Professional Documents
Culture Documents
Gelombang baru tentang demokrasi bahkan saat ini ditandai dengan uoaya
melakukan dekonstruksi pemikiran tentang demokrasi, yang seiring dikenal dengan
pemikiran tentang “democracy without adjectives”, demokrasi kerakyatan, demokrasi
parlementer, dan demokrasi dengan tambahan kata-kata sifat lainnya, selain mereduksi
sifay universalitas demokrasi juga pada saat bersamaan merupakan pembatasan-
pembatasan terhadap praktik demokrasi yang sesungguhnya. Setiap kata sifat sering kali
digunakan oleh pihak penguasa untuk memnatasi pelaksanaan demokrasi sebagaimana
mestinya, sehingga demokrasi kehilangan fungsi dalam aktualisasi kehidupan suatu
sistem politik di suatu bangsa dan negara. Penguasa di beberapa negara otoriter bahakan
seringkali sembunyi dibalik kata-kata sifat itu untuk mengebiri demokrasi dan tegaknya
kedaultan rakyat.
Dalih yang sering dibuat adalah bahwa perilaku tersebut sebagai bagian dari
sebuah proses demokrasi. Padahal pemahaman tentang demokrasi tidaklah sempit seperti
yang dijabarkan diatas. Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-
tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat,
memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan
berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, pemilihan yang sama, bebas,
rahasia atas dasar nilai dua alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas .
Penting kiranya untuk segera memberikan porsi yang layak bagi pembangunan
demokrasi, serta menciptakan suatu kebijakan publik yang mampu mengatur agar simbol-
simbol kekerasan tidak digunakan, setidaknya dibatasi, dalam wacana politik. Dan yang
terpenting agar penalaran masyarakat tidak diredusir dari esensi menjadi simbol dan
menyihir simbol menjadi esensi. Masyarakat perlu diberi ketentraman untuk
mengembangkan demokrasinya, bukan dicabik untuk kepentingan politik.
Setidaknya ada dua bentuk model kekerasan politik, yakni kekerasan struktural dan
kekerasan kultural. Dalam tataran struktural, kekerasan politik dipahami sebagai hasil
hubungan-hubungan sosial atau struktural dimana para pelaku tersebut berada. Nilai dan
norma dipandang sebagai imperatif struktural yang terinternalisasi dalam diri individu,
sehingga orang berprilaku selaras dengan-atau fungsional terhadap sistem.
Menurut Muhammad Asfar, ada empat kondisi struktural yang menjadi akar persoalan
munculnya kekerasan politik :
Kedua, cara-cara kekerasan politik tersebut ditempuh karena para pelaku menilai
bahwa institusi-institusi demokrasi tidak mampu mengartikulasikan dan mengagregatkan
berbagai kepentingan politik dalam masyarakat. Akibatnya, berbagai kelompok yang
tidak mempunyai akses kepada kekuasaan menyalurkan berbagai aspirasi politiknya
melalui cara-cara diluar lembaga demokrasi yang ada. Strategi perjuangan politik
kemudian dilakukan di jalan dan tidak jarang dengan cara kekerasan.
Keempat, adanya beberapa tekanan pemerintah di satu sisi dan tidak terpenuhinya
di sisi lain. Dalam banyak kasus, tidak jarang masyarakat merasa tidak berdaya dalam
menghadapi berbagai ketentuan pemerintah. Sebagian masyarakat merasa hak-haknya
telah dirampas oleh pihak-pihak tertentu. Ketika sebagian warga yang mempunyai hak
pilih tidak memperoleh kartu suara karena beberapa oknum panitia pemilihan,
masyarakat merasa hak mereka telah dirampas oleh oknum tersebut. Ketika
diperjuangkan selalu membentur tembok kekuasaan, yang memenangkan pihak status
quo kepentingan sendiri, sehingga ketidakadilan lalu mengkristal menjadi struktur tidak
adil. Keadaan seperti ini mengakibatkan frustasi, yang pada akhirnya disalurkan melalui
tindak kekerasan.
Negara dan sistem politik yang dianut merupakan aspek yang berhubungan erat
dengan aktivitas dan kedudukannya dalam penggunaan kekerasan. Pandangan state
centcred bahwa negara adalah aktor yang turut bermain dalam arena, termasuk
menentukan sistem politik yang dianut dan adanya upaya untuk memonopoli dan
melitigimasi penggunaan kekuatan fisik.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, tampaknya sistem politik demokrasi
memiliki sumber kekuasaan negara yang cenderung persuasif. Namun, tidak berarti
sistem politik bebas dari kekerasan politik, karena di dalam sistem politik demokrasi juga
melekat kekerasan struktural, kekerasan memang gejala yang serba hadir. Penulis:
Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo)