You are on page 1of 5

Perkembangan Pers di Indonesia

Secara garis besar, perkembangan pers di Indonesia dapat dibagi dalam enam tahapan :

1. Tahap awal pertumbuhan


2. Masa pergerakan
3. Masa revolusi
4. Masa orde lama
5. Masa orde baru
6. Masa pasca orde baru

Tahap awal pertumbuhan

Pada awal perkembangannya, pers Indonesia ditandai dengan munculnya buletin berbahasa
Belanda milik VOC bernama Memories Nouvelles. Newsletter jauh lahir terlebih dahulu dibandingkan
surat kabar. Newsletter hadir dalam wujud lembaran-lembaran yang memuat berita atau kabar
perkembangan yang ada pada masa itu. Koran jenis ini mulai populer dan dikembangkan secara
tidak teratur di Belanda, Inggris, dan Perancis pada periode 1618 – 1648. Lembaran berita ini disebut
juga Curantos, saat berkembang dan bisa muncul secara harian disebut laporan harian atau diurnos.

Dalam catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, Koran pertama di Indonesia terbit
karena kebijakan yang muncul pada masa Gubernur Jenderan Van Imhoff. Izin penerbitannya
diberikan kepada Adjuct-Secretaris-General Jorden. Izin terbitnya berlaku selama enam bulan,
kemudian diperpanjang lagi menjadi tiga tahun. Surat kabar pertama yang ada di Indonesia bernama
Bataviasche Novelles en Politique Raisonnementen pada periode tahun 1744 – 1766. Namun koran
ini kemudian ditutup karena dinilai merugikan VOC yang saat itu tengah berkuasa di Indonesia.

Masa Daendels, tanggal 5 Agustus 1810 terbit “ De Bataviasche Koloniale Courant” (Java
Gazette). Sebagai kelanjutannya, pada tahun 1828 di Jakarta muncul Javasche Courant yang isinya
berupa berita lelang kutipan dari harian-harian yang ada di Eropa. Di Surabaya pada tahun 1835
terbit Soerabajasch Advertentiebland yang kemudian diganti nama menjadi Soerabajasch Niews en
Asverttentiebland. Pada saat yang sama di Semarang muncul Semarangsche Advertentiebland dan
De Semarangsche Courant.

Selain di Jawa, pada masa itu juga muncul surat kabar di luar Jawa seperti di Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi. Surat kabar paling tua di Sumatera adalah Sumatera Courant yang
didirikan tahun 1859 di Padang Sumatera Barat. Awalnya koran ini berukuran kecil dan hanya terbit
beberapa kali dalam seminggu. Pendirinya adalah seorang Indo terkenal di di Padang bernama
L.N.H.A Chatelin yang sekaligus menajdi pemimpin redaksinya saat itu. Hampir bersamaan pada 17
Desember 1859, di Padang terbit pula Padang Nieuws en Advertentieblad oleh R.H. Van Wijk Rz.
Tahun 1871 di Padang Terbit pula Padangsche Handelsblad oleh perusahaan milik asing bernama H.J.
Klitsh and Co. Awalnya terbit seminggu dua kali, namun seiring waktu bisa terbit seminggu tiga kali.
Tahun 1900 juga terbit De Padanger yang merupakan merger antara Sumatera Courant dengan
Nieuw Padangsche Handelsblad. Uniknya, dua koran ini sebelum di merger merupakan media yang
selalu berseteru karena mereka menentang keras upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk
memajukan pendidikan modern bagi anak-anak pribumi. Isinya secara umum mengejek bangsa kita.
Namun begitu, tidak sedikit pula dari tulisan-tulisan mereka yang mengkritik keras pemerintahan
Belanda. Yang paling banyak dikritik oleh mereka saat itu adalah keserakahan pemerintah Belanda.
Apalagi di Sumatera pergerakan menuju kemerdekaan saat itu sudah mulai terasa. Selain di
Sumetera, di Makasar yang saat itu masih bernama Ujung Pandang terbit Celebes Courant dan
Makasaarch Handelsbland.

Koran-koran yang muncul pada masa itu belum mempunyai arti secara politis, karena lebih
mempersoalkan periklanan. Tirasnya berkisar antara 1000 – 1200 dalam sekali terbit. Semua
penerbitan terkena peraturan pemerintah Belanda dimana surat kabar tidak boleh diedarkan
sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.

