You are on page 1of 72

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG

PROGRAM PASCASARJANA (S-2)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

TAKE HOME

Kode / Mata Kuliah : IPS 202 / Pengembangan Teori Sosial


Semester :I
Dosen Pembina : Drs. I Wayan Legawa, M.Si.

SOAL :

1. PARADIGMA DALAM TEORI SOSIAL

a. Apakah yang dimaksud dengan paradigma itu ?


b. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam
paradigma ?
c. Ada 4 varian teori yang berkaitan dengan paradigma fakta
sosial, yang salah satunya adalah struktural fungsional ( Talcott
parson, Robert K. Merton dan Niel Smelser ). Dalam teori itu
dijelaskan bahwa prubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat didasarkan atas asumsi-asumsi. Sebut dan jelaskan
asumsi-asumsi yang dimaksud dengan contoh perubahan yang
terjadi dalam masyarakat Indonesia.

2. Auguste Comte dianggap sebagai bapak Positivisme. Positivisme


adalah faham filsafat yang cenderung membatasi pengetahuan
manusia dengan memakai metode ilmu pengetahuan.
a. Jelaskan peran Auguste Komte dalam merekonstruksi teori
Positivisme ?
b. Comte membedakan akal budi manusia dalam 3 tahap. Sebut
dan Jelaskan !
c. Masyarakat dalam Positivisme adalah masyarakat Industri.
Bagaimana pendapat saudara tentang hal tersebut ? Jelaskan !

3. Berikut adalah beberapa istilah yang berkaitan dengan teori sosial.


Siapa tokoh yang melahirkan teori tersebut ?, dalam konteks sosial
yang bagaimana istilah tersebut muncul?.
a. The Struggle For Live
b. Gemeinschaft
c. Mode of Production and Suprastruktur
d. Verstehen
Suicide

e. AGIL
f. Protestan Etic and Spirit of Capitalism
g. Pattern Variabel

ooooooooooooooOOOOOOOOOOLGWOOOOOOOOOOooooooooo

Catatan : Dimohon tidak mengutip / mengopy jawaban teman yang lain.

Jika terdapat kasus demikian tidak mendapat nilai

Paradigma Fakta Sosial
Posted on April 24, 2009 by devirahman

Tokoh utama dari paradigma fakta social adalah Emile Durkheim


Pokok persoalan dalam paradigma ini adalah fakta social. Paradigma ini
muncul sebagai wujud rasa keprihatinan Durkheim terhadap pemikiran
Comte dan Spencer karena telah membelokan sosiologi ke dalam cabang
filsafat dengan mengedepankan ide-ide pemikiran tanpa didukung oleh
data-data empiris. Durkheim menghendaki sosiologi menjadi disiplin ilmu
otonom yang mempelajari kenyataan-kenyataan yang ada dalam
masyarakat (fakta social).

Ritzer (2003:18) mengemukakan bahwa secara garis besar fakta


social dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:
1.
o

1. Stuktur sosial, yaitu jaringan hubungan social di mana


interaksi social berproses dan menjadi terorganisir
serta melalui mana posisi-posisi social dari individu
dan sub kelompok dapat dibedakan.

2. Pranata sosial, yaitu norma-norma dan pola nilai yang


terdapat dalam fakta social, misalnya: kelompok,
kesatuan masyarakat tertentu, posisi, keluarga dll.
Ritzer (2003:21) juga mengemukakan empat teori dalam
paradigma fakta social yaitu: teori fungsionalisme structural, teori konflik,
teori system dan teori sosiologi makro. Sebagaimana Ritzer (2003) dalam
hal ini akan dibahas mengenai teori dominant atau yang disebut mula-
mula yaitu:

o

1. Teori Fungsionalisme Structural, Tokoh utama teori ini


adalah Robert K. Merton. Menurut teori ini
masyarakat merupakan suatu system social yang
terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan
mempengaruhi bagian yang lain.

2. Teori konflik, Tokoh utama teori ini adalah Ralp


Dahrendorf. Menurut teori ini masyarakat senantiasa
berada dalam proses perubahanyang ditandai oleh
pertentangan yang terus menerus diantara unsure-
unsurnya

Adapun metode yang biasa digunakan para penganut Paradigma


Fakta Sosial adalah metode kuesioner dan interview.

Paradigma Definisi Sosial
Posted on April 24, 2009 by devirahman

Tokoh utama dari paradigma definisi social adalah Max Weber.


Ritzer (2003:38) mengungkapkan bahwa pokok persoalan dalam
paradigma ini adalah tindakan social. Tindakan social adalah tindakan
individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif
bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa Weber mengemukakan lima pokok yang menjadi
sasaran penelitian sosiologi, yaitu:

1. Tindakan manusia, yang menurut si actor mengandung makna


yang subjektif.
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan
bersifat subjektif.

3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan


yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan
secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa
individu.

5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah


kepada orang lain itu.

Adapun tiga teori yang yang termasuk ke dalam paradigma definisi


social adalah sebagai berikut:

1. Teori Aksi (Action theory), dalam teori ini diterangkan mengenai


kesukarelaan.
2. Interaksionisme Simbolik (Simbolic Interaksionism), dalam teori ini
diterangkan bahwa organisasi masyarakat manusia merupakan
kerangka dimana terdapat tindakan social yang ditentukan oleh
kelakuan individunya.

3. Fenomenology (Phenomenology), dalam teori ini diterangkan


bahwa ada beberapa kerangka social yang nyata yang dapat
dibedakan dari tindakan-tindakan manusia individual, namun
demikian teori ini juga melihat bahwa manusia individual sebagai
orang yang kreatif terhadap kenyataan dirinya sendiri.

Dari perbedaan teori paradigma definisi social di atas, terdapat


persamaan sebagai berikut:

1. Manusia adalah merupakan actor yang kreatif dari realitas


sosialnya.
2. Realitas social bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan
fakta social.

3. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di


luar batas control dari fakta social.

Adapun metode yang biasa digunakan para penganut Paradigma


Definisi Sosial adalah metode observasi.

Teori Sosial Dalam Tiga  Paradigma


Posted on 05 02, 2010 by divafz

(Upaya Memahami Pernik-pernik Sosial)

Realitas social merupakan realitas yang konpleks, oleh karenanya


kemudian manusia menjadi beragam dalam menggambarkan dan
menginterpretasikannya. Konpleksitas realitas social ini paling tidak dapat
kita buktikan dengan banyaknya institusi, system, organisasi maupun
norma social yang dapat kita saksikan ditengah kehidupan kita. Dalam
perspektif fenomenologis misalnya mengatakan bahwa konpleksitas itu
berlaku karena secara individual manusia selalu berusaha memaknai
realitas yang dihadapi. Setiap manusia memaknai realitas sekitarnya
menurut kualitas individual yang dimilikinya. Perbedaan individual
(individual deferences) merupakan sebuah kenyataan histories yang
melekat dalam diri manusia. Bahwa realitas social merupakan kumpulan
individu-individu yang syarat perbedaan.

Dengan demikian, konpliksitas realitas social sesungguhnya konsekwensi


logis dari konpleksitas individual. Konpleksitas individual yang berimplikasi
pada konpleksitas social tersebut ternyata berpengaruh besar terhadap
liku-liku tradisi ilmiah yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh masa lalu,
mulai dari tradisi filsafat sampai dengan tradisi ilmiah-positiv (modern)
sekarang ini, bahkan post modernisme sekalipun. Perbedaan bahkan
pertentangan yang terjadi antara Aristoteles dan gurunya Plato, polemic
rasionalisme, empirisme, idealisme, realisme, pragmatisme dan lain-lain
menegaskan betapa tradisi pengetahuan dibangun diatas tradisi dialektika.
Hegel mengatakan bahwa selalu saja tesis itu disusul dengan munculnya
antitesis yang mengharuskan adanya sintesis, demikianlah kira-kira
gambaran dialektika yang dimaksud. Dari tradisi dealektika filosofis
diataslah macam-macam paradigma dan perspektif dalam ilmu sosial
dibangun.

Dalam wacana sosiologi, Zainuddin Maliki dalam buku “Narasi Agung: Tiga
Teori Sosial Hegemonik” mengemukakan bahwa paradigma teori social
dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni paradigma Fakta Sosial,
Definisi Sosial dan Perilaku Sosial. Pada masing-masing paradigma
terdapat beberapa persepktif (teori) diantaranya:
A. Paradigma Fakta Sosial (August Comte, Herbert Spencer)
Perspektif Strukturalisme (Herbert Spencer) Herbert Spencer
pondasi strukturalnya dengan memandang bahwa sebuah struktur
masyarakat harus melihat individu-individu yang ada di dalamnya
sebagai sebuah organisme. Hal ini berbeda dengan pandangan
pendahulunya Auguste Comte yang sangat anti-individual. Memang
ia bukanlah seorang yang ingin menjelaskan masyarakat—tentang
apa yang dibutuhkan mereka dan apa yang harus mereka lakukan
untuk memenuhinya—namun ia memberikan pandangan-
pandangannya dan memfokuskannya kepada masalah objektif yang
dihadapi oleh masyarakat. Seperti masalah agama masyarakat
(yang juga menjadi masalah pelik bagi individu dalam cosmos
social); yang semula masyarakat pada masanya menggunakan
pandangan Teologis untuk melihat gejala-gejala social yang ada
disekitar mereka, ia ganti dengan pandangan alami, ilmiyah dan
positifistik untuk melihat gejala-gejala social itu, itulah salah satu
dari sekian banyak usaha intelektual yang ia lakukan, untuk
merubah struktur sosial. Pada dasarnya ia banyak dipengaruhi oleh
pandangan Naturalisme Darwin, terutama masalah seleksi alam
yang menjadi salah satu saduran dalam karya Darwin The Origin Of
Species, On The Natural Selection. Oleh karena itulah ia
menganggap bahwa kehiduapan bermasyarakat merupakan
hubungan organisme biologis—atas landansan pandangan seperti
itulah kemudian Spencer kemudian tidak memperhatikan ranah
mental masyarakat. Sebagai organisme masyarakat tumbuh
layaknya organisme secara umum yang melewati empat
tahap; Tahap Pertambahan, Tahap Komplesifikasi, Tahap
Deferensiasi dan Tahap Integrasi. Pertama Tahap Pertambahan,
tidak seperti organisme yang mati, masyarakat sebagai organsime
hidup pasti akan mengalami pertambahan atau penggandaan yang
dimiliki oleh organisme-organisme dalam kelompok-kelompok
social. Organisme kecil akan berevolusi menjadi organisme besar,
suku bangsa akan menjadi bangsa, desa akan menjadi kota dan
kelompok kecil akan menjadi kelompok besar. Kedua Tahap
Kompleksifikasi, setelah terjadinya proses penggandaan atau
pertambahan dalam organisme hal selanjutnya yang akan terjadi
adalah berubahnya organisme tersebut menjadi lebih kompleks
secara simultan. Dari tahap inilah kemudian evolusi memasuki
tahap ketiga yaitu Tahap Deferensiasi, dimana secara alami
masing-masing organiseme akan menonjolkan perbedaan struktur
maupun fungsinya, seiring dengan perkemabangan organisme
tersebut. Dalam masyarakat akan terlihat gejala (stratifikasi)—atau
terbaginya masyarakat kedalam kelas-kelas social. Tahap terakhir
Tahap Integrasi, yang merupakan titik tertinggi dari evolusi
masyarakat sebagai organsime, dimana masing-masing organisme
berdiri sendiri, yang disebabkan oleh perbedaan fungsi dan
perbedaan status social yang terjadinya hal itu tidak bisa terelakkan
dalam masyarakat. Perspektif Fungsionalisme (Talcott Parsons,
William James) Struktural Fungsional adalah sebuah paradigma
yang bisa dikatakan seumur dengan renaissance, atau bisa juga
dikatakan sebagai salah satu warna penghias ruang dan utilitas
renaissance. Paradigma ini muncul sebagai “adik kecil” renaissance
yang nantinya akan membesarkan nama harum renaissance
sebagai “kakak” yang baik dalam mendidik adiknya. Dari analogi
tadi kita mampu melihat dengan jelas betapa dekat dan kuatnya
hubungan yang terjalin antara renaissance dengan teori fungsional
itu. Tidak hanya hubungan yang kita lihat namun juga sumbangan
teori itu kepada renaissance yang demikian terasa sampai abad ini
di seluruh belahan dunia terutama barat yang merupakan Ibu
kandung mereka. Teori ini memandang bahwa masyarakat harus
bertindak sesuai dengan fakta social yang dialaminya bukan malah
menjauhi dan ingin kembali kemasa awal sejarah dibangun. Namun
mereka tidak akan mampu menghadapi fakta itu dengan sehat dan
menguntungkan tanpa adanya media yang bisa dipergunakan
untuk mensikapinya. Salah satu tawaran Fungsionalisme untuk
melihat atau menghadapi fakta social adalah Positivistik. Dimana
setiap organ social memiliki peran-peran tertentu dalam tataran
positif tentunya. Tegasnya struktural fungsional adalah
penghargaan kepada setiap keberadaan dan fungsi organisme
dalam sturktur social untuk melakukan peranannya masing-masing
demi keberlangsungan kehidupan social. Pandangan ini
menekankan pada keteraturan masing organisme atau kelompok
social dalam setiap interaksi yang terjadi diantara mereka.
Perspektif Struktural-konflik (Karl Marx) Hampir semua pandangan
dalam alat manalisis social (matter of social analysis) terilhami dari
teori Evolusi Darwin. Terutama—dalam konteks social—perubahan,
pertahanan diri maupun kelompok, yang banyak mendapat wahyu
dari seleksi alam yang menjadi pemacu evolusi dalam pandangan
Darwin. Inilah pandangan yang terakhir dalam paradigma fakta
Sosial. Kalau ternyata kemudian dalam pandangan Fungsional lebih
menekankan pada keteraturan fungsi dalam kaitannya dengan
fungsi yang lain maka dalam pandangan Struktural konflik ini lebih
memperhatikan ketegangan, komplik dan ketidak teraturan dalam
fakta social sebagai bahan kajiannya. Kami pikir adanya perspektif
ini lebih sebagai antitesis dari structural fungsional, pandangan ini
mengatakan bahwa pandangan pendahulunya terlalu berbaik
sangka (Positive Thinking) terhadap Fakta social, yang menurutnya
merupakan keteraturan-ketaraturan dalam social, namun mereka
tidak melihat bahwa dibalik keteraturan itu terdapat berbagai chaos
yang melatari, itulah kemungkinan yang sekaligus diyakini sebagai
elemen yang paling penting dalam fakta social untuk diperhatikan,
itulah statemen yang terdapat dalam pandangan sturktur komplik
ini. Pandangan ini mengatakan bahwa keberadaan komplik dalam
masyarakat atau social merupakan sebuah anak tangga menuju
kemajuan dan keperkembangan. Itulah sebabnya komplik adalah
bagian terpenting bahkan arti lain social yang tidak bisa sangkal
akan betapa perlu keberadaanya dalam masyarakat sosial. Akhir
dari paradigma ini menemukan muaranya dalam pemikiran seorang
Karl Marx yang mencetuskan teori ekonomi-sosialis. Ia
menganalogikan social sebagai sebuah sekolah atau bangunan
yang didalamnya terdapat kelas-kelas dan persaingan yang ketat
antara kelas yang satu dengan yang lain, bahkan terdapat kwalisi-
kwalisi di dalamnya untuk saling menguasai demi kepentingan
ekonomi. Konflik-konflik itu dalam istilah yang lebih halus adalah
Dealektika, namun ia tidak selembut yang kita lihat ketika ia berada
atau diaplikasikan dalam konteks social (Social Current), yang
terjadi bukan persaingan manusia yang hanya dengan tujuan perut,
malah lebih dari itu; mirip seperti binatang yang memiliki
kecerdasan dan keteraturan dalam persaingan yang mereka
lakukan
B. Paradigma Definisi Sosial (Keikigard, Husserl, Jean Paul Sartre)
Perspektif Fenomenologis Sosial dalam segala bentuknya
adalah hal yang penuh makna yang masing-masing bentuk social
memilikinya. Dari banyak tokoh kita telah mengetahui di atas
dengan definisi social mereka yang berbeda-beda. Yang kesemua
pandangan itu merupakan kualitas-kualitas parsial yang kalau
dibenturkan antara satu dengan yang lainnya pasti akan terjadi
ketimpang tindihan yang tidak menentu. Oleh karena itulah
Fenomenologi terlahir sebagai penyempurna semua perspektif
dalam fakta social kemudian bisa kami katakan sebagai definisi-
definisi social yang dilihat masing-masing dari fakta yang terdapat
dipermukaan social (social current) yang masih bersifat sangat
parsial. Fenomenologi memandang social telah terpisah dari actor-
aktornya atau pelaku social di dalamnya. Oleh karena keterpisahan
itulah maka social harus dilihat bukan dari Struktur, fungsi dan
Konflik yang ada dipermukaan social itu, namun ia juga harus
dilihat dari spirit yang melatari terjadinya hal itu atau melihat
fenomena social bukan dari sisi empirisnya, namun emosi-emosi
yang melatarinya. Lagi sekali perlu kami tegaskan bahwa dalam
perspektif ini yang ditekankan adalah ontology dari social itu sendiri
dan bukan empirisnya. Fenomenologi melihat kontruksi social itu
sebagai bangunan ontology yang berarti fakta dan esensi fakta
tersebut belum tentu sama, sama halnya dengan permainan politik
atau catur sekalipun. Di dalam kedua permainan itu—dalam
konteks social—actor bisa saja berada dalam posisi social yang
tidak sesuai dengan perannya, tidak seperti sinetron. Perspektif
Interaksionisme Simbolik Kami menemukan makna interaksi
simbolik ini di dalam sebuah buku yang berjudul Manusia Satu
Dimensi. Di dalam buku tersebut, kelompok-kelompok social dalam
melakukan interksi dengan kelompok-kelompok social lainnya
mengunakan Simbol dalam berinteraksi. Symbol-simbol itulah
kemudian yang menyatukan manusia dalam satu paradigma social
yang sama. Dengan demikian semua manusia yang masuk kedalam
symbol itu kemudian seolah menjelma menjadi satu dimensi yang
sama, hubungan, kepentingan, dan dasar pikiran yang sama serta
dengan tujuan yang sama pula. Dalam buku itu dipaparkan contoh
symbol-simbol yang sekarang menyatukan manusia dalam satu
dimensi. Yang paling jelas kami lihat dalam penjelasan itu adalah
symbol-simbol ekonomi. Setelah kami membaca sebagian
pembahasan dalam buku itu; ternyata metodologi yang digunakan
penulis sebagai alat analisa adalah fenomenologi. Tapi kami
menyimpulkan bahwa pe-symbolan tersebut tidak hanya terjadi
secara universal namun terjadi didalam setiap aktifitas kita sebagai
individu-individu. Agensi dan Strukturasi (Antonio Giddens)
Karena penulis tidak memiliki pengetahuan yang jelas tentang
Agensi dan Strukturasi dan Agensi, maka untuk menemukan makna
tersebut penulis menggunakan analisa semiotika pada dua istilah
tersebut. Pertama Agensi adalah kata yang menunjukkan
penyipatan kata benda yaitu agen. Agen adalah person yang
berperan sebagai penjelas, penyampai, pengarah dan mungkin juga
penghukum. Selanjutnya; strukturasi juga merupakan peralihan
kata benda menjadi kata sifat. Yang mewakili sebuah tatanan atau
tingkatan-tingkatan tertentu. Jadi dapat penulis katakan dari
analisa pendek di atas bahwa Agensi adalah penempatan person-
person dalam tugas atau wewenang tertentu dalam ranah social.
Karena agen tersebut tidak mungkin duduk dalam struktur yang
tidak pasti maka dalam setiap struktur social pasti tedapat agen
(Messenger) untuk mengendalikan, mengontrol setiap struktur
yang ia berada di dalamnya. Perspektif Konstruksionisme (Max
Weber) Weber melihat bahwa di dalam masyarakat itu terdapat
sebuah peraturan yang menjadikan masyarakat tersebut menjadi
lebih sadar akan apa yang terjadi padanya dan apa yang akan
dilakukannya. Pandangan “keteraturan” inilah yang kemudian oleh
Weber ditelorkan menjadi sebuah kontruksi yang memiliki satu titik
pusat control yang seharusnya kuat. Dari pandangan seperti itulah
kemudian muncul teori Kapitalisme dalam social yang orientasi
dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Teori
kapital ini adalah kelanjutan dari Kapital yang diserukan oleh Marx,
namun ada sedikit pembeda di antara keduanya, dimana Marx
memandang capital sebagai sesuatu yang hanya terjadi di atas atau
permukaan social namun Waber memilihat bahwa Ia tidak
sesederhana itu—kapitalisme dalam pandangannya lebih kepada
sikap atau moral yang darinya muncul kepermukaan menjadi
sebuah aktifitas social yang dilatari oleh kepentingan ekonomi.
C. Paradigma Perilaku Sosial (Ivan Pavlov, B.F Skinner, Watson) a.
Perspektif Pertukaran Sosial Istilah pertukaran social sepertinya
senada dengan Istilah pertukaran pelajar dalam konteks
pendidikan. Dimana terjadi proses saling melengkapi “nilai” oleh
kelompok social kepada kelompok social lainnya. Nilai—adalah hal
yang sangat luas, kalau dibagi menurut pandangan akademis Nilai
bisa dilihat dalam dua bentuk yang pertama Nilai dalam bentuk
Kuantitas dan Nilai yang berbentuk Kualitas. Adapun nilai yang
berbentuk kuantitas dapat dikenali dengan segala sesuatu yang
dapat dikalkulasikan secara nomerik dan matematis dan nilai yang
berbentuk kualitas merupakan kebalikan darinya.

