You are on page 1of 11

USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI

IDENTITAS
Nama : Fakhriya Hakim
NIM : 07210021
Semester : VII
Jurusan : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Dosen Wali : Drs. M. Nur Yasin, M. Ag
Alamat : Jl. Batujajar II/14 Malang
HP : 085 649 692 024

JUDUL
ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI
PENGADILAN AGAMA

USULAN PEMBIMBING SKRIPSI


1.
2.

Malang, 11 Maret 2011


Mengetahui,
Dosen Wali Mahasiswa

Drs. M. Nur Yasin, M. Ag Fakhriya Hakim


NIP. 196910241995031003 NIM. 07210021
OUTLINE USULAN JUDUL PROPOSAL SKRIPSI

JUDUL:
ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI
PENGADILAN AGAMA

LATAR BELAKANG
N.J.Coulson menyatakan bahwa hukum senantiasa hidup dan berkembang
sejalan dengan laju perkembangan suatu masyarakat ( N.J.Coulson:1).1 Senada dengan
itu Satjipto Raharjo menegaskan bahwa pengadilan tidak hanya institusi hukum,
melainkan juga institusi sosial. Pengadilan tidak bisa dilihat sebagai institusi yang
berdiri sendiri dan bekerja secara otonom, tetapi senantiasa berada dalam proses
pertukaran (interaksi) dengan lingkungannya, (Satjipto Raharjo 204).2
Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat
dibagi dalam dua preode; yaitu preode Teori Receptio in complex dan preode teori
Receptei.3 Teori reception in complex adalah teori penerimaan Hukum Islam,
sepenuhnya bagi orangorang yang beragama Islam karena mereka telah memeluk agama
Islam meskipun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori
ini dipelopori oleh LWC Van Den Berg. Apresiasi pemerintah Hindia Belanda pada
teori ini hanya terdapat dalam hukum kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan
hukum kewarisan, yaitu dengan adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan
peraturan Resulutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori
Receptie adalah teori penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam
baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh
C.Snouck Hurgronje berdasarkan penelitiannya di Aceh dan tanah Gayo. Teori ini
merupakn reaksi menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya terlihat dalam IS
(indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi:”dalam hal
terjadi masalah perdata antar sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama
Islam apabila hukum adat mereka menghendakinnya”
1
N.J.Coulson, 1991, A. Histoiy of Islamic Law, Edinburgh: University Press,. Hal 1
2
Satjipto Raharjo, 1996, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, hal 204
3
Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, di dalam Tjun
Surjaman(Ed), Hukum Islam di Indonesia, cet.2, Bandung, Remaja Rosdakarya,1994, hlm.73
Pasca kemerdekaan, dalam proses pembangunan bangsa khusunya
pembangunan hukum, teori receptionexit oleh Hazairin telah berkembang bersama
dengan teori reception a contrario oleh sayuti Thalib, bahkan harus di kembangkan juga
teori eksistensi yang menyatakan bahwa hukum Islam ada atau eksis di dalam hukum
nasional.4
Meskipun harapan adanya unifikasi hukum tidak pernah padam dan terus
diperjuangkan pembentukannya, namun masih sulit menyelesaikan pluralisme hukum
waris di negeri ini. Salah satu dari hasil keadaan semacam ini adalah serangkaian
perkara warisan yang teramat rumit yang muncul dari relasi antar personal antara orang-
orang yang berasal dari latar belakang tradisi hukum yang berbeda-beda.5
Bangsa indonesia yang enganut berbagai agama dan kepercayaan mempunyai
bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan
yang berbeda-beda ini berpengaruh terhadap sistem kewarisan dalam masyarakat
tersebut. Di antara orang-orang Indonesia asli tidak terdapat satu sifat kekeluargaan,
melainkan di berbagai daerah terdapat berbagai sifat kekeluargaan yang dapat
dimasukkan dalam tiga golongan. yaitu :
1. sifat kebapakan (patriarchaat),
2. sifat keibuan (matriarchaat), dan
3. sifat kebapak-ibuan (parental).6
Kekeluargaan yang bersifat kebapak-ibuan adalah yang paling merata terdapat di
Indonesia, yaitu di Jawa, Madura, Sumatra Timur, Riau, Aceh, Sumatra Selatan,
Seluruh Kalimantan, Seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok7
Bagi orang-orang Indoneseia asli yang takluk kepada hukum adat, harus diingat
bahwa sebagian besar dari mereka beragama Islam maka bagi golongan terbesar ini
tidak dapat diabaikan pengaruh dari peraturan warisan yang terdapat dalam hukum
waris Islam.8
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, sebagai salah satu lembaga yang
berwenang menyelesaikan perkara kewarisan di Indonesia, Pengadilan Agama

