You are on page 1of 14

Sekte

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Dalam sosiologi agama, sekte umumnya adalah sebuah kelompok keagamaan atau politik yang
memisahkan diri dari kelompok yang lebih besar, biasanya karena pertikaian tentang masalah-
masalah doktriner.

Dalam sejarah, penggunaannya di lingkungan agama Kristen mengandung konotasi penghinaan


dan biasanya merujuk kepada suatu gerakan yang menganut keyakinan atau ajaran yang sesat
dan yang seringkali menyimpang dari ajaran dan praktik ortodoks.[1]

Dalam konteks India, sekte merujuk kepada suatu tradisi yang terorganisir.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Etimologi
 2 Definisi dan deskripsi sosiologis
 3 Konsep sekte dalam konteks India
 4 Padanan kata ini dalam bahasa Perancis, Spanyol, Jerman, Polandia, Belanda, dan
Rumania
o 4.1 Arti "sekte" di negara-negara yang memiliki tradisi Katolik yang kuat
 5 Lihat pula
 6 Rujukan
 7 Pranala luar

[sunting] Etimologi
Kata sekte berasal dari istilah bahasa Latin secta (dari sequi, mengikut), yang berarti (1) suatu
langkah atau jalan kehidupan, (2) suatu aturan perilaku atau prinsip-prinsip dasar, (3) suatu aliran
atau doktrin filsafat. Sectarius atau sectilis juga merujuk kepada pemotongan, namun makna ini,
berlawanan dengan pandangan umum, tidak terkait dengan etimologi kata ini. Sectator adalah
pemimping atau penganut yang setia.

[sunting] Definisi dan deskripsi sosiologis


Artikel utama: Tipologi gereja-sekte
Ada beberapa definisi dan deskripsi sosiologis untuk istilah ini. [2] Salah seorang yang
pertama mendefinisikannya adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch (1931) [3] Dalam
tipologi gereja-sekte mereka digambarkan sebagai kelompok-kelompok keagamaan yang
baru terbentuk untuk memprotes unsur-unsur dari agama asalnya (biasanya suatu
denominasi. Motivasinya cenderung terletak dalam tuduhan kemurtadan atau ajaran sesat
dalam denominasi asalnya. Mereka seringkali memprotes kecenderungan-kecenderungan
liberal dalam perkembangan denominasi dan menganjurkan umat untuk kembali ke
agama yang sejati. sosiolog Amerika Rodney Stark dan William Sims Bainbridge
menegaskan bahwa "sekte-sekte mengklaim dirinya sebagai kelompok yang otentik dan
bersih, sebagai versi dari iman yang telah diperbarui, yang daripadanya mereka
memisahkan diri" [4]. Lebih jauh, mereka menegaskan bahwa, berbeda dengan gereja,
sekte memiliki tingkat ketegangan yang tinggi dengan lingkungan sekitarnya [5].

Sektarianisme kadang-kadang didefinisikan dalam sosiologi agama sebagai suatu pandangan


dunia yang menekankan keabsahan unik dari kredo dan praktik-praktik orang percaya dan hal itu
meningkatkan ketegangan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tindakan mereka
membangun praktik-praktik yang menegaskan batas pemisahnya. [6]

Sebaliknya, suatu kultus keagamaan atau politik juga mempunyai ketegangan yang tinggi dengan
masyarakat sekitarnya, namun keyakinan-keyakinannya berada dalam batas konteks masyarakat
itu, meskipun baru dan inovatif. Sementara kultus mampu memaksakan norma-normanya dan
gagasan-gagasannya terhadap anggotanya, sekte biasanya tidak mempunyai "anggota" dengan
kewajiban-kewajiban yang tegas, melainkan hanya pengikut, simpatisan, pendukung, atau
penganut saja.

Partai-partai sosialis, sosial-demokrat, buruh, dan komunis yang berbasis massa, seringkali
berasal-usul dari sekte-sekte utopis, dan karenanya juga memproduksi banyak sekte, yang
memisahkan diri dari partai massanya. Khususnya partai-partai komunis dari 1919 mengalami
berbagai perpecahan, di antaranya dapat disebut sebagai sekte dari induknya.

