You are on page 1of 45

VIII.

DISKUSI KELOMPOK TERFOKUS

8.1. Diskusi Kelompok

Hari/Tanggal : Senin, 3 Juli 2006


Pukul : 13.30 – 15.30

1. Kelompok: OTONOMI DAN KEWENANGAN DESA

Fasilitator : 1. Arie Sujito


2. Bambang Hudayana
Peserta : M. Barori-STPMD “APMD”, Alit-Majelis Madya Gianyar, Maryunani-
FE Unibraw, Steny-HUMA, Sulikanti-Bappenas, Yusuf-SAINS,
Lubis-YIPD, Suharman-PSPK UGM, Kamardi-Perekat Ombara,
Franky-AMAN, Ibnu-FH Unibraw, Toto-BPMKS Sumedang, Azam-
Pemdes Kebumen, Sofyan-Akatiga, Matt Stephan-World Bank, Vitri-
staf DPD, Kasmuin-CePAD, Adri Warsena-FPPD.

Fasilitator
Sesi ini kita akan mengeksplorasi pemikiran menjadi lebih dalam, set up diskusi kelompok
ini diharapkan akan muncul pemikiran-pemikiran, ide-ide tentang otonomi dan
kewenangan desa itu seperti apa? Pilihan-pilihan yang visible.

Tadi sudah banyak disampaikan Pak Toro dan Simatupang telah mengesplorasi banyak
hal pilihan-pilihan berangkat dari peta normatif maupun empiris hubungan antara pusat,
provinsi, kabupaten dan desa. Secara prinsip kita punya kebutuhan melalui otonomi dan
desentralisasi, maka ini lebih memungkinkan terjadinya demokrasi. Pak Simatupang juga
bicara banyak secara sangat normatif dan reduktif. Pak Toro tadi mengungkap beberapa
pilihan seperti local self goverment, itu bagian terpenting dari otonomi dan demokrasi.
Kita bisa belajar dari review, tapi yang lebih penting itu adalah penataan dan
kelembagaannya ke depan seperti apa?

Barori
Ada pandangan tentang pemberdayaan masyarakat desa itu dibingkai dalam
desentralisasi, kita pahami dulu konteks desentralisasi. Ada 3 domain dengan asumsi desa
adalah sebagai wilayah pemerintahan yang di dalamnya ada pemerintahan dan
pembangunan, domain ini yang perlu kita sepakati dengan bingkai itulah pemerintahan
desa diberi kewenangan untuk melaksanakan pembangunan dan pemerintahannya,
sehingga pemerintahan yang desentalistik dan pembangunan yang desentralistik menjadi
prasyarat pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat desa itu mencakup
3 hal yaitu: 1) pemerintahan yang desentralistik, 2) pembangunan yang desentralistik, dan
3) desentralistik fiscal. Secara normatif hal ini sudah kita temukan dalam UU 32/2004
maupun di PP 72/205, persoalannya kita memantapkan itu, apa yang menjadi
kewenangan desa. Masyarakat desa akan berdaya kalau ada kewenangan yang melikupi
dirinya, yang harus kita kedepankan adalah sebuah ketentuan bahwa level pemerintahan
kita harus mempunyai otonomi pemerintahan sendiri-sendiri. Oleh karena itu
kewenangan desa harus kita sepakati dan pahami bersama dan secara normatif UU dan
PP sudah mendorong ke sana. Sejauh mana kewenangan itu bisa dijadikan posisi baru
desa dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan? Desentralisasi harus diikuti
dengan otonomi desa yang nilainya sama dengan otonomi di tingkat kabupaten, provinsi

Menggagas Desa Masa Depan 46


maupun pusat. Otonomi dimaknai juga dengan kewenangan desa dalam mengelola
pemerintahan dan pembangunan. Perangkat untuk disana sudah kita punyai,
pembangunan yang desentralistik, perencanaan pembangunan yang berhenti di tingkat
desa.

Fasilitator
Otonomi desa diletakkan dalam 3 hal: pemerintahan, kewenangan dan keuangan desa.
Memahami otonomi dengan diletakkan hubungan antara desa, kabupaten, provinsi dan
pusat. Tadi di diskusi ada hal penting, meskipun belum dilihat spesifik.

Alit
Anggap contoh bangunan, dasarnya kuat, perlu porsi yang jelas menyangkut kewenangan
desa. Di UU 32/2004 pasal 200 itu sudah, menyangkut kewenangan desa pasal 206 perlu
dirujuk ke tingkat kabupaten. Rujukan ini ditindaklanjuti di tingkat kabupaten sampai ke
tingkat desa, sehingga posisinya jelas, mana hak-hak desa. Sebab kita tahu, desa kita
karakternya berbeda-beda, apa yang sudah ada kita kembangkan, rujukannya
berdasarkan UU yang sudah ada, bagaimana kejelasan porsinya.
Tentang keuangan, pendapatan asli desa, perlu diperjelas, mana saja yang boleh sehingga
desa itu bisa diberdayakan sesuai dengan semangat otonomi.

Fasilitator
Maksud Pak Alit, itu perlu dirinci lagi dalam Perda.

Maryunani
Otonomi dan kewenangan, saya ingin menambahkan satu muatan bahwa otonomi itu
adalah sebuah sistem yang hirarki vertikal dan horizontal. Kalau bicara otonomi desa bisa
kita tangkap hirarkhi horisontalnya, bahwa desentralisasi fiskal perlu diikuti dengan
kewenangan, desentralisasi fiskal yang di PP 72/2005 ada 3 komponen besar, bagaimana
desa mampu dalam pendanaan dalam pembangunannya, kemudian diikuti desa itu
mampu mengelola sendiri dana dan pembangunannya, dan diarahkan ke kegiatan
ekonomi produktif, maka kemandirian itu ada disitu.

Persoalannya, apa betul desa desentralisasi itu ada? Pengalaman di kabupaten/kota di


Jawa Timur, desentralisasi yang ada ini desentralisasi yang sentralistik, dimana posisi
desa itu memiliki bargaining position dengan kabupaten atau sebaliknya sejauh mana
kabupaten ini memberikan good will-nya, sehingga sinergitas keduanya ini belum ada.
Persoalan bukan pada normatifnya tetapi pada good will kabupaten. Sejauh mana regulasi
ini diikuti good will agar sampai ke desa?

Stenly
Soal tawaran dari Mas Toro, dari pilihan itu mesti dipilah lagi ke level yang lebih konkret,
dengan memilih salah satu atau meramu ke tiga hal itu apa saja kewenangannya yang
akan menjadi turunannya. Kita tidak bisa bicara kewenangan secara konkrit kalau tidak
memilih dari 3 model itu, atau mengacu ke UU yang ada. Kalau mengacu ke UU,
pertanyaannya adalah apakah sudah cukup, kalau tidak cukup dengan model itu apa yang
akan kita pilih? Melihat perkembangan politik mungkin hanya model local self
government yang konkrit, model seperti ini khan tergantung masing-masing daerah, kalau
mau milih 3 hal itu dipecah dan turunan-turunan dari model itu. Usul saya, yang
masyarakat adat maka akan self governing community.

Sulikanti
Regulasi ini masih baru, saya tidak yakin itu sudah dilaksanakan pemerintah daerah.
Daripada kita mengganti yang ada, kita laksanakan itu dahulu, kadang kita bagus di
konsep, pelaksanaannya amburadul. Bentuk apa saja ke depan, lebih baik kita identifikasi
dari pelaksanaannya yang maju yang mana? Apakah self governing community, yang jadi

Menggagas Desa Masa Depan 47


pertanyaanya masuk tidak kita ke masyarakat adat. Kita tidak mudah menentukan 3 itu,
kita perlu merenung posisi dimana, sehingga bisa melihat/ambil yang mana? Semakin
banyak aturan semakin tidak benar, biarkan mereka mengatur sendiri.

Fasilitator
Yang perlu kita bahas adalah mana yang perlu diatur dan mana yang tidak. Pak Hans tadi
mengatakan, kalau negara tidak beres bukan berarti negara tidak dibutuhkan. Kalau kita
setir sedikit dari Pak Sutoro dari 3 model, kalau local state government itu pernah
dijalankan masa orde baru. Persoalannya desa itu akan dispesifikasikan dengan UU
sendiri atau tidak, tetapi memastikan ada pengakuan negara atas desa. Perlu diidentifikasi
otonominya seperti apa? Kelembagaanya seperti apa, lalu solusinya seperti apa?

Yusuf
Bagaimana self goverment community itu bisa menghadapai tantangan pluralitas?

Fasilitator
Pertanyaan ini penting ketika Pak Syamsudin Haris mengatakan ada tuntutan untuk tidak
menyeragamkan.

Lubis
Bicara otonomi dan kewenangan desa ada 2 hal:
1. Kewenangan yang diberikan kepada desa, belum benar-benar kepada desa,
sehingga kita tidak optimal dalam pemberdayaan desa. Sudah saatnya
memberikan kewenangan perijinan kepada masyarakat bukan hanya KTP saja
tetapi juga seperti pemungut retribusi, penanganan retribusi sampah, warung-
warung kecil, sehingga desa dapat diberdayakan, mendapat income untuk
memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan desa.
2. Jangan sampai kewenangan yang diberikan itu tidak ada kontrol, karena akan
menghambat investasi di daerah, jangan sampai kebablasan memungut retribusi
yang tidak mendukung investasi.

Suharman
Berhubungan dengan fiskal, otonomi dan kewenangan untuk mengelola sumber-
sumbernya perlu dipahami:
1. Otonomi dan kewenangan itu bukan di ruang hampa, tarik menarik dengan pasar.
Banyak bondo desa berubah menjadi ruko, bondo desa yang telah menjadi uang
mudah sekali menjadi elitis sifatnya, misalnya untuk membiayai pamong desa. Di
Kampung Naga masyarakat menolak menjadi obyek wisata tetapi tidak
memperoleh hasil serupiahpun dari kegiatan wisata itu.
2. Tidak sterilnya faktor politik di bawah. Contohnya, Bupati menganggarkan dana
APBD dan disalurkan ke desa pendukungnya. Pasar dan politik menjadi eksternal
environment yang harus diperhatikan dari otonomi dan kewenangan desa. Kita
tidak perlu pesimis, dengan regulasi kita bisa menata/mengukur eksternal
environment.
3. Persoalan kontrol dan elitis, otonomi dan kewenangan desa, kontrol itu bagaimana
mekanismenya? Format itu perlu dikedepankan.

Kamardi
Kita sudah membahas konsep ideal tentang desa, paling tidak ada 3 hal untuk didesakkan
yaitu :
1. Akses pengelolaan sumber daya masyarakat adat di desa, di UU 22/99 dan UU
32/2004 SDA yang dikelola kabupaten tidak boleh dikelola desa sebaliknya yang
dikelola desa tidak boleh dikelola kabupaten, faktanya tidak demikian. Pergeseran
seperti itu juga APBDes, perda perlu mengakui adat di desa. Hambatan lain itu di
daerah, pusat dan daerah tidak sinkron, mereka saling lempar tanggung jawab.

Menggagas Desa Masa Depan 48


2. Hak konservasi, termasuk tata nilai, adat itu sepotong dipahami di desa. Norma-
norma itu kalau bisa diadopsi di desa untuk membuat sistem hukum adapt, dan
perda perlu mengakui itu. Saya mendukung perlu adanya pendetailan UU ke
dalam perda.
3. Kewenangan ini ketika di desa, harus dipertegas pemerintahan itu lebih ke
administrasi, tetapi pengaturan tata nilai, sistem, roh kehidupan di desa jangan
diintervensi, jangan dicampur aduk.
4. Untuk PP 72/2005 pasal 68, desa paling sedikit mendapat 10% dari retribusi, ayat
C desa mendapat 10% dari DAU, ini yang disebut ADD. Ketika ADD turun maka
yang bagian dari retribusi tidak diberikan.

Franky
Bicara kewenangan, akses SDA, saya merasa tidak bijaksana kalau tidak kita undang
departemen lain, misalnya kehutanan, perkebunan, tambang dll, karena regulasi itu
banyak benturan.

Ibnu
Kita tidak diskusi membagi kewenangan per sektoral, yang perlu kita rumuskan
bagaimana memberi/membagi kewenangan. Kita tidak mungkin per sektoral, itu pun per
daerah berbeda-beda. Konstitusi sudah memberikan kewenangan, pasal 18 ayat 5
amandmen UUD, sayangnya konstitusi tidak mengatur desa. Dari rumusan, pusat itu ada
5, namun ada urusan wajib daerah yang menyangkut kesejahteraan rakyat, misalnya
ketenagakerjaan, pendidikan dll. Kalau di luar itu maka bisa dilakukan daerah maupun
kabupaten. Dari UU 22/99 keluar PP 25 yang membagi per sektor, yang tidak diatur di PP
25 maka kewenangan kabupaten. Problemnya bagaimana mengatur kewenangan desa
yang tidak ada di konstitusi. Kewenangan desa itu ada yang asli, dan ada yang dari
kabupaten, yang dianut ini tidak konsisten dengan UUD. Kalau desa kewenangannya
diatur kabupaten, sedangkan kewenangan kabupaten sepanjang tidak diatur pusat.
Sekarang kita mau pakai, apakah kabupaten mengatur seperti pusat mengatur kabupaten
atau kabupaten minta kepada desa, formula apa yang akan kita pakai? apakah model
konstitusi atau desa melist dulu, ini tidak bisa diseragamkkan, ini hanya bisa buat kriteria.

Problemnya ada sektor pendidikan, kesehatan, ini bisa dirinci. Yang dimaksud
kewenangan itu adalah menjalankan sebagian kewenangan pemerintahan. Pembagian
selama ini tidak pernah dilakukan dengan baik, semuanya remang-remang. Formula apa
yang akan kita pakai untuk kita berikan desa? Kalau menurut konstitusi maka daerah
membuat perda tentang kewenangan. Sebenarnya kewenangan itu tergantung model
otonomi seperti apa yang kita anut.

Toto
Barangkali sudah kita kenal namanya desa itu tumbuh dari adat istiadat, asal usul, prinsip
ini yang harus kita pegang, kemudian timbul dan tumbuh dari bawah, idealnya menggali
dari bawah. Contohnya, kita mengenal tanah adat dan tanah sertifikat, yang punya
kewenangan tanah adat adalah desa, jadi menggalinya dari bawah, kita tinggal membuat
rambu untuk dilaksanakan kabupaten. Otonomi yang kita gali, kewenangannya sejauh
mana desa itu mampu melaksanakan sendiri?

Fasilitator
Yang belum clear itu kewenangannya seperti apa? Itu tadi proses otonomi dan
kewenangannya.

Azam
Pendapat itu sangat dipengaruhi lingkungan. Saya dari lingkungan birokrat, berkaitan
masalah kewenangan, tanah bengkok desa yang berubah menjadi ruko. Itu menjadi
kewenangan desa, desa boleh menjual dan mengalihkan. Kalau sampai bendo desa

Menggagas Desa Masa Depan 49


diambil oleh pemerintah tanpa ganti rugi maka itu sudah kebodohan desa. Sudah ada
perda tentang bondo desa, pihak yang memakai bondo desa harus mengganti minimal
sesuai dengan harganya. Kita sudah membuat perda kewenangan desa, tapi belum
dilaksanakan, karena yang dihadapi adalah SDM, kemampuan perangkat, kepala desa ini
harusnya standar minimal SMA. Kewenangan itu sangat sulit dilaksanakan. Dari struktur
pemerintahnya juga sangat kurang. Kita pernah menantang IMB, bagaimana kalau desa?
Lalu kita akan training untuk IMB, syaratnya dirubah, tidak perlu detail.

Fasilitator
Normatif regulasi sudah ada, namun ada problem-problem empiris. Pertanyaannya
adalah mempertimbangkan konteks daerah, kalau spirit tidak homogen maka
kewenangan yang kita address kita ke sana seperti apa? Ide pak Ibnu menarik, kita
berangkat dari mana? Konstitusi tidak jelas mengatur tentang desa, sehingga hanya
berhenti di tingkat kabupaten.

Ibnu
Yang perlu kita diskusikan itu mekanisme, kewenangan yang asli tidak perlu kita atur,
yang perlu diatur adalah kewenangan dari pemerintah. Apakah model konstitusi atau desa
yang menentukan, hanya itu harus diberikan kriteria secara bertahap, infrastruktur,
administrasi, dukungan masyarakat. Maka perlu ada penilian terhadap kabupaten, kalau
mereka tidak mampu maka jangan diberikan kewenangan. Ciri otonomi, dia bisa
membuat peraturan, karena otonomi itu mengatur dan mengurus. Oleh karena itu ada
formula dan tahapan yang harus dilaksanakan.

Sofyan
Mekanisme kewenangan, saya setuju desa punya kewenangan, jadi penting bicara
kewenangan adalah kemampuan desa membuat peraturan tetapi desa juga punya otoritas
untuk membuat keputusan. Benturan terjadi antara kabupaten dengan desa. Desa di
Kebumen tidak punya tanah bengkok dan di Banyumas ada dan luas sehingga
penghasilannya sangat banyak dan bisa mengatur pembangunan di desa.

Matt Stephen
Otoritas desa untuk menyelesaikan masalah, unsur pemerintahan eksekutif, legislatif,
yudikatif tidak jelas. Desa bisa menyelesaikan peradilan desa yang informal, walaupun itu
bertentangan dengan hokum. Untuk kasus yang kecil-kecil, di peraturan itu belum ada, ini
perlu didorong dan didefinisikan, bagaimana interaksi dengan peradilan formal dan
sebagai pengakuan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Vitri
Indonesia terlalu banyak aturan, aturan dibuat untuk dilanggar. Untuk bisa meletakkan
wewenang desa, saya mengusulkan pertanggungjawaban kades, kades dipilih masyarakat
tetapi tanggung jawab kepada bupati melalui camat, masyarakat dikebiri oleh pejabat,
masyarakat tidak dihargai, maka kita bisa melihat wewenang desa akan seperti apa,
anggaran desa itu seperti darimana saja. UU 32/2004 akan dibagi 3 yaitu pemerintahan
daerah, desa dan pilkada. Mnurut saya,sebaiknya tetap masuk ke pemerintahan daerah,
karena akan ada tarik menarik dengan kabupaten dan provinsi. Dari RUU harus jelas
pemerintahannya, pertanggungjawaban, wewenang dan anggaran.

Franky
Saya setuju, penyelesaian konflik itu menjadi kewenangan di desa, namun perlu dipisah
peradilan desa dan komunitas. Peradilan komunitas itu bisa di dalamnya peradilan adat,
peradilan desa itu sudah ada preseden, misalnya di Minangkabau sudah ada surat edaran
untuk peradilan tinggi untuk peradilan negeri di Minangkabau agar mengacu ke peradilan
desa. Komentar Pak Ibnu, pertama harus memilih dulu model pemerintahan, kalau kita
pilih self governing community, lalu dia menjustifikasi bahwa di wilayahnya ada hutan

Menggagas Desa Masa Depan 50


adatnya, tanahnya, SDA yang sudah diatur dalam UU sektoral, akan terjadi pertarungan
dengan negara, dan itu menjadi pertarungan yang riel.

Ade
Regulasi perlu ada keharusan pelaksanaan UU PA, hubungan antar sektor, itu tidak akan
selesai kalau tidak duduk dalam satu meja, pengaturannya bukan sektoral lagi, kalau perlu
ada departemen khusus agraria. Kasus riel pertentangan RUU PA Aceh dengan Otsus
Papua, IKPM bilang jelas bahwa itu kewenangannya Papua, namun departemen
kehutanan bilang itu haknya departemen, akhirnya dicabut kewenangannya.

Kasmuin
Saya sepakat seperti tidak perlu ada penyeragaman, walaupun intinya ada pengembangan
kapasitas itu menjadi perhatian khusus. UU 32/2004, pembinaan dan pengawasan itu
dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah dan tanggung jawab pelaksanaan. Kalau
bicara kewenangan yang sudah ada sejak awal itupun harus diikuti pengembangan
kapasitas dan pembinaan paradigma.

Fasilitator
Persoalan kewenangan tidak cukup tetapi juga kapasitas.

Bapak
kita mencoba mengelaborasi UU 16/69 tentang desa praja sampai dengan UU 32/2004,
mana yang baik dan tidak baik, kalau itu sudah dikaji maka kita butuh sistematika
perundang-undangannya seperti apa? Setelah itu kita sebarkan ke seluruh daerah untuk
mensikapi mana yang baik mana yang tidak. Terkait kewenangan harus dikembalikan ke
konstitusi.

Fasilitator
Tadi muncul satu pendapat bahwa ini pengalaman praktis, sisi yang lain normatifnya saja
sangat sulit, sehingga terjadi benturan kelembagaan. Mengkaitkan apa yang disampaikan
di depan, resolusinya apakah membentuk UU baru atau bagaimana? Kewenangan ini
harus dipastikan. Aturan sering bertubrukan, hubungan sektoral berbenturan.

