Professional Documents
Culture Documents
Tulus Tambunan
Kadin-Indonesia – Jetro (2006)
I. Latar Belakang
Walaupun satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia sudah kembali menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang positif, namun hingga saat ini pertumbuhannya rata-rata per tahun relatif masih lambat
dibandingkan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis seperti Korea Selatan dan Thailand, atau masih jauh lebih
rendah dibandingkan pertumbuhan rata-rata per tahun yang pernah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru (ORBA), khususnya
pada periode 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Salah satu penyebabnya adalah masih belum intensifnya kegiatan
investasi, termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA). Padahal era ORBA
membuktikan bahwa investasi, khususnya PMA, merupakan faktor pendorong yang sangat krusial bagi pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Terutama melihat kenyataan bahwa sumber perkembangan teknologi,
perubahan struktural, diversifikasi produk, dan pertumbuhan ekspor di Indonesia selama ORBA sebagian besar karena
kehadiran PMA di Indonesia.
Banyak sekali faktor-faktor yang sebagian besar saling terkait satu sama lainnya dengan pola yang sangat kompleks
yang menyebabkan lambatnya pemulihan investasi di Indonesia hingga saat ini. Faktor-faktor tersebut mulai dari yang sering
disebut di media masa yakni masalah keamanan, tidak adanya kepastian hukum, dan kondisi infrastruktur yang buruk, hingga
kondisi perburuhan yang semakin buruk.
Jadi dari uraian di atas, pokok permasalahan yang menjadi pembahasan utama dari tulisan ini adalah iklim investasi
yang sangat kompleks, yang implikasinya adalah bahwa kebijakan investasi tidak bisa berdiri sendiri. Dalam kata lain,
bagaimanapun bagusnya suatu kebijakan investasi, efektivitas dari kebijakan tersebut akan tergantung pada banyak faktor lain
di luar wilayah kebijakan investasi, karena faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan
investasi atau membukan usaha baru di Indonesia. Lebih spesifik, tulisan ini akan membahas masalah, tantangan dan potensi
investasi di Indonesia.
II. Masalah
Gambar 1 menunjukkan bahwa setelah krisis 1998 jumlah proyek baru PMA, paling tidak berdasarkan data persetujuan
dari BKPM, sempat mengalami peningkatan. Namun setelah tahun 2000, jumlahnya menurun dan cenderung akan berkurang
terus. Satu hal yang menarik dari data BKPM tersebut adalah bahwa sejak krisis, jumlah proyek baru PMA rata-rata per
tahunnya lebih besar daripada jumlah proyek baru PMDN.(penanaman modal dalam negeri). Ini menandakan bahwa bagi
perkembangan investasi langsung/jangka panjang di dalam negeri, khususnya dalam periode pasca krisis, peran PMA jauh
lebih penting daripada PMDN. Namun demikian, dilihat dari nilai netonya (arus investasi masuk – arus keluar), gambarannya
setelah krisis lebih memprihatinkan; walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif (Tabel 1).
Lebih banyaknya arus PMA keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia. Terutama
perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi,
2000
1500
1000
500
0
68
70
72
74
76
78
80
82
84
86
88
90
92
94
96
98
00
02
04
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
20
20
20
PMDN PMA Total
Sumber: BKPM
Tabel 1: Nilai Neto Arus PMA ke Indonesia, 1990-2004 (juta dollar AS)
Tahun Nilai
1990 1.093
1991 1.482
1992 1.777
1993 2.004
1994 2.109
1995 4.346
1996 6.194
1997 4.667
1998 - 356
1999 -2.745
2000 -4.550
2001 -2.978
2002 145
2003 -597
2004 423
Catatan: arus masuk PMA termasuk privatisasi BUMN kepada pihak asing, dan
restrukturisasi perbankan, terutama penjualan asset-aset bank ke investor
asing.
Sumber: Bank Indonesia: Indonesian Financial Statistics, beberapa terbitan berturut-
Turut sampai Februari 2005
Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di
negara-negara lain. Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak
krisis ekonomi 1998; walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000. Hal ini ada kaitannya dengan iklim
politik yang semakin baik dibandingkan pada periode 1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk
menanam modal mereka di Indonesia.
1
Untuk kasus India, lihat misalnya Aghion dkk. (2003), Ahluwalia (2002), Rodrik dan Subramanian (2004), dan World Bank (2005a);
untuk kasus China, lihat antara lain Chen dan Wang (2001), Qian (2003), Young (2000), dan World Bank (2005a).