Salah satu faktor utama yang tampaknya menghasilkan sekte politik adalah ketaatan yang ketat
kepada suatu doktrin atau gagasan setelah waktunya telah lewat, atau setelah doktrin itu tidak
lagi mempunyai relevansi yang jelas terhadap realitas yang berubah.

Sosiolog Inggris Roy Wallis[7] menyatakan bahwa sekte dicirikan oleh "otoritarianisme
epistemologis": sekte-sekte memiliki suatu locus yang berwibawa yang dapat mengabsahkan
suatu ajaran sesat. Menurut Wallis, "sekte mengklaim dirinya memiliki suatu akses yang unik
dan isitimewa kepada kebenaran atau keselamatan dan "para pemeluk mereka yang teguh
biasanya menganggap semua yang ada di luar batas-batas kolektivitasnya 'keliru'". Ia
membedakan hal ini dengan kultus yang digambarkannya memiliki ciri khas "individualisme
epistemologis". Maksudnya ialah bahwa "kultus tidak mempunyai locus otoritas tertinggi yang
jelas di luar anggotanya masing-masing."[8] [9]

[sunting] Konsep sekte dalam konteks India


Axel Michaels, seorang Indolog, menulis dalam bukunya tentang Hinduisme bahwa dalam
konteks India kata "sekte tidak menunjukkan adanya perpecahan atau komunitas yang
terasingkan, melainkan lebih pada suatu tradisi yang terorganisir, yang biasanya didirikan oleh si
pendiri yang melakukan praktik-praktik asketik." Dan menurut Michaels, "Sekte-sekte India
tidak memusatkan perhatian pada ajaran sesat, karena tidak adanya pusat atau pusat yang
menuntut membuat hal ini tidak mungkin. Sebaliknya, fokusnya adalah pada para penganut dan
pengikutnya."[10]

 Lihat pula Daftar sekte Hindu

[sunting] Padanan kata ini dalam bahasa Perancis, Spanyol,


Jerman, Polandia, Belanda, dan Rumania
Dalam bahasa-bahasa Eropa selain Inggris kata padanan untuk 'sekte', seperti misalnya "secte",
"secta", "sekta", atau "Sekte", digunakan untuk merujuk kepada sekte keagamaan atau politik
yang berbahaya, dalam pengertian yang sama ketika orang di negara-negara berbahasa Inggris
menggunakan kata kultus (cult).

[sunting] Arti "sekte" di negara-negara yang memiliki tradisi Katolik yang kuat

Di Amerika Latin, kata ini seringkali digunakna untuk merujuk kelompok keagamaan non-
Katolik Roma manapun, tak peduli berapa besar kelompok itu, seringkali dengan konotasi
negatif yang sama yang dimiliki kata 'kultus' dalam bahasa Inggris. Demikian pula di beberapa
negara Eropa di mana Protestanisme tidak pernah benar-benar populer. Gereja-gereja Ortodoks
(baik Yunani maupun Katolik) sering menggambarkan kelompok-kelompok Protestan
(khususnya yang lebih kecil) sebagai sekte. Hal ini, antara lain, tampak di Rusia, Ukraina,
Belarus dan Polandia.

[sunting] Lihat pula


PENGERTIAN, TEMPAT, FUNGSI DAN ALIRAN-
ALIRAN SERTA METODE PENELITIAN DALAM
SOSIOLOGI AGAMA
Posted February 13, 2010 by Rofiah in Agama. Leave a Comment

Pengertian Sosiologi Agama


Jika berbicara mengenai definisi sosiologi agama, maka ada beberapa hal lain yang tidak lupa
kami singgung dalam pembahasan ini, di antaranya adalah mengenai pengertian sosiologi,
agama, prinsip sosiologi, dan objek kajian sosiologi agama.
Sosiologi secara umum adalah ilmu pengetauan yang mempelajari masyarakat secara empiris
untuk mencapai hokum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
Sosiologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku social ditinjau dari kecenderungan
individu dengan individu lain, dengan memperhatikan symbol-simbol interaksi.
Agama dalam arti sempit ialah seperangkat kepercayaan, dogma, pereturan etika, praktek
penyembahan, amal ibadah, terhadap tuhan atau dewa-dewa tertentu. Dalam arti luas, agama
adalah suatu kepercayaan atau seperangkat nilai yang minmbulkan ketaatan pada seseorang atau
kelompok tertentu kepada sesuatu yang mereka kagumi, cita-citakan dan hargai.
Ada beberapa definisi sosiologi agama yang dapat kit ketahui, di antaranya adalah:
- Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan
masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai system agama, tingkat dan
jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan
yang berbeda.
- Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena social, dan memandang agama sebagai
fenomena social. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum
mengenai hubungan agama dengan masyarakat.
- Sosiologi agama aladah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama
secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan
masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim.
Jika tugas dari sosiologi umum adalah untuk mencapai hokum kemasyarakatan yang seluas-
luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah
tentang masyarakat agama khususnya.
Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun
luas) yang unsure konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.
Jika teologi mempelajar agama dan masyarakat agama dari segi “supra-natural”, maka sosiologi
agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam
fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai
keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat. Lebih
konkrit lagi, misalnya, seberapa jauh unsure kepercayaan mempengaruhi pembentukan
kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis
kebudayaan; mewarnai dasar-dasar haluan Negara; memainkan peranan dalam munculnya strata
(lapisan) social; seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses social, perubahan social,
fanatisme dan lain sebagainya.
Menurut Keith A. Roberts, sasaran (objek) kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian
paada 1). Kelompok-kelompok dan lemabaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya,
kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya 2). Perilaku
individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses social yang mempengaruhi status
keagamaan dan perilaku ritual 3). Konflik antar kelompok, misalnya Katolik lawan Protestan,
Kristen dengan Islam dan sebagainya. Bagi sosiolog, kepercayaan hanyalah salah satu bagian
kecil dari aspek agama yang menjadi perhatiannya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran sosiologi agama adalah masyarakat agama,
sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai sutu system (dogma dan moral), tetapi
agama sebagai fenomena social, sebagai fakta social yang dapat dilaksanakan dan dialami oleh
banyak orang. Ilmu ini hanya mengkonstatasi akibat empiris kebenaran-kebenaran supra-empiris,
yaitu yang disebut dengan istilah masyarakat agama, dan itulah sasaran langsung dari sosiologi
agama.
Prinsip sosiologi ditandai dengan 2 prinsip dasar, yaitu: percaya kepada data empiric dan
objektivitas. Sosiolog hanya berurusan dengan fakta-fakta yang dapat diukur, diobservasi dan
diuji. Dalam prinsip objektivitas, bukan berarti bahwa sosiolog mengklaim bahwa tidak bias
salah, atau bias mencapai kebenaran umum, sebab tidak ada satu disiplin ilmu pun yang berhak
menyatakan dirinya maha tahu atau paling benar. Objektivitas berarti sosiolog berusaha
mencegah kepercayaan agama pribadi masuk ke dalam bidang studinya. Ilmuan social harus
sepenuh hati untuk mencari kebenaran. Sebagai warga Negara sosiolog mempunyai kepentingan
dan preferensi nasional namun mereka harus terbuka terhadap data dan menghindarkan diri dari
prejudgment (mengambil keputusan sebelum membuktikan kebenarannya) terhadap suatu
kelompok atau proses keagamaan tertentu. Seorang sosiolog boleh tidak setuju dengan
pandangan suatu kelompok yang sedang diteliti, tetapi harus berusaha untuk mengerti kelompok
itu atas dasar penelitiannya menghindarkan bias dalam interpretasi proses-proses kelompok itu.
Talcott Parsons berpendapat, jika seorang sosiolog agama akan melakukan suatu analisis tentang
sosiologi terhadap agama, maka ia harus memahami:
1.    System fisiologis organisme
2.    Sistm kepribadian individu
3.    Sistem social kelompok
4.    Sistem budaya
Tempat Sosiologi Agama
Tempat sosiologi agama sudah diterangkan dalam definisi sosiologi agama itu sendiri. Ia
merupakan cabang dan juga vertical dari sosiologi umum. Maka, sosiologi agama merupakan
ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia bukanlah ilmu yang sacral; ilmu yang dilakukan
dan dibina oleh sarjana ilmu social, baik orangnya suci maupun tidak suci. Karena maksud ilmu
tersebut bukanlah untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk
mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai
kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu social yang lain,dan ilmu ini lebih
merupakan ilmu praktis (terpakai) daripada ilmu teoritis murni. Ia diciptakan untuk memecahkan
masalah-masalah sosio-religius yang timbul waktu itu di Eropa akibat kurangnya pengetahuan
tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama.
Fungsi Sosiologi Agama
Sosiologi agama memberikan kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan. Sebagai
sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan
yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan
pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para
pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya
dengan masalah-masalah social nonkeagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola
interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol
atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan
bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai,
norma, tradisi  dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang
ada. Tanpa hal itu, mejadi alas an untuk timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat
kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social keberagamaan
masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan akurat terhadap setiap situasi
social yang kita  hadapi.
Menurut pandangan Durkheim, fungsi sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan
masyarakat yang sudah ada. Djamari berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi agama bagi
agama, yaitu:
1.    Menambah pengertian tentang hakikat fenomena agama di beragai kelompok masyarakat,
maupun pada tingkat individu;
2.    Suatu kritik sosiologis tentang peran agama dalam mayarakat dapat membantu kita untuk
menentukan masalah teologi yang mana yang paling berguna bagi masyarakat, baik dalam arti
sekuler maupun religious.
Dengan cara ini, sosiologi agama memberikan sumbangan kepada dialog kegamaan di dalam
masyarakat. Semua pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim, serta Simmel
berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang harus mengerti peran penting
agama dalam masyarakat.

Metode Penelitian Dalam Sosiologi Agama


Sebagaimana penelaahan proses social lainnya, kajian sosiologi agama menggunakan metode
ilmiah. Pengumpulan data dan metode yang digunakan antara lain dengan data sejarah, analisis
komparatif lintas budaya, eksperimen yang terkontrol, observasi, survai samlpling dan content
analisis.
a.    Analisis Sejarah
Objek studi sosiologi adalah menerangkan realitas masa kini, yang berhubungan erat dengan
kehidupan manusia dan yang mempengaruhi gagasan serta perilaku manusia. Untuk mengerti
persoalan yang dihadapi manusia saat ini, kita harus mngetahui sejarah masa silam. Meskipun
terkadang metode ini tidak selalu dapat menjawab persoalan yang dihadapi karena agama tidak
sama nilai maupun kepentingannya untuk setiap tempat dan waktu.
Sejarah dalam hal ini hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat
menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga. Karna
itu, setiap kita harus menjelaskan fakta manusiawi yang berhubungan dengan sesuatu waktu,
apakah itu masalah kepercayaan, hokum, moral, system ekonomi, teknologi, kita perlu melihat
sejarah kejadian dan perkembangan eksistensinya dimulai dari bentuk yang sederhana hingga
bentuk yang lebih kompleks yang tampak sekarang.
Pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan menelusuri sumber
di masa lampau sebelim tercampuri tradisi lain. Pendekatan tersebut didasarkan kepada personal
historis dan perkembangan kebudayaan umat manusia. Pendekatan yang didasarkan atas sejarah
personal, berusaha menelusuri awal perkemabangan tokoh keagamaan secara individual, untuk
menemukan sumber-sumber dan jejak perkembangan perilaku keagamaan sebagai hasil dialog
dengan dunia sekitarnya.
Beberapa sosiolog menggunakan data historis untuk mencari pola-pola interaksi antara agama
dan masyarakat. Pendekatan ini telah membimbing ke arah pengembangan teori tentang evolusi
agama dan perkembangan tipologi kelompok-kelompok keagamaan. Analisis hisoris telah
digunakan oleh Talcott Parson dan Bellah dalam rangka menjelaskan evolusi agama, Berger
dalam uraian tentang memudarnya agama dalam masyarakat modern, Max Weber ketika
menerangkan tentang sumbangan teologi Protestan dalam melahirkan kapitalisme dan
sebagainya.
b.    Analisis Lintas Budaya
Dengan membandingkan pola-pola sosioreligius di beberapa daerah kebudayaan, sosiolog dapat
memperoleh gambaran mengenai korelasi unsure budaya tertentu atau kondisi sosiokultural
secara umum.
Talmon menggunakan data lintas budaya untuk menelaah pola-pola di antara gerakan
millenarian, yaitu gerakan keagamaan yang menganggap akan adanya era baru di masa yang
akan dating setelah jatuhnya penguasa yang lama. Salah satu kesulitan pelaksanaan analisis
sosiologi agama melalui analisis lintas budaya yaitu sangat bervariasinya konsep agama pada
daerah kebudayaan yang berlainan, juga sulit dalam mendapatkan ketepatan yang disyaratkan
oleh para saintis.
c.    Eksperimen
Metode eksperimen sulit dilaksanakan dalam bidang sosiologi agama. Namun, di dalam
beberapa hal masih dapat dilalukan, misalnya untuk mengeevaluasi hasil pebedaan belajar dari
beberapa model pendidikan agama.