2. Kelompok: DEMOKRASI DESA

Fasilitator : 1. Riawan Tjandra – Atmajaya Yogyakarta


2. Haryo Habirono – FPPD
Peserta : Ade–PPK, Joana–World Bank, Susmanto–Letmindo/GTZ Aceh/
LGSP, Widyohari–STPMD ”APMD”, Adnan–LP3ES, Yuni–Asppuk,
Widya-FPPM, Hans Antlov-LGSP, Wai- Lakpesdam, Abu–Persepsi,
Wafi–BPD, Syamsul Hadi–Bina Swagiri, Datuk–Asosiasi Nagari,
Marhaban-PMD Depdagri, Agus R. Rahma–LIPI, Dahlia–TTS SoE,
Irwan–Letmindo/GTZ Aceh.

Fasilitator
Bapak-bapak, ibu-ibu, ada beberapa yang hal perlu dicermati dalam diskusi kelompok kita
sebagai berikut:
• Transformasi UU 32/2004 berpengaruh pada sisi demokrasi desa, termasuk
kultur.
• Bahwa kesenjangan demokrasi pada aras desa berpengaruh pada kebijakan desa.
• Demokrasi, apakah mungkin menjadi suatu pilihan yang cocok (bottom up)/
internalisasi nilai.
• Implementasi Pancasila, UU dalam ranah desa.

Menggagas Desa Masa Depan 51


• Kaitan demokrasi dengan skala kebutuhan masyarakat.
• Basis kewenangan desa adalah desentraslisasi sedangkan otonomi desa dari
masyarakat.
• Eksperimentasi demokrasi desa dihindari karena tidak match dengan demokrasi.

Dari beberapa hal tersebut, maka merujuk pada 3 aspek:


1. Demokrasi apa yang paling cocok di Indonesia?
2. Fungsi lembaga-lembaga yang mampu mengusung demokrasi?
3. Kendala-kendala yang perlu diperhatikan!

Pada akhir pertemuan akan disepakati wakil yang akan menyampaikan presentasi, dengan
harapan yang lain akan melengkapi.

Ade
Sulit menjawab demokrasi dengan model yang mana, tapi cenderung melihat apa yang
dibutuhkan desa. Berangkat dari program pengembangan seperti yang dilakukan dalam
PPK. Pada dasarnya masalah desa/masyarakat desa adalah mereka tidak terlibat dalam
proses perencanan, implementasi dan pengawasan, polanya masih top down. Jadi perlu
ada ketegasan masyarakat dalam proses pembangunan. Bila masyarakat terlibat dalam
proses perencanan, implementasi maka masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap
hasil pembangunan. Masih ada kecenderungan elit desa yang menentukan, masyarakat
belum. Sehingga musrenbang desa mentok di Kabupaten, musrenbang tidak ada artinya.
Tidak setuju BPD akan mempreteli kekuatan desa seperti kata Syamsudin Haris tadi,
melainkan kontrol, sehingga tidak ada raja-raja kecil di desa. Saya lebih cenderung
kembali ke UU 22/99, BPD menjadi Badan Perwakilan Desa, dipilih dan menjadi badan
penyeimbang.

Joana
Pada prinsipnya setuju BPD – perwakilan yang mewakili prinsip-prinsip demokrasi,
dipilih langsung, mengontrol pembangunan di desa. Tetapi selain itu ternyata lembaga itu
sendiri tidak cukup untuk melahirkan nilai-nilai demokrasi di desa. Dengan aturan saat
ini belum berati demokrasi sudah berjalan di desa. Ada BPD yang belum berperan dalam
fungsinya – check and balances. Bagaimana bisa melibatkan masyarakat lebih luas, tidak
hanya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga dalam menyalurkan aspirasi
masyarakat/cari input. Belum ada kepastian mewakili kepentingan masyarakat. Saya lebih
tertarik pada bagaimana demokrasi ada di desa.

Wafi
• Kaitan dalam hal ini, saya lebih optimis, melihat nilai demokrasi yang ada di di
desa dengan model perwakilan yang dipilih langsung. Melihat fakta kelemahan-
kelemahan BPD ya, euforia politik, permasalahan diantara mereka. Dengan
keluarnya UU 32/2004 terbelalak, fungsinya diberangus dengan dalih-dalih.
• Demokrasi yang cocok yang bagaimana? Demokrasi tidak perlu dicocok-cocokan.
Tetapi dengan demokrasi perwakilan yang ada sebelumya, adanya fakta kasus-
kasus harus dibenarkan. Menjadi penting adanya demokrasi di desa/kelurahan
adalah dipilih langsung.
• Perlu juga dipikirkan pendidikan politik di desa, sehingga seorang kandidat kepala
desa tidak perlu manggung di desa, kaitannya dengan psikologi demokrasi.
• Persoalan quorum menjadi masalah, artinya harus dengan target sekian orang,
jadi tidak perlu ada batasan quorum.
• Keuangan, dengan adanya pemilihan Presiden/Bupati dibiayai oleh APBN/APBD,
maka pemilihan kades juga dibiayai. Sebagai pelaku perwakilan di desa saya
sendiri sedang bersemangat dengan proses demokrasi di desa.

Menggagas Desa Masa Depan 52


Datu
Apa yang disinyalir saat ini sangat setuju, di nagari disebut BPN (Badan Perwakilan
Nagari). Apa yang disampaikan Joana perlu, tapi perlu tupoksi yang jelas, sehingga semua
bisa dicek dengan jelas. Keberagaman dalam UU 32/2004 dan PP 72/2005 masih umum,
di nagari pemilihannya dengan cara perwakilan kelompok, kelompok perempuan, ninik
mamak, alim ulama, pemuda, akhirnya ada porsi presentase untuk perempuan, ninik
mamak, alim ulama, pemuda. Kalau dipilih langsung bagaimana keterwakilan unsur-
unsur masyarakat. Sinyalir kolusi di BPD ada kemungkinan, tetapi terkadang ada pesan-
pesan dari daerah. Keikutsertaaan masyarakat dalam pemeliharaan pembangunan di desa
saat ini agak lemah, saat ini diserahkan kepada desa/swakelola. Masyarakat desa saat ini
belum diberdayakan, perencanaan pembangunan masih top down. Pemdes di daerah
belum betul-betul mau kewenangan diserahkan ke desa, sehingga kades, BPD dan
lembaga lain di desa, serta masyarakat tidak ada inisiatif mengontrol pembangunan di
desa/nagari.

Syamsul Hadi
Keterwakilan BPD dalam UU 32/2004 belum baik juga, yang ’mbok bakulan’ (not: ibu-ibu
yang berjualan) tidak ada, istrinya carik ya. Bagaimana desa yang mempunyai dana untuk
dapat membeli hasil-hasil panen? Kebutuhan basis desa jangan dikesampingkan, berbeda
dengan desa-desa di Jawa dan di luar Jawa.

Susmanto
Menyinggung tentang BPD berkontradiksi dengan pemerintah desa, tidak hanya di Jawa
tetapi juga di luar Jawa. Secara umum, saya yang termasuk mendambakan demokrasi
terutama di desa, ada tiga area demokrasi: bidang pembangunan (perencanaan), politik
(Pembuatan Perdes), sosial (kontrol jalannya pemerintahan di desa).
Kalau di desa Sumba Timur, Tana Toraja, kalau masyarakatnya kumpul tetapi ada raja,
maka masyarakat akan diam. Itu bagaimana? Teringat pertemuan forum warga di
Surabaya, is there any democracy? Dewan morokaki di Banten dipilih dari ketokohan.
Demokrasi seperti apa yang disepakati? Misalnya pemilihan langsung, yang punya uang
yang menang.

Marhaban
Demokrasi yang bagaimana? Bagi saya pribadi dilihat dari literatur ada dua macam
demokrasi, yaitu demokrasi modern – representatif dengan 2 prinsip dasar: prinsip
representative government, yaitu penyelengaranggan negara diserahkan kepada elit dan
limited government – terbatas.
Nah, kemudian ada buku Freedman ”alternative development” dengan konsep political
democracy-inclusive democracy adalah demokrasi yang kita bahas, masyarakat harus
dilibatkan dalam pembangunan. Saya pahami bahwa peran warga desa, bagaimanapun
proses pemilihannya tidak terlalu persoalkan. Proyek PPK di daerah, ada keberhasilan
dalam keterlibatan masyarakat menentukan keputusan. Menurut saya, disini adalah self
community governing + inclusive demokrasi. Amerika, Kanada, Australia, demokrasi
yang diserahkan pada tingkat ‘state’. Representative demokrasi bukan ada di kita, itu ada
pada Kabupaten/Kota ke atas. Di desa yang diperlukan adalah self community governing
+ inclusive demokrasi, seperti freedman. Hebatnya demokrasi, bagi yang kalah masih
diberikan kesempatan untuk memberi kritik.

Fasilitator
Kita menawarkan beberapa pemikiran, menampung, jadi tidak memaksakan keinginan
kita. Kalau secara antropogis barangkali desa lebih tua dibanding dengan kabupaten/kota,
provinsi, negara. Pemikiran dan wacana tadi sangat menambah perspektif bagi kita, tapi
kita tawarkan kepada yang lain, silahkan.

Menggagas Desa Masa Depan 53


Widyohari
Saya sebetulnya sepakat dengan Pak Sus, romantisme bahwa demokrasi desa diserahkan
saja kepada desa, masing-masing desa berbeda. Negara silahkan mengatur regulasai
tentang desa, tetapi juga harus memberikan ruang bagi lokal, desa boleh memasukan
unsur permusyawatan, perwakilan. Karena teori apa saja di Indonesia tidak jalan.
Demokrasi desa dibangun ala kelokalan setempat. Masa yang lalu ada demokrasi di desa,
ada badan legislatif, eksekutif, ada rapat/rembug desa. Aspek persamaan itu perempuan
dibelakangkan.

Perlu dimasukan unsur-unsur/aspek penyetaraan dan lain-lain. Apapun bentuknya tidak


masalah. Yang penting 3 (tiga) itu. Tidak ada sistem check and balances – itu sulit.
Kedepan perlu ditempatkan suatu forum di desa, siapa saja: buruh, petani, sesepuh, dan
lain-lain. Ini perlu dikembangan untuk melakukan check and balances di desa, dulu ada
forum di desa yang memenuhi ini, ada mekanisme kontrol internal di desa. Kendala yang
perlu diperhatikan, yaitu partisipasi merupakan kendala yang terbesar di desa, partisipasi
di desa adalah milik elit desa. Berapa persen orang yang menyampaikan ketidakpuasan
mereka terhadap BPD? Menjadi pertentangan tersendiri di masyarakat bagaimana
menyalurkan aspirasinya. Sulitnya minta ampun untuk melibatkan masyarakat dalam
partisipasi di desa. Partisipasi menjadi titik demokrasi.

Datu
Kalau saya diminta untuk mewakili partai di desa tidak setuju. Kades, wali nagari tidak
perlu untuk menjadi pengurus parpol. Kalau kepala daerah memiliki wilayah, wali
nagari/kades memiliki masyarakat.

Abu
Apapun demokrasi yang diusung adalah demokrasi yang menjamim kemandirian di desa,
tetapi sekarang tidak, masih sebagian bergantung pada pemerintah, harus menjamin
keberlangsungan lembaga-lembaga lokal di desa, kalau tidak ada, maka elit-elit diluar
Jawa akan tersisih, karena itu murni dari adat. Dalam proyek PPK, mayarakat dilibatkan
dalam proses perencanaan hingga pengawasan. PPK bagus, tapi masih ada celah-celah.
Fungsi negara menjamin bagaiman masyarakat teribat dalam proses pembangunan di
desa. Juga dalam penguatan masyarakat di desa.

Marhaban
Saya beda dengan apa yang disampaikan Hans tadi. Sangat mahal bagi negara untuk
representatif demokrasi, juga pengalaman negara lain yang berhasil. Barat tahu persis
otonomi daerah itu. Eropa barat menyerahkan otonomi se-grass root mungkin, sehingga
tepat kita mencari demokrasi, saya setuju dengan Pak Sus. Saya mengkritik teman-teman
di PMD, jangan ada kabijakan jeruk makan jeruk, empowerment yang ditumbuhkan
dibunuh kembali.

Wa’i
Ada kemunduran BPD menjadi bamus (badan musyawarah), meskipun bukan satu-
satunya problem di desa. Tetapi BPD pada banyak desa menjadi alat legitimasi aparat
desa, ini parah. Kerena itu, semangat demokrasi di desa menurut saya sangat berbeda
dengan masyarakat di tingkat atas, meskipun BPD mewakili masyrakat di desa, sehingga
BPD tidak cukup mewakili sebagai institusi perwakilan di desa – kelompok-kelompok di
desa. Dari prosedur itu tidak menjamin.

Menyinggung yang disampaikan Pak Sus, tidak memadainya apa yang ada di BPD, itu
harus dilembagakan. Problemnya, kemudian tidak lahir dari masyarakat, menjadi grup
politik masyarakat, kalau cair sama sekali juga memiliki kelemahan. BPD sebagai institusi
menjadi cek and balances bagi pemerintah desa, tetapi juga tidak sepenuhnya mewakili
masyarakat. Oleh karena itu BPD ada tetapi harus ada mekanisme lain yang sifatnya

Menggagas Desa Masa Depan 54


insidential. Membandingkan dengan yang di atas, parpolpun tidak mewakili masyarakat.
Kalau dalam parpol terwakili 60%-70% maka ada 30% yang tidak memilih, sehingga
seharusnya ada kursi kosong di DPRD.

Fasilitator
Karena waktu tinggal 15 menit masih ada 7 orang yang belum bicara, silahkan...

Adnan
Seringkali kita memperjuangkan bentuk daripada isi, seolah bentuk lebih bagus daripada
isinya. Kita terjebak dengan panyakit partisipasi, jangan-jangan partisipasinya terpimpin
atau terbina. Saya hanya mengkritisi itu.

Yuni
Saya mau ikuti yang sudah ada, persoalan budaya, adanya penokohan, pengkulturan
masyarakat. Apapapun bentuk demokrasinya kalau tidak ada suara perempuan maka
tidak demokratis, jadi kendalanya struktural dan kultural.

Hans
Saya tidak setuju demokrasi terlalu mahal. Setahu saya Eropa dan Amerika hanya ada di
kabupaten/kota. Negara tetangga lain, India, Filipina, mereka bisa, mengapa Indonesia
tidak bisa? Olahraga kalah, demokrasipun kalah. Itu bukan Eropa, Amerika, tapi negara
Asia. Perlu mengacu pada prinsip-prinsip pokok dalam membangun sistem demokrasi di
desa seperti human right, dan lain-lain sebagaimana yang tercantum dalam covenant-
covenant Internasional, Pancasila dan UUD 1945.
Widya
Bagi saya demokrasi seperti apa? Kembali pada kearifan lokal. Banyak pendapat tentang
partisipasi, ini dan itu. Apa masyarakat tahu bagaimana membaca APBDes? Ketika
dalam perumusan perencanan mereka tidak semua terlibat, pengangguran, keterwakilan
partisipasi. Selama ini banyak dikatakan kita sudah.. Bagaimana kearifan lokal bisa timbul
kembali?

Dahlia
• Bagi saya perlu ada lembaga demokrasi di desa. Kalau di pemerintahan, orangnya
terbatas, pemikirannya terbatas. LPM sebagai lembaga induk yang membawahi
lembaga-lembaga di masyarakat. Contoh, lembaga dari luar yang ada di tempat
kami, lebih mementingkan proyek, tidak masyarakat.
• Partisipasi dalam berbagai bentuk, kehadirian fisik, tenaga, pikirannya, dananya,
sehingga dia akan kuat.
• Pemimpin formal di masyarakat pasti diikuti masyarakatnya. Kalau BPD,
permusyawaratan – perwakilan, bagi saya tidak masalah, bagi saya yang penting
unsur keterwakilannya dari aspek kewilayahan, kepentingan, kelompok dan lain-
lain.
• Musrenbang sebenarnya ada masalah, ada kebutuhan, ada potensi, itu
diseimbangkan. Jadi masyarakat perlu kita latih, kita fasilitasi.
• Usul: perlu ada pelatihan bagi LPM untuk perencanaan pembangunan. Dana
disiapkan, modul disiapkan seperti dulu sebelum ada otonomi.
• Kades di TTS seperti alat politik, contohnya sesudah pemilihan dan terpilih, tapi
tidak bisa dilantik karena kepentingan poltik di tingkat atas.
• BPD dan Kades itu alat negara?

Widyohari
Lembaga independent silahkan masyarakat bentuk sendiri, diwadahi dalam forum.

Menggagas Desa Masa Depan 55


Agus
• Demokrasi kebutuhan di desa, kalau bukan kebutuhan, kalau tidak demokrasi
maka akan menjadi otoriter. Bagaimana menanamkan demokrasi di masyarakat,
diawali di rumah tangga? Apa itu sudah kita lakukan?
• Kasus di Palembayan, BPN tidak berfungsi, mandul, karena oranya tidak
demokratis, banyak kendala menciptakan masyarakat demokratis, bagaimana
kalau kita mengundang petani untuk mengikuti musrenbang, sedangkan kalau
mereka ke sawah mendapatkan sepuluhribu. Musrenbang hanya dilaksanakan satu
hari, sabtu. Demokrasi hanya satu hari, senin-jum’at tidak demokratis, cuma hari
sabtu saja yang demokratis.
• Peguatan kelembagaan banyak kendala, contohnya beberapa anggota BPN tinggal
di Bukittinggi, jadi hanya hari sabtu saja.

Fasilitator
Sulit menggabungkan semua wacana, kita sepakati siapa yang mewakili untuk
menyampaikan diskusi kita?

Marhaban
Sedikit saja, kita semua membicarakan hal yang sama, hanya kata-katanya yang berbeda.
Bagaimana ditingkat kabupaten/kota, elit-elit menyelewengkan demokrasi, ada yang
mengusulkan ada kursi kosong-golput, injecting participating in local...hhahaahhaaa....

Fasilitator
Biar saja semuanya pemikiran masuk, siapa yang bisa disepakati untuk mewakili?
Jadi Pak Datuk dan Ibu Ade untuk mewakili.

Benang Merah Pemikiran:

Demokrasi yang cocok bagi desa:


Inclusive demokrasi perlu menjadi pertimbangan utama dalam rangka membentuk
self community governance Æ masyarakat terlibat secara luas dalam proses
pengambilan keputusan
1. BPD sebagai tool untuk check and balances
2. Harus mengacu pada analisis kebutuhan desa
3. Keterwakilan lembaga kemasyarakatan lainnya

Fungsi lembaga-lembaga:
• Lembaga di desa terdiri dari lembaga formal dan non formal
• Fungsi lembaga desa bervariasi: sebagai fungsi legislasi, kontrol dan pelaksana
• Bentuk diserahkan pada kearifan dan keunikan local dengan acuan dari pusat
• Lembaga itu harus mampu mewakili semua aspirasi masyarakat
• BPD dan lembaga kemasyarakatan yang ada harus ditopang dengan capacity
building yang memadai

Kendala-kendala:
• Keterbatasan partisipasi masyarakat antara lain karena sistem yang belum
mendukung (structural)
• Kendala cultural (misalnya budaya patrialistik, sikap elitis, pandangan pragmatis)
• Focus pada pembentukan lembaga bukan membangun esensi check and balances
• Kemampuan ekonomi masyarakat
• Trauma pengalaman berdemokrasi yang “mboten up” tidak memihak kepada
kebutuhan masyarakat Æ contoh masyarakat

Menggagas Desa Masa Depan 56


Hari/Tanggal : Senin, 3 Juli 2006
Pukul : 11.00 – 13.00

3. Kelompok: ADD (ALOKASI DANA DESA)

Fasilitator : 1. Bambang Hudayana


2. Arie Sujito
Peserta : Ninuk-BPD Deli Serdang, Alit Asmara-Majelis Madya Gianyar,
Syamsul-Bina Swagiri, Sukoco-Kades Wiladeg, Kamardi-Perekat
Ombara, Kasmuin-CePAD, Ade-KDP World Bank, Soekirman-Wakil
Bupati Sergai, Tumpak-PMD, Abu-Persepsi, Joana-World Bank,
Datu-As Wali Nagari, Dahlia-PMD TTS, Adri Warsena-FPPD.

Fasilitator
ADD menjadi harapan di desa, pendapatan desa rendah. Betapa ADD yang menjadi masa
depan desa masih terbatas. Mengapa kabupaten tidak responsif?, bagaimana
menghubungkan ADD dengan pelayanan publik? ADD selalu memakan belanja rutin
kabupaten.