SISTEM SOSIAL  BUDAYA INDONESIA

Sistem Sosial Indonesia

Bahwa setiap sistem sosial selalu ada hubungan timbal balik yang
konstan. Konstan artinya apa yang terjadi kemarin merupakan
perulangan dari yang sebelumnya, dan besok akan diulang kembali
dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya yang konstan itulah .maka
pola hubungan interaksi itu memeliki sistem tertentu. Organisasi sosial
merupakan salah satu sistem sosial, karena adanya serangkaian tindakan
yang berulang tetap secara teratur. Ada organisasi sosial seperti misalnya
perguruan tinggi yang rangkaian kegiatanya dapat diamati dalam kantor –
kantor,dengan jadwal kerja yang teratur . Masyarakat merupakan sistem
sosial.

Perbedaan yang sangat menyolok antara keduanya adalah bahwa adalah


system social ,dimensi yang ditekankan adalah dimensi objektif sedangkan
dimensi yang ditetaknkan dalam sisten interaksi dalah dimensi subjektif.
Bahwa masyarakat itu tidak lain dari pada system interaksi.Masyarakat itu
tidak lain dari pada pertukaran social semata- mata(social exchange).

Saling Ketergantungan dalam paradigma Fakta Sosial

Dalam konsep saling ketergantungan ( Interdependency),paling kurang


ada dua bagian atau lebih,yang saling (inter) menjadi gantungan bagi
yang lainya.Kalau bagian gantungan adalah dua,maka gantungan yang
satunya adalah pasangan. Hubungan interaksional adalah hubungan saling
ketergantungan .Hal ini mudah dimengerti ,karena A tidak mungkin
berinteraksi dengan B,kalau kiranya salah satu tidak ada.

Hipotesis yang dapat ditarik dari konsep saling ketergantungan adalah


bahwa semakin besar suatu system,atau semakin rumit suatu
system,semakin besar pula kemungkinan adanya satu atau beberapa
elemen yang walaupun penting tetapi terabaikan.Hipotesis ini hanya
berlaku untuk system yang elemen – elemen dasarnya adalah
manusia.Oleh karena itu ada kecenderungan muncul koalisi yang
mencakup elemen-elemen yang sama  latar belekang dan
kepentinganya,sehingga yang tidak termasuk dalam proses pembentukan
koalisi menjadi tidak diperhatikan.

Nama lain yang diberikan oleh para ahli sosiologi untuk paradigma fakta
social adalah stuktural fungsional atau fungsional structural.

DURKHEIM MENGENAL SALING KETERGANTUNGAN DALAM


MASYARAKAT

Masyarakat harus dilihat sebagai satu keseluruhan (whole). Masyarakat


bukan hanya sekedar kumpulan bagian – bagian belaka,atau masyarakat
itu bukan kumpulan individu belaka.Atau dengan kata lain,masyaraka
hanya sekedar kumpulan atau tumpukan dan lain-lain. Dhurkeim
merumuskan hipotesisnya yang paling mendasar tentang
masyarakat,yakni bahwa kehidupan masyarakat adalah keteraturan
moral,ketaturan moral dalam hal ini dapat diartikan dengan keteraturan
social.Masyarakat tidak dapat ada hanya dengan persetujuan rasional
saja,karena persetujuan apapun yang dibau tidak mungkin dapat
dipertahankan dan dilaksanakan,kalau sekiranya masing – masing pihak
tidak saling mempercayai bahwa merekan akan melaksanakan atau
menjalankan apa yang sudah dijanjikan itu. Kepercayaan menurut
Durkheim dengan istilah solidaritas social,suatu keadaan dimana individu
dalam masayarakat hidup dalam saing kepercayaan satu sama lain.Dan
karena mereka saling percaya,maka keduanya saling bergantung.saling
membutuhkan dan berharap bahwa janji yang sudah dibuat pasti ditaati.
Masyarakat lebih banyak didasarkan pada suatu keteraturan moral/social
bersama,dari pada kepentingan pribadi yang bersifat rasional.

Setiap peraturan atau kebiasaan dalam masyarakat merupakan fakat


social. Jadi dalam suatu masyarakat pasti banyak fakta social.Ada fakta
social yang berhubungan dengan keluarga,agama,perdangan dan
sebagainya.Semua fakat ini saling berhubaungan satu sama lain,saling
bergantung pula satu sama lain.Yang tidak mungkin dalam fakta ini tidak
dapat berdiri sendiri.

Adanya perbedaan yang jelas antara Durkheim dan Spancer. Durkheim


menekankan keseluruhan sedangkan Spaacer hanya berlaku untuk
individu.Dalam pandangan Spancer individu itu mempengaruhi
keseluruhan ,sedangkan dalam pandangan Dhurkeim justruh
sebaliknya.Dasar kehidupan masyarakat adalah keterstuan social.Ratio
penting ,tetapi saling percaya(saling tergantung ) jauh lebih penting lagi.
Tidak sulit untuk membuktikan bahwa keteraturan social bersama lebih
membawa keuntungan social dari pada kepentingan pribadi yang menjadi
dasar.
KESADARAN KOLEKTIF

Kata kesadaran diatas merupakan terjemehan dari istilah Inggris


Consciousness. Namun demikian ,arti yang dimaksud disini bukan hanya
menunjuk pada consciousness,melainkan juga pada conscience. Istilah
yang terakhir ini sesungguhnya menunjuk pada pengertian yang agak
berlainan dengan yang pertama. Conseince itu berarti hatinurani,atau
sering kali juga disebut dengan istilah suara hati.

Elemen – elemen dasar yang terdapat dalam konsep


kesadaran kolektif
1. Adanya perasaan termasuk dalam satu komuitas bersama dengan orang
– orang lain, karena adanya perasaan seperti itu,maka
2. Orang yang bersangkutan merasa adanya suatu kewajiban moral untuk
melaksanakan tuntutan yang diberikan oleh komunitas itu.

Homo dumplek artinya bebasnya manusia yang berarti manusai yang


terdiri dari dua unsur : individu dan fakta social.S

DURKHEIM TENTANG SOLIDARITAS SOSIAL

Solidaritas merupakan keadaan menjadi satu atau menjadi bersahabat


yang muncul karena adanya tanggung jawab bersama dengan
kepentingan bersama diantara para anggotanya.Istilah – istilah yang mirip
dengan solidaritas adalah antara lain Stabilitas,kepercayaan
kekuatan,persatuan,kesatuan,imigrasi dan sebagainya.Tekanan yang
terdapat dalam integrasi adalah pada keseluruhan.Sedangkan tekanan
pada konsep soidaritas dalah persatuan dan kesatuan,tanpa harus
memikirkan lebih lanjut apakah persatuan dan kesatuan itu merupakan
keseluruhan atau tidak,walaupun dalam konsep solidaritas secara tessirat
keseluruhan itu sudah ada.
Dhurkeim mendifisiskan solidaritas social adalah keadaan saling percaya
antara  para anggota dalam kelompokatau komunitas.Kalau orang saling
percaya mereka akan menjadi satu,menjdai bersahabat,menjadi saling
menghormati,menjadi mendorong untuk bertanggung jawab dan
memperhatikan kepentingan bersama. Hubungan social sebagai konsep
berarti pertaliam antar manusia yang ditandai oleh suatu pola tertentu.

Hubungan antara solidaritas social dan kesaran kolektif

Tipe Solidaritas

1.Solidaritas Mekanik

2. Solidaritas organik

MASYARAKAT  MAJEMUK

Majemuk berarti banyak,atau lebih dari satu,dalam bahasa Inggrisnya


berarti plural.Ide pluralisme sesungguhnya menunjukkan pada tekanan
yang diberikan yang banyak,yang beragam.

Butir – butir dalam hal ini antara lain

1. Terpenuhnya kebutuhan – kebutuhan individu dijamin oleh unit – unit


kecil pemerintahan,karena hanya unit – unit itulah yang bersifat
representative.
2. Kekuasaan pemerintah yang digunakan untuk tidak representative akan
terhalang.apabila badan – badan pemerintahan tersebar secara geografis.

3. Masyarakat terd diri dari bermacam – macam asosiasi ( perkumpulan )


yang bersifat independen.berdiri sendiri, bebas dari pengaruh asosiasi
lainya.

4. Asosiasi –asosiasi swasta ini bersifat bebas ( voluntary ) sepanjang tidak


ada yang beralifiasi secara penuh dengan hanya salah satu bidang saja.
5. Kebijakan public yang dianggap mengikat semua asosiasi – asosiasi
itu,merupakan hasil dari interaksi yang bebas antara mereka sendiri.

6. Pemerintah sipil( bukan militer ) diwjibkan untuk mengamati,melihat


dengan teliti akan kepentingan dan bertidak sesuai dengan apa yang
diminta oleh orng yang ditunjuk bersama berdasarkan persetujuan
kelompok atau asosiasi.

Salah satu difinisi institusi social yang diberikan Peter L Berger adalah
predefined pattern of conduct.

Fakta sosial
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi.
Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu
(Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek
penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami
melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya
diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini
menurut Durkheim terdiri atas dua macam :

1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak,


ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian
dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.

2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata


( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari
dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.

Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan


sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis
besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah
struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu
terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial,
peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut
Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :

1. Nilai-nilai umum ( common values )


2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.

Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma


fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan
kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep
utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi
manifestasi, dan keseimbangan.
2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya
(fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada
dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus diantar unsure-unsurnya. Tokoh utama dari
paradigma fakta social adalah Emile Durkheim Pokok persoalan
dalam paradigma ini adalah fakta social. Paradigma ini muncul
sebagai wujud rasa keprihatinan Durkheim terhadap pemikiran
Comte dan Spencer karena telah membelokan sosiologi ke dalam
cabang filsafat dengan mengedepankan ide-ide pemikiran tanpa
didukung oleh data-data empiris. Durkheim menghendaki sosiologi
menjadi disiplin ilmu otonom yang mempelajari kenyataan-
kenyataan yang ada dalam masyarakat (fakta social). Ritzer
(2003:18) mengemukakan bahwa secara garis besar fakta
social dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:
a. Stuktur sosial, yaitu jaringan hubungan social di mana
interaksi social berproses dan menjadi terorganisir serta
melalui mana posisi-posisi social dari individu dan sub
kelompok dapat dibedakan.
b. Pranata sosial, yaitu norma-norma dan pola nilai yang
terdapat dalam fakta social, misalnya: kelompok, kesatuan
masyarakat tertentu, posisi, keluarga dll.
Ritzer (2003:21) juga mengemukakan empat teori dalam
paradigma fakta social yaitu: teori fungsionalisme
structural, teori konflik, teori system dan teori sosiologi
makro. Sebagaimana Ritzer (2003) dalam hal ini akan
dibahas mengenai teori dominant atau yang disebut mula-
mula yaitu: Teori Fungsionalisme Structural, Tokoh
utama teori ini adalah Robert K. Merton. Menurut teori ini
masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling
menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada
suatu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain.
Teori konflik, Tokoh utama teori ini adalah Ralp
Dahrendorf. Menurut teori ini masyarakat senantiasa berada
dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan
yang terus menerus diantara unsure-unsurnya

Diposkan oleh http.awiek. blogspot,com di 20:49

Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda


Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda

Pendahuluan
Buku yang menjadi resensi saya dibawah ini merupakan buku pokok
dalam mata kuliah dasar-dasar Sosiologi berjudul “ Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda “ yang ditulis oleh George Ritzer,
seorang pakar sosiolog sekaligus filosof ini memiliki nilai bobot ilmiyah
yang sangat baik untuk dijadikan sebagai buku pokok dan acuan
mahasiswa yang mempelajari konsep sosiologi ataupun berupa pengantar.
Buku asli yang berjudul “ Sosiology A Multiple Paradsigm Science “ ini
diterjemahkan oleh Drs. Alimandan.
Bab I
Status Paradigma Sosiologi
Dalam paparan awalnya ini penulis buku menggambarkan dan
menjelaskan tentang asal-usul lahirnya sebuah ilmu sosiologi. Dimana
penulis menerangkan sejarah lahir dan terbentuknya cabang ilmu ini mulai
pemisahan diri dari filsafat positif hingga memiliki nilai empiris bahkan
terbentuknya paradigma sosiologi. Thomas Kuhn sebagai penggagas
konsep tentang istilah pertamakali paradigma menempati posisi sentral
ditengah perkembangan sosiologi hingga menempati kurun dekade yang
cukup lama.
Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa
yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu
cabang ilmu pengetahuan. Gagasan Kuhn mengenai paradigma inilah
yang mendorong generasi setelahnya yaitu Robert Friederich, Lodahl dan
Cordon, Philips, Efrat ikut mempopulerkan istilah paradigma yang digagas
oleh Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu
didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang
mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter)
dari suatu cabang ilmu.
Kemudian istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak memiliki
kejelasan hingga timbul istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari
dua puluh satu konsep paradigma yang kemudian direduksir oleh
Masterman menjadi 3 bagian besar yaitu :
1. Paradigma Metafisik : Paradigma ini berfungsi menunjukkan
sesuatu yang ada, serta menunjukkan suatu komunitas ilmuwan
tertentu
2. Paradigma Sosiologi : Pardigma sosiologi terbentuk dari
kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hukum yang di
terima, serta hasil-hasil nyata ilmu pengetahuan yang di terima
secara umum. (hasil dari ilmu pengetahuan yang diterima secara
umum.)
3. Paradigma Konstrak : Pemahaman paradigma yang paling
sempit karena hanya memperhatikan satu aspek saja.
Sebab terjadinya perbedaan antar komunitas dalam suatu cabang ilmu:
1. Karena dari semula pandangan filsafat yang mendasari pemikiran
ilmuwan itu berbeda-beda. (perbedaan pandangan yang mendasar).
2. Teori-teori yang dikembangkan oleh komunitas ilmuwan berbeda-beda.
3. Metode yang digunakan untuk memahami substansi ilmu juga berbeda-
beda.

Sehingga oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi itu terdiri
atas kelipatan beberapa paradigma. Dimana diantaranya terdapat
pergulatan pemikiran yang terjelma dalam eksemplar, teori-teori, metode,
serta perangkat yang digunakan masing-masing komunitas ilmuwan yang
termasuk kedalam paradigma tertentu.

BAB II
Paradigma Fakta Sosial
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi.
Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu
(Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek
penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami
melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya
diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini
menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak,
ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian
dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata
( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari
dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan
sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis
besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur
sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas
: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-
nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada
dua tipe dasar dari fakta sosial :
1. Nilai-nilai umum ( common values )
2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.

Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut institution atau di sini
diartikan dengan pranata. Sedangkan jaringan hubungan sosial di mana
interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana
posisi-posisi sosial dari individu dan kelompok dapat dibedakan, sering
diartikan sebagai struktur sosial.

Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma


fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan
kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-
perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi,
disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-
bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Kalau terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme
struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan
Golongan ini bersifat konservatif. Masyarakat menurut teori ini,
senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur
dengan tetap memelihara keseimbangan.
2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya
(fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada dalam
proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus
diantar unsure-unsurnya.
Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disentegrasi sosial.
Menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah
disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas
oleh golongan yang berkuasa
3. Teori Sistem, dan
4. Teori Sosiologi Makro

Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat


dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik
interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan
metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang
hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta
sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode
tersebut.

BAB III
Paradigma Definisi Sosial

Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber
sebagai tindakan sosial antar hubungan social. Inti tesisnya adalah “
tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah
sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi
dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang
termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi
(action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan
Fenomenologi (Phenomenology).
1) Tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat
berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang
mungkin terjadi karena pengaruh posistif dari situasi tertentu. Atas dasar
rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam 4 tipe.
Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami.
1. Zwerk Rational yakni tindakan sosial murni. Aktor menentukan nilai
tujuan itu sendiri.
2. Werktrational action yakni aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara
yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk
mencapai tujuan orang lain.
3. Affectual action, yakni tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh
perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor.
4. Traditional action, yakni tindakan yang didasarkan atas kebiasaan
dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.
2) Social relationship, yakni Tindakan yang beberapa aktor yang
berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan
serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori-teori social
relationship :
a) Teori Aksi (action theory)
Tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam
pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara
untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemuanya itu
dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan
dalam bentuk norma-norma, ide-ide, dan nilai-nilai sosial.
b) Teori Interaksionisme Simbolik
Fakta sosial bukanlah merupakan barang sesuatu yang mengendalikan
dan memaksakan tindakan manusia. Fakta sosial yang sebagai aspek yang
memang penting dalam kehidupan masyarakat, ditempatkannya di dalam
kerangka simbol-simbol interaksi manusia.
3) Teori Fenomenologi yakni Tindakan manusia menjadi suatu hubungan
sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu dalam
tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai
sesuatu yang penuh arti. Pemahaman secara subyektif terhadap suatu
tindakan sangat menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi
sosial.

Ada 4 unsur pokok dalam teori ini:


1. Perhatian terhadap actor
2. Memusatkan perhatian kepada kenyatan yang penting atau yang pokok
dan kepada sikap yang wajar atau alamiyah (natural attitude)
3. Memusatkan perhatian kepada masalah mikro
4. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan, dan proses tindakan.

Ketiga teori diatas mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa menurut


pandangannya : manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai
cukup banyak kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol dari fakta
sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap
stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini adalah
merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi
sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat
dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma
definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia
sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi
sosial ini dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial
memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-
nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan
perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang
terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan
oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).

BAB IV
Paradigma Perilaku Sosial
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini
memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial
yang cenderung perilaku manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat
pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku
individu yang brelangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan
yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan
menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku. Jadi
terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang
terjadi dalam lingkungan aktor.

Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses


interaksi. Bagi paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang
dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik
dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.
Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.
1. Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya
pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam
lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami
sekarang oleh si aktor. Teori ini berusaha menerangkan tingkah laku yang
terjadi itu melalui akibat-akibat yang mengikutinya kemudian. Konsep
dasar Behavioral Sosiology yang menjadi pemahamannya adalah:
“reinforcement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward). Tak ada
sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran.
2. Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi
terhadap paradigma fakta sosial, Keseluruhan materi Teori Exchange
secara garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima preposisi George
Homan berikut:
1. Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks
stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar
kemungkinan tingkah laku atau kejadian yang mempunyai hubungan
stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan.
2. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau
tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama
pada waktu sekarang.
3. Memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang diarahkan oleh
orang lain terhadap aktor.
4. Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang
lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan
selanjutnya.
5. Makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain,
makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi.
Terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan :
• Pandangannya tentang emergence
• Pandangannya tentang psikologi
• Metode penjelasan dari Durkheim

Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula


menggunakan dengan dua metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview,
dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih banyak
menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya.

BAB V
Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian)

Melalui penjelasan-penjelasan singkat diketiga bab diatas, maka tugas bab


ini adalah mencari perbedaan-perbedaan yang terjadi diketiga paradigma
diatas. Satu hal yang penting untuk diangkat adalah sisi point dari bab
yang cukup panjang ini adalah dengan membaginya menjadi beberapa
pointer-pointer penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Behaviorisme selain disukai banyak sosiolog juga merupakan perspektif
utama sosiologi kontemporer. Sebagian besar analisa sosiologi
mengabaikan arti penting behaviorisme.
2. Konsepsi umum yang memisahkan antara teori fungsionalisme
struktural dan teori konflik adalah menyesatkan. Kedua teori itu lebih
banyak unsur persamaannya ketimbang perbedaannya, karena keduanya
tercakup dalam satu paradigma. Perbedaan fundamental dalam sosiologi
terdapat diantara ketiga paradigma yang telah dibicarakan.
3. Implikasi lain ialah adanya hubungan antara teori dan metode yang
selalu dikira dipraktekkan secara terpisah satu sama lain. Umumnya
terdapat keselarasan antara teori dan metode.
4. Ada irrasionalitas dalam sosiologi. Kebanyakan sosiolog yang terlibat
dalam pekerjaan teoritis dan metodologis tidak memahami kaitan erat
antara keduanya. Teoritisi yang mengira bahwa mereka beroposisi sama
sekali antara yang satu dengan yang lain (antara teori konflik dan
fungsionalisme struktural), nyatanya berkaitan satu sama lain. Terlihat
bahwa peneliti sering memakai metode yang tak cocok untuk mencapai
yujuan penelitian mereka.
5. Terakhir dan terpenting, pertentangan antar paradigma sosiologi sangat
bersifat politis. Tiap paradigma bersaing disetiap bidang sosiologi.
Kebanyakan upaya dicurahkan semata-mata untuk menyerang lawan dari
paradigma lain dengan berondongan kata-kata yang berlebih-lebihan.
Seharusnya kita mencurahkan waktu sesedikit mungkin untuk menyerang
lawan dan sebanyak-banyaknya untuk memahami pendapat mereka. Kita
sudah semestinya mulai memahami bagaimana caranya memanfaatkan
pemikiran paradigma lain guna mengembangkan perspektif yang lebih
menyatu.
BAB VI
Menuju Paradigma Sosiologi Yang Terpadu

Paradigma Sosiologi yang terpadu itu harus menjelaskan :


- kesatuan makro-obyektif seperti birokrasi,
- struktur makro-subyektif seperti kultur,
- fenomena mikro-obyektif seperti pola-pola imteraksi sosial, dan
- fakta-fakta mikro-subyektif seperti proses pembentukan realitas.

