Professional Documents
Culture Documents
Sejak lama bangsa Indonesia telah mengenal kekeluargaan dan kegotongroyongan yang
dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kebiasaan yang bersifat nonprofit ini,
merupakan input untuk Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang dijadikan dasar/pedoman
pelaksanaan Koperasi. Kebiasaan-kebiasaan nenek moyang yang turun-temurun itu dapat
dijumpai di berbagai daerah di Indonesia di antaranya adalah Arisan untuk daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur, paketan, mitra cai dan ruing mungpulung daerah Jawa Barat,
Mapalus di daerah Sulawesi Utara, kerja sama pengairan yang terkenal dengan Subak untuk
daerah Bali, dan Julo-julo untuk daerah Sumatra Barat merupakan sifat-sifat hubungan sosial,
nonprofit dan menunjukkan usaha atau kegiatan atasdasar kadar kesadaran berpribadi dan
kekeluargaan.
Kemajuan ilmu oengetahuan dan teknologi pada pertengahan abad ke-18 telah mengubah
wajah dunia. Berbagai penemuan di bidang teknologi ( revolusi industri ) melahirkan tata
dunia ekonomi baru. Tatanan dunia ekonomi menjajdi terpusat pada keuntungan
perseorangan, yaitu kaum pemilik modal ( kapitalisme ). Kaum kapitalis atau pemilik modal
memanfaatkan penemuan baru tersebutdengan sebaik-baiknya untuk memperkaya dirinya dan
memperkuat kedudukan ekonominya. Hasrat serakah ini melahirkan persaingan bebas yang
tidak terbatas. Sistem ekonomi kapitalis / liberal memberikan keuntungan yang sebesar-
besarnya kepada pemilik modal dan melahirkan kemelaratan dan kemiskinan bagi masyarakat
ekonomi lemah.
Dalam kemiskinan dan kemelaratan ini, muncul kesadaran masyarakat untuk memperbaiki
nasibnya sendiri dengan mendirikan koperasi. Pada tahun 1844 lahirlah koperasi pertama di
Inggris yang terkenal dengan nama Koperasi Rochdale di bawah pimpinan Charles Howart.
Di Jerman, Frederich Willhelm Raiffeisen dan Hermann Schulze memelopori Koperasi
Simpan Pinjam. Di Perancis, muncul tokoh-tokoh kperasi seperti Charles Fourier, Louis
Blance, dan Ferdinand Lassalle. Demikian pula di Denmark. Denmark menjadi Negara yang
paling berhasil di dunia dalam mengembangkan ekonominya melalui koperasi.
Bangsa Indonesia, misalnya dijajah oleh Belanda selama 3,5 abad dan setelah itu dijajah
Jepang selama 3,5 tahun. Selama penjajahan, bangsa Indonesia berada dalam kemelaratan
dan kesengsaraan. Penjajah melakukan penindsan terhadap rakyat dan mengeruk hasil yang
sebanyak-banyaknya dari kekayaan alam Indonesia. Penjajahan menjadikan perekonomian
Indonesia terbelakang. Masyarakat diperbodoh sehingga dengan mudah menjadi mangsa
penipuan dan pemerasan kaum lintah darat, tengkulak, dan tukang ijon.
Koperasi memang lahir dari penderitaan sebagai mana terjadi di Eropa pertengahan abad ke-
18. Di Indonesia pun koperasi ini lahir sebagai usaha memperbaiki ekonomi masyarakat yang
ditindas oleh penjajah pada masa itu.
Masa Penjajahan
Di masa penjajahan Belanda, gerakan koperasi pertama di Indonesia lahir dari inisatif tokoh
R. A. Wiriaatmadja pada tahun 1986. Wiriaatmadja, patih Purwokerto ( Banyumas ) ini
berjasa menolong para pegawai, pedagang kecil dan petani dari hisapan lintah darat melalui
koperasi. Beliau dengan bantuan E. Sieberg, Asisten Residen Purwokerto, mendirikan Hulp-
enSpaar Bank. Cita-cita Wiriaatmadja ini juga mendapat dukungan dari Wolf van
Westerrode, pengganti Sieberg. Mereka mendirikan koperasi kredit sistem Raiffeisen.
Pergerakan koperasi selam penjajahan Belanda tidak dapat berjalan lancer. Pemerintah
Belanda selalu berusaha menghalanginya, baik secara langsug maupun tidak langsung. Selain
itu, kesadaran masyarakat atas koperasi sangat rendah akibat penderitaan yang dialaminya.
