You are on page 1of 10

ADAPTASI SALINITAS IKAN NILA AIR TAWAR TERHADAP AIR PAYAU

DENGAN PERBAIKAN SUPLEMEN PAKAN DAN WAKTU ADAPTASI


Oleh : Ibnu Sahidhir
I.                   PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pasca tsunami, produktifitas tambak udang di Aceh menurun. Penyebabnya terdiri
dari banyak faktor seperti menurunnya kualitas lingkungan perairan, pendangkalan tambak,
kualitas induk yang semakin rendah, penyakit, dan cara budidaya yang buruk. Produktifitas
rendah ini menyebabkan usaha budidaya udang menjadi tidak layak secara ekonomis,
sehingga banyak tambak diterlantarkan atau beralih ke komoditas lain seperti bandeng dan
mujair.
Ikan Nila yang dikonsumsi sebagian masyarakat Aceh sekarang pada umumnya
adalah hasil budidaya air tawar. Ikan Nila bersifat euryhaline yakni mampu hidup dalam
rentang salinitas yang lebar (0–35 ppt). Sehingga diversifikasi spesies dengan
pengembangan budidaya Ikan Nila di tambak layak dilakukan.
Salinitas merupakan faktor penting dalam budidaya ikan/udang di lingkungan
pertambakan. Pengembangan Ikan Nila di tambak perlu mengkaji beberapa hal yang
berhubungan dengan salinitas seperti teknik adaptasi Ikan Nila dari air tawar ke air payau,
pengaruh salinitas terhadap produktifitas induk dan pertumbuhan dan kelangsungan hidup
benih.
 Hal-hal yang ditemukan dalam adaptasi Ikan Nila air tawar ke air payau yakni
munculnya penyakit setelah adaptasi dan menurunnya pertumbuhan. Sehingga perlu dikaji
teknik untuk meningkatkan keberhasilan pengadaptasian Ikan Nila ke air payau. Adaptasi
Ikan Nila terhadap kenaikan salinitas meliputi perubahan histologis insang, usus, dan ginjal.
Kemudian berlanjut kepada aktifitas fisiologis yakni mempertahankan keseimbangan
internal garam-garam mineral dalam sel dan di luar sel.
Peningkatan kemampuan adaptasi dapat dilakukan dengan memperbaiki kondisi
internal ikan dan kondisi eksternal secara bertahap.       Peningkatan kemampuan adaptasi
secara internal diusahakan dengan pemberian pakan yang cocok dengan kondisi kritis saat
adaptasi yakni dengan meningkatkan suplai energi dalam bentuk ATP, meningkatkan kadar
garam NaCl cairan internal dan meningkatkan kekebalan tubuh dengan asupan vitamin C.
Sedangkan secara eksternal dapat diperbaiki dengan meningkatkan salinitas media secara
bertahap.
1.2. Tujuan
Meningkatkan kemampuan adapatsi Ikan Nila
1.3.   Sasaran
Meningkatkan SR dan memperbaiki FCR
II.                TEORI
1.      Ikan Nila bersifat euryhaline dan dapat hidup dalam rentang salinitas 0-35 ppt. (Watanabe,
1997) Menurut Hussain (2004) secara hirarkis taksonomi Ikan Nila terletak dalam klasifikasi
sebagai berikut:
         Phyllum           :  Chordata
         Sub phyllum    :  Vertebrata
         Class                :  Pisces
         Sub class         :  Acanthopterigii
         Family             :  Cichlidae
         Genus              :  Oreochromis
         Species            :  Oreochromis sp.
2.            Keberhasilan adaptasi salinitas ditunjukkan oleh kelangsungan hidup yang tinggi dan
pertumbuhan yang normal. Kesehatan ikan dapat ditingkatkan dengan menambah asupan
nutrisi dalam pakan. Vitamin C berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tubuh ikan
sehingga pada saat kondisi lingkungan buruk kesehatan ikan tetap terjaga (Steffens, 1989).
Dalam kondisi lingkungan buruk, ikan membutuhkan energi lebih dalam bentuk ATP
(adenosin trifosfat) yakni senyawa biokimia berenergi tinggi yang langsung dapat digunakan
untuk energi sel (Uchida et al, 1997). Ikan-ikan anadromous (berpindah dari laut ke sungai
atau sebaliknya) meningkatkan sel klorid mereka ketika berada pada kondisi kritis saat
terjadi guncangan salinitas. Sel klorid memiliki kemampuan lebih dalam transpor aktif ion-
ion (Sharaf et al, 2004). Penambahan garam bertujuan meningkatkan tekanan osmotik
cairan sel (intrasel dan ekstrasel) seiring meningkatnya tekanan osmotik lingkungan
(Steffens, 1989).
3.            Salinitas atau kadar garam adalah jumlah kandungan bahan padat dalam satu kilogram air
laut, seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, brom dan yodium telah disetarakan
dengan klor dan bahan organik telah dioksidasi. Secara langsung, salinitas media akan
mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan. Apabila osmotik lingkungan (salinitas)
berbeda jauh dengan tekanan osmotik cairan tubuh (kondisi tidak ideal) maka osmotik
media akan menjadi beban bagi ikan sehingga dibutuhkan energi yang relatif besar untuk
mempertahankan osmotik tubuhnya agar tetap berada pada keadaan yang ideal.
Pembelanjaan energi untuk osmoregulasi, akan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan
konversi menjadi berat tubuh (Sharaf et al, 2004).
4.            Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion
antara di dalam tubuh dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan tekanan osmosis.
Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk
menyeimbangkan tekanan osmosis antara substansi dalam tubuhnya dengan lingkungan
melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik
antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk
melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya.
Pemahaman ini sangat penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan terutama
salinitas. Regulasi ion dan air pada ikan terjadi hipertonik, hipotonik atau isotonik
tergantung pada perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan tubuh
dengan konsentrasi media (Villee et al, 1996). Perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai
strategi dalam menangani komposisi cairan ekstraselular dalam tubuh ikan. Ikan-ikan
euryhalin, memiliki kemampuan cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuhnya
dengan media.
III.              MATERI DAN METODE
3.1 Materi 
        
         Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi pakan, suplemen pakan
dan perekat suplemen (foto 1.). Pakan utama mengandung kadar protein 40%. Suplemen
pakan terdiri dari vitamin C, ATP, dan NaCl. Sebagai perekat digunakan tepung kanji yang
diencerkan. Akuades berguna sebagai pelarut suplemen dan pengencer tepung kanji.
Berikut ini bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan.
Tabel 1. Bahan-bahan yang digunakan dalam perekayasaan "Suplemen Pakan dan Waktu Adaptasi
untuk Penyesuaian Benih Ikan Nila Air Tawar terhadap Air Payau"
No. Bahan-bahan Ukuran
1. Vitamin C 2000 mg
2. ATP (Biosolamine) 40 ml
3. NaCl 500 g
4. Tepung kanji 100 gr
5. Akuades 250 ml
6. Pakan udang (protein 40%) 5 kg
Peralatan yang digunakan meliputi wadah dan sarana pemeliharaan ikan, alat ukur
dimensi benda (panjang, berat), alat ukur kualitas air dan alat tulis untuk pengamatan.
Berikut ini rincian peralatan yang digunakan dalam perekayasaan ini.
Tabel 2.  Peralatan yang digunakan dalam perekayasaan "Suplemen Pakan dan Waktu Adaptasi untuk
Penyesuaian Benih Ikan Nila Air Tawar terhadap Air Payau"
No Alat Ketelitian/dimensi Unit Fungsi
60x40x40 cm3
1. Akuarium 12 Tempat Pemeliharaan
2. DO meter 0,01 mg/l, 0,1 0C 1 Mengukur kadar O2 terlarut, suhu
3. Refraktometer 1 ppt 1 Mengukur salinitas
4. Timbangan digital 1 mg 1 Menimbang ikan
5. Penggaris 1 mm 1 Mengukur volume akuarium
6. Ember 20 l 2 Untuk mengangkut air
7. Gelas beaker 500 ml 1 Wadah untuk memanaskan air
Untuk mencampur suplemen dan
8. Sendok pengaduk - 2
tepung kanji
9. Heat stirer - 1 Pemanas air dan pengaduk
10. Alat tulis - 1 Menulis pengamatan
11. Selang air 3m 2 Membuang air dari aquarium
12. Serok Ikan - 1 Menangkap ikan
13. pH meter 0,1 1 Mengukur pH
14. Aerasi - 12 Menambah kelarutan
3.2. Metode
1.      Persiapan wadah dan sarana
Akuarium berdimensi 60x40x40 cm3 sebanyak 12 buah diisi dengan air tawar 100 liter,
kemudian dipasangkan 1  titik aerasi.
.            Penebaran benih
Benih Ikan Nila dimasukkan dalam masing-masing aquarium sebanyak 10 ekor dengan
berat rata-rata 10 gr.
.            Penambahan suplemen dan pemberian pakan
Penambahan suplemen dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Air 250 ml dipanaskan dengan heat stirer sampai hangat.


