan bahwa libur sekolah diperpanjang. Hingga
akhirnya Fauzan, seorang temanku datang dan mengajakku ke sekolah. Ada yang lain di
sekolah, petugas TU yang biasanya tak pernah senyum kepadaku, hari ini begitu ramah.
Di kelas, tak ada yang berubah kecuali Sony, teman-teman bilang ia telah berubah setelah
mengikuti pesantren kilat selama liburan yang lalu. Tak ada lagi kesombongan dan sifat
usilnya. Alhamdulillaah.

***

Itu dua belas tahun yang lalu, saat aku masih duduk dibangku SMA kelas 2. Kini aku tak
pernah bertemu lagi dengan mereka, orang-orang yang pernah menjadi bagian dari
perjalanan hidupku. Yang kutahu cuma satu, Fauzan, teman sekolahku dulu kini menjadi
salah satu staf dalam perusahaan yang aku dipercaya menjadi General Managernya. Satu
bulan lalu saat acara syukuran dikantor atas dipercayanya aku menjadi GM, Fauzan
membisikkan sesuatu yang membuatku menitikkan airmata. “Masih ingat Sony? Dia
menjual tas dan sepatu barunya untuk melunasi tunggakan biaya sekolah kamu dulu”
Subhanallaah …

***

Sahabat sejati bukan memberi pada saat orang meminta, ia mempunyai mata pandang
yang mampu menembus relung kebisuan sahabatnya. Ia memberi tanpa kata-kata, tanpa
menepuk dada.

Saudaraku, mungkin sepanjang perjalanan hidup kita pernah ada orang-orang yang
menjadikan dirinya batu pijakan sehingga kita bisa melangkah maju dan lebih jauh.
Meski cuma batu kecil, namun keberadaannya mungkin telah menyelamatkan kita dari
jurang kejatuhan yang melumpuhkan. Sayangnya, seringkali kita tak pernah menengok
batu-batu pijakan itu dan melupakannya. Wallahu a’lam bishsowaab (Bayu Gautama,
teruntuk orang-orang yang telah pernah menjadi batu pijakanku)

Agar Dapat Melihat Surga


Publikasi 18/09/2002 07:39 WIB

eramuslim - Seorang anak dengan gayanya yang lugu bertanya kepada ibunya, “bu, apa
itu cinta?”. Cinta ada adalah kemurnian jiwa, kesejukan bathin dari kenikmatan memberi
dan kerelaan berkorban, jawab sang ibu. “Karena itukah banyak orang mengagungkan
cinta?” tanya sang anak lagi. Dengan sabar dan penuh cinta ibunya menerangkan, bahwa
keagungan cinta hanya berada pada cinta Sang Agung, Si pencipta cinta itu sendiri. Dan
jika ada yang mengagungkan cinta diatas segalanya, sebenarnya ia tidaklah tengah
mengagungkan cinta melainkan perasaan dan nafsunya yang tengah bergumul sehingga
meluap menjadi nafsu berbaju cinta. Padahal jika mau membuka tabir sebenarnya, tentu
mereka akan sadar kalau tengah terombang-ambing oleh arah cinta yang salah. “ini wajar
nak, karena kebanyakan manusia hanya sebatas menggunakan mata kepala dan
mengabaikan mata bathinnya, sehingga ia lupa bahwa cinta bersemayam dan bergetar-
getar dihati, bukan di kepala, apalagi dimata.

Cinta harus dilihat dengan mata bathin, dan kebanyakan manusia memandang cinta hanya
berhenti di mata kepala, sehingga seringkali tidak mampu menangkap kemurnian jiwa,
kesejukan bathin dari mencinta dan dicinta. Karena itu, mereka yang senantiasa mampu
menggunakan mata bathinnya untuk melihat segala hal, ia akan melihat siapapun dan
apapun dengan cinta. “Karena Allah pun teramat cinta kepada yang mempersembahkan
cinta kepada-Nya”.

“Lalu kenapa ada orang yang saling membenci, bertengkar dan saling bermusuhan?”
tanyanya lagi. Itulah kehebatan Allah. Dia ciptakan manusia dengan bentuk yang
sempurna sehingga dengan kesempurnaan yang dimilikinya itu, manusia bisa menangkap
kesan yang lain, tidak hanya cinta. Ada benci, marah, kecewa, senang, tertawa, sedih dan
masih banyak lagi. Tak perlu takut, semua itu salah satu anugerah dari-Nya yang patut
kita syukuri. Sudah menjadi fitrah manusia tidak menyukai sesuatu yang tidak
disenanginya, artinya sesuatu hal yang tidak berkenan, tidak sesuai dengan hati
nuraninya, adalah sangat manusiawi jika dibenci. Dan adalah fitrah manusia juga untuk
kecewa jika sesuatu tak seperti harapannya, tak seindah mimpinya.

Masalahnya kemudian, bagaimana manusia mengkondisikan hatinya agar senantiasa


condong kepada kebenaran, sehingga benci, marah dan kecewa serta sedihnya hanya
kepada kebathilan, kesemena-menaan, kezhaliman, keserakahan dan bahkan
kesombongan diri, juga dosa yang dilakukannya.

“Bagaimana dengan tersenyum dan tertawa?” Senyum dan tawa adalah sebuah refleksi,
sama seperti benci, marah dan sedih. Hanya bedanya, biasanya senyum dan tawa adalah
cermin dari keberhasilan, kemenangan dan prestasi seseorang akan sesuatu. Tak perlu
merasa bersalah hanya karena tersenyum dan tertawa. Mungkin Allah menciptakan rasa
itu untuk melatih manusia. “Bukankah semua hamba-Nya yang sholeh kelak akan
tersenyum di hadapan Allah yang menghadirkan keagungan wajah-Nya?” jelas sang Ibu
sambil mengusap kening anaknya yang serap-serap mulai terbuai ke alam tidurnya.

Lama ia dibuai cinta sang Ibu, dengan sentuhan lembut ibunya ia memainkan nyanyian
dawai-dawai indah yang bergelung-gelung dialam mimpinya. Ia merasakan kehangatan
hidup, keceriaan dunia. Mungkin karena usianya yang memang belum pantas merasakan
kegetiran dan kepahitannya. Untuk sementara ibunya membiarkan mimpi anaknya tak
terusik oleh kepayahan mencari sesuap nasi yang dijalaninya, juga hantaman kerikil di
sepanjang jalan yang disusurinya. Terik dan hujan menjadi baluran tubuhnya sehari-hari,
demi satu cita, tak kan membiarkan dimasa depan anaknya mengeluarkan keringat dan
darah seperti yang dialaminya kini. Mungkin semua orangtua mempunyai mimpi yang
sama. Hingga dengan demikian sang ibu semakin sadar bahwa hanya Tuhanlah yang
selama ini menguatkan, mempertebal kesabaran serta menanamkan keyakinan dihatinya,
bahwa esok matahari masih akan terbit.

Dan menjelang fajar, seusai kesejukan membasuh seluruh tubuh untuk kemudian
bersimpuh dihadapan-Nya. Tak terasa air bening mengalir membasahi pipi, untaian kata
pinta yang tak pernah berhenti, yang tak pernah berhias putus asa, yang tak diiringi
penyesalan akan beban hidup yang saat ini diamanahkan kepadanya. Terkadang ada
tangis yang begitu keras sekeras benturan kehidupan yang menerpanya, hingga tak sadar
tangisannya itu menyentuh relung bathin anaknya sampai terbangun.

“Kenapa ibu menangis?” Menangis adalah satu anugerah Allah lainnya nak. Menangis
adalah wujud dari kelemahan manusia yang jelas-jelas kekuatannya sangat terbatas.
Menangis adalah pembuktian akan adanya Yang Maha Kuat yang memiliki kehendak
diatas segala mau dan keinginan manusia. Tak perlu malu untuk menangis, karena
dengan menangis kita tengah melunturkan kesombongan, kepekatan hati yang penuh
noda hitam dari setiap detik hidup yang berlumur salah, juga menghilangkan penyakit-
penyakit lainnya yang kerap hinggap di kalbu.

Menangis tidak mesti dengan air mata, meski biasanya selalu dengan itu. Air bening yang
membasahi mata akan membasuh dosa yang berawal dari penglihatan manusia.
Kemudian airnya turun menyejukkan wajah kita. Itulah cara Allah membersihkan wajah
manusia yang coreng-moreng oleh kekhilafannya. Maka dengan menangis setiap hari,
wajah menjadi bersih, hati pun sejuk kembali dan kebeningan mata yang sudah
terhapuskan pekatnya, memberikan keindahan tersendiri. Semua itu, hanya agar manusia
dapat melihat surga. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Pengabdian Sang Rumput


Publikasi 17/09/2002 07:08 WIB

eramuslim - Menjadi rumput di keluasan padang yang menghampar. Dengan hijaunya


dan tebaran hewan-hewan yang merumput untuk memenuhi hajat kehidupan. Di atasmu
mereka berbiak, bergembira, mencari makan, juga mengotorimu, menginjak-injak dan
kemudian meninggalkanmu ketika kau tak lagi subur, kering bahkan sekarat mendekati
kematian.

Namun kebahagiaan apa yang paling berharga bagi rumput kalau bukan atas
kemanfaatannya. Menjadi rantai pertama energi yang kemudian mengalir sampai puncak
rantai makanan yaitu pada hewan-hewan predator. Dari rumput, irama kehidupan dimulai
sampai semua kembali lagi menghampiri dalam sebuah ajal ketika tiba merenggut. Terus
bermanfaat, memancar tiap hari, tiap detik dan pada setiap hembusan nafas makhluk yang
melata di muka bumi. Tidak ada kata terkira inilah pengabdian yang terindah dan
teragung yang pernah kau berikan.

Kemudian musim kering yang tandus menghantam. Dengan halus kau usir hewan-hewan
untuk meninggalkanmu agar mencari tempat yang lebih baik dan menjanjikan. Bukan
pada padangmu, bukan pada dirimu. Karena kau tak akan pernah ingin berbagi
penderitaan dengan mereka. Cukup kau tanggung sendiri.

Lalu jilatan api melumat tubuh-tubuh kurus keringmu. Disertai hembusan angin sepoi
yang bersorai, memanasi api hingga dengan cepat membesar, kemudian menghanguskan
seluruh tubuhmu. Akhirnya hanya meninggalkan puing-puing jelaga yang hitam.

Suasana kesenduan tanpa kehidupan yang membalut luka terbakar, seakan semua
kenangan indah terhapus hangus dalam pori-pori tanah yang panas terpanggang api dan
teriknya matahari. Namun kau belum mati.

Dalam ketakzimannya rumput-rumput tentu tak berdosa, namun pengabdian dan doa-
doanya terus meluncur sepanjang waktu atas karunia yang dilimpahkan untuk dirinya.
Karunia teragung yaitu kehidupan itu sendiri, "Ya Rabb, hidupkan generasi pengganti
kami dari akar-akar hamba yang sengaja kau selamatkan di pori-pori bumi dari amukan
api yang telah menjadikan tubuh-tubuh kami sebagai pupuk untuk generasi kami
mendatang. Jadikanlah generasi penggantiku adalah generasi yang kau cintai dan hanya
mencintaiMu. Karena sebuah kemuliaan yang tiada tara selain sebuah kecintaan pada-Mu
dan kemanfaatan dari kami yang dapat dipetik dari makhluk-MU yang melata di muka
bumi ini".

Maka, tatkala bergulung-gulung mendung hitam membawa kabar baik untuk semua
kehidupan di bumi. Bersama tercurahnya hujan, sang akar rumput pun bercucuran dan
berlinang air mata kesyukuran. Dengan hujan, bumi dibasahi dan dilunakkan air yang
menggenangi danau-danau, kubangan-kubangan dan relung-relung hati yang sebelumnya
kering dari tetesan air keindahan dan kasih sayang. Sang rumput bangkit dengan tunas-
tunas yang baru, kemudian akar semakin sibuk mengumpulkan zat-zat kehidupan yang
telah diwariskan generasi sebelumnya. "Aku akan lebih baik dari pendahuluku", tekad
sang rumput muda, akan kuundang semua makhluk hidup dengan ranumnya tubuhku
yang takkan habis dimakan. Namun akan senantiasa tumbuh dengan kehijauan lagi lezat
di mulut makhluk yang memamahnya. Sampai semua kehidupan ini secara berantai
termakmurkan karena hijaunya tubuhku.

Sang rumput muda tumbuh dengan gemuk kehijauannya. Menyimpan gizi yang tinggi
tiada tara bagi makhluk-makhluk pemamah biak. Demikian juga sang akar menyesap
dengan gairah semangat kehidupan yang diwariskan pendahulunya, untuk menyediakan
semua kebutuhan gizi bagi sang rumput muda.

Kehidupan di padang telah pulih kembali, bersamaan dengan binatang-binatang yang


dulu mengungsi saat kemarau dan kebakaran melanda. Dengan keletihan dan tubuh
kurus, hewan-hewan tersebut bersua kembali dengan telaga kehidupan padang rumput
yang sungguh tak terkira sebelumnya. Mata-mata berbinar penuh kesyukuran, karena
Allah telah menyediakan rizki yang tak terkira baginya. Rumput-rumput ranum hijau
yang menyegarkan pandangan, menguatkan dan menggemukkan. Seakan mereka sudah
kenyang walau hanya memandangnya saja. Kehidupan di padang itu menjadi hidup dan
lebih hidup lagi.

Sang rumput berlinang air mata, bukan karena kesedihan, namun karena Allah telah
menghamparkan amanah baginya, dan air mata itu adalah kesyukuran atas amanah yang
ditunaikannya.

Syahdan, angin kemarau yang tandus dan kering menggulung, mengabarkan bagi seluruh
kehidupan untuk bergerak ataupun bertahan. Kemudian hewan-hewanpun berhijrah
meninggalkan padang untuk bertahan ke tempat yang lebih baik. Ketika semua telah
mengungsi maka berlahan-lahan, tubuh sang rumput mengering disapu oleh angin
kemarau yang menyedot air dalam tubuh-tubuh renta yang berlumuran pengabdian yang
tak akan ternilai oleh apapun. Dengan keikhlasan dan keridhoan Rabbnya, jiwa itu akan
berlabuh di keridhoan itu. Namun ada satu yang tak terlupa dari mulut sang rumput, "Ya
Tuhanku ijinkanlah hamba-Mu untuk memanjatkan doa; Jadikanlah generasi penggantiku
adalah generasi yang mencintai dan Engkau cintai ya Rabb, generasi pengganti kami
yang lebih baik dari kami". Dengan cucuran linang air mata sang rumput menuntaskan
doanya, dan dengan keikhlasan dan keridhoaan dari Sang Rabb ajalnya dilabuhkan ke sisi
keridhoaan-Nya. Angin berhembus kehilangan, demikian panas terik matahari meratapi
kepergian sebuah pengabdian. Namun semua mempunyai penuntas, semuanya
mempunyai keberakhiran, semuanya mesti dipergantikan. Wallahu'alam bishshowab
(Warsito Suwadi warsuwadi@yahoo.com)

Apakah Kita Tak Pernah Sombong?


