Professional Documents
Culture Documents
MEDAN
Oleh :
Agung Yuriandi
Medan
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaaan anak ditinjau dari sisi agama selain merupakan amanah juga
sebagai karunia Tuhan yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Dari sudut pandang
kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang anak merupakan masa depan dan
baik itu dari kejahatan, kekerasan, diskriminasi, dan bentuk apa pun lainnya yang
dapat dianggap merusak masa depan anak sebagai penerus cita-cita perjuangan
konstitusi yang telah mengamanahkan bahwa anak berhak untuk dilindungi dari
tercantum pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
konstitusi UUD 1945 tersebut dapat diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki
kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Dengan
demikian, berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, negara dalam hal ini
Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal
Declaration of Human Right tahun 1958. Bertitik tolak dari itu, kemudian pada
Rights of The Child (Deklarasi Hak-hak Anak). Sementara itu masalah anak terus
dibicarakan dalam kongres-kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The
Treatment of Offenders.
Juvenile Delinquency. Kemudian pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali
kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional,
mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan Konvensi Hak Anak. Tahun 1989,
rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir
3
tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November.
Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali oleh Somalia dan
Amerika Serikat.
Dalam Pasal 16 Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa tidak ada seorangpun
anak akan dikenai campur tangan semena-mena atau tidak sah terhadap kehidupan
pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, atau mendapat serangan tidak
sah atas harga diri dan reputasinya. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa anak
berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari campur tangan atau serangan
semacam itu. Berdasarkan pada ketentuan tersebut itu, dapat ditarik pengertian bahwa
sejak adanya berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah
maupun badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma Permadi Siwi
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang secara khusus mengatur
Sebagai hak asasi, kesejahteraan anak di Indonesia diatur juga dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun demikian
melihat arti pentingnya anak bagi kelangsungan bangsa dan negara, pemerintah tetap
memandang perlu adanya acuan yuridis formal yang mengatur tentang pelaksanaan
bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
ini telah memunculkan beberapa efek positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Efek atau dampak positif dari perkembangan teknologi dan budaya adalah
semakin canggihnya teknologi yang ada pada saat ini, sedangkan efek negatifnya
adalah adanya pergaulan bebas dan semakin meningkatnya kejahatan seks yang
dasar dalam perspektif HAN/HAM yang harus dilakukan oleh negara. Kewajiban itu
boleh merusak standart hak sebagaimana yang diakui dalam konvensi. Kewajiban ini
harus melakukan sesuatu guna melindungi agar anak tidak terlanggar hak-haknya.
1
Odi Shalahuddin, Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual, http://odishalahuddin.
wordpress.com/2010/06/04/perlindungan-anak-dari-kejahatan-seksual/.
5
melakukan intervensi.2
hukum, di antaranya bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum Islam, hukum
acara perdata dan acara pidana, dan sebagainya. Akan tetapi perbedaan masalah yang
jalur penyelidikan dan penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh penuntut umum/jaksa,
kemudian dilanjutkan dalam sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim. Sementara
penentuan pengasuhan anak bagi orang tua yang bercerai diputuskan melalui
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan di Pengadilan Negeri bagi yang
beragama non Islam.3 Walau banyak sekali regulasi yang mengatur tentang
pentingnya perhatian dan pemenuhan terhadap ahak anak-anak namun ternyata kasus
kekerasan terhadap anak masih sering terjadi, bahkan diantara bentuk kekerasan yang
Perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual harus
menjadi prioritas pemerintah dan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak.
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung
melekat terus dalam situasi dan kondisi apapun, baik itu kondisi darurat maupun non darurat,
baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan, baik korban tindak pidana maupun
Dalam hal perlindungan terhadap anak ini, pasal 59 dan pasal 64 UU No. 22
Pasal 59:
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan,
melakukan penghitungan atas berita-berita perkosaan tahun 1994-1996 yang dihimpun Kalyanamitra
menemukan bahwa setiap tahunnya rata-rata 60% korban perkosaan adalah anak-anak. Mengacu
kepada jumlah kasus perkosaan yang dinyatakan oleh Mangunsong, Farid memperkirakan jumlah
perkosaan terhadap anak di Indonesia tak kurang dari 900-1200 kasus. Kasus perkosaan diyakini
meningkat tajam setiap tahunnya dan terjadi kecenderungan korbannya lebih mengarah kepada anak–
anak. Hasil monitoring di Jawa Tengah yang di lakukan oleh K3JHAM (sekarang berganti nama
menjadi LRC KJHAM) pada tahun 2000 mencatat 65% korban perkosaan adalah anak-anak.