Salah satu yang menarik dari kasus pembatasan media pada masa pemerintahan Belanda
berkenaan dengan penerbitan Javasche Courant yang merupakan kelanjutan dari Bataviasche
Coloniale Courant. Meskipun koran ini milik Belanda, namun pengasuhnya justru bersifat kritis
terhadap konfigurasi politik kolonial Belanda dan mengibarkan kemerdekaan pers sebagai program
utamanya. Politik redaksional JC yang bersikap oposisi dengan pemiliknya ini menjadi cukup
menarik, karena di tengah upaya media milik penjajah yang menyebarkan propaganda agar mereka
tetap bisa berkuasa, kebijakan redaksional JC justru mendukung kemerdekaan Indonesia.

E.F.E Douwes Dekker menyatakan, apa yang dilakukan oleh JC ini membuka pintu
pembelengguan pers masa Belanda pada waktu itu. Bentuk pembatasan yang dilakukan oelh
pemerintah kolonial dan upaya pengebirian media oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu
berupa :

1. Melarang dan mempersulit usaha W Bruining, pemilik Het Advertientie Blad yang terbit
tahun 1851 memasukan percetakan dari Rotterdam ke Indonesia. Kemudian ia diintimidasi
dan diperlakukan seperti salah satu pengidap penyakit berbahaya.
2. Dr. Van der Chrijs, rdaktur JC ,mendapat peringatan keras dari pemerintah kolonial Belanda
di Bogor karena memuat secara langsung berita dari negeri Belanda.

Tekanan terhadap pers masa pemerintah kolonial Belanda dibalut pula dengan
diterbitkannya produk hukum pers yang sifatnya represif oleh Belanda seperti Hatzaai Artikelen dan
Drukpers Ordonantie pada tahun 1856. Hatzaai Artikelen merupakan ketentuan pidana yang
dimasukkan dalam Wtboek van Straftrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana-KUHP) yang
mengatur mengenai kejahatan melanggar ketertiban umum dan kejahatan melanggar kekuasaan
umum. Drukpers Ordonantie mengatur mengenai sensor barang-barang percetakan. Peraturan ini
tertuang dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch Indie. Di dalam peraturan ini
disebutkan bahwa seluruh karya cetak, sebelum diterbitkan, satu eksemplar harus dikirimkan
terlebih dahulu kepada pemerintah setempat dan pejabat justisi. Apabila aturan ini tidak
dilaksanakan maka karya cetak tersebut dapat disita dan percetakannya disegel.

Masa Pergerakan

Tahun 1854, ketika pemerintah Belanda mulai merintis mengenai kebijakan


persuratkabaran, di sejumlah daerah mulai tumbuh pula surat kabar yang basisnya lebih kepada
masyarakat. DI Surakata terbitlah Mingguan Bromartani tiap hari Kamis. Bromartani ini adalah nama
keIndonesiaan sekaligus keJawaan yang sangat kental. Tenaga dan pemikirnya merupakan putera
dan puteri pribumi, meskipun modalnya adalah milik asing yang merupakan sebuah usaha kongsi
Belanda Harteveldt & Co. Oleh karenanya Bromartani belum bisa dikatakan sebagai pers yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Selain itu, di Indonesia pada masa itu juga mulai tumbuh pers Melayu, meskipun bibitnya
sebenarnya sudah muncul di Padang pada masa pertumbuhan pers di Indonesia. Bentara Melayu
terbit di Padang pada kisaran tahun 1877. Ukurannya kecil dan terbit tiap hari Selasa sejak Juni 1877.
Pemimpinnya sendiri adalah seorang asing bernama Arnold Snackey. Namun hanya beberapa saat
akhir tahun 1877 koran ini sudah tidak terbit lagi. Alasannya, karena saat itu orang Melayu belum
banyak yang bisa menggunakan bahasa Latin . Sedangkan orang Belanda, mereka enggan
berlangganan, apalagi memasang iklan.

Cikal bakal koran pertama yang milik pribumi seutuhnya adalah Warta Berita yang didirikan
oleh Datuk Sutan Marajo pada tahun 1901 bersama adiknya Baharudin Sutan Rajo nan Gadang.
Bahasanya masih menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Kepemilikan dan redakturnya
adalah orang Indonesia. Modal pertama dari koran ini didapatkan dari seorang pedaang terkenal di
Padang waktu itu Abdul Manan Sutan Marajo. Koran ini dicetak secara sederhana di daerah
Pasarmudik. Pemimpin redaksinya sendiri adalah Datuk Sutan Marajo yang merupakan jaksa
sebentar di daerah Pariaman. Satuk Sutan Marajo ini terkenal sebagai seorang autodidak dengan
pena yang cukup tajam. Dia sangat kritis dan ahli dalam modernisasi Belanda. Sayangnya, koran ini
tidak berumur panjang, tidak sampai 10 tahun.