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 3 www.kadin-indonesia.or.id
sekitar 600 responden, 12,6% menyatakan mengalami perselisihan dalam penentuan upah, 5.8% mengalami masalah dengan
jaminan sosial tenaga kerja, dan 8,4% mengalami masalah dengan serikat buruh (ISEI, 2006).
Hubungan industrial merupakan salah satu titik rawan dalam daya saing perekonomian Indonesia. Walaupun secara
kuantitas jumlah pemogokan di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan yang drastis sejak reformasi dimulai tahun 1998
lalu tetapi risiko ketidakpastian yang ditimbulkan oleh hubungan industrial yang adversial merupakan faktor penting yang
membuat daya tarik Indonesia untuk investasi menjadi rendah dibandingkan Cina dan Vietnam. Sering terjadinya pemogokan
akan membuat kerugian besar bagi perusahaan-perusahaan, dan hal ini jelas akan menghilangkan niat calon investor untuk
berinvestasi di Indonesia.
Gambar 2: Faktor-faktor Penghambat Bisnis dalam The Global Competitiveness Report 2005-2006.
Inflasi
Etika kerja dari tenaga kerja buruk
Pemerintah tidak stabil (coups)
Kriminalitas
Regulasi valas
Akses ke keuangan
Tarif pajak
Regulasi tenaga kerja restriktif
0 5 10 15 20 25
Masalah serius lainnya adalah peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah.
Keterbatasan anggaran dan lemahnya prioritas kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan penerimaan
pajak dan retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Pengenaan pungutan atas
lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar kabupaten hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan
birokrasi perijinan dan beban retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk meningkatkan
Kadin Indonesia-Jetro, 2006 4 www.kadin-indonesia.or.id
penerimaan asli daerah (PAD) menimbulkan peningkatan biaya bisnis, yang berarti juga memperbesar risiko kerugian bagi
investasi, dan merupakan lahan subur bagi praktek-praktek korupsi.
Hasil survei LPEM di tahun 2005 menunjukkan penurunan biaya informal yang harus dibayarkan perusahaan-perusahaan
yang telah beroperasi kepada aparat pemerintah daerah dari sekitar 10,8% di tahun 2001 menjadi 6,4% di tahun 2005.
Walaupun demikian, untuk pemain yang baru masuk entry cost tetap tinggi yaitu sekitar 9% dari nilai modal awal. Biaya-
biaya ini sebagian besar digunakan untuk mendapatkan ijin lokasi dan AMDAL (ISEI, 2006).
Mahalnya memulai bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia. Suatu
laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya
maupun jumlah hari dalam melakukan bisnis. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 3, untuk mengurus semua perizinan usaha,
seorang pengusaha memerlukan sekitar 151 hari, dan besarnya biaya dan modal minimum yang diperlukan berkisar sekitar,
masing-masing 130,7% dan 125,6% dari pendapatan per kapita di Indonesia. Banyaknya izin dan jumlah hari yang diperlukan
di Indonesia juga ditunjukkan oleh hasil penelitian dari LPEM-FEUI yang ditunjukkan di Gambar 3.
Izin gangguan 25
Izin prinsip 27
Izin lokasi 34
IMB 35
Izin lingkungan
43
hidup
0 10 20 30 40 50
Sejumlah masalah yang telah disebut di atas mencerminkan kualitas dari kelembagaan publik di Indonesia. Buruknya
kelembagaan publik di Indonesia juga ditunjukkan di dalam laporan tahunan dari WEF (Tabel 4). Dapat dilihat bahwa untuk
hampir semua indikator tersebut, kondisi Indonesia semakin buruk. Misalnya, dalam hal kemandirian judicial dari pengaruh
politik dari anggota-anggota pemerintah (misalnya menteri dan presiden), politikus, masyarakat, dan perusahaan, peringkat
Indonesia jatuh dari 58 ke 68; walaupun secara relatif kejatuhannya lebih kecil karena jumlah sampel negara bertambah.
Dalam hal kerangka kerja legal bagi pelaku usaha untuk menangani perselisihan-perselisihan bsinis dan menolak legalitas
dari tindakan-tindakan atau peraturan-peraturan pemerintah, posisi Indonesia menurun dari 51 ke 73. Untuk dua indikator
berikut yang merupakan salah satu penentu krusial bagi pertumbuhan investasi, Indonesia juga masih buruk kinerjanya, yakni
hak-hak properti dan perlindungan kekayaan intelektual.
