Professional Documents
Culture Documents
E. PENCEGAHAN
Berbagai metode sudah banyak yang ditemukan untuk melakukan pencegahan
pencemaran logam merkuri, salah satu metode yang sangat murah dan efisein adalah
fitoremidiasi. Fitoremidiasi yaitu tekhnologi pencegahan pencemaran polutan berbahaya
seperti logam berat, senyawa organik dan lain lain dalam tanah atau air dengan
menggunakan bantuan tanaman (hiperkomulator plant). Proses fitoremediasi yaitu:
1. Phytoacumulation : tumbuhan menarik zat kontaminan sehingga berakumulasi
disekitar akar tumbuhan
2. Rhizofiltration : proses adsorpsi / pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk
menempel pada akar.
3. Phytostabilization : penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak
mungkin terserap kedalam batang tumbuhan
4. Rhyzodegradetion : penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba
5. Phytodegradation : penguraian zat kontamin
6. Phytovolatization : transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah
menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya
Limbah atau bahan buangan yang dihasilkan dari semua aktifitas kehidupan
manusia, baik dari setiap rumah tangga, kegiatan pertanian, industri serta pertambangan
tidak bisa kita hindari. Namun kita masih bisa mencegah atau paling tidak mengurangi
dampak dari limbah tersebut, agar tidak merusak lingkungan yang pada akhirnya juga
akan merugikan manusia.
Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi segala akibat yang ditimbulkan oleh
limbah berbahaya dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut; setiap rumah tangga sebaiknya
menggunakan deterjen secukupnya dan memilah sampah organik dari sampah anorganik.
Sampah organik bisa dijadikan kompos, sedangkan sampah anorganik bisa didaur ulang.
Pemerintah bekerjasama dengan World Bank, pada saat ini tengah mempersiapkan
pemberian insentif berupa subsidi bagi masyarakat yang melakukan pengomposan
sampah kota.
Penggunaan pupuk dan pestisida secukupnya atau memilih pupuk dan pestisida yang
mengandung bahan-bahan yang lebih cepat terurai, yang tidak terakumulasi pada rantai
F. PENANGGULANGAN
Penanggulangan logam Hg dapat digunakankpenetralan logam berat yang aktif
menjadi senyawa yang kurang aktif dengan menambahkan senyawa-senyawa tertentu,
kemudian dilepas ke lingkungan perairan, namun pembuangan logam berat non-aktif juga
menjadi masalah karena dapat dengan mudah mengalami degradasi oleh lingkungan
menjadi senyawa yang dapat mencemari lingkungan. Cara lain adalah pengerukan
sedimen yang terkontaminasi, reverse osmosis, elektrodialisis, ultrafiltrasi dan resin
penukar ion.
Reverse osmosis adalah proses pemisahan logam berat oleh membran
semipermeabel dengan menggunakan perbedaan tekanan luar dengan tekanan osmotik
dari limbah, kerugian sistem ini adalah biaya yang mahal sehingga sulit terjangkau oleh
industri di Indonesia. Teknik elektrodialisis menggunakan membran ion selektif
permeabel berdasarkan perbedaan potensial antara 2 elektroda yang menyebabkan
perpindahan kation dan anion, juga menimbulkan kerugian yakni terbentuknya senyawa
logam-hidroksi yang menutupi membran, sedangkan melalui ultrafiltrasi yaitu
penyaringan dengan tekanan tinggi melalui membran berpori, juga merugikan karena
menimbulkan banyak sludge (lumpur). Resin penukar ion berprinsip pada gaya
elektrostatik di mana ion yang terdapat pada resin ditukar oleh ion logam dari limbah,
kerugian metode ini adalah biaya yang besar dan menimbulkan ion yang ter-remove
sebagian.
Menilik pada berbagai kelemahan metode di atas, maka dewasa ini para peneliti sedang
menggalakkan pencarian metode alternatif lain. Salah satunya adalah pengunaan
mikroorganisme untuk mengabsorpsi logam berat atau biasa disebut dengan bioremoval.