Sedangkan hasil monitoring Yayasan KAKAK pada periode Januari-September 2001 di wilayah yang
sama mencatat 80% korban perkosaan adalah anak-anak. (lihat: Odi Shalahuddin, “Perlindungan Anak
dari Kejahatan Seksual”, dalam http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/06/ 04/perlindungan-anak-
dari-kejahatan-seksual/), diakses 10 Juli 2010. Selain data yang dikemukakan oleh Odi tersebut
diberbagai daerah juga ditemukan angka tindak kejahatan pencabulan terhadap anak yang relatif
tinggi, sebagai gambaran di Sumatera Utara misalnya sebagaimana laporan KPAID Sumut menyatakan
bahwa “kasus pencabulan mendominasi kasus anak di Sumut” (baca:
http://www.detiknews.com/read/2010/02/26/040540/1307185/10/kasus-pencabulan-dominasi-kasus-
anak-di-sumut), demikian juga di Riau (lihat: Pencabulan, Kasus Tertinggi 2009,
http://www.sumutcyber.com/?open=view&newsid=6671). Di Jabodetabek juga kasus yang paling
dominan adalah kekerasan seksual, (lihat: Kasus Kekerasan Anak Di Jabodetabek Meningkat,
http://bataviase.co.id/detailberita-10391410.html. 11 Dec 2009). di Kalimantan selatan juga demikan
(baca: Kasus Anak di Kalsel Meningkat 100 persen, http://www.kalselprov.go.id/berita/kasus-anak-
dikalsel-meningkat-100-persen, Rabu, 20 Januari 2010 09:34), Kalimantan Timur (lihat: 55 Kasus
KDRT di Balikpapan, http://kaltim.antaranews.com/berita/2546/55-kasus-kdrt-di-balikpapan, Senin, 14
Desember 2009 20:35 WITA).
7
anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat,
dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 64:
(1)Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan
anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
(2)Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat
dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang
tua atau keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa
dan untuk menghindari labelisasi.
(3)Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi
ahli, baik fisik, mental,maupun sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi
mengenai perkembangan perkara.
atas, maka anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun
sebagai korban wajib dilindungi hak-haknya oleh pemerintah. Seorang anak yang
menjadi korban tindak pidana berhak mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik
secara phisik maupun secara mental spritual dan sosial, selain itu privasinya wajib
untuk dilindungi, nama baiknya wajib dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga
8
sebagai saksi korban menjadi tanggungjawab pemerintah, dan anak yang jadi korban
dihadapinya.
langsung dengan anak-anak korban tindak pidana adalah institusi pengadilan, hal ini
korban tindak pidana berinteraksi dengan hakim baik secara langsung maupun tidak
kewajiban untuk melindungi anak yang menjadi korban kejahatan (tindak pidana).
Sumatera Utara, di Kota Medan sering terjadi kejahatan pencabulan terhadap anak, bahkan
untuk tingkat Sumatera Utara, kota Medan adalah daerah yang paling angka kejahatan
pencabulannya.5 Secara logika, jika pada suatu daerah banyak terjadi tingkat kejahatan
pencabulan terhadap anak maka pengadilan negeri setempat akan banyak menangani kasus-
kasus pencabulan anak tersebut. Namun di lapangan masih banyak ditemui adanya korban
yang enggan melaporkan kasus yang menimpanya ke pengadilan. Padahal kesaksian korban
di pengadilan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk membuktikan terjadinya
183 KUHAP) yang harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah (dari lima alat bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP) dan adanya keyakinan
hakim tentang kesalahan terdakwa. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses
peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat,
atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana.
oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena
mendapat ancaman dari pihak tertentu. Selain itu barangkali ada juga faktor
Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak
memberikan kesaksian dipersidangan.7 Pelapor dapat juga sebagai korban dari tindak
pidana itu sendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 ayat (1) ”Saksi adalah
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.” dan ayat (2)
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Pelapor yang
demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas
laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun
7
Ibid., hal. 76.
10
tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk
melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena
Selain itu dalam rangka untuk lebih memberi rasa keadilan bagi para korban,
korban dalam tuntutannya, karena merupakan suatu hal yang wajar apabila
penderitaan atau kepedihan yang menimpa si korban itu diringankan dengan diberi
Adalah wajar apabila kita sebagai bangsa yang mempunyai Pancasila dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang juga memperhatikan kepentingan
para korban berbagai macam tindakan yang merugikan, benar-benar
mencurahkan perhatian dan melaksanakan pelayanan kepada para korban
kejahatan tertentu sesuai dengan kemampuan dan dengan berbagai cara. Apabila
para pelaku dan para residivies yang pernah melakukan kejahatan mendapat
pelayanan demi peri kemanusiaan, maka para korban kejahatan yang bukan
penjahat, jelas patut mendapatkan pelayanan juga.9
8
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal 194.
9
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1983), hal. 155.
10
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP,
1995), hal. 72.
11
Pengadilan Negeri Medan, yang mana nantinya penelitian ini akan dituangkan dalam
B. Perumusan Masalah
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yang mana masalah-masalah tersebut
Medan?