Publikasi 16/09/2002 08:59 WIB

eramuslim - Dahulu kala diceritakan pernah ada seorang suami dan istri yang ketika
sedang duduk di depan rumahnya, melintas sepasang laki-laki dan wanita di depan
mereka. Sang wanita tinggi ramping dan mengenakan baju indah, sementara yang laki-
laki berpostur pendek dan sederhana. Tiba-tiba si istri yang melihat berkata, "Huh, wanita
itu sungguh sombong. Dia berdandan agar dirinya tampak lebih tanpa memperhatikan
orang lain."

Seketika itu suaminya berkata, "Kejar wanita itu dan minta maaf padanya."

Setelah mereka bertemu dan istri itu minta maaf, wanita itu menjelaskan bahwa dia
berdandan dengan indah untuk membahagiakan suaminya agar suaminya bisa 'bangga'
dengan dirinya. Dan suami wanita itu adalah lelaki pendek yang sedang berjalan
bersamanya.

Cerita ini adalah salah satu dari sekian banyak peristiwa yang kita jalani yang
menunjukkan betapa mudahnya kita menilai manusia dari apa yang tampak diluarnya.
Kita begitu mudah menjatuhkan hukuman predikat sombong kepada orang yang tampak
tidak simpatik bagi kita. Kita dengan mudah mengatakan arogan kepada mereka yang
sikapnya menurut kita tidak menyenangkan.

Kemudian kita membenci mereka dengan berlindungkan hadist "Tidak akan masuk surga
orang yang dalam lubuk hatinya terdapat perasaan sombong (arogan) walaupun cuma
sebesar atom." (HR Bukhari Muslim) atau bahkan dengan ayat Allah "Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri" (Luqman:18)
tanpa kita pernah tahu kenapa mereka bersikap seperti itu.

Jangan-jangan kita pernah mengatakan teman kita sombong karena tidak mau menerima
uluran tangan kita, padahal bisa jadi dia begitu ingin hanya bergantung pada Allah
dengan tidak merepotkan kita. Jangan-jangan kita pernah mengatakan orang lain
sombong karena ia tidak pernah mau berkumpul dengan kita padahal ia ingin menjaga
diri dari kesia-siaan waktu atau bahkan karena harus mengerjakan pekerjaan lain yang
tidak bisa menunggu. Jangan-jangan kita pernah mengatakan kawan kita sombong hanya
karena ia tidak pernah mau menegur sapa kita terlebih dahulu padahal pada dasarnya ia
memang pemalu. Jangan-jangan kita pernah membenci orang karena penampilannya,
padahal memang Allah yang menciptakan tubuhnya seperti itu.

Jika seperti ini yang sudah kita kerjakan, Saudaraku, maka kita harus waspada bahwa
jangan-jangan kita yang sesungguhnya sombong. Kita bisa jadi telah berdosa kepada
Allah karena kita sesungguhnya telah mengambil alih kekuasaan-Nya dalam menilai hati
manusia. Ingatkah kita bahwa hanya Allah yang bisa melihat apa yang tersembunyi di
balik hati manusia?

Kepada kawan itu pun kita juga berdosa karena telah berburuk sangka. Rasulullah Saw
sendiri pernah berkata, "Berhati-hatilah kalian dari prasangka-prasangka (yang buruk).
Karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan." (Muttafaqun
'alaih). Juga ketahuilah bahwa dengan mencapnya sombong kita sebenarnya telah
menghina mereka yang justru bisa jadi sedang berusaha menjadi hamba Allah. Takutlah
kita jika buruk sangka itu kemudian kita sebar-sebarkan, sementara kawan yang kita
sakiti menangis di tengah malam mengadukan kita kepada Allah. Takutlah akan balasan
perbuatan kita, Saudaraku.

Bagi saudara-saudaraku yang terzhalimi dengan diperlakukan sebagai orang sombong,


tidak usah kalian berkecil hati. Apa yang kalian lakukan biarlah dinilai Allah, karena
hanya Ia yang bisa memuliakan dan menghinakan kita. Luruskanlah niat dan
sempurnakan amal. Serta maafkan dan doakan kami agar Allah mengampuni dosa-dosa
kami yang memang suka mendewakan perasaan sendiri dan menilai segala sesuatu dari
yang kasat mata ini.

Hadi Susanto (susanto@math.utwente.nl)

Fujuurohaa Wataqwaaha
Publikasi 13/09/2002 08:33 WIB

eramuslim - Sebuah film lawas Amerika berjudul Jekyll and Hyde yang diambil dari
novel karya Robert Louis Stevenson dengan judul yang sama yang diterbitkan pada April
1982, menggambarkan tentang adanya unsur baik dan unsur jahat pada diri seorang
manusia. Sebenarnya film tersebut menggambarkan perubahan seorang pria bernama Dr.
Jekyll yang baik hati, menyenangkan dan sangat bersahabat dengan semua orang setelah
minum formula kimia tertentu sehingga menjadi orang lain dengan karakter yang
berlawanan, yakni Mr. Hyde yang membenci setiap orang yang dijumpainya.

Dalam diri menusia unsur baik dan jahat seringkali ‘berebut’ untuk tampil lebih dominan,
bergantian atau bahkan bisa muncul dalam waktu yang hampir bersamaan. Bahkan Kahlil
Gibran menyebutkan dua karakter negatif, setan dan hewan yang bersemayam di diri
manusia dan hanya satu karakter positif, malaikat yang senantiasa tarik menarik untuk
menguasai jiwa manusia. Dalam terminologi Islam ada yang disebut potensi fujuuroha
wataqwaaha, kecenderungan untuk berbuat fasik dan juga taqwa. Jika lebih besar
kecenderungan ketaqwaannya maka jadilah ia orang baik, menyenangkan, tetapi
sebaliknya, ada orang-orang yang senang berbuat jahat, bathil karena karakter setan dan
hewan menguasai jiwanya.

Kemudian ada orang yang memiliki sekaligus dua karakter baik dan jahat itu, dan kita
mengenalnya sebagai orang munafik. Hipokrit yang berkepribadian ganda (split
personality) yang digambarkan dalam awal-awal surat Al Baqarah dengan jumlah ayat
yang lebih banyak ketimbang ayat tentang orang beriman dan kafir. Itu artinya, orang
munafik jauh lebih berbahaya ketimbang orang kafir, karena ia bagaikan musuh dalam
selimut, pagar makan tanaman, dan menggunting dalam lipatan.

Kembali ke soal potensi baik dan jahat dalam diri manusia, harus diakui bahwa setiap
kita memilikinya. Seperti halnya Allah menciptakan semuanya berpasangan, maka juga
ada sabar dan emosi dalam diri manusia, ada pelit dan pemurah, ada cinta dan benci, ada
maaf dan dendam, sombong (takabbur) dan rendah hati (tawadhu’) dan sebagainya.
Tinggal bagaimana seorang manusia mampu mengendalikan diri dan jiwanya sehingga
karakter jahat (karena kita memberi celah kepada setan untuk masuk dan menguasai jiwa)
tidak muncul dalam setiap gerak dan langkah kita. Karena seringkali manusia tidak
menyadari bahwa setan telah mempengaruhinya untuk berbuat suatu kejahatan, yang
biasanya baru disadari sesaat setelah sebuah perbuatan jahat dilakukan. Ada penyesalan,
dan saat itulah potensi baik manusia muncul, bahwa ia merasa berdosa. Ini tentu masih
lebih baik karena ada manusia yang sudah sama sekali terkubur unsur baiknya sehingga
tak bosannya berbuat maksiat dan dosa tanpa merasa bersalah.

Padahal hakikatnya, sekali lagi, jiwa manusia memiliki kecenderungan fasik dan taqwa.
Misalnya saja, sejahat-jahatnya manusia, tidak ada yang mau disebut penjahat. Profesi
jahat apapun yang dilakoninya biasanya ada ‘alasan baik’ yang menjadi motivasinya.
Entah anak istri lapar, demi membela harga diri atau minimal sebuah alasan umum,
khilaf. Namun setidaknya itu menjadi bukti adanya potensi baik dan jahat itu.
Masalahnya kemudian, tidak jarang kita terjebak atau terdorong untuk memperturutkan
kecenderungan jahat itu. Na’udzubillah summa na’udzu billah, semoga Allah
menjauhkan kita dari perbuatan jahat besar maupun kecil. Hanya saja yang perlu diingat,
ada kejahatan-kejahatan kecil yang kerap kita lakukan tanpa kita sadari dan bahkan kita
menganggapnya bukan suatu kesalahan. Misalnya saja, seketika ada rasa sombong yang
mencuat ketika meraih prestasi ditempat kita beraktifitas. Tak sadar mungkin kita terlebih
dulu menepuk dada seraya berujar, “siapa dulu … gue …”, setelah itu kemudian baru
terucap, “alhamdulillaah”. Atau seketika marah terhadap perlakuan orang yang mungkin
tidak disengaja. Padahal sabar dan memberi maaf jauh lebih terhormat untuk kita
lakukan. Kalimat “sabar kan ada batasnya” yang sering kita dengar seolah juga memberi
bukti bahwa ada dorongan untuk memenuhi kecenderungan fujur kita.

Semuanya dikembalikan kepada kita, ingin berperan menjadi orang baik atau orang jahat.
Dengan mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Kuasa atas semua jiwa manusia, dan
mencontoh tauladan kita Nabi Muhammad Saw yang segala kebaikkannya membaikkan
ummatnya. Termasuk memilih komunitas yang baik dan menghindari tempat dimana
kejahatan bersemi. Maka bukan tak mungkin kita mampu mengubur potensi jahat (setani
dan hewani) dalam diri ini dan membiarkan karakter kebaikkan memenuhi setiap relung
jiwa ini. Wallahu a’lam bishshowaab. (bayu gautama)

Jagalah Keseimbangan
Publikasi 10/09/2002 11:37 WIB

eramuslim - Orang-orang yang tinggi idealismenya tidak jarang hanya beraksi pada
tataran wacana, bahwa ia harus melakukan gebrakan besar ini, terobosan besar itu. Tetapi
pada kenyataannya energinya seringkali habis hanya untuk menelorkan dan membahas
wacana-wacana besar itu dan tidak sampai pada aktualisasi ide. Di sisi seberangnya, ada
orang-orang yang justru aktif melakukan hal-hal kecil, tetapi melulu dan berkutat disitu.
Tidak ada hal-hal besar dan ideal yang menjadi tujuannya. Maka jadilah apa yang
dikerjakannya hanya sebatas menghabiskan waktu, sehingga pada saat umurnya sudah
menua barulah ia menyadari bahwa yang dilakukannya selama ini adalah hal kecil yang
tidak membuatnya besar.

Jika kita mau mengambil pelajaran, apa yang dikatakanya Rasulullah, mulailah dari diri
sendiri sebenarnya tidak hanya bermakna keteladanan agar bisa dicontoh oleh orang lain.
Kalimat itu juga bisa mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang baik harus dimulai
dari dalam baru kemudian keluar. untuk bisa menjangkau hal-hal diluar, seharusnya kita
sudah menggenggam segalanya yang ada didiri ini, untuk melangkah ke depan, sebaiknya
dipastikan kaki ini sudah mampu berdiri menapak dengan kuat, selanjutnya terserah, mau
berlari atau melakukan lompatan sejauh apapun. Untuk bisa menguasai (memimpin)
orang lain, sudah sepantasnya kita tak lagi bingung mengendalikan diri, untuk dapat
berbicara dengan baik kepada orang lain berarti juga sebelumnya kita lebih dulu mengerti
apa yang sebenarnya hendak kita sampaikan. Semua itu berlaku secara alami, dan jika
ada yang mencoba melanggar aturan alami itu, sudah bisa dipastikan
ketidakmaksimalannya. Anda bisa saja melompat namun mungkin kaki anda akan terkilir
atau patah. Anda bisa juga berbicara dengan bebasnya meski anda sendiri pun tidak jelas
apakah memahaminya atau tidak, tapi jangan salahkan kalau orang lain hanya akan
mengangguk didepan anda sebelum kemudian perlahan meninggalkan anda.

Sesuai dengan proses kejadian manusia, bahwa tidak ada manusia yang langsung terlahir
besar. Ia dimulai dari seorang bayi merah tanpa daya apapun, kemudian tumbuh sebagai
anak lincah yang baru bisa berjalan satu-dua langkah. Beberapa tahun kemudian, ia mulai
sekolah. Bertambahlah pengetahuannya dari yang sudah ada sebelumnya. Ketika besar,
selain pengetahuan, kemampuan motoriknya juga lebih sempurna. Demikian halnya
dengan pekerjaan, melakukan hal yang kecil terlebih dulu sebelum mencoba sesuatu yang
besar, mengangkat yang ringan terlebih dulu sebelum yang berat, kerjakan dulu yang
terjangkau tangan, sebelum memaksakan sesuatu yang diluar cakrawala kita.

Namun yang perlu diingat, pesan mulailah dari diri sendiri bermakna bergerak. Arti kata
'mulai' berarti melakukan sesuatu yang tidak berhenti disitu. Jadi ketika sudah melakukan
hal yang kecil, cobalah sesuatu yang lebih besar. Jangan puas dengan pekerjaan yang
ringan-ringan saja, sebelum mencicipi kenikmatan dari hasil kerja berat. Dan
melangkahlah keluar menembus cakrawala agar menghabiskan waktu hidupnya dari
perkembangan ke perkembangan berikutnya.

Sebaiknya kita tidak seperti seorang anak kecil yang melempar batu jauh ke depan, dan
meminta temannya mengambilkannya. Padahal setelah melempar batu, semestinya kita
berlari menuju dimana batu terjatuh dan kemudian melemparkannya kembali ke depan.
Sehingga di medan lemparan berikutnya bukan tidak mungkin kita menemui hambatan
yang berbeda, bisa berupa angin kencang yang menghambat laju batu, atau pohon besar
yang menghalangi. Dan seterusnya seperti itu. Ini mengajarkan kita untuk senantiasa
bergerak dan tidak puas berhenti disatu tempat mengulangi rutinitas yang sama, dan jelas
tidak berkembang. Tidak ada sesuatu yang baru. Juga tidak mengalami tantangan baru.

Oleh karenanya, bekalilah diri ini dengan jam penunjuk waktu dan kompas sebagai
penunjuk arah (tujuan). Jangan hanya memiliki jam tangan karena kita akan terjebak pada
rutinitas yang melelahkan tanpa tujuan (cita-cita) yang jelas namun waktu yang ada habis
tanpa hasil yang signifikan. Jangan pula hanya melengkapi diri dengan kompas tanpa jam
penunjuk waktu. Karena kita hanya akan sibuk menentukan tujuan tanpa melakukan apa-
apa karena kita tidak pernah tahu kapan harus memulai.