Ninuk
Kita di DPRD Deli Serdang sedang membuat Raperda yang saat ini sudah menjadi perda
tentang ADD. Sebelumnya kita melakukan pertemuan dengan beberapa desa,
persoalannya mengapa ADD tidak bisa cepat dilaksankan? Saya pikir banyak kabupaten
tidak rela menyerahkan uang sekian banyak. Di Deli Serdang baru dianggarkan 11,5
Milyar, seharusnya sesuai ADD 43 Milyar harus diserahkan kepada desa. Ini sebenarnya
ada keberatan tersendiri dari Pemkab, alasannya 1) SDM tidak mampu, 2) orang desanya
tidak tahu bahwa ada UU 32/2004, ada PP 72/2005, sosialisasi dari kedua UU dan PP
tidak sampai kepada kepala desa. Masukkan dari 4 desa yang kami lakukan, mereka minta
supaya ADD dapat dilaksanakan sendiri oleh orang desa, maksudnya bendahara desa,
karena selama ini yang menjadi bendahara desa adalah kaur umum yang merangkap
jabatan, kalau ada uangnya ADD mereka menanganinya, kemudian ADD untuk apa?,
yaitu digunakan untuk pembangunan fisik, dengan skala prioritas.

Fasilitator
Itu fenomena di Deli Serdang, dengan adanya ADD masyarakat punya kemampuan untuk
mengelola ADD.

Alit Asmara
Terkait informasi dari teman Deli Serdang tadi saya konsentrasi di desa, dalam kaitan
ADD, ada 4 permasalahan yang kita perhatikan, yaitu:
1. Legitimasi pemerintahan desa ini perlu proses yang demokrasi, sehingga dapat
memberikan semacam apresiasi terhadap masyarakat dan karakter masyarakat itu
sendiri.
2. Kewenangan desa harus jelas, terkait dengan UU 32/2004 ada beberapa hal yang
perlu kita sikapi bersama seperti ada beberapa UU yang baru itu menarik ke pusat
dan posisi daripada BPD perlu memperoleh perhatian kita bersama, merujuk PP
72/2005. Perda-perda dan perdes, terkait juga dengan aspirasi masyarakat ketika
perda atau perdes itu disusun, sehingga ada kejelasan potensi, karakter dan
budaya setempat bisa masuk.
3. Kesiapan kelembagaan nanti menyangkut SDM yang ada, mungkin kita harus
menentukan kriteria kepala desa itu seperti apa.
4. Perencanaan di tingkat desa perlu dikelola melalui SDM di tingkat desa.
5. Sumber pendapatan desa harus jelas apa-apa saja, sehingga ini terkait dengan
kewenangan desa.

Menggagas Desa Masa Depan 57


Dukungan dan partisipasi dari masyarakat seperti apa, termasuk juga dalam perencanaan
dan juga kegiatan-kegiatan yang menyangkut desa.
Dari teman Deli Serdang tadi ada ketidakrelaan pemerintah kota untuk memberikan porsi
kepada desa, maka dengan kesiapan ini kita dapat menuju kewenangan dan hak desa
sehingga tidak ada alasan untuk tidak memberikan porsi itu kepada desa.

Syamsul
Kenapa kabupaten tidak iklas memberikan ADD,kemungkinannya adalah;
1. dia memandang bahwa kapasitas dan potensi desa belum siap;
2. faktor APBD kabupaten belum siap;
3. faktor politik (karena tidak milih).

Efek ADD luar biasa, setelah ADD jalan desa sudah hotmix. Mungkin juga faktor politik,
kalau kami loyal maka dananya dapat turun, kalau tidak ya tidak. Sepertinya itu masih
terjadi, sehingga kalau ada ketentuan dari pusat maka mereka tidak dapat menolak.
Disamping ada keuntungannya ADD juga ada sisi buruknya, kalau itu tidak disiapkan di
desa, maka akan memindah budaya korupsi di desa, lha bagaimana mengelola itu?

Bagaimana menyiapkan kelembagaan di desa itu?


1. Perlu disiapkan resolusi managemen konflik di desa
2. Adanya regulasi yang tegas dan pro desa, misalnya perda yang mengatur sekian %
dari APBD harus dilakukan untuk ADD.
Saya sepakat dengan kawan dari Bali bahwa harus ada ketegasan hak dan wewenang yang
harus dimilki oleh desa.

Sukoco
Ilustrasi di Gunung Kidul, ADD ini dimanfaatkan untuk pencalonan Bupati bahwa nanti
desa akan dialokasikan dana, walaupun itu sudah dimentahi temen-teman lurah pada
waktu itu. Maka ADD keluar dengan peraturan Bupati saja tapi aturannya sangat ketat
sekali, dengan presentase sekian % untuk BPD, pembangunan dan lain-lain. Desa tidak
ada otorita mengatur sendiri, sehingga ada ketergantungan dari peraturan Bupati. Dana
yang pertama itu 10 Milyar, kalau diukur dari PP masih jauh, mestinya 23 Milyar, DAU
yang dipotong anggaran rutin. Alasan dari Bupati adalah untuk langkah awal dan nanti
kedepannya tidak akan diatur. Yang menjadi orientasi ke depan, bagaimana ADD itu
mutlak kewenangan desa, itu perda yang mengatur bukan hanya peraturan Bupati.

Kamardi
Soal ADD itu selain perda mengawali kebijakan karena konsekwensi PP 72/2005 sudah
dijelaskan ADD itu. Catatan lebih jauh, ada yang pakai peraturan Bupati, ada yang tidak
tapi tiba-tiba ada bimbingan teknis, yang harus diperjelas dalam perda itu bahwa itu
harus dipisahkan dengan PAD atau APBD itu sendiri, karena di PP itu 2 hal yang
dimandatkan, memang nilai asli desa ada gotong royong, partisipasi dan lain sebaginya
tapi di ayat b, penduduk desa paling tidak mendapatkan bagian 10% dari retribusi daerah.

Fasilitator
Jadi ADD itu bukan identik dengan pengembalian dana 10% yang berasal dari retribusi itu
ya?

Kamardi
Ya bukan, sudah jelas bagian desa itu paling kecil 10% dari retribusi daerah dan ADD itu
merupakan dana perimbanagn yang diberikan pusat kepada daerah, jadi berbeda
sumbernya. Ini yang selama itu belum jelas. Jadi ADD itu benar-benar mutlak untuk desa,
yang mengatur kabupaten tapi hanya pedoman umum saja dan teknisnya diserahkan ke
desa.

Menggagas Desa Masa Depan 58


Fasilitator
ADD itu hak desa, kabupaten jangan terlalu mengatur penggunaan ADD, boleh memberi
pedoman tapi tidak usah detail. Betapa pentingnya kewenangan desa, karena akan
menentukan besar kecilnya ADD kedepan.

Kasmuin
Ada semacam tindak lanjut saja, saya sangat sepakat sekali antara realisasi ADD dengan
penguatan kapasitas kelembagaan desa harus digarap bersama dan segera. Sejak dahulu
semua orang menghendaki supaya daerahnya mendapatkan sebesar-besar, itu sudah
mendarah daging, karena tujuan ADD untuk mempercepat pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat desa justru akan tertunda lebih jauh lagi karena banyaknya
permasalahan yang muncul karena realisasi ADD dengan penguatan kapasitas itu. Apakah
kita perlu merumuskan dan mencari strategi untuk mendorong hambatan-hambatan
mengapa ADD itu macet dilakukan daerah? misalnya kita mendorong class action apabila
ADD tidak dilakukan sebagaimana mestinya.

Ade
Saya sependapat bahwa ADD diperlukan pengalaman selama ini. Pembangunan oleh desa
lebih efektif, tidak ada mark up, karena orientasinya untuk diri mereka sendiri. Ada
kecenderungan berbeda, kabupaten hanya memberi rambu-rambu saja, porsinya tidak
ditentukan, tetapi hanya rambu. Sebaiknya tidak ada pembatasan yang rigid. Proses
pembuatan keputusan awal harus partisipatif, dananya harus memadai. Contoh di Ngada,
ADD tidak merata ke seluruh desa, hanya beberapa desa, kriterianya sangat banyak, dan
setiap desa memperoleh dana yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya, rata-rata
mereka mendapatkan sekitar 75 juta per desa, sehingga mereka bisa bikin pasar, jalan dll.
Mekanisme pencairan dana cukup baik, bertahap, setiap tahapan harus
dipertanggungjawabkan lebih dulu. Disini juga ada tim pengawas, di Ngada tidak terlalu
percaya pengawas dari pemerintah, mereka lebih percaya ke konsultan lokal.

Fasilitator
Penguatan bukan hanya pada aparat, tapi juga pada masyarakat karena mereka punya
kapasitas dan lebih mandiri.

Soekirman
Sergai baru berjalan 2 tahun 6 bulan. Baru 10 bulan bupati dan wakil bupati hasil
pemilihan langsung, dan baru menerima PP 72/2005, kemudian kami cetak dan dibagi ke
semua kepala desa, DPRD dan lain-lain. Saya ingin menyampaikan bahwa ada 3
kebutuhan yang berbeda anatara di level desa dan kabupaten. Sejak berpisah dari Deli
Serdang, di desa itu tidak ada Bandes, ada soal dengan kabupaten induk, yang seharusnya
kabupaten induk memberikan kepada Serdai.
1. Yang ditanyai Bandes, yang jadi kebutuhan desa lagi itu adalah keputusan
musbangdes, karena kecamatan memfasilitasinya dan yang paling mencolok
adalah infrastruktur baik jalan desa maupun irigasi,
2. Honor kades,
3. Partisipasi masyarakat desa sangat turun.

PP 72/2005 di kabupaten, tidak sama persepsi dan empati antara ketua Bappeda, PMD,
dan kabag hukum. 10 % DAU maka harusnya 15 M, kalau rata maka 75 juta per desa. Di
pemahaman tingkat kabupaten beda persepsi. Bupati mengakali 50 juta per desa. ADD
seharusnya didahului RPJMDes, lalu APBDes dan itu masih dilakukan oleh LSM.
Pembangunan sendiri belum. PP 72/2005 harus dikuatkan dengan perda. Duit dari PKPS
BBM itu seharusnya swakelola, datang kontraktor di atas kertas swakelola, sehingga
menguntungkan pihak luar. Yang baik itu PPK, karena adanya fasilitator pendamping
sehingga lebih tepat sasaran. Kalau ADD jalan dan proses perayuan dari pihak luar itu
terus maka yang ada adalah pembunuhan terhadap inisiasi desa.

Menggagas Desa Masa Depan 59


Fasilitator
Jadi skenarionya, ADD itu harus diintegrasikan kedalam APBDes, semua anggaran dari
luar harus masuk APBDes sehingga ada pertanggungjawaban dilevel desa.

Tumpak
Menurut kami dengan adanya ADD kita perlu cermati 2 hal yaitu:
1. Instrumen kebijakan, sudah jelas di PP konsekwensi logisnya kalau ada urusan di
desa, urusan ini mesti ada fungsi dan juga anggarannya. Jadi mestinya uang itu
mengikuti fungsi-fungsi yang ada. Instrumen apa yang kita gunakan untuk
mengatur ADD itu, apakah sesuai dengan perda atau yang lainnya, selanjutnya
pengalokasiannya bagaimana? Mungkin ada contoh dari beberapa kawan,
sehingga dapat dijadikan bahan untuk pembuatan kebijakan bagi Depdagri. Perlu
ada intervensi dari pusat supaya daerah tidak gamang melaksanakan ini.
2. Perlunya needs assesment di desa.

Instrumen akan sangat berharga, misalnya best bracticenya diungkap disini. Di desa itu
banyak uang, bagaimana mengaturnya? Karena itu kita juga harus mengetahui bahwa itu
adalah uang hasil dari hutang.

Abu
Dari pengalaman kami di Klaten untuk mengawal ADD di tingkat kabupaten tidak cukup
pemdes dan kades, masih perlu dukungan masyarakat. Elemen di desa perlu
mendapatkan penguatan untuk bersama-sama mendorong elemen di desa melek APBD
dan APBDes. Bagaimana kita melakukan penguatan, sasarannya kepada aparat dan
masyarakat desa?
Swakelola itu saya sepakat, tapi belum ada pengalaman yang itu diinisiasi oleh masyarakat
sendiri. Sekarang ini kita juga mendapat mandat untuk memonitor PPK berbasis
masyarakat tetapi skenario bagaimana setelah itu kita tidak tahu. Dan kalau itu tidak
berhasil maka kami akan melakukan penguatan terhadap masyarakat diluar kecamatan
untuk melaksanakan pengawasan apapun proyek didesa.

Joana
ADD adalah hak desa yang diterima untuk mengurus kepentingan diri sendiri, tujuan
sebenarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ada satu masalah ditingkat
nasional dengan adanya intervensi PP 72/2005, tentang ADD mengenai minimum yang
harus disediakan desa. Perlu komitmen yang lebih di tingkat nasional. Kalau melihat dari
10% itu tidak cukup, perlu komitmen di tingkat nasional, perlu prinsip keadilan di tingkat
wilayah. Untuk daerah miskin perlu jumlah minimum yang perlu disediakan desa dan
kalau itu masih kurang mungkin dapat di ambilkan dari APBN.

Fasilitator
Saya ada info dari Pak Girsang bahwa ketika mensosialisasikan ADD, yang itu berasal dari
kabupaten, sekarang ada juga ADD dari Provinsi. Pedoman level pusat belum ada regulasi.

Datu
ADD itu kalau di Jawa tapi kalau di Sumatra Barat namanya DAUN. Yang perlu kita minta
pertama adalah komitmen kabupaten, 10% dari APBD, kalau tidak ya ada batas minimum,
tapi kalau di Nagari ada dana bagi hasil yang besarnya 35%, DAKN, dana pemberdayaan.
Arah pembangunan ke 5 sasaran, kabupaten hanya memberi acuan saja, yaitu :
1. Peningkatan SDM,
2. Ekonomi kerakyatan,
3. Pembangunan kemasyarakatan,
4. Pembangunan infrastruktur,
5. Sumber Daya Alam.
Inilah yang kita pilih dan kita prioritaskan.

Menggagas Desa Masa Depan 60


Dahlia
Saya sangat sepakat dengan apa yang disampaikan dan hanya akan menambahkan bahwa
yang terjadi di kabupaten TTS ADD belum pernah ada, sekarang sudah ditetapkan tetapi
sampai sekarang belum ada apa-apa. Dari 10 juta menjadi 98-100 juta, karena komitmen
10% kami hanya mendapatkan 7%. Itu dikarenakan adanya PP, SE Mendagri dan
peraturan yang ada. Karena kami sadar keterbatasn SDM yang ada di desa, bukan kami
tidak percaya tapi sampai sekarang ini belum diapa-apakan. Jadi perlu ada petunjuk
teknis dari pusat yang hanya berisi pokok-pokoknya saja dan untuk detailnya
menyesuaikan di daerah.

Perlu juga dibentuk lembaga penguatan masyarakat yang partisipatif dan itu bentukkan
dari masyarakat sendiri bukan dari pemerintah, sehingga dapat independen, walaupun itu
difasilitasi oleh negara.

Fasilitator
Ada beberapa catatan penting yang dapat kita tarik dari diskusi ini.
1. Ada trend kepedulian yang semakin meningkat di level daerah tentang pentingnya
ADD sebagai haknya untuk menjalankan pemerintahannya, akan tetapi daerah
masih setengah hati, kurang serius menjalankan kebijakan ADD yang benar-benar
dapat menjawab masalah yang dihadapi oleh desa yang menjadi kebutuhan desa.
Indikatornya:
a. Pemda belum berani memberikan komitmen 10% yang menjadi semacam tolak
ukurnya, sehingga jumlahnya masih kecil.
b. Pemda berhenti membuat perda, mekanisme pengucurannya seperti apa ?
2. Perlu ada intervensi positif agar proses tidak berhenti di tengah jalan.
3. Ada semacam keyakinan ADD itu membawa perubahan di desa.
4. Masalah, bagaimana ADD itu diserahkan ke desa, dalam bentuk block grant, atau
perlu dibuat peraturan-peraturan yang dapat lebih manjamin ADD bisa membuat
perubahan-perubahan. Oleh karena itu perlu didorong langkah-langkah oleh
semua komponen di desa. Jadi harus ada mekanisme kelembagaan.
5. Kewenangan kabupaten itu sampai detail apa tidak, forum tidak menghendaki
tidak terlalu rigid.
6. Bagaimana memperkuat ADD di level daerah supaya prosesnya lebih cepat, untuk
catatan ADD bukan lagi kebijakan populis Bupati, tetapi ini sudah menjadi
kebijakan yang sifatnya daerah, jadi bukan SE Bupati tapi sudah menjadi perda.
7. Pentingnya terintegrasinya ADD dengan program lain yang masuk ke desa,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Jito (Fasilitator 2)
Kita sudah petakan dari sejumlah pengalaman praktis bapak ibu semuanya, nanti akan
kita buatkan petanya dan buat kesimpulannya. Satu hal yang penting dan relevan dengan
apa yang kita bincangkan antara pusat dan daerah belum connect.

Catatan juga dari kami bahwa :


1. Kabupaten enggan untuk ADD
2. Akses informasi masyarakat untuk mengetahui PP masih sangat terbatas.
3. Sumber pendapatan desa belum jelas.
4. Ada 3 kapasitas potensial desa yang belum siap, sebaiknya ini adalah bagian
penting yang segera untuk diintervensi, keterbatasan PAD, masalah politik
5. Problem manipulasi atau KKN atas pengelolaan ADD, maka dibutuhkan untuk
mempersiapkan sistem pengelolaan ADD.
6. Fungsi dari pemerintah kabupaten atau pusat untuk memberikan dead line yang
bersifat umum, maka desalah yang perlu mendetailkannya, supaya desa itu merasa
memiliki atas policy.

Menggagas Desa Masa Depan 61


7. Tidak perlu ADD itu rigid meskipun kontrol sangat perlu dilakukan agar
penggunaan ADD benar-benar sesuai dengan yang diharapkan.
8. Transparansi.
9. Pengalaman-pengalaman praktis.

4. Kelompok: MIKRO KREDIT DAN BUMDes

Fasilitator : 1. Yuni Pristiwati - ASPPUK


2. Sumarjono – STPMD “APMD”
Peserta : Adnan-LP3ES, Agus R Rahman-LIPI, Susmanto-FPPD/LGSP,
Toto Suharyana-BPMKS Sumedang, Dony-DPRD Sumedang,
Yusuf-Sajogyo Sains, Edward Lubis-YIPD Jakarta, Suharman-PSPK
UGM, Sunarti-Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Widya Puji-
FPPM, Sofyan-Akatiga, Untoro-PMD, Stefan Jansen-GTZ Pro FI,
M. Barori-STPMD “APMD”, Firsty Husbany-DRSP, Erni-FPPD.

Perkenalan
Untuk lebih mengakrabkan suasana, peserta memperkenalkan jati dirinya.

Fasilitator
Kita mengingat kembali apa yang telah dibahas. Tadi pak Maryunani mengantarkan pada
kita, apa keuangan desa, bagaimana posisi dan bagaimana pengelolaannya? Ada prinsip-
prinsip yang harus dipenuhi dalam pengelolaan keuangan desa diantaranya adalah
prinsip pemanfaatan karena dari manapun dan seperti apapun pengelolaan keuangan
desa harus diorientasikan pemanfaatannya bagi masyarakat, usaha kecil, pembagunan,
dan bagi pemerintah itu sendiri. Ada 4 penerima manfaat yang harus diperhatikan, yaitu
prinsip transparansi, keberlajutan, profesional (harus dikelola dengan betul-betul),
kejelasan wewenang dan peran (pengelola dan kepala desa). Empat prinsip ini paling
tidak yang menjadi patokan kita bagaimana memberikan gagasan pada pengembangan
keuangan desa. Dalam UU 32/2004 yang khusus bicara tentang keuangan desa yaitu
pasal 213 tentang BUMDes menyebutkan: ayat (1) Desa dapat mendirikan BUMDes
sesuai kebutuhan dan potensi desa. (2) BUMDes sebagaimana dimaksud ayat (1)
berpedoman pada peraturan perundang-undangan (Bagaimana peraturan perundang-
undangan PP 72/2005, tadi sudah disampaikan oleh pak Dony). (3) BUMDes menjadi
milik desa dapat melakukan aktivitas pinjaman sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Sebelum mengerucut, kita eksplorasi pandangan, pikiran dan pengalaman bapak/ibu


tentang BUMDes, yang didalamnya termasuk aktivitas mikro finance. Diskusi ini
diharapkan bisa mempertajam pasal-pasal yang sudah ada disitu. Kita bisa mulai dengan
mengeksplorasi pengalaman saat ini, aktivitasnya, problematikanya, dan apa cerita
suksesnya (apa faktor masalah dan faktor pendukung), baik untuk mikro finance maupun
BUMDes. Silahkan.

Edward
Kenapa BUMDes dan mikro finance? karena kita ketahui bahwa BUMDes adalah salah
satu jenis pendapatan di desa. Kenapa tidak yang ruang lingkupnya lebih luas misalnya
pendapatan desa? kalau BUMDes ruang lingkupnya terlalu kecil. Kenapa dibatasi
BUMDes? karena topiknya keuangan dan ekonomi desa.

Apakah mikro finance nanti akan cenderung atau pengelolaannya diarahkan ke BUMDes?

