You are on page 1of 4

PERAN SERTA INTELEKTUAL MUDA DALAM

MEWUJUDKAN MASYARAKAT BERKARAKTER

Persoalan yang dihadapai masyarakat semakin kompleks dalam tatanan kehidupan yang

semakin global. Sekat-sekat budaya, ideolagi, dan letak geografistidak lagi menjadi hambatan

untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Modernisasi dan westernisasi sulit

dibedakanTeknologi disisi lain membawa peradaban baru yang lebih mengedepankan

implementasi nilai-nilai kehidupan yang lebih bebas, lugas dan pragmati. Di sisi lain nilai-nilai

budaya bangsa yang berakar pada pancasila terdegradasi secara sistematis dan berkelanjutan.

Tak pelak gambaran sebuah masyarakat yang memiliki karakter pancasila mulai dipertanyakan.

Permasalahan sosial ekonomi dan politik serta hukum muncul di tengah ketidakpastian

identitas. Kegamangan akan kebanggaan budaya pancasila muncul di tengah masyarakat

khususnya generasi muda. Padahal Negara memiliki kewajiban berdasarkan konstitusi untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga agar tatanan kehidupan dan norma sosial tetap

didasarkan pada nilai luhur tanpa tersisih dari pergaulan dan interaksi global dengan tetap

memiliki karakter sebagai sebuah bangsa yang besar.

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama bagi pengembangan sumber daya manusia

karena pendidikan diyakini mampu meningkatkan sumber daya manusia sehingga dapat

menciptakan manusia produktif yang mampu memajukan bangsanya, (Kunaryo, 2000). Makna

Pendidikan sangat luas, pendidikan diartikan mendidik, membimbing, mengajar dan melatih.

Pendidikan adalah proses memartabatkan manusia berdasarkan nilai dan falsafah luhur yang

dianutnya. Pendidikan berperan strategis dalan upaya menciptakan masyarakat sebagai subjek
pembangunan melalui pelaksanaan pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu

sendiri.

Tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU RI NO. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, sebagai berikut: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab. Pencapaian tujuan pendidikan menjadi sangat sulit diraih

jika idealisme dan dan realita pendidikan tidak menjadi salah satu dasar bagi pengembangan

pendidikan. Kemudahan dalam operasionalisasi pelaksanaan pendidikan adalah sesuatu yang

mutlak. Pendidikan adalah bentuk sosialisasi dan enkulturasi budaya yang didasarkan pada nilai

religius dan moralitas bangsa yang luhur.

Amanat konstitusi

Pendidikan Pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation an. Keduanya seolah-olah
merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Pembangunan bangsa harus berbarengan dengan
pembangunan karakter demikian pula sebaliknya. Hal ini pula yang tersirat dalam syair lagu
kebangsaan kita “bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Membangun
jiwa adalah membangun karakter manusia dan bangsa. Inti karakater adalah kebajikan
(goodness) dalam arti berpikir baik (thinking good), berperasaan baik (feeling good), dan
berperilaku baik (behaving good). Dengan demikian karakter itu akan tampak pada satunya
pikiran, perasaan, dan perbuatan yang baik dari manusia-manusia Indonesia atau dengan kata
lain dari bangsa Indonesia.

Bab ini akan membahas problema perilaku sebagian masyarakat Indonesia yang tidak
menunjukan sebagai bangsa yang berkarakter padahal pembangunan karakter telah
diselenggarakan dengan berbagai upaya, termasuk melalui proses pendidikan di sekolah. Bagian
kedua akan melihat berbagai gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya
berbagai perilaku buruk di masyarakat. Bagian ketiga akan menguraikan secara ringkas tentang
gejala kelemahkarsaan yang masih mengiasi keseharian masyarakat Indonesia. Bagian keempat
mengulas gagasan Etzioni untuk membentuk masyarakat komunitarian sebagai jalan masuk
untuk membangun karakter bangsa.

