Professional Documents
Culture Documents
1. Sistem
Sistem adalah suatu organisasi besar yang menjalin berbagai subyek dan obyek serta
perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu.
Dumairy (1996), sistem ekonomi adalah sistem yang mengatur serta menjalin hubungan
ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan.
Selanjutnya sistem ekonomi berkaitan dengan falsafah, padangan dan pola hidup masyarakat
tempatnya berpijak.
Sistem ekonomi:
Sheridan (1998), economic system refers to the way people perform economic activities in
their search for personal happiness.
Sanusi (2000) sistem ekonomi merupakan suatu organisasi yang terdiri dari sejumlah
lembaga/pranata (ekonomi, sosial dan ide) yang saling mempengaruhi yang ditujukan ke arah
pemecahan masalah pokok setiap perekonomian, produksi, distribusi, konsumsi. Perbedaan
antar sistem ekonomi dilihat dari ciri:
a) Kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkan
Sistem ekonomi suatu negara dikatakan bersifat khas sehingga dibedakan dari sistem
ekonomi yang berlaku atau diterapkan di negara lain. Berdasarkan beberapa sudut tinjauan
seperti :
Sistem ekonomi leiberal-kapitalis adalah suatu sistem yang memberikan kebebasan yang
besar bagi pelaku-pelaku ekonomi untuk melakukan kegiatan yang terbaik bagi kepentingan
individual atau sumber daya-sumber daya ekonomi atau faktor produksi. Secara garis besar,
ciri-ciri ekonomi liberal kapitalis adalah sebagai berikut :
Dalam sistem ini yang menonjol adalah kebersamaan, dimana semua alat produksi adalah
milik bersama (negara) dan didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.
Sistem ekonomi campuran ini adalah merupakan kombinasi ‘logis’ dari ketidaksempurnaan
kedua sistem ekonomi diatas. Selain resesi dunia tahun 1930-an telah menjadi bukti ketidak
sanggupan sistem liberalis, lengah gorbachev dan bubarnya kelompok negara-negara
komunis, menjadi bukti pula kerapuhan sistem etatisme.
Sistem perekonomian nasional yang merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan UUD
1945 yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan dari, oleh, dan untuk rakyat di
bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah.
Landasan
Idiil : Pancasila
Konstitusional : UUD 1945
1) Sistem free fight liberalism, yaitu sistem persaingan bebas yang saling
menghancurkan dan dapat menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa
lain
2) Sistem etatisme; Negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta
mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor
negara.
3) Monopoli; Pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok yang merugikan
masyarakat
Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang
sehat.
Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas
hidup.
Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
Badan Usaha yang modalnya sebagian besar atau seluruhnya dari negara
BENTUK BUMS :
1. Koperasi
sumber :
http://www.slideshare.net/mangabdul/sistem-ekonomi-indonesia 19/02/2011
Setiap Negara memiliki sistem ekonomi yang berbeda. Seperti Negara barat yang memiliki
system ekonomi kapitalis, maupun Negara bagian timur yang menganut sosialis. Bagaimana
dengan Indonesia ? Mengarah kemana ? Kapitalis-kah atau sosialis ?
Menurut Landasan idiil Sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila. Artinya sitem ekonomi
itu berorientasi kepada :
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang
berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34. Ada
beberapa rumusan tentang Ekonomi Pancasila.
A. Rumusan Mubyarto :
1. Sistem Ekonomi yang khas Indonesia sebaiknya berpegang pada pokok- pokok
pikiran yang tercantum dalam Pancasila
2. Dari Pancasila, sila keadilan sosial yang paling relevan untuk ekonomi.
3. Sila keadilan sosial mengandung dua makna : Prinsip pembagian pendapatan yang
adil dan Prinsip demokrasi ekonomi
4. Pembagian pendapatann masa penjajahan tidak adil, karena ekonomi berlangsung
berdasarkan free fight liberalisme
5. Prinsip demokrasi ekonomi ditegaskan (diatur) dalam UUD 1945 pada pasal-pasal 23,
27, 33, 34.
1. Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. Contoh hajad
hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak / BBM, pertambangan /
hasil bumi, dan lain sebagainya.
2. Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan
pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak
terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua
pihak yakni pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan
saling mendukung.
3. Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh
semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat.
4. Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas
kekeluargaan antar sesama manusia.
Secara pasti SEP merupakan landasan normatif-imperatif yang mengandung tuntunan etik
dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang
kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan
satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.
PENDAHULUAN
Dalam perkembangan globalisasi seperti kita saksikan saat ini ternyata tidak makin mudah
menyajikan pemahaman tentang adanya sistem ekonomi Indonesia. Kaum akademisi Indonesia
terkesan makin mengagumi globalisasi yang membawa perangai “kemenangan” sistem kapitalisme
Barat. Sikap kaum akademisi semacam ini ternyata membawa pengaruh besar terhadap sikap kaum
elit politik muda Indonesia, yang mudah menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan
ideologi kerakyatan yang melandasinya.
Pemahaman akan sistem ekonomi Indonesia bahkan mengalami suatu pendangkalan tatkala sistem
komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan runtuh. Kemudian dari situ ditarik kesimpulan
kelewat sederhana bahwa sistem kapitalisme telah memenangkan secara total persaingannya
dengan sistem komunisme. Dengan demikian, dari persepsi simplisistik semacam ini, Indonesia
pun dianggap perlu berkiblat kepada kapitalisme Barat dengan sistem pasar-bebasnya dan
meninggalkan saja sistem ekonomi Indonesia yang “sosialistik” itu.
Kesimpulan yang misleading tentang menangnya sistem kapitalisme dalam percaturan dunia ini
ternyata secara populer telah pula “mengglobal”. Sementara pemikir strukturalis masih
memberikan peluang terhadap pemikiran obyektif yang lebih mendalam, dengan membedakan
antara runtuhnya negara-negara komunis itu secara politis dengan lemahnya (atau kelirunya) sistem
sosialisme dalam prakteknya.
Pandangan para pemikir strukturalis seperti di atas kurang lebihnya diawali oleh fenomena
konvergensi antara dua sistem raksasa itu (kapitalisme dan komunisme) a.l. seperti dkemukakan
oleh Raymond Aron (1967), bahwa suatu ketika nanti anak-cucu Krushchev akan menjadi “kapitalis”
dan anak-cucu Kennedy akan menjadi “sosialis”.
Mungkin yang lebih benar adalah bahwa tidak ada yang kalah antara kedua sistem itu. Bukankah
tidak ada lagi kapitalisme asli yang sepenuhnya liberalistik dan individualistik dan tidak ada lagi
sosialisme asli yang dogmatik dan komunalistik.
Dengan demikian hendaknya kita tidak terpaku pada fenomena global tentang kapitalisme vs
komunisme seperti dikemukakan di atas. Kita harus mampu mengemukakan dan melaksanakan
sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yaitu untuk mencapai
kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan hak dan
tanggung jawab global kita.
Globalisasi dengan “pasar bebas”nya memang berperangai kapitalisme dalam ujud barunya.
Makalah ini tidak dimaksudkan untuk secara khusus mengemukakan tentang hal-hal mengapa
globalisasi perlu kita waspadai namun perlu dicatat bahwa globalisasi terbukti telah menumbuhkan
inequality yang makin parah, melahirkan “the winner-take-all society” (adigang, adigung, aji
mumpung), disempowerment dan impoversishment terhadap si lemah. Tentu tergantung kita,
bagaimana memerankan diri sebagai subyek (bukan obyek) dalam ikut membentuk ujud globalisasi.
Kepentingan nasional harus tetap kita utamakan tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Yang
kita tuju adalah pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan di Indonesia.
Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan
yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia
(berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam
ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak);
serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan
kemakmuran orang-seorang).
Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan
merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar
Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.
Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi
ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal
33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik yuang
berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi
Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-
butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan “dikembalikan” ke dalam Pasal-Pasal asli
UUD 1945.
Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan
rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang
dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan
bergotong-royong.
Pancasila hampir-hampir tidak terdengar lagi. Seolah-olah orang Indonesia merasa tidak perlu
Pancasila lagi sebagai ideologi negara. Tanpa suatu ideologi negara yang solid, suatu bangsa tidak
akan memiliki pegangan, akan terombang-ambing tanpa platform nasional yang akan memecah-
belah persatuan. Pancasila merupakan “asas bersama” (bukan “asal tunggal”) bagi pluralisme
Indonesia, suatu common denominator yang membentuk kebersamaan.
Sistem Eknomi Pancasila pun hampir-hampir hilang dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Bahkan
demikian pula Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ideologinya akan dihilangkan. Apa yang
sebenarnya terjadi?
Perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 (terutama Ayat 1-nya) sudah dimulai sejak awal. Yang
paling pertama dan monumental adalah perdebatan pada tanggal 23 September 1955 antara Mr.
Wilopo, seorang negarawan, dengan Widjojo Nitisastro, mahasiswa tingkat akhir FEUI.
Di dalam perdebatan itu kita bisa memperoleh kesan adanya bibit-bibit untuk ragu meminggirkan
liberalisme sebagai peninggalan kolonial serta menolak koperasi sebagai wadah kekuatan rakyat
dalam keekonomian nasional, betapapun hanya tersirat secara implisit, dengan memadukan tujuan
untuk mencapai “peningkatan pendapatan perkapita” dan sekaligus “pembagian pendapatan yang
merata”, sebagaimana (tersurat) dikemukakan oleh Widjojo Nitisastro.
Di awal penyajiannya dalam debat itu, Widjojo Nitisastro menyatakan adanya ketidaktegasan akan
Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, kemudian mempertanyakannya, apakah ketidaktegasan ini disebabkan
oleh “kontradiksi inheren” yang dikandungnya (karena masih mengakui adanya perusahaan swasta
yang mengemban semangat liberalisme, di samping perusahaan negara dan koperasi), ataukah
karena akibat tafsiran yang kurang tepat. Pertanyaan Widjojo Nitisastro semacam itu sebenarnya
tidak perlu ada apabila beliau menyadari makna Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 dan mengkajinya
secara mendalam.
Di samping itu, menurut pendapat saya, Widjojo Nitisastro alpa memperhatikan judul Bab XIV UUD
1945 di mana Pasal 33 (dan Pasal 34) bernaung di dalamnya, yaitu “Kesejahteraan Sosial”, sehingga
beliau terdorong untuk lebih tertarik terhadap masalah bentuk-bentuk badan usaha (koperasi,
perusahaan negara dan swasta) daripada terhadap masalah ideologi kerakyatan yang dikandung di
dalam makna “Kesejahteraan Sosial” itu. Akibatnya beliau alpa pula bahwa yang paling utama
berkaitan dengan kesejahteraan sosial adalah “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak” (ayat 2 Pasal 33 UUD), di luar cabang-cabang produksi itu
(ditegaskan Bung Hatta) swasta masih memperoleh tempat.
Terlepas dari itu Widjojo Nitisastro pada tahun 1955 itu telah menekankan pentingnya negara
memainkan peran aktif dalam pengendalian dan melaksanakan pembangunan ekonomi (alangkah
baiknya apabila kaum Widjojonomics saat ini mengikuti pandangan Widjojo yang dikemukakannya ini,
yang saya anggap bagian ini tepat sekali).
Sementara Mr. Wilopo menangkap ide kerakyatan dan demokrasi ekonomi (istilahnya: mengikuti jalan
demokratis untuk memperbaiki nasib rakyat). Beliau mendukung agar negeri ini tidak berdasarkan
konsep liberalisme ekonomi sebagai bagian dari pelaksanaan Asas-Asas Dasar (platforms) yang
dianut oleh konstitusi kita (UUDS, pen.). Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa “sejak semula sudah
diakui bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang muncul dalam UUDS sebagai Pasal 38,
memang sangat penting, karena dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (asas
ekonomi kolonial, pen.) dengan suatu asas baru (asas ekonomi nasional, yaitu asas kekeluargaan,
pen.).
Dalam berbagai artikel saya telah menindaklanjuti pemikiran Mr. Wilopo ini dengan mengemukakan
bahwa Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan sumber hukum yang perlu kita perhatikan.
Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan: “segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Artinya Pasal 33 UUD
1945 yang menegaskan “asas kekeluargaan” berlaku bagi Indonesia sejak ditetapkan berlakunya
UUD 1945, namun tetap masih berlaku pula peraturan perundangan kolonial, tak terkecuali KUHD
(Wetboek van Koophandel) yang berasas perorangan (liberalisme). Pasal 33 UUD 1945 berlaku
secara permanen, sedang KUHD sebagai akibat Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku secara
temporer (transisional). Mereka yang mau memahami pula kedudukan Pasal 33 UUD 1945 dan asas
kekeluargaan hendaknya memahami kedudukan peraturan perundangan mengenai keekonomian
dalam konteks Aturan Peralihan ini. Artinya, KUHD yang berasas perorangan yang harus di-Pasal 33-
kan, bukan Pasal 33 yang harus di-KUHD-kan.
Dari landasan sistem ekonomi Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas (Pancasila, UUD 1945,
TAP MPRS No. XXIII/66 dan GBHN-GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, 1998, 1999), jelas bahwa
ekonomi Indonesia berpedoman pada ideologi kerakyatan. Apa itu kerakyatan dan siapa itu rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan
rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang
terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu
adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam
mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna
rakyat serta dimensi yang melingkupinya.
Sekali lagi, siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis
oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat
juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian
konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti
seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian
rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”.
Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada
yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private
wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public needs”
(yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa “social preference” berbeda
dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “individual preferences”. Istilah “rakyat” memiliki
relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan”
(brotherhood atau broederschap) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan
makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei”,
di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang
210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali
BUMN. Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public”, di mana pemilikan BUMN
meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas
kekeluargaan”.
Pasal 33 UUD 1945 harus dipertahankan. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal mengenai keekonomian
yang berada pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Kesejahteraan sosial
adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan Pasal 33 1945 di
bawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial” itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah
bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan test
untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata per-tumbuhan ekonomi apalagi kemegahan
pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan
kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang. Pasal
33 UUD 1945 adalah pasal restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural
ekonomi.
Saat ini Pasal 33 UUD 1945 (ide Bung Hatta yang dibela oleh Bung Karno karena memangku ide
“sosio-nasionalisme” dan ide “sosio-demokrasi”) berada dalam bahaya. Pasal 33 UUD 1945 tidak saja
akan diamandemen, tetapi substansi dan dasar kemuliaan ideologi kebangsaan dan kerakyatan yang
dikandungnya akan diubah, artinya akan digusur, oleh sekelompok pemikir dan elit politik yang
kemungkinan besar tidak mengenal platform nasional Indonesia.
Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Perkataan disusun artinya “direstruktur”. Seorang strukturalis
pasti mengerti arti “disusun” dalam konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan
menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan emancipatory).
Mari kita baca Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 “… Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajad hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh
ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat banyak ditindasinya …”. Bukankah sudah diprediksi
oleh UUD 1945 bahwa orang-orang yang berkuasa akan menyalahgunakan kekuasaan, akan habis-
habisan ber-KKN karena melalaikan asas kekeluargaan. Bukankah terjadinya ketidakadilan sosial-
ekonomi mass poverty, impoverishmen dan disempowerment terhadap rakyat karena tidak hidupnya
asas kekeluargaan atau brotherhood di antara kita? Dalam kebersamaan dan asas kekeluargaan,
keadilan sosial-ekonomi implisit di dalamnya.
Dari Penjelasan UUD 1945 juga kita temui kalimat “… Meskipun dibikin UUD yang menurut kata-
katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat penyelenggara negara, para pemimpin
pemerintahan itu bersifat perorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek …”. Ini kiranya
jelas, self-explanatory.
Pasal 33 UUD 1945 akan digusur dari konstitusi kita. Apa salahnya, apa kelemahannya? Apabila
Pasal 33 UUD 1945 dianggap mengandung kekurangan mengapa tidak disempurnakan saja dengan
ayat-ayat tambahan, dengan tetap mempertahankan 3 ayat aslinya.
Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya makin relevan dengan tuntutan global untuk menumbuhkan global
solidarity dan global mutuality. Makin berkembangnya aliran sosial-demokrasi (Anthony Giddens,
Tony Blair, dll) makin meningkatkan relevansi Pasal 33 UUD 1945 saat ini. Saat ini 13 dari 15 negara
Eropa Barat menganut paham sosial-demokrasi (Dawam Rahardjo, 2000).
Memang tidak akan mudah bagi mereka untuk memahami Pasal 33 UUD 1945 tanpa memiliki
platform nasional, tanpa memiliki ideologi kerakyatan, ataupun tanpa memahami cita-cita sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi yang saat ini tetap relevan. Mereka (sebagian ekonom junior)
kiranya tidak suka mencoba memahami makna “perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan” (ayat 1 Pasal 33). “Kebersamaan” adalah suatu “mutuality” dan
“asas kekeluargaan” adalah “brotherhood” atau “broederschap” (bukan kinship atau kekerabatan),
bahasa agamanya adalah ukhuwah, yang mengemban semangat kekolektivan dan solidaritas sosial.
M. Umer Chapra (2001) bahkan menegaskan bahwa memperkukuh brotherhood merupakan salah
satu tujuan dalam pembangunan ekionomi,. Brotherhood menjadi sinergi kekuatan ekonomi utnuk
saling bekerjasama, tolong-menolong dan bergotong-royong.
Pura-pura tidak memahami makna mulia “asas kekeluargaan” terkesan untuk sekedar menunjukkan
kepongahan akademis belaka. “Asas kekeluargaan” adalah istilah Indonesia yang sengaja diciptakan
untuk memberi arti brotherhood, seperti halnya persatuan Indonesia” adalah istilah Indonesia untuk
nasionalisme, dan “kerakyatan” adalah istilah Indonesia untuk demokrasi.(Mubyarto, 2001).
Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami cita-cita
perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan sesamanya sebagai
“saudara”, “sederek”, “sedulur”, “sawargi”, “kisanak”, “sanak”, “sameton” dan seterusnya,
sebagaimana Al Islam menanggap sesama ummat (bahkan manusia) sebagai “saudara”, dalam
konteks rahmatan lil alamin.
Jadi asas kekeluargaan yang brotherhood ini bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan (bukan
family system atau kinship) yang nepotistik. Kebersamaan dan kekeluargaan adalah asas ekonomi
kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia Merdeka, sebagai lawan dari asas individualisme yang
menjadi dasar sistem ekonomi kolonial yang dipelihara oleh Wetboek van Koophandel (KUHD). Itulah
sebabnya UUD 1945 memiliki Aturan Peralihan, yang Ayat II-nya menegaskan bahwa sistem hukum
kolonial berdasar KUH Perdata, KUH Pidana, KUHD, dll tetap berlaku secara temporer, yang
berkedudukan sebagai “sementara sebelum diadakan yang baru menurut UUD 1945”, artinya dalam
posisi “peralihan”. Jadi yang tidak tahu, lalu ingin menghapuskan ketiga ayat Pasal 33 UUD 1945 itu
adalah mereka yang mungkin sekali ingin merubah cita-cita dasar Indonesia Merdeka.
Mengulang yang disinggung di atas, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah satu
kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu sama lain, merupakan satu paket sistem ekonomi untuk
merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, di mana “partisipasi” dalam kehidupan ekonomi
harus pula disertai dengan “emansipasi”. Kebersamaan menjadi dasar bagi partisipasi dan asas
kekeluargaan menjadi dasar bagi emansipasi. Tidak akan ada partisipasi genuine tanpa adanya
emansipasi.
Pasal 33 UUD 1945 tidak punya andil apapun dan keterpurukan ekonomi saat ini, suatu keterpurukan
terberat dalam sejarah Republik ini. Bukan Pasal 33 UUD 1945 yang mengakibatkan kita terjerumus
ke dalam jebakan utang (debt-trap) yang seganas ini. Pasal 33 UUD 1945 tidak salah apa-apa, tidak
ikut memperlemah posisi ekonomi Indonesia sehingga kita terhempas oleh krisis moneter. Pasal 33
UUD 1945 tidak ikut salah apa-apa dalam menghadirkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bukan
Pasal 33 UUD 1945 yang menjebol Bank Indonesia dan melakukan perampokan BLBI. Bukan pula
Pasal 33 yang membuat perekonomian diampu dan di bawah kuratil negara tetangga (L/C Indonesia
dijamin Singapore). Bukan Pasal 33 yang menghadirkan kesenjangan ekonomi (yang kemudian
membentuk kesenjangan sosial yang tajam dan mendorong disintegrasi sosial ataupun nasional),
meminggirkan rakyat dan ekonominya. Bukan pula Pasal 33 yang membuat distribusi pendapatan
Indonesia timpang dan membiarkan terjadinya trickle-up mechanism yang eksploitatif terhadap
rakyat, yang menumbuhkan pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan rakyat
(impoverishment). Lalu, mengapa kita mengkambinghitamkan Pasal 33 UUD 1945 dan justru
mengagung-agungkan globalisasi dan pasar-bebas yang penuh jebakan bagi kita? Pasal 33 tidak
menghambat, apalagi melarang kita maju dan mengambil peran global dalam membentuk tata baru
ekonomi mondial.