Menggagas Desa Masa Depan 62


Fasilitator
Topik mikro kredit dan BUMDes, ini dimaksudkan supaya lebih focus, tetapi tidak apa-
apa kalau kita sepakat, tetapi topic besarnya kita bicara tentang keuangan desa. Salah satu
dalam pasal itu, alternatifnya bagaimana keuangan bisa dikelola, dimana salah satunya
melalui BUMDes dan mikro kredit. Dimana mikro kredit ini salah satu aktivitasnya
usahanya adalah BUMDes. Paling tidak dari arahan SC/panitia tidak diarahkan kesana,
tetapi biar pembahasan tidak terlalu melebar, juga merespon apa yang telah disampaikan
narasumber. Kita tidak dikungkung dengan dua topic ini, tetapi pembicaraan kita adalah
keuangan desa dan salah satu topiknya BUMDes.

Barori
Pak Lubis juga benar, kita bicara tentang keuangan desa lebih luas dan kita bicara
pengelolaan keuangan desa pada dua level yaitu yang berkaitan dengan desentralisasi
fiscal (ADD) dan didalam bagaimana kita mengelola keuangan desa. Jika disepakati,
bagaimana menggali sumber-sumber pendapatan asli desa? Saya mengusulkan forum ini
juga seperti itu. Kita kembali pada topik yang akan dibahas. Turunan dari topik yang
dibahas disana tadi adalah bahasan tentang micro finance dan ada mandat dari UU
32/2004 atau PP 72/2005 yang kemungkinan dibentuk BUMDes di tingkat desa. Tentu
saja forum ini nanti akan memberikan gagasan, wawasan pengalaman tentang dua hal
seperti itu.

Bicara mengenai keuangan desa tentu saja ruang lingkupnya cukup luas. Bicara tentang
ekonomi desa salah satu indikatornya adalah ketika desa itu mampu membiayai kegiatan-
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatannya. Ketika desa membiayai
sendiri, itu otonom, merdeka, bargaining posititionnya kuat. Ketika bicara keuangan
desa, kita tidak boleh lupa bahwa keuangan itu basisnya produksi. Kegiatan produksi
bagian dari kegiatan ekonomi pedesaan yang selama ini ada, sehingga ketika bicara micro
finance tidak boleh lepas dari bicara konteks ekonomi secara lebih luas. Micro finance
menurut pandangan saya, adalah sebuah supporting system dalam sebuah perekonomian,
tetapi yang lebih penting adalah tantangan ke depan. Tantangan kedepan adalah produk
desa, produk skala umum, mestinya produk yang kompetitif yang sarat dengan teknologi.
Teknologi itu mahal, sedangkan masyarakat mempunyai keterbatasan dalam mengakses
teknologi, dia tidak bisa membeli teknologi itu maka dia butuh tambahan modal.
Tambahan modal itu bisa merupakan kredit. Dalam konteks itu micro finance bicara
disitu. Oleh karena itu lembaga perkreditan dibutuhkan di desa dalam rangka
mendukung produk yang berkualitas dan syarat dengan teknologi. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa paradigma pembangunan dibalik, “kuasai teknologi pasca panennya
kemudian kita bicara proses usaha taninya”. Karena dibutuhkan tambahan modal, maka
dibutuhkan lembaga keuangan yang kuat. Lembaga keuangan yang ada selama ini seperti
apa?

Micro finance yang kita lihat selama ini sudah banyak di desa. Teman saya di
Minomartani membuka koperasi simpan pinjam diantara warga perumahan di sekitar
Jogja. Dia punya idealisasi, micro finance yang saya buka ini dalam rangka untuk
menangkal rentenir-rentenir di pasar sekitar, omsetnya sudah sampai 2 milyar lebih
(dalam satu kecamatan di Minomartani). Persoalannya, saya sudah buat seperti ini tetapi
rentenir (pelepas uang) masih banyak berkeliaran. Komentar saya, masyarakat sekarang
ini justru senang, semakin banyak akses kepada uang semakin senang. Kenapa? Karena
ternyata uang yang dipakai disini untuk membayar cicilan disana, dst. Jadi uang itu
muter, belum dalam konteks yang lebih positif. Artinya, dari segi system micro finance itu
sehat. Apakah pada skala individu yang memanfaatkan jasa micro finance juga meningkat
kesejahteraan dan pendapatannya? Penelitian intensif tentang indivisuindividu sebagai
nasabah utama belum dilakukan, sistem kelembagaanya sehat, tunggakan kecil kalau itu
menjadi indikatornya. Oleh karena itu lembaga keuangan yang akan dibentuk tidak bisa
berdiri sendiri sebagai lembaga keuangan. Dalam konteks desa yang kita lihat selama ini,

Menggagas Desa Masa Depan 63


petani/pelaku ekonomi di desa ada didalam berbagai macam “pembinaan”. Ketika petani
bicara masalah teknis budidaya pertanian datangnya ke PPL, beli bibitnya ke lembaga
kredit (BRI), tetapi ketika sudah panen diserahkan kepada pasar bebas, dia harus bersaing
disana. Sehingga yang namanya perlindungan terhadap petani/masyarakat kecil/pelaku
ekonomi kita kelihatannya setengah hati. Pada saat panen PPL sembunyi, dan BRI hanya
bisa mengejar untuk melunasi hutangnya. Artinya kelembagaan ekonomi mikro/keuangan
desa menjadi untungnya sendiri, karena pendekatannya efisiensi, secara teknis harus
untung (saved uang), pokoknya uangannya kembali. Diskusi seperti ini sudah cukup lama,
tahun 80-an ada buku besar dari PSPK tentang Perkreditan Rakyat (almr Mubyarto dan
Gunawan Sumodiningrat) mempertemuankan antara pendekatan efisiensi dan
pendekatan efektivitas. Kita harus memperhatikan yang seperti ini.

Ke depan, secara garis besar lembaga kuangan desa harus integrated. Artinya ini sebuah
boot yang mengakomodasi pelaku-pelaku ekonomi dalam melaksanakan produksi,
pembiayaan sampai pemasaran. Ini yang disebut dengan pemberdayaan yang total, tidak
setengah-setengah. Kami mereka-reka, apakah namanya sustainable rural banking (dari
kacamata teritoritik)? Kenapa sustainable rural banking ? karena hidup matinya
(sustainable) bank, apakah mnicro finance tergantung juga pada roda perekonomian yang
ada, jangan sampai dia melunasi hutangnya bukan karena berdasarkan nilai tambah yang
dia peroleh dari aktivitas ekonominya tetapi dari menjual aset-aset produksi sekedar
untuk melunasi hutangnya. Tawaran untuk diskusi awal, bagaimana sebetulnya
institutional rised membentuk kelembagaan ekonomi yang betul-betul komperhensif,
jangan sampai seperti sekarang, produksi dilepaskan, sampai tingkat pasar dilepas. Ini
awal untuk memancing diskusi lebih lanjut.

Stefan
Saya usul, kita focus ke sektor keuangan di desa, karena cukup luas kalau kita lihat
tantangan di sector riel, keuangan dari sisi pemerintahan desa. Fungsi lembaga keuangan
mikro terutama melakukan intermediasi keuangan di desa, baik bagi orang yang mau
menabung, meminjam untuk tujuan investasi atau working capital apa saja. Jasa ini
penting, lebih luas daripada kredit. Kita memang berfokus pada BUMDes, tidak dalam
sektor keuangan di desa, karena proses mengatur BUMDes sudah cukup maju, sudah ada
Permendagri, karana BUMDes mempunyai potensi untuk menutup kesenjangan supplay-
demand di tingkat desa. Tetapi kita harus hati-hati kalau kita menerimakan kepada
sustainability. Kita perlu pengawasan eksternal, dan kita punya banyak anggota yang
consent tentang itu. Kita bisa belajar, apakah peran bank BPD menjadi penting didalam
manajement BUMDes atau mungkin Bawasda atau ouditor publik ? atau mungkin tidak
perlu karena bank BPD dimasa depan di desa menjadi lebih kuat akuntabilitasnya. Ini
beberapa point yang bisa menciptakan resiko untuk BUMDes, memang dari sisi keuangan
menjadi sustainable. Nanti kita bisa mendengar pendapat dari bapak-bapak.

Untoro
Tanpa membatasi pembicaraan, dan apa yang kita bicarakan disini kerangkanya tidak
lepas dari apa yang tadi dibicarakan. Micro finance dan BUMDes, memang dua hal ini
sangat erat, kalau kita bicara keuangan desa memang sangat luas. Kita dasarnya adalah
pasal 213 UU 32/2004. Sebenarnya dalam PP tetang desa sudah lebih focus lagi, pasal 78-
81…, berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-
undangan yang dimaksud disitu adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang
pedoman tata cara, pembentukan dan pengelolaan badan usaha di desa. Dan untuk Perda
itu dapat disusun, saat ini Dirjen PMD sedang mempersiapkan peraturan mendagri,
mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama bisa dikeluarkan sehingga pada saat
daerah menyusun perda dapat digunakan.

Keterkaitan BUMDes dangan mikro kredit, sekarang di banyak daerah terutama di Jatim
(Trenggalek, Sidoarjo, dll), BUMDes dengan usaha simpan pinjam dan omsetnya sudah

Menggagas Desa Masa Depan 64


besar. Kenapa harus BUMDes? Karena untuk menjawab permasalahan, kalau lembaga-
lembaga keuangan yang ada di pedesaan, dari aspek legal dianggap tidak ada karena
payung hukumnya tidak ada, yang boleh menghimpun dana masyarakat itu hanya bank
atau harus berbentuk koperasi. Tadi disampaikan bahwa justru BUMDes ini yang
jumlahnya puluhan ribu yang non bank dan non koperasi. Depdagri sedang konsen pada
BUMDes, dan khusus untuk lembaga keuangan mikro bulan Oktober 2006 akan
dikeluarkan Peraturan Presiden tentang kebijakan nasional mengenai keuangan mokro
untuk melindungi lembaga keuangan mikro yang nyata-nyata bisa menghadapi pelepas
uang dan jumlahnya banyak untuk bisa beroperasional tanpa dianggap illegal.

Toto
Kami akan memberikan gambaran apa yang telah kami lakukan di Sumedang. Kami
menyikapi bahwa untuk keuangan desa tidak sama dengan BUMDes. Keuangan desa
dikelola melalui APBDes, dari APBDes ke BUMDes, tapi satu sama lain saling mengkait,
bahkan kalau sudah jalan, BUMDes bisa menjadi PAD desa. Ini harus kita ingat supaya
tidak campur aduk.

Pelaksanaan di kabupaten Sumedang, dari yang telah kami praktekkan kami mencoba
mengumpulkan lembaga-lembaga keuangan yang ada di desa cecara partial, karena
BUMDes aturannya/payung hukumnya turun belakangan, sehingga ekonomi yang
tumbuh di desa itu sudah ada, seperti usaha simpan pinjam, UEP PPK, UEP PKK,
lumbung desa, tetapi ini belum dipayungi oleh BUMDes. Kami mencoba mengangkat dari
partial-partial yang ada karena di desa paling tidak ada >5 lembaga-lembaga ekonomi
desa yang bisa dipayungi BUMDes. Ada aturan BUMDes, sementara Perda turun
belakangan, sedangkan keputusan bupati turun th 2003. Dengan regulasi kebijakan dari
atas dapat diarahkan ke sana, seperti ADD (di Sumedang disebut DADU: Dana Alokasi
Desa Umum). Bahkan dana perimbangan desa (ADD) ujinya di Sumedang, sama yang
kami buat. Dari ADD disisihkan harus ada untuk modal BUMDes, tetapi ADD itu masuk
dulu ke APBDes di desa. Jadi tidak serta merta keuangan itu masuk ke BUMDes, baru dari
APBDes masuk ke BUMDes. Setelah terbentuknya BUMDes, dimana pembentukan
BUMDes kami ambil dari partial-partial yang terbaik, diangkat menjadi pengurus
BUMDes, sebab lebih dulu praktek dimasyarakat daripada peraturan. Jadi kita
mengadopsi, kalau kita langsung mengenalkan BUMDesa, nanti partial-partial yang ada di
masyarakat bisa bubar. Oleh karena itu, bagaimana aturan dengan praktek yang sudah
ada. Yang dapat dimasukkan oleh kami ke BUMDes adalah unit simpan pinjam, satu desa
ada 60 juta, bahkan bantuan gubernur (tugas pembantuan) diakses, tapi setelah jalan
menjadi pinjam simpan, banyak pinjamnya, jarang yang simpan, apalagi di pedesaan. Itu
merupakan salah satu unit usaha BUMDes di desa.

Lumbung desa juga merupakan salah satu unit usaha BUMDes. Kemudian untuk pemuda
(karang taruna) untuk penagihan rekening air dan listrik dipayungi oleh BUMDes.
Disepakati, rekening dari masyarakat dilebihkan 1.000. Galian pasir (galian C) juga
dikelola oleh BUMDes, dan usaha lain seperti persewaan hand traktor, pertokoan
(fotocopy, ATK), dan warung nasi. Ini usaha-usaha BUMDes baik yang sedang kami rintis,
ada yang sudah berjalan, dan ada yang masih dalam perjalanan.

Permasalahan. Status badan hukumnya masih PERDES. BUMDes itu harus dengan
Perdes tetapi tidak bisa berhubungan dengan lembaga perbankan karena harus ada akte
notaris. Sesudah Perdes jadi dan BUMDes sudah jalan, manakala go public pihak
perbankan belum merespon. Padahal Perdes itu aturan hukum desa, kedudukannya sama
dengan UU. Contoh ada yang beli trakor dan laku disewakan, mau beli lagi tetapi karena
uang kurang maka harus pinjam ke bank. Tetapi manakala disodorkan ke bank tidak akui,
harus ada akta notaris. NOleh karena itu nanti setelah terbentuk di Perdes, tinggal di akta
notariskan. (aktivitas sudah jalan tetapi payung hukumnya belum ada). Dengan itu maka

Menggagas Desa Masa Depan 65


ada peningkatan pelayanan masyarakat. Sebenarnya fokus (tujuan) dari awalnya adalah
untuk penanggulangan/ pengentasan kemiskinan.

Sofyan
Persoalan, kenapa orang di desa sulit mendapatkan usaha? Salah satunya kurang
mendapatkan akses kredit. Apalagi adanya keharusan aturan dalam BUMDes bahwa yang
melakukan usaha harus berbadan hukum, ini tentu akan sulit, walaupun usaha seperti ini
sudah banyak. Usaha-usaha di desa dilakukan tanpa harus berbadan hukum, bagaimana
usaha-usaha seperti ini yang tidak berbadan hukum bisa memperoleh akses kredit? Juga
usaha yang dilakukan desa, misalnya di desa ada mekanisme lelang tanah kas desa. Ada
12,5 ha tanah kas desa yang didistribusikan kepada petani (hasilnya sekitar Rp. 53
juta/tahun). Kenapa control desa terhadap tanah/petani hanya sebatas persoalan
bagaimana caranya agar tanah ini bisa menghasilkan pendapatan untuk desa, tidak ada
lagi persoalan belas kasih sosial desa terhadap petani. Kalau petani tidak mau
mengubahnya, maka tanahnya diambil. Kita juga harus lihat ini, tidak haya aturan teknis
saja, bukan hanya kebijakan.

Tadi dikatakan lumbung desa juga bisa menjadi badan usaha BUMDes. Ada pengalaman
saya, di satu desa yang kepala desanya punya inisiatif membangun suatu gudang untuk
menampung hasil bumi warga desanya. Persoalannya, rencana pembangunan gudang ini
kemudian diprotes oleh warga, karena gudang yang dibangun diatas tanah kas desa,
sementara kepala desa berpikiran bahwa itu keuntungannya masuk desa, tetapi ini tidak
dimengerti oleh warganya. Mungkin ini control, warga punya pandangan bahwa kepala
desa bisa mengontrol itu untuk kepentingan pribadinya.

Fasilitator
Kalau kita bicara BUMDes, ada mekanisme control dan orientasi kemanfaat pada
masyarakat juga menjadi pertimbangan, tidak semata-mata orientasi bisnis.

Agus
Dalam hal BUMDes, saya mewanti-wanti bahwa kepemilikan BUMDes ini hanya elit desa
(kepala desa dan aparat desa) saja. Jangan sampai nanti BUMDesnya berkembang dan
yang menikmati hanya elit-elit desa saja, tanpa ada kontribusi kepada masyarakat/warga
desa.

Masalah micro finance secara riel ini bagus sekali, dan saya pribadi setuju, tetapi dengan
pertimbangan, bahwa melihat tujuan micro finance sebagai intermediary tabungan dan
kredit, maka saya penekanannya pada tabungan. Apakah betul di desa sudah mampu
untuk menabung? Ini masalah, kalau di desa petani (pertanian) terjadi pelemahan nilai
tukar produk pertanian terhadap produk industri, sehingga pemiskinan akan terus
berlangsung. Kalau kondisi petani yang terus mengalami nilai tukar produknya selalu
melemah, maka dia tidak bisa menabung. Oleh karena itu kalau akan dikembangkan
micro finance harus didasari/diimbangi dengan politik keberpihakan pemerintah
terhadap perlindungan petani yang kehilangan nilai tukar. Tanpa itu, gagasan
intermediary untuk menciptakan tabungan dan kredit di desa mustahil. Dalam diskusi ini,
saya pribadi mengharapkan juga politik keberpihakan yang jelas pada petani. Kalau di
pertanian jelas, hampir tiap masa ada kelemahan nilai tukar terhadap industri. Ada
keberpihakan politik yang melindungi nilai tukar.

Widya
Ada tanah kas desa yang dipakai dengan tujuan kembali ke masyarakat. Selama ini banyak
tanah-tanah kas desa yang dipakai oleh pemerintah pusat seperti untuk kantor polisi,
sekolah, puskesmas, dll, tetapi imbas (pemasukan) ke desa tidak pernah ada. Maksud
saya, hal ini sebenarnya bisa untuk BUMDes. Bagaimana tanah yang dipakai itu dapat
memberikan kontribusi pada desa?

Menggagas Desa Masa Depan 66


Mengenai BUMDes, saya lebih sepakat kalau kita kembalikan pada kearifan local contoh
kasus di Sumedang, kearifan desa disana, masing-masing mempunyai institusi sendiri. Ini
yang perlu dipertahankan (jenis usahanya), jangan sampai ada penyeragaman,
kembalikan saja ke masyarakat karena mereka yang lebih tahu tentang kondisinya
daripada kita.

Sunarti
Menyoroti dari sisi perempuan, bahwa di lapangan 60% pelaku usaha mikro kecil itu
perempuan tetapi mereka kesulitan dalam mengakases kredit, mungkin karena untuk
mendapatkan kredit harus ada agunan, dimana agunan itu banyak dimiliki laki-laki.
Sebenarnya perempuan itu terbukti bahwa pengembalian kredit itu rajin (kemacetan
99%). Hasil studi dari Bank Dunia membuktikan bahwa dengan memberikan pendidikan
pada perempuan (meningkatkan pendidikannya dari SD—SMA) dapat meningkatkan
0,03% GNP, jadi tidak hanya di formal saja tetapi juga non formal. (bagaimana akses
perempuan)

Fasilitator
Saya menegaskan bahwa, kalau itu dikaitkan dengan micro finance bagi salah satu usaha
BUMDes, artinya harus ada perhatian khusus terhadap perempuan, termasuk skema
kreditnya. Pengalaman ini sudah ada dimana-mana. Belajar dari pengalaman itu, harus
ada skema khusus untuk kebutuhan-kebutuhan perempuan agar bisa memberikan nilai
tambah.

Adnan
Negara ini tidak sekedar memproteksi desa tetapi harus affirmative action sudah saatnya
dilakukan, karena sepertinya yang bicara desa itu hanya Depdagri sementara departemen
yang lain tidak pernah melakukan affirmative terhadap desa. Misalnya kasus UU
Perbankan, UU Koperasi tidak ada yang menyentuh sampai ke masyarakat desa. Studi
LP3ES sekitar 10 th yll (dipimpin pak Dawam), menunjukkan bahwa akses masyarakat
terhadap pengambilan keputusan di desa, 70% dikuasi elit desa. Jangan-jangan yang kita
diskusikan ini apa yang sebenarnya menguntungkan elit desa. Kalau tidak, saya kira
Indonesia sudah makmur, saya lihat petani juga semakin parah, misalnya soal pupuk,
bagaimana kebijakan subsidi pupuk? Lebih parah lagi, 60% desa-desa di Jawa
(Indramayu hanya 10% yang mengambil keputusan di desa itu) termasuk soal ekonomi,
(terjadinya dept capital), juga soal tanah-tanah mati sehingga jangan salahkan orang
Indramayu menjadi PSK di Jakarta, karena ada problem seperti ini. Semua ini
pendekatan insidental, tidak dari daerah. Usulan, semuanya harus affirmative, harus lebih
jelas, sudah harus menyangkut pada politik perUUan yang lebih konkrit terhadap desa.
Walaupun Depdagrinya jungkir balik, tetapi departemen lainnya pro liberalisasi pasar,
untuk apa? Tetap saja petani mati, kalau pupuk di lepas dipasar bebas, petani kita hancur.
Tidak usah bicara partisipasi, ya tunggu 15 tahun lagi Negara kita ini sudah selesai.