Untuk membatasi laju perkembangan koperasi, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan
koperasi Besluit 7 April No. 431 tahun 1915. Berdasarkan peraturan ini rakyat tidak mungkin
mendirikan koperasi karena :
Peraturan ini mengakibatkan munculnya reaksi dari kaum pergerakan nasional dan para
penganjurkoperasi. Oleh karena itu, pada tahun 1920 pemerintah Belanda membentuk “
Panitia Koperasi ” yang diketuai oleh J. H. Boeke. Panitia ini ditugasi untuk meneliti
mengenai perlunya koperasi. Setahun kemudian, panitia itu memberikan laporan bahwa
koperasi perlu dikembangkan. Pada tahun 1927 pemerintah mengeluarkan peraturan No. 91
yang lebih ringan dari perturan 1915. isi peraturan No. 91 antara lain :
1. akta tidak perlu dengan perantaraan notaries, tetapi cukup didaftarkan pada Penasehat
Urusan Kredit Rakyat dan Koperasi serta dapat ditulis dalam bahasa daerah
2. ongkos materai 3 golden
3. hak tanah dapat menurut hukum adat
4. berlaku untuk orang Indonesia asli, yang mempunyai hak badan hukum secara adat
Dengan keluarnya peraturan ini, gerakan koperasi mulai tumbuh kemabli. Pada tahun 1932,
Partai Nasional Indonesia mengadakan kongres koperasi di Jakarta. Pada tahun 1933,
pemerintah Belanda mengeluarkan lagi peraturan No. 108 sebagai pengganti peraturan yang
dikeluarkan pada tahun 1915. Peraturan ini merupakan salinan dari peraturan koperasi
Belanda tahun1925, sehingga tidak cocok dan sukar dilaksanakan oleh rakyat. Pada masa
penjajahan Jepang, koperasi mengalami nasib yang lebih buruk. Kamntor Pusat Jawatan
Koperasi diganti oleh pemerintah Jepang menjadi Syomin Kumiai Cou Jomusyo dan Kantor
Daerah diganti menjadi Syomin Kumiai Saodandyo. Kumiai yaitu koperasi model Jepang,
mula-mula bertugas untuk mendistribusikan barang-barang kebutuhan rakyat. Hal ini hanya
alat dari Jepang untuk mengumpulkan hasil bumi dan barang-barang kebutuhan untuk
Jepang. Walau hanya berlangsung selama 3,5 tahun tetapi rakyat Indonesia mengallami
penderitaan yang jauh lebih dahsyat. Jadi, dalam masa penjajahan Jepang koperasi Indonesia
dapat dikatakan mati.
Masa Kemerdekaan
Setelah bangsa Indonesia merdeka, pemerintah dan seluruh rakyat segera menata kembali
kehidupan ekonomi. Sesuai dengan tuntutan UUD 1945 pasal 33, perekonomian Indonesia
harus didasrkan pada asas kekeluargaan. Dengan demikian, kehadiran dan peranan koperasi
di dalam perekonomian nasional Indonesia telah mempunyai dasar konstitusi yang kuat. Di
masa kemerdekaan, koperasi bukan lagi sebagai reaksi atas penderitaan akibat penjajahan,
koperasi menjadi usaha bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup yang
didasarkan pada asas kekeluargaan. Hal ini sangat sesuai dengan cirri khas bangsa Indonesia,
yaitu gotong royong.
Namun karena sistem pemerintahan yang berubah-ubah maka terjadi titik kehancuran
koperasi Indonesia menjelang pemberontakan G30S / PKI. Partai-partai memenfaatkan
koperasi untuk kepentingan partainya, bahkan ada yang menjadikan koperasi sebagai alat
pemerasan rakyat untuk memperkaya diri sendiri, yang dapat merugikan koperasi sehingga
masyarakat kehilangan kepercayaannya dan takut menjadi anggota koperasi.
Akibat tekanan dari berbagai pihak misalnya Agresi Belanda, keputiuasab Kongres Koperasi
I belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun, pada tanggal 12 Juli 1953,
diadakanlah Kongres Koperasi II di Bandung, yang antara lain mengambil putusan sebagai
berikut :
Hambatan-hambatan bagi pertumbuhan koperasi antara lain disebabkan oleh hal-hal berikut :
Organisasi perekonomian rakyat terutama koperasi sangat perlu diperbaiki. Para pengusaha
dan petani ekononmi lemah sering kali menjadi hisapan kaum tengkulak dan lintah darat.