Lalu hubungan antara keempat ini dapat diuraikan menjadi satu bentuk
tabel seperti dibawah ini :
Tingkatan realitas social Paradigma Sosiologi
Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada realitas
sosial pada tingkatan makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma
definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan
mikro-subyektif dan sebagai mikro-obyektif yang tergantung kepada
proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan
sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak tercakup
kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut
tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri
actor, yang disini disebut sebagai ‘behavior’ itu.

Kesimpulan
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma banyak, mengapa
dikatakan demikian ? hal ini dikarenakan, antara paradigma yang satu
dengan paradigma yang lain terdapat perbedaan bahkan pertentangan
pandangan tentang disiplin sosiologi sebagai suatu kebulatan dan tentang
batas-batas bidang paradigma itu masing-masing. Dalam bidang ilmu ini
terdapat bebrapa paradigma yang memaparkan dan menjelaskan cabang-
cabang paradigmanya dan spsesifikasi bidangnya masing-masing.
Setidaknya terdapat 3 paradigma yang mendasari ilmu sosiologi ini
diantaranya :
1. Paradigma Fakta Sosial, yang dibagi lagi menjadi dua objek kajian :
a. struktur sosial, dan
b. pranata social
2. Paradigma Definisi Sosial, yang terbagi menjadi tiga teori diantaranya :
a. Teori Aksi (action theory),
b. Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan
c. Fenomenologi (Phenomenology).
3. Paradigma Perilaku Sosial, terbagi menjadi dua teori diantaranya :
a. Behavioral Sociology Theory
b. Exchange Theory

Ketiga paradigma teori tersebut telah dipaparkan penjelasannya diatas


beserta dengan cabang-cabang teori yang mendukung kostrruk
paradigmanya. Selain itu juga banyak spesifikasi yang diberikan oleh para
ahli dalam memberikaj suatu asumsi-asumsi terhadap paradigma tersebut
dengan penjelasannya masing-masing.

Tanggapan
Substansi buku ini telah dapat dikatakan sempurna dikarenakan Ritzer
mengangkat tema-per temanya sesuai dengan penjelasan yang tepat
diberikan oleh para ahli dibidangnya masing-masing. Dalam buku ini Ritzer
pun tak jarang memberikan bantahan-bantahannya, atau bahkan
terkadang memberikan komparatif terhadap satu paradigma dengan
paradigma lainnya. Namun mungkin yang ada adalah kelemahan dari
penyadurnya, dimana buku yang diterjemahkannya ini masih terdapat
seringkali keruwetan dalam penggunaan tanda baca. Dan juga seperti apa
yang dituliskan oleh penyadurnya yaitu kelemahan dari buku yang
disadurnya adalah berpangkal dari keterbatasan dan kemampuan dalam
mencernakan ‘grand theories’ dari Ritzer ini. Tapi secara totalitas di buku
yang tipis ini penjelasan tentang mengapa sosiologi menjadi terdiri dari
berbagai paradigma telah tercakup dengan lengkap dibuku ini dengan
baik.

http://adjhee.wordpress.com/2007/12/12/resume-sosiologi-ilmu-
pengetahuan-berparadigma-ganda/

Pengantar Sosiologi

Sosiologi

adalah suatu ilmu sosial yang mempelajari tentang hubungan yang terjadi
dalam masyarakat (interaksi sosial) dan proses yang terjadi akibat
hubungan tersebut masyarakat, serta mempelajari fakta-fakta yang ada
dimasyarakat yang mungkin dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah
yang muncul dalam masyarakat tersebut. Sehingga dalam pengantar
sosiologi ini kita akan mempelajari mulai dari masyarakat itu sendiri,
proses interaksi dalam masyarakat, proses sosialisasi, kebudayaan,
stratifikasi, perubahan sosial, kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan
sampai pada masalah-masalah sosial.

Auguste Comte dan Positivisme


In Barat, Filsafat, Makalah, Positivisme on Februari 7, 2009 at 6:24 am

Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan
’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini
bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku
Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna
untuk kata positive.[1] Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar
hukum positif yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum
adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum positif berarti hukum, dan juga
hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan oleh manusia dan berdasar
rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara berbeda. Tapi, arti ini,
sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal dari kata ini. Dalam
kamus saku Oxford, makna jelas adalah arti kelima bagi kata positive.
Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan
Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di
Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis,
yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[2] Hal
ini, yang kemudian berkembangan menjadi paradigma positivistik ini,
merasuk ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-
ilmu humaniora. Tulisan pendek ini akan mencoba memaparkan Auguste
Comte dan positivisme yang diperkenalkannya.

AUGUSTE COMTE

Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois


Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari
1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas
Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di
Paris.[3] Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua
tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada
pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai
meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.[4] Pada Agustus
1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat,
Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan
matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian
Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui
pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya
pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua.
Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan
dipengaruhi oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu,
Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya
mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the
Cours de Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama
lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari
habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya
sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.[5]
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan
publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de
Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana
Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan
akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul
bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.
[6]
Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga
tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon.
Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi
pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan
kepada industri. Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani proses
pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya yang tidak
stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang
filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42. Kehidupan Comte yang
berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal kehidupannya.[7]
Tahap ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis
A Sytem of Positive Polity antara 1851-54.[8] Dalam perjalanan sejarah,
alih-alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai praktisi ilmu
sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada penjelasan dan
prediksi tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September 1857
tokoh yang sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal
dunia.[10]

KELAHIRAN FILSAFAT POSITIVISTIK[11]

Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa


satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada
pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan
melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang
karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian
diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga
digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir.
Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat
pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas.[12]
Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang
perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa
menemukan hukum yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian
dikenal sebagai Law of Three Stages, yang setiap konsepsi dan
pengetahuan manusiawi pasti melewatinya, secara berurutan adalah
kondisi teologi yang bercorak fiktif, kondisi metafisis yang bercorak
abstrak, dan saintifik atau positive. Bagi Comte, pikiran manusia
berkembang dengan melewati tiga tahap filsafati, yang berbeda dan
berlawanan.[13] Dari tiga tahap pemikiran manusia ini, yang pertama
mestilah menjadi titik awal pemahaman manusia dalam memahami dunia.
Sedangkan tahap ketiga adalah tahap akhir dan definitif dari
intelektualitas manusia. Tahap kedua hanyalah menjadi tahap transisi
saja.[14]
Pengaruh terhadap pemikiran Comte tentang Hukum Tiga Tahap bisa
dilacak pada iklim intelektual abad delapan belas dimana banyak ilmuan
sampai pada simpulan tentang tahapan-tahapan sejarah. Beberapa
diantara pemikir yang berpengaruh adalah Turgot, Quesnay, Condorcet,
dan Robertson yang berpandangan tentang multi-tahap perkembangan
ekonomi dalam sejarah manusia. Menjelang penemuan Hukum Tiga
Tahap, Comte telah akrab dengan skema yang mirip yang diadopsi oleh
Condorcet dari karya Turgot Second Discourse on Universal History, dan
oleh Saint-Simon dari Condorcet. Tentang tiga tahap perkembangan
intelektualitas manusia Turgot menulis:

”Before men were conversant with the mutual interconnection of physical


effects, nothing was more natural than to suppose that these were
produced byintelligent beings, invisible and resembling ourselves.
Everything that happened…had its god…
When the philosophers had recognised the absurdity of these fables…the
idea struck them to explain the causes of phenomena by way of abstract
expressions like essences and faculties: expressions which in fact
explained nothing, and about which men reasoned as if they were beings,
new gods substituted for the old ones. Following these analogies, faculties
were proliferated in order to provide a cause for each effect.
It was only much later, through observation of the mechanical action
which bodies have upon one another, that men derived from this
mechanics other hypotheses which mathematics was able to develop and
experiment to verify.”
Oleh Comte, skema Turgot disebut sebagai hukum mendasar (great
fundamental law) yang secara pasti memengaruhi keseluruhan
perkembangan intelektual manusia dalam seluruh bidang pengetahuan.
[15]
Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini
telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh
kedua. Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas
penerapan positivisme pada filsafat.[16] Filsafat positivistik ini dibangun
berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern (baca: capaian
sains hingga zaman Comte). Dari filsafat kuno, Comte meminjam
pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang
saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte
menggunakan ide positivistik a la Newton, yakni metode filsafati yang
terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan mengorganisasikan
realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan
antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam
(natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat positivistik
sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena filsafat
positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab
sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.[17]

PENGARUH POSITIVISME COMTE

Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan


intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart
Mill, dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak
tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H.
Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s
Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian
mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli
paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang
politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang
secara intelektual terpengaruh oleh Comte.[18]
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu,
Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih
dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile
Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide
Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua
orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius
selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya
filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.[19]
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim
yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar
sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia
merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi
dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study
of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi
dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum.
[20]

KRITIK ATAS POSITIVISME

Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang


dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua
”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau
kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam
hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme
biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.[21]
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik
ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi
sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif
dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme
secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai
”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi
lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara
sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami
realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan
menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan
tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada
kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki
elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter
konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.[22]

endnotes:

[1] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, h. 333.