Firsty
Kita ada di 2 kutub yang sangat berlawanan, paling tidak ada suatu realita yang kita
harapkan, pada sisi lain ada harapan kita apa yang seharusnya. BUMDes itu sesuatu yang
bagus, tetapi bagaimana menyikapi BUMDes sehingga bisa sesuai dengan realitanya.
Contohnya di seminar 2 hari ini, kita sepakat tidak ingin menjadikan desa sebagai objek.
Apakah dengan BUMDes, apapun bentuknya, apakah desa terutama masyarakat desa
menjadi pemasaran produk-produk termasuk produk perbankan ? Dalam kegiatan ini,
apakah mereka menjadi objek atau subjek? Bagaimana kita menyikapinya? Skema kredit,
termasuk dari BPR pun atau MF yang paling kecil sekalipun selalu ada persyaratan-
persyaratan yang sangat sulit diakses terutama oleh kaum perempuan, atau mereka (di
desa) yang bahkan tidak punya KTP. Otomatis mereka yang tidak punya KTP tidak bisa
punya akses ke bank, bagaimana menjembataninya?

Menggagas Desa Masa Depan 67


Jenis usaha, afirmatifnya seperti apa?, perlu ada koordinasi dengan sector-sektor yang
lain, jangan sampai itu hanya urusannya PMD. Bagaimana masyarakat bisa
memanfaatkan potensi yang ada didesanya untuk menjadi usaha itu terhalang oleh
aturan-aturan sektoral yang lain, misalUU kehutanan. Itu nanti justru akan menjadi
konflik. Masih ada PR-PR bahwa dari tingkat nasional sampai ke desa yang sampai
sekarang masih menjadi problematic, belum terselesaikan.

Suharman
Saya merespon tentang BUMDes dengan membandingkan kita dulu pernah punya KUD.
Saya sepakat dengan teman-teman bahwa jangan sampai kita nanti menjadi paket
kebijakan, tiap desa harus muncul BUMDes, ini tidak pas, harus kita lihat kemampuan
desa menjalankan BUMDes, jalan tidak? Indonesia itu tidak hanya Jawa, bagaimana di
daerah lain (Kalimantan)? Apakah mereka sudah mampu untuk mengalami proses
monoterisasi, bagaimana memperlakukan uang sebagai pelaku bukan object? Itu yang
harus kita perhatikan. BUMDes jangan sampai menjadi instrument/kapitalisme di desa
yang akan memporakporandakan tatanan di bawah. Jadi sistem ekonomi kerakyatan ini
yang harus kita kawal. Kalau nanti BUMDes masuk harus dibungkas dalam sebuah proses,
yang nanti akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat, bukan sebaliknya menjadi
instrumen pengisap kekayaan. Unit usaha BUMDes harus yang realitas muncul, bukan
dipaksakan muncul, karena nanti yang terjadi hanya papan nama saja.

Persoalan tentang micro finance, kami sudah meneliti tentang rentenir sampai saya
mengkritisi kebijakan bupati Bantul, saya menulis “Bupati versus rentenir”. Kenapa?
karena bupati menggunakan bank pasar (beroperasi pada level pasar-pasar desa), dia
jalan menggunakan mekanisme bank, tetapi rentenir tidak membutuhkan itu, cukup
“kamu jualan disitu, ini cukup Rp. 10.000, nanti kembali sekian”. Bagaimana “bank”
menurunkan kadar formalitasnya mendekati pola-pola rentenir? “kalau rentenirnya
masuk angin, dikerokin juga sama yang ngutangi!”. Ini kan lintah darat yang sangat
manusiawi. Mekanisme/trust seperti apa yang dibangun oleh rentenir sehingga mereka
membangun jariangan cukup kuat? PSPK dengan Pemda Ngawai sedang membangun
kerjasama untuk mencari pola-pola dasar (skim) dari micro finance. Karena selama ini
dana yang dikucurkan dari atas sampai ke bawah variasinya sangat luar biasa, mana yang
kira-kira pas? Seperti yang disampaikan mas Untoro, bahwa nanti akan ada Perda. Justru
kami akan menggunakan instrument itu sebagai sodoran, kenapa Pemda Ngawi tidak
gunakan BUMDes untuk mengatur micro finance di desa? Ini menarik untuk coba
diaplikasikan. Kami berani menjamin bahwa itu pasti akan ada banyak ganjalan, karena
terbukti (dari LP3ES) bahwa yang menguasai perekonomian desa hanyalah segelintir
orang, dan betul-betul menjadi bagian dari supra ekonomi desa. Kasus yang menarik, ada
seorang ibu yang membuka penggilingan gabah di kecamatan Pleret, dia punya cukup
banyak beras dan dibagikan ke petani tetangganya, tetapi tetangganya itu ditanya “apakah
beras itu sudah sampai?” Dan mereka tersinggung, sehingga dikembalikan. Kemudian si
ibu mendatangkan poliklinik di rumahnya, siapa mau berobat, silahkan gratis. Saya
berpikir, bagaimana seorang penggilingan beras bisa mendatangkan poliklinik dari luar
untuk buka prakatek di sini, hanya sekedar untuk menunjukkan bahwa dia itu bukan
hanya orang yang bisa membagian beras, tetapi juga bisa mendatangkan poliklinik.

Tentang kehutanan, 2 tahun terakhir saya bergulat dengan petani hutan dan desa-desa
yang mengepung hutan itu miskinnya luar biasa sehingga mereka menjarah hutan. Kita
coba memakai kelompok tani hutan, dan ternyata kendalanya sama yaitu persoalan
landasan hukum. Karena dulu surat Mentri Kehutanan berkali-kali ganti sampai sekarang
tidak ada kepastian tentang itu. Nanti hutan di Jawa juga habis karena kita tidak bisa
mengelola ekonomi desa hutan. Saya menggarisbawahi bahwa: (1) jangan sampai
BUMDes itu justru menjadi instrument bagi capital besar yang menghisap desa dan (2)
BUMDes jangan sampai menjadi sebuah instruksi yang wajib dialkukan di tingkat desa
tanpa ada kegiatan yang riel di masyarakat itu. Kerangkanya harus ekonomi kerakyatan.

Menggagas Desa Masa Depan 68


Edward
Untuk mengatasi monopoli kepemilikan, bentuk yang tepat untuk dasar hukum BUMDes
adalah koperasi. Saat ini dalam UU baru dimana koperasi sudah diakui sebagai badan
hukum yang legal untuk bisa mengakses ke bank, yang cirinya adalah ekonomi yang
berpihak pada rakyat. Untuk bisa mengoptimalkan peran BUMDes, kabupaten (melalui
bupati) harus mengalokasikan dananya (berapa % dari APBD) untuk pengembangan
ekonomi yang dialokasikan untuk modal BUMDes. Kemudian dimana mikro finance
masuk? Tadi dikeluhkan bahwa permasalahnya tidak bisa akses ke bank. Bisakah
bupati/walikota memberikan jaminan kepada pengusaha-pengusaha kecil yang dinilai
layak untuk meminjam ke bank. Kalau itu bisa, maka tidak akan ada masalah rentenir.
Tetapi jangan sampai BUMDes itu komersil, tapi juga berfungsi social (visi dan misi jelas).

Yusuf
Saya sepakat bahwa harus ada mekanisme control untuk mengatur posisi modal. Karena
ujung-ujungnya siapa yang berkuasa atas BUMDes? Apalagi ini rentan terhadap sumber
daya bersama, misalnya hutan. Permasalahn kredit sudah sejak lama, UKM kurang bisa
mengakses kredit bank, maka perlunya disini bagaimana bisa menjembatani ? Fungsi
utama BUMDes adalah (1) fungsi social, (2) harus ada kedaulatan rakyat (kedaulatan
pangan terhadap sumber daya bersama).

Untoro
Kami menyusun PP itu berdasarkan kondisi di lapangan. Mengenai tanah kas desa, di
Sidoarjo justru tanah kas desa ini yang digunakan sebagai modal BUMDes, tidak dijual.
Prinsipnya, Depdagri bertangungjawab terhadap LKM-LKM yang non bank dan non
koperasi. Ini yang di back up oleh GTZ ProFI, karena koperasi ada keterbatasannya hanya
dari, oleh dan untuk anggota, sementara kalau bank kelemahannya pada persyaratan.
Justru Depdagri bertujuan menembus kebuntuan untuk mengatasi itu. Alur tembusnya
melalui pasal 213 UU 32/2004 dan PP 72/2005, disitu menyebutkan tentang jasa
keuangan. Kalau pasar desa itu jelas merupakan kekayaan desa. Nanti konsekuensinya,
kalau itu kekayaan desa harus dikembalikan ke desa karena banyak pasar desa yang sudah
berkembang justru diambil kabupaten.

Mengenai hutan. Prinsipnya, hutan itu milik Negara dan dikelola Negara, dan pusat hanya
kebijakan. Pengelolaanya bagaimana? Itu diserahkan daerah. Celakanya dengan
diserahkan ke daerah justru banyak dijumpai illegal logging. Di dalam PP 72/2005
disebutkan bahwa pembentukan BUMDes disesuakan kebutuhan dan potensi desa, tidak
dipaksa. Yang dimaksud kebutuhan dan potensi desa ada 4 (empat) hal yaitu (1)
Kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok, (2) tersedianya
sumber daya desa yang belum dimanfaatkan secara maksimal terutama kekayaan desa,
(3) tersedianya sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai asset
penggerak perekonomian masyarakat dan (4) adanya unit-unit usaha masyarakat yang
merupakan kegiatan ekonomi warga masyarakat yang dikelola secara paksa dan kurang
terakomodasi. Usaha-usaha ekonomi masyarakat yang kurang terakomodasi, kurang
terpayungi secara hukum, itu yang kita lindungi.

“Bupati vs rentenir” di Bantul. Informasinya di Bantul BPRnya maju, usaha ekonomi desa
simpan pinjam juga maju, bahkan assetnya sudah 1 milyar, seharusnya sudah jadi BPR
tetapi tidak mau, jadi BUMDes saja. Sampai sekarang dari > 4500 BUMDes, tidak ada
satupun yang mau menjadi BPR. Ini juga diakui oleh Bank Indonesia. Kepemilikan, jelas
dikelola oleh pemerintah desa (sebagai penasihat) dan masyarakat. Pengawasan
dilakukan oleh BPD dan Bawasda sepanjang bantuan modal/aset2 daerah). Dan
pengawasan keuangan oleh auditor independent. Jangan sampai kalau bisnis itu sudah
kapitalis, ekonomi masyarakat itu juga boleh bisnis.

Menggagas Desa Masa Depan 69


Barori
Masalah kelembagaan, kepastian hukum, koperasi itu bukan bank. Sebagaimana bank
yang lain, apakah di BUMDes ketika terjadi pailit ada yang bisa bertangung jawab? Ini
problematik yang tidak bisa diputuskan dalam forum ini.

Suharman
Simpan pinjam itu justru controlnya social, masyarakat langsung control. Ketika masih
pada skala kecil tidak apa2. (tanggung renteng)

Fasilitator
Kenapa PMD berani ? mungin karena ada support dari GTZ Pro FI.

Stefan
Mengenai perlindungan tabungan, sedikit susah untuk LKM karena asetnya terlalu kecil.
Pengawasan juga kuat seperti bank. Solusinya, LKM hanya berfungsi seperti handle
agency, mereka menerima uang di masyarakat, kemudian di deposit (tabung) di bank
(fungsi intermediasi). Seperti ini ada linkage program, kalau berfungsi seperti ini otomatis
ada perlindungan. Prinsipnya, dasar hukum LKM harus ada, sehingga mereka dapat
berhubungan secara legal dengan bank.

Fasilitator
Prinsip yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa usaha itu harus berpihak pada rakyat
dalam kerangka ekonomi kerakyatan. Kalau sekarang ada pintu/jendela yang disediakan
seperti LKM. Bagaimana keamanannya? Kalau nanti pintu masuknya hanya ke bank, apa
bedanya? Ini merupakan hal kritis yang perlu menjadi perhatian kita. Ini menjadi rambu-
rambu. Kalau kita lihat draft UU LKM, salah satu problemnya itu. Apakah ini
perpanjangan tangan, kalau asetnya sudah sekian juta harus menjadi BPR? Maka tawaran
koperasi itu mungkin menarik, tapi koperasi seperti apa?

Toto
Saya mendukung ibu dari pemberdayaan perempuan, karena survey membuktikan bahwa
kredit usaha simpan pinjam yang dilaksanakan oleh perempuan lebih baik daripada yang
dilaksanakan oleh laki-laki. Tiga ketua UPK di kecamatan adalah perempuan, asetnya
sudah 1 milyar lebih. Jadi perlu disisipkan, lebih memberdayakan pada perempuan.
Mengenai BUMDes perlu ditambah dengan: 1) fasilitasi (dari Depdagri), 2) pelatihan dan
3) pendampingan (bisa dari Depdagri kontrak sarjana yang ada didesa sehingga bisa
merekrut tenaga kerja di pedesaan).

Widya
Bagi saya, jangan disamaratakan perempuan itu lemah. Karena ketika micro finance itu
memudahkan kredit bagi perempuan justru nanti akan melemahkan perempuan. Dalam
micro finance harus ada rambu-rambu yang jelas.

Adnan
Kebijakan tata pembaharuan desa termasuk micro finance harus link and match dengan
upaya pengentasan kemiskinan. Kalau ini membahayakan harus ditolak.

Sunarti
Contoh pengalaman di Malaysia, bagaimana cara mengelola kredit mikro. Pemerintah
Malaysia pernah memberikan dana untuk taskin tetapi dikelola sendiri. Apa yang terjadi?
Mereka tidak mengembalikan karena mengaggap “itu uang rakyat”. Strateginya,
pemerintah bekerjasama dengan NGO, uang dari pemerintah diberikan langsung kepada
NGO untuk dikelola. Dan rakyat/masyarakat tidak lagi menganggap bahwa itu uang
rakyat, sehingga mereka rajin mengembalikan.

Menggagas Desa Masa Depan 70


Fasilitator
Kesimpulan diskusi :
• Identifiaski pengalaman terkait dengan bagaimana pengembangan ekonomi desa
melalui BUMDes dan LKM. Dari pengalaman itu, di masyarakat lokal tentu sudah
banyak program-program yang terkait dengan dua hal itu.
• Problematika: selama ini masyarakat kecil khususnya perempuan tidak mendapat
fasilitasi yang cukup, tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah khususnya
pengembangan UKM (tidak ada “proteksi market”). Dan ada anggapan bahwa
uang dari pemerintah tidak perlu dikembalikan.
• Tidak ada aspek payung legal : koperasi dan bank
• Akses terhadap modal dan informasi rendah
Ini semua merupakan problem kemiskinan yang ada di desa. Kita mencoba membuat
tawaran dengan dua institusi yaitu BUMDes yang salah satu didalamnya ada micro
finance sebagai alternatif pengembangan ekonomi desa.

Rambu-rambu BUMDes atau MF seperti apa?


• dilihat dari basis pada kemampuan dan pengalaman desa agar tidak dibentuk
berdasarkan penyeragaman, harus dibentuk berdasarkan aktivitas riel,
• harus ada badan hukum yang jelas dengan orientasi kerakyatan,
• ada alokasi dari dana APBD,
• ada kejelasan tatalaksana manajemen,
• ada pengawasan yang jelas,
• ada kejelasan hukum berbasis pada potensi ekonomi rakyat,
• ada mekanisme control dalam pelaksanaan dan mengedepankan manfaat untuk
rakyat (kesejahteraan rakyat),
• kepemilikan oleh rakyat, menghindari kooptasi elit
• harus memberi ruang dan bertumpu pada inisiatif dan kearifan local,
• memberikan perhatian pada masalah-masalah perempuan,
• sebagai affimative action, termasuk affirmative action lintas sektoral, sebagai
pengembangan ekonomi desa untuk menghindari pertarungan modal besar
• menjadi subjek dalam peksanaan pelayanan bukan menjadi objek, perpanjangan
tangan usaha-usaha besar (bank) atau usaha lain,
• ada regulasi (peraturan) yang mendukung sehingga usaha pengembangan
ekonomi desa ini bisa berlanjut,
• Perlu adanya MONEV dalam pelaksanaan.

Dari sisi LKM atau BUMDes, selain usaha bisnis harus ada:
• pemberdayaan: bentuk bisa fasilitasi, pelatihan, dan pendampingan maupun
pemberian modal
• berfungsi sebagai intermediasi (LKM)
• harus diikuti dengan keberpihakan politik yang jelas
• khusus untuk LKM ada skim khusus kredit yang dekat dengan rakyat (belajar dari
rentenir)
• ada jaminan afalis (kalau dibutuhkan) dari pihak-pihak tertentu untuk
menghindari akses modal yang rendah
• ada mekanisme dan komposisi kepemilikan modal yang jelas

Semua itu tidak boleh lepas sebagai sebuah upaya sistemik dalam pengentasan
kemiskianan.

Menggagas Desa Masa Depan 71


5. Kelompok: TATA HUBUNGAN DESA DENGAN SUPRA DESA

Fasilitator : 1. Haryo Habirono – FPPD


2. Riawan Tjandra – UAJ Jogjakarta
Peserta : Prof. Sadu–STPDN, Jayus-UNEJ, Nurwafi-BPD, Steny-HUMA,
Wa’i-Lakpesdam, , Franky-AMAN, Elke Rapp-DRSP, Salini-DSF,
Ibnu–Unibraw, Azam-Pemdes Kebumen, Toro-STPMD “APMD”,
Widyohari-STPMD “APMD”, Widya-FPPM, Irwan-Letmindo/GTZ
Aceh

Fasilitator
Ibu dan bapak sekalian, terima kasih atas kehadirannya di ruangan ini, kita akan
bersama-sama menindaklanjuti diskusi yang sessi kedua tadi, topik kedua mengenai tata
hubungan desa dengan supra desa. Dua pembicara Pak Prof. Sadu dan Pak Ibnu Tricahyo
hadir bersama kita, nanti eksplorasi lebih jauh bisa kita lakukan. Untuk itu, sedikit
semampu saya membuat catatan ini ada beberapa point yang tadi juga telah disampaikan
oleh moderator, bahwa:
• pengaturan desa itu menjadi sangat penting,
• otonomi itu bentuknya bagaimana?
• representasi desa itu bagaimana?
• persoalan kedudukan desa. Tadi ini masih ada beberapa perbedaan kedudukan
desa di dalam UUD 1945 yang diamandemen dengan kedudukan desa di dalam UU
32/2004 ini beda. Artinya kalau Pak Ibnu ingin mengatakan secara tata
kenegaraan UU 32/2004 itu salah demi hukum, kan begitu.., inkonsistensi, untuk
tidak mengatakan salah.
• konsep-konsep perwakilan daerah.

Ini tadi diskusi yang berkembang yang kita bahas di sessi kedua, sementara di dalam
kepanitiaan disini ada beberapa kisi yang mungkin juga mudah dipandu-arah diskusi kita,
sesuai saja, saya kira dengan yang kita bahas tadi. Bagaimana seharusnya pengaturan
hukum mengenai desa? Dalam bingkai NKRI sebaiknya dihapus saja dulu. Terus
hubungan desa dengan supra desanya itu sendiri, hubungan kerja, pola kerjanya
bagaimana.....

Saya kira itu, nanti diskusi akan berkembang lagi, kami persilahkan kalau ada yang ingin
berkontribusi, berpendapat. Silahkan kalau ada yang ingin berkontribusi menindaklanjuti
hal itu, supaya out put yang kita hasilkan dari diskusi kelompok ini adalah bagaimana
mempermudah kita dalam rangka membantu kita semua, khususnya Depdagri dalam
rangka menyusun naskah akademik tentang pengaturan mengenai desa, dalam konteks
tata hubungan desa dengan supra desa. Pak Sadu sudah panjang lebar, Mas Ibnu sudah
panjang lebar, kalau saya beri kesempatan lagi dia akan presentasi lagi. Kalau Pak Sadu
ingin menambahkan point-point yang lebih tegas, melengkapi apa yang sudah
disampaikan tadi, kami persilahkan saja.

Sadu
Terima kasih, karena tadi waktunya pendek, mungkin saya sampaikan, tapi yang penting
kita bicarakan adalah desa sebagai kesatuan masyarakat hukum, bukan hanya sekedar
pemerintah desa. Dalam pengertian desa itu sendiri kita harus tahu ada pemerintah desa,
BPD, dan ada komunitas-komunitas tertentu. Jadi kalau bicara tentang pembangunan
ekonomi dan sebagainya lebih banyak berkait dengan komunitas-komunitas itu. Tetapi
yang terjadi dalam praktek, yang penting yang harus dirubah, desentralisasi dari
pemerintah pusat itu seakan menimbulkan sentralisasi kekuasaan di pemerintah daerah,
juga ditangan pemerintah desa. Jadi ini dilema, padahal kalau kita mau bicara
desentralisasi ya daerah dan desa, cuma desentralisasi dalam konteks desa ini arahnya
kemana, dibuat mengambang, dari dulu saya tidak tahu ini kemana dan kaya apa.