Keuntungan penggunaan mikroorganisme sebagai bioremoval menurut Kratochvil dan
Voleski (1998) adalah biaya yang rendah, efisiensi yang tinggi, biosorbennya dapat
diregenerasi, tidak perlu nutrisi tambahan, kemampuannya dalam me-recovery logam dan
sludge yang dihasilkan sangat minim. Dilihat dari keuntungannya itu, maka bioremoval
lebih efektif dibanding dengan pertukaran ion dan reverse osmosis dalam kaitannya
dengan sensitifitas kehadiran padatan terlarut (suspended solid).
Istilah bioabsorpsi tidak dapat dilepaskan dari istilah bioremoval karena
bioabsorpsi merupakan bagian dari bioremoval. Bioremoval dapat diartikan sebagai
terkonsentrasi dan terakumulasinya bahan penyebab polusi atau polutan dalam suatu
perairan oleh material biologi, material biologi tersebut dapat me-recovery polutan
sehingga dapat dibuang dan ramah terhadap lingkungan. Sedangkan berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk ikatan antara logam berat dengan mikroorganisme
maka bioabsorpsi merupakan kemampuan material biologi untuk mengakumulasikan
logam berat melalui media metabolisme atau jalur psiko-kimia. Proses bioabsorpsi ini
dapat terjadi karena adanya material biologi yang disebut biosorben dan adanya larutan
yang mengandung logam berat (dengan afinitas yang tinggi) sehingga mudah terikat pada
biosorben. Jenis mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bioabsorpsi Hg
terutama adalah (Pseudomonas syring).
Sebagian besar mekanisme pembersihan logam berat oleh mikrooganisme adalah
proses pertukaran ion yang mirip pertukaran ion pada resin. Mekanisme pertukaran ion
ini dapat dirumuskan sebagai:
Gambar.1.6. Proses pasisive uptake Cr pada permukaan membran sel
Sumber : Cossich., et.al (2002)
2. Aktif uptake.
Mekanisme masuknya logam berat melewati membran sel sama dengan proses
masuknya logam esensial melalui sistem transpor membran, hal ini disebabkan adanya
kemiripan sifat antara logam berat dengan logam esensial dalam hal sifat fisika-kimia
secara keseluruhan. Proses aktif uptake pada mikroorganisme dapat terjadi sejalan
dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan dan akumulasi intraselular ion logam.
Menghitung Jumlah Logam berat yang Teradsorpsi
Untuk mengetahui jumlah logam berat yang mengalami proses bioabsorpsi oleh
mikroorganisme dapat dihitung dengan pendekatan konstanta Langmuir yaitu :
Harian Kompas memberitakan, Sungai Citarum serta Waduk Saguling dan Cirata di
Kabupaten Bandung tercemar logam berat. Dalam daging ikan mas dan nila yang hidup
di waduk tersebut ditemukan kandungan merkuri (Hg), tembaga (Cu), dan seng (Zn)
dengan kadar yang cukup membahayakan. Logam berat itu diketahui terkonsentrasi di
perut, lemak, dan daging ikan.
Temuan ini diikuti dengan imbauan agar masyarakat berhati-hati mengonsumsi ikan air
tawar. Maklumlah, akumulasi logam berat di tubuh manusia, dalam jangka panjang,
dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti penyakit minamata, bibir
sumbing, kerusakan susunan saraf, dan cacat pada bayi.
Aparat terkait mengaku bahwa mereka telah berupaya untuk mencegah pencemaran
tersebut dengan berbagai cara. Secara garis besar sebenarnya ada dua cara yang bisa
dilakukan untuk mencegah dan mengatasi pencemaran perairan oleh logam berat, yaitu
cara kimia dan biologi.
Cara kimia, antara lain dengan reaksi chelating, yaitu memberikan senyawa asam
yang bisa mengikat logam berat sehingga terbentuk garam dan mengendap. Namun, cara
ini mahal dan logam berat masih tetap berada di waduk meski dalam keadaan terikat.