[2] Muhammad Ali Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah
wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah, h. 225 dan 227-8.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 6 Februari
2009
[4] Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge
History of Philosophy, vol. VII, The Nineteeth Century, h. 123.
[5] Ibid.
[6] http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
[7] Philip Stoke, Philosophy 100 Essential Thinkers, h. 117.
[8] http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf
[9] Robert Brown, op.cit., h. 122.
[10] http://fajar13.co.cc/1_10_Ideology.html
[11] Penggunaan kata positivistik sebagai ajektifa bagi filsafat sebenarnya
kurang tepat, yang tepat seharusnya filsafat positiv (dengan ’v’ alih-alih
’f’). Penggunaan ini semata untuk menghindari kesalahpahaman yang
ditimbulkan dari kata positif dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa
Inggris kata positif (dengan ’f’) memiliki arti berbeda dengan positive
(positive).
[12] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[13] Auguste Comte, The Positive Philosophy, terj. Harriet Martineau, v. I,
h. 27.
[14] Ibid., v. I, h. 28.
[15] Robert Brown, op.cit., h. 124-5.
[16] Pierre Macherey, Comte al-Falsafah wa al-Ulum, terj. Sami Adham, h.
14-5
[17] Ibid., h. 12-3 dan Robert Brown, op. cit., h. 126.
[18] Robert Brown, op.cit., h. 141.
[19] Ibid.
[20] Ibid., h. 141-3.
[21] Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v. I, h.
566 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[22] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism

DAFTAR BACAAN

Abu Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa


Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah).
Comte, Auguste. The Positive Philosophy. terj. Harriet Martineau. 1896.
(George Bell & Sons: London).
Oxford Learner’s Pocket Dictionary. 2005. (Oxford University Press:
Oxford).
Stoke, Philip. Philosophy, 100 Essential Thinkers. 2006. (Enchanted Lion
Books: New York).
Ten, C. L. Routledge History of Philosophy, The Nineteeth Century. 1994.
(Routledge: London dan New York).
Macherey, Pierre. Comte, al-Falsafah wa al-Ulum. terj. Sami Adham. 1994.
(al- Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut).

Sumber Internet:
http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte

http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10

http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf

http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism

allcot Parsons Fungsionalisme struktural


Rabu,07April

Pendahuluan

Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat


bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini
disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan
sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para
pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.
Biografi singkat Tallcot Parsons

Teori fungsional Struktural merupakan karya dari Talcott Parsons, parsons


lahir tahun 1902 di Colorado Spring, Colorado. Selama hidupnya membuat
sejulah besar karya teoritisi. Bahasan tentang fungsionalisme struktural
parson ini akan dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem
”tindakan” terkenal dengan skema AGIL (Adaptation goal attainment
integration latensi), secara bersama-sama, keempat imperatif fungsional
ini dikenal dengan skema AGIL Ritzer.

Tinjauan singkat tentang Teori Fungsional Struktural


Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan
hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari
paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret
M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 )
mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori
ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini
merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru
lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri
sendiri.

Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi
terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori
fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada
dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-
elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional –


structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa
setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain,
sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau
hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian
berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.
Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli
teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas
tentang teori-teori fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang
mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa
pendekatan ini ( fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi
pengetahuan sosiologis. Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip
dari analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah :
1.postulat pertama adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat
dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial
bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal
yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak
dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi
bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah
bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam
kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok,
tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain

2.postulat kedua yaitu fungionalisme universal yang menganggap


bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki
fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya
disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi.
Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat
disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus
dipertimbangkan.

Teori Funsionalisme structural


Parson adalah tokoh fungsionalisme struktural modern terbesar hingga
saat ini.Pendekatan fungsionalisme-struktural sebagaimana yang telah
dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat dikaji melalu
anggapan-anggapan dasar berikut:a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai
suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama
lainb. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara
bagian-bagian tersebut bersifat timbal balikc. Sekalipun integrasi sosial
tidak pernah dapat dicapi dengan sempurna, namun secara fundamental
sistem sosial selalu cenderung bergerak kearah ekuilibrium yang bersifat
dinamis.

d. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi


ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.
e. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual,
melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.f. Faktor
paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah
konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai
nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Dengan kata lain, suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah
suatu sistem dari tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang
terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh berkembang tidak secara
kebetulan, namun tumbuh dan berkembang di atas consensus, di atas
standar penilaian umum masyarakat. Yang paling penting di antara
berbagai standar penilaian umum tersebut adalah norma-norma sosial.
Norma-norma sosial itulah yang membentuk struktur sosial. Sistem nilai
ini, selain menjadi sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi
sosial, juga merupakan unsur yang menstabilir sistem sosial budaya itu
sendiri. Oleh karena setiap orang menganut dan mengikuti pengertian-
pengertian yang sama mengenai situasi-situasi tertentu dalam bentuk
norma-norma sosial, maka tingkah laku mereka kemudian terjalin
sedemikian rupa ke dalam bentuk suatu struktur sosial tertentu. Kemudian
pengaturan interaksi sosial di antara mereka dapat terjadi Karena
komitmen mereka terhadap norma-norma yang mampu mengatasi
perbedaan pendapat dan kepentingan individu. Dua macam mekanisme
sosial yang paling penting di mana hasrat-hasrat para anggota masyarakat
dapat dikendalikan pada tingkat dan arah menuju terpeliharanya sistem
sosial adalah mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial (social control)

B. Paradigma AGIL (Adaptation, Goal-Attainment, Integration,


Latent-Pattern-Maintenance)
Kehidupan sosial sebagai suatu sistem sosial memerlukan terjadinya
ketergantungan yang berimbas pada kestabilan sosial. Sistem yang
timpang, sebut saja karena tidak adanya kesadaran bahwa mereka
merupakan sebuah kesatuan, menjadikan sistem tersebut tidak teratur.
Suatu sistem sosial akan selalu terjadi keseimbangan apabila ia menjaga
Safety Valve atau katup pengaman yang terkandung dalam paradigma
AGIL . Paradigma AGIL adalah salah satu teori Sosiologi yang
dikemukakan oleh ahli sosiologi Amerika, Talcott Parsons pada sekitar
tahun 1950. Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis mengenai
keperluan sosial (kebutuhan fungsional) tertentu, yang mana setiap
masyarakat harus memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan
kehidupan sosial yang stabil. Teori AGIL adalah sebagian teori sosial yang
dipaparkan oleh Parson mengenai struktur fungsional, diuraikan dalam
bukunya The Social System, yang bertujuan untuk membuat persatuan
pada keseluruhan system sosial. Teori Parsons dan Paradigma AGIL
sebagai elemen utamanya mendominasi teori sosiologi dari tahun 1950
hingga 1970.
AGIL merupakan akronim dari Adaptation, Goal Attainment, Integration,
dan Latency atau latent pattern-maintenance, meskipun demikian tidak
terdapat skala prioritas dalam pengurutannya.a. Adaptation yaitu
kemampuan masyarakat untuk berinteraksi dengan lingkungan dan alam.
Hal ini mencakup segala hal; mengumpulkan sumber-sumber kehidupan
dan menghasilkan komuditas untuk redistribusi sosial. Misalnya bagaimana
seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.b. Goal-
Attainment adalah kecakapan untuk mengatur dan menyusun tujuan-
tujuan masa depan dan membuat keputusan yang sesuai dengan itu.
Pemecahan permasalahan politik dan sasaran-sasaran sosial adalah
bagian dari kebutuhan ini.c. Integration atau harmonisasi keseluruhan
anggota sistem sosial setelah sebuah general agreement mengenai nilai-
nilai atau norma pada masyarakat ditetapkan. Di sinilah peran nilai
tersebut sebagai pengintegrasi sebuah sistem sosial, misalnya
pemenangan hasil pemilu.d. Latency (Latent-Pattern-Maintenance) adalah
memelihara sebuah pola, dalam hal ini nilai-nilai kemasyrakatan tertentu
seperti budaya, norma, aturan dan sebagainya.
Di samping itu, Parsons menilai, keberlanjutan sebuah sistem bergantung
pada persyaratan:a. Sistem harus terstruktur agar bisa menjaga
keberlangsungan hidupnya dan juga harus mampu harmonis dengan
sistem lainb. Sistem harus mendapat dukungan yang diperlukan dari
sistem lain
c. Sistem harus mampu mengakomodasi para aktornya secara
proporsionald. Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai
dari para aktornyae. Sistem harus mampu untuk mengendalikan perilaku
yang berpotensi menggangguf. Bila terjadi konflik menimbulkan
kekacauan harus dapat dikendalikang. Sistem harus memiliki bahasa Aktor
dan Sistem Sosial.Menurutnya persyaratan kunci bagi terpeliharanya
integrasi pola nilai dan norma ke dalam sistem ialah dengan sosialisasi dan
internalisasi. Pada proses Sosialisasi yang sukses, nilai dan norma sistem
sosial itu akan diinternalisasikan. Artinya ialah nilai dan norma sistem
sosial ini menjadi bagian kesadaran dari aktor tersebut. Akibatnya ketika
sang aktor sedang mengejar kepentingan mereka maka secara langsung
dia juga sedang mengejar kepentingan sistem sosialnya.Sementara proses
sosialisasi ini berhubungan dengan pengalaman hidup (dan spesifik) dan
harus berlangsung secara terus menerus, karena nilai dan norma yang
diproleh sewaktu kecil tidaklah cukup untuk menjawab tantangan ketika
dewasa.

Pengaruh Teori ini dalam Kehidupan Sosial


Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang
berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural
cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara
simbolis : 1. pencarian pemuasan psikis2. kepentingan dalam
menguraikan pengrtian-pengertian simbolis3. kebutuhan untuk
beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan4. usaha untuk
berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat
fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan
sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-
masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system
empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu
kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota
dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “
.Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak
selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini
benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi
tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas
bagian-bagian yang saling tergantung. Fungsionalisme struktural sering
menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga
sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang
saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system
pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme
struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling
bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat
di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah.
Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan
tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga
mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring
dengan perkembangan kehidupan manusia.

Penutup
Teori fungsional struktural bukan hal yang baru lagi didalam dunia
sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan
merata. Sehingga tak ayal banyak Negara yang menggunakan teori ini di
dalam menjalankan pemerintahannya baik itu mengatur suatu pola
interaksi maupun relasi diantara masyarakat. Dalam kesempatan ini
setidaknya pemakalah dapat mengambil keseimpulan bahwa secara
singkat dan sederhana teori sosial ini merupakan seperti rantai sosiologi
manusia, dimana didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan
saling berhubungan. Juga adanya saling ketergantungan, layaknya suatu
jasad maka apabila salah satu bagian tubuh jasad tersebut ada yang sakit
ataupun melemah sangat ber-implikasi pula pada bagian yang lain.