d.    Observasi Partisipatif


Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam
konteks religious. Hal itu dapat dilakukan dengan terus terang, artinya orang yang dobservasi itu
boleh mengetahui bahwa mereka sedang dipelajari. Keuntungan dari metode observasi
partisipatif adalah:
1.    Memungkinkan pengamatan interaksi simbolik antara anggota kelompok secara mendalam.
Interaksi simbolik maksudnya adalah suatu perspektif teoritik sosiologi dan psikologi social.
Dengan perspektif ini, indivudu tidak dilihat reponnya yang lahir, namun dipahami makna dari
perilaku itu. Sering makna simbolik dan tata laku dielajari sejak dini secara menyeluruh dengan
jalan individu berperan serta di dalam kelompok. Pakainan, pandangan mata, jarak antara orang
yang sedang bicara dan gerak merupakan contoh fenomena yang sering secara simbolik sangat
signifikan dalam rangka memperoleh pengertian  suatu kebudayaan. Tipe-tipe anggota yang
menjadi objek dalam interaksi simbolik itu digunakan sebagai dasar analisis;
2.    Observasi peran serta berguna jika peneliti berpendapat bahwa ada kesenjangan antara apa
yang dikatan dengan perilaku orang-orang yang sedang diteliti. Misalnya, responden menyatakan
bahwa ia sangat komitmen dengan ajaran ortodoksi agama, namun perilakunya sehari-hari tidak
relevan, perlu dipertanyakan;
3.    Observasi peranserta memberikan kesempatan untuk mendapatkan data secara otentik,
terutama mengenai perilaku atau karakteristik yag sifatnya pribadi. Dengan observasi peran serta
dapat terungkap kualitas perilaku yang lebih dalam, yang mungkin tidak tercakup oleh kuesioner
maupun interview singkat. Karena itu, observasi seperti ini sering dihubungkan dengan metode
riset kualitatif.
Kelemahan dari metode ini antara lain adalah:
1.    Mungkin data terbatas pada kemampuan observer dan apa yang dianggap benar dalam suatu
kasus, belum tentu benar pada kasus lain;
2.    Studi kasus member peluang bagi peneliti untuk mengumpulkan data secara   mendalam,
tetapi sering kurang meluas, terikat oleh sesuau aspek tertentu yang menjadi perhatian peneliti;
3.    Diperlukan sejumlah besar kasus untuk menggenaralisasikan pola yang diidentifikasikan;
4.    Data yang dilaporkan sering terikat oleh system penyaringan peneliti sendiri. Tidak semua
observer tertarik pada pola yang sama. Apa yang dipilih dan dicatat oleh observer mungkin tidak
lengkap.
e.    Riset Survei dan Analisis Statistik
Peneliti menyusun kuesioner, melakukan interview dengan sampel dari sustu populasi. Sampel
dan populasi bias berupa oganisasi keagamaan atau penduduk sustu kota atau desa. Responden
misalnya ditanya tentang:
1.    Afiliasi keagamaannya;
2.    Frekuensi kehadiran ditempat-tempat peribadatan;
3.    Frekuensi keteraturan sembahyangnya;
4.    Pengetahuan tentang ajaran agama atau doktrin yang dikembangkan oleh sesuatu organisasi
keagamaan;
5.    Kepercayaan kepada sesuatu konsep keagamaan tertentu seperti tentang hidup setelah mati,
eksistensi tuhan, tentang akan kembalinya nabi Isa (yesus) dan indicator religiousitas lainnya.
Prosedur ini sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu
dengan sesuatu sikap social, atau atribut religious tertentu. Kalau metode historis dan observasi
memberi peluang kepada interpretasi data subjektif, maka data survey untuk mengidentifikasi
sesuatu lebih cermat dari korelasi religious dengan sikap dan karakteristik social tertentu.
Misalnya korelasi antara:
1.    Fundamentalisme dengan anti semitisme
2.    Frekuensi menghadiri acara kegerejaan atau pengajian dengan tradisionalisme peran wanita
dan pria.
3.    Afiliasi denominasi atau organisasi keagamaan tertentu dengan mobilitas social dan tingkat
pendapatan.
Dengan kata lain, riset survey memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengendalikan
variable dan identifikasi korelasi. Adapun kesukarannya antara lain adalah:
1.    Analisis statistic tentang korelasi karakteristik keagamaan dengan atribut social belum tentu
menunjukkan factor penyebab dari atribut tersebut, yang berarti interpretasi makna suatu event
kadang-kadang hilang.
2.    Data tidak menunjukkan proses yang dilalui oleh sesuatu subyek hanya bersifat statis atau