Bahwa manusia harus menjaga keseimbangan dalam segala hal, itu suatu keniscayaan
terhadap signifikansi hasil yang bakal diraih. Berada pada posisi aman dan tidak berani
mencoba tantangan baru, jelas membuat kita menjadi kerdil. Berpikir besar tentang
semua idealisme tanpa memulainya dengan hal-hal yang kecil, tentu ibarat calo di
terminal bis kota. Orang lain sudah sampai di tujuan kita masih tertinggal di landasan.
Menikmati pekerjaan rutin yang kecil dan cukup puas dengan hasil yang didapat ternyata
juga terkadang membuat hati mendengki terhadap orang-orang yang berhasil karena
hidup dinamis dan berani bergerak (maju).
Padahal jelas-jelas Allah memerintahkan kita untuk menjadi ummatan wasathan, agar
diri ini senantiasa menyeimbangkan posisi dan keadaan. Tidak jatuh terpuruk dan terus
menerus berkubang dengan kesulitan, tetapi juga tetap menjaga jarak untuk tidak merasa
sejajar dengan Yang Maha Tinggi agar tidak menjadi takabur. Wallahu a’lam
bishshsowaab (Bayu Gautama)

Etika Meminta
Publikasi 06/09/2002 08:40 WIB

eramuslim - Tiga orang pemuda yang terperangkap dalam sebuah gua, semakin
kehabisan akal bagaimana caranya keluar dari gua yang tertutup batu besar yang secara
logika tak mungkin digeser meski dengan mengumpulkan seluruh kekuatan mereka
bertiga. Sementara bekal makanan pun sudah menipis, tubuh semakin lemah. Mereka pun
sedih, bila mereka harus mati terperangkap didalam gua tersebut maka berakhirlah
langkah dakwah yang sudah sekian tahun dijalani, berakhir pulalah kesempatan untuk
menambah amal shaleh di dunia. Dalam kondisi demikian, tak ada lagi yang sanggup
menolong mereka kecuali Allah semata. Allah yang Maha Kuasa tempat manusia
meminta pertolongan. Maka tak ada jalan lain mereka pun berdo’a dan meminta kepada
Allah agar diberikan kesempatan untuk bisa keluar dari dalam gua. Satu persatu dari
mereka berdo’a seraya ‘mempertaruhkan’ semua amal dakwah dan perjuangannya bagi
agama Allah selama ini. “Ya Allah, sekian tahu sudah kami memperjuangkan agama-
Mu, mengajak orang-orang mencintai-Mu. Tapi kami merasa belum cukup sebagai bekal
menghadap-Mu. Namun jika yang Engkau ridha terhadap amal kami yang masih sedikit
itu Ya Allah, atas izin Engkau, biarkanlah kami keluar dari gua ini …”. Kemudian satu
do’a terucap, beberapa celah batu itu bergeser, dan seterusnya sampai permintaan yang
sama dari orang ketiga hingga mereka akhirnya bisa keluar dari perangkap gua tersebut.
Wallahu’a’lam.

Kisah diatas mungkin sudah sangat sering kita mendengarnya, atau bahkan lama sekali
kita tak mendengarnya. Cerita yang sangat sederhana yang memberikan satu pelajaran
bagi kita, bahwa ada saat-saat Allah begitu cintanya kepada hamba-hamba yang
mencintai-Nya sehingga keadaan sesulit apapun bisa menjadi mudah atas pertolongan
Allah. selain juga satu hikmah lain, bahwa untuk meminta sesuatu yang lebih dari Allah,
seharusnya pula ada nilai lebih yang sebelumnya kita persembahkan kepada-Nya alias
tidak meminta dengan tangan kosong.

Lihatlah pelajaran bagaimana para nabi Allah yang sangat dekat pertolongan Allah
karena amal sholeh mereka yang membuat Allah tersenyum. Api yang kehilangan
panasnya sehingga tak membakar tubuh Ibrahim kecil, insya Allah karena keberanian
dari Ibrahim menentang praktek syirik kaumnya, termasuk ayahnya sendiri. Diangkatnya
Yusuf sampai derajat yang mulia, insya Allah berawal dari kesabarannya memilih penjara
demi menghindari maksiat. Dan masih banyak contoh lain yang membuktikan janji
Allah, barangsiapa menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya dan
meneguhkan kedudukannya (QS. Muhammad:7).

Contoh paling sederhana adalah seorang anak kecil yang meminta uang jajan kepada
orangtuanya. Jika anak itu baik, berbakti kepada orangtua, menjadi anak yang
menyenangkan lagi dibanggakan, mungkin hampir tidak ada alasan bagi orangtua untuk
tidak memberinya. Bahkan tidak meminta pun akan ditawarinya sesuatu yang lebih.

Menjelang perang Uhud dimulai, Rasulullah menghadiahi sebuah do’a kepada Nusaibah
binti Ka’ab al Maziniay dan keluarganya agar dijadikan orang-orang yang menemani
beliau di surga. Tentu karena Nusaibah bukan wanita sembarangan, bersama suaminya
Zaid bin Ashim dan dua anak lelakinya mereka bertempur habis-habisan bersama
Rasulullah di medan perang Uhud. Bahkan Nusaibah tak gentar meski suami dan dua
anaknya sudah gugur di tengan pertempuran, karena ia bersama Mush'ab bin Umair -yang
kemudian menemui syahid setelah mendapatkan puluhan tusukan di tubuhnya-
menghadang Qam'ah, orang yang dipersiapkan membunuh Rasulullah dalam perang
tersebut. Nusaibah sendiri harus menderita dengan dua belas tusukan yang salah satunya
mengenai lehernya. "Tidaklah aku menoleh ke kanan dan ke kiri pada peperangan Uhud
melainkan aku melihat Nusaibah berperang membelaku."

Kini kembali kepada diri kita, ketika do’a tak lagi terkabul, ketika permintaan-demi
permintaan seperti tak didengar oleh Allah, dan tatkala airmata tak juga membuat Allah
tergerak untuk menghulurkan kasih-Nya, mungkin kita perlu menengok ke dalam diri ini.
Sudah berapa banyak amal shaleh yang kita perbuat, adakah sekian waktu, tenaga, harta
dan kemampuan yang kita miliki ini bernilai dimata Allah karena atas dasar cinta kepada-
Nya kita penuh semangat menolong agama Allah. sudahkah nilai lebih tertoreh didiri ini
sehingga Allah pun dengan bangga menjadikan kita bagian yang dikasihi-Nya.

Selain itu, bisa jadi ada yang perlu kita perbaiki dari sikap mental diri ini. Mungkin kita
terlalu lemah sehingga terlalu cepat mengeluh dan meminta. Padahal apa yang kita
kerjakan belumlah maksimal, tidak banyak keringat yang mengucur. Banyak berdo’a
(meminta) tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh juga rasanya tidak lebih baik
ketimbang mereka yang menyeimbangkan keduanya. Sebaiknya, tunjukkan terlebih dulu
kesungguhan berusaha, baru kemudian meminta bantuan Allah untuk menyempurnakan
hasil yang sebenarnya dari usaha sendiri. “Bekerjalah kamu, sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya melihat kamu bekerja”.

Hal lain yang perlu diperhatikan tak bukan adalah kedekatan diri ini kepada Sang Maha
Pemberi. Semakin dekat diri ini kepada-Nya semakin Ia melihat dan memperhatikan
segala urusan kita. Pujilah Allah dengan sesering mungkin menyebut nama-Nya dan
mengingati-Nya dalam keadaan apapun, karena dengan begitu Allah akan senang dicintai
hamba-Nya. Tapi jika lidah ini pelit mengeluarkan pujian, jangan pernah membayangkan
Allah mendekat, apalagi memperhatikan kita. Bagaimanapun Dia akan semakin cinta
kepada siapa yang semakin mencintai-Nya. Dan karena itulah segala kesulitan menjadi
mudah, hal berat terasa ringan dan segala harapan insya Allah terwujud.
Hukum Allah selalu bermain, bahwa orang-orang yang tidak sungguh-sungguh berusaha
akan tertinggal dan tertindas, mereka yang tidak mendekat kepada Allah akan semakin
jauh terseret kepada kejahatan dunia yang itu jelas-jelas semakin menjauhkan dirinya dari
perhatian Allah, terlebih pertolongan-Nya. Sehingga kelak Dia dengan segala
kekuasaannya akan menggantikan yang demikian itu dengan generasi baru yang
mencintai Allah dan Allah pun mencintainya. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu
Gautama)

Atasi Problem Ummat Dengan Akhlak


Publikasi 20/08/2002 09:31 WIB

eramuslim - Manusia yang terbaik adalah manusia yang bernilai manfaat bagi manusia
lainnya. Penampilan manusia terbaik ini telah ditujukkan oleh para generasi awal sahabat
(assabiqunal awwalun). Sehingga perjalanan dakwah Rasulullah Saw betul-betul
ditopang oleh pondasi yang kokoh dari para sahabat.

Di dalam sejarah tersebutlah nama-nama seperti: Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah, dan masih banyak lagi. Mereka
sangat disegani lawan maupun kawan, dipuji makhluk baik yang ada di langit (malaikat)
maupun di muka bumi. Oleh karenanya, bagi kita yang hidup hari ini sangat bagus untuk
mampu mengambil hikmah dari apa yang telah diperbuat Rasullah Saw dan para
sahabatnya. Abu Bakar misalnya, adalah orang yang pertama mempercayai Rasulullah
Saw melakukan perjalanan Isra’ dan mi’raj. Sehingga terkenallah ia dengan julukan as-
shiddiq (benar). Disamping itu, Abu Bakar adalah termasuk sahabat yang rela
mengorbankan hartanya 100 persen untuk Islam. “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya”, kata
Abu Bakar.

Akhlak mulia yang ditunjukkan oleh para sahabat itu dapat muncul karena mereka
mempunyai kekuatan aqidah yang kokoh, kuat, tahan banting. Kekuatan aqidah yang
bersumber dari pemahaman yang jelas, jernih dan baik terhadap syahadatain. Sehingga
setiap gerak langkah yang dilakukannya itu betul-betul diperuntukkan demi tegaknya
kalimat Allah, Laa Ilaha Illallah.

Jika saja setiap umat Islam yang ada di bumi nusantara ini berakhlak seperti Rasulullah
dan para sahabatnya, insya Allah kalimatullah akan tegak. Problem kemiskinan yang
terus mendera bangsa ini juga bakal bisa di atasi. Kenapa, karena setiap orang akan
berusaha dan berlomba-lomba untuk menunjukkan akhlak mulianya. Setiap detik
waktunya tidak akan terbuang sia-sia. Namun, akan digunakan untuk meraih amalan
terbaik sehingga sahamnya diakhirat menjadi besar. Hanya dengan amalan terbaiklah kita
akan bertemu dengan Allah Swt.

Mengenai hal ini, Abu Darda ra, ia berkata, “Nabi Saw bersabda: “Carilah Aku (Allah)
pada golongan orang-orang lemah karena sesungguhnya kamu diberi rizki dan
pertolongan melalui golongan orang-orang lemah itu.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Bukhari,
Ibnu Hibban, dan hakim). Dengan membantu orang-orang lemah sebagaimana telah
dicontohkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya tentu nilai amalan akan meningkat.

Dalam konteks era sekarang ini, banyak cara yang bisa diterapkan dalam membantu
orang-orang lemah. Yang penting adalah bantuan itu diniatkan semata-mata karena Allah
bukan karena ada faktor yang lain. Jangan sampai ada udang dibalik batu. Apalagi
godaan jabatan di pentas politik yang selalu menggoda. Berikanlah bantuan kepada
orang-orang lemah dengan semata-mata ikhlas karena-Nya.

Dari sisi ekonomi, cara memberdayakan golongan lemah dapat ditempuh dengan
berbagai macam jalan, antara lain. Pertama, merekrut mereka menjadi tenaga kerja pada
usaha yang sedang dijalankan sendiri. Kedua, memberikan bantuan modal untuk usaha
yang produktif. Modal usaha dapat berupa modal investasi dan modal kerja. Modal
investasi berupa alat-alat atau perlengkapan yang akan digunakan dalam jangka panjang
sebagai penunjang usaha. Sedangkan modal kerja adalah dana yang akan digunakan
untuk keperluan rutin (operasional usaha). Ketiga, memberikan beastudi (beasiswa)
kepada salah satu anggota keluarganya (anak). Dengan harapan akan dapat berkarya
produktif setelah pendidikannya selesai. Keempat, memberikan bekal keterampilan
melalui training (pelatihan). Melalui pelatihan diharapkan mereka menjadi paham dan
mampu untuk bekerja secara mandiri.

Dengan keempat perbekalan di atas diharapkan golongan lemah menjadi bangkit dan
kuat. Kebangkitan dan kekuatan mereka akan berkelanjutan bila ditopang dan dilandasi
oleh aqidah (keyakinan) yang kuat, bahwa semua yang telah dan akan terjadi itu semata-
mata kehendak Allah Swt. Tugas kita adalah berusaha semaksimal potensi yang telah
diberikan-Nya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat,
yang tidak putus asa di dalam berjuang, berusaha dan menegakkan kalimatullah, Laa
Ilaha Illallah. (Efri S Bahri/efrisb@yahoo.com)

Atasi Problem Ummat Dengan Akhlak


Publikasi 20/08/2002 09:31 WIB

eramuslim - Manusia yang terbaik adalah manusia yang bernilai manfaat bagi manusia
lainnya. Penampilan manusia terbaik ini telah ditujukkan oleh para generasi awal sahabat
(assabiqunal awwalun). Sehingga perjalanan dakwah Rasulullah Saw betul-betul
ditopang oleh pondasi yang kokoh dari para sahabat.

Di dalam sejarah tersebutlah nama-nama seperti: Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah, dan masih banyak lagi. Mereka
sangat disegani lawan maupun kawan, dipuji makhluk baik yang ada di langit (malaikat)
maupun di muka bumi. Oleh karenanya, bagi kita yang hidup hari ini sangat bagus untuk
mampu mengambil hikmah dari apa yang telah diperbuat Rasullah Saw dan para
sahabatnya. Abu Bakar misalnya, adalah orang yang pertama mempercayai Rasulullah
Saw melakukan perjalanan Isra’ dan mi’raj. Sehingga terkenallah ia dengan julukan as-
shiddiq (benar). Disamping itu, Abu Bakar adalah termasuk sahabat yang rela
mengorbankan hartanya 100 persen untuk Islam. “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya”, kata
Abu Bakar.

Akhlak mulia yang ditunjukkan oleh para sahabat itu dapat muncul karena mereka
mempunyai kekuatan aqidah yang kokoh, kuat, tahan banting. Kekuatan aqidah yang
bersumber dari pemahaman yang jelas, jernih dan baik terhadap syahadatain. Sehingga
setiap gerak langkah yang dilakukannya itu betul-betul diperuntukkan demi tegaknya
kalimat Allah, Laa Ilaha Illallah.

Jika saja setiap umat Islam yang ada di bumi nusantara ini berakhlak seperti Rasulullah
dan para sahabatnya, insya Allah kalimatullah akan tegak. Problem kemiskinan yang
terus mendera bangsa ini juga bakal bisa di atasi. Kenapa, karena setiap orang akan
berusaha dan berlomba-lomba untuk menunjukkan akhlak mulianya. Setiap detik
waktunya tidak akan terbuang sia-sia. Namun, akan digunakan untuk meraih amalan
terbaik sehingga sahamnya diakhirat menjadi besar. Hanya dengan amalan terbaiklah kita
akan bertemu dengan Allah Swt.