Sekiranya hanya ini yang dapat kami selesaikan dalam penyusunan


makalah ini, terasa bagi kami kesulitan dalam mencari refrensi tentang
pengertian yang mendalam dari teori ini. Sehingga nantinya dapat
dijadikan bahan pembelajaran yang lebih mendalam bagi kawan-kawan
yang haus akan suatu ilmu. Kami memohon maaf bila banyak kekurangan
dan mungkin ada yang bingung terhadap bahsa yang dipergunakan dalam
penulisan. Oleh karena itu input kalian sangat berarti bagi kami penyusun
makalah.

Referensi

Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer ( terj ), Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2003
Soetomo, Drs, Masalah Sosial dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka Jaya,
1995

Blog ini

Di-link Dari Sini

Web

Blog ini 

 
 

Di-link Dari Sini

Web

Rabu, 04 Agustus 2010

Merajut Persekutuan (Gemeinschaft) dengan Konsep Per-Teman-


an
“GMKI bukanlah merupakan gesellschaft, melainkan ia adalah suatu gemeinschaft, persekutuan dalam
Kristus Tuhannya…” bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita yang tergabung dalam persekutuan yang
sering diistilahkan dengan “benang biru” yaitu Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Kutipan diatas disampaikan salah satu founding father GMKI, Johannes Leimena pada saat
memproklamirkan bahwa sudah saatnya mahasiswa ikut ambil bagian dalam perjuangan pergerakan
untuk kebaikan dan kepentingan negara dan bangsa Indonesia, serta memperjuangkan oikumenisme
(eucumenical’s mission) dalam injil kehidupan, kematian dan kebaktian Yesus Kristus sebagai Sang
Kepala Gerakan.

Berangkat dari terminologi diatas, gemeinschaft dan gesellschaft merupakan pada dasarnya pengertian
dari teori sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tonnies, tokoh sosiolog kenamaan yang satu ini
membedakan dua tipologi persekutuan (asosiasi) yang ada di masyarakat, yaitu asosiasi Gemeinschaft
dan Gesellschaft berdasarkan pada upaya untuk mengungkap motif dan sentimen yang ada di balik
hubungan antar manusia atau masyarakat yang membuatnya tetap bersama dan melakukan kerja sama.

Gemeinschaft adalah masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman, memiliki tujuan kesatuan
yang esensial, orang bekerja sama untuk kepentingan bersama, kehidupan sosial bercirikan: "hidup
bersama yang karib, pribadi dan eksklusif”, mereka mengakui "kebaikan bersama, kejahatan bersama,
sahabat bersama, musuh bersama", dalam diri mereka terkandung "we-ness" dan "our-ness", dan
dipandang sebagai organisme hidup. Sedangkan, Gesellschaft adalah kumpulan (association) yang
menjadi ciri kota besar, yang bercirikan perpecahan (individualisme dan mementingkan diri sendiri), tidak
ada kebaikan bersama dan ikatan keluarga, lingkungan cenderung tidak banyak mempunyai arti
mekanikal dan artifact (buatan manusia), lebih rasional, lebih memperhitungkan, dan eksistensi bergeser
dari kelompok ke individual.

Berbeda halnya kalau kita merujuk dari teori yang dikemukakan oleh Durkheim. Tokoh sosiolog yang
satu ini agak berbeda pemahaman dalam melihat sisi solidaritas sosialnya. Untuk itu, ia kemudian
mengembangkan konsep tentang solidaritas mekanik dan solidaritas organik yang pada tataran tertentu
dapat disamakan atau dibandingkan dengan Gemeinschaft dan Gesellschaft dari Tonnies.

Adapun ciri-ciri dari solidaritas mekanik dan organik adalah sebagai berikut: Solidaritas mekanik merujuk
kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama. Disebut mekanik,
karena orang yang hidup dalam unit keluarga suku atau kota relatif dapat berdiri sendiri dan juga
memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa tergantung pada kelompok lain. Sedangkan, Solidaritas organik
menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat yang merupakan ciri dari
masyarakat modern, khususnya kota. bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan
didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda, seperti dalam organ tubuh, orang
lebih banyak saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dalam Division of Labor yang rumit ini, Durkheim melihat adanya kebebasan yang lebih besar untuk
semua masyarakat: kemampuan untuk melakukan lebih banyak pilihan dalam kehidupan mereka.
Meskipun Durkheim mengakui bahwa kota-kota dapat menciptakan impersonality (sifat tidak mengenal
orang lain), alienasi, disagreement dan konflik, ia mengatakan bahwa solidaritas organik lebih baik dari
pada solidaritas mekanik. Beban yang kami berikan dalam masyarakat modern lebih ringan daripada
masyarakat pedesaan dan memberikan lebih banyak ruang kepada kita untuk bergerak bebas.

Kita harus jujur mengakui. Banyak dari kalangan kita tidak mampu lagi memaknai persekutuan yang
dimaksud dalam terminologi diatas. Sudah sangat jelas bahwa GMKI adalah Gemeinschaft yang
mengandung prinsip yang berbeda dengan Gesellschaft.

Hal ini jelas keliatan dalam aktivitas tugas pelayanan kita dalam menjalankan tugas-tugas organisasi.
Kecurigaan subjektif dapat membiaskan semangat persekutuan dalam membina kasih persaudaraan
sehingga berdampak pada susahnya mengoptimalkan kerja-kerja (program) guna pencapaian tantangan
medan pelayanan GMKI (Perguruan Tinggi, Gereja dan Masyarakat). Ini merupakan salah satu dari
banyak sebab yang dianggap penulis sebagai ketidakmampuan kita dalam mengaplikasikan semangat
persekutuan yang sering kita singgung baik dalam forum resmi maupun dalam forum dan diskusi yang
sifatnya tidak resmi.

Masih banyak soal-soal yang bisa menjadi koreksi pemahaman kita dalam memaknai persekutuan. Dalam
berdebat misalnya, pernahkah kita menempatkan lawan bicara kita sebagai saudara sebagaimana prinsip
sebuah persekutuan? Mungkin bagi kita merupakan kebanggaan tersendiri bila membuat lawan bicara
kita yang notabenenya saudara sebenang biru merasa tersudut, keliatan bodoh, bereaksi marah karena
argumentasi yang bersifat meyinggung hak pribadi (privillage). Atau pernahkah kita menganggap
persoalan yang dihadapi kelompok lain di dalam kita merupakan persoalan kita bersama? Pernahkah kita
berusaha untuk mendiskreditkan orang atau badan/lembaga yang nyata-nyatanya berada dalam
persekutuan kita bersama?

Pertanyaan-pertanyaan diatas bukan merupakan suatu bentuk justifikasi tetapi lebih kepada bagaimana
kita sebagai entitas-entitas hidup mengenal persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan kita yang
mungkin bermuara pada kontradiksi atau semacam distorsi ide dengan kenyataan.

Bagi orang percaya hubungan dengan Tuhan adalah hal yang terpenting dan terutama. Kita rindu untuk
mempunyai hubungan dan persekutuan yang indah dengan Tuhan. Tetapi hal yang tidak boleh diabaikan
adalah hubungan di antara sesama kita. Karena suatu hubungan/persekutuan dengan Allah yang baik
dan benar, secara otomatis orang tersebut seharusnya mempunyai hubungan yang baik dengan
sesamanya, khususnya saudara-saudari seiman.

Adalah bahaya besar kalau dikatakan orang ini rohani, punya persekutuan yang indah dengan Tuhan,
tetapi persekutuan dengan saudara seiman bermasalah. Jadi persekutuan antara sesama adalah cermin
dari ibadah kita yang benar dan baik dengan saleh. Kalau hubungan vertikal baik, otomatis hubungan
horisontal juga baik. Bisa jadi seorang yang mempunyai hubungan horisontal bagus, belum tentu
memiliki hubungan vertikal yang bagus pula. Tetapi seorang yang mempunyai hubungan vertikal yang
bagus, seharusnya hubungan horisontalnya juga bagus.

Dalam memahami persekutuan yang dimaksud diatas, penulis ingin mengajak kita menyederhanakan
persoalan tetapi bukan dalam rangka mengurangi apa yang menjadi esensi yang kita bicarakan.

Persekutuan erat kaitannya dengan pertemanan. Mungkin banyak dari antara kita yang meragukan
kesimpulan ini. Tapi itu sah-sah saja. Semua merupakan proses dialektika argumen dalam mencapai
pengertian yang lebih mendalam untuk mencapai persamaan pemaknaan. Tapi setidaknya itulah yang
dirasakan penulis hingga harus mengangkat tulisan ini untuk bahan evaluasi atau rekomendasi dalam
menata hubungan interpersonal kita (persekutuan ala GMKI).

Kejujuran merupakan cikal bakal perubahan, merupakan kalimat sakti yang harus kita renungkan
bersama-sama. Mungkin tidaklah sesuatu yang berlebihan bahwa pengingkaran terhadapa prinsip
kejujuran merupakan tindakan yang kontra revolusioner (hegemoni pasca kemerdekaan Soekarno).
Ketidakjujuran dalam melihat persoalan akan menghasilkan penyelesaian yang tidak menyentuh akar
persoalan. Misalnya, ketidakjujuran mengakui kemampuan pengurus organisasi akan tugas-tugasnya
berdampak susahnya organisasi mencari solusi persoalan dalam tubuh organisasi.

Banyak dari antara kita masih bergabung dalam organisasi ini dikarenakan hubungan pertemanan.
Anggota-anggota dalam sebuah organisasi GMKI merupakan entitas-entitas yang diberi tugas untuk
mewujudkan apa yang menjadi visi dan misi organisasi dalam balutan persekutuan. Apa jadinya kalau
seorang entitas dalam organisasi merasa sudah tidak punya teman dalam organisasi tersebut? Akankah
dia masih tetap memilih untuk aktif berkegiatan? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Sejauh
mana motivasi kita dalam bergabung dalam persekutuan ini akan menentukan keputusan yang akan kita
ambil bila terlibat dalam pengandaian tersebut.

Tetapi harus kita akui, hampir kebanyakan dari kita yang masih bertahan dalam perserkutuan ini lebih
didasari oleh latar belakang pertemanan, baik itu dalam mencari teman biasa maupun teman yang luar
biasa (maksudnya pacar atau yang lebih lagi teman hidup). Sulitnya rasanya menepis anggapan ini,
apalagi sering kali kita sebagai entitas dalam organisasi ini memplesetkan istilah GMKI dengan Gerakan
Mencari Kawan Intim yang mungkin bagi sebagian orang merupakan bahan gurauan sesaat yang bisa
menghidupkan suasana pembicaraan atau barangkali ada pesan-pesan yang mau disampaikan dalam
rangka menggugat realitas yang terjadi terhadap penyelewangan dari cita-cita luhur pendiri organisasi
ini.