Tiga butir Ayat Pasal 33 UUD 1945 tidak seharusnya dirubah, tetapi ditambah ayat-ayat baru, bukan
saja karena tidak menjadi penghambat pembangunan ekonomi nasional tetapi juga karena tepat dan
benar. Kami mengusulkan berikut ini sebagai upaya amandemen UUD 1945, yang lebih merupakan
suatu upaya memberi “addendum”, menambah ayat-ayat, misalnya untuk mengakomodasi dimensi
otonomi daerah dan globalisasi ekonomi, dengan tetap mempertahankan tiga ayat aslinya.
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-
bebas. Kita telah “menobatkan” pasar-bebas sebagai “berdaulat”, mengganti dan menggeser
kedaulatan rakyat. Kita telah menobatkan pasar sebagai “berhala” baru.
Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar,
mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan
sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden Megawati pun harus ramah terhadap pasar.
Mengapa kita harus keliru sejauh ini.
Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan,
dst dst. 1)
1) Mengapa pasar di Jepang dapat diatur bersahabat dengan petani Jepang, sehingga beras di Jepang per kilo yang mencapai harga
rupiah
sebesar Rp. 30.000,- para importir Jepang tidak mengimpor beras murah dari luar negeri. Mengapa pula kita harus “memperpurukkan”
petani-petani
kita, justru ketika kita petani sedang panen padi, kita malah mengimpor beras murah dari luar negeri?
Siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekedar (1) kelompok
penyandang/ penguasa dana (penerima titipan dana dari luar negeri/komprador, para pelaku KKN,
termasuk para penyamun BLBI, dst); (2) para penguasa stok barang (termasuk penimbun dan
pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal); dan (4) terakhir adalah rakyat
awam yang tenaga-belinya lemah. Pada hakekatnya yang demikian itu ramah kepada pasar adalah
ramah kepada ketiga kelompok pertama sebagai pelaku utama (baca: para penguasa pasar dan
penentu pasar).
Oleh karena itu pasar harus tetap dapat terkontrol, terkendali, not to fully rely-on, 2) tetapi sebaliknya
pasarlah, sebagai “alat” ekonomi, yang harus mengabdi kepada negara. Adalah kekeliruan besar
menganggap pasar sebagai “omniscient” dan “omnipotent” sehingga mampu mengatasi ketimpangan
struktural. Adalah naif menganggap “pasar bebas” adalah riil. Lebih riil sebagai kenyataan adalah
embargo, proteksi terselubung, unfair competition, monopoli terselubung (copyrights, patents,
intellectual property rights), tak terkecuali embargo dan economic sanctions sebagai kepentingan
politik yang mendominasi dan mendistorsi pasar.
2) Lihat Sri-Edi Swasono “Pasar-Bebas yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan Kepentingan Internasional”, Mimeo, Kantor
Menko Ekuin, 21
Maret 1997.
Apabila pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila asar kita biarkan bebas sehingga pasar-bebas kita
jadikan “berhala” dan kita nobatkan sebagai berdaulat, maka berarti kita membiarkan pasar
menggusur kedaulatan rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 jelas menegaskan rakyatlah yang
berdaulat, bukan pasar.
Demikian itulah, apabila kita ingin mempertahankan kedaulatan rakyat, maka Pasal 33 UUD 1945
hendaknya tidak dirubah, “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” adalah kata-kata dan makna
mulia yang harus tetap dipertahankan. Menghilangkan “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan”
bisa diartikan sebagai mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah di dalam
berperikehidupan yang menjadi kewajiban agama.
“Kesejahteraan Sosial” sebagai jugul Bab XIV UUD 1945 pun tidak perlu dirubah atau diganti dengan
memasukkan perkataan “Ekonomi”, sebab “ekonomi” adalah derivat atau alat untuk mencapai
“kesejahteraan sosial” itu.
www.ekonomirakyat.org
merupakan gabungan dari dau kata, yaitu globalisasi dan ekonomi. Globalisasi
merupakan suatu proses interaksi baik antarindividu maupun kelompok tanpa
dibatasi oleh batasan suatu negara. Globalisasi bisa berwujud kebudayaan, ilmu
pengetahuan, dan ekonomi.
Ada yang mengatakan bahwa globalisasi memang merupakan proses alami interaksi
manusia. Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa globalisasi merupakan suatu
proyek yang sengaja diusung oleh negara adikuasa.
Salah satu proses globalisasi yang sedang ramai dibicarakan adalah mengenai
globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi merupakan suatu keadaan ekonomi global
di mana kegiatan perekonomian bersifat terbuka tanpa adanya batas-batas teritorial,
maupun kewilayahan antardaerah satu dengan daerah yang lain.
Di dalam ekonomi global, dunia menjadi satu kesatuan di mana semua daerah bisa
dijangkau dengan cepat dan mudah. Berbagai kegiatan perdagangan dan investasi
menuju ke arah liberalisasi kapitalisme di mana semua orang menjadi bebas untuk
berusaha di berbagai tempat mana saja dan kapan saja di seluruh wilayah dunia.
Tentu saja saat globalisasi ekonomi terjadi, maka batas-batas suatu negara
terhadap negara lainnya akan menjadi kabur. Kegiatan perekonomian nasional dan
internasional memiliki keterkaitan yang semakin erat. Terjadinya globalisasi ekonomi
ini akan memilik berbagai dampak yang mempengaruhi kegiatan perekonomian di
dalam negara tersebut hingga perekonomiannya di dalam skala internasional.
Misalkan, dalam ekonomi global tentunya akan membuka peluang pasar produk dari
dalam negeri ke pasar internasional yang akan bersaing dengan berbagai
kompetitor. Selain itu juga tentunya ekonomi global juga akan membuka peluang
terhadap masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Bila dilihat dari dampaknya, tentu globalisasi ekonomi ini akan memiliki dampak
yang positif dan juga memiliki dampak yang negatif. Dampak positifnya misalnya
dapat memotivasi SDM untuk meningkatkan kualitas. Selain itu juga, akan terbuka
lebar lapangan pekerjaan yang banyak. Ilmu pengetahuan dan barang konsumtif
juga akan diperoleh dengan mudah dan murah.