Tabel 4: Posisi Indonesia untuk Beberapa Indikator mengenai Kelembagaan Publik dalam
The Global Competitiveness Report 2004-2005 dan 2005-2006
Indikator Peringkat
2004-2005 2005-2006
(104 negara) (117 negara)
Kemandirian Judisial 58 68
Efisiensi dari kerangka kerja legal 51 73
Hak Properti 67 88
Perlindungan kekayaan intelektual 47 68
Pemborosan dalam pengeluaran pemerintah 25 40
Beban dari regulasi pemerintah pusat 15 45
Tingkat birokrasi 85 48
Tingkat dan efek dari perpajakan 27 24
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam ekspor dan impor 75 106
Pembayaran tidak reguker.ilegal dalam pemakaian utilitas publik 70 94
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam pembayaran pajak 76 104
Pembayaran tidak regular.ilegal dalam kontrak publik 46 84
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam keputusan judisial 69 99
Sumber: WEF (2004, 2005).
Perihal pemborosan atau efisiensi dalam pengeluaran pemerintah, yakni apakah pemerintah menyediakan barang-barang
dan jasa-jasa kebutuhan pokok bagi dunia usaha yang tidak disediakan oleh pasar, termasuk infrastruktur dasar, posisi
Indonesia juga memburuk. Dalam hal beban yang harus ditanggung oleh pelaku bisnis dari regulasi-regulasi pemerintah
pusat, yakni dalam memenuhi persyaratan-persyaratan administrasi berkaitan dengan perizinan, pelaporan, dsb.nya,
sebelumnya Indonesia berada pada posisi yang relatif baik dari 104 negara menjadi lebih buruk. Perbedaan ini
mengindikasikan bahwa distorsi pasar domestik semakin besar dalam satu tahun terakhir ini akibat regulasi-regulasi
pemerintah pusat.
Untuk tingkat birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan bahwa tingkat efisiensi dari birokrasi di
Indonesia sangat rendah dan ini merupakan salah satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif in Indonesia. Faktor
lainnya yang juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau disinsentif bagi keinginan untuk melakukan
bisnis atau investasi adalah pajak, dan untuk ini Indonesia relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit membaik, yang
Gambar 4. Peringkat Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya untuk Kualitas Infrastruktur
Secara Keseluruhan dalam The Global Competitiveness Report 2005-2006.
7
0
Indonesia Denmark Singapore USA Japan Malaysia Korea Thailand China India
III. Tantangan
Jelas, bagaimana bisa memenangkan persaingan dengan negara-negara tetangga dalam menarik PMA merupakan suatu
tantangan besar bagi Indonesia saat ini. Tantangan terutama sangat berat untuk menarik atau mempertahankan PMA yang
sudah beroperasi di Indonesia di industri-industri footloose seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Mungkin untuk menarik
PMA di sektor pertambangan, Indonesia tidak perlu terlalu kuatir, karena bagaimanapun juga suatu perusahaan asing yang
sangat tergantung pada bahan baku yang hanya dimiliki oleh sejumlah kecil negara di dunia, termasuk Indonesia seperti
misalnya migas, batu bara dan emas, harus beroperasi di Indonesia. Jadi dalam hal ini persaingan yang dihadapi Indonesia
relatif kecil, dibandingkan dengan persaingan dalam menarik PMA untuk industri-industri non-sumber daya alam. Dengan
biaya transportasi yang menurun terus selama ini akibat kemajuan teknologi dalam transportasi dan informasi, bukan lagi
merupakan penghalang bagi sebuah perusahaan asing untuk membangun pabriknya di, misalnya Malaysia, walaupun
sebagian besar produknya untuk pasar domestik di Indonesia. Apalagi jika sebuah perusahaan multinasional pada awalnya
ingin membanguan pabriknya di Indonesia dengan tujuan pasar ASEAN. Walaupun upah buruh paling murah di Indonesia
dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya, namun jika begitu banyak permasalahan di dalam negeri sehingga pada
11
akhirnya membuat total biaya produksi di Indonesia menjadi lebih mahal daripada misalnya di Malaysia, maka sudah dapat
dipastikan si investor tersebut akan memilih Malaysia sebagai negara tujuan pertama.
