You are on page 1of 5

Kelemahan sistem politik yg dianut Indonesia :

Kekerasan Politik Dalam Penerapan Prinsip Demokrasi


di Indonesia
Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar
demokrasi desa atau demokrasi negara –kota sebagaimana era Yunani dan Romawi kuno.
Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan dengan perkembangan
negara kebangsaan (nation state). Artinya demokrasi memiliki hakikat nasionalisme
secara menyeluruh dan bukan sebuah pemahaman nasionalisme dalm arti sempit (baca;
chauvinisme) yang berpotensi melahirkan kekerasan politik di sebuah negara Demokrasi.

Huntington secara menarik menamakan perkembangan demokrasi di negara


modern (negara bangsa) dengan istilah Gelombang Demokrasi atau gelombang
demoratisasi, yang menunjukan fenomena transisi di sejumlah negara dari rezim non-
demokratis (otoriter) ke rezim-rezim demokratis yang terjadi pada kuruk-kurun waktu
tertentu dan jumlahnya sangat signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah yang
sebaliknya.
Dengan analisis gelombang demokrasi yang lebih empirik, Huntungton melihat bahwa
demokratisasi di suatu negara mensyaratkan adanya tiga hal, yakni:
a. berakhirnya sebuah rezim yang otoriter,
b. dibangunnya sebuah rezim demokratis,
c. pengkonsolidasian rezim demokratis.

Tampak sekali bahwa Huntington menempatkan demokrasi dan demokratisasi


secara empirik berhadap-hadapan dengan sistem politik yang otoriter untuk mengetahui
seberapa jauh perkembanagn terbaik dari dua kecendrungan yang bertentangan secara
diametral itu. Analisis tentang demokrasi memang menjadi sangat jelas dan bersifat
empirik manakala dikaitkan dengan kondisi dan sistem politik yang berada
diseberangnya, yakni sistem poltik otoriter.

Gelombang baru tentang demokrasi bahkan saat ini ditandai dengan uoaya
melakukan dekonstruksi pemikiran tentang demokrasi, yang seiring dikenal dengan
pemikiran tentang “democracy without adjectives”, demokrasi kerakyatan, demokrasi
parlementer, dan demokrasi dengan tambahan kata-kata sifat lainnya, selain mereduksi
sifay universalitas demokrasi juga pada saat bersamaan merupakan pembatasan-
pembatasan terhadap praktik demokrasi yang sesungguhnya. Setiap kata sifat sering kali
digunakan oleh pihak penguasa untuk memnatasi pelaksanaan demokrasi sebagaimana
mestinya, sehingga demokrasi kehilangan fungsi dalam aktualisasi kehidupan suatu
sistem politik di suatu bangsa dan negara. Penguasa di beberapa negara otoriter bahakan
seringkali sembunyi dibalik kata-kata sifat itu untuk mengebiri demokrasi dan tegaknya
kedaultan rakyat.

Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar


demokrasi desa atau demokrasi negara –kota sebagaimana era Yunani dan Romawi kuno.
Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan dengan perkembangan
negara kebangsaan (nation state).Setiap rezim memang selalu memerlukan conflicts dan
management of conflicts. Kedua hal tersebut diyakini penguasa sangat dibutuhkan untuk
menumbuhkan demokrasi. Namun yang lebih sering terjadi justru hal tersebut direkayasa
untuk mengalihkan perhatian publik dari suatu persoalan, sekaligus juga menempatkan
sang penguasa sebagai pahlawan yang mampu meredakan pertikaian tersebut.

Para operator politik memperlakukan ‘mereka’ sebagai partner shadow boxing


hanya untuk sementara waktu hingga tujuan politiknya terpenuhi. Namun celakanya bagi
masyarakat yang terprovokasi, ‘mereka’ tetap disembah sebagai berhala, yang kemudian
mengkultuskan setiap opini politik yang terbentuk dengan melakukan pembenaran
terhadap setiap tindakan, bahkan kekerasan sekalipun. Hal ini tidak berati kita harus
menggugat elite politik sebagai pelaku dan penanggungjawab utama kekerasan politik
yang selama ini terjadi di masyarakat. Ini hanya sekilas catatan untuk menunjukan apa
yang terhilang dari analisis sosial yang terlanjur menonjol dalam masyarkat.

Dalih yang sering dibuat adalah bahwa perilaku tersebut sebagai bagian dari
sebuah proses demokrasi. Padahal pemahaman tentang demokrasi tidaklah sempit seperti
yang dijabarkan diatas. Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-
tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat,
memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan
berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, pemilihan yang sama, bebas,
rahasia atas dasar nilai dua alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas .

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan pengertian


bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah poko
yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah negara
oleh karena kebijaksanaan tersebut menyangkut kehidupan rakyat juga. Meskipun pada
umumnya pengertian demokrasi dapat dikatakan tidak mengandung kontradiksi karena di
dalamnya meletakkan posisi rakyat dalam posisi yang amat penting, namun
pelaksanaannya (perwujudannya) dalam lembaga kenegaraan ternyata prinsip ini telah
menempuh berbagai rute yang tidak selalu sama.
Adanya berbagai rute atau pengejawantahan tentang demokrasi itu menunjukkan
pula beragamnya kapasitas peranan negara maupun rakyat. Ada negara yang memberikan
peluang yang amat besar terhadap peran rakyat yang melalui sistem pluralisme-liberal,
dan ada juga yang sebaliknya negara yang memegang dominasi yang jauh lebih besar
daripada rakyatnya. Studi politik tentang Dunia Ketiga yang umumnya memperlihatkan
lebih dominannya negara daripada peranan rakyat telah melahirkan berbagai konsep yang
dimaksudkan sebagai alat pemahaman bagi realitas tersebut. Berbagai uapaya
pemahaman dengan memberikan pijakan teoritis itulah telah menunjukkan betapa di
negara Indonesia telah terjadi hubungan tolak-tarik antara negara dengan masyarkat dalm
memainkan peranannya.

Penting kiranya untuk segera memberikan porsi yang layak bagi pembangunan
demokrasi, serta menciptakan suatu kebijakan publik yang mampu mengatur agar simbol-
simbol kekerasan tidak digunakan, setidaknya dibatasi, dalam wacana politik. Dan yang
terpenting agar penalaran masyarakat tidak diredusir dari esensi menjadi simbol dan
menyihir simbol menjadi esensi. Masyarakat perlu diberi ketentraman untuk
mengembangkan demokrasinya, bukan dicabik untuk kepentingan politik.

Namun, kini kita menyaksikan kecenderungan yang semakin kuat munculnya


public podium yang bersifat merusak tradisi demokrasi di berbagai wilayah di Tanah Air.
Ikatan-ikatan kepercayaan yang dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat
cenderung semakin menyempit, meniadakan pentingnya pluralisme. Kecenderungan
semacam ini sudah barang tentu mendorong pengerasan batas-batas antar kelompok
dalam transaksi politik. Akibatnya, arena publik sebagai arena penyelamatan masyarakat
berubah menjadi arena kekerasan politik.

Setidaknya ada dua bentuk model kekerasan politik, yakni kekerasan struktural dan
kekerasan kultural. Dalam tataran struktural, kekerasan politik dipahami sebagai hasil
hubungan-hubungan sosial atau struktural dimana para pelaku tersebut berada. Nilai dan
norma dipandang sebagai imperatif struktural yang terinternalisasi dalam diri individu,
sehingga orang berprilaku selaras dengan-atau fungsional terhadap sistem.

Menurut Muhammad Asfar, ada empat kondisi struktural yang menjadi akar persoalan
munculnya kekerasan politik :

Pertama, kekerasan politik tersebut merupakan reaksi beberapa kelompok


masyarakat, khususnya pendukung OPP tertentu, yang menilai para pemegang kekuasaan
kurang adil dalam mengelola berbagai konflik dan sumber kekuasaan yang ada. Bahkan
dengan wewenang strukturalnya memakai cara-cara non-dialogis, non-musyawarah untuk
menyelesaikan konflik kepentingan. Karena tidak memakai cara-cara dialogis dan
beradab untuk menyelesaikan konflik, maka jalan kekerasan kekuasaanlah yang dipakai
untuk memenangkan kepentingan terhadap lawan-lawan yang bersengketa atau berbeda
kepentingan.

Kedua, cara-cara kekerasan politik tersebut ditempuh karena para pelaku menilai
bahwa institusi-institusi demokrasi tidak mampu mengartikulasikan dan mengagregatkan
berbagai kepentingan politik dalam masyarakat. Akibatnya, berbagai kelompok yang
tidak mempunyai akses kepada kekuasaan menyalurkan berbagai aspirasi politiknya
melalui cara-cara diluar lembaga demokrasi yang ada. Strategi perjuangan politik
kemudian dilakukan di jalan dan tidak jarang dengan cara kekerasan.

Ketiga, akibat kekakuan lembaga-lembaga politik sehingga mereka tidak mampu


menampung dan menyelesaikan berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat.
Akibatnya setiap ada perbedaan dan konflik kepentingan dengan kelompok lain, terutama
kelompok yang berkuasa, masyarakat memendam berbagai perasaan konflik tersebut.
Ketika berbagai perasaan konfliktual ini terakumulasi, dan ada kesempatan untuk
melampiaskannya—misalnya pada masa kampanye pemilu—maka kekerasan politik
sebenarnya terletak pada kekakuan lembaga-lembaga politik.

Keempat, adanya beberapa tekanan pemerintah di satu sisi dan tidak terpenuhinya
di sisi lain. Dalam banyak kasus, tidak jarang masyarakat merasa tidak berdaya dalam
menghadapi berbagai ketentuan pemerintah. Sebagian masyarakat merasa hak-haknya
telah dirampas oleh pihak-pihak tertentu. Ketika sebagian warga yang mempunyai hak
pilih tidak memperoleh kartu suara karena beberapa oknum panitia pemilihan,
masyarakat merasa hak mereka telah dirampas oleh oknum tersebut. Ketika
diperjuangkan selalu membentur tembok kekuasaan, yang memenangkan pihak status
quo kepentingan sendiri, sehingga ketidakadilan lalu mengkristal menjadi struktur tidak
adil. Keadaan seperti ini mengakibatkan frustasi, yang pada akhirnya disalurkan melalui
tindak kekerasan.

Sedangkan dalam tatanan kultural, kekerasan lebih dikarenakan faktor budaya


suatu komunitas. sebagai faktor pendukung (stimuli) adalah rendahnya tingkat
pendidikan dalam masyarakat. Fanatisme keagamaan sangat sempit dengan prinsip apa
yang didengarkan orang dan juga faktor kesejahteraan menjadi alasan berbuat asosial.
Jika Violence Studies kita arahkan dalam perspektif sosial, setidaknya ada beberapa hal
yang bisa dilakukan; pertama, membebaskan tradisi kekerasan dalam proses relasi politik
dalam penetapan sebuah kebijakan publik. Apa yang dilakukan disini sama artinya
dengan melakukan transformasi demokrasi dalam tataran praktis.
Kedua, konsekuensi dari poin pertama tersebut adalah dengan melakukan kritik terhadap
setiap pewacanaan yang benar yang mencakup bahasa, stratifiksi sosial, politik, ekonomi,
budaya termasuk Pengistilahan RAS. Transformasi ini berjalan tanpa henti untuk
mencapai tujuan.
Ketiga, sikap kritis-transformatif poin kedua tersebut menggunakan prinsip; “
mempertahankan sistem yang baik dan mengambil sistem baru yang lebih baik”, sebab
banyak juga value system yang lebih baik di dunia ini.

Negara, Kekerasan dan Sistem Politik

Apabila negara dianggap sebagai kekuatan reaksioner yang bertujuan memulihkan


tatanan tradisional, atau gerakan progresif kepentingan rakyat menentang negara,
kekaisaran, dan dinasti, maka tidak ada kekuasaan yang mampu mencegah negara untuk
menggunakan kekerasan atau terlibat dalam tindak kekerasan. Semua tipe atau kategori
negara pasti mempunyai kecenderungan untuk mengabsahkan penggunaan kekerasan
terhadap pihak lain yang dipersepsi sebagai orang-orang yang mengancam eksistensi
negara. Negara dihubungan dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam banyak hal. Pertama,
negara membangkitkan dikotomi konseptual dan psikologis yang cenderung mendorong
tindak kekerasan politik. Kedua, negara dilibatkan dalam perjuangan memperebutkan
otonomi politik yang dipahami sebagai kontrol atas instrumen koersif dan regulasi
wilayah. Ketiga, kekerasan negara berhubungan dengan peran penting peperangan dalam
perkembangan historis negara.

Dalam negara demokrasi baik di Amerika dan Perancis, dimana kemerdekaan,


kebebasan, persamaan, wibawa hukum dihormati dan dijunjung tinggidalam konstitusi,
ternyata penindasan terlindung cukup aman dan terhormat. Demokrasi yang ganjil seperti
ini oleh Soekarno disebut sebagai demokrasi yang antisosial, sebab tidak menyelamatkan,
menyejahterakan, dan melindungi segenap masyarakat.

Negara dan sistem politik yang dianut merupakan aspek yang berhubungan erat
dengan aktivitas dan kedudukannya dalam penggunaan kekerasan. Pandangan state
centcred bahwa negara adalah aktor yang turut bermain dalam arena, termasuk
menentukan sistem politik yang dianut dan adanya upaya untuk memonopoli dan
melitigimasi penggunaan kekuatan fisik.

Terlepas dari segala kekurangan yang ada, tampaknya sistem politik demokrasi
memiliki sumber kekuasaan negara yang cenderung persuasif. Namun, tidak berarti
sistem politik bebas dari kekerasan politik, karena di dalam sistem politik demokrasi juga
melekat kekerasan struktural, kekerasan memang gejala yang serba hadir. Penulis:
Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo)

Dikutip : http://www.google.com/Inspektorat Jenderal » Kekerasan Politik Dalam


Penerapan Prinsip Demokrasi di Indonesia.html

You might also like