Dampak negatifnya juga akan sangat berpengaruh secara signifinkan terhadap pola
hidup dan perekonomian nasional. Misalnya saja, jika pengusaha kita tidak siap
dengan meningkatkan kualitas produk, maka kita akan kalah bersaing dengan
produk luar yang dijual di negara kita.
Hal ini mengakibatkan banyaknya perusahaan dalam negeri yang akhirnya gulung
tikar. Begitu pun pola hidup masyarakat yang menjadi lebih konsumtif karena
barang-barang konsumtif lebih mudah dan lebih murah didapatkan.
Arus globalisasi memang nampaknya sulit dibendung. Meskipun ada yang bilang
kalau ini hanya proyek yang sengaja diciptakan negara adikuasa untuk menguasai
pasar internasional, tapi sepertinya globalisasi memang suatu keharusan. Yang
menjadi pertanyaan adalah, siapkah negara kita menghadapinya?
13243
http://www.anneahira.com/
Pendahuluan
Contrary to the claims of its proponents, there are alternatives to the neo-liberalism course, and
these alternatives are far preferable in term of immediate and long term consequences (Mac Ewan
1999:8)
Lebih tegas lagi pernyataan James Petra dan Henry Veltmeyer dalam Globalization Unmasked
bahwa “globalization is neither inevitable nor necessary” (Petras & Veltmeyer 2001:12)
Hikmah Krisis Moneter
Orang Indonesia selalu berhasil menyatakan “untung” atas berbagai musibah. Maka, adakah
alasan orang menyatakan “untung ada krismon”? Ternyata dalam segala kesusahan menghadapi
globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan investasi, bahkan termasuk meledaknya “bom Bali”,
orang Indonesia masih mampu menyebutkan aspek keuntungannya. Seorang rekan ekonom dari
AS menulis “A less globalized world might be better for Indonesia”! Jadi tanpa Indonesia susah-
susah melawan serangan dahsyat globalisasi, krismon dan Bom Bali telah membantu Indonesia
“mengusir atau mengurangi tekanan globalisasi” yang memang lebih merugikan ketimbang
menguntungkan ekonomi Indonesia. Terhadap kekuatan-kekuatan “anti globalisasi” ini para
pendukung globalisasi berusaha dan berhasil mengundang IMF untuk memperkuat barisan. Kini
yang terjadi adalah pergulatan (ilmiah dan ideologis) antara dua kekuatan yaitu mereka yang
mendukung dan yang menentang globalisasi.
Kesimpulan kita di Indonesia tidak bisa lain, “jangan-jangan” krismon dan Bom Bali merupakan
“Petunjuk Tuhan” bahwa globalisasi dan liberalisasi yang jelas-jelas merugikan sebagian besar
rakyat Indonesia kenyataannya memang telah berjalan terlalu cepat sehingga “atas kehendak
Tuhan”, krismon dan bom Bali “diturunkan” untuk memperingatkannya dan mengeremnya.
The region and the entire world need to carefully think through whether globalization has
proceeded at too fast a pace for national societies, particularly developing ones, to make needed
adjustments without undue dislocation and economic pain. (Morrison & Hadi Soesastro. 1998:23)
Jika kita baca dan renungkan kembali kekagetan Radius Prawiro tentang telah menjadi terlalu
liberalnya peraturan masuk dan keluar modal ke dan dari Indonesia sejak pertengahan delapan
puluhan, ketika yang bersangkutan menjabat Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan
Menko Ekuin, maka jelas telah terjadi gerakan tak terkendali dari liberalisasi dan globalisasi di
negara kita. Jika diingat bahwa jumlah bank di Indonesia sebelum Pakto 88 hanya sekitar 100
buah, yang meningkat lebih 2 kali menjadi 240 bank pada tahun 1995, maka pengurangan jumlah
Bank menjadi kurang dari 100 bank dewasa ini hanya mengkonfirmasi pertumbuhan jumlah bank
yang kebablasan tersebut. Memang tepat yang pernah dikatakan David Cole dan Betty Slater
(Building a Modern Financial System, 1996) bahwa sebenarnya di Indonesia bukannya terlalu
banyak Bank, tetapi “terlalu banyak Bank yang tidak diawasi perkembangannya”. Ini berarti
bahwa ketika banyak bank mengalami kesulitan likuiditas pada saat-saat awal krismon,
kesalahan tidak sepenuhnya dapat ditimpakan kepada bank-bank itu tetapi juga pada Bank
Indonesia (dan Departemen Keuangan) yang telah membiarkan perbankan berkembang “liar”
tanpa pengawasan. Itulah sebabnya mengapa pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan
pemberian BLBI yang “royal” itu untuk “menebus dosa”, meskipun tanpa disadari justru kebijakan
ini telah menjadi perangkap baru yang akhirnya “menyandera” kebijakan ekonomi pemerintah
secara berkelanjutan.
Menyiasati Globalisasi
Krismon 1997 dan sampai tingkat tertentu ledakan “bom Bali” adalah “bom waktu” buatan
Indonesia sendiri, karena proses liberalisasi dan globalisasi telah dibiarkan berlangsung
“kebablasan”, karena kita mengira sistem ekonomi kapitalis liberal (sistem pasar bebas ala
Neoklasik ortodok) adalah satu-satunya sistem ekonomi yang cocok untuk dipakai dan diterapkan
di Indonesia. Jika kita sadari dan percaya bahwa Pancasila adalah ideologi yang telah
menyatukan bangsa hingga mampu membebaskan Indonesia dari 350 tahun penjajahan, maka
Pancasila pastilah dapat diandalkan sebagai sumber ideologi untuk menyusun sistem ekonomi
nasional. Jika perasan Pancasila adalah asas gotong-royong atau asas kekeluargaan, maka tepat
sekali bunyi ayat 1 pasal 33 UUD 45 bahwa:
Dalam asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan
oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang.
Demikian “serangan” globalisasi tidak perlu kita takuti selama kita setia menggunakan Pancasila
sebagai ideologi pegangan kehidupan bangsa. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi
moralistik, manusiawi, nasionalistik, dan kerakyatan, yang akan mampu mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penutup
Jika orang menyatakan globalisasi tak terelakkan, hendaknya kita tidak bersikap pasrah dan
menerima begitu saja “aturan main” yang dibuat “mereka”. Jika aturan main yang dipakai adalah
“sistem Ekonomi Pancasila”, maka aturan main “kita” inilah yang harus kita pakai sebagai
pegangan hubungan-hubungan ekonomi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi luar negeri
dan bukan aturan main “mereka”.