non hirostik, tidak menunjukkan fase-fase perkembangan sebab akibat.
3.    Kadang-kadang peneliti beranggapan jawaban yang negative terhadap sesuatu pertanyaan,
diartikan”kurang religious atau kurang orthodox seseorang responden.
4.    Pertanyaan-pertanyaan sering tidak memberikan peluang kepada orang untuk
mengemukakan modes alternatif religiuisitas yang lainnya.
5.    Apa yang dikatakan orang dikatakan orang tidak selaras dengan perilakunya.
6.    Informasi survey tidak melibatkan kepada studi yang langsung mengenai pengalaman
keagamaan itu sendiri, hanya menfokuskan pada laporan pengalaman keagamaan.
7.    Informasi yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan “lebih lunak” dari pada hakikat
informasi yang sebenarnya.
f.    Analisis Isi
Peneliti mencoba mencari keterangan dari teman-tenman religious; baik berpa tulisan, buku-
buku khotbah, doktrin, deklarasi teks dan lain-lain. Misalnya:
1.    Sikap suatu kelompok keagamaan dapat dianalisisdari isi khotbah yang diterbitkan oleh
kelompok tersebut;
2.    Pandangan hidup dari organisasi atau aliran agama dapat diidentifikasi dari tema atau isi
lagu-lagu yang biasa dinyanyikan di gereja, atau lagu qasidahan yang dilantunkan oleh
senimannya;
3.    Keterlibatan religious seorang Amerika misalnya, dianalisis dari buku-buku agama popular
yang terbit di Negara tersebut;
4.    Tentang eivil religion (sejenis agama bangsa) dipelajari melalui analisis isi referensi
relegius, misalnya dalam Declaration of Independence, pidato pengukuhan presiden dan
statement lain yang erat hubungannya dengan tujuan bangsa sesuatu Negara.
Content analisis bermanfaat, namun salah satu kesulitannyaadalah asumsinya bahwa asumsi
tertulis dianggap sebagai gambaran tepat dari pandangan rakyat. Padahal pidato pengukuhan
presiden misalnya, belum tentu mencerminkan sikap dan nilai yang demiliki dan disetujui oleh
suatu penduduk suatu Negara tertentu. Sangat lakunya buku-buku agama belum tentu
menggambarkan tingkat religiusitas penduduk.
2.5    ALIRAN-ALIRAN DALAM SOSIOLOGI AGAMA
Sosiologi agama bukan merupakan satu kesatuan yang seragam. Adapun perbedaan aliran dalam
sosiologi agama dengan cirri-ciri tersendiri disebabkan oleh:
1.    Perbedaan visi atas realitias masyarakat, khususnya mengenai kekuatan tertentu yang
dianggap memerankan peranan dominan atas kehidupan masyarakat;
2.    Akibat dari perbedaan visi tesebut, digunakan pula metode dan pendekatan yang   berbeda.
A.    Aliran Klasik
Aliran ini muncul pada pertengahan abad ke-19 dan belahan pertama dari abad ke-20 yang
ditopang oleh sejumlah sarjana (kecuali Durkheinm dan Weber). Bagi mereka kedudukan
sosiologi agama sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan
analisis sistematis terhadap masyarakat, kebudayaan dan agama.
Tujuan aliran ini adalah hendak mengungkap pola-pola social dasar dan peranannya dalam
mencipatakan masyarakat. Instansi pemerintah dan kalangan agama yang berkonsultasi dengan
pendukung aliran ini, akan mendapat jawaban panjang tentang sejarah dari masyarakat agama
yang bersangkutan dan akan ditunjukkan kekuatan-kekuatan (social) yang mendorong berdirinya
unsure-unsur budaya yang menopang kelangsungan hidup, disbanding dengan tuntutan-tuntutan
modern dalam situasi yang sudah berubah, lantas mempersilakan instansi yang bersangkutan
untuk mengadakan perubahan yang sesuai.
B.    Aliran Positivisme
Aliran ini mengikuti sosiologi yang empiris-positivistis dan menyetarakan masyarakat agama
dengan benda-benda alamiah. Ia menyibukkan diri dengan kuantifikasi dari dimensi masyarakat
yang kualitatif dengan metode pengukuran yang eksak dan menarik kesimpulan yang dibuktikan
dengan fakta-fakta. Dengan kata lain, kesimpulan yang sifatnya netral tanpa diwarnai
pertimbangan teologis atau filosofis, dilepas dari konteks sejarah perkembangan yang dialami
masyarakat itu dalam waktu yang lampau. Cara penganalisisan demikian itu dipegang ketat dan
konsekuen demi tercapainya hasil yang diinginkan, yaitu hasil yang seobjektif mungkin.
Instansi pemerintah atau keagamaan yang berkonsultasi dengan pendukung aliran ini untuk
mengadakan penelitian mengenai lembaganya atau organisasinya, akan mendapat keterangan