Cara membantu mereka adalah mendirikan koperasi di kalangan mereka. Dengan demikian
pemerintah dapat menyalutrkan bantuan berupa kredit melalui koperasi tersebut. Untuk
menanamkan pengertian dan fubgsi koperasi di kalangan masyarakat diadakan penerangan
dan pendidikan kader-kader koperasi.
a. Tahap Ofisialisasi.
• Tujuan utama tahap ini adalah merintis pembentukan koperasi dari perusahaan koperasi,
yang menurut ukuran , struktur, dan kemampuan manajemennya,cukup mampu melayani
kepentingan para anggotanya secara efisien dengan menawarkan barang dan jasa yang sesuai
dengan tujuan dan kebutuhannya dengan harapan agar dalam jangka panjang mampu
dipenuhi sendiri oleh organisasi koperasi yang otonom.
• Kegiatan-kegiatan dan jasa-jasa pelayanan koperasi yang efisien bagi anggotanya dapat
meningkatkan motivasi dan kemampuan anggota untuk berperan serta secara aktif dalam
perkembangan organisasi selanjutnya dan pada gilirannya mendukung perkembangan yang
mandiri atas dasar partisipasi anggota menuju tahap kemandirian dan otonomi.
b. Tahap De-offisialisasi
• Melepaskan koperasi dari ketergantungan pada sponsor dan pengawasan teknis, manajemen
dan keuangan secara langsung dari organisasi yang dikendalikan Negara.
• Tujuan utama dari tahap ini adalah mendukung perkembangan sendiri koperasi ketingkat
kemandirian dengan otonomi. Artinya, bantuan , bimbingan dan pengawasan atau
pengendalian langsung harus dikurangi.
c. Otonomisasi.
• Setelah berhasil mencapai tingkat swadaya dan otonom, koperasi-koperasi yang sebelumnya
disponsori oleh Negara(dan dikendaikan Negara) mengembangkan dirinya sebagai organisasi
swadaya koperasi (yang otonom) bekerjasama dengan dan didukung oleh lembaga-lembaga
koperasi yang tersier dan sekunder. Dengan demikian, organisasi-organisasi itu telah
mencapai tingkat perkembangan kelembagaan koperasi yang diciptakan menurut konsepsi,
biasanya tingkat tersebut dapat dicapai dalam kurun waktu yang lebih singkat.
Perkembangan selanjutnya dapat ditingkatkan secara tidak langsung dengan menciptakan
kondisi-kondisi pokok yang sesuai melalui kombinasi instrument kebijakan perkoperasian
yang tepat.
Pengertian
Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat memiliki karakteristik dinamis. Dinamika dan
ciri kompetitif ternyata kurang terwadahi dalam Koperasi tradisional. Koperasi tidak dapat
tumbuh dalam “kerangka dan suasana” tradisional seperti masa lalu. Persaingan telah
menuntut tersedianya rancangan strategi-strategi dan kiat-kiat tertentu agar dapat eksis dan
turut terlibat dalam kancah persaingan yang semakin ketat. Untuk itu diperlukan pengetahuan
yang cukup tentang faktor-faktor atau variabel-variabel yang terkait dengan keberhasilan dan
kegagalan koperasi. Strategi-strategi alternatif ini membutuhkan hipotesis-hipotesis, teori-
teori, dalil-dalil serta informasi lain yang teruji secara baik. Sumber utama pengetahuan yang
perlu digunakan dalam membangun sebuah institusi adalah pengetahuan “teoritikal” yang
dapat menerangkan berbagai realitas empirikal.
Reformasi dan reaktualisasi pemikiran tentang koperasi terletak pada nilai instrumental yang
operasional. Secara normatif perubahan itu hampir tidak mengusik eksistensi koperasi
sebagai institusi penghimpun kekuatan mandiri. Hal itu dapat ditelaah pada batasan koperasi
dari berbagai aliran yang ada. Para pakar dan peneliti serta ketentuan perundang-undangan
nasional telah menggariskan batasan berdasarkan cara pandang dan kepentingan yang
dihadapi, namun makna dasar koperasi tidak banyak berubah.