UNTUNGLAH ada penanggulangan secara biologi yang bisa menjadi alternatif terhadap
mahalnya penanggulangan dengan cara kimia. Salah satunya adalah dengan
memanfaatkan eceng gondok (Eichornia crassipes).
Eceng gondok selama ini lebih dikenal sebagai tanaman gulma alias hama. Padahal,
eceng gondok sebenarnya punya kemampuan menyerap logam berat. Kemampuan ini
telah diteliti di laboratorium Biokimia, Institut Pertanian Bogor, dengan hasil yang sangat
luar biasa.
Penelitian daya serap eceng gondok dilakukan terhadap besi (Fe) tahun 1999 dan timbal
(Pb) pada tahun 2000.
Untuk mengukur daya serap eceng gondok terhadap Fe, satu, dua, dan tiga rumpun eceng
gondok ditempatkan dalam ember plastik berisi air sumur dengan tambahan 5 ppm
FeSO>jmp 2008m<>kern 199m<>h 6024m,0<>w 6024m<4>jmp 0m<>kern 200m<>h
8333m,0<>w 8333m< dan HNO>jmp 2008m<>kern 199m<>h 6024m,0<>w
6024m<3>jmp 0m<>kern 200m<>h 8333m,0<>w 8333m< untuk menjaga keasaman.
Dalam tabel itu bisa dilihat adanya penurunan kadar logam Fe secara signifikan pada hari
ke-7. Kadar logam Fe menurun 3,177 ppm (65,45 persen) untuk 1 rumpun eceng gondok,
3,511 ppm (71,93 persen) untuk dua rumpun eceng gondok dan 3,686 ppm (74,47 persen)
untuk tiga rumpun eceng gondok.
Selanjutnya terlihat, semakin lama semakin banyak logam besi yang diserap. Pada hari
ke-28, konsentrasi Fe hampir mendekati 0 untuk perlakuan dua rumpun eceng gondok
dan tiga rumpun eceng gondok.
Berdasarkan analisis statistik diketahui bahwa pada hari ke-7, 14, dan 21, eceng gondok
memberikan respon nyata dalam menurunkan logam Fe untuk ketiga perlakuan. Namun,
pada hari ke-28 eceng gondok yang berjumlah 2-3 rumpun memberikan respon yang
tidak berbeda nyata dalam menurunkan logam besi.
PENELITIAN untuk melihat kemampuan eceng gondok menyerap timbal (Pb) dilakukan
sebagai berikut. Satu, tiga, lima rumpun eceng gondok ditempatkan di dalam ember
plastik berisi air sumur dan larutan Pb(NO3) sebesar 5 ppm. Konsentrasi Pb diukur ketika
hari ke-0, 7, 14, 21, dan 28 dengan spektrofotometer serapan atom pada panjang
gelombang 217 nm. Hasilnya sebagaimana tertera dalam Tabel 2.
Dari tabel tersebut terlihat, ada penurunan kadar logam Pb secara signifikan pada hari ke-
7. Kadar logam Pb menurun 5,167 ppm (96,4 persen) pada perlakuan satu rumpun eceng
gondok, menurun 5,204 ppm (98,7 persen) pada perlakuan tiga rumpun, dan menurun
6,019 ppm (99,7 persen) pada perlakuan lima rumpun dari konsentrasi hari ke-0.
Analisis pada hari-hari selanjutnya (hari ke-14, 21, dan 28) menunjukkan perubahan
kadar Pb tidak terlalu jauh dengan kadar logam Pb pada hari ke-7.
Eceng gondok terbukti mampu menurunkan kadar polutan Pb dan Fe. Oleh karena itu,
diyakini eceng gondok juga mampu menurunkan kadar polutan Hg, Zn, dan Cu yang
mencemari Waduk Saguling dan Cirata. Sebab, secara struktur kimia, atom Hg, Zn, dan
Cu termasuk dalam golongan logam berat bersama Pb dan Fe.
Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat
juga telah dilakukan oleh para pakar. Widyanto dan Susilo (1977) melaporkan, dalam
waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan
nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu
tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35
mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan
logam lain.
Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng
gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15
ppm turun hingga 51,85 persen.
SELAIN dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap
residu pestisida, contohnya residu 2.4-D dan paraquat.
Pada percobaan Chossi dan Husin (1977) diketahui eceng gondok mampu menyerap
residu dari larutan yang mengandung 0,50 ppm 2.4-D sebanyak 0,296 ppm dan 2,00 ppm
2.4-D sebanyak 0,830 ppm dalam waktu 96 jam.
Adapun paraquat yang diserap oleh eceng gondok dari dua kadar, yaitu 0,05 ppm dan
0,10 ppm masing-masing adalah 0,02 ppm dan 0,024 ppm.
Dari hasil penelitian-penelitian itu dapat disimpulkan ternyata eceng gondok tidaklah sia-
sia dicipta oleh Tuhan Yang Maha Esa, apalagi sebagai pengganggu manusia. Eceng
gondok dapat dinyatakan sebagai pembersih alami perairan waduk atau danau terhadap
polutan, baik logam berat maupun pestisida atau yang lain.
MEMANG dilaporkan eceng gondok dapat tumbuh sangat cepat pada danau maupun
waduk sehingga dalam waktu yang singkat dapat mengurangi oksigen perairan,
mengurangi fitoplankton dan zooplankton serta menyerap air sehingga terjadi proses
pendangkalan, bahkan dapat menghambat kapal yang berlayar pada waduk.
Namun, apa arti sebuah danau yang bersih dari eceng gondok jika ternyata air dan ikan
yang ada di dalamnya tercemari polutan?
Bahkan, bila suatu danau polutan sangat tinggi dan tidak ada tanaman yang menyerapnya,
pencemaran dapat merembes ke air sumur dan air tanah di sekitar danau.
Agar danau bebas polusi namun pertumbuhan eceng gondoknya terkendali, tentu saja
diperlukan pengelolaan danau secara benar.
Untuk mengeliminasi gangguan eceng gondok, misalnya, caranya bisa dengan membatasi
populasinya. Pembatasan dapat dilakukan dengan membatasi penutupan permukaan
waduk oleh eceng gondok tidak lebih dari 50 persen permukaannya.
Akan jauh lebih baik lagi bila pembatasan populasi ini dilakukan dengan melibatkan
masyarakat sekitar. Sebab, dahan eceng gondok adalah serat selulosa yang dapat diolah
untuk berbagai keperluan, seperti barang kerajinan maupun bahan bakar pembangkit
tenaga listrik.
Namun, masyarakat tidak disarankan untuk memberikan eceng gondok sebagai pakan
pada ternak karena polutan yang diserapnya bisa terakumulasi dalam dagingnya.
Masyarakat sekitar bisa diberi pelatihan mengenai pengolahan eceng gondok menjadi
produk-produk yang bernilai ekonomi, mulai dari anyaman dompet, tas sekolah, topi,
bahkan juga mebel.
Penulis : Dr Hasim DEA Dosen Biokimia dan Toxikologi FMIPA dan Pascasarjana IPB
Sumber : Kompas
(http://petanidesa.wordpress.com/2007/03/11/eceng-gondok-pemersih-polutan-logam-
berat/
Menanggulangi Pencemaran
Logam Berat
Written by webadmin
Saturday, 09 September 2006
Oleh:
Dindin H Mursyidin SSi
Dosen Biologi FMIPA Unlam Banjarbaru
Banjarmasin merupakan salah satu kota di Kalsel yang potensial terkena dampak
pencemaran logam berat. Ini dapat dipahami, karena Banjarmasin sebagai kota seribu
sungai dengan berbagai aktivitas di dalamnya baik rumah tangga maupun industri.
Sungai merupakan satu-satunya prasarana paling mudah bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai aktivitas, seperti mandi cuci kakus (MCK), transportasi dan lainnya
termasuk membuang sampah rumah tangga dan limbah industri. Dua aktivitas terakhir
(membuang sampah rumah tangga dan limbah industri) merupakan faktor utama
terjadinya pencemaran logam berat.
Pencemaran logam berat merupakan permasalahan yang sangat serius untuk ditangani,
karena merugikan lingkungan dan ekosistem secara umum. Sejak kasus merkuri di
Minamata Jepang pada 1953, pencemaran logam berat semakin sering terjadi dan
semakin banyak dilaporkan. Agen Lingkungan Amerika Serikat (EPA) melaporkan,
terdapat 13 elemen logam berat yang diketahui berbahaya bagi lingkungan. Di antaranya
arsenik (As), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd). Logam berat sendiri
sebenarnya merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan setiap makhluk hidup,
namun beberapa di antaranya (dalam kadar tertentu) bersifat racun. Di alam, unsur ini
biasanya terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi (terikat dengan zat padat) serta
terdapat sebagai bentuk ionik.
Dampak dari pencemaran logam berat ini sering dilaporkan. Kadmium misalnya,
merupakan salah satu jenis logam berat berbahaya karena berisiko tinggi terhadap
pembuluh darah. Elemen ini berpengaruh terhadap manusia dalam jangka waktu panjang
dan dapat terakumulasi pada tubuh khususnya hati dan ginjal. Secara prinsipil pada
konsentrasi rendah berpengaruh terhadap gangguan paru-paru, emphysema dan renal
turbular disease kronis. Jumlah normal kadmium di tanah di bawah 1 ppm, tetapi angka
tertinggi (1.700 ppm) dijumpai di permukaan sampel tanah yang diambil di dekat
pertambangan biji seng (Zn).
Oleh:
Dindin H Mursyidin SSi
Dosen Biologi FMIPA Unlam Banjarbaru
Banjarmasin merupakan salah satu kota di Kalsel yang potensial terkena dampak
pencemaran logam berat. Ini dapat dipahami, karena Banjarmasin sebagai kota seribu
sungai dengan berbagai aktivitas di dalamnya baik rumah tangga maupun industri.
Sungai merupakan satu-satunya prasarana paling mudah bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai aktivitas, seperti mandi cuci kakus (MCK), transportasi dan lainnya
termasuk membuang sampah rumah tangga dan limbah industri. Dua aktivitas terakhir
(membuang sampah rumah tangga dan limbah industri) merupakan faktor utama
terjadinya pencemaran logam berat.
Pencemaran logam berat merupakan permasalahan yang sangat serius untuk ditangani,
karena merugikan lingkungan dan ekosistem secara umum. Sejak kasus merkuri di
Minamata Jepang pada 1953, pencemaran logam berat semakin sering terjadi dan
semakin banyak dilaporkan. Agen Lingkungan Amerika Serikat (EPA) melaporkan,
terdapat 13 elemen logam berat yang diketahui berbahaya bagi lingkungan. Di antaranya
arsenik (As), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd). Logam berat sendiri
sebenarnya merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan setiap makhluk hidup,
namun beberapa di antaranya (dalam kadar tertentu) bersifat racun. Di alam, unsur ini
biasanya terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi (terikat dengan zat padat) serta
terdapat sebagai bentuk ionik.
Dampak dari pencemaran logam berat ini sering dilaporkan. Kadmium misalnya,
merupakan salah satu jenis logam berat berbahaya karena berisiko tinggi terhadap
pembuluh darah. Elemen ini berpengaruh terhadap manusia dalam jangka waktu panjang
dan dapat terakumulasi pada tubuh khususnya hati dan ginjal. Secara prinsipil pada
konsentrasi rendah berpengaruh terhadap gangguan paru-paru, emphysema dan renal
turbular disease kronis. Jumlah normal kadmium di tanah di bawah 1 ppm, tetapi angka
tertinggi (1.700 ppm) dijumpai di permukaan sampel tanah yang diambil di dekat
pertambangan biji seng (Zn).
Upaya penanganan pencemaran logam berat sebenarnya dapat dilakukan dengan
menggunakan proses kimiawi. Seperti penambahan senyawa kimia tertentu untuk proses
pemisahan ion logam berat atau dengan resin penukar ion (exchange resins), serta
beberapa metode lainnya seperti penyerapan menggunakan karbon aktif, electrodialysis
dan reverse osmosis. Namun proses ini relatif mahal dan cenderung menimbulkan
permasalahan baru, yaitu akumulasi senyawa tersebut dalam sedimen dan organisme
akuatik (perairan).
Organisme Selular
Proses active uptake dapat terjadi pada berbagai tipe sel hidup. Mekanisme ini secara
simultan terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan sianobakteria,
dan/atau akumulasi intraselular ion logam tersebut. Logam berat dapat juga diendapkan
pada proses metabolisme dan ekresi sel pada tingkat kedua. Proses ini tergantung dari
energi yang terkandung dan sensitivitasnya terhadap parameter yang berbeda seperti pH,
suhu, kekuatan ikatan ionik, cahaya dan lainnya.
Namun demikian, proses ini dapat pula dihambat oleh suhu rendah, tidak tersedianya
sumber energi dan penghambat metabolisme sel. Peristiwa ini seperti ditunjukkan oleh
akumulasi kadmium pada dinding sel Ankistrodesmus dan Chlorella vulgaris yang
mencapai sekitar 80 derajat dari total akumulasinya di dalam sel, sedangkan arsenik yang
berikatan dengan dinding sel Chlorella vulgaris rata-rata 26 persen.
http://www.ychi.org/index.php?option=com_content&task=view&id=73&Itemid=39
Menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah
teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam
berat ini dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana
keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun
dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini
adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam
berat tidak esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum
diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-
lain. Logam berat ini dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung pada
bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Daya racun yang dimiliki akan
bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus.
Lebih jauh lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen,
teratogen atau karsinogen bagi manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit, pernapasan
dan pencernaan.
Menurut Nordberg., et.al (1986) logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh maka
tidak dapat dihancurkan tetapi akan tetap tinggal di dalamnya hingga nantinya dibuang
melalui proses ekskresi. Hal serupa juga terjadi apabila suatu lingkungan terutama di
perairan telah terkontaminasi (tercemar) logam berat maka proses pembersihannya akan
sulit sekali dilakukan. Kontaminasi logam berat ini dapat berasal dari faktor alam seperti
kegiatan gunung berapi dan kebakaran hutan atau faktor manusia seperti pembakaran
minyak bumi, pertambangan, peleburan, proses industri, kegiatan pertanian, peternakan
dan kehutanan, serta limbah buangan termasuk sampah rumah tangga.
Menyadari ancaman yang begitu besar dari pencemaran logam berat, maka berbagai
metode alternatif telah banyak digunakan seperti dengan cara mengurangi konsentrasi
logam berat yang akan dibuang ke perairan, tetapi dalam jangka waktu yang lama,
perlakuan tersebut dapat merusak lingkungan akibat dari akumulasi logam berat yang
tidak sebanding dengan masa “recovery (perbaikan)” dari lingkungan itu sendiri. Teknik
yang lebih baik dari teknik di atas adalah penetralan logam berat yang aktif menjadi
senyawa yang kurang aktif dengan menambahkan senyawa-senyawa tertentu, kemudian
dilepas ke lingkungan perairan, namun pembuangan logam berat non-aktif juga menjadi
masalah karena dapat dengan mudah mengalami degradasi oleh lingkungan menjadi
senyawa yang dapat mencemari lingkungan. Cara lain adalah reverse osmosis,
elektrodialisis, ultrafiltrasi dan resin penukar ion.