Menggagas Desa Masa Depan 72


Desentralisasi kepada daerah jelas, desentralisasi kepada desa itu bentuknya seperti apa,
fungsi-fungsi yang sudah dijalankan oleh desa. Merupakan suatu keharusan kalau kita
membiarkan desa seperti bentuk-bentuk yang lama, dia menjadi mata rantai yang
terlemah dan akan tersisihkan.

Saya menawarkan gagasan, waktu itu Gubernur Jawa Barat bicara tentang provinsi
termaju di Indonesia. Saya ngomong sama gubernur itu akan menjadi omong kosong
kalau desanya tertinggal, akhirnya gubernur setuju. Ada beberapa di kabupaten yang
seperti Sumedang dan Bandung, saya lihat visi dari kepala daerah dalam membangun
kabupaten berbasis desa, dan itu bisa nampak dari diberikannya ADD yang besar juga
program-programnya. Barangkali ini bisa menjadi semacam model. Cuma nanti kembali
kalau kepada kedudukan organisasi yang tidak jelas, kemudian siapa yang mau bekerja di
desa? Padahal kita bayangkan ada pemberian kewenangan yang besar, anggaran banyak,
tapi orang yang bekerja di desa adalah orang-orang yang mohon maaf kalau saya katakan
tidak berkualitas. Kalau saya ngomong begitu mungkin tersingggung, tapi kalau kita lihat
data..., karena orang-orang desa yang berkualitas sudah tidak mau jadi perangkat desa,
kalau dulu masih ada pengganti asusila, sekarang tidak ada, larinya pengganti ekonomi.
Nah ini akan menjadi dilema, pegawai desa itu kedudukannya seperti apa? Ini sampai
sekarang tidak jelas. Saya bertanya, apakah pemerintah desa adalah organisasi
pemerintah sesungguhnya? Dia menjalankan fungsi-fungsi, kewajiban-kewajiban
pemerintah, tapi kedudukannya tidak jelas, dia tidak digaji, tidak boleh memungut pajak
dan retribusi atas dirinya sendiri, yang dipungut adalah iuran, kemudian begitu selesai ya
selesai tidak ada pensiun. Ini barangkali masalah pokoknya disini

Widyohari
Saya nyambung Prof, mungkin untuk memperkuat kedudukan tadi saya sepakat dengan
Pak Ibnu, bahwa undang-undang tentang Desa kedepan harus diinikan. Jadi desa
mengatur tentang kedudukan desa itu sendiri, sehingga bisa mengatur tentang
pengaturan dan kedudukan desa, bisa mengatur pilkades yang baik. Ini lebih memberi
peluang, munculnya undang-undang desa dan itu akan mendorong juga kedudukan desa
yang lebih jelas, otonomi desa yang sebenarnya juga akan semakin jelas.

Fasilitator
Jadi supaya kita lebih fokus, mengenai Undang-Undang tentang Desa ini, saya harus
informasikan karena ini informasi juga saya dengar dari orang yang harus saya percaya
yaitu dari Depdagri sendiri, sudah ada komitmen politik bersama Komisi II DPR bahwa
kedepan akan ada Undang-Undang tentang Desa. Paling sedikit per-Oktober Mendagri
mendapat PR dari Komisi II DPR untuk menyerahkan atau mempresentasikan draf awal
naskah akademik. Jadi sebelumnya, saya tidak tahu, kayaknya sebelumya membuat
undang-undang tanpa naskah akademik, nah ini menjadi babak baru. Dan untuk desa
diminta naskah akademik. Pertemuan ini dimaksudkan dalam rangka mengisi,
memberikan masukan sekaligus itu adalah ajang advokasi kita dalam penyusunan naskah
akademik mengenai desa.

Franky
Menurut saya tidak hanya regulasi, tetapi juga kebijakan yang lebih konkret. Kalau tidak
salah SK Menteri Kehutanan menjelaskan soal masyarakat hukum adat, artinya sudah ada
regulasi mengenai keberadaan dan peran masyarakat adat, hanya hal itu tidak
dilaksanakan, buktinya sudah ada tapi pemerintah daerah tidak bisa apa-apa, khususnya
untuk pengaturan.

Fasilitator
Saya potong sedikit. Ini kayaknya konteks yang kita bahas berbeda. Masyarakat hukum
dengan masyarakat hukum adat berbeda. Mohon maaf, bukannya masyarakat adat tidak
prnting, tapi memang ini hal khusus yang dibicarakan mestinya dalam ruang dan waktu

Menggagas Desa Masa Depan 73


yang khusus. Kita sedang membicarakan masyarakat hukum, apakah disitu adat istiadat
masyarakat yang tradisional masih ada atau tidak ada lagi desa, ini agak beda.

Sadu
Kalau dilihat dari jenisnya ada tiga: 1) Desa Geneologis, dimana desa yang masih
homogen, adatnya masih kuat, tipe 2) Desa Campuran yang adatnya sudah mulai pudar,
dan 3) Desa Teritorial yang adatnya sudah tidak jalan karena masyarakatnya heterogen.

Franky
Artinya itu mementahkan diskusi kita yang kemarin dengan Pak Eko, Pak Eko cukup jelas
membuat tipologi desa dari hasil-hasil studinya. Kalau kita mengembalikan self
community governance apa gunanya kita diskusi tentang itu lagi. Itu sudah ada usulan
dari kawan-kawan.

Fasilitator
Ya, ada self community governance, local self governance, ada local state governance. Nah
sekarang kita ingin fokuskan supaya kita mencapai apa yang tadi dilontarkan Pak Sadu
dan Pak Ibnu, Pak Prayitno mengenai kedudukan desa.

Azam
Terima kasih, saya kebetulan dari orang pemerintah, sudah jenuh juga. Dari dulu desa
deperti ini terus, yang namanya kaur pembangunan selamanya kaur pembangunan, yang
namanya sekdes sampai mati tetap sekdes. Kita pernah mencoba pada penyusunan perda
2004, kami melontarkan bahwa ada garis dalam struktur pemerintahan desa, kaur umum
dengan prestasi yang bagus bisa menjadi sekdes. Ini saya antisipasi kalau terjadi suatu
permasalahan hukum, katakanlah sekdes terkena masalah norma sosial, tidak serta merta
langsung kita berhentikan, bisa dengan penurunan pangkat, ada sanksi disitu.

Dalam undang-undang nanti, ini mungkin kita bahas asas-asasnya saja, jangan terlalu
detail, masa jabatan tidak usah diatur, kemudian struktur organisasipun jangan diatur.
Jadi namanya desa nanti akan ada lima perangkat, lima struktur itu bebas saja. Karena
kalau semua sudah diatur, itu menjadikan aspirasi ini apa artinya. Sekarang saya
melakukan perubahan perda, kami mengundang sembilan ratus dua puluh orang, dari
legislasi, kecamatan. Usulan-usulan dari masyarakat banyak dan bagus dan itu saya
masukan, tapi kita juga jelaskan juga usulan anda tidak bisa masuk kesini karena nanti
akan berbenturan dengan peraturan. Akhirnya hal itu menjadi kekhawatiran dari
masyarakat itu sendiri oleh UU 32/2004. Artinya mekanisme ini tolong, dari bawah, step
by step, dan ini membuat undang-undang yang akan dilaksanakan dan bersifat nasional.
Konsultasi publik saya tahu, tapi itu masih kurang, minimal kalau ada sekian provinsi,
jadi semua provinsi bisa mengetahui kalau ada proses.

Elke
Usulan tadi bagus sekali, kita kembali ketiga tipe desa, untuk melihat struktur apa akan
dipakai, apakah local self governance, local state governance, atau self community
governance, apakah ini semua? Apa dan bagaimana struktur yang akan dilaksanakan.
Kalau ada self gonernance kita harus lihat peran kecamatan, apakah masih perlu atau
mungkin dengan badan kerjasama antardesa atau langsung kabupaten. Kalau ada desa
langsung dari pemerintahan, mungkin struktur ini akan berbeda lagi. Kalau kita mulai
dari tingkat desa, saya pikir apa konsekuensinya.

Fasilitator
Kalau tadi kita bicara tentang otonomi itu mungkin akan menjadi berbeda dengan yang
kemarin. Kita diskusi mengenai local state government, local self government, dan self
government community. Ini lalu memang tipikal otonominya menjadi berbeda.

Menggagas Desa Masa Depan 74


Diharapkan dalam diskusi kelompok ini bagaimana nanti itu diatur dalam undang-
undang yang baru.

Nurwafi
Terima kasih, kami sebenarnya dari desa selalu memberikan masukan-masukan yang
positif mengenai keberadaan lurah-desa. Itulah yang mungkin bagi kita selaku orang desa
akan lebih mencerminkan hak-hak kita di semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara akan lebih terjamin? Sehingga kalau akan diturunkan sebuah undang-undang
atau tidak, bagi kami orang desa sebenarnya tidak tertalu prinsip, yang prinsip bagaimana
hak-hak, asas-asas yang sangat prinsip bisa kita terima sebagai hak, sehingga tidak perlu
menyangkut nanti apakah undang-undang atau hanya sekedar revisi bukan hal yang
seperti dulu lagi, penyeragaman. Kemudian sentralistik, yang diharapkan adalah hak-hak
prinsipnya yang diperoleh. Kaitannya dengan posisi desa dengan supra desa, kabupaten
atau kecamatan bagaimana unsur-unsur itu sebagai fasilitator, selama ini hanya
instruktur, komando. Soal aturannya tidak perlu terlalu ‘jlimet’.

Fasilitator
Saya ingin klarifikasi dari Pak Wafi, bagaimana otonomi desa yang disebutkan dalam
konteks pemerintahan kabupaten, apakah yang disampaikan berdiri lepas dari sistem
pemerintahan kabupaten atau masuk sebagai sub-sistem pemerintahan kabupaten? Kalau
Pak Ibnu tadi tidak mengatakan, tapi beberapa waktu sering mengatakan otonomi desa itu
kan otonomi di dalam otonom.

Nurwafi
Prinsipnya, kami tidak terlalu pusing apakah sebuah bagian dari pemerintah daerah atau
berdiri sendiri, yang penting prinsip-prinsip sebagai sebuah desa itu tercover. Jadi kalau
nanti dibawah atau bagian langsung dari kabupaten, selama bisa memberikan suatu
jaminan-jaminan hak desa bagi kita tidak terlalu prinsip. Atau sebaliknya, kalau memang
terpisah dan itu lebih memberikan keleluasaan terhadap hak-hak kita sebagai orang desa
maka itu akan lebih bisa menjamin bagi desa. Oleh karena itu memang selama ini punya
pengalaman bahwa bagian dari kabupaten adalah kecenderungan-kecenderungan
yang...istilahnya desa itu sangat tergantung kepada kabupaten, sehingga berhasilnya desa
itu kuncinya memang di tingkat kabupaten.

Steny
Saya hanya melanjutkan apa yang sudah dikemukakan, sangat bagus menyangkut
perbedaan antara desentralisasi kepada desa dan desentralisasi kepada daerah. Kepada
desa itu kira-kira berdasarkan pengakuan mungkin lebih mirip dengan Pak Ibnu bahwa
kepada desa itu berdasarkan hak. Kemudian kalau bicara soal desa berdasarkan
pengakuan maka saya baru membayangkan kalau desa yang kita bicarakan kemarin, self
governing community memang seperti yang dikatakan Pak Sadu, bicara kualitas
sumberdaya manusia itu penting, tapi saya justru melihat itu jangka panjang. Saya hanya
mau menghubungkan saja konsensi yang sudah dibicarakan itu dengan rencana atau
kemauan kita kedepan. Coba berusaha lagi melihat dinamika seperti apa yang sudah
dibangun selama ini pasca UU 22/99 dan pasca UU 32/2004. Saya kira desa dan
pemerintah kabupaten tidak menerjemahkan kedua UU itu lurus-lurus seperti apa yang
kita bayangkan, mungkin dalam pikiran normatif, tapi pasti ada asas-asas penting atau
dinamika-dinamika lokal penting yang kira-kira akan keluar menjadi argumentasi kita di
level nasional, apa mau kawan-kawan di level bawah. Nah itulah yang saya kira butuh
kerja lebih keras lagi, dan saya kira kawan-kawan dari pemerintahan desa ada disini,
mereka punya suara dan bicara soal dinamika lokal seperti apa yang sudah mereka buat.

Saya ambil contoh dibeberapa desa misalnya mereka buat perdes, dan perdes itu sulit kita
bayangkan dalam hal kewenangan. Dalam UU di level nasional misalnya justru dikatakan
sebagai kewenangan pusat atau daerah, tapi oleh perdes kemudian bisa diambil alih oleh

Menggagas Desa Masa Depan 75


kewenangan desa. Itu dinamika lokal dan yang begitu jelas kebutuhan dari bawah, lalu
mau kita apakan dalam konteks kewenangan dalam struktur yang mau kita
implementasikan? Saya hanya mau mengatakan satu hal penting yang sering keluar dalam
self governing community selama ini, adalah keinginan mereka misalnya kalau ada orang
luar masuk, atau kalau ada investasi, perijinan dan sebagainya masuk, yang merupakan
kewenangan pemerintah kabupaten memberikan ijin, maka kira-kira awalnya harus
melalui persetujuan dan ijin mereka. Saya kira bisa menjadi rekomendasi kita kedepan
bagaimana mengatur hubungan antara komunitas-komunitas lokal yang disebut self
governing community dengan pemerintah daerah. Jadi impian saya kalau kita bicara dari
self governing community maka pembicaraan soal hak otoritas mereka itu menjadi salah
satu muatan dalam UU kalau kita mau merekomendasikan.

Jayus
Sebenarnya persoalan desa itu kembali lagi pada persoalan konstitusi, sepanjang
konstitusi itu tidak menempatkan desa menjadi yang harus diatur dalam konstitusi maka
selamanya tidak akan menjadi keharmonisan. Kedua, bahwa struktur desa tidak akan bisa
dilepas dari persoalan kabupaten. Seandainya ada gagasan untuk melapaskan, saya tidak
punya suatu keyakinan apakah pembuat UU nanti berkenan, kalau sudah bicara persoalan
dilepas pasti saya akan berpikir beda lagi. Ketiga, kalau tadi menjadi sebuah muatan yang
akan menjadi bagian dari peraturan daerah saya justru sangat sependapat. Oleh karena itu
didalam UU nanti yang hendak diatur adalah hal yang dianggap penting secara umum
dalam UU tentang desa, tapi hal yang tidak ada dalam bagian dari UU itu perlu diatur
dalam perda, karena perda dalam satu kabupaten dengan kabupaten lainnya tidak sama.
Dengan satu pengertian bahwa ini mengadopsi tiga hal tadi. Jadi self governing
community itu berlaku untuk daerah mana, dan lainnya untuk daerah mana. Pemerintah
provinsi dan kabupaten sudah harus bisa melihat itu. Oh, kami cocok menggunakan ini
dan seterusnya. Saya kira begitu aja.

Fasilitator
Kalau saya menangkap, orang akan mengatakan ini semacam cek kosong, artinya kita
menyerahkan pengaturan desa kepada kabupaten atau provinsi, begitu? Provinsi lebih
umum, kabupaten lebih khusus lagi, lebih spesifik lagi. Nah ini nanti juga akan
menimbulkan persoalan baru.

Wa’i
Terima kasih, saya merasa bahwa pembicaraan ini sebenarnya mengenai tarik ulur antara
support yang diberikan oleh supra desa dengan kemandirian desa. Titik temu atau
kompromi antara support dengan titik kemandirian desa itulah yang sebetulnya menurut
saya belum ketemu. Memang desa memiliki perangkat organisasi yang seperti dimiliki
oleh kabupaten, taruhlah ada kebijakan-kebijakan yang harus ditempatkan proporsinya
secara tepat, misalkan mana yang menjadi institusi desa sendiri dengan institusi sektoral
di tingkat kabupaten. Ini juga yang kemudian harus dimasukan dalam kebijakan
bagaimana menumbuhkan desa dalam struktur ini. Jadi antara otonomi desa dengan
segala kemampuannya meskipun tadi Prof mengatakan bahwa pada realitasnya SDM di
desa sangat memprihatinkan, karena di banyak desa program-program desa disusun atau
dirumuskan hanya oleh institusi di atasnya, dan banyak pegawai kecamatan menyusun
program desa dan dirumuskan setelah ada ketentuan atau ketetapan mengenai APBD.
Jadi mereka tidak bisa menyusun program dengan kolom-kolom yang kosong. Anda itu
tidak bisa merusmuskan sendiri, setelah tahu desa itu dapat berapa baru bisa. Ini
menyedihkan dari satu sisi aspek kemandirian. Pada sisi yang lain kemudian memang
bersilangan dengan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya sektoral di tingkat kabupaten,
meskipun itu birokrasi di tingkat desa. Contoh di diskusi kemarin soal inpres, pendidikan
dan sebagainya, ini desa kita yang menggaruk gatal ditubuh sendiri tetapi muternya itu
harus kemana-mana dulu. Jadi ini nanti secara aspek politis juga harus dipertimbangkan
bahwa desa sebagai satu kesatuan hukum memiliki aspirasi (dalam musrenbang dan

Menggagas Desa Masa Depan 76


sebagainya), pada sisi lain masyarakat desa juga sebagai konstituen dari partai politik. Ini
ada dua jalur yang sebetulnya bisa dimainkan oleh masyarakat desa. Itu mungkin yang
saya bisa katakan bahwa titik kompromi itu yang belum ketemu.

Fasilitator
Pertama yang ingin disampaikan, bagaimana kedudukan desa itu dalam otonominya,
kemudian berkaitan dengan SDM di desa yang lemah, itu kan diawal pembicaraan tadi
Prof Sadu menyampaikan bahwa desa itu sebagai obyek politik terus dan selalu
dimarginalkan, tidak pernah ada pemberdayaan yang konkret baik dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Meskipun Direktorat Jenderal PMD yang mengenai desa ini
sudah lebih dari tiga puluh tahun, tapi ya begitu saja. Nah ini persoalannya sekarang, saya
ingin bertanya, apakah dengan otonomi desa itu lalu SDM akan segera up-grade atau
sebenarnya sekarang ini kondisinya didalam UU juga PP 72/2005 atau kemarin ada
Kepmendagri 64/1999 yang diacu untuk pengaturan mengenai desa, pemberdayaan-
pemberdayaan itu sudah ada, tapi tidak pernah terlaksana, tidak pernah serius
dilaksanakan. Kembali pada SDM, karena tujuan akhir dari RUU Desa adalah bagaimana
desa itu dengan otonominya bisa bangkit dan mandiri. Ini peran pemerintah, bagaimana
kepada desa? Kalau tadi Wafi sudah menyebutkan sebagai fasilitator. Mas Toro silahkan.

Sutoro
Mengulang yang kemarin, mempermudah saja supaya tidak campur aduk. Pertama, sebut
saja yang namanya Self Governing Community itu sebagai desa adat atau desa geneologis,
disamakan sajalah. Kedua, adalah Local Self Government itu yang namanya desa umum
atau desa teritorial. Ketiga, Local State Government adalah desa administratif atau
kelurahan, jadi kategorinya jelas. Nanti masing-masing pilihan ini akan mempunyai
konsekuensi terhadap administrasi, kepegawaian, hubungan dengan supra desa dan
seterusnya, itu bisa kita petakan secara jelas.

Tadi Mas Franky dari AMAN, dia sedang berbicara tentang desa adat, kemudian Mas
Wafi, Pak Azam bicara tentang desa otonom, karena pengalamannya Jawa, yang menurut
saya sudah siap didorong untuk menjadi desa yang otonom. Karena pengalamannya
sudah lebih baik, BPD-nya sudah lebih siap, mereka bisa menyesuaikan dengan
perkembangan zaman dan seterusnya.

Sekarang mengenai desa otonom, artinya desa harus lepas dari kabupaten meskipun ada
hirarki tapi tidak seperti yang sekarang menjadi bagian atau sub-sistem pemerintah
kabupaten. Saya agak kurang setuju dengan Prof. Sadu yang selalu membedakan antara
otonomi pemberian dengan otonomi asli. Menurut saya istilah itu sekarang sudah tidak
relevan, otonomi pemberian itu sama dengan konsep bantuan, jadi konsep bantuan itu
sudah kita tolak, ganti konsep alokasi. Nah sekarang yang namanya konsep pemberian
harus diganti dengan konsep pembagian atau penyerahan, itu artinya yang namanya
penyerahan, alokasi atau pembagian itu berarti desa punya hak. Oleh karena itu dalam
konteks ini kalau kita lihat UU 32/2004 pasal 1 ada bunyi ”Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi menjadi wilayah provinsi dan kabupaten”. Hanya berhenti disitu, kalau
kita mau mendorong desa yang otonom maka NKRI dibagi provinsi, kabupaten, dan desa.
Itu posisinya jelas, jadi dia sebagai desa yang otonom tapi tidak bisa semua desa di
Indonesia kita perlakuan sama. Kemudian tugas pemerintah yang lebih tinggi
memfasilitasi, membina, melakukan supervisi, pembinaan kapasitas dan seterusnya.