2. Garam dapur diencerkan.
3. Tepung kanji dimasukkan 100 gr ke dalam air hangat diaduk merata.

4.      Tepung kanji terus diaduk sampai dingin kemudian ditambahkan vitamin C dan garam yang
sudah diencerkan, dan biosolamine.

5. Suplemen dimasukkan dalam waskom kemudian disusul pakan.


6. Aduk semua bahan sehingga suplemen tercampur merata.
7. Pakan dikeringanginkan  dan  siap dipakai

8.      Pemberian pakan tiga kali sehari yakni pada pukul 08.00, 13.00 dan 17.00 WIB sebanyak
15 % dari berat badan ikan.
.            Adaptasi Salinitas
Media awal pemeliharaan bersalinitas 0 ppt, kemudian salinitas dinaikkan secara
bertahap. Percobaan ini dibuat dalam 4 perlakuan dan 3 ulangan yakni:
A.          Peningkatan salinitas 5 ppt/hari
B.           Peningkatan salinitas 5 ppt/hari dengan suplemen vitamin C, garam, dan ATP
C.           Peningkatan salinitas 2 ppt/hari
D.          Peningkatan salinitas 2 ppt/hari dengan suplemen vitamin C, garam, dan ATP
Adaptasi salinitas dilakukan dengan menambahkan air garam dalam setiap perlakuan.
Garam dapur cara diencerkan ke dalam air sampai jenuh, kemudian larutan garam ini
dicampur dengan air tawar dengan perbandingan tertentu hingga didapat kenaikan salinitas
yang diinginkan menggunakan refraktometer. Setelah ikan uji diadaptasikan maka ikan di
pelihara sampai hari ke-20 untuk mempermudah identifikasi SGR dan FCR.
.            Pemeliharaan benih dan pengamatan
Selama pemeliharaan ikan nila di Akuarium diberi pakan dalam bentuk pakan udang
dengan kadar protein 40 % yang telah diberi suplemen. Pada saat percobaan dilakukan juga
pengukuran kualitas air seperti DO meter, suhu, salinitas dan pH. Tingkah laku ikan diamati
saat percobaan.
Untuk mengetahui laju pertumbuhan maka dilakukan pengukuran berat   pada akhir
percobaan untuk mengetahui berat ikan uji selama pemeliharaan dengan menggunakan
timbangan elektrik. Perhitungan kelangsungan hidup benih (SR) dilakukan dengan cara
menghitung jumlah ikan pada awal dan akhir penelitian.
IV.              HASIL DAN PEMBAHASAN
   Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelangsungan hidup Ikan Nila tidak berbeda
antar perlakuan (100%). Ini berarti standar adaptasi salinitas <5 ppt/hari dapat ditolerir
oleh Ikan Nila.
Tabel 3.  Kelangsungan Hidup (SR) pada adaptasi salinitas Ikan Nila air tawar ke air payau
Kelangsungan Hidup (SR)
Ulangan
A B C D
1 100 100 100 100
2 100 100 100 100
3 100 100 100 100
Rata-rata 100 100 100 100
Secara harfiah laju pertumbuhan harian (SGR) terbaik diperoleh pada perlakuan C (2
ppt+suplemen) yakni 6,7%/hari dengan FCR 1,38. Laju pertumbuhan harian (SGR) dan
rasio konversi pakan (FCR) antar perlakuan berbeda nyata secata statistik yakni
ditunjukkan oleh hasil SGR dan FCR terendah perlakuan A, sedangkan perlakuan B, C, D
tidak berbeda.
Tabel  4. Laju Pertumbuhan Harian (SGR) pada adaptasi salinitas Ikan Nila air tawar ke air payau
 Laju Pertumbuhan Harian (SGR)
Ulangan
A B C D
1 6.5 7.9 5.7 6.8
2 5.6 6.0 7.6 6.1
3 6.5 5.9 6.7 7.0
Rata-rata 6.2 6.6 6.7 6.6
Ikan di air tawar menghadapi kondisi kehilangan garam internal dan masuknya cairan eksternal ke dalam
tubuh. Sedangkan pada air laut ikan mengalami pemasokan garam eksternal ke dalam tubuh dan pengeluaran cairan
internal tubuh. Seperti yang diungkapkan Sharaf et al. (2004), terdapat perubahan histologi terjadi di insang ketika
Ikan Nila air tawar diadaptasikan ke salinitas yang lebih tinggi yakni meningkatnya cell chloride dan enzym
Na+K+ATPase. Cell chloride ikan di air laut lebih banyak daripada di air tawar. Sel tersebut kaya akan mitokondria
yang berfungsi dalam proses penyediaan ATP untuk pompa aktif garam-garam mineral. Selain itu terjadi pula
perubahan permeabilitas pada jaringan epitel usus dan nefron ginjal untuk mengatasi kenaikan tekanan osmotic ini.
Kondisi isosmotik sel cairan internal vertebrata air mencapai level 0,9%-1% (9-10 ppt) (Ville, 1996). Pada
kondisi ini ikan hanya sedikit menggunakan energi metabolisme untuk proses osmoregulasi. Kenaikan salinitas yang
terlalu cepat tidak dapat ditolerir oleh ikan karena akan mengakibatkan hidrasi atau dehidrasi parah. Sebab ini akan
mengakibatkan perubahan kondisi kimiawi sel terutama pH sehingga metabolisme menjadi terganggu. Secara
histologis ini disebabkan karena sel atau jaringan yang berhubungan dengan proses osmoregulasi belum berkembang
dengan baik.
Tabel  5.  Rasio Konversi Pakan (FCR) pada adaptasi salinitas Ikan Nila air tawar ke air payau
Rasio Konversi Pakan (FCR)
Ulangan
A B C D
1 1.54 1.55 1.39 1.44
2 1.47 1.59 1.40 1.47
3 1.47 1.70 1.35 1.37
Rata-rata 1.49 1.61 1.38 1.43
Kenaikan salinitas 2 ppt/hari dan pemberian suplemen memberikan hasil terbaik
karena kenaikan tekanan osmotik air pada perlakuan ini memberikan kesempatan pada
Ikan Nila untuk mengembangkan jaringan osmoregulatornya. Oleh karena itu kebutuhan
energi lebih rendah menyebabkan tingkat konversi pakan menjadi lebih baik yang
berpengaruh pada pertumbuhan yang baik.
V. KESIMPULAN
Secara umum kelangsungan hidup dari beberapa perlakuan tidak berbeda.
Pemberian suplemen pakan dan waktu adaptasi dapat memperbaiki FCR (Rasio Konversi
Pakan) dan pertumbuhan. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan 2 ppt/hari ditambah
suplemen (NaCl, ATP dan Vitamin C) dengan laju pertumbuhan harian 6,7%/hari dan
konversi pakan 1,38. Kenaikan salinitas 2ppt/hari membutuhkan energi lebih rendah
sehingga tingkat konversi pakan menjadi lebih baik yang berpengaruh pada pertumbuhan
yang baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Para penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan staf Divisi Pembenihan
Tilapia BBAP Ujung Batee atas seluruh kerjasamanya dalam perlaksanaan perekayasaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hussain, M.G. 2004. Farming of Tilapia: Breeding Plans, Mass Seed Production and Aquaculture
Techniques. 149 p.
Sharaf, M.M., Sharaf , S.M., and El Marakby, H.I. 2004. The Effect of Acclimatization of
Freshwater Red Hybrid Tilapia in Marine Water. Pakistan Journal of Biological Sciences 7 (4):
628-632, 2004.
Steffens, W. 1989. Principles of Fish Nutrition. John Wiley and Sons, New York. 384 p.
Uchida, K., Kaneko, T., Yamaguchi, A., Ogasawara, Y., Hirano, T., 1997. Reduced hypoosmoregulatory ability
and alteration in gill chloride distribution in mature chum salmon ( Oncorhynchus keta) migrating
upstream for spawning. Mar. Biol. 129, 247–253.
Villee, C.A. dan Walker, W.F., 1999. Zoologi Umum, Terjemahan dari Zoology, oleh S. Nawangsari,
Erlangga, Jakarta.
Watanabe, W.O., D.H. Ernst, B.L. Olla and R.I. Wicklund, 1997, Saltwater Culture of The Florida and Other
Saline Tolerant Tilapias, in Tilapia Aquaculture in Americas. American Aquaculture Society. Pp. 55 –
141.

Salinitas adalah jumlah kadar garam yang terdapat pada suatu perairan. Ikan seribu (Poecilia reticulata),
merupakan salah satu ikan tawar yang banyak ditemukan di sekitar lingkungan, misalnya parit, sungai,
dan lain sebagainya, sebab ikan tersebut dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Perbedaan antara ikan seribu jantan berada pada ukurannya. Ikan jantan memiliki
ukuran lebih kecil dibandingkan dengan betina, selain itu ikan jantan memiliki aneka macam warna pada
tubuhnya, dan memiliki bintik hitam seperti mata pada masing-masing sisi tubuhnya, sedangkan ikan
betina tidak memilikinya (Gusrina, 2008).
Setiap ikan akan mengalami proses osmosis melalui insangnya, air secara terus menerus masuk kedalam
tubuh ikan melalui insang. Proses ini secara pasif berlangsung melalui suatu proses osmosis yaitu, terjadi
sebagai akibat dari kadar garam dalam tubuh ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya.
Sebaliknya garam akan cenderung keluar. Dalam keadaan normal proses ini berlangsung secara
seimbang. Peristiwa pengaturan proses osmosis dalam tubuh ikan ini dikenal dengan sebutan
osmoregulasi. Tujuan utama osmoregulasi adalah untuk mengontrol konsentrasi larutan dalam tubuh
ikan (Gusrina, 2008).
Masing-masing ikan memiliki kemampuan yang berbeda untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Poecilita reiculata dapat hidup dengan ukuran salinitas tertentu, yaitu pada perairan
dengan salinitas tinggi (air asin), hingga 150% salinitas normal air laut. Untuk membuktikan pada
salinitas berapakah ikan seribu tersebut dapat bertahan hidup, maka praktikum ini dilaksanakan. Selain
itu, P. reticulata dipilih sebagai sampel karena mudah ditemukan dan mudah untuk diamati
pergerakkannya pada setiap salinitas yang berbeda.

hubungan salinitas dengan fisiologi ikan

Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam dalam gram pada setiap kilogram air
laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur salinitas di laut, oleh karena itu penentuan
nilai salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl).
andungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu
kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida.

Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan perubahan salinitas di laut terbuka relatif lebih kecil
dibandingkan dengan perubahan salinitas di pantai yang memiliki masukan air tawar dari sungai
terutama saat musim hujan. Salinitas berpengaruh pada osmoregulasi dari ikan serta berpengaruh
besar terhadap kesuburan dan pertumbuhan telur. Beberapa spesies bisa hidup dengan toleransi
salinitas yang besar (euryhaline) tetapi ada juga yang sempit (stenohaline). Disamping itu Hayes
dan Laevastu (1982) menyatakan bahwa salinitas berpengaruh pada distribusi, orientasi migrasi,
dan kesuksesan reprodukasi dari ikan.

