You are on page 1of 2

Islam dan Transplatasi Organ Manusia

Oleh: Imam Ghazali Said


Otobiografi Bapak Dahlan Iskan (selanjutnya disingkat DI) menjalani "Tranplantasi Hati" menjadi berita yang sangat
menarik. Buku itu tidak hanya mendeskripsikan pengalaman Transplantasi, tapi juga mengandung pemikiran dan
gagasan untuk memajukan kaum muslim sekaligus mengkritisi bagian-bagian penting dari ajaran Islam. Makalah ini
hanya menyoroti substansi buku yang terkait dengan ajaran Islam.

Takdir
Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan tindakan medis, dokter memperkirakan: jika DI tidak melakukan
Transplantasi Liver, ajal segera menjemput tidak lebih dari satu tahun. Itu perkiraan dokter! Perkiraan ini dalam bahasa
agama disebut takdir. Dokter punya takdir?
Dalam bahasa Arab, asal kata taqdir itu qadar, yang berarti potensi, kemampuan, kadar, nilai, dan ukuran. Firman Allah,
"Segala sesuatu itu kami ciptakan dengan qadar (bahasa Indonesia: kadar)" (QS. Al-Qomar: 54). Maksudnya, setiap
ciptaan itu ada kadar, potensi, ukuran, dan kemampuan. Yang tahu pasti kadar sesuatu itu hanya Allah.
Kemudian, melalui proses eksperimen dan penelitian, manusia dapat mengenal dan mengetahui kadar sesuatu itu.
Hukum dan kadar sesuatu itulah kemudian dikenal dengan IPA dan biologi yang bersifat eksak dan pasti. Dalam bahasa
agama, kadar ini disebut sunnatullah yang tak akan berubah. Firman Allah; "Maka Anda tidak akan menemukan
perubahan pada sunnatullah". (QS. Fathir: 43).
Karena hukum alam dan biologi itu, dari "sono"-Nya bersifat eksak, sang dokter yang punya otoritas ilmiah dalam biologi
DI dapat "memperkirakan" bilangan panjang-pendek atau kadar usianya. Tapi, itu perkiraan, yang umumnya benar, tapi
tidak pasti benar. Sebab, jika pasti benar, itu menyamai Tuhan.
Kadar sesuatu itu, setelah ukurannya diberi angka, berkembang menjadi taqdir. Qodar masih dalam potensi, sedangkan
taqdir, potensi itu sudah dapat diukur dengan angka dan bilangan. Dan, "ukuran" itu menjadi otoritas Allah: Manusia -
dengan ilmu pengetahuan- hanya bisa mengetahui sebagian otoritas Allah itu.

Takdir Bisa Berubah


Usia DI -dengan potensi dan kondisi Liver seperti hasil pemeriksaan- satu tahun lagi akan sampai ajalnya. Itu takdir
namanya. Bisa ditunda? Bagaimana dengan firman Allah: "Jika ajal telah tiba, sesaat pun mereka tidak mampu
menunda dan juga tidak mampu untuk mempercepat". (QS. Yunus: 49).
Betul. Lahir, ajal, kaya, miskin manusia itu kadar sekaligus takdirnya sudah ditentukan. Takdir, menurut Syekh Nawawi
al-Bantani (1813-1897 M) dalam Fath al-Majid (2006, 47), itu dibagi dua. Pertama, takdir mubram (pasti). Sesuai kadar
dan potensi dari seluruh komponen organ DI, ajal beliau, misalnya, -menurut ilmu Allah- 65 tahun. Jika itu takdir
mubram-Nya, seluruh usaha dengan cara apa pun tidak akan sukses. Sebab, takdir batas usia itu tidak hanya
ditentukan Liver; tapi juga oleh jaringan seluruh komponen tubuh manusia yang saling terkait. Bisa saja, karena masih
baru, Liver masih berfungsi bagus. Tapi, bagaimana komponen organ yang lain? Dalam konteks ini, berlaku ayat dari QS.
Yunus 49 di atas.
Kedua, taqdir muallaq. Ketentuan yang digantungkan kepada ikhtiar. Misalnya, usia DI itu mestinya 60 tahun, tapi
karena beban yang diterima Livernya melebihi kapasitas, kemampuannya berkurang lima tahun. Apa bisa ditunda? Bisa,
dengan syarat melakukan Transplantasi dengan segala syarat, baik pra maupun pasca Transplantasi. Sampai kapan?
Itu otoritas Allah. Tapi, dokter ahli mengetahui sebagian otoritas Allah itu. Jadi, takdir muallaq itu bisa dimajukan dan
bisa ditunda, bergantung kepada usaha manusia itu sendiri.
Persoalannya, manusia tidak tahu apakah takdir yang akan menimpanya itu muallaq atau mubram? Saat ini -dengan
kemajuan ilmu pengatahuan-, sebagian manusia diberi anugerah untuk mengetahui "sedikit rahasia" Allah itu. Dengan
demikian, manusia dapat menentukan sikap; mau mengubah takdir atau menyerah kepada takdir. Dalam konteks
inilah; "Allah tidak akan mengubah (takdir atau nasib) suatu bangsa sehingga mereka mau mengubah takdir dan nasib
mereka sendiri" (S. Al-Ra’d: 12) dapat dipahami.

Fiqh Transplantasi
Transplantasi
Sepanjang sejarah kaum muslimin, Transplantasi organ manusia belum pernah menjadi realitas. Atau, pernah ada yang
sukses, tapi tak berani tampil secara terbuka. Sebab, dia khawatir akan keluar fatwa "haram" dari para fuqaha dan
lembaga keagamaan yang dianggap punya otoritas. Baru Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang proses Transplantasinya
diberitakan sebagian, dan ternyata gagal. Proses Transplantasi Liver DI memang tidak menjadi berita. Tapi, pengalaman
suksesnya menjalani Transplantasi Liver yang ditulis secara bersambung dalam JP 25 Agustus-3 Oktober 2007, itu
harus menjadi perhatian fuqaha. Sebab, semua tindakan manusia pasti terjangkau penilaian hukum.
Kitab-kitab fiqh klasik -karena pada masa itu Transplantasi belum riil- belum membahas secara detail. Jangkauan
bahasannya hanya dalam bentuk hipotesis (andaikan). Itu pun terbatas pada Transplantasi (tepatnya: penyambungan)
tulang daging dan kornea mata manusia. Paradigma pemikiran yang dibangun adalah: Pertama, organ manusia itu
terhormat, baik manusia itu masih hidup maupun sudah meninggal. Kedua, kehormatan manusia itu diklasifikasi
ideologi warga negara yang dianut saat itu. Misalnya, warna negara muslim, warga negara dzimmi, warna negara harbi,
dan warga negara murtad. Paradigma itu memengaruhi keputusan hukum Transplantasi.
Ibn al-’Imad dalam Hasyiyah al-Rasyidi (2001, 26), menyatakan: "diharamkan menTransplantasi kornea mata orang yang
sudah meninggal, walaupun ia tidak terhormat seperti karena murtad atau kafir harbi. Selanjutnya, diharamkan pula
menyambungkan kornea mata tersebut kepada orang lain, karena bahaya buta masih lebih ringan dibandingkan dengan
perusakan terhadap kehormatan mayat".
Ibn al-’Imad menilai, cacat buta itu tidak mengancam jiwa. Karena itu, tidak boleh mengorbankan kehormatan manusia
lain, walaupun sudah meninggal, hanya untuk kebutuhan orang yang ingin melihat.
Pada sisi lain, Munas NU di Kaliurang, Jogjakarta, 30 Agustus 1981 (Ahkam Fuqaha, 2006, 376-377) memutuskan
"boleh" Transplantasi kornea mata antarmanusia yang sudah mati ke manusia yang masih hidup dengan empat syarat:
(1) Karena memang sangat dibutuhkan, (2) Tidak ditemukan organ lain, kecuali dari organ manusia, (3) Mata yang
diambil harus dari mayit yang memang darahnya diperkenankan untuk ditumpahkan (baca: karena hukuman mati), (4)
Antara donor dan penerima harus ada kesamaan agama. Transplantasi organ selain mata, misalnya jantung, Liver,
ginjal, dan lain-lain, dianalogikan pada Transplantasi mata.
Realitas kesuksesan Transplantasi DI, jika menggunakan ukuran fiqh klasik, tidak seluruhnya memenuhi unsur-unsur
"jawaz" dan bolehnya Transplantasi. Karena itu, perlu menggagas perubahan paradigma ushul fiqh yang akan
memengaruhi produk fiqh-nya.
Dalam membahas problem-problem riil kontemporer para fuqaha, kiranya berkenan menempatkan kemaslahatan
manusia (mashalih al-’Ibad, mashalih al-Nas), sebagai tujuan tertinggi penerapan syariah (maqashid al-Syari’ah al-’Ulya).
Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia yang masih hidup dan hidup mereka itu masih sangat dibutuhkan.
Tujuan demi kemaslahatan manusia ini bersifat pasti dan tak bisa berubah (tsabit la yataghayyar).
Tujuan ideal ini, operasionalnya mengacu pada yang populer dengan lima kebutuhan pokok manusia yang sangat
mendesak (al-dhoruriyat al-khoms); yaitu 1) proteksi pada agama (hifdz al-din); dalam konteks moderen menjadi hak
untuk beragama dan menganut suatu sistem kepercayaan (haqq al-tadayyun), 2) proteksi untuk melindungi jiwa (hifdz
al-nafas); dikembangkan menjadi hak untuk bisa menyambung kehidupan, baik dengan tindakan medis, seperti
tranplantasi, maupun kehidupan dalam pengertian ekonomi (haqq al-hayah), 3) proteksi melindungi harta (hifdz al-mal),
4) proteksi untuk melindungi kecerdasan dan rasionalitas (hifdz al-’aql). Dalam konteks modern menjadi perlindungan
hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan kebebasan mengeluarkan pendapat (haqq al-tarbiyah wa ibda’ al-
ra’yi), 5) proteksi terhadap kesucian keturunan (hifdz al-nasab). Dalam konteks modern, menjadi hak untuk menjaga
kesehatan reproduksi (haqq shihhah wasail al-nasl).
Penentuan status hukum suatu tindakan yang mengarah pada terealisasinya tujuan hukum di atas harus
mempertimbangkan skala prioritas: 1) kebutuhan dasar (al-dharuriyat), 2) kebutuhan sekunder (al-Hajiyyat), dan 3)
hanya pelengkap (al-Tahsiniyat).
Ada lima pedoman kaidah fiqh yang harus menjadi acuan. Pertama, suatu ungkapan dalam Alquran, hadis, atau
ketentuan hukum dalam kitab fiqh klasik yang dipertimbangkan adalah keumuman tujuan hukum, bukan bergantung
kepada ketentuan teks statis atau sebab (al-’ibrah bi ’umum al-maqashid, la bikhusus al-nash wa al-sabab). Kedua,
kepentingan umum adalah dalil hukum yang kehujahannya mandiri, tak bergantung kepada konfirmasi teks atau nash
(al-maslahah dalil syar’i mustaqillun ’an al-nushus). Ketiga, akal mempunyai otoritas untuk menentukan baik dan buruk
(mashalih dan mafasid), tanpa bergantung kepada teks (istiqlal al-’uqul bi idrak al-mashalih wa al-mafasid dun al-ta’alluq
bi al-nushus). Keempat, kepentingan umum adalah hujah hukum yang terkuat (al-maslahah aqwa dalil al-syar’i). Kelima,
lapangan pemberlakuan rasionalitas maslahah adalah bidang hubungan antara manusia dan tradisi, bukan aturan
ibadah kepada Allah (majal al-’amal bi al-maslahah wuha al-mu’amalah wa al-’adah dun al-ibadat).
Berdasar jalan pikiran tersebut yang ditopang dengan misi kemanusian ajaran Islam, keputusan DI untuk melakukan
tranplantasi Liver dan para tenaga medis yang membantu tindakan operasinya, serta keluarga donor itu tidak hanya
boleh menurut ajaran Islam, malah sangat dianjurkan.
Mudah-mudahan DI, yang secara rasional mengetahui kadar dirinya, makin giat berjuang menegakkan kebenaran dan
kemanusiaan. Selamat buat DI untuk menjalani "hidup baru" dengan Liver baru! Wallah a’lam bi al-shawab.
Pengasuh Pesma An-Nur, wakil Rais Syuriyah PCNU, ketua FKUB Kota Surabaya, dan wakil ketua LBM PBNU

You might also like