Sadu
Apapun yang kita lakukan kepada desa tentu terkait dengan sistem pemerintahan
nasional. Ini yang kita hadapi sekarang dalam UUD 1945 pasal 18A dan 18B.
Pertanyaannya adalah apakah konstitusi ini yakin menjadi modelnya pemerintah? Ini
harus jelas dulu, jangan sampai kita membuat UU bertabrakan dengan konstitusi. Kedua,
harus konsisten dengan sistem di tingkat nasional. Kalau nasional pakai umum satu-dua-

Menggagas Desa Masa Depan 77


tiga ya harus konsisten, tapi kalau pakai size ada besar-sedang-kecil ya konsisten. Tapi
pertanyaannya tadi 18A-18B itu dipisahkan. Saya juga bingung, kalau semua bisa jadi
satu, itu yang mesti didudukan dulu karena berangkatnya dari situ. Soal istilah, tadi saya
terima kasih diberikan saran, nanti saya pikirkan.

Kemudian SDM lemah itu kembali dari organisasi yang tidak jelas, kalau organisasi ini
jelas kita bisa membuat sistem seleksi, hak dan kewajibannya jelas. Kalau desa itu tidak
jelas. Dulu lebih banyak pada penghargaan-penghargaan sosial, sekarang penghargaan
sosial tidak ada, yang dikejar harga ekonomi, jadi larinya pada penghasilan. Kalau dulu
orang itu rebutan jadi kepala desa karena gengsinya luar biasa-status sosial, sekarang
tidak kesitu yang dikejar, jadi ya kita harus menyesuaikan diri dengan kondisi, hanya
sekali lagi jangan membuat aturan yang berlaku untuk seluruh desa padahal ada
kategorisasi yang cukup tajam. Desa-desa yang adatnya masih kuat berikan kesempatan.
Seperti dulu ada di Sumatera Barat rancu, dulu dia punya kekayaan besar kemudian
dipecah-pecah, sekarang mau disatukan lagi sudah tidak bisa, akarnya sudah tercabut.
Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang kedua, penyeragaman kemudian merusak
akar-akar yang ada. Kecuali desa-desa yang memang masyarakatnya sudah sangat
heterogen, adat sudah tidak lagi punya kekuatan. Kalau Bali saya lihat meskipun sudah
modern tapi adatnya-agama masih kuat, makanya dia membedakan ada desa dinas dan
desa adat. Urusan desa adat orang lebih patuh ketimbang desa dinas. Orang diundang
adat tanpa alasan yang jelas, dia bisa ditolak di-aben disitu, meninggal harus cari tempat
lain, kuatnya begitu. Jadi kalau kita diundang dalam kegiatan adat tanpa alasan yang jelas
tidak datang, ia kehilangan hak-hak sosial, makanya mereka menghargai betul pada adat.

Sutoro
Saya kira pasal 18B itu sudah ketinggalan zaman. Kalau kita menerima pasal 18B semua
self governing communty saja, tidak perlu ada pemerintahan, tidak perlu ada
administrasi.

Steny
Konkretnya, tadi sudah disinggung dan bicara soal tata hubungan desa dengan supra desa,
peran pemerintah sebagai fasilitasi, supervisi. Saya mau menambahkan saja, persoalan
selama ini yang sering terjadi adalah kita kurang mencermati kewenangan administrasi
pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten begitu besar di level desa. Dari sekian ijin
yang diberikan di Indonesia, sebagian besar obyek perijinan adalah pertambangan,
perhutanan dan sebagainya dan itu ada di wilayah desa. Bagaimana dengan yang begitu,
apakah diteruskan seperti itu saja atau perlu ada suatu klausul atau satu peran juga yang
boleh kita katakan sebagai negosiasi perijinan yang juga dimiliki oleh pemerintah desa
terhadap ijin-ijin yang masuk ke wilayah desa, karena konfliknya disitu. Kalau tiba-tiba
ada orang datang bawa secarik kertas bahwa saya akan membuka tambang disini lalu
masyarakat desa terima sampahnya, apakah kita kemudian hanya bicara soal presentase,
keuntungan untuk desa sekian, kabupaten sekian atau bicara pada level yang lebih
mendasar, perijinan itu juga harus melibatkan mereka dalam persetujuan.

Fasilitator
Kalau dalam UU 22/99 pasal 110 ada pihak ketiga yang ingin membangun atau
mengeksploitasi desa itu harus mendapat persetujuan dari masyarakat desa melalu kepala
desa dan BPD.

Nurwafi
Di PP 72/2005 itu malah lebih jelas, itu bukan harus, intinya satu yaitu wajib, bunyi
pasalnya wajib. Setelah wajib pihak kepala desa dan BPD dan juga lembaga
kemasyarakatan disitu harus stakeholders dulu yang memutuskan ya atau tidak, itu
difasilitasi di pasal berikutnya. Jadi sebelumya stakeholders harus dikumpulkan dulu,
kalau tidak ada upaya-upaya hukumnya.

Menggagas Desa Masa Depan 78


Fasilitator
Dalam konteks diskusi kita ini posisinya ada dimana, apakah hubungan desa dengan
warga desanya?

Steny
Itu hubungan dari pemerintah daerah sama pemerintah pusat. Jadi saya kira memang
kawan-kawan dari desa yang lebih tahu persis, disitukan ada di UU tapi tidak diterapkan.

Fasilitator
Kalau tidak diterapkan itu persoalannya juga banyak orang tidak baca, ditaruh didalam
meja, jadi tidak pernah tahu padahal ada. Soal ADD, soal hak-hak desa itu ada, hanya
orang desanya sendiri... Ini tugas kita semua terutama pemerintah daerah bagaimana
memfaslitasi orang baca, kalau kita tanya kenyataan di lapangan, padahal sosialisasi
sudah sekali-dua kali.

Nurwafi
Salah satu kelemahan adalah sanksi, hal itu perlu menjadi sebuah pemikiran yang lebih
jelas, biar nanti kalau terkait dengan desa, hak-haknya belum maksimal bisa diupayakan.

Fasilitator
Ya, itu berkaitan dengan sanksi, mekanisme keluhan, bukankah begitu?
Sekarang saya hanya ingin mengingatkan waktunya, kalau masih ada ide-ide, kalau
kiranya cukup, saya ingin mengundang salah seorang teman untuk mempresentasikan
hasil diskusi kita. Nanti kita akan bantu merapikan hasil-hasil. Apa ada relawan..

Jayus
Alangkah bijak kalau kita mau mencoba membaca hal baik dan tidak baik dari peraturan-
peraturan UU yang pernah ada, karena saya yakin didalam UU 32/2004 ada yang baik
dan ada yang tidak baik, UU 22/99 demikian pula, UU 5/79 saya pikir itu bagus
kontruksinnya cuma persoalannya pada sentralistis, coba kita lihat th 65, kita lihat lagi th
48. Itu akan menjadi sebuah muatan disamping adanya persoalan, itu yang pertama.
Kedua, Pak Toro selama belum ada amandemen, tetap saja bunyi pasal 18 juga tidak akan
berubah.

Fasilitator
Oleh karena itu, kemarin kita sudah mengangkat seorang bapak kedudukan desa.

Elke
Saya hanya ingin, apa bisa ditulis dalam flipchart topik-topik yang akan disampaikan?

Fasilitator
Apakah ini perlu saya tuliskan?

Sutoro
Saya kira perlu Pak dituliskan garis besarnya.

Fasilitator
Saya kira ini cukup, nanti dalam diskusi pleno presentasi, kita masih akan terus
menambahkan. Untuk itu kita cukupkan sekian dulu diskusi kita. Saya minta mas Wafi
bersama kami melengkapi ini.

Menggagas Desa Masa Depan 79


Benang Merah Pemikiran :

• Kedudukan desa dalam konstitusi dan derivasinya.


• Bentuk otonomi dan kewenangan desa mencakup hubungan desa dengan supra
desa
• Bentuk organisasi ---) berkaitan dengan SDM.
• Konsistensi implementasi dari policy, fasilitasi, capacity building menyangkut
desa

Deskripsi singkat :
1. Pengaturan relasi antara desa dengan supra desa tetap harus mengacu pada dasar
konstitusi dan derivasinya. Ada pendapat yang melihat pasal 18A konstitusi justru
sebenarnya menjadi dasar untuk mendesain desa otonom dan 18B sebagai basis
pengaturan bagi desa adat.
2. Tipologi desa perlu dicermati dalam mendesain pengaturan mengenai kedudukan
desa dalam state.
3. Perlu ada ruang yang jelas bagi desa dalam kewenangan perijinan. Bahkan, sangat
penting pula desa diberikan legal standing dan kemampuan menjalankan class
action dalam judicial process.
4. Bentuk organisasi desa perlu disesuaikan dengan karakteristik dan tipologi desa.
Hal ini berkaitan dengan desa otonom dan desa adat.
5. Diperlukan adanya konsistensi implementasi dari policy, fasilitasi, capacity
building menyangkut desa.

8.2. Presentasi Hasil Diskusi Kelompok

Hari/Tanggal : Senin, 3 Juli 2006


Pukul : 16.00 – 17.00
Moderator : M. Barori

1. Presentasi Kelompok: OTONOMI DAN KEWENANGAN DESA


Disampaikan oleh: Kamardi

• Masalah Kewenangan desa: Pilihan tentang posisi desa sejauh ini belum jelas,
tetapi forum lebih banyak menaruh perhatian pada posisi desa sbg local self
government.
• Otonomi dan kewenangan harus diberikan kepada desa, karena desa merupakan
wilayah yang menjalankan pemerintahan, pembangunan dan tatanan kehidupan
masyarakat dan budaya lokal.
• UU 32/2004 sejauh ini belum banyak ditindaklanjuti oleh kabupaten dalam
menjamin desa memiliki otonomi. Oleh karena itu, agenda kedepan adalah
mendorong kabupaten untuk menyusun perda dan program untuk mewujudkan
desa yang memiliki kewenangan yang jelas dan mendorong kemampuan mereka
untuk menjalankan kewenangan tersebut.
• Selama ini good will pemda masih dipertanyakan karena banyak ide tentang
kewenangan muncul di pusat, tetapi di daerah tidak direspon dengan baik dan
cepat.
• Selain jaminan kewenangan, ke depan perlu penguatan kapasitas desa untuk
mampu menjalankan kewenangan (aparat dan masyarakat) dengan baik.
• Salah satu tolok ukur desa mampu menjalankan kewenangan adalah mampu
menyusun dan menjalankan peraturan desa secara konkrit.

Menggagas Desa Masa Depan 80


• Untuk merumuskan kewenangan desa, perlu disusun indikator dan acuan
pengembangan otonomi desa melalui pentahapan, mekanisme, dan dukungan
administrasi keuangan dan kelembagaaan.
• Perlu penataan ulang (khususnya di pemerintahan pusat) tentang pemberian
kewenangan kepada desa yang tidak konsisten antar sektor (menghindari
tubrukan antar sektor).
• Berdasarkan pengalaman, perlu adanya kewenangan yang luas bagi desa, dalam
kaitan itu khususnya desa adat punya akses mengelola di SDA dan urusan
komunitas nilai-nilai (roh, atau dimensi kultural). Sementara itu pihak kabupaten
lebih berkaitan dengan urusan keadministrasian.
• Berkenaan dengan kewenangan desa dalam kelola dan penyelesaian masalah.
Terdapat bukti bahwa desa mampu mengurusi urusannya sendiri, seperti misalnya
dalam kasus mengelola peradilan informal. Problemnya adalah masih ada masalah
benturan legalitas karena peradilan formal belum mengakomodasinya. Oleh
karena itu, masalah kewenangan desa mengatur peradilan informal harus diakui
dan sekaligus disinkronkan dengan peradilan formal.
• Perlu pengkajian tentang masalah otonomi asli dengan belajar dari sejarah
perkembangan desa. Oleh karena itu pula, masalah kewenangan desa harus
memperhatikan konteks daerah masing-masing
• Agenda ke depan, perlu adanya kepastian melalui regulasi atau kebijakan yang
membuat bahwa otonomi desa dengan kewenangannnya tersebut tidak
dimanipulasi oleh kepentingan elit desa.
• Dan dengan demikian, desa masa depan ditandai oleh adanya otonomi desa yang
berorientasi pada penjaminan kesejahteraaan dan keadilan dalam bingkai yang
lebih demokratis dan partispatif.

Moderator
Kita tuntaskan dulu kelompok ini, jadi kalau ada tanggapan dari kelompok demokrasi
desa, silahkan.

Tanggapan

Datu
Kita mau menambahkan sedikit untuk BPD, beliau tadi ada keinginan BPD dipilih
langsung oleh masyarakat, bagaimana jalan keluarnya? Menurut PP 72/2005 itu 5-11
orang. Saya dari Limapuluh Kota, kami ada 7 jorong, bagaimana keterwakilan kelompok
lain, pemilihan itu bagaimana bentuknya, 1 jorong ada penduduknya 700, ada juga 1500
orang, pemilihannya tentu per jorong, bagaimana keterwakilan, biasanya kalau ada
pemilihan kita perhitungkan aspek kemasyarakatan. Datuk kita kumpulkan lalu kita pilih
wakil, ulamanya kita kumpulkan lalu kita pilih satu, menurut Perda Sumbar kalau
penduduknya 1600 maka wakilnya ada 16 orang, lebih dari 1600 s/d 3000 21 orang, lebih
besar dari 3000 25 orang, terdiri 5 unsur dari cerdik pandai, 5 unsur dari nini mamak, 5
unsur dari bundo kandung, 5 unsur dari pemuda, 5 unsur dari pemuda. Menurut PP
72/2005 dibatasi 5-11, ini bagaimana menurut pendapat Bapak?

Dahlia
Agenda ke depan, perlu adanya kepastian melalui regulasi atau kebijakan yang membuat
bahwa otonomi desa dengan kewenangannnya tersebut tidak dimanipulasi oleh
kepentingan elit desa. Bagi saya regulasi atau kebijakan itu sudah ada yang
mengakomodir, jadi tidak perlu regulasi baru, hanya perlu good will dari semua unsur,
regulasi tidak terlalu banyak, kita kembalikan ke masyarakat.

Bapak
Seandainya akan memekarkan diri itu bagaimana?

Menggagas Desa Masa Depan 81


Alit
Terkait dengan aturan/perda setempat, saya sampaikan bahwa pasal 206 UU 32/2004,
artinya perda yang baru mengacu ke UU khususnya pasal 206, sehingga nanti yang
menjadi hak asal usul itu tidak diintervensi lagi. Masalah regulasi, bagaimanapun akan
memberikan cipratan langsung, kalau regulasi tersumbat maka UU tidak akan jalan.

Toto
Hak asal usul di pasal 206 UU 32/2004, lalu pemerintah membuat perda yang baru, perlu
ditambahkan, bahwa BPDnya tetap seperti semula. Barangkali pemerintah kabupaten
tetap mengacu UU 32/2004 dan PP 72/2005.

Kamardi
Kalau belajar di UU 32/2004 ini frustasi juga, contoh di penjelasan, yang dimaksud Badan
Permusyawaratan Desa adalah BPD dalam UU no 10, jadi seolah sama. Soal jumlah, dulu
ada kelipatan dari jumlah penduduk, bagaimana kita menghindari dominasi elit desa,
substansi adalah menghindari elit desa, tetapi bagaimana partisipasi dan demokrasi di
masyarakat. Soal pemekaran ini dijamin oleh UU, pemekaran itu semata-mata untuk
pelayanan publik, tetapi kembali jangan sampai pemekaran itu kemauan elit desa.

2. Presentasi Kelompok: DEMOKRASI DESA


Disampaikan oleh : Ade

Kisi-kisi:
1. Demokrasi yang paling cocok untuk ditawarkan bagi pengaturan desa di
Indonesia?
2. Fungsi lembaga-lembaga yang mampu mengusung/melaksanakan demokrasi desa
3. Kendala-kendala yang penting diperhatikan

Demokrasi yang cocok bagi desa:


• Inclusive demokrasi perlu menjadi pertimbangan utama dalam rangka
membentuk self community governance yaitu suatu kondisi dimana masyarakat
dapat terlibat secara luas dalam proses pengambilan keputusan.
1. BPD sebagai tool untuk check and balances
2. Harus mengacu pada analisis kebutuhan desa
3. Keterwakilan lembaga kemasyarakatan lainnya

Fungsi lembaga-lembaga:
• Lembaga di desa terdiri dari lembaga formal dan non formal
• Fungsi lembaga desa bervariasi: sebagai fungsi legislasi, kontrol dan pelaksana
• Bentuk diserahkan pada kearifan dan keunikan lokal dengan acuan dari pusat
• Lembaga itu harus mampu mewakili semua aspirasi masyarakat
• BPD dan lembaga kemasyarakatan yang ada harus ditopang dengan capacity
building yang memadai

Kendala-kendala:
• Keterbatasan partisipasi masyarakat antara lain karena ssstem yang belum
mendukung (structural)
• Kendala cultural (misalnya budaya patrialistik, sikap elitis, pandangan pragmatis)
• Fokus pada Pemda dan desa masih sebatas pada pembentukan lembaga, belum
menyentuh bagaimana membangun essensi check and balances
• Kemampuan ekonomi masyarakat yang bervariasi berkorelasi pada tingkat
partisipasi

Menggagas Desa Masa Depan 82


• Trauma pengalaman berdemokrasi yang tidak memihak kepada kebutuhan
masyarakat, tetapi baru sebatas pada elit-elit desa

Tanggapan

Widyohari
Anggaran Pilkades masuk APBN dan turun melalui APBD, untuk menghilangkan jago itu
membiayai sendiri, sehingga netralitas calon kades, bagaimana APBD itu membiayai juga.

Datu
Pertanyaan masih ada yaitu desa masa depan itu seperti apa?

Ibnu
Demokrasi yang paling cocok tentang pengaturan desa di Indonesia, selama ini yang
mengatur pusat dan kabupaten, mekanisme demokrasi seperti apa untuk jalan keluar,
karena kabupaten yang mengatur desa tidak ada representasi desa mewakili desa saat
membuat perda. Mekanisme di pusat sudah ada, saat pusat membuat UU maka disana
sudah ada DPD yang mewakili daerah, apakah tidak kita pikirkan semacam Dewan
Perwakilan Desa yang mewakili desa untuk membuat perda?

Masalah dengan Syamsudin Haris yang dipreteli, tapi bukan dipreteli dalam pembaruan
tatanegara, tapi itu pembaruan tatanegara karena dibentuk BPD yang melaksanakan
fungsi legislasi. Problem demokrasi selanjutnya adalah dalam melaksanakan tugasnya
dengan tata cara yang demokratis, karena demokrasi itu menghendaki prosedural,
menghendaki lembaga-lembaga yang kompetansi di situ, bagaimana lembaga di desa,
kades, BPD sinergis, sinergi ini yang perlu dirumuskan dengan baik. Itu perlu
dinormakan, sehingga demokrasinya bisa berjalan. Menormakan ini tidak bisa seragam,
oleh karena itu kita perlu menemukan kearifan-kearifan. Biaya pilkades itu kecil, yang jadi
mahal itu money politic, bagaimana kita membuat regulasi desa dengan memangkas itu?

Bapak
Format kelembagaan itu, yang penting mendesak pemerintah di atas desa untuk
menjamin nilai-nilai lokal, sedangkan masalah bentuk kelembagaan itu sudahlah.

Bapak
Apa yang digambarkan Pak Ibnu seolah-olah desa itu menjadi satu kesatuan dengan
kepala desanya. Tadi Pak Ibnu lebih menekankan soal perwakilan desa di DPR, ini
sebetulnya ada gejala yang sudah muncul dengan paguyuban-paguyuban pamong desa,
tapi tidak serta merta mewakili desa, problemnya adalah masyarakat desa yang selalu
terus menerus menjadi marginal yang ditinggalkan kepala desanya yang menjadi
kepanjangan tangan pemerintah di atasnya. Kalau akan ada dewan perwakilan desa justru
konsolidasi kepala desa berhadapan dengan kepala desa di tingkat bawah. Contoh di
Jepara, kades menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa. Bahwa DPD itu tidak
cukup mewakili masyarakat, maka ditopang dengan mekanisme lain yang berangkat dari
inisiatif masyarakat sendiri.

Ibnu
Itu bukan wakil pemerintah desa, tetapi institusi yang mewakili desa. Kabupaten
membuat perda ada yang merepresentasi desa, yang saya usulkan itu DPD, tapi ad hoc
saja, mekanismenya terserah, bisa pemilu atau yang lainnya.