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis,
menjadi korban kejahatan tindak pidana, serta dapat menjadi bahan rujukan
2. Secara praktis
dalam pengadilan.
E. Keaslian Penelitian
dalam topik dan permasalahan yang sama, walaupun ada topik penelitian tentang
perlindungan anak yang ditulis oleh Syawal Aswad Siregar dengan judul
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang peradilan Anak: Studi Kasus di
13
Wilayah Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli akan tetapi topik dan permasalahan
yang akan dibahas ini berbeda dengan apa yang telah dibahas oleh Syawal tersebut,
karena Syawal dengan topiknya tersebut diatas meneliti masalah sebagai berikut:
Tebing Tinggi?
Jadi dilihat dari topik dan permasalahan yang dikaji oleh Syawal serta topik
dan permasalahan yang akan penulis kaji jelas-jelas sangat berbeda, oleh karena itu
penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional,
objektif, dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan
kebenarannya.
1. Kerangka Teori
Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow
University pada tahun 1750,12 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice).
Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari
Menurut Aristoteles Keadilan itu ada dua macam, yaitu; keadilan distributif
dilakukannya.
11
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung
Agung Tbk., Jakarta, 2002, hlm. 85.
12
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,
Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar USU – Medan, 17 April 2004, hlm. 4-5. Sebagaimana
dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law” dalam Valvaraiso University Law Review,
Vol. 15, 1981, hlm. 244.
13
Ibid., hlm. 247, sebagaimana dikutip dari R. L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, ed.
Lecture of Jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hlm. 9.
15
diperlakukan sewenang-wenang.
Undang.14
Aspek keadilan adalah aspek terpenting dalam penegakan hukum. Hukum tanpa
keadilan bukanlah hukum. Keadilan itu sesungguhnya merupakan esensi dari hukum,
hukum adalah keadilan, dan keadilan adalah hukum “ius quia iustum.”
Dalam hal perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana
seorang anak yang dalam hal ini merupakan korban tindak pidana pencabulan berhak
untuk memperoleh keadilan protektif, yaitu keadilan yang memberikan bantuan dan
perlindungan kepada setiap manusia, dalam hal ini anak yang menjadi korban
pencabulan.
ketidakadilan yang lebih besar disebabkan berbagai hal, misalnya tekanan dari pelaku
pemeberitaan media massa yang bisa jadi akan membuat dirinya merasa tidak senang
dan tidak nyaman akibat pemberitaan tersebut, maupun perasaan malu karena dirinya
telah pernah dicabuli, hal-hal seperti itu bisa menyebabkan dirinya merasa dirugikan
14
Lihat Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru
bekerjasama dengan UIN Jakarta, 2004), hal. 64-65.
16
secara mental. Oleh sebab itu seorang anak yang menjadi korban kejahatan
pencabulan berhak untuk dilindungi baik secara fisik, mental maupun sosial, baik itu
serta adil dan sejahtera maka diperlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek
policy).15
pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang aktual maupun
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal
15
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal. 73.
16
Ibid, hal. 73.
17
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002), hal. 32.
17
merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan
tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat
(penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal
policy).18
diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain merupakan
langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan
tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual
masalah politik kriminal yaitu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Dalam
kehidupan tata pemerintahan hal ini merupakan suatu kebijakan aparatur negara.
Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah policy (Inggris) atau
politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah‚ kebijakan
hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam
18
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),
hal. 240.
18
kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai
kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka
kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social
defence policy).19 Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan
penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law
sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang
kebijakan penegakan hukum.22 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto
masyarakat.
hasil.
22
Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana” (Semarang: Penerbit UNDIP, 1995),
hal. 35.
23
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,( Bandung: Alumni, 1997), hal. 44-48.
20
yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui
abstrak menjadi kenyataan, jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum yang dalam hal ini tidak lain merupakan
24
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi, (Bandung: Sinar
Baru, 1983), hal. 24.
21
hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Disini kita telah
masuk ke dalam bidang penegakan hukum. Dalam hal ini perlu diperhatikan
komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan
kultur.25
mewujudkan ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan, jadi penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum yang dalam hal
nilai, yang terkandung didalam hukum maka sebenarnya telah masuk pada bidang
kehadiran suatu organisasi untuk mengelola segala kebutuhan hidup sangat menonjol.
Untuk bisa menjalankan tugasnya, organisasi itu dituntut untuk mewujudkan tujuan-
Otonomi ini dibutuhkan untuk bisa mengelola sumber daya yang tersedia
Secara konsepsional maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
pergaulan hidup.28
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum,
akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.” Roscoe Pound menyatakan, bahwa
pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti
sempit).29
yaitu:
of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan
sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana
27
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN
Departemen Kehakiman, Tanpa Tahun, hal. 18.