Mengenai hal ini, Abu Darda ra, ia berkata, “Nabi Saw bersabda: “Carilah Aku (Allah)
pada golongan orang-orang lemah karena sesungguhnya kamu diberi rizki dan
pertolongan melalui golongan orang-orang lemah itu.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Bukhari,
Ibnu Hibban, dan hakim). Dengan membantu orang-orang lemah sebagaimana telah
dicontohkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya tentu nilai amalan akan meningkat.

Dalam konteks era sekarang ini, banyak cara yang bisa diterapkan dalam membantu
orang-orang lemah. Yang penting adalah bantuan itu diniatkan semata-mata karena Allah
bukan karena ada faktor yang lain. Jangan sampai ada udang dibalik batu. Apalagi
godaan jabatan di pentas politik yang selalu menggoda. Berikanlah bantuan kepada
orang-orang lemah dengan semata-mata ikhlas karena-Nya.

Dari sisi ekonomi, cara memberdayakan golongan lemah dapat ditempuh dengan
berbagai macam jalan, antara lain. Pertama, merekrut mereka menjadi tenaga kerja pada
usaha yang sedang dijalankan sendiri. Kedua, memberikan bantuan modal untuk usaha
yang produktif. Modal usaha dapat berupa modal investasi dan modal kerja. Modal
investasi berupa alat-alat atau perlengkapan yang akan digunakan dalam jangka panjang
sebagai penunjang usaha. Sedangkan modal kerja adalah dana yang akan digunakan
untuk keperluan rutin (operasional usaha). Ketiga, memberikan beastudi (beasiswa)
kepada salah satu anggota keluarganya (anak). Dengan harapan akan dapat berkarya
produktif setelah pendidikannya selesai. Keempat, memberikan bekal keterampilan
melalui training (pelatihan). Melalui pelatihan diharapkan mereka menjadi paham dan
mampu untuk bekerja secara mandiri.

Dengan keempat perbekalan di atas diharapkan golongan lemah menjadi bangkit dan
kuat. Kebangkitan dan kekuatan mereka akan berkelanjutan bila ditopang dan dilandasi
oleh aqidah (keyakinan) yang kuat, bahwa semua yang telah dan akan terjadi itu semata-
mata kehendak Allah Swt. Tugas kita adalah berusaha semaksimal potensi yang telah
diberikan-Nya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat,
yang tidak putus asa di dalam berjuang, berusaha dan menegakkan kalimatullah, Laa
Ilaha Illallah. (Efri S Bahri/efrisb@yahoo.com)

Ciptakan Lingkungan Islami


Publikasi 19/08/2002 08:31 WIB

eramuslim - Anda yang pernah mengunjungi beberapa pesantren di Indonesia, tentu


sudah sangat hapal dengan kalimat “Sesuaikan pakaian anda dengan lingkungan
pesantren” yang tertera di papan peringatan. Di beberapa masjid besar seperti di Al Azhar
Kebayoran Baru, Jakarta, anda juga akan temui himbauan dengan kelimat yang hampir
serupa. Sebenarnya tanpa harus dibuat papan himbauan seperti itu, orangpun seharusnya
sadar bahwa tidak mungkin mengenakan pakaian yang tidak sopan (tidak menutup aurat)
di lingkungan seperti pesantren atau masjid. Tapi kenapa ada peringatan itu, tentu karena
masih ada orang-orang yang ‘tak tahu diri’ dan merasa innocent dengan penampilannya
yang tidak sesuai pada tempatnya.

Nampaknya himbauan semacam itu baik jika dipasang di lebih banyak tempat, mengingat
semua tempat dimanapun dimuka bumi ini sebenarnya sangatlah tidak layak untuk
diwarnai dengan tampilan-tampilan yang tidak mengenal norma agama. Ada yang pernah
bertanya kepada seorang alim perihal diizinkannya ia berbuat dosa, dan si alim
mempersilahkannya dengan beberapa syarat, kalau bermaksiat jangan ambil nikmat dari
Allah, tidak bermaksiat dibumi Allah, dan perbuatannya tidak dilihat Allah. Maka
kemudian seharusnya ada gerakan untuk memasang peringatan-peringatan yang tidak
sekedar urusan penyesuaian penampilan, lebih dari itu.

Kita tentu sangat merindukan satu lingkungan yang kondusif bagi perlindungan
keshalehan dan menjaga pertumbuhan keshalihan anak-anak, cucu dan seluruh generasi
ke depan. Lingkungan dimana orang-orang didalamnya mengkedepankan kewajiban,
menghormati hak orang lain disaat menjalankan haknya. Tidak seperti orang-orang di
dalam kendaraan yang asyik merokok tanpa peduli kesehatan orang lain, atau wanita-
wanita yang berpakaian seminim-minimnya dengan menampilkan lekuk tubuhnya yang
sejujurnya tidak sedikitpun mengundang simpati, melainkan birahi, dan masih banyak
lagi. Karena, menjadi orang beriman dan bertaqwa saja tidaklah cukup. Artinya, orang
beriman dan bertaqwa tetapi ketika berada di lingkungan yang rusak, sakit, bukan tidak
mungkin daya imun-nya habis dan lama-kelamaan tergerogoti hingga akhirnya ikut sakit,
rusak. Ini seperti diingatkan Allah dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar” (QS. At Taubah:119), satu peringatan untuk senantiasa berada pada lingkungan
yang baik.

Kenapa begitu pentingnya Allah memperingatkan hamba-Nya untuk menciptakan


lingkungan yang Islami? Tentu kita bisa mengambil pelajaran dari orang-orang shaleh
terdahulu yang tetap istiqomah dalam keshalihannya karena mereka senantiasa bersama
saudaranya seiman, dalam pergaulan, lingkungan tempat beraktifitas, dan menetap.
Karena disamping itu, tidak sedikit pula Allah berikan pelajaran dari tergelincirnya
orang-orang yang awalnya begitu shaleh karena terpisahnya mereka dari jama’ah. Inilah
juga mungkin hikmah yang bisa kita petik dari ayat terakhir surat Al Ashr, agar nasihat
menasihati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran. Bahwa cobaan orang-
orang beriman itu ada dua hal, pertama, konsistensi terhadap kebenaran dan kedua,
resistensi atau tetap bersabar dalam mentaati kebenaran itu.

Menjaga konsistensi itu bukan perkara mudah, karena sudah pasti cobaan, godaan untuk
melewati batas-betas kebenaran itu sangat banyak, bahkan setiap saat, setiap kesempatan
selalu mengintai menunggu saat-saat lengah kita. Seperti dingatkan Fathi Yakan, bahwa
ujian itu bisa datang dari mana saja, dari wanita (istri, misalnya), harta, jabatan dan lain-
lain. Oleh karena itulah anjuran untuk menjadikan kriteria shalihah sebagai kriteria utama
dalam memilih pasangan begitu penting, untuk menopang terwujudnya himbauan Allah
agar keluarga kita terhindar dari api neraka. Oleh karena itulah kemudian, Allah
mengingatkan kita untuk tetap bersabar dalam menetapi kebenaran itu. “Allah bersama
orang-orang yang sabar”

Seharusnyalah kita mulai menciptakan lingkungan itu dari diri dan keluarga sendiri.
Konsistensi dan kesabaran akan kebenaran yang tercipta dari dalam rumah kita, insya
Allah akan berbekas kepada tetangga, dan masyarakat sekitar. Hingga akhirnya bukan
tidak mungkin suatu saat mimpi kita untuk mendapatkan masyarakat Islami menjadi satu
kenyataan. Dan tentunya, tidak perlu lagi pesantren, masjid-masjid memasang himbauan
seperti diatas. Wallahu a’lam bishshowaab (Abinya Hufha)

Jangan Takut Cobaan!


Publikasi 15/08/2002 10:46 WIB

eramuslim - Ibarat seorang anak yang baru pertama kali memasuki dunia sekolah, dihari
pertamanya, berbagai perasaan bergelut dibenak dan di setiap rongga dadanya. Antara
cita-cita yang menggebu dengan kecemasan seperti bertarung memposisikan diri untuk
bersemayam mendominasi perasaannya. Begitu juga antara imajinasi keceriaan dunia
baru dan bayang-bayang orang-orang asing yang bakal mengelilinginya, antara semangat
berprestasi dengan phobia ketidakmampuan mengikuti sistem, peraturan dan persaingan
di dalam kelas. Perasaan yang hampir sama meski tidak terlalu persis juga menggelayuti
para pelajar dan mahasiswa yang tengah menghadapi ujian akhir guna membuktikan
apakah mereka berhasil atau gagal setelah sekian tahun berkutat dengan buku. Juga tidak
berbeda yang dialami oleh para pelamar kerja yang menjalani test penerimaan calon
pegawai, eksekutif yang harus melewati ujian kenaikan jabatan atau para profesional
yang mempersiapkan presentasi hasil karya mereka.

Itulah hidup, penuh dengan segala macam ujian, cobaan yang kerap bahkan senantiasa
datang. Mau tidak mau, suka tidak suka setiap yang hidup pasti melewatinya. Karena
menjalani hidup itu juga berarti perjuangan melewati seluruh fasenya hingga sampai
waktunya kita berhenti dan berakhir. Ada yang mengakhirinya secara alami ada juga
yang ‘mendahului’ waktu sebenarnya dengan mengakhiri hidup ditangan sendiri yang tak
berdaya meregang keputusasaan, menanggung kekalahan hidup yang memalukan.

Di negara-negara Eropa yang menjadikan kesuksesan bisnis dan profesionalisme sebagai


ukuran keberhasilan seseorang, Anda tidak akan menganggap aneh ketika mendapati
orang-orang berdasi, mereka yang pernah sukses atau karirnya menjulang, harus
mengakhiri hidup dengan terjun bebas dari lantai tertinggi apartemen atau gedung tempat
mereka bekerja. Jepang, negeri yang terkenal dengan semangat hidup pantang menyerah
dari masyarakatnya, sehingga menjadikan negeri Sakura itu Macan Asia saat ini, hingga
kini masih mencatatkan rekor terbesar bunuh diri dan sudah lazim diketahui bahwa
sebagian besarnya adalah orang-orang muda yang penuh energik menjadikan prestasi dan
kesuksesan diatas segalanya. Sehingga ketika wajah mereka harus tercoreng oleh satu
kegagalan yang dianggap biasa di negara kita, harakiri adalah jalan mulia bagi mereka
ketimbang menanggung malu.

Untuk mudah mengetahui berbagai tipikal orang menghadapi cobaan, datanglah ke


rumah sakit. Mungkin ada yang mengira ini terlalu menyederhanakan definisi cobaan
hidup. Tapi cobalah, anda akan menemui orang yang meraung-raung tak ingin segera
mati, meringis menahan perihnya luka, menangis tak henti akibat penyakit yang tak
membaik meski sudah habis semua harta. Mereka berteriak, mencaci Tuhan atas dalih
ketidakadilan, atau merasa menjadi makhluk yang dihinakan Tuhan dengan penyakit itu.
Namun di ruang lain, ada juga yang terus tersenyum meski virus ganas kanker terus
menggerogoti satu persatu anggota tubuhnya hingga tak bedanya ia dengan tengkorak
hidup, ada yang tetap tegar meski waktunya hidup di dunia sudah bisa diprediksikan,
mereka sabar, ikhlas menerima dan menjalani cobaan. Bahkan sebagian mereka sangat
tahu, inilah cara Tuhan memperhatikan makhluk-Nya, mungkin juga Allah menjanjikan
kehidupan yang jauh lebih istimewa di kemudian hari, atau Dia sedang menguji cinta dan
kesabaran hamba-Nya dengan cobaan yang tiada henti, dan bisa jadi Sang Maha Adil itu
ingin menjadikan mereka manusia-manusia pilihan sehingga (dengan derita itu) diakhir
hayatnya tetap ingat dan dekat kepada Rabbnya.

Bukankah para Nabi Allah selalu mendapatkan cobaan yang teramat berat sehingga
mereka menjadi manusia-manusia pilihan. Lihatlah Adam as yang harus menerima
hukuman Allah terlempar ke bumi atas kelalaiannya. Bagaimana pedihnya penderitaan
Ayub as atas penyakit dan kemiskinan yang melandanya, cemoohan dan hinaan yang
diterima Nuh as atas keteguhannya, kesabaran Ibrahim as untuk menyembelih Ismail
sebagai bukti cintanya kepada Allah setelah bertahun-tahun menunggu hadirnya sang
buah hati, juga keikhlasan Ismail as atas perintah Allah kepada ayahnya. Jangan pernah
menganggap kekayaan yang berlimpah yang dimiliki Sulaiman as bukan suatu ujian, atau
menilai keelokan wajah Yusuf as sebagai kenikmatan yang tidak akan dimintai
pertanggungjawabannya. Bahkan manusia agung, kekasih Allah Muhammad saw pun tak
hentinya menerima cercaan, hinaan, intimidasi dan ancaman pembunuhan berkali-kali.

Dunia dengan segala keindahannya juga menyimpan tidak sedikit lubang dan celah ujian
dimana manusia akan melewatinya. Kelengahan, ketidaksigapan serta keteledoran yang
terkadang menjadi sifat dasar manusia sering kali menyebabkan mereka kalah, hancur
dan tenggelam oleh kehidupan. Tidak jarang ada manusia yang hari-harinya habis untuk
mengeluh, waktunya tersita untuk meratapi betapa dirinya merasa menjadi orang yang
paling menderita. Padahal tidak! Selain karena Allah tidak akan memberikan cobaan
diluar kemampuan hamba-Nya, kebanyakan manusia mungkin lupa (ini juga sifat dasar
manusia) bahwa ketika terlahir kedunia tanpa sehelai pakaianpun, manusia datang dengan
tubuh yang kecil memerah, tanpa daya sehingga membutuhkan bantuan orang lain dalam
menjalani hidupnya. Tangisan pertamanya didunia seolah memberitahu bahwa ia
makhluk lemah. Namun tak satupun bayi-bayi mungil itu merasa cemas dan menolak
terlahir kedunia yang penuh dengan cobaan ini. Kepolosannya menandai keiklasan dan
kesiapannya mengarungi riak gelombang dunia fana. Lalu mengapa sekarang banyak
manusia yang takut menghadapi cobaan, bahkan berusaha menghindar dari ujian yang
seharusnya mereka lalui.

Mungkin inilah rahasia dari siklus hidup yang mesti dijalani yang telah diatur oleh Sang
Khalik semenjak ia menjadikan alam dan seisinya, sejak Dia menciptakan manusia
pertama dan menghadirkannya ke dunia. Bahwa ada yang terlahir, tumbuh, dewasa,
menikah, tua dan mati, terus menerus siklusnya tak berubah, agar dapat diambil
hikmahnya oleh manusia. Coba ingat ketika pertama kali masuk sekolah, meski awalnya
dihantui kecemasan, tapi selangkah kaki ini memasuki halaman sekolah, maka seluas
mata memandang betapa satu fase hidup bisa kita jalani dengan ceria dan semangat
berprestasi. Begitu juga saat pertama memasuki dunia sesungguhnya menjadi orang
dewasa, mencari nafkah, bayang-bayang menjadi pecundang dan kalah bersaing seolah
sirna bila profesionalisme dan modal kecerdasan di kedepankan. Lalu memasuki jenjang
pernikahan, saat seorang pria harus keluar dari ketiak orangtuanya dan berpisah untuk
bersatu dengan pasangannya, atau saat seorang wanita berpindah dari pelukan hangat
ayah bunda kepada satu kerelaan berjalan mengiringi seorang pria pilihannya. Awalnya
akan merasa canggung, namun kebersamaan, kekuatan dua jiwa yang bersatu, kebulatan
tekad dan visi yang sama menjadikan perjalanan rumahtangga sebagai satu fase yang
begitu indah.

Lalu mengapa harus takut dengan cobaan, kalau sampai hari ini kita masih bisa menjalani
hidup berarti kita telah mampu melewati semua fase sebelumnya yang entah disadari atau
tidak penuh dengan cobaan. Kedepan, ujian dan cobaan itu tetap menghadang, tapi
dengan segenap keyakinan yang teguh menempati seluruh sisi benak dan dada ini, kita
pasti sanggup melewatinya meski ia sering terlihat sekokoh batu karang dilautan, sepanas
api membara dan sebesar gunung menjulang. Jadi, untuk menjadikan diri ini manusia-
manusia pilihan, jangan gentar melawan cobaan. Wallahu’alam bishshowaab (Abinya
Hufha)

Bersahabatlah Sampai ke Surga


Publikasi 14/08/2002 09:11 WIB

eramuslim - Mari lewati lorong waktu, menyusuri jalan-jalan dunia yang penuh tipu
daya, dengan kebersamaan. Tapaki perguliran pagi, siang, petang dan malam, yangpenuh
liku, dengan persahabatan dalam keimanan. Di dunia ini, kita harus saling berpegangan
tangan. Harus. Kita tak mungkin selamat mengarungi bahtera kehidupan yang sangat luas
dengan ancaman badai fitnah ini, seorang diri. Kita tak dapat lolos dari ancaman
fitnahnya dengan hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Karena, kita diciptakan
sebagai makhluk yang penuh kelemahan dan mudah terpedaya. “Dan diciptakan manusia
itu dalam keadaan lemah.” (QS. An Nisa : 28)

Saudaraku,
Kebersamaan dan pertemanan di jalan Allah lah yang akan mengantarkan kita
menyelesaikan hidup dengan kebaikan. Persaudaraan, kebersamaan dan persahabatan di
jalan Allah lah yang juga akan mengiringi kita pada kebahagiaan akhirat Allah SWT
memberitakan bahwa hanya pertemanan atas dasra iman dan takwalah yang abadi.
“Teman-teman akrab pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi
sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zukhruf : 67). Ibnu
Kasir mengatakan, “Seluruh pertemanan dan persahabatan yang tidak dilandasi karena
Allah pada hari kiamat akan berubah menjadi permusuhan.” Begitu juga pesan Rasul
SAW dalam haditsnya , yang menyebutkan bahwa kita akan dibangkitkan di hari kiamat
bersama orang yang kita cintai.

Saudaraku,
Merenungklah. Siapa orang yang kita cintai? Siapa orang-orang yang paling dekat
dengan kita dalam menusuri hidup ini? Siapa orang yang paling menghiasi ingatan kita?
Siapa yang menemani langkah- langkah hidup kita? Orang shalehkah dia? Mengajak
pada kebaikan dan keridhaan Allah kah dia? Bayangkanlah persahabatan orang beriman
di dunia yang kisahnya berlanjut hingga di akhirat, sebagaimana digambarkan oleh Ali
bin Abi Thalib RA.

“Ada dua orang mukmin yang bersahabat dan berteman akrab. Salah seorang dari
keduanya meninggal lebih dahulu dan ia mendapat berita gembira dari surga. Ketika itu
ia mengingat teman akrabnya di kala di dunia lalu ia berdo’a : “Ya Allah, sesungguhnya
fulan adalah teman akrabku, dia yang menganjurkanku berlaku taat kepada-Mu dan
kepada Rasul-Mu. Dia yang mengajakku melakukan kebaikan dan mencegahku
melakukan kemungkaran. Dia juga yang menyadarkanku akan pertemuan dengan-Mu..
Ya Allah jangan Engkau sesatkan dia sepeninggalku sampai Engkau perlihatkan padanya
kenikmatan yang Engku berikan padaku dan sampai Engkau meridhainya sebagaimana
Engkau ridha kepadaku.”

Maka Allah berkata padanya, “Pergilah. Seandainya engkau tahu yang Aku berikan
kepadanya, niscaya engkau akan banyak tertawa dan sedikit menangis.” Sampai
kemudian teman akrabnya itu meninggal dunia dan ruh mereka bertemu. Dikatakan
kepada mereka, “Saling memujilah kalian kepada sahabat kalian.” Maka masing-masing
mereka mengatakan, “dDia adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik saudara, sebaik-baik
sahabat…”

Duhai indahnya. Pertemuan yang sangat mengesankan dan penuh kegembiraan. Mari kita
mulai dari sekarang. Bersahabat dengan orang-orang yang mendekatkan kita pada ridha-
Nya…
Dikutip dari rubrik Ruhaniyat Majalah Tarbawi Edisi 40/Th. 4

Miliki Semangat Kerelaan Berkorban


Publikasi 07/08/2002 11:47 WIB

eramuslim - Seorang pemuda serta merta berdiri dan mempersilahkan seorang ibu
setengah baya untuk menempati tempat duduknya di sebuah bis kota, tidak peduli
sebelumnya ia pun harus berlari dan berdesakkan untuk mendapatkan tempat duduk
tersebut. Sepuluh tahun yang lalu, pemandangan seperti itu bukanlah hal mengagumkan
yang dilakukan orang muda terhadap orang-orang yang lebih tua, wanita atau
penyandang cacat. Namun seiring pergeseran budaya dan perubahan tatanan nilai dalam
masyarakat kita, seolah hal seperti itu saat ini menjadi barang langka yang jarang
ditemui, lihat saja bahwa ternyata masih banyak pelajar, mahasiwa atau orang-orang yang
sebenarnya masih sanggup untuk berdiri tetap tenang meski seorang jompo atau ibu
hamil berdiri menahan beban tubuh disampingnya.

Kejadian diatas hanyalah satu dari sekian banyak contoh pergeseran nilai yang semakin
terasa nampak sebagai hal yang lumrah di masyarakat kita. Namun tentu bergesernya
budaya dan nilai seperti itu jelas ada penyebabnya. Hilangnya semangat kerelaan
berkorban misalnya, bisa karena hilangnya kepekaan sosial, rasa kebersamaan, budaya
saling tolong atau bahkan memudarnya sifat-sifat humanis di kalangan masyarakat,
terutama di perkotaan. Maka tidaklah aneh, misalnya lagi, seseorang akan jauh lebih
marah ketika ditegor orang lain yang merasa terganggu oleh asap rokoknya di dalam
kendaraan umum.

Kita tentu merindukan orang-orang yang memiliki jiwa dan semangat rela berkorban
(asketis) seperti yang pernah diajarkan sekaligus dicontohkan Rasulullah, sehingga sikap-
sikap itu pun tercermin dalam diri sahabat-sahabat rasul. Kerelaan berkorban (asketisme)
yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, misalnya, saat menggantikan Rasul tidur di
ranjangnya pada malam ketika Rasulullah ditemani Abu Bakar hendak melakukan hijrah.
Atau keberanian Asma binti Abu bakar mengantar makanan untuk Rasulullah dan
ayahandanya di tempat persembunyian di gua Tsur. Sikap-sikap serupa juga dicontohkan
sahabat lainnya seperti Abu Bakar yang dengan lantang mengatakan, cukuplah Allah dan
Rasul-Nya untuk menjawab pertanyaan Rasulullah tentang apa yang ditinggalkan untuk
keluarganya. Pada saat itu, Abu Bakar menyerahkan seluruh harta kekayaannya untuk
perjuangan Islam.

Semangat kerelaan berkorban merupakan wujud dari kecintaan kepada Allah, yang
karena itu mereka mau melakukan apapun untuk menolong agama Allah.
Intanshurullaaha yanshurkum wa yutsabbit aqdaamakum, barang siapa menolong agama
Allah maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. Dari kecintaan
terhadap Sang Khalik itu berlanjut pada kecintaan yang begitu mendalam terhadap sosok
manusia yang dimuliakan Allah, yakni kecintaan terhadap Rasulullah. Bentuk kecintaaan
inilah yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib dan juga para sahabat lainnya.
Dengan segenap cintanya, Rasulullah mampu menurunkan perasaan cinta Allah dan
Rasul-Nya itu menjadi sebuah cinta yang bertebaran menyentuh seluruh ummat, sesama
mukmin bahkan menjadi rahmat seluruh alam.

Sesungguhnya, saat ini kita tidak kehilangan momentum-momentum untuk kembali


memiliki atau memperbaiki jiwa dan semangat asketis yang pernah dicontohkan oleh
orang-orang mukmin terdahulu itu. Ruang publik kita masih cukup terbuka untuk
melakukannya, bahwa masih banyak para fakir miskin yang memerlukan sisihan
sebagian dari harta kita, bahwa ada orang-orang lemah yang perlu huluran tangan, dan
juga mereka yang sangat membutuhkan sekedar sandaran atau penyangga berdiri, dimana
kelebihan dari kekuatan yang kita miliki akan sangat berharga bagi mereka. Tentu saja,
kerelaan berkorban itu tercermin dalam sikap-sikap saling bantu, menyisihkan waktu dan
tenaga untuk kepentingan banyak orang sebagai wujud dari Islam rahmat bagi seluruh
alam, serta tidak egois dan semena-mena menggunakan hak tanpa mempedulikan hak
orang lainnya. Hanya saja, sikap-sikap seperti itu akan lebih terasa jika menjadi sebuah
kesadaran kolektif dalam menerapkannya, meski bukan menjadi alasan untuk tidak
melakukannya mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang!

Satu wujud yang cukup membuat kita tersenyum misalnya, ketika sekelompok
mahasiswa yang insya Allah terjaga kemurnian perjuangannya merasa terusik saat orang-
orang yang dipercaya rakyat untuk memimpin dan mengelola negeri ini justru
mengkhianati rakyat. Kesadaran kolektif yang dimiliki itu tentu menjadi contoh bahwa
semangat kerelaan berkorban jika dilakukan secara kolektif akan memberikan hasil yang
luar biasa bagi sebuah perubahan bahkan peradaban.

Maka patutlah sesegera mungkin kita melongok kedalam diri ini, adakah besarnya cinta
yang bersemayam didalam diri ini masih lebih menguasai rasa akan pemenuhan
kepentingan diri sendiri. Jika demikian, tak perlu menunggu waktu lama untuk
memperbaiki sisi-sisi cinta itu dengan membetulkannya kearah yang pernah diajarkan
Rasulullah, bahwa kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan seluruh mukmin sebagai
wujud persaudaraan diatas segala kecintaan dan kepentingan terhadap diri sendiri.

Karena bisa jadi kedepan, bukan sekedar kecerdasan intelektual tapi juga kecerdasan
emosi berupa sikap kerelaan berkorban inilah yang jauh lebih dibutuhkan, jauh lebih
penting dimiliki oleh setiap calon pemimpin, para wakil rakyat pengemban amanah
ummat selain prinsip-prinsip berkeadilan yang juga mesti dihasung. Wallahu a’lam
bishshowaab (Abi Hufha)

Tetaplah Berdaya Disaat Krisis


Publikasi 02/08/2002 10:16 WIB

eramuslim - Krisis ekonomi yang mendera negeri Zamrud khatulistiwa ini telah
mewariskan penderitaan pada masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masih
signifikannya jumlah penduduk yang miskin. Bahkan pada November 2001, Wakil
Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Jemaluddin Kassum
mengingatkan, kurang lebih tiga per lima (60 persen) penduduk Indonesia saat ini hidup
di bawah garis kemiskinan, sementara 10-20 persen hidup dalam kemiskinan absolut
(extreme poverty).

Jika definisi garis kemiskinan yang dipakai adalah pendapatan 2 dollar per hari, jumlah
penduduk miskin diperkirakan turun dari 65,1 persen tahun 1999 menjadi 57,9 persen
(tahun 2000), 56,7 persen (tahun 2001), 55,1 persen (2002), 53,4 persen (2003), 51,5
persen (2004), dan 49,5 persen (2005). Angka kemiskinan 49,5 persen tahun 2005 ini
kira-kira sama dengan level sebelum krisis, yakni tahun 1996 yang sebesar 50,1 persen.
Angka kemiskinan berdasarkan definisi yang dipakai pemerintah (Badan Pusat
Statistik/BPS) sendiri lebih kecil, yakni 27 persen tahun 1999, 15,2 persen (2000), 15,7
persen (2001), 14,6 persen (2002), 13,3 persen (2003), 12,1 persen (2004), dan 10,9
persen (2005). (Lihat Kompas, 8 November 2001)

Menghadapi problem kemiskinan tersebut, diperlukan solusi yang efektif dan adaptif
dengan kondisi masyarakat, baik bersifat individual maupun institusional. Secara
individu, setiap insan negeri ini mesti mendayagunakan seluruh potensi dirinya.
Sedangkan secara institusional, setiap lembaga baik yang berbasis bisnis maupun
kemasyarakatan, mesti menggali dan merumuskan prinsip-prinsip institusi yang terdiri
dari visi, misi, program dan kegiatan serta strategi pencapaiannya. Sehingga energi
institutional dengan kelengkapan sumberdaya yang dimilikinya, harus diarahkan untuk
mengeluarkan masyarakat dari jeratan kemiskinan. Dengan energi itulah akan lahir
solusi-solusi kreatif dalam menghadapi berbagai persoalan, khususnya yang terkait
dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah memberikan tuntutanan bagaimana cara


menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan ini. “Sesungguhnya apabila kamu
sungguh-sungguh pasti akan berhasil”. Sungguh-sungguh, dalam arti substansial antara
lain. Pertama, berniat bahwa bekerja (beraktivitas) semata-mata hanya bertujuan untuk
mengabdi kepada Allah SWT. Niat yang dilandasi dengan keikhlasan akan meningkatkan
energi dan motivasi diri untuk selalu berusaha.

Disamping itu, niat juga akan melahirkan keyakinan bahwa apapun yang telah, sedang
dan akan terjadi adalah kehendak Allah semata. Orang yang sungguh-sungguhlah yang
akan mendapatkan nilai terbaik baik dihadapan manusia maupun dihadapan Allah SWT.

Kedua, percaya bahwa Allah memberikan potensi dan kekuatan kepada setiap insan.
Sebagai bekal menghadapi tantangan dunia. “Sesungguhnya Allah tidak akan
memberikan beban yang tidak sanggup kamu memikulnya”. Potensi dan kekuatan itu
akan muncul apabila setiap insan sadar akan eksistensi dirinya. Kendati kenyataannya
ingkat kesadaran setiap insan juga terdapat perbedaan.

Oleh karenanya apabila kita ‘bedah’ terdapat empat tipologi manusia. Pertama, ada
manusia yang sadar bahwa ia punya potensi. Kedua, ada manusia yang tidak sadar bahwa
ia mempunyai potensi. Ketiga, ada manusia yang sadar bahwa potensi yang dimilikinya
terbatas. Kempat, sebaliknya ada manusia yang tidak sadar bahwa potensi yang
dimilikinya terbatas. Oleh karenanya kesadaran akan diri menjadi sangat penting guna
mengembangkan diri. Sejarah peradaban manusia juga menunjukkan bahwa hanya orang-
orang yang sadar akan dirinyalah yang mampu eksis menghadapi tantangan dinamika
dunia ini. Bahkan orang yang sadar akan dirinya pula yang akan kenal dengan pencipta-
Nya, Allah SWT.

Solusi Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya terjadi sekarang. Bahkan problem kemiskinan telah mendera
sepanjang masa. Disamping itu, penyebab kemiskinan juga beragam. Pertama,
kemiskinan karena tidak mampu mendayagunakan potensi diri dan alam yang ada.
Padahal di dalam diri setiap insan terdapat potensi akal, tenaga fisik, insting dan lain-lain.
Dengan ketiga potensi tersebut setiap insan mestinya mampu ‘memeras akalnya’ serta
mengolah apa yang ada di alam ini menjadi produk yang bermanfaat, baik bagi dirinya
maupun bagi orang lain.

Kedua, adanya hegemoni penguasa. Penguasa negeri yang bijak tidak akan membuat
kebijakan yang merugikan masyarakat. Namun akibat dominasi hawa nafsu dan
keserakahan serta keinginan untuk meraup kekayaan, berbagai upayapun ditempuh, salah
satunya melalui kebijakan. Oleh karenanya personal yang terlibat di dalam proses
pengambilan kebijakan mestilah orang-orang yang bijak. Sehingga keputusan yang
diambil betul-betul berada pada koridor penegakan keadilan, kebenaran dan kejujuran.

Dengan adanya dua penyebab terjadinya problem kemiskinan tersebut, diperlukan


strategi sebagai solusinya. Beberapa strategi yang ditawarkan antara lain. Pertama,
memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup. Kebutuhan hidup menyangkut kebutuhan
darurat seperti makanan pokok. Pemberian bantuan hidup ini bisa bersifat charity (amal)
dengan tujuan untuk memulihkan kondisi fisiknya. Namun, pemberian charity ini hanya
bersifat jangka pendek, supaya tidak terjadi ketergantungan yang berkelanjutan.

Kedua, meningkatkan kualitas pendidikan. Tujuan yang hendak dicapai adalah


bagaimana supaya terjadi peningkatan keterampilan dan keilmuan. Sehingga mampu
untuk berpikir jernih dan berkarya. Dengan pikiran jernih banyak hal yang bisa
direncanakan. Dengan keterampilan perencaan menjadi rasional. Dengan demikian
pekerjaan yang dilakukan betul-betul berdasarkan kapasitas dan kafaah keilmuan dan
keterampilan yang jelas.

Ketiga, memberikan layanan kesehatan. Setiap manusia yang ingin tetap sehat
membutuhkan layanan kesehatan. Hanya saja, karena biaya pengadaan obat-obatan dan
perawatan relatif mahal, maka tidak semua lapisan masyarakat dapat menjangkaunya.
Bagi masyarakat yang tergolong fakir dan miskin diperlukan adanya bantuan layanan
kesehatan sehingga mereka tetap tegar dan kuat untuk bekerja. Sehingga tetap mampu
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Keempat, mengembangkan potensi ekonomi. Allah SWT telah menganugerahkan


sumberdaya alam yang berlimpah. Semua yang disediakan alam tersebut mestilah diolah
sebaik-baiknya. Pengolahan sumebrdaya alam yang tidak baik serta merusak
keseimbangan alam dan lingkungan tentu akan berakibat akan terganggunya ekosistem
alam. Oleh karenanya kehendak untuk mengolah sumberdaya alam mesti dilakukan uji
kelayakan. Sehingga potensi alam yang ada betul-betul dapat dikembangkan secara
maksimal. Contoh: peternakan, pertanian dan perikanan.

Dengan keempat layanan di atas akan menunjukkan keberhasilan apabila diikat dengan
aqidah yang mantap. Karena hanya dengan kekuatan aqidahlah masyarakat akan terbebas
dari kemiskinan yang membelitnya. Kita berharap dengan makin maraknya bermunculan
institusi pemberdayaan masyarakat, problem kemiskinan dapat ditasi dengan baik.
Sehingga, jangan sampai kemiskinan tersebut menyebabkan imat meninggalkan dienul
Islam-nya. (Efri S. Bahri, efrisb@yahoo.com)

Jangan Pernah Berhenti Berdoa


Publikasi 30/07/2002 10:16 WIB

eramuslim - Orang bijak mengatakan, doa tanpa usaha adalah bohong dan usaha tanpa
doa adalah sombong. Doa dan usaha adalah dua aktifitas yang tidak bisa dipisahkan. Kita
tidak bisa hanya berdoa saja tanpa melakukan usaha semaksimal mungkin untuk
mengapai tujuan kita. Kita juga tidak bisa hanya berusaha saja, tanpa berdoa dan
mengabaikan Allah sebagai penentu berhasil atau tidaknya tujuan kita.

Doa adalah permohonan, pengharapan seorang hamba kepada Sang Khaliq. Doa itu
intinya adalah ibadah, doa adalah senjata, doa adalah obat, doa adalah pintu segala
kebaikan. Seluruh hamba sangat bergantung kepada penciptanya. Setiap hamba memang
harus berdoa, sebab kita diciptakan dalam keadaan penuh dengan keterbatasan-
keterbatasan. Manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk yang paling sempurna
dengan segala kelebihan-kelebihannya, namun dibalik kelebihan itu manusia juga
memiliki segudang kelemahan.

Bayangkan jika kita sedang berada ditengah lautan. Tiba-tiba kapal yang kita tumpangi
oleng ke kanan dan ke kiri karena badai yang tiba-tiba saja datang menghantam. Nahkoda
memberi peringatan tanda bahaya. Tidak ada tempat kita meminta bantuan karena seluruh
alat komunikasi terputus. Apakah yang akan kita lakukan pada saat itu? Masih
pentingkah gelar, kedudukan, pangkat, jabatan, harta kekayaan yang melimpah, serta
kecantikan? Tentu tidak, bagi kita keselamatan menjadi puncak harapan. Namun siapakah
yang dapat memberikan keselamatan kala itu, kalau bukan kepada Allah SWT kita
meminta?

Dibalik kelebihan-kelebihan yang kita miliki, kita menyimpan kelemahan-kelemahan


yang tidak dapat kita tutupi, untuk itu kita perlu meminta kepada Allah SWT, berdoa
dengan penuh kekhusuan, penuh harapan, tulus, pasrah dan ikhlas, seperti yang
difirmankan Allah, "Hai manusia, kamulah yang memerlukan Allah, dan Dia-lah Yang
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) Yang Maha Terpuji." (QS Faathir: 15).
Ada sebuah kisah tentang masyarakat Basrah yang waktu itu sedang dilanda kemelut
sosial. Kebetulan mereka kedatangan ulama besar yang bernama Ibrahim bin Adham.
Masyarakat Basrah pun mengadukan nasibnya kepada Ibrahim bin Adham, "Wahai Abu
Ishak (panggilan Ibrahim bin Adham), Allah berfirman dalam Al-Quran agar kami
berdoa. Kami warga Basrah sudah bertahun-tahun berdoa, tetapi kenapa doa kami tidak
dikabulkan Allah?"

Ibrahim bin Adham menjawab, "Wahai penduduk Basrah, karena hati kalian telah mati
dalam sepuluh perkara. Bagaimana mungkin doa kalian akan dikabulkan Allah! Kalian
mengakui kekuasaan Allah, tetapi kalian tidak memenuhi hak-hak-Nya. Setipa hari kalian
membaca Al-Quran, tetapi kalian tidak mengamalkan isinya. Kalian selalu mengaku cinta
kepada rasul, tetapi kalian meninggaklan pola prilaku sunnah-sunnahnya. Setiap hari
kalian membaca ta’awudz, berlindung kepada Allah dari setan yang kalian sebut sebagai
musuhmu, tetapi setiap hari pula kalian memberi makan setan dan mengikuti langkahnya.
Kalian selalu mengatakan ingin masuk syurga, tetapi perbuatan kalian justru bertentangan
dengan keinginan itu. Katanya kalian takut masuk neraka, tetapi kalian justru
mencampakkan dirimu sendiri kedalamnya. Kalian mengakui bahwa maut adalah
keniscayaan, tetapi nyatanya kalian tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Kalian sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi terhadap kesalahan sendiri kalian
tidak mampu melihatnya. Setiap saat kalian menikmati karunia Allah, tetapi kalian lupa
mensyukurinya. Kalian sering menguburkan jenazah saudaramu, tetapi kalian tidak bisa
mengambil pelajaran dari peristiwa itu."

Terakhir ia mengatakan, "Wahai penduduk Basrah, ingatlah sabda nabi, "Berdoalah


kepada Allah, tetapi kalian harus yakin akan dikabulkan. Hanya saja kalian harus tahu
bahwa Allah tidak berkenan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan main-main."

Apapun persoalan hidup kita, apakah kita sedang bahagia atau sedih, tetaplah berdoa
kepada Allah. Jangan pernah berhenti memanjatkan doa kepada Allah, karena doa adalah
masa depan kita. Doa adalah kekuatan kita, doa adalah senjata kita. Perhatikan ada-adab
berdoa, dan bersabarlah menunggu dikabulkan-Nya (elsandra/el-sandra@lycos.com)

Menikmati Hidup
Publikasi 29/07/2002 08:43 WIB

eramuslim - Hidup bukan sekedar perjalanan menuju kematian, karena kematian itu
sendiri bukan tujuan akhir sebenarnya dari setiap makhluk yang hidup. Meski jasad telah
mati, namun sesungguhnya tetap hidup sampai pada satu masa pengadilan Allah yang
maha adil memutuskan ketentuannya. Maka bukanlah kematian yang dinanti oleh yang
hidup karena sejak dimulainya hembusan nafas pertama seseorang hingga detik inipun
tengah berjalan sampai saatnya melewati satu fase yang bernama kematian itu. Tidak
berhenti hanya sampai disitu, melainkan akan terus berlalu melalui salah satu fase
berikutnya yakni saat harus mempertanggungjawabkan masa hidup mereka di dunia dan
seterusnya.
Hidup adalah satu fase dari sekian fase perjalanan yang dilewati manusia, waktunya
hanya sesaat. Rasulullah mengingatkan bahwa menjalani hidup di dunia ini layaknya
seperti orang asing atau orang yang sedang menyeberangi suatu jalan, begitu singkat.
Namun demikian tidak sedikit manusia yang tidak menyadari bagaimana memanfaatkan
waktu yang sebentar itu guna mengumpulkan bekal sebanyak dan sebaik-baiknya untuk
menempuh perjalanan fase-fase berikutnya yang tak diketahui seberapa panjang lintasan
kan ditempuh lengkap dengan terjalnya kerikil dan batu sandungan yang kerap
menghadang. Tak sedikit juga pengetahuan akan seberapa dalam dan luasnya lautan yang
mesti diarungi, serta setinggi apa pegunungan, bukit, lembah yang harus ditelusuri,
didaki.

Ketidaksadaran akan singkatnya waktu, dan ketidakmengertian akan seberapa berat


perjalanan berikutnya itu ternyata masih tak membuat kita bergegas berbenah, sigap
mengumpulkan bekal. Cobalah tengok tas bekal yang kita miliki sekarang, mungkin
masih terlalu sedikit atau bahkan kosong sama sekali. Padahal kita tak pernah tahu
sampai sejauhmana perjalanan menuju akhirat itu.

Diwaktu yang sebentar itulah masih banyak kita yang salah dalam memanfaatkan hidup
ini. Sebagian kita berpikir memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah hidup di
dunia ini untuk dinikmati sepuasnya, belum tercapai titik klimaks kepuasan sampai
kematian yang mengakhiri petualangan pencarian kepuasannya tersebut.

Allah curahkan semua anugerah dan pemberiannya kepada segenap makhluk-Nya


sebagai bentuk kasih sayang yang takkan pernah putus untuk dinikmati, termasuk hidup
itu sendiri. Sesungguhnya bersamaan dengan turunnya anugerah tersebut, Dia sertakan
juga pesan bagaimana memanfaatkannya dengan baik, benar dan tepat. Dia berikan
beragam kenikmatan untuk tidak sekedar dinikmati, melainkan juga diambil maknanya
sehingga menyadarkan diri ini untuk bersyukur. Seperti pelajaran yang diberikan Allah
kepada Sulaiman saat hendak memberi makan seluruh makhluk Allah dengan kekayaan
yang dimilikinya, atau hikmah dari perintah disembelihnya Ismail oleh ayahanda Ibrahim
yang teramat cintanya. Kepada Ayub, Allah sertakan nikmat kesabaran dan cinta
mendalam dari Rahmah istrinya, ketika cobaan penyakit berat menimpanya. Yusuf Nabi
yang diberikan nikmat keelokan paras pun memberikan pelajaran bagaimana mensikapi
hidup tidak berlebihan.

Kini giliran manusia-manusia dimana kita berada dimasanya, Allah pun tetap
memberikan anugerah kenikmatan itu tanpa kecuali. Hanya saja terkadang
ketidakmampuan menangkap makna luas kenikmatan yang diberikan-Nya itulah yang
membuat pandangan ini begitu sempit dengan menggambarkan nikmat itu sebatas rupa
dan bentuk. Maka kemudian, setiap jengkal tanah yang terlewati, setiap detik waktu yang
terpakai dan setiap tenaga yang terkuras semata untuk urusan pemenuhan kebutuhan akan
kepuasan yang singkat sesaat. Disaat yang sama kita semakin lupa membebani punggung
ini dengan bekal perjalanan panjang selanjutnya.

Sekedar mengingatkan, ketika Allah menjanjikan surga dan ampunan serta terbebas dari
azab-Nya sebagai imbalan dari jihad dengan harta dan jiwa ini, masih ada keraguan kita
akan janji itu, meski kita tahu Dialah Yang Maha menepati janji. Saat Allah menawarkan
nikmat tambahan untuk rasa syukur kita atas nikmat sebelumnya, ternyata sedikit sekali
bibir ini berucap dan memuji-Nya. Juga pertolongan dan peneguhan kedudukan yang
sudah pasti diberikan jika kita mau berkorban untuk agama-Nya, namun dimana kita saat
Islam membutuhkan uluran tangan dan tetesan darah ini, sedang apa diri ini disaat ummat
Islam di belahan bumi lain menjerit menggantang nyawa. Menggelengkan kepala adalah
jawaban untuk pertanyaan Allah bahwa nikmat manakah yang kita dustakan, tetapi
betapa lebih sering kita justru melupakannya.

Padahal ada cara yang diajarkan Rasulullah bagaimana menikmati hidup ini tanpa harus
tergelincir kepada nafsu pemuasan yang tak berkesudahan. Bayangkan cara beliau
menikmati hidup dengan prinisp secukupnya soal pemenuhan kebutuhan, tidak
berlebihan dan bersikap qona’ah. Rasa syukur yang kian hari kian meningkat seiring
dengan tak hentinya segala nikmat yang diberikan Allah, pun terlihat dari tak
berkurangnya ibadah. Kita masih bisa menambah kenikmatan hidup ini dengan melahap
bacaan ayat-ayat Allah serta melafazkan nama-Nya untuk mendapatkan satu nikmat yang
tak ternilai, ketenangan jiwa. Istri yang sholeh nan menyenangkan, anak-anak yang
membanggakan semakin bertambah nikmat hidup ini jika kita bisa membimbingnya, agar
kelak bisa menikmati kebersamaan itu dalam fase kehidupan berikutnya.

Bahkan bukan tidak mungkin kesulitan pun menjadi bagian dari kenikmatan hidup ketika
kita ridha dan memandang semua ujian adalah cara-Nya untuk berdekatan dengan orang-
orang shaleh. Sungguh nikmat yang berketerusan, terlebih jika diri ini senantiasa terjaga
untuk tetap berada pada jalur kebenaran hingga detik saat Izrail mengetuk pintu,
bukankah kita juga merindukan kematian yang dapat dinikmati? Wallahu’a’lam
bishshowaab (Hufha)

Bunga-Bunga Kehidupan
Publikasi 25/07/2002 09:19 WIB

eramuslim - Salah satu keindahan yang Allah ciptakan untuk dapat dinikmati manusia
adalah bertebarannya bunga-bunga cantik nan menyejukkan dengan aroma dan warna-
warni yang tak membosankan. Apabila musim semi tiba, perlahan kelopak-kelopak
bunga merekah seraya menyemai kecerahan hari. Kuning yang menghangatkan,
kesejukkan yang ditawarkan dari warna putih, merah yang menyala-nyala
membangkitkan gairah hidup, semua warna, semua aromanya mewarnai hidup
menambah semerbak alam tempat berpijak.

Tidak hanya bunga-bunga yang demikian yang memang diperuntukkan untuk manusia
(juga kumbang sang penikmat bunga tentunya), namun ada banyak bunga yang juga hadir
menyemangati hidup, mengiringi langkah ini dan menjadikan hari-hari yang kita lewati
begitu indah dan menyenangkan. Dari sekian melati yang bertebaran di bumi ini, ada satu
yang terindah yang telah kita petik untuk ditanam di taman hati. Dipupuk dengan segenap
cinta tanpa akhir, disirami oleh kasih sayang yang takkan habis dan dipelihara dengan
segala bentuk pengorbanan yang tak kenal lelah, maka ia pun senantiasa menjadi bunga
yang menyenangkan hanya dengan memandangnya, membasuh peluh, menghapus lelah
ketika disentuh dan menyegarkan seluruh rongga dada ketika mengecupnya sehingga
tercipta kedamaian dan ketenangan. Ya, istri atau suami yang sekarang menjadi pasangan
jiwa kita adalah bunga kehidupan.

Dari melati yang telah dipetik itu, mungkin kan datang Lily, Tulips, Mawar atau bunga-
bunga lain yang semakin meramaikan taman hati ini dengan aroma khas dan warna yang
membuat hidup terasa lebih indah. Keceriaan yang dihadirkan anak-anak selaku bunga-
bunga kecil mampu menghiasharumi hati. Mereka, bunga-bunga kecil yang dengan
keindahannya membuat kita selalu tersenyum, menjadi pelepas dahaga kedamaian dan
pengobat rindu akan kehangatan. Dengan curahan kasih sayang yang tiada henti,
sentuhan pendidikan yang tidak memenjarakan kebebasan berpikir dan memasung
kreativitasnya, semoga tetap menjadikan mereka bunga-bunga yang dapat dibanggakan,
bukan malah menjadi bunga-bunga liar yang berserakan di trotoar dan pinggir jalan.
Dengan menghiasi hati mereka akan keagungan nama penciptanya, dan kemuliaan nama
Rasulnya, akan menjadikan mereka bunga-bunga yang tak pernah kusut, layu atau
bahkan hancur oleh terjangan angin, panas, hujan ataupun buasnya unggas.

Ketika beranjak keluar melewati pagar, kita akan menemukan bunga-bunga lain yang tak
kalah indahnya, mereka tersenyum dan menyapa dengan hangatnya. Seperti kita yang
juga menjadi bunga kehidupan bagi mereka, bunga-bunga diluar pagar itupun hadir
memberikan makna kebersamaan dan saling mencintai, memberi juga mengasihi sebagai
saudara karena Allah. Jagalah kedekatan, binalah kebersamaan dengan bunga-bunga itu,
karena mereka jugalah yang mungkin akan membantu, menolong dan meringankan beban
berat ataupun terpaan badai kehidupan.

Sebanyak apapun bunga yang kita miliki, jangan juga melupakan bunga-bunga yang telah
melahirkan dan membesarkan kita menjadi bunga saat ini. Mungkin bunga-bunga itu
sudah mulai layu, atau tangkainya sudah terkulai lemah. Jangan biarkan mereka semakin
layu, sirami dengan air cinta meski yang kita miliki tak sebanding dengan air cinta yang
pernah mereka curahkan. Jadilah kaki penyangga tangkainya agar kita tetap bisa
melihatnya berdiri, segar dan melangkah berdampingan hingga Sang pencipta segala
bunga menentukan kehendaknya.

Namun ada satu bunga, yang bersemayam paling dalam di lubuk hati ini, yang tak boleh
kita biarkan tak tersirami oleh air yang tercipta dari rangkaian indah nama-nama Sang
Pencipta segala bunga, dari berdiri, duduk dan sujud yang kita tegakkan, dari senandung-
senandung yang menyuarakan ayat-ayat-Nya dan dari rasa berserahdiri akan segala
kehendak dan ketentuan-Nya. Ialah bunga kehidupan utama yang tanpanya takkan
berarti, takkan terasa indah, takkan menyejukkan aroma bunga lainnya, seindah dan
seharum apapun bunga-bunga yang lain itu. Hingga jika bunga utama itu kuat, ia pun
akan menguatkan diri ini sehingga teramat tegar menepis duri-duri kemaksiatan yang
menyakitkan, atau unggas-unggas kejahatan agar menjauh dari taman hati ini. Dengan
keindahan dan kedamaian yang kita tawarkan selaku bunga, kita dapat memperbanyak
bunga-bunga baru untuk hadir dan bersama-sama saling menjadi bunga kehidupan di
taman hati masing-masing. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Abi Iqna, teruntuk bunga-
bunga di taman hatiku)

Hidup Penuh Arti


Publikasi 24/07/2002 16:51 WIB

eramuslim - Selasa (23/7) dini hari waktu setempat, sebuah serangan udara
menghancurkan beberapa bangunan dan menewaskan 12 orang termasuk anak-anak dan
wanita, serta melukai 150 orang lainnya. Diantara yang syahid ialah Shalah Syahada,
Komandan Izzudin Al Qassam, salah satu tokoh pendiri Hamas. Pria berusia 50 tahun itu
menjemput syahid bersama istri dan ketiga anaknya dalam insiden membabi buta militer
Israel. Syahidnya tokoh besar Hamas tersebut menimbulkan kemarahan para pejuang
Hamas tidak terkecuali anak-anak dan kaum wanita. Hari ini, prosesi pemakaman Shalah
Syahada dan sebelas syuhada Palestina lainnya dipadati tidak kurang dari 300 ribu
pendukung Palestina. Dilaporkan, puluhan ribu pejuang antri di depan rumah sakit
dimana para pejuang yang syahid tersebut disemayamkan untuk ‘berebut’ menggotong
jenazah sang syahid.

6 Februari 1993, hujan air mata mengguyur tanah Indonesia. Dalam usia 84 tahun,
seorang tokoh besar ummat Islam menghembuskan nafas terakhirnya. Pak Natsir telah
pergi, begitu bunyi headline beberapa harian besar di ibukota. Sebagian kita mungkin
masih belum bisa melupakan betapa membludaknya iring-iringan massa yang
menghantarkan jenazah Mohammad Natsir (Allahuyarham Pak Natsir) ke tempat
peristirahatannya.

Air mata ini pastilah kan mengalir tatkala mengingat kembali kisah detik-detik menjelang
wafatnya Rasulullah Muhammad saw, manusia mulia nan agung yang dicintai segenap
ummatnya. Betapa tidak, sampai detik terakhir hidupnya, ketika Izrail, Jibril dan seluruh
malaikat berkumpul mengelilingi Rasulullah yang terkulai lemas di pembaringan, beliau
masih khawatir akan keadaan ummatnya sepeninggalnya. Pancaran ketenangan pun
menyemburat memancar dari wajahnya saat Jibril mengkhabarkan bahwa tidak ada
ummat yang akan menginjakkan surga sebelum ummat Muhammad. Meski pada saat
bersamaan derasnya sungai airmata mengalir membasahi pipi Fatimah Az Zahra.

“Orang besar adalah mereka yang hidupnya untuk (kepentingan) orang banyak, dan
ketika mati, ia akan senantiasa dikenang juga sebagai orang besar. Orang kerdil adalah
yang hidupnya untuk dirinya sendiri, maka ketika mati ia pun tetap sebagai orang kerdil”.
Nasihat yang begitu bermakna yang terlontar dari mulut seorang pejuang muslim pendiri
Gerakan Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan Al Banna. Setidaknya sang Imam pun
membuktikan kata-katanya, puluhan tahun setelah kepergiannya pada tahun 1948 dalam
usianya yang masih relatif muda, 42 tahun, oleh terjangan sebutir peluru, hingga kini ia
masih tetap dikenang sebagai orang besar yang tidak bisa lepas dari wacana pergerakan
dan perjuangan Islam di Mesir dan di seluruh penjuru dunia Islam.
Masih banyak nama-nama besar yang terukir bersamaan dengan gejolak perjuangan ini,
DR. Abdullah Azzam, ahli bom pejuang Mujahidin Afghanistan pada masa perang
melawan Uni Soviet. Syamil Basayev sang tokoh pejuang Chechnya, Ayatullah
Khomeini, pemimpin Revolusi Iran dan masih banyak nama-nama lainnya.

Mereka, menjadi orang besar dan senantiasa dikenang sepanjang hayat manusia di bumi
Islam karena mereka telah mendedikasikan seluruh hidup mereka untuk ummat, untuk
Islam dan untuk Allah. Allah menjadikan mereka sebagai penyemangat perjuangan,
pembunuh demotivasi, pembangkit ghirah, dan juga sebagai inspirasi bagi deretan
panjang calon-calon mujahid di seluruh pelosok bumi. Meski tidak harus memanggul
senjata, namun mereka telah memberi makna bagaimana hidup penuh arti, sehingga
kematianpun akan sangat berkesan bagi siapapun yang ditinggalkan. Insya Allah, dengan
segala kekuatan dan izin Allah, masih terdapat antrian panjang calon-calon pengukir
sejarah perjuangan kaum muslim. Adakah diri ini dalam antrian panjang tersebut?
Wallahu’alam bishshowaab (Abi Iqna).

Selamat Datang Pagi


Publikasi 23/07/2002 09:01 WIB

eramuslim - Entah sudah berapa ratus syair tergubah yang terinspirasi oleh indahnya
pagi, dari Cat Stevens sampai si imut Tasya pun bersenandung pagi. Juga, mungkin sudah
jutaan kata terangkai menjadi puisi-puisi indah tentang pagi, satu bentuk
Kemahasempurnaan hasil kreasi Allah dari jumlah yang tak terhingga
kemahasempurnaan lainnya yang semuanya diperuntukkan bagi hamba-Nya tanpa
mengharap imbalan apapun. Bahkan jika hamba-hamba itu bersyukur dan memuji,
pastilah Dia akan menambahkan nikmat-nikmat itu. Maha Suci Allah atas nikmat pagi
dengan segala keajaibannya.

Dengarlah kicau burung-burung bernyanyi, setelah sebelumnya unggas lainnya berlomba


saling bersahut memecahkan keheningan fajar. Titik-titik embun di dahan berjatuhan
membasahi tanah seiring bergulirnya sang mentari menatap bumi, memberi isyarat
kepada manusia untuk segera memulai hari yang teramat cerah. Maka, siapapun yang
tetap terlena berselimut tebal, pastilah dia orang-orang yang merugi bahkan kesuksesan
pun makin menjauh.

Selamat Datang Pagi, sebaiknya cukup dalam hati saja mengucapkannya. Patutlah kita
mensyukuri nikmat Allah yang satu ini, karena pagi begitu memberikan harapan bagi
segenap makhluk, termasuk bagi manusia yang bercita-cita meraih sukses dan
kemenangan, semuanya bermula di pagi hari. Jika saja, ayam-ayam jantan sudah
menyambut awal kemenangannya dengan lantang di waktu fajar, sementara sang betina
dengan sabar menggiring anak-anak mereka mencari makan. Burung-burung hilir mudik
terbang kesana kemari mengitari alam, kicaunya yang tak henti mengiringi kepakan
sayap mereka mencari dahan-dahan tempat berpijak untuk kemudian terbang kembali ke
sangkar mereka dengan setumpuk makanan di paruhnya untuk diberikan kepada anak-
anak mereka. Binatang-binatang melata ditanah pun menggeliat, mereka teramat tahu
bahwa tanpa geliat itu mereka takkan mendapatkan rizki untuk bisa bertahan hidup.
Sungguh, masih adakah manusia yang tetap bermalas dengan badan lurus terlentang
merapat di ranjang hangat? Tentu mereka orang-orang yang jauh dari rizki dan
kesuksesan.

Selain itu, datangnya pagi hari ini juga wajib kita syukuri karena belum tentu esok kita
kan menikmati keindahannya, atau bahkan mungkin esok mentari terbit dari arah yang
berlawanan dari arah yang biasanya. Itu berarti, bisa jadi ini adalah pagi terakhir yang
dapat kita rasa, dan sentuhan hangat mentari pagi ini juga yang terakhir bagi kita. Oleh
karena itu, bangkitlah segera dan mulailah hari ini dengan penuh semangat karena
mungkin saja semangat kita tak berguna lagi di esok hari. Raihlah prestasi sebaik-baiknya
hari ini, baik prestasi dunia maupun prestasi sebagai bekal di akhirat, karena boleh jadi
kecemerlangan amal dan prestasi hari ini yang tercatat sebagai amal yang menyelematkan
kita dari azab-Nya.

Jika memang ini pagi terakhir, tentu bukan menjadi alasan untuk menghabiskan hari
dengan berpangku tangan tanpa berbuat satu apapun. Bekerjalah seolah akan hidup
selamanya dan beribadahlah seakan esok ajal kan datang, satu nasihat yang bagus untuk
didengarkan. Ada keseimbangan yang patut dipertahankan dalam hidup ini, meski
waktunya pun tinggal sehari. Rasulullah pernah menegur salah seorang dari pengikutnya
yang selalu berada di masjid sepanjang hari, dan menyuruhnya untuk keluar bekerja
mencari nafkah.

Mencari rizki maupun mencari ilmu terus menerus tanpa kenal patah semangat untuk
memacu prestasi, dan pada saat-saat yang sudah ditentukan kita duduk bersimpuh,
merapatkan kening diatas bentangan sajadah, mengadu dan memohon dikuatkan hati
dalam menggapai segala harapan. Kemudian bersegera kembali meneruskan pekerjaan
sambil tak hentinya hati dan bibir ini menyebut nama Allah sebagai sumber kekuatan.
Hingga senja pun hadir, semburat cahaya kemerahan yang terlukis di langit
menghantarkan kita merenda lelah. Dan malam pun tiba menawarkan kesejukannya
seiring terpejamnya mata, mengumpulkan tenaga untuk kembali menyambut pagi yang
senantiasa menjanjikan harapan. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Abi Iqna)

Indahnya Cinta karena Allah


Publikasi 22/07/2002 10:47 WIB

eramuslim - Sesungguhnya dalam Islam, cinta dan keimanan adalah ibarat dua sisi mata
uang. Antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Cinta tidak dapat
digambarkan tanpa iman. Dan iman pun tidak dapat dibayangkan tanpa cinta. Dengan
cinta dan keimanan inilah hati setiap mukmin yang satu dengan lainnya terikat kuat. Bila
mukmin yang satu sakit, maka mukmin yang lain pun merasakan hal yang sama.
Karenanya, tak berlebihan bila seorang ulama Mesir yang telah syahid, Al Ustadz Imam
Hasan Al-Banna mengatakan bahwa dengan dua sayap inilah Islam diterbangkan
setinggi-tingginya ke langit kemuliaan. Bagaimana tidak, jikalau dengan iman dan cinta,
persatuan ummat akan terbentuk dan permasalah pun akan terpecahkan.
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at
kepada Allah dan Rosul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya
Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. At Taubah : 71).

Hal itu juga tidak lain karena orang mukmin itu laksana sebuah bangunan. Bagian yang
satu akan mengokohkan bagian yang lain. Sebaliknya, jika bagian yang satu hancur,
maka yang lain pun akan merasakan kehancurannya. Karena itu, hadits Rasulullah saw
juga menegaskan: "Gambaran orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling
mengasihi, dan saling berempat di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh,
jika ada sebagian dari anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh akan ikut
merintih, merasakan demam, dan tak bisa tidur."

Sejarah Islam telah menggoreskan pena emasnya, betapa para generasi pendahulu kita
mempunyai kehidupan yang sangat mulia dan jarang kita temui dalam kehidupan kita
saat ini. Mereka selalu saling tolong menolong, sepenanggungan dalam suka dan duka,
mempunyai rasa empati yang tinggi, dan selalu mengutamakan kepentingan saudara
seimannya daripada kepentingannya sendiri (itsar).

Abu Bakar as Shiddiq, misalnya, beliau rela menginfaqkan seluruh hartanya demi
kejayaan Islam. Ketika Rasulullah saw menanyakan pada beliau, "Harta apakah yang
kamu tinggalkan untuk anak-anakmu?" Beliau menjawab, "Saya tinggalkan Allah dan
Rasul-Nya untuk mereka." Karena kedermawanan dan keikhlasan Abu Bakar inilah,
maka Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada harta seorang pun yang memberikan manfaat
kepadaku melebihi harta Abu bakar."

Kaum Anshor pun tak kalah tingginya memiliki sifat itsar. Dalam sebuah kisah
disebutkan bahwa suatu hari kaum Anshor datang menemui Rasulullah saw
mengutarakan pendapatnya, "Wahai Rosulullah bagilah menjadi dua tanah yang kami
miliki untuk kami dan saudara kami muhajirin". Rasulullah menjawab, "Jangan lakukan
itu, tapi cukupilah kebutuhan mereka dan bagilah hasil panen kepada mereka.
Sesungguhnya tanah ini adalah milik kalian". Maka kaum Ansor berkata, "kami ridho
atas keputusan engkau wahai Rasulullah."

Dalam kisah lain juga disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw menawarkan
kepada para sahabat, siapakah di antara mereka yang bersedia menjamu tamu Rasulullah
saw, maka salah seorang dari kaum Anshor berdiri dan menyatakan kesediaannya.
Padahal, ketika ia pergi enemui keluarganya, teryata istrinya mengatakan bahwa mereka
tidak mempunyai makanan, kecuali untuk anak-anaknya. Maka, orang Anshor ini
mengatakan kepada istrinya, "Kalau begitu, bila anak-anak hendak makan malam,
tidurkanlah mereka. Dan kemarilah kamu, matikan lampu, tidak apa-apa kita tidak makan
pada malam ini."

Pagi-pagi sekali, ketika orang Anshor ini datang kepada Rasululloh saw, bersabdalah
beliau, "Allah kagum atas perbuatan si fulan dan fulanah." Maka Alloh swt berfirman:
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-
apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa
yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung." (Qs.Al Hasyr :9).

Akhlaq mulia kaum Anshor dalam mengutamakan kepentingan kaum muhajirin tidak
hanya sampai di situ. Dalam hadits disebutkan bahwa kaum Anshor berkata kepada kaum
Muhajirin agar mereka memilih salah satu dari dua istrinya yang mereka senangi.
Kemudian kaum Anshor akan menceraikan istri tersebut lalu menikahkannya dengan istri
yang telah diceraikannya itu.

Sifat itsar juga melahirkan refleks-refleks yang tidak dibuat-buat, tapi murni dari hati
yang salim (bersih). dalam satu peperangan dikisahkan, seorang mukmin terkena pukulan
pedang musuh di tengkuknya. Ia tidak berteriak atau mengaduh karena sakit, tapi ia
langsung jatuh tersungkur dan pada akhirnya syahidnya menjemputkan . Tetapi yang
menakjubkan ketika mukmin itu terpukul pedang tersebut, justru mukmin lain yang
melihatnya lah yang mengaduh kesakitan dan merasakan perihnya ketajaman pedang
menembus tubuhnya, seakan-akan pukulan itu mengenai dirinya. Dan ucapan yang
terlontar dari mulut mukmin yang mengaduh tersebut adalah, "Saudaraku, engkau
mendahuluiku menuju surga!" Ucapan itu merupakan refleksi kebahagiaan dari seorang
mukmin melihat indahnya ‘masa depan’ yang akan dialami oleh mukmin lainnya.

Kisah lain yang tak kalah mengesankan indahnya ukhuwah adalah suatu ketika sepasukan
dari kaum muslimin keluar untuk berperang. Posisi antara pasukan kaum muslimin
dengan musuh terbatasi oleh sebuah sungai. Kedua pasukan tersebut saling berhadapan.
Komandan pasukan muslim berkata, "Bagaimana pendapat kalian menghadapi musuh-
musuh kalian, sementara mereka bisa memperoleh perbekalan dan air tanpa harus susah
payah? Bagaimana pendapat kalian?" Salah seorang dari mereka kemudian menjawab,
"Kita seberangi saja sungai ini, lalu kita perangi mereka di tempat mereka berada."
Mereka pun akhirnya menceburkan diri bersama kuda-kuda mereka melintasi sungai agar
dapat bertempur dengan musuh. Di depan mereka terlihat pasukan musuh sudah siap
siaga untuk menghunuskan pedang mereka. Tiba-tiba, salah seorang di antara pasukan
kaum muslimin ada yang berteriak, "Qab (Kantung air bejana yang terbuat dari kayu) –
ku……… Qab-ku…jatuh ke air". Sang komandan pun berkata, "Carilah dulu Qab milik
saudara kalian yang hilang". Mereka pun sibuk mencarinya. Sementara, pasukan musuh
sedang menanti mereka dan kematian pun mengitari kepala mereka. Ketika komandan
pasukan musuh itu melihat perilaku pasukan muslim, ia berkata, "Apa-apaan mereka
itu?" Bawahannya menjawab, "Salah seorang dari mereka kehilangan Qab-nya, dan
mereka pun sibuk mencarinya."

Komandan ini pun berkata, "Jika karena masalah Qab saja mereka sudah seperti itu, lalu
bagaimana jika kalian membunuh salah seorang saja dari mereka? Pasukan.......!
Berdamai sajalah dengan mareka sesuai dengan apa yang mereka inginkan!"
Subhanallah, demikianlah sejarah kaum salaf telah memperlihatkan kepada kita bahwa
kumpulan manusia itu seluruhnya adalah laksana satu tubuh, melakukan aktivitas yang
satu, serta merasakan perasaan yang sama, walau pun dalam kondisi yang teramat sulit.
Dan Betapa 'pancaran ukhuwah' saja telah mampu mengalahkan musuh dan
memenangkan kaum mukminin, sekaligus menaklukkan kota itu.

Itulah buah dari persaudaraan dan kesatuan yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Kemesraan ukhuwah seperti itu tidaklah terbentuk begitu saja, sikap takaful (saling
membantu) yang mereka lakukan terbentuk karena ada proses lain yang sebelumnya
mereka jalin. Kemesraan ukhuwah tersebut mereka mulai melalui proses ta’aruf atau
saling mengenal. Dari mulai fisik, karakter, kadar keseriusan taqarruf (kedekatan) pada
Allah, kesenangannya, latar belakang keluarga, dan sebagainya.

Ta’aruf yang baik akan meminimalisir kekeringan dan keretakan hubungan sesama
muslim. Ia juga dapat membuat hati menjadi lembut serta mampu melenyapkan bibit
perpecahan. Bila wilayah ta’aruf telah terbentang, maka akan tumbuh sifat tafahum
(saling memahami). Sikap tafahum akan menjaga kesegaran dalam berukhuwah. Karena,
ketika keterpautan hati telah terjalin maka timbul sikap saling toleransi, dan saling
kompromi pada hal-hal yang mubah (boleh) sehingga akan membuat hubungan satu sama
lain menjadi lebih harmonis. Puncak tafahum adalah ketika seorang mukmin dengan
mukmin lainnya dapat berbicara dan berpikir dengan pola yang sama.

Setelah dua proses itu berjalan barulah terbentuk sikap takaful yang darinya lahir sifat
itsar, puncak amal ukhuwah Islamiyah.

Sungguh, kemesraan 'pancaran ukhuwah' yang telah dicontohkan oleh generasi dahulu
adalah ukhuwah Islamiyah yang tak lapuk oleh waktu dan musim. Ia akan panjang usia
dan kekal hingga hari akhirat kelak. Oleh karenanya, patutlah kita bercermin pada
generasi awal Islam dan para salafussalih dalam berukhuwah. Dengan demikian,
'pancaran ukhuwah' yang demikian tingginya dimiliki oleh mereka, tidaklah sekedar
menjadi kisah yang sering kita dengar dan kita baca, tetapi juga menjadi bagian dari
hidup kita, Insya Allah.

"Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang
pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi
dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika ditanya oleh para
sahabat, Rosulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai
karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah". (HR.
Tirmidzi). Wallahu’alam bishshowaab. (Nurul Huriah Astuti, Schleidener Strasse 58
52076 Aachen, Germany, e-mail: nurulha@t-online.de)

Sumber :
1. Hadits Tsulatsa, Ceramah-ceramah Hasan Al-Banna, Intermedia, Februari 2000 2.
Majalah Tarbawi, Edisi 2 Th I, 20 Juli 1999 M / 7 Robi’ul Akhir 1420 H 3. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4, Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Gema Insani, Jakarta 2000
Bergegaslah Bangun Dari Mimpi
Publikasi 19/07/2002 09:07 WIB

eramuslim - Ada satu cerita yang boleh diragukan kebenarannya, ini berkisar tentang
seorang anak di Amerika Serikat yang saat masih duduk di bangku sekolah dasar terpilih
menjadi Golden Boy atau anak bangsa negeri Paman Sam itu. Saat upacara pemberian
penghargaan oleh Presiden AS saat itu, sang anak menjawab dengan enteng, “Saya akan
menjadi presiden AS kelak” saat dirinya ditanya sang Presiden tentang cita-cita yang
ingin dicapainya. Beberapa puluh tahun kemudian, mimpinya terwujud dan dia menjadi
presiden ke 42 negara adidaya tersebut setelah sebelumnya menjadi Walikota di negara
bagian Arkansas, dialah William Jefferson Clinton atau yang biasa dikenal dengan Bill
Clinton.

Terlepas dari benar tidaknya cerita diatas, tidaklah penting untuk diselidiki. Justru ada
satu cerita lagi yang patut disimak, yakni tentang Tsubasa si pemilik tendangan gledek
yang bersama kawan-kawannya, Misaki dan Wakabayashi menjadi pemain profesional
dalam film kartun buatan Jepang tahun 1982. Dua puluh tahun kemudian, masyarakat
Jepang seperti mewujudkan mimpi mereka ketika Tsubasa dan kawan-kawannya
menjelma menjadi Hidetoshi Nakata, Inamoto dan sederet anggota tim nasional Negeri
Sakura dalam Putaran Final Piala Dunia 2002 yang baru saja berlalu.

Di awal tahun 1990-an pernah beredar satu film yang berjudul First Knight, yang intinya
bercerita tentang seorang jagoan kampung yang akhirnya masuk dalam jajaran Ksatria
Utama sebuah kerajaan. Masih banyak cerita orang-orang besar lainnya baik itu kejadian
nyata maupun hanya cerita-cerita dari film. Bahkan jika tak berlebihan, Nabi Allah Yusuf
alaihi salam pun memulai segalanya dari mimpi saat ia masih kecil maupun ketika
menta’wilkan mimpi seseorang dipenjara.

"Gantungkan cita-citamu setinggi langit", anda pasti masih ingat pesan klasik yang sering
kita dengar keluar dari mulut guru-guru saat di Taman Kanak-Kanak atau sekolah Dasar.
Para guru kita itu tidak salah, mereka tahu betul bahwa kita bisa mencitakan diri ini
setinggi apapun kita mau. Namun ada syaratnya, Think Globally Act Locally, kalimat
lama yang mungkin tidak asing lagi ditelinga kita. Orang-orang besar yang kita kenal
yang mungkin memulai segalanya dari sebuah mimpi (catatan: mimpi tidak selalu hadir
dalam tidur) senantiasa memulai dengan menapaki satu persatu langkah didepan yang
paling mudah dilakukan, yang terjangkau untuk diraih, yang paling mungkin untuk
dikerjakan. Bukan sesuatu yang jauh dari pandangan, dan bukan pula yang tidak mungkin
bahkan dengan mimpi sekalipun.

Kemudian yang terpenting adalah visi yang jelas terbentang kedepan yang tapak-
tapaknya bisa dilalui hingga mencapai apa yang kita cita-citakan. Rasulullah pernah
mengingatkan para sahabat dengan menggambar seorang manusia ditanah, kemudian
beliau membuat garis persegi sehingga membingkai gambar tersebut. Dari gambar
tersebut rasul menarik garis lurus keatas seraya menjelaskan bahwa manusia memiliki
keterbatasan dan garis keatas itu menunjukkan agar manusia tidak berpanjang angan
melewati keterbatasan yang dimilikinya. Jelas, bertekad untuk mewujudkan cita-cita
(mimpi) dengan mengerahkan segenap kesungguhan dan melakukannya secara bertahap
sangat berbeda dengan berangan-angan tanpa melakukan satu apapun, karena itu berarti
anda masih terus bermimpi.

Bergegaslah bangun dari mimpi, atau engkau akan kehilangan keindahan yang tengah
engkau genggam … (salah satu kalimat dari syair lagu Ebiet G Ade). Wallahu ‘a’lam
bishshowaab (Abi Iqna)

You might also like