Globalisasi bukan hal baru bagi Indonesia karena sejak abad-abad awal penjajahan (17-18)
rempah-rempah dan komoditi-komoditi pertanian Indonesia sudah “diglobalisasikan” (globalisasi
tahap I ). Selanjutnya globalisasi tahap II ( sistem taman paksa 1830-1870) dan sistem kapitalis
liberal ( pasca 1870 ) lebih jauh lagi “mengglobalkan” komoditi-komoditi pertanian Indonesia
(terutama gula dan tembakau) sehingga “Hindia Belanda” menjadi terkenal sebagai sumber
komoditi-komoditi tropik ini. Kini pada globalisasi tahap III (sejak medio delapan puluhan)
Indonesia yang sudah menjadi negara merdeka tentulah tidak perlu was-was asal berani dan
percaya diri dengan kepala tegak menetapkan aturan main “kita” untuk dipakai sebagai
pegangan hubungan-hubungan ekonomi “kita” dengan “mereka”.
Krisis ekonomi global pada tahun 1997 yang berawal dari negara-negara Asia seperti
Indonesia, Thailand, Philipina, Malaysia, Singapura dan Korea telah membawa negara-
negara yang ada di Asia dalam situasi gawat khususnya dibidang ekonomi. Washington
Concensus (Kesepakatan Washington) sebutan untuk lembaga keuangan internasional seperti
World Bank (WB) International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO)
dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang tersentralistik di USA sangat
terkontaminasi terhadap kepentingan ekonomi di setiap negara. Washington Concensus
mengatakan bahwa kinerja perekonomian akan berjalan baik apabila didukung oleh sistem
perdagangan bebas, stabilitas makro dan penerapan kebijakan yang tepat. Apa yang
dinyatakan dalam Washington Concensus merupakan syarat dalam bergeraknya ekonomi
pasar, tetapi hipotesa tersebut belum lengkap dan merupakan kebijakan yang salah arah.
Sistem ekonomi agar berjalan dengan baik harus butuh kontrol dari pemerintah, regulasi yang
tepat di sektor finasial serta kebijakan persaingan usaha yang sehat. Faktor-faktor yang
mendasar inilah yang telah diabaikan oleh Washington Concencus dan sering kali berubah
menjadi tujuan dan bukan lagi fungsi sebagai alat untuk mewujudkan sistem financial
keuangan yang lebih baik. World Bank (WB), International Monetary Fund (IMF), dan
World Trade Organization (WTO) acap kali jika negara luar tidak banyak bertanya tentap
sistem kebijakan apa yang akan mereka terapkan.
Sejak krisis ekonomi 1998 sistem ekonomi Indonesia mengalami goncangan yang amat berat,
akibat dari goncangan krisis ekonomi tersebut pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
nasional mengalami kendala yang amat pelik, tidak hanya dibidang ekonomi tetapi juga ini
merambah ke bidang politik. Ketidakstabilan politik berdampak terhadap turunnya rezim
Orde Baru dari singgah sanannya karena rakyat sudah kehilangan trust terhadap
pemerintahan Orde Baru. Padahal kita telah memiliki sistem dan konsep ekonomi kerakyatan
yang telah dibuat oleh para pendiri bangsa kita (Founding Father) walaupun realitanya di
lapangan kita melihat bahwa sistem ekonomi menganut paham sistem ekonomi kapitalis dan
ini sangat kontradiktif dengan sistem ekonomi kita. Sehingga timbul pertanyaan yang sangat
mendasar, Apakah sistem ekonomi kerakyatan kita sudah tidak relevan lagi dengan kondisi
dan kebutuhan zaman?, atau memang sistem ekonomi kerakyatan kita telah digeser dengan
sistem ekonomi kapitalis yang mengandal modal sebagai faktor utama dalam menentukan
kebijakan pasar. Pertanyaan tersebut mungkin sangat sederhana tapi berimplikasi terhadap
sistem ekonomi kerakyatan kita.
Washington Concensus
Monopoli pemerintah pada industri tertentu telah menghambat persaingan. Hanya saja
dorongan bagi privatisasi yang berkembang belakangan ini lebih dipicu oleh insentif untuk
mendapatkan keuntungan dibandingkan upaya untuk meningkatkan persaingan usaha. Adalah
wajar jika Washington Concencus lebih menekankan pada privatisasi ketimbang kompetisi.
Washington Concensus tidaklah salah. Privatisasi penting dan pemerintah memang harus
memusatkan sumber dayanya pada bidang yang tidak disentuh oleh sektor swasta. Hanya saja
terdapat isu penting dalam tahapan serta cakupan privatisasi. Bahkan ketika privatisasi
mampu meningkatkann efisiensi produksi, tetaplah sulit untuk memastikan bahwa tujuan
publik lebih besar akan dapat dicapai meskipun regulasi telah ditetapkan. Rasionalisasi dari
Washington Concensus bahwa problematika sistem keuangan global bisa diatasi ini
merupakan hipotesa yang telah terbentahkan
Dampak Globalisasi
Dampak globalisasi yang tidak bisa terbendung oleh setiap negara ini membawa dampak
positif dan negatif. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia bahwa kehadiran
globalisasi di Indonesia membawa dampak yang negatif bagi sistem ekonomi kita, tetapi kita
harus belajar dari Cina dan India dimana yang mana kehadiran globalisasi ini membawa
dampak yang positif bagi sistem ekonomi mereka dan ini termuat dalam buku “The Collapse
of Globalism” karangan John Ralston Saul mengatakan bahwa kedatangan globalisasi
disambut dengan baik tetapi tidak serta merta mengikuti aturan main, prinsip dan sistem
globalisasi mereka sendiri tetapi kemudian kepentingan nasional harus berjalan searah
dengan kepentingan globalisasi sehingga terjaadi ketimpangan dalam sektor ekonomi.
Pemerintah cina selalu melakukan kontrol keuangan dan asset-aset industri sehingga asset
industri tersebut tidak mudah di privatisasi oleh kepentingan luar. Cina dan India merupakan
salah contoh negara yang bisa mengkombinasikan kepentingan negara dan kepentingan
globalisasi sehingga proteksi yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengontrol aset
domestik bisa terealisasi dan regulasi ini yang tidak berjalan di Indonesia sehingga banyak
aset-aset domestik banyak yang telah di privatisasi. Dalam buku “Globalisasi adalah Mitos”
karangan Paul Hirst dan Grahame Thompson mengatakan bahwa globalisasi merupakan
sistem yang gagal yang mana secara teoritis kekuatan mekanisme pasar mempunyai
kelemahan yang sangat mendasar (weaknesses) pertama institusi pasar tanpa kehadiran
institusi negara dapat menimbulkan ekternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan alam
akibat kegiatan ekonomi, kedua institusi pasar tidak dapat mengakomodasi moral karena
pelaku-pelakunya hanya berorientasikan kepentingan ekonomi.
Hatta pernah mengatakan dalam Pledoinya di Pengadilan Belanda mengenai sistem ekonomi
kita bahwa “Lebih baik Indonesia tenggelam ke dalam dasar laut yang dalam dari pada
menjadi embel-embel bangsa asing”. Statemen tersebut menggambarkan bahwa posisi sistem
ekonomi sudah sangat memprihatinkan khususnya dibidang ekonomi. Sistem Ekonomi
kerakyatan kita yang telah digagas oleh para pendiri bangsa (Funding Fathers) ini merupakan
sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang mana masayarakat yang
menjadi subjek ekonomi dan bukan sebagai objek ekonomi belaka. Koperasi merupakan
salah satu bentuk ekonomi kerakyatan yang kongkrit yang telah ditelurkan dari sistem
ekonomi kerakyatan kita, dan sistem ekonomi gotong royong menjadi salah satu cirri khusus
dalam mengatasi kesejahteraan rakyat, sehingga sistem ekonomi kerakyatan yang telah di
formulasikan oleh pendiri bangsa menjadi sebuah sistem ekonomi yang sesuai dan relevan
untuk rakyat dan amanah konstitusi. Meskipun realitanya kita melihat sistem ekonomi
kapitalis yang mulai menjalar ke sistem ekonomi kerakyatan kita harus disambut positif
sehingga bagaimana kemudian sistem ekonomi kita bisa beradaptasi dengan sistem ekonomi
kapitalis sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam sistem ekonomi kerakyatan tidak
terpengaruh karena pengaruh sistem ekonomi yang datangnya dari luar. Demokrasi ekonomi
seyogiyanya harus menempatkan rakyat sesuai dengan koridornya sehingga rakyat tidak
dijadikan sebagi objek ekonomi tetapi harus diposisikan sebagai subjek ekonomi, kemudian
pemerintah sepenuhnya harus mensupport sektor ekonomi rakyat sebagai pilar ekonomi.
Penulis adalah Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Periode 2008-2010
Dalam era reformasi sekarang ini,kita sering mendengar tentang sistem ekonomi kerakyatan
yang dibandingkan dengan sistem ekonomi neoliberal.Pada tulisan sebelumnya kita
membahas tentang sistem ekonomi neoliberal,dan sekarang mari kita membahas tentang apa
sebenarnya sistem ekonomi kerakyatan itu?
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas
kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan
sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat.
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam
Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di
Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
“Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan
(Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)”
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945,
maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti
merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
yang artinya tidak lain adalah demokrasi alaIndonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah
(sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi
yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
“Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-
anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran
orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak
harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang
berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan
orang-seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.”
Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang demokrasi ekonomi ini sekarang
sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan UUD 1945 diputuskan MPR untuk
dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita terima, yaitu “di negara negara lain tidak ada
UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan.
Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan
berkepribadian yang berkebudayaan
Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
EKONOMI PANCASILA
Sebaliknya, dalam Domokrasi Ekonomi harus dihindari timbulnya ciri-ciri negatif sebagai
berikut :
1. Sistem free Fight Liberalime yang membutuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa
lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan
stuctural posisi Indonesia dalam ekonomi dunia.
2. Sistem etatisna dalam nama Negara beserta aparatur ekonomi Negara bersifat dominant
serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi sector Negara.
3. Pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang
merugikan masyarakat.
Dalam mengembangkan kopresi, Presiden mengatakan dalam pidato kenegaraan tanggal 16
Agustus 1983 : “Dalam rangka mendorong prakarsa dan partisipasi rakyat itu, pengembangan
koperasi merupakan usaha yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam tanggung jawab kita
bersama untuk melaksanakan semangat dan kehendak pasal 33 UUD. Dalam Repelita IV
koperasi harus semakin l;uas dan berakar alam masyarakat, sehinga koperasi secara bertahap
dapat menjadi salah satu sokoguru perekonomian nasional kita. Untuk itu peranan dan usaha
koperasi perlu ditingkatkan dan diperluas bebagai sector. Seperti sector pertaniaan,
perindustrian, perdagangan, angkutan, kelistrikan, dan lain-lain. Dalam rangka mempercepat
pertumbuhan koperasi dibergaigai bidang tadi, maka akan di dorong dan dikembangkan
kerjasama anatara koperasi dengan usaha swasta dan usaha Negara. Di samping itu juga kita
akanlanjutkan penggunaan koperasi fungsional seperti koperasi buruh dan kariawan
perusahaan, koperasi pegawai negeri, koperasi mahasiswa dan sebagainya sehingga koperasi
makin memasyarakat dan makin membudaya.
Dengan demikian terhadapt tiga unsur penting dalam tata perekonomian yang di susun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dalam Demokrasi Ekonomi yang
sector Negara, sector swasta dan koperasi. Ketiga sector ini harus dikembangkan secara serasi
dan mantap.
Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi
antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Sebuah
sistem ekonami terdiri atas unsur-unsur manusia sebagai subjek, barang-barang ekonomi
sebagai objek; serta seperangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalinnya dalam
kegiatan berekonomi. Perangkat kelembagaan dimaksud meliputi lembaga-lembaga ekonomi
(formal maupun nonformal); cara kerja; mekanisme. Hubungan, hukum dan peraturan-
peraturan perekonomian; serta kaidah dan norma-norma lain(tertulis atau tidak tertulis);
yang dipilih atau diterima atau ditetapkan oleh masyarakat ditempat tatanan kehidupan
yang bersangkutan berlangsung. Jadi, dalam perangkat kelembagaan ini termasuk juga
kebiasaan, perilaku, dan etika masyarakat; sebagaimana mereka terapkan dalam berbagai
aktivitas yang berkenaan dengan pemanfatan sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
Untuk lebih mendalami ilmu tentang sistem ekonomi makro di indonesia dan lebih
mengetahui secara terperinci.
BAB II
PEMBAHASAN
Perihal system ekonomi apa - atau system ekonomi yang bagaimana - yang diterapkan
atau berlangsung di Indonesia, sering dipertanyakan dan diperdebatkan. Pertanyaan
sederhana yang jawabannya pelik ini bukan saja mengundang rasa ingin tahu mahasiswa
ekonomi sendiri, tetapi juga kalangan awan Suatu uraian ringkas mengenai pengertian sistem
itu sendiri, kompleksitas sebuah sistem dan keterjalinan antar sistem, serta mengenai sistem-
sistem ekonomi yang ada sehingga dapat menjadi pengantar pemahaman yang memadai.
1. Pengertian Sistem
Sebuah sistem pada dasarnya adalah suatu "organisasi besar" yang menjalin
berbagai subjek (atau objek) serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu.
Subjek atau objek pembentuk sebuah sistem dapat berupa orang-orang atau masyarakat,
untuk suatu sistem social atau system kemasyarakatan, makhluk – makhluk hidup dan
benda alat.
Untuk suatu system, kehidupan atau system lingkungan, barang atau alat, untuk
suatu system peralatan, data, catatan, atau kumpulan fakta, untuk suatu system informasi,
atau bahkan kombinasi dari subjek objek tersebut.
Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan
ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan
kehidupan. Sebuah sistem ekonami terdiri atas unsur-unsur manusia sebagai subjek,
barang-barang ekonomi sebagai objek; serta seperangkat kelembagaan yang mengatur
dan menjalinnya dalam kegiatan berekonomi. Perangkat kelembagaan dimaksud
meliputi lembaga-lembaga ekonomi (formal maupun nonformal); cara kerja; mekanisme.