Reverse osmosis adalah proses pemisahan logam berat oleh membran semipermeabel
dengan menggunakan perbedaan tekanan luar dengan tekanan osmotik dari limbah,
kerugian sistem ini adalah biaya yang mahal sehingga sulit terjangkau oleh industri di
Indonesia. Teknik elektrodialisis menggunakan membran ion selektif permeabel
berdasarkan perbedaan potensial antara 2 elektroda yang menyebabkan perpindahan
kation dan anion, juga menimbulkan kerugian yakni terbentuknya senyawa logam-
hidroksi yang menutupi membran, sedangkan melalui ultrafiltrasi yaitu penyaringan
dengan tekanan tinggi melalui membran berpori, juga merugikan karena menimbulkan
banyak sludge (lumpur). Resin penukar ion berprinsip pada gaya elektrostatik di mana
ion yang terdapat pada resin ditukar oleh ion logam dari limbah, kerugian metode ini
adalah biaya yang besar dan menimbulkan ion yang ter-remove sebagian.
Menilik pada berbagai kelemahan metode di atas, maka dewasa ini para peneliti sedang
menggalakkan pencarian metode alternatif lain. Salah satunya adalah pengunaan
mikroorganisme untuk mengabsorpsi logam berat atau biasa disebut dengan bioremoval.
Keuntungan penggunaan mikroorganisme sebagai bioremoval menurut Kratochvil dan
Voleski (1998) adalah biaya yang rendah, efisiensi yang tinggi, biosorbennya dapat
diregenerasi, tidak perlu nutrisi tambahan, kemampuannya dalam me-recovery logam dan
sludge yang dihasilkan sangat minim. Dilihat dari keuntungannya itu, maka bioremoval
lebih efektif dibanding dengan pertukaran ion dan reverse osmosis dalam kaitannya
dengan sensitifitas kehadiran padatan terlarut (suspended solid), zat organik dan logam
berat lainnya serta lebih baik dari proses pengendapan (precipitation) bila dikaitkan
dengan kemampuan menstimulasikan perubahan pH dan konsentrasi logam beratnya.
Istilah bioabsorpsi tidak dapat dilepaskan dari istilah bioremoval karena bioabsorpsi
merupakan bagian dari bioremoval. Bioremoval dapat diartikan sebagai terkonsentrasi
dan terakumulasinya bahan penyebab polusi atau polutan dalam suatu perairan oleh
material biologi, yang mana material biologi tersebut dapat me-recovery polutan
sehingga dapat dibuang dan ramah terhadap lingkungan. Sedangkan berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk ikatan antara logam berat dengan mikroorganisme
maka bioabsorpsi merupakan kemampuan material biologi untuk mengakumulasikan
logam berat melalui media metabolisme atau jalur psiko-kimia. Proses bioabsorpsi ini
dapat terjadi karena adanya material biologi yang disebut biosorben dan adanya larutan
yang mengandung logam berat (dengan afinitas yang tinggi) sehingga mudah terikat pada
biosorben.
Beberapa jenis mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bioabsorpsi
terutama adalah dari golongan alga yakni alga dari divisi Phaeophyta, Rhodophyta dan
Chlorophyta. Logam-logam yang dapat diabsorbsi/di-remove adalah logam berat
beracun, logam esensial dan radionuklida.
Sebagian besar mekanisme pembersihan logam berat oleh mikrooganisme adalah proses
pertukaran ion yang mirip pertukaran ion pada resin. Mekanisme pertukaran ion ini dapat
dirumuskan sebagai:
Mekanisme ini dapat dibagi atas 3 cara yakni berdasarkan metabolisme sel (dibagi atas;
proses yang bergantung pada metabolisme dan proses yang tidak bergantung pada
metabolisme sel). Sedangkan jika berdasarkan posisi logam berat di-remove, dapat dibagi
atas; akumulasi ekstraseluler (presipitasi), akumulasi intraseluler dan penyerapan oleh
permukaan sel. Dan untuk mekanisme yang terakhir adalah berdasarkan cara
pengambilan (absorbsi) logam berat.