Marhaban
Waktu kita merumuskan demokrasi kita kembali ke sejarah demokrasi itu, government
for the people. Tadi ada kerancuan dengan sistem yang berlaku di nasional dengan

Menggagas Desa Masa Depan 83


kabupaten/kota, contoh kepala desa minta untuk ikut jadi pengurus partai politik dan
negara menolak dengan tegas. Self Governing Community itu dikaitkan dengan
demokrasi bagus sekali, karena dalam institusi demokrasi itu adalah membangun
komunitas politik tetapi non praktis. Harus ada kemudahan-kemudahan demokrasi di
tingkat masyarakat, kalau masyarakat tidak demokratis itu akan menjadi fasisme. Di desa
itu ada deliberatif demokrasi, itu budaya demokrasi kuno yang disebut open deliberation,
masyarakat berkumpul untuk memutuskan berbagai hal. Kalau Dewan Perwakilan Desa
itu saya dukung, soal check and balance itu tidak kita khawatirkan, kalau kulturnya sudah
bagus dan mandiri maka itu bisa dikendalikan. Kita harus tempatkan demokrasi good and
clear governance di tingkat II karena di situ ada konstituen political. Penguatan
kelembagaan, demokrasi harus dimulai dari yang terendah, keluarga, masyarakat.

Hari/Tanggal : Selasa, 4 Juli 2006


Pukul : 14.00 – 15.15
Moderator : Sumarjono

3. Presentasi Kelompok: ADD (ALokasi Dana Desa)


Disampaikan oleh: Dahlia

• Sebagian besar kabupaten enggan (keberatan) melaksanakan kebijakan ADD


• Akses masyarakat untuk mengetahui informasi PP dan ADD sangat terbatas
• Masyarakat desa belum jelas dengan sumber-sumber pendapatan desa
• Ada 3 faktor penghambat pelaksanaan ADD yaitu:
− Kapasitas potensial desa yang belum siap
− Keterbatasan APBD (PAD)
− Masalah politis yaitu tarik ulur kepentingan politik di daerah
• Ada pengalaman desa yang sudah menyiapkan kelembagaan (sistem) dan bisa
berjalan dengan baik
• Terlalu kakunya pengelolaan ADD oleh kabupaten
• Pengelolaan ADD semestinya mutlak oleh desa, diatur oleh Perda
• Semestinya ADD tidak identik bagi hasil, karena ADD adalah dana perimbangan
• Perlu pedoman umum dari pemda, tetapi aturan teknis dilakukan desa
• Mengkaitkan antara ADD dengan penguatan kapasitas kelembagaan desa
• Tidak perlu ada pembatasan yang rigit dalam kelola ADD, tetapi harus ada rambu-
rambu umum yang prinsip
• Proses perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian dari ADD harus partisipatif,
melibatkan seluruh elemen masyarakat
• Informasi penggunaan dana harus transparan (diumumkan kepada publik) dan
ada mekanisme pertanggungjawaban pada publik
• (Pengalaman Ngada): tidak semua desa diberikan ADD, sesuai dengan kebutuhan
dan kriteria yang jelas terutama pemetaan bagi desa yang diprioritaskan
mendapatkan ADD
• Perbedaan persepsi antar sektor di level kabupaten atas ADD
• ADD hendaknya diintegrasikan dengan APBDes (RPJMDes)
• Problem-problem dari PP perlu ditindaklanjuti dengan Perda
• Manipulasi atas ADD akan membunuh partisipasi desa
• Perlu memetakan best practice untuk menjadi referensi dan replikasi, tetapi perlu
memperhatikan konteks daerah dan desa
• Perlu intervensi positif (kebijakan) oleh pemerintah pusat
• Perlu membangun kesadaran kritis atas kelola uang berbasis loan and project

Menggagas Desa Masa Depan 84


• Perlu pendidikan bagi masyarakat untuk advokasi pada level kabupaten, dalam
kebijakan ADD
• Perlu ada penguatan kapasitas aparat dan kelembagaan serta elemen-elemen
masyarakat desa dengan pendekatan partisipatif
• Perlu ada intervensi dari pusat tentang batasan alokasi yang akan diberikan ke
desa supaya dana yang dikucurkan ke desa mencukupi untuk pembangunan di
desa
• Perlu ada komitmen yang lebih besar lagi di tingkat nasional. Ketentuan 10% dari
APBD tidak cukup.
• Perlu ada audit independen (dipilih masyarakat) dari stakeholders

Moderator
Kelompok diskusi ADD telah membuat kesimpulan-kesimpulan terkait dengan
pelaksanaan ADD yang belum seluruh kabupaten/kota melaksankan ADD, melakukan
kritik dan usulan-usulan agar ADD dapat dilakanakan dengan baik. Saya persilahkan
tanggapannya.

Tanggapan

Ibnu
Kita ini menggagas desa masa depan. mulai kemarin rumusannya desa diatur dengan UU
tersendiri, artinya desa tidak lagi inheren dalam kabupaten. Dengan demikian ADD
menjadi problem, karena ADD itu 10% dari dana kabupaten, kalau desa diatur sendiri
maka tidak boleh diatur dalam perimbangan kabupaten, ini konsekuensi pilihan yang kita
lakukan, kalau kita ambil 10% itu hanya acuan tetapi APBN yang membiayai, karena desa
itu sudah di bawah negara.

Marhaban
Kita di PMD, wacana ini muncul dalam kerangka pemberdayaan, delegasi dan wewenang
tanpa resources itu adalah omong kosong. Ini memang berbenturan dengan tata negara.
Ini memang dalam perspektif yang mikro, Pak Ibnu melihat makro dari hukum tata
Negara. Menurut World Bank agar uang tidak nyangkut di elit, maka 80% langsung ke
masyarakat, ini memang strategi pemberdayaan.

Dahlia
Kalau desa tidak inheren dalam kabupaten maka tidak bisa mendapatkan ADD, bagi saya
kalau sudah tidak inheren maka PP itu akan gugur.

Moderator
Untuk selanjutnya saya persilahkan kelompok tata hubungan desa dengan supra desa.

4. Presentasi Kelompok:
TATA HUBUNGAN DESA DENGAN SUPRA DESA
Disampaikan oleh: Nurwafi

Diskusi kita adalah hubungan antara desa dengan supra desa dalam NKRI, yang kami
sampaikan ini hanya pokok-pokoknya saja.

Benang Merah pemikiran yg perlu dipresentasikan dlm pleno:


• Kedudukan desa dalam konstitusi dan derivasinya.
• Bentuk otonomi dan kewenangan desa mencakup hubungan desa dengan supra
desa
• Bentuk organisasi pemerintahan desa berkaitan dengan SDM.

Menggagas Desa Masa Depan 85


• Konsistensi implementasi dari policy, fasilitasi, capacity building menyangkut
desa.

Deskripsi singkat :
6. Pengaturan relasi antara desa dengan supra desa tetap harus mengacu pada dasar
konstitusi dan derivasinya. Ada pendapat yang melihat pasal 18A UUD 45
(konstitusi) sebenarnya menjadi dasar untuk mendesain desa otonom dan 18B
sebagai basis pengaturan bagi desa adat.
7. Tipologi desa perlu dicermati dalam mendesain pengaturan mengenai kedudukan
desa dalam negara.
8. Perlu ada ruang yang jelas bagi desa dalam kewenangan perijinan. Bahkan, sangat
penting pula desa diberikan legal standing dan kemampuan menjalankan class
action dalam judicial process.
9. Bentuk organisasi desa perlu disesuaikan dengan karakteristik dan tipologi desa.
Hal ini berkaitan dengan desa otonom dan desa adat.
10. Diperlukan adanya konsistensi pemerintah pusat dan daerah dalam praktek
pelaksanaan setiap kebijakan, fasilitasi, capacity building yang menyangkut desa.

Moderator
Desa menjadi obyek supra desa, namun sudah ada kebijakan pemerintah yang mengarah
ke kepedulian terhadap desa, walaupun secara yuridis formal belum nampak. Untuk
kelompok lain silahkan tanggapannya.

Tanggapan

Tumpak
Kalau bicara hubungan desa dengan supra desa maka akan terkait dengan kewenangan.
Di UU ada kewenangan atributif, delegatif dan kewenangan lain-lain, di UU 32/2004 itu
diatur urusan wajib, pilihan, koncuren. Ini harus diperjelas dulu landasan akademik kita
apa? Di dalam inter government relation, jelas ada 3 model yaitu: 1) inklusif otorelation,
2) separated, dan 3) overlap. Yang inklusif itu ada hubungan antar desa yang harus
melaksanakan, tetapi untuk hubungan desa dengan supra desa ini harus tegas. Separated
itu maksudnya adalah ada pembedaan yang tegas antara kabupaten, provinsi, pusat
sampai dengan aturan main keuangannya. Ketiga overlap, dimana desa tidak boleh
mengklaim bahwa ini kewenangannya, semua level harus bertanggung jawab untuk
mengatasi itu. Untuk kelompok ini harus clear model mana yang akan diadopsi.

Kasmuin
Pasal 33 UUD 45, Bumi, tanah, air dan udara dikuasai negara dan digunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Saya kira pasal ini pasal yang tidak dirubah, yang
terjadi adalah dengan otonomi selama ini SDA sudah cepat habis, saya tidak bisa
membayangkan otonomi itu diberikan di desa tanpa ada pemberdayaan di desa. Yang
harus kita pertegas adalah otonomi yang berpihak masyarakat desa dan ada jaminan
untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Moderator
Silahkan untuk dijawab

Wafi
Logika berpikirnya di balik, kenapa justru ada eksploitasi, karena dulu tidak pernah
melibatkan desa maka akan terjadi kehancuran-kehancuran itu. Justru dengan otonomi
desa, setiap eksploitasi akan melibatkan masyarakat desa. Saya justru berpikir optimis
akan memberikan kemakmuran.
Menggagas Desa Masa Depan 86
Ibnu
Masalah urusan dan wewenang, yang dipakai dalam pasal 18 ayat 5 itu hanya urusan,
padahal kalau residual teori itu wewenang. Dalam pasal 18 residual teori yang dipakai
tetapi yang dipakai urusan. Hubungan wewenang yang diatur pasal 18 a itu, nampaknya
yang diberikan itu urusan, kalau sudah diberikan urusan maka berhak atas wewenang,
kayaknya ini lebih dekat dengan delegatoris. UU 5/74 itu wewenang, UU 22/99
wewenang, di UU 32/2004 itu urusan, ada pemisahan yang tegas karena ada pendekatan
akuntabilitas, eksternalitas, dan efisiensi. Oleh karena itu gagasan apa yang akan kita
sampaikan, supra desa itu seperti apa? Apakah dia supervisi, fasilitator, kita harus kita
pisahkan kontrol dan pengawasan. Kalau kontrol itu hanya melakukan uji, kalau
pengawasan maka ikut mengarahkan, sehingga terbit banyak SE yang mengatur daerah.
Kita harus jelas apakah kontrol atau pengawasan, karena pengawasan ikut mengarahkan,
ini yang menjadi tali sentralistik. Saya pilih ke istilah kontrol.

Berkaitan dengan pasal 33 ayat 2 negara sebagai pelaku, itu yang berkaitan dengan yang
strategis. Pasal 1 negara memberi pengaturan, oleh karena itu terbit UU sektoral, ini pada
akhirnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Moderator
Dari awal memang ada cara pandang yang berbeda antara ketentuan hukum dengan nilai-
nilai filosofis hukum yang akan diberlakukan di Indonesia.

Marhaban
Otonomi bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan politik, kalau saya melihat
lebih ke politik, otonomi ini yang diambil berdasarkan persoalan politik. Kalau kita baca
otonomi daerah dan desentralisasi ada 2 cara :
1. Negara-negara baru (Amerika Serikat, Australia, Newe Zealand) meletakkan
otonomi level di urus di tingkat state (politik), karena di Australia ada banyak UU
otonomi daerah,
2. Negara-negara old model (Jerman, Skandinavia, Perancis) urusan politik dibawa
sedekat mungkin dengan rakyat. Saya tidak mengerti Pak Ryaas belajar di Amerika
tahu persis otonomi itu. Saya kira disana ada politik, pada tingkat lokal itu begitu
mahal demokrasi kita, apalagi mau kita bawa ke desa.

Moderator
Tampaknya sudah cukup waktu, selanjutnya dari wakil kelompok BUMDes.

5. Presentasi Kelompok: MIKRO KREDIT DAN BUMDES


Disampaikan oleh: Adnan

Sumber hukum PP 72/2005 Pasal 78 s/d 201


• Mikro kredit berkait dengan produksi, maka perlu modal, teknologi, dan
pemasaran.
• Untuk pengelolaan modal maka perlu Lembaga Mikro Kridit
• Lembaga Mikro Kredit seperti apa yang ada desa ?
Lembaga Keuangan Desa perlu ada kerangka kerja yang baik, apakah dalam
bentuk semacam Rural Banking sustainable

Usulan diberi nama BUMDes


• Perlu manajemen yang profesional
• BUMDES perlu pengakuan dengan payung hukum
• Kegiatan mikro finance selama ini yang berkembang di pedesaan adalah usaha
simpan pinjam

Menggagas Desa Masa Depan 87


Pengalaman Layanan Keuangan di Masyarakat
Jenis layanan kredit di Desa
• Program kredit dari PPK, P4K
• Simpan pinjam desa
• Lumbung desa
• Koperasi desa
Perempuan terbukti sebagai nasabah yang baik dalam kredit dan penerima program yang
efektif.
Perempuan terbukti sebagai pelaku ekonomi yang tanggung dan mayoritas di desa.

Pengalaman Kabupaten Sumedang:


Yang dimasukkan ke dalam BUMDes:
• Alokasi anggaran simpan pinjam
• Unit usaha simpan pinjam menjadi bagian BUMDes
• Lumbung Desa
• Kegiatan penarikan rekening listrik
• Penyewaan hand traktor
• Unit toko untuk pelayanan masyarakat (berbagai produk dan jasa)
• Warung nasi dsb.

Ditingkat desa BUMDes itu dibentuk berdasarkan Perdes. Tetapi dasar ini belum bisa
akses ke lembaga perbankan, oleh karena itu disarankan untuk berbadan
hukum/diaktekan.
• Bagaimana dengan kepemilikan BUMDes (Masyarakat dan harus dihindari
kepentingan dan kooptasi elit desa
• Jenis usaha dan model BUMDes harus memberi ruang dan bertumpu pada
inisiatif dan kearifan lokal

Problem
• Tidak ada fasilitasi sistemik untuk pengembangan usaha kecil di desa
• Tidak ada perlindungan pasar untuk pelaku usaha kecil
• Belum ada payung hukum yang jelas untuk LKM, terbatas pada Bank dan Koperasi
• Rendahnya akses modal bagi masyarakat miskin dan perempuan
• Ada pandangan masyarakat kalau uang dari pemerintah tidak perlu dikembalikan
– sehingga banyak kredit program macet.
• Kebijakan antar sektor belum saling mendukung untuk pengembangan ekonomi
desa
• Lebih dari 60% ekonomi desa dikuasai oleh kelompok elit dan pemilik modal
besar.

Tawaran tentang Pengembangan Ekonomi Desa (BUMDes dan LKM)


• BUMDes dan LKM harus menjadi upaya pengembangan ekonomi lokal dan
pengentasan kemiskinan.
• Perlu ada afirmative action dalam pengembangan ekonomi di desa, untuk rakyat
(petani, nelayan, dll) untuk menghindari pertarungan dengan pemodal dan elit
desa. (kebijakan ini tidak hanya dilakukan Depdagri/Ditjen PMD, tetapi dinas lain
terkait harus melakukan hal tersebut.
• BUMDes harus memberikan perhatian pada masalah perempuan
• Pembentukan BUMDes bukan penyeragaman dan pemaksaan (pengalaman KUD),
juga bukan instrumen kapital besar yang mengancam ekonomi pedesaan.
• BUMDes dibentuk berdasarkan aktivitas ekonomi yang telah ada di tingkat lokal
dan untuk melindungi ekonomi lokal.
• Untuk mengatasi monopoli elit dalam BUMDes maka bentuk hukum yang
diusulkan koperasi yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan.
• Ada alokasi modal dari APBD untuk pengembangan BUMDes.

Menggagas Desa Masa Depan 88


• Jenis usaha harus memberi ruang dan bertumpu pada inisiatif dan kearifan lokal.
• Rakyat harus menjadi subyek dalam kegiatan BUMDes (mengedepankan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dalam rangka kedaulatan ekonomi rakyat).
• Perlu ada kejelasan tatalaksana dan manajemen profesional, termasuk monitoring
dan pengawasan.
• Perlu ada kejelasan dan dibangun sinergi kebijakan antar sektor dalam
pengembangan ekonomi desa (BUMDes).
• Ada affirmative action dalam layanan usaha BUMDes kepada perempuan, rakyat
miskin (petani,nelayan, dll).
• Ada kejelasan tentang kewenangan desa dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi.

LKM (Lembaga Keuangan Mikro)


• Keberadaan LKM tidak lepas dari upaya menyediakan layanan modal bagi pelaku
ekonomi untuk pengembangan usaha.
• Dalam LKM harus diikuti dengan pendampingan, fasilitasi pengembangan
produksi dan pasar sebagai satu sistem pengelolaan.
• Ada mekanisme dan skema kredit yang sesuai dengan kondisi masyarakat (belajar
dari pengelaman “bank plecit” ).
• Ada jaminan/afalis untuk PUK yang mengalami kesulitan dalam akses modal
(baik dari pemerintah-lembaga lain).
• Ada kejelasan bentuk hukum untuk melindungi dana rakyat yang disimpan.
• LKM bukan menjadi perpanjangan tangan usaha kapital besar maupun
intermediasi dari bank komersial yang ada.
• Perlu dibangun pola dasar dan skema yang memungkinkan akses masyarakat
miskin dan perempuan mendapatkan layanan secara mudah.
• Ada mekanisme monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan LKM.

Moderator
Langsung saja dari kelompok lain yang akan menanggapi atau memberi masukkan.

Tanggapan

Maryunani
Berbagi pengalaman, pemerintah Jawa Timur sudah menunjukkan good will, Pemda
sudah membuat tim pembina BUMDes. Di tingkat II, BUMDes itu akan dibiayai APBD,
kita tidak yakin kalau di APBD nya tidak ada, dana itu bila didistribusikan setelah
eksekutif bertemu dengan legislatif, panjang sekali prosesnya. Dalam pengelolaan itu
bagaimana rakyat desa itu komit, mau memberikan waktu, tenaga dan pikiran, sehingga
perlu pembinaan. Pengawasan, siapa yang akan mengontrol BUMDes, karena semua akan
menjadi bemper ekonomi desa.

Tumpak
PMD sudah mencoba payung hukum untuk BUMDes ini, kalau kita bandingkan dengan
BUMD itu bentuknya perusahaan daerah, untuk tingkat desa apa? Di PP 72/2005
ditetapkan perdes, perdes mengacu perda, perda mengacu UU. Ini ada yang menarik dari
Pak Maryunani dan Stefan, ini ada UU yang mengatur LKM dan koperasi, sehingga kalau
kita membuat BUMDes harus dihindari yang menyangkut LKM dan koperasi, agar tidak
bertabarakan dengan UU lain maka harus di luar LKM dan koperasi. Sebenarnya tidak
ada perintah di PP untuk membuat pedum, agar perda itu baik dan benar. Ini agak rumit
membagi payung hukum untuk BUMDes, karena di PP 72/2005 itu akan dikelola
pemerintah desa, sebagai komisaris. Kita harus tegas mengatur ini, supaya tidak gamang
dalam mengatur itu.

Menggagas Desa Masa Depan 89


Yuni
Sengaja kita tidak mengusulkan satu jenis badan hukum. Pengalaman di Sumedang
dengan perdes mereka tidak cukup melakukan akses bisnis, ke bank misalnya. Jadi
tergantung pilihan masyarakat disitu maunya seperti apa, keahliannya apa dan mengacu
UU yang sudah ada. Payung hukum yang ada adalah yang umum, bukan khusus untuk
BUMDes.

Kasmuin
Membandingkan gagasan itu, saya cenderung untuk merumuskan badan hukum
tersendiri dalam BUMDes. Kalau kita menganut badan hukum koperasi, itu milik bersama
dan hasilnya akan dibagi bersama dalam anggotanya. Yang awalnya untuk meningkatkan
pendapatan desa, maka tidak bisa ke sana nanti. Lebih fundamental lagi, seperti ADD,
bukan soal ADDnya tetapi bagaimana kita mengelola ADD itu. BUMDes yang lemah
payung hukumnya, ini akan menjadi ladang baru bagi percepatan proses korupsi di desa.
Di daerah kami ada pasar desa yang besar tetapi tidak memberikan kontribusi kepada
desa, lebih banyak ke perangkat desanya, dan itu diputuskan dengan keputusan desa.
Sehingga pedoman seperti Pak Tumpak itu benar.

Moderator
Diskusi ini kita akhiri, PR menghadang kita sesuai dengan profesi kita masing-masing
dalam upaya kita untuk membela desa, menggagas desa masa depan. Desa senantiasa
menjadi ajang tempur untuk mencari keadilan dalam kehidupan negara kita masih
panjang.

Menggagas Desa Masa Depan 90

You might also like