Problema karakter bangsa Indonesia


Indonesia sebetulnya merupakan negara yang beruntung sebab eksistensinya akan tetap
terjaga dengan dilakukannya pembanngunan karakter bagi semua warga bangsanya. Dalam
tataran makro nasional pembangunan karakter bangsa di Indonesia diselenggarakan di atas
landasan yang kokoh baik dilihat dari segi filosofis, ideologis, normatif, historis maupun
sosiokultural. Berdasarkan landasan filosofis pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah
kebutuhan asasi dalam proses pembangunan karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan
jati diri yang akan dapat bersaing dalam percaturan global dan oleh karenanya akan eksis di
muka bumi ini. Secara ideologis pembangunan karakter bangsa merupakan upaya
mengejawantahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
pengertian membumikan ideologi kedalam prakisis kehidupan masyarakat maupun
ketatanegaraan. Dari aspek normatif pembangunan karakter bangsa adalah wujud nyata langkah
mencapai tujuan negara seperti yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan landasan historis pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah dinamika inti
proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti berpanta rei mengikuti alur perjalanan sejarah
kebangsaan dan sejarah peradaban masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Terakhir,
pembangunan karakter bangsa didasarkan pada landasan sosiokultural sebagai keharusan dari
suatu bangsa multikultural yang bersendikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Walaupun sudah diselenggarakan melalui berbagai upaya, pembangunan karakter bangsa


belum terlaksana secara optimal dan pengaruhnya terhadap pembentukan karakter baik (good
character) warganegara belum cukup signifikan. Kita dapat menyaksikan sendiri bahwa akhir-
akhir ini begitu banyak sosok manusia Indonesia yang tampil penuh pamrih, tidak tulus ikhlas,
tidak bersungguh-sungguh, senang yang semu, semakin lekat dengan tradisi ABS, tampil sebagai
yes man, dan sifat-sifat buruk lainnya.Sifat dan sikap yang demikian itu akan termanifestasikan
pada perilaku yang suka menyalahkan orang lain, senang menghujat dan tidak dapat dipegang
janjinya, menjadi sosok yang pemarah, pendendam, tidak toleran, perilaku buruk dalam
berkendaraan, praktik korupsi, premanisme, perang antar kampung dan suku dengan tingkat
kekejaman yang sangat biadab, menurunnya penghargaan kepada para pemimpin, dan
sebagainya. Bahkan yang lebih tragis, anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah pun
sudah dapat saling menyakiti di jalanan. Lebih jauh lagi kini antaranak bangsa saja sudah saling
curiga mencurigai, misalnya dengan yang berbeda etnis, agama, dan kelas sosial. Bahkan ada
indikasi yang lebih buruk lagi walaupun baru indikasi yakni munculnya suatu kondisi yang oleh
founding father-nya India, Mahatma Ghandi (dalam Soedarsono, 2010) disebut sebagai ‘tujuh
dosa yang mematikan’ (the seven deadly sins) yaitu (1) semakin merebaknya nilai-nilai dan
perilaku memperoleh kekayaan tanpa bekerja (wealth without work); (2) kesenangan tanpa hati
nurani (pleasure without conscience); (3) pengetahuan tanpa karakter (knowledge without
character); (4) bisnis tanpa moralitas (commerce without ethic); (5) ilmu pengetahuan tanpa
kemauan (science without humanity); (6) agama tanpa pengorbanan (religion without sacrifice);
dan (7) politik tanpa prinsip (politic without principle). Pertanyaan yang muncul adalah “apa
yang salah dengan bangsa kita ini?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diawali dengan melihat perjalanan sejarah
bangsa ke belakang jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya. Modal sebagai bangsa
yang ingin bernegara pada masa prakemerdekaan sudah jelas adalah adanya tekad, semangat,
keberanian, kesediaan mengorbankan jiwa, raga, maupun harta demi merebut kemerdekaan.
Hasilnya dengan tekad dan semangat yang dilandasi oleh karakter dan jati diri kebangsaan itulah
para pahlawan memiliki daya juang yang luar biasa di tengah-tengah tekanan kolonialisme.
Misalnya saja Gerakan 1908 mampu menghasilkan “Kebangkitan Nasional”, Gerakan 1928
mampu menghasilkan “Sumpah Pemuda”, Gerakan 1945 mampu menghasikan “Proklamasi
Kemerdekaan” sebagai sebuah negara yang berdaulat sempurna. Para pahlawan bangsa dengan
demikian sudah mewariskan karakter unggul kepada generasi penerus guna mengisi
kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan dengan darah dan nyawa. Warisan ini perlu
dimuliakan melalui proses mendidik generasi muda melalui berbagai jalur dan jenjang pedidikan,
utamanya sekolah.

You might also like