banyak tentang struktur organisasinya, mengenai kualitas pemimpinnya dan reaksi  (baik positif
maupun negative) dari naggota-anggota lemaganya. Instansi yang berkonsultasi akan diyakinkan
mengenai pentingnya keterangan (ilmiah) itu, tetapi kepadanya diserahkan sepenuhnya untuk
menentukan sendiri bagaimana ia akan menggunakan informasi itu.
C.    Aliran Teori Konflik (Teori Kritis)
Menurut ahli teori ini, masyarakat yang baik ialah masyarakat yang hidup dalam situasi
konfliktual. Masyarakat yang hidup dalam keseimbangan (equilibrium) dianggap sebagai
masyarakat yang tertidur dan berhenti dalam peruses kemajuannya. Karena konflik social
dianggapnya sebagai kekuatan social utama dari perkembangan masyarakat yang ingin maju
kepada tahap-tahap yang lebih sempurna. Gagasan ini dicetuskan oleh Hegel, Karl Marx dan
Weber. Sebagai sarana mutlak (yang diberikan oleh alam sendiri) untuk memajukan masyarakat
manusia.
Aliran ini tidak sepakat dengan para ahli aliran fungsionalisme yang melihat keseimbangan
soosial masyarakat sebagai bentuk hidup yang ideal, karena dianggap kurang menyadari atau
membiarkan adanya kekurangan dan ketidakadilan yang dibungkam oleh struktur kekuasaan
yang bertahan. Aliran ini juga tidak menyetujui metode kuantitatif dari aliran positivism, karena
dianggap sebagai suatu hal yang mengasingkan orang dari masyarakat.
Aliran ini tidak dapat memusatkan perhatiannya pada problem mikro saja, karena pengkajian
masalah yang kecil akan mengundang persoalan yang lebih besar. Dan hal yang tidak boleh
dilupakan dalam analisisnya adalah usaha menempatkan situasi yang dhadapi dalam kurun
sejarah perkembangan yang telah dilewati yang tidak dapat dilepaskan dari masalah baru yang
hendak dicari pemecahannya. Aliran sosiologi ini mempunyai persamaan dengan aliran sosiologi
kalsik yang selalu tertarik pada problem-problem makro, dan masalah-masalah mikro hanya
diperhatikan sejauh itu dapat memberikan keterangan bagi pemecahan masalah yang besar.
Jika salah satu instansi pemerintah dan keagamaan berkonsultasi dengan pendukung aliran ini,
maka mereka akan mendapat seperangkat penjelasan tentang unsure-unsur pertentangan yang
ada dalam tubuh organisasinya, dan yang berhasil digali dari keasadaran kelompok-kelompok
yang saling bertentangan, lalu diberikan solusi yang dipandang tepat untuk mengatasi masalah-
masalah yang dihadapi.
D.    Airan Fungsionalisme
Para pendukung aliran ini bertolak belakang dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu
system perimbangan, di mana setiap kelompok memberikan sumbangannya yang khas melalui
peranannya masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinya suatu masyarakat. Menurut
mereka, timbulnya suatu bentrokan dalam organisasi dipandang berfungasi korektif untuk
membenahi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi, yang tidak berjalan baik. Penelitian yang
dilakukan sebegaian besar bertujuan untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang apakah
tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pimpinan adan anggotanya berjalan dengan baik.
Aliran ini menerima prinsip kerja yang memperkecil penelitiannya pada suatu problem mikro,
yang dianggap berguna sebagai sampel untuk mengetahui kedaan keseluruhannya sebagai system
keseimbangan. Apabilapendukung aliran ini diminta untuk melakukan sebuah penelitian
terhadap suatu masyarakat agama, maka ada 2 hal pokok yang menjadi perhatian utamanya: 1).
Bagian mana dari lembaga tersebut yang berfungsi baik 2). Bagian mana dari lembaga tersebut
yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Penelitian yang dilakukan oleh aliran fungsionalisme telah melahirkan kesimpulan-
kesimpulanyang sangat berguna bagi instansi-instansi keagamaan/ pemerintah. Menurut aliran
ini, baik masyarakat religious maupun masyarakat profan, keduanya mengembang fungsi bagi
umat manusia, dan mempunyai kewajiban moril untuk menyadari sifat saling
ketergantungannya.Teori ini melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa,
yang pengaruhnya meresapi tingkah laku manusia penganutnya, baik lahiriyah maupun
bathiniyah, sehingga system sosialnya untuk sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah yang
dibentuk oleh agama.