Laporan dari UNCTAD (2004) menyajikan peringkat sepuluh (10) besar negara-negara penerima PMA di Asia
dan Pasifik (Gambar 5). Sudah diduga, China (termasuk Hong Kong) merupakan negara penerima terbesar, yang
mencerminkan daya saing investasi dari negara tersebut paling tinggi di kawasan tersebut. Banyak faktor yang
membuat negara Panda tersebut sangat menarik untuk investasi, diantarnya stabilitas politik dan sosial, kebijakan
ekonominya yang sangat mendukung kegiatan bisnis, kondisi tenaga kerja baik dalam keterampilan maupun
keuletan bekerja yang jauh lebih baik dibandingkan di Indonesia, dan kondisi infrastruktur yang baik. Di dalam
kelompok ASEAN, hanya Singapura, Malaysia dan Thailand yang masuk dalam Top 10. Ini menandakan bahwa
dari perspektif ASEAN, daya saing Singapura adalah yang paling tinggi untuk menarik PMA. Satu hal yang sangat
menarik dari gambar ini adalah bahwa China dan India yang belakangan ini sering disebut-sebut sebagai pendatang
baru di dalam perdagangan regional yang sangat berpotensi menjadi dua kekuatan ekonomi global merupakan
tujuan penting PMA. Jika hal ini berlangsung terus, sangat dapat dipastikan bahwa kedua negara tersebut dalam
waktu singkat akan benar-benar menjadi kekuatan-kekuatan baru ekonomi global, dan ini akan menjadi suatu
ancaman serius bagi kelangsungan ekspor Indonesia ke kawasan Asia atau dunia pada umumnya.
Gambar 5. Asia dan Pasifik: 10 negara terbesar penerima PMA, 2002 dan 2003 (miliar dollar AS)
Lebih spesifik lagi, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah kemampuannya menghilangkan semua
permasalahan yang disebut di atas dalam waktu sesingkat-singkatnya. Waktu sangat penting saat ini karena
perubahan-perubahan global yang semakin cepat dibandingkan dengan, bilang 20 tahun yang lalu, terutama dalam
12
teknologi, sistem keuangan, pola perdagangan baik pada tingkat regional (regionalism) maupun pada tingkat dunia,
dan selera masyarakat dunia sebagai konsekuensi dari peningkatan pendapatan dunia per kapita. Perubahan-
perubahan ini membuat pola produksi yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional berubah terus,
dan ini selanjutnya mempengaruhi pemilihan lokasi usaha. Sebagai satu contoh konkrit, jika Indonesia tidak cepat
memperbaiki kondisi infrastrukturnya, sementara Cina dengan laju yang cepat terus membangun jalan-jalan raya,
jaringan-jaringan telekomunikasi, areal-areal untuk industri, dan pelabuhan-pelabuhan, maka Indonesia akan
kehilangan peluang mendapatkan investasi-investasi baru dari luar.
Belakangan ini peristiwa-peristiwa seperti kasus Free Port yang mencapai klimaknya dengan kasus pemberian
visa sementara oleh pemerintah Australia bagi sejumlah warga Papua, ditambah lagi dengan banhyaknya
permasalahan yang hingga saat ini belum tuntas seperti revisi undang-undang perburuhan dan undangt-undang
investasi, serta infrastruktur yang semakin buruk kondisinya (seperti jalan Pantura) semakin mempersulit Indonesia
dalam menghadapi tantangan tersebut di atas.
Yang pasti, jika Indonesia tidak mampu menghadapi tantangan ini, konsukwensinya sangat besar, mulai dari hilangnya
kesempatan kerja, devisa (jika perusahaan bersangkutan melakukan ekspor) dan transfer teknologi. Yang pertama tentu akan
berakibat pada lambatnya penurunan kemiskinan; yang kedua akan berakibat pada semakin besarnya kebutuhan Indonesia
terhadap pinjaman luar negeri yang selanjutnya mengancam Indonesia terjerumus ke krisis utang luar negeri; dan yang
terakhir akan berakibat pada tertinggalnya Indonesia dalam pembangunan sektor industri baik dari sisi kualitas maupun dari
sisi daya saing karena lemahnya kemampuan teknologi di dalam negeri.