Datuk Sutan Marajo sendiri dihukum dengan denda 100 gulden atau kurungan 15 hari
karena tulisannya pada tanggal 23 Februari 1892 mengenai nasib rakyat kecil dan karena sebuah
tulisannya mengenai Aceh.

Tidak hanya di Sumatera, di Surabaya saat itu juga muncul Koran berbahasa Melayu
bernama Bintang Timur semenjak tahun 1862. Koran ini terbit seklai seminggu dipimpin oleh
seorang penerjemah resmi bernama Van den Berg. Lange, tahun 1858 di Betawi menerbitkan Soerat
Khabar Betawi. Surat kabar ini masih mencampurkan antara huruf Arab dan huruf Latin.

Di Cirebon terbit surat kabar “Tjiremai” tahun 1890 dalam bahasa Belanda. Di Sukabumi
terbit “ Li Po” (1901) yang merupakan surat kabar keturunan TiongHoa. Di Bogor terbit surat kabar
Mingguan Tionghoa “ Wie Sin Ho” (1905).

Tahun 1907 di Bandung terbit sebuah mingguan dengan nama Medan Prijaji. Inilah yang
selama ini dianggap sebagai surat kabar pertama kaliber nasional yang ada di Indonesia.
Pengasuhnya adalah Raden Mas Tirtohadisoerjo atau punya nama kecil Djokomono. Sebelum
mendirikan Medan Prijaji, tahun 1904 Djokomono mendirikan badan hukum N.V. Javaansche
Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrifbehoeften ‘Medan Prijaji’ yang beralamatkan di Djalan
Naripan Bandoeng. Di hadapan notaris, dia menyatakan ingin segera menerbitkan Medan Priyayi
tahun itu juga. Namun ia menyiapkan dulu sarana pendukung surat kabar dan wartawannya.

Awalnya surat kabar ini hanya terbit seminggu sekali. Namun tiga tahun kemudian, surat
kabar ini berhasil terbit berkala secara harian kecuali hari Djoemahat dan Minggu serta hari Riaya.
Nomor 1 terbit pada hari Rabu 5 Oktober 1910, sedangkan nomor terakhirnya terbit Selasa 3 Januasi
1912.

Motto yang digunakan oleh Medan Priyayi saat itu adalah “Orgaan boeat bangsa jang
terperentang di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia.” Ini adalah motto yang luar
biasa saat itu. Medan Priyayilah yang pertama kali menggunakannya dan menggunakan surat kabar
sebagai pembentuk pendapat umum. Selain itu Medan Priyayi secara berani juga melakukan
kecaman-kecaman kepada pemerintah Belanda. Resikonya Raden Mas Tirtoadisoerjo disingkirkan
dari Pulau Jawa dan dibuang ke pulau Bacan dekat Halmahera.

Pada periode ini muncul pula persatuan wartawan Indische Journalisten Bond,
Perkoempoelan Kaoem Journalist, dan Persatuan Djoernalis Indonesia. Para wartawan saat itu mulai
menyadari bahwa untuk memerdekakan bangsanya betapa pentingnya menyatupadukan kekuatan
mereka dalam satu wadah perjuangan untuk melawan penjajah. Upaya ini diwujudkan dengan
mendirikan tahun 1914 dengan terbentuknya Inlandsche Journalisten Bond (IJB) di Solo atas prakarsa
dari wartawan yang juga merupakan aktivis pergerakan, Dr. Cipto Mangunkusumo, R. Sosro Koornio,
dan Mas marco Kartodikromo. Dalam Akta pendirian IJB disebutkan :

“Melaloei panjatoean semoea-moea Journalist boemiputera di Hindia agar toeroet dalam


satoe kekoeatan perjoeangan demi kepentingan bangsa tertindih dan kedaoelatan Jornalist
sekalian.”

Inilah ikrar para jurnalis yang secara resmi menyatakan bahwa mereka menentang
kolonialisme dan wadah ini dibentuk untuk melatenkan hal tersebut.