4
Ichtijanto,”Pembangunan Hukum Islam Perspektif Moral”, dalam Moh.Busyro M.dkk,(Ed) Politik
Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta UII Press, 1992), hlm.75.
5
Ratno Lukito, Hukum sacral dan hukum sekuler, pustaka Alvabet, Jakarta, 2008, hlm. 347
6
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung; Alumni. 1983, hlm. 33
7
Hilman Hadikusuma, ibid
8
H.Moh.Muhibbin, H.Abdul Wahid ; Hukum Kewarisan Islam, Jakarta; Sinar grafika 2009, hlm 43
(selanjutnya disebut PA) telah mengalami sebuah perjalanan panjang dari segi dinamika
hukum dan eksistensi yang secara kronologis, antara lain sebagai berikut:
1. Berdasarkan Stbl 1882 No. 152 Belanda mengakui keberadaan PA. Tetapi
pengakuan tersebut dibarengi dengan kewajiban PA memuat keputusannya dalam
suatu register yang setiap tiga bulan sekali harus disampaikan kepada Kepala
Daerah setempat (Bupati atau lainnya) untuk memperoleh penyaksian (visum). Stbl
1882 No. 152 ini tidak mengatur kewenangan PA, karenanya kewenangan PA
mengacu kepada Stbl 1835 No.58, (Qodri Azizy:138). Ketentuan tersebut
mengisyaratkan kemauan politik penjajah untuk selalu memantau putusan-putusan
PA, dan sekaligus menempatkan PA subordinasi eksekutif.
2. Dicabutnya kewenangan terhadap sengketa waris dan eksekusi putusan oleh Stbl
1937 No. 116 & 610 yo Stbl 1937 No. 638 & 639, dan diserahkannya kedua
kewenangan tersebut kepada Landraad (pengadilan negeri). Akibatnya setiap
putusan PA memerlukan fiat eksekusi (executoir verkiaring) dan PN, dan PN lah
selanjutnya yang mengeksekusi putusan PA. Lepasnya kewenangan mengeksekusi
putusan , menyebabkan PA menjadi peradilan semu, yang dikenal dengan quasi
peradilan. Kondisi tersebut berdampak negatif terhadap martabat dan wibawa PA.
3. Kalau di masa penjajahan dan di awal kemerdekaan PA berada di bawah
Departemen Kehakiman, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946, pada
tanggal 3 januari 1946 PA dialihkan dan Departemen Kehakiman ke Departemen
Agama. ltulah sebabnya PA dipandang sebagai pilar utama berdirinya Departemen
Agama.
4. PA bernasib baik dibanding Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Dua Peradilan
disebut terakhir dihapus oleh UU Darurat No.1/ 1951 tentang Tindakan-Tindakan
Sementara Penyatuan Peradilan Di Indonesia, Sementara PA dinyatakan
dikecualikan dari penghapusan.
5. Bedasarkan PP. 45 Tahun 1957, (dasar hukum berdirinya PA di luar Jawa &
Madura, Kal-Sel & Kal-Tim), PA di wilayah tersebut diberi kewenangan mengadili
perkara waris. Tetapi kewenangan tersebut dikaitkan dengan anak kalimat yang
berbunyi “apabila menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama
Islam”. Akibatnya di daerah-daerah yang kuat pengaruh hukum adat, maka
sengketa waris orang Islam diajukan ke PN. Hanya di daerah-daerah yang kuat
pengaruh hukum Islam perkara waris diajukan ke PA. Seperti halnya dengan
daerah-daerah lain, eksekusi putusan PA di wilayah tersebut juga memerlukan fiat
eksekusi dari PN.
6. UU No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
adalah undang-undang yang untuk pertama kali mengakui bahwa PA adalah
peradilan negara. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa PA merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah MA. Pengakuan tersebut merupakan
awal dan cikal bakal yang signifikan bagi perkembangan PA selanjutnya.
7. Diundangkannya UU No.1/1974 Tentang Perkawinan, berdampak positif terhadap
yurisdiksi absolut PA, di mana PA mendapat tambahan kewenangan yang luas
terkait dengan masalah perkawinan umat Islam. Semangat undang-undang ini
menjadikan masalah perkawinan bukan lagi private affair, melainkan public orde.
Akan tetapi titik lemahnya bahwa setiap putusan PA perlu dikukuhkan oleh PN.
Lembaga pengukuhan tersebut sesungguhnya kontradiksi dengan semangat