28
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali Press, 1983), hal. 47.
29
Ibid, hal. 4
23
delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut
maksimal.
dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana
menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang
hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:
30
Muladi, op.cit.
24
3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti
Teori perjanjian masyarakat merupakan teori asal usul negara yang paling tua
yang pernah dikemukakan dalam catatan sejarah manusia.32 Selain itu, teori perjanjian
masyarakat juga dikenal sebagai teori mengenai asal usul negara yang paling bersifat
universal karena teori ini dapat dijumpai baik dalam budaya barat maupun budaya
timur, serta dapat juga ditemui dalam hukum Islam maupun hukum Nasrani.
logika, pemerintahan dan hukum lahir dari sebuah kelompok individu (masyarakat)
seperti yang dikatakan dalam adagium ubi societas ibi ius. Dari adagium tersebut
dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum lahir dari masyarakat (ataupun bagian dari
31
Ibid, hal. 41.
32
Naskah tertua yang dapat ditemui dalam peradaban barat yang membahas mengenai teori
perjanjian masyarakat ini ditemukan di Yunani yaitu merupakan naskah Plato yang ditulis antara tahun
428 – 347 Sebelum Masehi, sedangkan naskah tertua di budaya timur ditemukan di India yang ditulis
oleh Kautilya yang ditulis antara tahun 321 – 300 Sebelum Masehi.
25
anggotanya. Persetujuan itu dapat diberikan secara tegas (expressed) atau dianggap
perlindungan terhadap hak-hak individu dan personal mereka pula. Hal tersebut
membawa pada fungsi dan tujuan negara pada umumnya, yaitu menjalankan
ketertiban masyarakatnya. Terhadap fungsi dan tujuan negara pun, banyak ahli yang
dan kebahagiaan bagi setiap individunya. Aliran ini didukung oleh pemikiran dari
2. Konsepsional
konsep-konsep khusus yang akan diteliti dan konsep itu sendiri merupakan salah satu
unsur konkrit dari teori. Namun demikian masih diperlukan penjabaran lebih lanjut
dari konsep itu dengan jalan memberikan defenisi operasionalnya. Berikut ini akan
1. Kebijaksanaan hakim
33
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesembilan, (Bandung: Putra A Bardin, 1999),
hal. 136.
34
Garner mengatakan bahwa negara memiliki tiga tujuan yakni: Tujuan Negara yang Asli
dimana fungsi negara adalah mengutamakan kebahagiaan individu, Tujuan Negara Sekunder yang
mengatakan bahwa fungsi negara adalah mensejahterakan warganegara secara kolektif, dan Tujuan
Peradaban yang bertujuan memajukan peradaban negara. Ibid., hal. 174. Lihat juga J.W. Garner,
Politicxal Science and Government, hal. 69-73.
26
terkandung makna bijak, yakni akal budi, arif atau tajam pikiran, sehingga
kata bijaksana dapat berarti “ pandai dan cermat serta teliti ketika menghadapi
adalah (1) orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah); (2)
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
35
http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa24.html . diakses tanggal 20 Juli 2010.
36
Pengertian sebagaimana tersebut dikutip oleh http://www.lexregis.com/ ?
menu=news&idn=434. Diakses tanggal 20 Juli 2010.
37
UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 1 butir 1.
38
UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 1 butir 2.
27
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
diartikan sebagai perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-
undang pada suatu waktu tertentu dan yang dilakukan dengan sengaja,
merugikan ketertiban umum dan yang dapat dihukum oleh negara40 Adapun
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah
penelitian yuridis empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis empiris artinya
yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. Dalam penelitian
ini, selain mendasarkan pada penelitian lapangan, penulis juga melakukan penelaahan
39
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak: Kumpulan Karangan, (Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2004), hal. 97.
40
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan,
(Bandung: Refika Aditama, 2000), hal. 200.
28
1945;
Anak;
Manusia;
Anak;
pencabulan;
2) Kamus Hukum.
pengumpulan data ini dilakukan dengan studi atau penelitian kepustakaan (library
maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin
4. Metode Analisis
dapat dianalisis dari berbagai aspek secara mendalam dan terintegral antara aspek
yang satu dengan yang lainnya. Setelah bahan penelitian dikumpulkan, kemudian
diabstraksi untuk menentukan konsep-konsep yang lebih umum. Konsep yang lebih
yang sudah ada. Dengan demikian dari hasil analisis yang dilakukan diharapkan akan
41
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), hal. 196.
30
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002).
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis.
(Jakarta: Gunung Agung, 2002).
Hasanuddin A.F., dkk. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru,
2004).
B. INTERNET
Hasyim, Nur. “Perlindungan Anak Ditinjau dari Perspektif Hukum”, dalam Makalah
KPAID Provinsi Riau.
D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN