Professional Documents
Culture Documents
Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak
pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman;
menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan
Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan,
Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan
sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup
populer di kawasan ini.
Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini
mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur
merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan
anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini.
Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura, mengingat
besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing merupakan
perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak
dipengaruhi oleh budaya Hindu.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang
berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara
lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara
menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan
(upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.
Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim
donga pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.
Festival Bandeng selalu digelar setiap tahun. Namun, ada yang berbeda dalam perayaan tahun
ini. Kegiatan tersebut tidak dibarengi dengan acara lelang (menjual dengan harga tawar yang
paling tinggi) bandeng kawak yang sudah menjadi tradisi masyarakat Sidoarjo.
Kurang biaya dan bencana lumpur Sidorjo menjadi penyebab lelang itu dihilangkan.
Walaupun tidak ada lelang, kegiatan tersebut diharapkan bisa mendorong petani untuk tetap
membudidayakan ikan bandeng dengan bobot tak wajar alias raksasa.
Pemkab Sidoarjo sangat memperhatikan pelestarian bandeng karena ikan itu adalah ikon
utama Kabupaten Sidoarjo.
Festival yang juga bertujuan melestarikan budaya tradisional tahunan masyarakat Sidoarjo itu
diikuti empat peserta petambak di Kabupaten Sidoarjo. Peserta berlomba menunjukkan hasil
tambak berupa bandeng yang paling sehat dan terbaik.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum disusun oleh satuan
pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan
potensi yang ada di daerah.
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai
objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat
konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra
sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh.
Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam
kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi
tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra
itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang
seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra
dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang
dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika
kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan
dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu,
dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan
masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar
tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa
yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita
berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon
harapan kita.
APLIKASI PSIKOANALISIS DALAM KARYA SASTRA
Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah
studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses
kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada
karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang
digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang
sastra.
Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu
sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra.
Sastra Feminis
Sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah
pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan
pada
kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat yang
terpinggirkan, masyarakat marjinal. Teori sastra feminis, yaitu teori yang
berhubungan
dengan gerakan perempuan,adalah salah satu aliran yang banyak memberikan
sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis berakar dari
pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis adalah
kesetaraan
antara martabat perempuan dan laki-laki.
Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai
manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.
John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan
kegunaan yang total (kebahagiaan / kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap
individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling
membatasi
atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa
jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka
masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta
pendidikan
yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).
Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini
berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya
konflik
kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme
mencoba
untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan
didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus
menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme
mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan
kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak
ketidakadilan
sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin
yang
berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004 : 186).
Betty Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang
kehidupan : sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal,
Friedan ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu
peranperan
yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat
yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan,
baik di
dalam akademi, forum, maupun pasar (Tong, 1998 : 49).
Teori feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat
perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek
perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan
masculinefeminine
merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna, 2004 : 184).
Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir
bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah
keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal (Tong, 1998 :
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan
pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan
tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Secara
definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan
sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan
respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang
pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna
2009: 165).
Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi literer yang kemudian banyak
dikerjakan, tetapi jalur yang dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan
seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut menjadi terasa benar saat teori
resepsi dikonfrontasikan dengan keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis,
postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu ditunjukkan bagaimana
perkembangbiakan wacana yang menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan
genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih produktif. Oleh karena itu,
empat wilayah reseptif yang meliputi teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu
direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasinya dengan kecenderungan lain
dalam kritik sastra kontemporer menjadi lebih tampak.
Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori
resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai penemuan
makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci
dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau estetika
tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan
memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib
dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan
pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang
terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan
pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra
menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari
sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang
beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula.
Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru
pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya.
Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi
dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.
(Jauss 1983: 21)
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan
historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu
menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam
konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah
sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif
yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk
dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya
menyajikan permasalahan baru.
Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama dalam teori resepsi adalah
pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat
pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai kekuatan pembentuk
sejarah. Dalam pandangan Jauss (1983: 12) suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa
tertentu berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu yang diharapkan.
Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa karya sastra sejak awal
kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Apresiasi pembaca pertama
terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tanggapan-tanggapan dari pembaca
berikutnya (Jauss 1983: 14).
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat
dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang
memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara satu
pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan karena adanya perbedaan horizon harapan
dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra
umunya harus bersifat historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman
dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari
horizon harapan setiap pembacanya.
Pradopo (2007: 210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan
penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode. Penelitian ini
menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis
merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang menggunakan tanggapan-
tanggapan pembaca pada setiap periode.
Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya.
Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison
harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam
momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang
telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada
dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus
proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian
dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman,
pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut
Segers (dalam Pradopo 2007: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama,
ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca.
Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca
sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca
untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam
horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2) pengetahuan dan
pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman
membaca karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa
sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang
pembaca bayangan.
Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca merupakan jawaban dari persepsi
pembaca yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan
interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat pembaca di
lain pihak. Interpretasi pembaca merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan
antara pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan pembaca
sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya.
Kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif pembaca. Horizon
harapan pembaca mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari
penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru
yang mendominasi.
Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-
horizon harapan pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan
pengarang (Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan dengan aspek sastra
dan estetika, melainkan juga menyangkut aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar
pembaca, yang berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, dan agama;
(2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca; (3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan
sastra pembaca; (4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya mempertanyakan teks;
dan (5) siatuasi penerimaan seorang pembaca.
Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983: 24) ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu: (1) norma-norma umum yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca;
(2) pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami
teks baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari pengetahuan tentang kehidupan.