kesetaraan empat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 10 ayat
(1) UU No.14 Tahun 1970.
8. Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, menuntut adanya lembaga kasasi
terhadap putusan tingkat banding. Dalam upaya mengisi kekosongan hukum
tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan MA No.1/1977 tanggal 26
Nofember 1977 yang membuka peluang diajukannya permohonan kasasi oleh pihak
yang tidak puas terhadap putusan tingkat banding. PERMA tersebut diiringi oleh
Surat Edaran MA NO. 4/1977 tentang jalannya pengadilan pemeriksaan kasasi
dalam perkara perdata dan pidana oleh Peradilan Agama dan Peradilan Militer,
(MA, 341-343).
9. Karena titelatur dan nomenklatur PA tidak seragam, karena berbeda dasar hukum
berdirinya, hal mana sering menimbulkan kebingungan masyarakat, maka Menteri
Agama menerbitkan KMA No.6 Tahun 1980 pada tanggal 28 Januari 1980 yang
mengatur penyatuan nomenklatur tersebut yakni Pengadilan Agama untuk tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding. Namun kewenangan
belum dapat diseragamkan.
10. Eksistensi PA sebagai peradilan yang mandiri terwujud dengan diundangkannya
UU No.7/1989. Undang-undang ini mengatur kedudukan, hukum acara dan
kewenangan PA secara eksplisit. Hakim yang merupakan personifikasi pengadilan,
pengangkatannya tidak lagi dilakukan oleh Menteri Agama, tetapi oleh Presiden
selaku Kepala Negara. Di samping itu, PA diberi kewenangan mengeksekusi
putusannya, karena organisasi PA sudah memiliki Juru Sita. Lembaga pengukuhan
dihapus. Penantian panjang umat Islam, yakni dikembalikannya kewenangan
menangani perkara waris menjadi kenyataan. Hanya saja kewenangan tersebut
belum optimal, karena dimungkinkannya hak opsi. Tuntutan pembagian harta
bersama, dapat digabung dengan perkara perceraian dalam bentuk kumulasi
objektif, atau diajukan tersendiri sesudah putusan perceraian mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Dalam hal Penggugat atau Pemohon tidak mengajukan, maka
pihak lawan (Tergugat atau Termohon) dapat mengajukan tuntutan pembagian
harta bersama tersebut dalam gugat rekonpensi. Persoalan yang mengganjal adalah
masalah sengketa milik dalam perkara yang menjadi kewenangan PA.
11. Buah reformasi di bidang hukum antara lain diundangkannya Undang-undang
No.35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang-undang No.14 Tahun 1970, yang
mengakomodir ide satu atap keempat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung. Buat Peradilan Agama ide tersebut baru terealisir pada tanggal 30 Juni
2004 dengan terbitnya Keppres No.21 Tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004 yang
mengatur pengalihan Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah
Agung. Mengingat karakteristik dan latar belakang historisnya, maka pembinaan
badan Peradilan Agama dilakukan oleh MA dengan memperhatikan saran dan
pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia, sebagaimana diamanatkan
oleh Penjelasan Umum Alinea 4 Undang-undang No.4/ 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
12. Amandemen Ketiga Undang-undang Dasar 1945 pada tahun 2002 merupakan
klimaks reformasi di bidang kekuasan kehakiman, dengan lahirnya pasal 24 sampai
dengan pasal 24 C. Bagi keempat lingkungan peradilan khususnya PA, perubahan
tersebut merupakan peristiwa yang monumental, karena eksistensi dan tata urutan
keempat Iingkungan peradilan diakui dalam suatu hukum dasar. Dengan demikian,
eksistensi dan tata urutan keempat lingkungan peradilan tidak hanya diakui oleh
peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang, tetapi telah diakui oleh
suatu hukum dasar yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Urutan tersebut seyogianya diimplementasikan dalam segala aspek hukum, karena
memiliki nilai filosofis dan historis, bukan sesuatu yang kebetulan dan tanpa
makna.
13. Dengan terlaksananya ide satu atap, maka UU No.7/1989 tidak relevan dengan
perkembangan yang ada, untuk itu perlu dilakukan penyesuaian seperlunya.
Kebutuhan hukum tersebut terpenuhi dengan diundangkannya Undang-undang
No.3/2006 pada tangga 20 Maret 2006. Tiga hal mendasar dalam UU No.7/1989
yang diubah, yakni mengenai kewenangan, pembinaan, dan hak opsi. Kewenangan
PA semakin luas, yang paling menonjol adalah sengketa ekonomi syari’ah.
Sementara pembinaan oleh MA tidak hanya di bidang teknis dan administrasi
yudisial, tetapi telah meliputi organisasi, administrasi, dan financial, yang
pelaksanaannya memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan MUI.
Sedangkan hak opsi dalam perkara waris dihapus. Absolute competentie terhadap
perkara waris ditentukan oleh agama pewaris.9
Dari periodisasi dinamika hukum dalam sejarah perjalanan Pengadilan Agama
diatas bisa dicermati bahwasannya pasang surut serta perkembangan hukum yang
panjang menuntut adanya pergeseran-pergesaran sudut pandang baik dalam melihat
hukum maupun pola penerapannya agar sesuai dengan tujuan-tujuan hukum itu sendiri.
Para hakim, praktisi, akademisi maupun masyarakat hukum pada umumnya diharapkan
bisa lebih fleksibel dalam upayanya menempatkan hukum secara proporsional sesuai
dengan perkembangannya.
Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Salah satu dari
tiga hal perubahan mendasar tersebut diatas (mengenai kewenangan, pembinaan, dan
hak opsi),hak opsi yang mana merupakan suatu penegasan mengenai kompetensi
absolut perkara kewarisan di Pengadilan Agama, Sudah sepatutnya mendapat suatu
porsi pembahasan tersendiri baik dari segi perbedaan materi dengan versi sumber-
sumber hukum yang terdahulu (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan lain-lain)
maupun dari segi social setting, apresiasi masyarakat, political will Pemerintah dan
sejarah tentunya, dirasa sangat urgen serta layak untuk dibahas dan dicermati kembali.
Berkaca pula kepada salahsatu poin perubahan kewenangan yg dibawa oleh Undang-
9
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/sengketa-milik%20artikel
diakses pada 8 maret 2011 pukul 20.30
Undang Nomor 3 Tahun 2006 (kewenangan Peradilan Agama terhadap sengketa
ekonomi syariah) yang mana mendapatkan porsi perhatian yang besar dari masyarakat
hukum terkait, maka sudah sepatutnya pula penyelesaian sengketa kewarisan di
Pengadilan Agama (yang juga salah satu unsur penting perubahan kewenangan)
diposisikan untuk dicermati dan dibahas pula. Hal tersebut semata-mata dimaksudkan
untuk memposisikan hukum kembali kepada tujuan-tujuan hukum itu sendiri secara
umum dan secara khusus dalam penyelesaian sengketa kewarisan di Pengadilan Agama
bisa meminimalisir kekeliruan penerapan hukum yang timbul sebagai konsekuensi
kesalahan konsep hukum penyelesaian sengketa kewarisan menurut para Hakim,
Praktisi, akademisi maupun masyarakat hukum secara luas.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan
menganalisa lebih lanjut tentang sengketa kewarisan di Pengadilan Agama, khususnya
terkait dengan norma hukum yang terkandung di dalamnya maupun kesesuaian
penepannya menurut tujuan hukum, yang mana akan disusun dalam suatu karya ilmiah
berbentuk skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN
SENGKETA KEWARISAN DI PENGADILAN AGAMA.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan pokok dalam
penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Norma Hukum Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia?
2. Apakah Ketentuan Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Pengadilan Agama
yang Ada Sekarang Ini Sudah Sesuai dengan Tujuan Hukum?

TUJUAN PENELITIAN
1. menelaah dan memahami dari perspektif ilmu hukum dan beberapa aspek
lainnya yang berubungan terkait norma hukum penyelesaian sengketa kewarisan di
indonesia.
2. memahami serta mencermati dari perspektif ilmu hukum bahwa ketentuan
penyelesaian sengketa kewarisan di pengadilan agama yang ada sekarang ini sudah
sesuai dengan tujuan hukum
DAFTAR ISI/TABLE OF CONTENTS
Cover/Tittle Page
Lembar Persetujuan
Lembar Pengesahan
Lembar Persembahan
Surat Pernyataan
Motto
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Abstrak

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Batasan Penelitian
F. Definisi Operasional
G. Sistematika Pembahasan

BAB II: KAJIAN PUSTAKA


A. Penelitian Terdahulu
B. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
- Hukum Islam di Indonesia
- Hukum Kewarisan Islam sebagai Sumber Hukum Positif di Indonesia
C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama
- Pengadilan Agama sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
- Kompetensi Pengadilan Agama menurut Perundang-Undangan
D. Sengketa Kewarisan di Pengadilan Agama
- Kewenangan Pengadilan Agama pada Sengketa Kewarisan
- Sumber Hukum Kewarisan pada Peradilan Agama

BAB III: METODE PENELITIAN


A. Paradigma Penelitian
B. Pendekatan Penelitian
C. Jenis Penelitian
D. Sumber Data
E. Teknik Pengumpulan Data
F. Analisa Data
G. Keabsahan Data

BAB IV: PEMBAHASAN


A. Norma Hukum Penyelesaian Sengketa Kewarisan pada Pengadilan Agama di
Indonesia
B. Praktik dan Ketentuan Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Pengadilan Agama
yang Sesuai dengan Tujuan Hukum

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
Lampiran

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian hukum, jenis penelitian yang akan diterapkan peneliti masuk
dalam kategori penelitian hukum normatif, dimana dalam pendekatannya menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan sehingga
bahan pustaka terbagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan hukum primer,bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Pada metode pengumpulan datanya, dapat
dirumuskan bahwa metode yang sesuai dengan penelitian ini adalah metode
dokumentasi. Lalu terakhir setelah semua data terkumpul maka analisa data yang
digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif, yang mana dimaksudkan memberi
keterangan, penjelasan, dan untuk memperoleh gambaran secara singkat mengenai
asas-asas dan segala informasi serta bahan hukum, kemudian menerapkannya menurut
landasan hukum yang berlaku dari teori-teori yang ada.

PENELITIAN TERDAHULU

Berdasarkan tema penelitian terkait, ditemukan beberapa penelitian yang telah


dilakukan dan memiliki relevansi terhadap tema yang diangkat peneliti. Penelitian-
penelitian tersebut antara lain :

- Analisis Yuridis terhadap Perkara Waris di Pengadilan Agama Ponorogo dalam


perkara No. 519/Pdt.G/2000/PA.PO oleh Syifaul Qulub pada tahun 2010
- Peran dan Kewenangan Peradilan Agama. Oleh Tia Rianto pada tahun 2002.
- Dualisme Kompetensi Absolut Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam
Masalah Waris (Studi di PA dan PN Kota Malang). Oleh Siti Mariatul Qibtiyah
pada tahun 2001.
- Analisis Yuridis terhadap Kompetensi Pengadilan Agama dalam Perkara
Kewarisan orang Islam dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Oleh Syamsul Huda pada tahun 2004

You might also like