IV. Potensi
Potensi Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran (produksi) maupun sisi permintaan. Dari
sisi penawaran, harus dibedahkan antara potensi jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang
masih dapat diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak sumber daya alam (SDA), termasuk komoditas-
komoditas pertambangan dan pertanian, dan jumlah tenaga kerja yang besar. Sedangkan potensi jangka panjang adalah
pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang
tidak mampu mengembangkan teknologi dan meningkatkan kualitas SDM-nya; namun ini sangat tergantung pada kemauan
sungguh-sungguh dari negara tersebut.
Jika potensi jangka panjang ini tidak dapat direalisasikan, dan berbagai permasalahan seperti yang telah disebut di atas
juga tidak tuntas, maka lambat laun potensi jangka pendek akan hilang. Misalnya, salah satu permasalahan tenaga kerja di
Indonesia adalah kualitas serta etos kerja yang rendah. Selama ini, keunggulan klasik dari tenaga kerja Indonesia relatif
dibandingkan banyak negara lain adalah upah murah, namun saat ini dan terutama di masa depan, keunggulan ini (potensi
jangka pendek) tidak bisa lagi diandalkan sepenuhnya. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, persaingan yang semakin
ketat akibat munculnya banyak pemain-pemain baru di pasar dan produksi global yang sangat agresif dan semakin ketatnya
penerapan segala macam standarisasi produk yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan konsumen, maka Indonesia
masih bisa mengandalkan upah buruh murah hanya apabila dikombinasikan dengan kualitas tenaga kerja yang tinggi. Karena
upah murah akan tidak berarti apa-apa, jika produktivitasnya rendah dan produk yang dihasilkan berkualitas buruk.
13
Dari sisi permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk (dan strukturnya menurut umur) dan pendapatan riil
per kapita. Kedua faktor ini secara bersama menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi
keuntungan bagi seorang investor. Dari segi jumlah penduduk, tentu Indonesia, seperti halnya China dan India, merupakan
potensi pasar yang sangat besar. Namun jumlah penduduk saja tidak cukup jika pendapatan penduduk rata-rata per orang atau
kemampuan belanja konsumen di Indonesia kecil. Oleh karena itu, kemampuan Indonesia untuk pulih kembali setelah krisis
dengan menghasilkan pertumbuhan PDB riil rata-rata per kapita yang tinggi yang paling tidak seperti pada masa Orde Baru
menjadi salah satu pertimbangan serius bagi calon investor asing.
Saat ini Indonesia masih dalam proses pemulihan, yang ditandai dengan semakin tingginya pertumbuhan PDB yang
kembali positif sejak 1999 walaupun dengan laju yang relatif lambat. Dengan pendapatan yang cenderung meningkat, yang
berarti potensi pasar di dalam negeri cenderung meningkat, maka dari sisi permintaan potensi Indonesia untuk investasi
sangat baik (Gambar 6). Namun, dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk negara-negara yang
juga mengalami krisis yang sama, Indonesia masih buruk. Berdasarkan database dari Asian Development Bank, Thailand
yang mengalami krisis ekonomi sama parahnya seperti yang dialami Indonesia ternyata mampu mengenjot pertumbuhan
sebesar 4.4% tahun 1999. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun yang sama hanya 0,9% (menurut BPS
0,8%).Yang paling menarik dari laporan ADB ini adalah bahwa ternyata Vietnam merupakan negara yang paling baik
pertumbuhan ekonominya di kawasan tersebut Pada tahun 1999 negara itu mengalami pertumbuhan sekitar 4,7%, lebih tinggi
daripada laju pertumbuhan rata-rata dari semua negara di Asia Tenggara yakni sebesar 3,8%; dan tahun 2002 diperkirakan
tumbuh 7,1%. Dua tahun berikutnya ekonomi Vietnam tumbuh masing-masing 7,3% dan 7,7%. Filipina juga terkena krisis
dan tahun 2001 ekonominya tumbuh hanya 1,8%; namun tiga tahun berikutnya laju pertumbuhan ekonominya menanjak terus
hingga mencapai sekitar 6,1% pada tahun 2004. Demikian juga Malaysia, yang ekonominya pada tahun 2001 tumbuh hanya
0,3%, namun pada tahun 2004 mencapai 7,1% (Gambar 7).
10
5.8
5 4.9 4.9 5.1
3.8 4.4
0.8
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
%
-5
-10
-13.1
-15
14
Gambar 7 Pertumbuhan PDB di Beberapa Negara di Asia Tenggara (%)
9
5
%
3 Indonesia
Vietnam
2 Philippines
Malaysia
1
0
2001 2002 2003 2004
Jika laju pertumbuhan pendapatan per kapita di Indonesia tetap rendah, atau jauh lebih rendah dibandingkan di China yang
dalam 10 tahun belakangan ini mencapai rata-rata 9% per tahun, maka potensi pasar di Indonesia secara relatif akan mengecil.
Hal ini tentu menjadi salah satu pertimbangan penting bagi seorang investor asing. Bagi sebuah perusahaan fast food dari
Jepang, China akan menjadi pilihan utama sebagai lokasi untuk mendirikan cabangnya jika pendapatan per kapita di China
dengan penduduk lebih dari 1 miliar orang, dan hobinya sama seperti orang Indonesia suka makan, tumbuh jauh lebih pesat
daripada di Indonesia yang penduduknya hanya 225 juta orang.
Awal Maret 2006, pemerintah Indonesia mengeluarkan paket kebijakan investasi yang baru lewat Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 3 tahun 2006. Paket ini memuat matriks program berisi serangkaian tindakan, hasil yang ditujum, target waktu,
serta penanggung jawab setiap komponen. Langkah tersebut meliputi upaya memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan
sinkronisasi peraturan pusat dan daerah, kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, serta usaha kecil, menengah dan
koperasi. Salah satu tindakan pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi adalah menyederhanakan proses pembentukan
perusahaan dan izin usaha. Keluaran yang diharapkan dari tindakan itu adalah berkurangnya waktu yang dibutuhkan secara
bertahap dari rata-rata 150 hari menjadi 30 hari. Hal ini antara lain ditempuh dengan cara pendelegasian wewenang pengesahan
badan hukum kepada Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia di propinsi. Pembenaan perpajakan dalam paket tersebut
terkait dengan target menyelesaikan amandemen tiga undang-undang (UU), yakni UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak
Penghasilan, serta UU Pajak Pertambahan Nilai. Dalam paket itu diatur revisi, terutama yang berhubungan dengan ketentuan
umum perpajakan. Paket kebijakan yang berhubungan dengan bea masuk dan cukai terkait dengan target percepatan sistem
pelayanan satu jendela melalui berbagai macam modernisasi. Ini terkait dengan upaya meningkatkan jumlah perusahaan yang
masuk ke dalam jalur prioritas (green line), yakni perusahaan yang mendapatkan pelayanan lebih cepat tanpa terlalu banyak
pemeriksaan.
15
Sekarang pertanyaannya: apakah paket kebijakan investasi yang baru ini efektif, dalam arti bisa betul-betul mendongkrak
investasi di Indonesia dalam, bilang, 2-5 tahun ke depan? Mungkin jawabannya bisa diberikan dengan dua penjelasan sebagai
berikut. Pertama, menurut laporan Bank Dunia (World Bank 2005a) mengenai iklim investasi, menciptakan suatu iklim
investasi memerlukan suatu kebijakan investasi yang menangani tiga hal berikut: biaya, risiko, dan pembatasan bagi
persaingan, yang mana pemerintah memiliki pengaruh sangat kuat. Jika pengaruh pemerintah lewat kebijakan atau perilakunya
terhadap ke tiga aspek tersebut negatif, misalnya biaya usaha/investasi menjadi mahal, maka kebijakan-kebijakan tersebut telah
menghilangkan/mengurangi kesempatan bagi pertumbuhan usaha-usaha baru atau perluasan kapasitas produksi dari usaha-
usaha yang ada, yang artinya menghilangkan kemungkinan peningkatan investasi.
Seperti yang dapat dilihat di Tabel 8, kebijakan dan perilaku pemerintah yang dapat mempengaruhi secara langsung
maupun tidak langsung biaya investasi adalah mulai dari korupsi, besarnya tarif dan sistem perpajakan yang tidak kondusif,
jasa-jasa publik, kebijakan perdagangan mengenai bea masuk impor, birokrasi dalam pengurusan izin, kebijakan moneter yang
mempengaruhi tingkat suku bunga dan inflasi, hingga pengeluaran pemerintah untuk pembangunan atau perbaikan
infrastruktur. Besarnya pengaruh dari semua ini terhadap biaya investasi tentu bervariasi menurut sektor atau jenis kegiatan
ekonomi dan kondisi (terutama keuangan) perusahaan yang melakukan investasi. Bagi perusahaan-perusahaan multinasional
yang biasanya memakai sumber eksternal untuk modal pembiayaan, mungkin tidak stabilnya suku bunga di dalam negeri tidak
terlalu masalah. Atau, bagi perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan ekonomi di dalam negeri yang tidak terlalu
tergantung pada impor untuk bahan bakunya, mungkin besarnya bea masuk impor tidak terlalu mengganggu kegiatan mereka..
Kedua, kegiatan investasi berada di dalam suatu lingkungan bisnis yang dinamis dan sangat kompleks. Oleh karena itu,
usaha pemerintah, sebaik apapun juga, untuk menciptakan investasi, atau menarik masuk PMA tidak akan berhasil tanpa
16
mempertimbangkan lingkungan bisnis di sektor yang menjadi tujuan investasi dan konteks dari suatu pembangunan ekonomi
yang lebih luas yang menciptakan ”aturan main” untuk semua kegiatan/jenis usaha dan yang mana mempengaruhi cara bisnis
dan pasar bekerja. Lingkungan di mana bisnis beroperasi dapat dibagi dalam dua macam, yakni lingkungan langsung dan
lingkungan yang lebih luas (Gambar 8). Lingkungan yang lebih luas adalah lingkungan yang berpengaruh secara tidak
langsung terhadap suatu kegiatan bisnis, yang terdiri dari komponen-komponen berikut: ekonomi makro (seperti kebijakan
perdagangan, kebijakan industri, kebijakan sektor keuangan, dan kebijakan moneter dan fiskal), pemerintah dan politik pada
tingkat nasional dan lokal (misalnya legislatif dan proses pembuatan kebijakan, judisiari, dan keamanan dan stabilitas), jasa-
jasa yang diberikan oleh pemerintah (seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, infrastruktur, utilitas dan jasa keamanan),
pengaruh-pengaruh eksternal (seperti perdagangan global, bantuan luar negeri, tren dan selera masyarakat dunia, teknologi,
dan informasi), sosial dan kultur (seperti demografi, selera konsumer, dan sikap terhadap bisnis), dan iklim serta lingkungan
alam (misalnya sumber daya alam, cuaca, dan siklus pertanian).
Sedangkan, yang dimaksud lingkungan langsung adalah lingkungan berpengaruh secara langsung terhadap semua kegiatan
usaha, yakni pasar (misalnya consumen, tenaga kerja, keterampilan dan teknologi, material dan alat-alat produksi, lokasi,
infrastruktur, modal, dan jaringan-jaringan kerja), regulasi dan birokrasi (seperti undang-undang, peraturan-peraturan, tarif
pajak dan sistem perpajakan, lisensi dan perijinan, standar produk dan proses, dan perlindungan konsumer dan lingkungan),
dan intervensi-intervensi yang didanai oleh uang publik (seperti jasa keuangan untuk bisnis). 2
Implikasi dari kenyataan di atas terhadap kebijakan investasi adalah jelas bahwa kebijakan tersebut tidak akan membawa
suatu hasil yang efektif, dalam arti investasi tidak akan meningkat jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lain yang
mempengaruhi komponen-komponen lain dari lingkungan usaha. Misalnya, di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan
investasi di dalam negeri dengan memberikan insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan baru atau perusahaan-perusahaan
yang mau memperluas kapasitas produksinya, sementara, di sisi lain, pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan yang
menghapuskan bea impor bagi suatu produk yang kebetulan adalah produk yang menarik bagi calon-calon investor. Atau,
contoh lainnya, walaupun banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada investor, investasi tidak akan meningkat
atau PMA, khusunya industri-industri yang bersifat footloose seperti elektronik dan tekstil, tidak akan memilih Indonesia
sebagai tempat kegiatannya selama kondisi infrastruktur belum baik atau tingkat sumber daya manusia (SDM) di Indonesia
semakin buruk relatif dibandingkan di negara-negara tetangga. Dengan kemajuan teknologi dan dalam era perdagangan bebas,
faktor-faktor keunggulan kompetitif menjadi lebih penting daripada faktor-faktor keunggulan komparatif dalam
mempengaruhi mobilisasi investasi lintas negara/wilayah.