Masa Revolusi

Periode revolusi, dimana upaya perjuangan untuk merebut kemerdekaan sudah mulai nyata,
dihitung dari periode kedatangan Jepang. Ketika Jepang datang serat-surat kabar yang ada di
Indonesia diambil alih secar apelan-pelan dengan alasan menghemat tenaga dan alat. Tujuan
sebenarnya adlah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar.
Kantor berita Antara pun diambil alih dan diterusakan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya
berada di bawah pusat pemerintahan Jepang, yaitu Domei. Wartawan Indonesia didudukkan sebagai
pegawai sedangkan yang diberi kekuasaan dan pengaruh adalah wartawan-wartawan yang
didatangkan dari Jepang. Masa kekuasaan Jepang ini surat kabar diperuntukkan untuk propaganda
dan memuji pemerintahan serta tentara Jepang.

Zaman pendudukan Jepang ini pula surat-surat kabar, terutama yang ada di Jawa dijadikan
satu menajdi “Tjahaja” di bawah penagwasan Sendenbu. Yang ditunjuk menjadi pimpinan Tjahaja
waktu itu adalah Otto Iskandar Dinata dan Bratanata.

Masa pendudukan Jepang ini pula, pers di Indonesia secara keseluruhan baik itu radio,
majalah, maupun surat kabar dikuasai oleh Jepang dan diatur secara ketat melalui undang-undang
penguasa (Osamu Seiri) No. 16 tentang Pengawasan Badan-badan Pengumuman dan Penerangan
Serta Penilikan Pengumuman dan Penerangan.
Pada masa awal kemerdekaan, terutama masa pendudukan Jepang, pers Indonesia cukup
aktif menyuarakan kemerdekaan. Surat Kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeradi
ikut melaksanakan propaganda agar rakyat Indonesia datang berbondong-bondong pada rapat
raksasa di lapangan Ikada Jakarta tanggal 19 September 1945. Dalam perkembangannya, Berita
Indonesia (BI) berulang kali diberedel dan selama pemberedelannya para tenaga redaksinya
ditampung oleh Surat Kabar Merdeka yang didirikan oleh BM Diah.

Selain dua surat kabar itu, juga ada surat kabar lain yaitu Harian Rakyat Merdeka dengan
pimpinannya yang bernama Samsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi. Koran tersebut menampilkan
pojok dan Bang Golok. Surat kabar lain yang terbit pada zaman kemerdekaan adalah Soeara
Indonesia pimpinan Manai Sophian (Makasar), Pedoman Harian / Soeara Merdeka (Bandung),
Kedaulatan rakjat (Bukit Tinggi), Demokrasi (Padang), dan Oetosan Soematra (Padang)

Peran Surat Kabar

Dalam perkembangannya, media massa di Indonesia, khususnya surat kabar memegang


peranan yang cukup signifikan dalam upaya perebutan kekuasaan dan memperjuangkan
kemerdekaan. Paling tidak pers sudah menjalankan fungsinya dalam secar aprimer maupun
sekunder.

1. Pers sebagai media informasi (to inform)


Pers menjadi sarana untuk mendistribusikan informasi adalah fungsi ideal pers. Informasi
yang didistribusikan oleh pers merupakan berita-berita yang telah diseleksi sedemikian rupa
dari berbagai ragam berita yang masuk ke dalam meja redaksi dari berbagai sumber yang
sudah dihimpun oleh reporter di lapangan.
2. Pers sebagai media pendidikan (to educate)
Pers harus memperhitungkan nilai luhur dimana pers mempunyai peran secara aktif
membangun karakter bangsa. Untuk itu pers dituntut untuk memberikan informasi secara
seimbang di lapangan secara objektif dan selektif. Persoalan etika dan hukum menjadi
perhitungan di sini dimana pers memegang persoalan etis dan moral masyarakat.
3. Pers sebagai media entertainment
Pers sebagai media hiburan dimaksudkan agar dapat memberikan kesenangan kepada
pembacanya, sebagai upaya relaksasi dari kejenuhan, menghidupkan kembali sisi emosional
(emosional quotition), memberikan mereka sentuhan diri ilmiah sehingga bisa menyatu.
4. Pers sebagai sarana pengaruh (to influence)
Pers memaparkan peristiwa yang buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya, dan berbagai
persoalan yang menyalahi aturan, supaya peristiwa tersebut tidak terulang kembali.

You might also like