Sosiologi Agama Durkheim


oleh Mohamad Zaki Hussein
 
Indeks Islam | Indeks Artikel

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota


 
A. Definisi Agama Menurut Durkheim

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah
dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-
praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua
unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari
agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep
mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas,
karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat
kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari
bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim
agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

B. Sifat Kudus Dari Agama

Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah
dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu
yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-
larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan
sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya
pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.

Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para
anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam
semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat
tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia
memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara
obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia,
kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.

Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada
moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas
rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh
masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia
memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus"
dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian,
"kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat.
Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu
an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.

C. Ritual Agama

Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu.
Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual
yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam
bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta
praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri
dan merupakan intinya.

Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus
dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek
ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling
mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan
mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek
negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara
keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu
sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi
untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat

Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini
perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan
masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari
perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta
sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep
dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut
Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat
hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul
secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke
dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan
hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi
yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku
dan kelompok-kelompok analog.

Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah
dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan
kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan
kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku
Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep
"kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya
dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme,
dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan
demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di
dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia
sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang
dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang
merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan
individu-individu.
Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan
masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati
nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat"
karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual,
yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi
kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung.
Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus
menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam
memainkan fungsi penguatan solidaritas.

Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang
paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti
misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang
menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga
dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam
transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari
"agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang
sama seperti agama.

E. Moralitas Individual Modern

Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan pembagian kerja
yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan
otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas
individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama
yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa
hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak
bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang dinisbahkan oleh
masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama
Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual
itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas
individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak
memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu
berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas
individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit
dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian
bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak
mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya
justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat
terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar
informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang
saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa
mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat,
melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang
berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak
ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat
bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati,
merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi
egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim
sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan
rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan
kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang
merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern,
sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan
egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi
moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu
sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang
rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.

You might also like