VI. Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas bahwa kebijakan investasi seperti Paket Kebijakan Investasi 2006 tidak akan berarti apa-
apa jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lainnya seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan
perdagangan luar negeri, kebijakan industrialisasi, kebijakan perburuhan, dan lainnya. Sayangnya, pengalaman
Indonesia selama ini dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi menunjukkan paling tidak
dua masalah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Pertama, sering kali terjadi tumpang tindih atau
2
Komponen-komponen di dalam linkungan langsung ini juga merupakan komponen-komponen penting di dalam model “diamond” yang
terkenal dari Porter (1998a,b) yang sangat berpengaruh pada daya saing negara.
17
Gambar 8: Dunia Usaha di Dalam Lingkungan Langsung dan yang Lebih Luas
Lingkungan Langsung
Pasar
Konsumen Tenaga Kerja
Regulasi & Intervensi
birokrasi Material & alat Usaha Ketrampilan & dengan dana
produksi teknologi publik
Jaringan kerja
Modal Informasi
Lokasi Infrastruktur
18
perbenturan antara dua (atau lebih) kebijakan, yang mencerminkan tidak adanya suatu koordinasi yang baik antara
departemen/kementerian dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan mereka masing-masing. Kedua,
dalam pelaksanaan suatu kebijakan, juga tidak ada koordinasi yang baik antar sub-departemen atau antara pusat dan
daerah di dalam sebuah departemen yang sama yang mengeluarkan kebijakan tersebut.
Dapat dipastikan, jika dua permasalahan di atas tidak dibenahi, Paket 2006 tersebut tidak akan berhasil
meningkatkan investasi secara signifikan di Indonesia. Karena, sebagian besar dari isi dari Paket tersebut jelas-jelas
menunjukkan perlunya koordinasi yang baik antar departemen. Paket tersebut jelas-jelas mencerminkan bahwa
BKPM tidak memonopoli masalah investasi, tetapi ada banyak departemen lain yang terlibat terutama Departemen
tenaga kerja, Departemen perdagangan, Departemen perindustrian, Departemen kaungan, termasuk bea cukai.
Daftar Pustaka
ISEI (2006), ”Rekomendasi Kebijakan Pemerintah. Langkah-Langkah Strategis Pemulihan Ekonomi Indonesia”,
Jakarta: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.
Aghion, P., R. Burgess, S. Redding, dan F. Zilibotti (2003), “The Unequal Effects of Liberalization: Theory and
Evidence from India”, research paper, London: Center for Economic Policy Research.
Ahluwalia, M. (2002), “Economic Reforms in India Since 1991: Has Gradualism Worked?”, Journal of Economic
Perspective, 16(3): 67-88.
Chen, S. dan Y. Wang (2001), “China’s Growth and Poverty Reduction: Trends between 1990 and 1999”, World
Bank Policy Research Working Paper Series 2651, Washington, D.C.: World Bank.
Kompas (2006), “Daya Saing Industri Kritis Tanpa Perbaikan”, Bisnis & Keuangan, Rabu, 15 Februari, hal. 19.
Porter, M.E. (1998a), The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction, New York: The Free Press.
Porter, M.E. (1998b), On Competition, Boston: Harvard Business School Press.WEF (2004), The Global
Competitiveness Report 2004-2005, Oxford University Press.
Purwanto, Antonius (2006), “Pengurusan Izin Rumit dan Mahal”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 21
Februari, halaman 21.
Qian, Y. (2003), “How Reform Worked in China”, dalam D. Rodrik (ed.), In Search of Prosperity: Analytic
Narratives on Economic Growth, Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Rodrik, D., A. Subramanian, dan F. Trebbi (2002), Institutions Rule: The Primacy of Institutions over Geography
and Integration in Economic Development, Cambridge, Mass: Harvard University Press.
Stern, N.H. (2002), A Strategy for Development, Washington, D.C.: World Bank.
UNCTAD (2004), World Investment Report 2004, New York & Geneva: UN.
World Bank (2004), Doing Business in 2005: Removing Obstacles to Growth, Washington, D.C.
19
World Bank (2005a), Iklim Investasi yang Lebih Baik bagi Setiap Orang, Laporan Pembangunan Dunia 2005, The
World Bank, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
World Bank (2005b), “Averting an Infrastructure Crisis”, Infrastructure Policy Brief, January, Jakarta
WEF (2004), The Global Competitiveness Report 2004-2005, Geneva: World Economic Forum.
WEF (2005), The Global Competitiveness Report 2005-2006, Geneva: World Economic Forum.
Young, A. (2000), “Gold into Base Metals: Productivity Growth in the People’s Republic of China during the
Reform Period”, Journal of Political Economy, 111(6).
20