1. Passive uptake. Proses ini terjadi ketika ion logam berat terikat pada dinding sel
biosorben. Mekanisme passive uptake dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan
cara pertukaran ion di mana ion pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat;
dan kedua adalah pembentukan senyawa kompleks antara ion-ion logam berat dengan
gugus fungsional seperti karbonil, amino, thiol, hidroksi, fosfat, dan hidroksi-karboksil
secara bolak balik dan cepat. Sebagai contoh adalah pada Sargassum sp. dan Eklonia sp.
di mana Cr(6) mengalami reaksi reduksi pada pH rendah menjadi Cr(3) dan Cr(3) di-
remove melalui proses pertukaran kation.
2. Aktif uptake. Mekanisme masuknya logam berat melewati membran sel sama dengan
proses masuknya logam esensial melalui sistem transpor membran, hal ini disebabkan
adanya kemiripan sifat antara logam berat dengan logam esensial dalam hal sifat fisika-
kimia secara keseluruhan. Proses aktif uptake pada mikroorganisme dapat terjadi sejalan
dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan dan akumulasi intraselular ion logam.
Untuk mengetahui jumlah logam berat yang mengalami proses bioabsorpsi oleh
mikroorganisme dapat dihitung dengan pendekatan konstanta Langmuir yaitu :
Q=
Perhitungan di atas berlaku pada pH konstan dan untuk bioabsorpsi 1 jenis logam saja.
Salah satu contoh penelitian yang mengunakan konstanta langmuir untuk menghitung
jumlah logam berat yang teradsorpsi oleh mikroorganisme adalah penelitian oleh Voleski
(2005), pada penelitiannya terhadap 3 jenis Sargassum untuk menyerap logam berat Cd,
Cu dan Uranium (U) diperoleh data bahwa penyerapan Cd pada pH 4,5 adalah 87 mg
Cd/g untuk Sargassum vulgare, 80 mg Cd/g untuk Sargassum fluitans dan 74 mg Cd/g
untuk Sargassum filipendula. Sedangkan untuk penyerapan Cu pada Sargassum vulgare
adalah 59 mg Cu/g, Sargassum filipendula 56 mg Cu/g, Sargassum fluitans 51 mg Cu/g
dan untuk penyerapan Uranium oleh sargassum adalah > 500 mg U/g.
Penutup
Ulasan tentang bioremoval sebagaimana telah disajikan dalam tulisan ini mungkin hanya
sebagian kecil dari cakupan penelitian dan bahasan ilmu tentang bioremoval. Tetapi
setidaknya penulis berharap dapat membuka wacana tentang pentingnya pemanfaatan
mikroorganisme di Indonesia.
Menyadari bahwa metode ini belum sepenuhnya sempurna, maka diperlukan berbagai
penelitian lebih lanjut untuk menunjang efektivitas metode bioremoval dalam
menanggulangi pencemaran logam berat. Dalam perspektif pelestarian lingkungan,
pencarian metode penanganan limbah yang efektif merupakan langkah awal yang
seyogianya dilakukan di Indonesia. Dalam konteks ini, pengembangan metode
bioremoval pantas diperhitungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nakajama A., Sakaguchi T., Appl. Microbiol., 1986, 24, 59-64 Kratochvil, David. and
Volesky, Bohumil. Advances in biosorption of heavy metals. Trends in Biotechnology,
1998, vol. 16, p. 291-300.
Nordberg J. F., Parizek J., Pershagen G., and Gerhardsson L. 1986. Factor Influencing
Effect and Dose-Respons Relationships of Metals. In: Freiberg L., Nordberg G.F., and
Vouk V.B (Eds). Handbook on the Toxicology of Metals. Elsevier. New York
Putra, Johan Angga. 2005. Penanggulangan Pencemaran Logam Berat pada Perairan
dengan Pendekatan Konsep Bioremoval. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Lampung
Vouk V. 1986. General Chemistry of Metals. In: Freiberg L., Nordberg G.F., and Vouk
V.B (Eds). Handbook on the Toxicology of Metals. Elsevier. New York
http://www.chem-is-
try.org/artikel_kimia/biokimia/bioremoval_metode_alternatif_untuk_menanggulangi_pen
cemaran_logam_berat/