You are on page 1of 11

Budaya dan adat istiadat

Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak
pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman;
menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan
Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan,
Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan
sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup
populer di kawasan ini.

Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini
mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur
merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan
anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini.

Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan


Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh
dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.

Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura, mengingat
besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing merupakan
perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak
dipengaruhi oleh budaya Hindu.

Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang
berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara
lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara
menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan
(upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.

Penduduk Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan


lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah
memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan
didahului dengan acara temu atau kepanggih. Masyarakat di pesisir barat: Tuban, Lamongan,
Gresik, bahkan Bojonegoro memiliki kebiasaan lumrah keluarga wanita melamar pria,
berbeda dengan lazimnya kebiasaan daerah lain di Indonesia, dimana pihak pria melamar
wanita. Dan umumnya pria selanjutnya akan masuk ke dalam keluarga wanita.

Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim
donga pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.

g.    Festival Bandeng

Festival Bandeng selalu digelar setiap tahun. Namun, ada yang berbeda dalam perayaan tahun
ini. Kegiatan tersebut tidak dibarengi dengan acara lelang (menjual dengan harga tawar yang
paling tinggi) bandeng kawak yang sudah menjadi tradisi masyarakat Sidoarjo.
Kurang biaya dan bencana lumpur Sidorjo menjadi penyebab lelang itu dihilangkan.
Walaupun tidak ada lelang, kegiatan tersebut diharapkan bisa mendorong petani untuk tetap
membudidayakan ikan bandeng dengan bobot tak wajar alias raksasa.
Pemkab Sidoarjo sangat memperhatikan pelestarian bandeng karena ikan itu adalah ikon
utama Kabupaten Sidoarjo.
Festival yang juga bertujuan melestarikan budaya tradisional tahunan masyarakat Sidoarjo itu
diikuti empat peserta petambak di Kabupaten Sidoarjo. Peserta berlomba menunjukkan hasil
tambak berupa bandeng yang paling sehat dan terbaik.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum disusun oleh satuan
pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan
potensi yang ada di daerah.

Teori Sastra Struktural

Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai
objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat
konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra
sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh.
Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam
kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi
tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra
itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang
seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra
dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.

Teori Sastra Struktural


Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi
(penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat
dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks
pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya
dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak
yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu
pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks
itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi
sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam
batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki
oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu

1. kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,


2. pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.

Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang
dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika
kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan
dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu,
dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan
masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar
tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa
yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita
berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon
harapan kita.
APLIKASI PSIKOANALISIS DALAM KARYA SASTRA

Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah
studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses
kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang
digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang
sastra.
Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu
sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra.

SEJARAH TEORI PSIKOANALISIS SASTRA


Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan
sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa
Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi ( The Interpretation of Dreams ) danThree Contributions to A
Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade menjelang
perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi,
pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam
sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat)
dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan kaku).Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi
bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan(madness) dari
tingkat neurotik sampai psikosis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia
berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya
dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar mencatat
gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam
karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar
pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian
karya sastra.(Psikoanalisis Sastra)

KEGUNAAN PSIKOANALISIS SASTRA


Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan
tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah
sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu
sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu
mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan
proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang
lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan
seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat
keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam
suatu karya sastra.Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara
psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar
maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga
dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.

TOKOH-TOKOH PSIKOANALISIS SASTRA


1. Sigmund Freud, seorang yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan dasar pendidikan
Austria yang menghargai karya Yunani dan Jerman Klasik.
2. T.S Elliot
3. Carl.G.Jung.
4. Ribot, psikolog Perancis
5. L.Russu
6. Wordsworth yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.
7. Tatengkeng, Pujangga Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang baik penyair
harus dalam keadaan jiwa tertentu pula.

PERKEMBANGAN PSIKOANALISIS DI INDONESIA


Dalam sastra Indonesia pendekatan psikologi berkembang sejak tahun enam puluhan, antara
lain oleh Hutagalung dan Oemarjati dalam buku pembahasan masing-masing atas Jalan Tak
Ada Ujung dan Atheis. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan agar dapat
membaca drama atau novel secara benar.

APLIKASI PSIKOANALISIS DALAM KARYA SASTRA


Tokoh-tokoh dalam Drama dan Novel dinilai benar tidaknya secara psikologis. Situasi dan
plot menjadi perhatian khusus dalam hal ini. Tokoh dalam cerita harus serasi dengan
ceritanya, contoh :
Lily Campbel Mengatakan bahwa tokoh Hamlet cocok dengan Tipe “periang dan optimis
yang mengalami tekanan melankolik”. Yakni tipe yang dikenal dalam teori psikologi zaman
Elizabeth.
Oscar Campbell Berusaha menunjukan tokoh Jaques dalam drama William Shakespears “As
You Like It” adalah kasus melankolik yang timbul akibat tekanan.

Sastra Feminis
Sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah
pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan
pada
kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat yang
terpinggirkan, masyarakat marjinal. Teori sastra feminis, yaitu teori yang
berhubungan
dengan gerakan perempuan,adalah salah satu aliran yang banyak memberikan
sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar dari
pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis adalah
kesetaraan
antara martabat perempuan dan laki-laki.
Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai
manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.
John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan
kegunaan yang total (kebahagiaan / kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap

individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling
membatasi
atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa
jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka
masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta
pendidikan
yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).
Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini
berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya
konflik
kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme
mencoba
untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan
didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus
menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme
mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan
kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak
ketidakadilan
sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin
yang
berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004 : 186).
Betty Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang
kehidupan : sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal,
Friedan ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu
peranperan
yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat
yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan,
baik di
dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998 : 49).
Teori feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat
perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek
perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan
masculinefeminine
merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2004 : 184).
Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir
bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah
keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal (Tong, 1998 :

71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarkal,


perempuan
_
ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai manusia kelas dua (deuxième
sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden, 1985 : 137). Kedudukan
sebagai
Liyan mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan
(Cavallaro, 2001 : 202).
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan
dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku
maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi
dan
melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya
sendiri
bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang
tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender.
Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.
Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan
perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan
persetujuan, ceria, baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa
ingin
tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong, 1998 :
72-73). Sementara menurut Millet, ideologi patriarkal dalam akademi, insitusi
keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan subordinasi perempuan
terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk
menginternalisasi
Diri terhadap laki-laki.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh nilai-nilai
kutural dan bukan oleh hakiaktnya, oleh karena itu, gerakan dan teori feminisme
berjuang agar nilai-nilai kultural yang menempatkan perempuan sebagai Liyan,
sebagai
kelompok “yang lain”, yang termajinalkan dapat digantikan dengan keseimbangan
yang
dinamis antara perempuan dan laki-laki. Pembicaraan perempuan dari segi teori
feminis
akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi
secara
kultural. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam
hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan
emansipasi.
Feminisme selain merupakan gerakan kebudayaan, politik, sosial, dan ekonomi,
juga merupakan salah satu teori sastra, yaitu sastra feminis. Teori sastra feminis
melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu
kebudayaan,
_
yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana
nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam
tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi kultural, studi ini
merupakan gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba cerdas kritis
dalam menangkap teori kebudayaan yang bias “kepentingan elit budaya dan
kekuasaan”. Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan membebaskan
manusia dari masyarakat iirasional.
Studi kultural juga mempersoalkan hubungan antara budaya dan kekuasaan
yang mempertanyakan konsep-konsep konvensional menyangkut kebenaran, nilai,
kesatuan, dan kestabilan. Oleh karena itu, karya sastra akan dilihat sebagai teks
yang
merupakan objek dan data yang selalu terbuka bagi pembacaan dan penafsiran
yang
beragam. Teks diterima dan dipahami oleh pembacanya dan lingkungan budaya di
mana teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi (Cavallaro, 2001 : 109-110). Jadi,
teks
bersifat intertekstual dan sekaligus subjektif atau dengan kata lain, teks bersifat
intersubjektif. Artinya teks tergantung pada bagaimana penafsiran-penafsiran yang
diajukan orang lain dalam kode-kode dan konvensi-konvensi suatu komunitas, dan
dengan demikian disahkan atau ditolak (Cavallaro, 2001 : 110-111). Julia Kristeva
dan
Roland Barthes menyatakan bahwa teks dibentuk oleh kode-kode dan
konvensikonvensi
budaya serta mewujudkan ideologi tertentu.
Lebih jauh Kristeva dan Barthes memperlihatkan hubungan antara teks dan
tubuh, memperlihatkan keterkaitan antara tekstualitas dan fisikalitas. Kristeva
memperkenalkan symbolic, yaitu tanda-tanda yang dihubungkan dengan simbol-
simbol
kekuasaan dominan dan menekan tubuh dengan menundukkan dorongan-dorongan
pada hukum abstrak. Secara seksual, simbolik memapankan perbedaan-perbedaan
yang ketat antara maskulinitas dan feminitas, heteroseksual dan homoseksual;
secara
kultural, simbolik mengharuskan individu-individu untuk patuh pada struktur politik,
agama, kekeluargaan, hukum, dan ekonomi (Cavallaro, 2001 : 120-121).
Melalui konsep hegemoni, Antonio Gramci mengidentifikasikan
mekanismemekanisme
yang memungkinkan sebuah sistem dalam mempertahankan
kekuasaannya. Hegemoni
berkembang dengan cara meyakinkan kelompok-kelompok
_
sosial yang subordinat agar menerima sistem kultural dan nilai-nilai etik yang
dihargai
oleh kelompok yang berkuasa seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara
universal dan melekat dalam kehidupan manusia. Kaum perempuan, juga kaum gay
dan kaum kulit berwarna, dipandang menyimpang dari norma-norma patriarkal,
heteroseksual, dan masyarakat kulit putih. Perempuan dipandang sebagai Liyan
berdasarkan jenis kelamin biologisnya, posisi gendernya dalam suatu budaya, serta
berdasarkan latar bealkang etnis, pendidikan, profesi, kelas sosial, dan kemampuan
serta ketidakmampuan fisik maupun psikologisnya (Cavallaro, 2001 : 223-224).
Norma-norma serta nilai-nilai moral dan budaya yang hidup dan dianut di dalam
suatu ma syarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari karya sastra, karena
karya sastra lahir dari suatu masyarakat, karena karya sastra ditulis untuk
menggambarkan suatu masyarakat, suatu dunia luar. Studi kultural digunakan untuk
melihat dan kemudian memahami nilai-nilai budaya yang hidup dalam suatu
amsyarakat sebagaimana tercermin dalam karya sastra.

Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan
pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan
tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Secara
definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan
sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan
respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang
pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna
2009: 165).
          Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian banyak
dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan
seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi terasa benar saat teori
resepsi dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis,
postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu ditunjukkan bagaimana
perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan
genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu,
empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu
direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain
dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
          Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori
resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai penemuan
makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci
dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau estetika
tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan
memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib
dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan
pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang
terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan
pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
          Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra
menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari
sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang
beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula.
Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru
pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya.
Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi
dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.
(Jauss 1983: 21)
          Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan
historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu
menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam
konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah
sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif
yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk
dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya
menyajikan permasalahan baru.
          Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama dalam teori resepsi adalah
pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat
pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai kekuatan pembentuk
sejarah. Dalam pandangan Jauss (1983: 12) suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa
tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu yang diharapkan.
          Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa karya sastra sejak awal
kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Apresiasi pembaca pertama
terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tanggapan-tanggapan dari pembaca
berikutnya (Jauss 1983: 14).
          Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat
dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang
memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara satu
pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan karena adanya perbedaan horizon harapan
dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra
umunya harus bersifat historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman
dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari
horizon harapan setiap pembacanya.
          Pradopo (2007: 210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan
penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini
menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis
merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-
tanggapan pembaca pada setiap periode.
          Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya.
Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison
harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam
momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang
telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada
dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus
proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian
dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
          Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman,
pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut
Segers (dalam Pradopo 2007: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama,
ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca.
Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca
sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca
untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam
horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan.
          Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2) pengetahuan dan
pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman
membaca karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa
sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang
pembaca bayangan.
          Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi
pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan
interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat pembaca di
lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan
antara pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca
sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya.
Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon
harapan pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari
penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru
yang mendominasi.
          Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-
horizon harapan pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan
pengarang (Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan aspek sastra
dan estetika, melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar
pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama;
(2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca; (3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan
sastra pembaca; (4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya mempertanyakan teks;
dan (5) siatuasi penerimaan seorang pembaca.
          Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca;
(2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami
teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari pengetahuan tentang kehidupan.

You might also like