Penjelasan itu memberikan petunjuk bahwa dalam organisasi koperasi melekat secara utuh
lima unsur, yaitu: (a) anggota-anggota perseorangan, (b) kelompok koperasi, yang secara
sadar bertekad melakukan usaha bersama dan saling membantu demi perbaikan kondisi
ekonomi dan sosial mereka, melalui, (c)perusahaan koperasi, yang didirikan secara permanen
dimiliki dan dibina secara bersama sehingga tercipta suatu, (d) hubungan pemilikan antara
kelompok koperasi dan perusahaan koperasi yang mengarahkan adanya promosi anggota atau
hubungan usaha yang saling menunjang antara kegiatan ekonomi anggota individu dengan
perusahaan koperasi.
Berkaitan dengan keempat unsur tersebut, Hanel (1985,30) menjelaskan,” Thus, cooperative
are also characterized to be autonomous business organizations, which are owned by the
members and charged with the promotion of their members in their role as customers of the
cooperative enterprise.
Dalam organisasi koperasi terdapat prinsip atau norma identitas ganda, anggota di samping
sebagai pemilik sah, juga adalah pemilik atau pelanggan jasa yang diusahakan oleh koperasi.
Di samping itu, dalam organisasi koperasi terdapat dua perusahaan (double nature), yaitu
perusahaan, atau kegiatan ekonomi, anggota secara individu dan perusahaan koperasi yang
dimiliki anggota secara bersama-sama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi dilihat dari substansinya
adalah suatu sistem sosial-ekonomi, hubungan dengan lingkungannya bersifat terbuka, cara
kerjanya adalah suatu sistem yang berorientasi pada tujuan, dan pemanfaatan sumber dayanya
adalah suatu organisasi ekonomi yang unsurnya mencakup: anggota-anggota perseorangan,
perusahaan atau kegiatan ekonomi anggota secara individu, kelompok koperasi, perusahaan
koperasi, dan hubungan pemilikan serta hubungan usaha atau pelayanan perusahaan koperasi
kepada para anggotanya.
Dari penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa koperasi memiliki ciri-ciri yang khas
sebagai sebuah organisasi. Koperasi lahir dengan memiliki tiga unsur pokok yakni, (a)
kerjasama dua orang atau lebih, (b) tujuan yang akan dicapai, (c) kegiatan yang dikoordinir
secara sadar.
Pendekatan nominalis dalam merumuskan pengertian koperasi, di samping telah dapat
menunjukkan ciri-ciri esensial koperasi yang dapat dikaji secara ilmiah, tetapi juga telah
dapat memberikan penjelasan yang cukup rinci mengenai perbedaan koperasi dengan
organisasi ekonomi lain yang bukan koperasi. Maman (1989,19) membedakan koperasi
dengan organisasi usaha non-koperasi, dengan melihat lima (5) hal yakni: (a) sifat
keanggotaan, (b) pembagian keuntungan, (c) hubungan personal antara organisasi dan
manajer, (d) keterlibatan pemerintah dalam penciptaan stabilitas dan operasi, dan (e)
hubungan organisasi dan masyarakat.
Peran anggota merupakan indikator penting dalam mendefinisikan koperasi secara universal
dengan tidak dibatasi oleh visi politis maupun kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakat
di mana koperasi itu hidup. Kedua peran tersebut menjadi kriteria identitas (identity
criterion) bagi koperasi. Peran atau identitas ganda (dual identity) koperasi menunjukkan
bahwa yang melakukan kerja sama (cooperation) adalah manusia atau anggotanya. Baik
pada saat mengelola maupun pada saat memanfaatkan hasil usaha koperasi. Peran unik dari
anggota inilah yang dijadikan acuan dalam mengenali sistem koperasi di berbagai negara.
Roy (1981,6) dalam definsinya meamasukan peran anggota dalam usaha koperasi adalah:“…
a business voluntarily organized, operating at cost, which is owned, capitalized and
controleed by member-patrons as ussers, sharing risk and benefits proportional to their
participation.”
Walaupun bentuk implementasi peran anggota menurut beberapa ahli koperasi cenderung
mengalami perubahan. Seperti dikemukakan oleh Herman (1995,66) setelah mengkaji artikel-
artikel, “Trends in Co-operative Theory” (Wilson), “Homo Oeconomicus and Homo
Cooperatives in Cooperative Research” (Weisel), “Basic Cooperatives Values” (Laurikari),
maupun “Cooperative Today” (Book), menyimpulkan bahwa belakangan ini telah terjadi
perubahan peran anggota seiring dengan tersisihnya demokrasi oleh ekonomi.
Perubahan peran sentral dari anggota ke manajemen tidaklah mengubah pentingnya prinsip
ganda anggota dalam organisasi. Karena pada dasarnya perubahan itu terletak pada tataran
instrumental bukan pada taran substansi. Mengenai hal itu dapat dikaji pendapat Dulfer
(1985) mengenai perubahan struktur koperasi secara radikal. Dikatakan bahwa perubahan
struktur koperasi akan mengikuti pola hirarkis (a) koperasi tradisional, (b) koperasi
berorentasi pasar, dan (c) koperasi yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal. Setiap
tingkat memiliki konsekwensi implementasi manajemen yang berbeda. Lebih khusus
perbedaan tersebut terletak pada posisi anggota dalam pengelolaan organisasi.
Koperasi Indonesia
Pada kasus Indonesia, koperasi sebagai badan usaha yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh
anggota, di tegaskan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 1992. Batasan koperasi dalam
perundangan ini memiliki makna yang lebih tegas dan jelas dibanding batasan lama, dalam
Undang-undang No.12 tahun 1967, yang memungkinkan terciptanya pemikiran ganda
tentang koperasi. Undang-undang nomor 25 tahun 1992 mengakomodasi perubahan tataran
instrumental seperti dengan diaturnya “Pengelola” atau manajer dalam pengelolaan
organisasi dan usaha koperasi.
Koperasi seperti badan usaha lainnya memiliki keleluasaan gerak dalam menjalankan usaha
selama tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan dan idielogi normatif yang ada.
Usaha merupakan proses rasional yang akhirnya bermuara pada penciptaan keuntungan
(profit), akumulasi keuntungan tersebut digunakan untuk melayani kebutuhana anggota.
Dengan demikian, usaha koperasi dapat dilaksanakan selama memperhatikan dua hal pokok,
yakni:
(1) Usaha yang dijalankan selaras dengan kebutuhan anggota dan sejauh mungkin
mengandung unsur pemberdayaan (empowering) bagi usaha anggota.
(2) Keuntungan usaha dialokasikan untuk anggota selaras dengan jasa yang diberikan
anggota pada usaha koperasi.
Perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat selain anggota sesuai dengan tujuan koperasi
Indonesia, seperti tertuang dalam pasal 3 Bab II Undang-undang nomor 25 tahun 1992, yakni,
memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut
membangun tatanan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju,
adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan
organisasi dan manajemen koperasi didasari oleh prinsip koperasi, prinsip tersebut berisi, (a)
keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (b) pengelolaan dilakukan secara demokratis, (c)
pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa
usaha masing-masing anggota, (d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, (e)
Kemandirian. Di samping prinsip yang mengikat intern organisasi, koperasi memiliki prinsip
lain yang berkaitan dengan ekstern organisasi yakni, (a) pendidikan perkoperasian, (b)
kerjasama antar koperasi.
Pembahasan di atas menunjukkan koperasi dapat dilihat sebagai unit usaha (dimensi mikro)
dan sistem ekonomi (dimensi makro). Dalam dimensi mikro, koperasi memiliki kewajiban
dan hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Dalam dimensi makro, koperasi adalah
faham atau idielogi yang harus menjadi panutan bagi pelaku ekonomi nasional.
Pemahaman tentang kedua hal itu dapat menghindarkan diri dari pemikiran yang keliru
terhadap konsep “Koperasi sebagai soko guru ekonomi”. Mengenai kedua dimensi itu dapat
di pisahkan dan dibedakan dengan menunjuk aspek-aspek seperti pada tabel 1.
Sistem ekonomi yang bernuansa kemanfaatan bersama/ kerakyatan. Koperasi sebagai sistem
sosial merupakan gerakan yang tumbuh berdasarkan kepentingan bersama. Ini mengandung
makna dinamika koperasi harus selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Semangat kolegial perlu dipelihara melalui penerapan musyawarah dalam pengambilan
keputusan. Dalam konteks itu, koperasi merupakan organisasi swadaya (self-helf
organization) akan tetapi tidak seperti halnya organisasi swadaya lainnya, koperasi memiliki
karakteristik yang berbeda (Hanel,1985,36).
Mengkaji koperasi sebagai badan usaha dan organisasi swadaya adalah untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang posisi manusia dalam konstelasi sistem koperasi. Koperasi
menempatkan faktor “manusia” sebagai elemen penting dalam sistem keorganisasian.
Manusia anggota merupakan sentral pengembangan yang berposisi penting dalam proses
peningkatan kesejahteraan.