Hubungan, hukum dan peraturan-peraturan perekonomian; serta kaidah dan norma-
norma lain(tertulis atau tidak tertulis); yang dipilih atau diterima atau ditetapkan oleh
masyarakat ditempat tatanan kehidupan yang bersangkutan berlangsung.
sistem ekonomi ialah suatu kumpulan dan atau keterkaitan aturan-aturan (factor
yang membentuk) dalam suatu rumah tangga (perusahaan, negara, keluarga dan
sebagainya).
B. Sistem Ekonomi
- Sistem ekonomi tradisonal merupakan system ekonomi, yang dasar atau pola
- Cara berlxoduksi hanya mengandalkan tenaga manusia, dan tergantung dari factor alam
Ciri-cirinya:
3. Hasil produksi, sistem distribusi terbentuk karena kebiasaan (tradisi) yang berlaku di dalam
masyarakat.
Pengertian:
Sistem ekonomi terpusat ialah suatu sistem yang seluruh kebijaksanaan perekonomian diatur
dan ditentukan oleh pemerintah pusat. Di dalam ini, perekonomian berada sepenuhnya di
tangan pemerintah Rakyat hanya menjalankan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Ciri-cirinya:
1. Suatu alat dan sumber produksi adalah milik negara. Karena alat-alat dan sumber produksi
dimiliki dan dikuasai negara maka hak milik perseorangan tidak ada.
Jenis jenis pekerjaan di dalam suatu negara serta pembagian kerja diatur oleh pemerintah.
Negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi terpusat antara lain:
Uni Soviet
RRC
Kelemahannya:
1. Hak milik perseorangan tidak ada kecuali barang-barang yang sudah dibagikan Potensi, inisiatif
dan daya kreasi setiap warp tidak berkembang dan cenderung mati. Bersifat paternalistis Apa
yang dikatakan oleh pemerintah sehingga rakyat wajib patuh
1. Sistem berasal membawa kehancuran dan menimbulkan eksploitasi bagi manusia lain.
2. Merupakan kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam upaya melaksanakan
pembangunan secara cepat yang disebabkan belum siapnya masyarakat dalam suatu
perencanaan..
Pengertian:
Sistem ekonomi liberal merupakan system perekonomian yang kehidupan ekonomi diserahkan
kepatia sector swasta tanpa campur tangan pemerintah. Sistem ekonomi liberal muncul karena
ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Adam Smith (1723 - 1190) dalam bukunya yang terkena.l " An
Inguiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nation"
Inti yang dikemukakan oleh Smith yaitu tentang penyelidikan factor-faktor yang menentukan
nilai atau harga suatu barang. Dengan segala sesuatu untuk mencapai sua.tu kemakmuran dengan
melalui kerja.
Pada system ekonomi liberal, masalah perekanomian tidak berada di tangan negara /
pemerintah, tetapi pada rakyat. Rakyatlah yang mengatur perekonomiaanya sendiri, pemerintah
hanya mengawasi.
1. Semua alat dan sumber produksi berada di tangan perseorangan, masyarakat atau
perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini masyarakat secara individu maupun kelompok
diberi kebebasan untuk mengatur dan memilikinya.
a. kelas pemilik
b. kelas pekerja
Karena setiap orang diberi kebebasan memiliki dan berusaha maka persaingan
antarpengusaha tidak dapat dielakkan. Masing-masing bertujuan mencari laba sebesar-
besarnya.
2. Negara negara kapitalis, tetapi tidak murni liberal, karena pemerintah turut serta campur
tangan, misalnya:
- Prancis
- Belanda
1. Setiap inQividu bebas mengatur perekonomiannya dan tidak perlu menunggu perintah
dari pemerintah sehingga bebas berusaha menca.pai laba sebesarbesarnya.
Keburukan:
1. Menimbulkan eksploitasi (penindasan) terhadap manusia yang lain, yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin.
Sistem ekonomi nasional dijalankan oleh negara berdasarkan pandangan hidup negara itu
sendiri. Negara yang menganut paham liberal tentu akan menyususn sistem
perekonomiannya dengan sistem ekonomi bebas. Negara yang menganut paham sosialis,
komunis, tentu akan mengatur perekonomiannya berdasarkan sistem terpimpin.
Sejak kemerdekaan 17-08-1945 sampai saat ini Indonesia suda.h pernah menjalankan
sistem ekonomi:
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat.
l. Perekonomian disusun dan diusahakan secara bersama berdasar pada asas kekeluargaan.
2. Cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran
rakyat.
5. Warp negara memii_iki kebebasan dalam memil-ih pekerjaan yang dikehendaki serta
memp-anyai hak akan pekerjaan dan pengiudupan yang layak.
6. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat. ..
7. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam
batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
2. Sistem etatisme, yaitu negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta
mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor
negara.
3. Pemisahan kekuata.n ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang
merugikan masyarakat.
Pengertian:
Tata ekonomi dunia baru adalah cara atau sistem pengaturan ekonomi suatu negara dengan
pengelolaan faktor produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan negara tersebut
dalarn mencapai kemakmuran.
1. Keterbatasan energi
2. Kurangnya jumlah makanan karena bertambah seperti deret hitung dan semakin
bertambahnya penduduk yang ber`tam'uah seperti deret ukur.
Pada tahun 1974 di Roma dilaksanakan konferensi pangan du.tia (Word Food
Conference) Negara-negara peserta konferer.si menyerukan kepada, negara – negara
yang mempunyai persediaan pangan agar membantu negara-negara lain yang mengalami
kekurangan pangan. Konferensi pangan dunia ini dilaksanakan karena persediaan pangan dunia
memang sangat memprihatinkan sebagai penyebab hal tersebut antara lain:
- Meningkatnya harga energi yang dapat menghambat laju peningkatan produksi pertanian.
- Adanya bencana alam seperti kemarau panj ang, banj ir, gempa bumi yang semuanya
mengakibatkan rusaknya tanaman pangan, sehingga penduduk mengalami kelaparan.
Sehingga dengan demikian maka kelompok Roma mempunyai tujuan antara lain;
menelaah dan mengkaji dunia yang rumit da.n kompleks serta menganalisis kecenderungan-
kecenderunganya.
Pada tahun 1974 sidang khusus PBB mengeluarkan deklarasi dan aksi
pembentukan Tata Ekonomi Dunia Baru yang mengatur antara lain:
c. Setiap negara baik negara kaya maupun negara miskin secara bersama-sama
berusaha meningkatkan kesejahteraan.
Selain hal tersebut diatas tata ekonorni dunia baru mempunyai Prinsip-prinsip
sebagai berikut:
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem ekonomi di indonesia merupakan sarana kita untuk melakukan intraksi antara
negara indonesia dan negara lain, yang diasumsikan seperti impor ekspor
B. Saran
Saran yang bersifat membangun dan krikik sangat kami harapkan demi kelajutan dala