Hayes dan Laevastu (1982) menjelaskan bahwa salinitas mempengaruhi fisiologis kehidupan
organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dan
lingkungan. pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton,
maupun ichthyoplankton. Pengaruh salinitas pada ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di
laut relatif stabil yaitu berkisar antara 30 - 36 ‰, sedangkan larva ikan biasanya cepat
menyusuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian cenderung memilih perairan
dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya. Dan hal ini secara
langsung akan sangat mempengaruhi distribusi
larva ikan (Lignot et al., 2000).

PENGARUH SUHU DAN SALINITAS TERHADAP KEBERADAAN IKAN


Posted: Oktober 25, 2010 by aryansfirdaus in Uncategorized

1.
1. SUHU

Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Di samudera, suhu bervariasi secara horizontal
sesuai garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah
satu faktor yang penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses
kehidupan yang vital yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran
suhu yang relative sempit biasanya antara 0-40°C, meskipun demikian bebarapa beberapa
ganggang hijau biru mampu mentolerir suhu sampai 85°C.  Selain itu, suhu juga sangat penting
bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas maupun
perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak dijumpai
bermacam-macam jenis ikan yang terdapat di berbagai tempat di dunia yang mempunyai
toleransi tertentu terhadap suhu. Ada yang mempunyai toleransi yang besar terhadap perubahan
suhu, disebut bersifat euryterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil, disebut bersifat
stenoterm. Sebagai contoh ikan di daerah sub-tropis dan kutub mampu mentolerir suhu yang
rendah, sedangkan ikan di daerah tropis menyukai suhu yang hangat. Suhu optimum dibutuhkan
oleh ikan untuk pertumbuhannya. Ikan yang berada pada suhu yang cocok, memiliki selera
makan yang lebih baik.

Beberapa ahli mengemukakan tentang suhu :

 Nontji (1987), menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh
sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada
umumnya.
 Hela dan Laevastu (1970), hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu
optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan,
kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan
perikanan.
 Nybakken (1988), sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi
lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyebaran organisme.

Sesuai apa yg dikatakan Nybakken pada tahun 1988 bahwa Sebagian besar organisme laut
bersifat poikilotermik (suhu tubuh sangat dipengaruhi suhu massa air sekitarnya), oleh karenanya
pola penyebaran organisme laut sangat mengikuti perbedaan suhu laut secara geografik.
Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut dan penyebaran organisme secara keseluruhan
maka dapat dibedakan menjadi 4 zona biogeografik utama yaitu: kutub, tropic, beriklim sedang
panas dan beriklim sedang dingin. Terdapat pula zona peralihan antara daerah-daerah ini, tetapi
tidak mutlak karena pembatasannya dapat agak berubah sesuai dengan musim.

Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C.
Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang
biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Trubus Edisi 425, 2005). Oksigen terlarut pada air
yang ideal adalah 5-7 ppm. Jika kurang dari itu maka resiko kematian dari ikan akan semakin
tinggi. Namun tidak semuanya seperti itu, ada juga beberapa ikan yang mampu hidup suhu yang
sangat ekstrim.

Dari data satelit NOAA, contoh jenis ikan yang hidup pada suhu optimum 20-30°C adalah jenis
ikan ikan pelagis. Karena keberadaan beberapa ikan pelagis pada suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi. Faktor oseanografis yang dominan adalah suhu
perairan. Hal ini dsebabkan karena pada umumnya setiap spesies ikan akan memilih suhu yang
sesuai dengan lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Seperti misalnya di
daerah barat Sumatera, musim ikan cakalang di Perairan Siberut puncaknya pada musim timur
dimana SPL 24-26°C, Perairan Sipora 25-27°C, Perairan Pagai Selatan 21-23°C.

2. SALINITAS

Salinitas adalah kadar garam seluruh zat yang larut dalam 1.000 gram air laut, dengan asumsi
bahwa seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, semua brom dan lod diganti dengan khlor
yang setara dan semua zat organik menga1ami oksidasi sempuma (Forch et al,1902 dalam
Sverdrup et al, 1942). Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan
kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat
dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.

Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas :


1. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi
dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah
kadar garamnya.
2. Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu
akan rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.
3. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai yang bermuara
ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai
yang bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi.

Distribusi salinitas permukaan juga cenderung zonal. Air laut bersalinitas lebih tinggi terdapat di
daerah lintang tengah dimana evaporasi tinggi. Air laut lebih tawar terdapat di dekat ekuator
dimana air hujan mentawarkan air asin di permukaan laut, sedangkan pada daerah lintang tinggi
terdapat es yang mencair akan menawarkan salinitas air permukaannya.

Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas
hingga membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas
pengadukan. Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan
dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat lapisan
pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang menghambat percampuran
antara lapisan di atas dan di bawahnya. Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak
banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi massa air di lapisan massa air di
lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan mengakji sifat-sifat
sebaran salinitas maksimum dan salinitas minimum dengan metode inti (core layer method).
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah subtropis hingga mendekati kutub)
rendah di permukaan dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah
subtropis (atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS), salinitas di
permukaan lebih besar daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di
kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah
secara monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan
lebih rendah daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).

Salinitas dipengaruhi oleh massa air oseanis di bagian utara hingga bagian tengah perairan, dan
massa air tawar dari daratan yang mempengaruhi massa air di bagian selatan dan bagian utara
dekat pantai. Kondisi ini mempengaruhi densitas ikan, dan kebanyakan kelompok ikan yang
ditemukan dengan densitas tinggi (0,9 ikan/mł) pada daerah bagian selatan dengan salinitas
antara 29,36-31,84 ‰, dan densitas 0,4 ikan/mł di bagian utara  dengan salinitas 29,97-32,59 ‰ .
Densitas ikan tertinggi pada lapisan kedalaman 5-15 m (0,8 ikan/mł) ditemukan pada daerah
dengan salinitas ≥31,5 ‰ yaitu pada bagian utara perairan. Dibagian selatan, densitas ikan
tertinggi sebesar 0,6-0,7 ikan/mł ditemukan pada daerah dengan salinitas ≤30,0 ‰. Pola
pergeseran nilai salinitas hampir sama di tiap kedalaman, dengan nilai yang makin bertambah
sesuai dengan makin dalam perairan. Pada lapisan kedalaman 15-25 m, kisaran salinitas
meningkat hingga lebih dari 32 ‰, dan konsentrasi densitas ikan ditemukan lebih dari 0,4
ikan/mł dengan areal yang lebih besar pada konsentrasi salinitas ≤31,5 ‰. Konsentrasi ikan yang
ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥32,0 ‰, yaitu di bagian utara perairan sebesar 0,2-0,3
ikan/mł.

Pada lapisan kedalaman 25-35 m dan 35-45 m dijumpai kisaran salinitas yang hampir sama yaitu
31,43-32,53 ‰ dan 31,77-32,73 ‰, dengan distribusi densitas ikan lebih banyak ditemukan pada
daerah dengan salinitas 32,0-32,5 ‰ yaitu sebesar 0,1-0,8 ikan/mł, dan kelompok ikan dengan
densitas lebih kecil dari 0,1 ikan/mł banyakditemukan pada perairan dengan salinitas ≤32,0 ‰.
Pada lapisan kedalaman 35-45 m, konsentrasi densitas ikan makin berkurang. Densitas tertinggi
di lapisan ini hanya sebesar 0,17 ikan/mł, atau rata-rata densitas ikan yang ditemukan di bawah
0,1 ikan/mł. Hal ini sesuai dengan ukuran ikan yang terdeteksi, yang umumnya merupakan ikan-
ikan berukuran kecil. Dimana lebih condong terkonsentrasi pada daerah permukaan dan dekat
pantai.

Dari data diatas saya dapat menyebutkan bahwa salinitas air laut pun ditentukan pula dengan
kedalamannya, karena kedalaman air laut dapat membedakan salinitas.

You might also like