Tidak ada yang salah menggunakan pendekatan pertemanan dalam membangun persekutuan dalam
tubuh organisasi ini. Terbukti, kehadiran GMKI sampai saat ini masih tetap eksis dikarenakan pendekatan
pertemanan diatas. Barangkali kalau kita mau lebih serius menggali pemahaman tentang organisasi ini.
Kita akan menemukan kesadaran yang lebih tinggi sifatnya mengarahkan kita pada apa yang dinamakan
militansi berorganisasi. Bahwasanya kita masih tetap berdiri di GMKI dikarenakan panggilan-Nya untuk
berbuat setelah anugerah (Sola Gratia) yang diberikan-Nya kepada kita sebagai warga Kerajaan Sorga
bagi yang percaya pada-Nya (Roma 10: 9, Yohanes 5: 24, 1 Yohanes 5; 13, dan Yohanes 20: 31).

Penulis jadi teringat akan suatu kalimat bijak yang digunakan “saudara kita yang diseberang” dalam
menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi mereka ditengah pesatnya
pemikiran pragmatisme mahasiswa dalam berburu organisasi yang mapan. Disebutkan “Jangan mencari
hidup di Muhammadiyah, tetapi hidup-hidupilah Muhammadiyah” barangkali seperti itulah pesan yang
dimanisfestasikan dalam susunan kalimat yang menggugah kesadaran pembacanya.

Tidak ada salahnya kalau kita belajar dari kata-kata bijak diatas.

Diposkan oleh Tampubolon's Triad di 22:46

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke
Google Buzz
GEMEINSCHAFT DAN
GESSELSCHAFT
April 10th, 2010 • Related • Filed Under

Nama : ANGGRIAWAN ADI KUSUMO


NPM : 24209921
KELAS : 1EB11
Sosiologi Perkotaan
Pengertian Umum Kota
Sosiologi perkotaan (urban sociology), sering juga disebut kajian sosiologis
mengenai kota-kota (the sociology of cities). Sosiologi perkotaan terfokus pada
kajian proses sosial ekonomi yang terjadi di pemukiman manusia yang bernama
“kota” dan melihat proses tersebut sebagai produk dari kapitalisme (Saunders
1996; bandingkan Schwab 1992; Spates dan Macionis 1982).
Kota (city) diartikan sebagai “an inhabited place of greater size or importance
than a town” (suatu tempat hunian yang lebih besar dan penting dari sebuah kota
kecil). Kota kecil (town) adalah “a heavily populated area as distinguished from
surrounding rural territory” (kawasan padat penduduk yang dapat dibedakan
dengan pedesaan sekitarnya). Pedesaan biasanya dikaitkan dengan perkampungan
dan pekerjaan bertani (dalam bahasa Latin ruralis). Sedangkan istilah
perkampungan biasanya dipahami sebagai hamparan tanah yang cukup luas
dengan tingkat hunian jarang.
David dan Julia Jary (1991: 71) mendefinisikan kota sebagai “an inhabited place
which is differentiated from a town or village by its greater size and by the range
of activities practiced within its boundaries, usually religious, military political,
economic, educational and cultural”. Secara bebas definisi ini dapat
diterjemahkan, bahwa kota tidak lain adalah kawasan hunian yang relatif besar,
sehingga dapat dibedakan dengan kampung atau kota kecil, serta terdapat aktivitas
yang relatif beragam di bidang ekonomi, kebudayaan, keagamaan, pendidikan,
dan politik.
Kegiatan Belajar 2
Adakah Kota pada Masyarakat Kita Kini?
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pemahaman kota sebagai bentuk hunian
yang dinamis dan lintas waktu – sebagaimana dipahami kalangan liberal-lebih
mungkin kita terima. Sementara wujud kota yang dipahami oleh kalangan
“konservatif” sebagai satu hunian yang dikelilingi oleh benteng pertahanan
sehingga penghuninya dengan leluasa dan aman dapat melakukan berbagai
aktivitasnya, lebih logis kita tempatkan sebagai sejarah pemikiran tentang kota
yang tumbuh dalam konteks sosio-historis masyarakat Barat.
Sekalipun demikian, gagasan tentang kota dari kalangan “konservatif” bisa kita
jadikan sebagai titik tumpu untuk melihat sejarah perkembangan kota, baik dilihat
dari aspek yang berlanjut (kontinu) maupun aspek yang berubah (diskontinu).
Dengan memadukan dua gagasan itu, kita dapat memahami secara lebih baik
tentang pola perkembangan dan posisi sosial ekonomi dan politik kota tersebut
dalam konteks yang lebih luas. Uraian tentang kota-kota di Jerman khususnya
Heidelberg diatas, memperlihatkan pola kontinuitas dan diskontinuitas. Kota ini
masih memiliki struktur atau ciri kota abad pertengahan, disamping ciri baru yang
tumbuh di era modern.
Cara pemahaman di atas juga dapat diterapkan untuk menelaah “kota-kota” di
Indonesia. Uraian tentang sejarah perkembangan Kota Jakarta dan Bogor di atas,
memperlihatkan pola kontinu dan diskontinuitas. Warisan masa lalu Kota Jakarta
dapat kita jumpai di sekitar Kota-Gambir, disela-sela ciri baru yang tumbuh pada
paska kemerdekaan. Sementara warisan masa lalu di Bogor, dapat dijumpai di
pusat kotanya, berdampingan dengan ciri baru yang tumbuh di era modern.
Kegiatan Belajar 3
Bagaimana Kita Melihat Kota
Bagian terakhir dari Modul 1 ini memperlihatkan bahwa kapitalisme – dan
bukannya kota – merupakan penyebab utama proses-proses sosial, ekonomi,
budaya, dan politik di perkotaan. Sekalipun bukan penyebab utama, kota, dalam
hal ini, harus dilihat sebagai kawasan atau area yang memungkinkan kapitalisme
tumbuh dalam bentuk yang sangat nyata, secara cepat dan mendalam. Dan
karenanya, proses-proses sosial, ekonomi, dan politik yang disinyalir oleh Marx,
Weber, dan Durkheim berkembang di perkotaan.
Gagasan tentang kapitalisme sebagai penggerak kunci berbagai dinamika di
perkotaan di atas, dapat kita lacak bahkan pada para pendiri sosiologi: Karl Marx,
Emile Durkheim, dan Max Weber. Mereka yang hidup pada era pertumbuhan
dramatis kapitalisme, sadar betul bahwa kapitalisme yang menjadi agen
penggerak berbagai dinamika kehidupan masyarakat. Dalam kaitan dengan
gagasan di atas, kapitalisme mewujudkan dirinya secara bulat di kawasan
perkotaan, atau dengan kata lain, kota merupakan kawasan yang membuat
kapitalisme tumbuh subur, dan akhirnya mendorong proses pertumbuhan kota
dengan lebih cepat.
Proses pertumbuhan dan implikasi sosial ekonomi kapitalisme, yang keduanya
terkait dengan kawasan perkotaan merupakan fokus utama ketiga sosiolog klasik
di atas. Dalam pandangan Marx, kota adalah tempat tumbuhnya cara produksi
kapitalisme yang bersifat eksploitatif terhadap kaum buruh. Pola eksploitasi
demikian, tidak hanya terbatas hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga
sangat menentukan berbagai dimensi kehidupan kota yang lain, seperti
kebudayaan dan politik lokal. Pendek kata, infrasruktur ekonomi kota yang
bersifat kapitalis dan bersifat eksploitatif itu juga sangat menentukan terbentuknya
berbagai suprastruktur yang juga bersifat eksploitatif terhadap lapis terbawah
penduduk perkotaan.
Namun pada saat yang sama, Marx juga menaruh harapan pada kawasan
perkotaan, sebagai hunian masyarakat yang sangat memungkinkan lahirnya
perjuangan kelas, yang justru terdorong oleh watak kota yang bersifat eksploitatif
itu. Pola eksploitasi yang merambah di segenap kehidupan kota akan melahirkan
kesadaran kelas kaum proletar kota, dan akhirnya akan menggerakkan revolusi.
Sementara dalam pandangan Durkheim, implikasi sosial ekonomi kapitalisme
terlihat nyata pada division of labour. Pertama, kapitalisme dapat dilihat sebagai
faktor penggerak lahirnya division of labour. Pertumbuhan urbanisasi yang
didorong oleh kapitalisme telah membuat material density (dan kemudian moral
density) meningkat. Urbanisasi, yang sesungguhnya merupakan fenomena
semakin banyaknya jumlah penduduk di suatu kawasan bersama-sama dengan
perkembangan transportasi dan komunikasi menjadi salah satu pendorong divison
of labour. Hal itu karena bertalian dengan fakta bahwa jumlah penduduk yang
semakin banyak di satu kawasan hanya dapat bertahan hidup melalui diferensiasi
pekerjaan.
Selain gagasannya tentang diferensiasi perkerjaan yang terjadi di kota sebagai
respon terhadap peningkatan jumlah penduduk, gagasan lainnya yang terkandung
dalam division of labour adalah solidaritas organik. Solidaritas ini merupakan sisi
lain bahwa dalam division of labour terkandung realitas saling ketergantungan dan
saling melengkapi. Semakin tinggi diferensiasi (semakin terspesialisasinya
berbagai jenis pekerjaan itu), maka semakin tinggi pula realitas saling
ketergantungan antara satu sektor pekerjaan dengan yang lain. Fakta semakin
terspesialisasinya perkerjaan itu merupakan ciri suatu masyarakat yang sudah
mengalami era kapitalisme yang lebih lanjut. Atau dengan kata lain (kedua),
divison of labour tersebut pada akhirnya dapat mempercepat perkembangan
kapitalisme.
Sedangkan dalam pandangan Weber, kota merupakan hunian masyarakat manusia
yang telah terlebih dahulu memapankan institusi yang memungkinkan sistem
ekonomi kapitalisme berkembang. Segenap institusi ekonomi, politik, dan hukum
pada masyarakat kota telah mengalami proses tranformasi pada dirinya sendiri,
sehingga menjadi institusi yang digerakkan oleh asas rasionalitas.

Budaya kebersamaan
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/1913039-budaya-kebersamaan/

oleh: elrazie    
 Summary rating: 3 stars (10 Tinjauan)
 Kunjungan : 1458

 kata:600 

More About : maksud gemeinschaft dalam konteks sosial


 
Budaya makan enggak makan asal kumpul,
gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-structures suatu bentuk interaksi sosial
kekeluargaan, solidaritas sosial, perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa
sepenanggungan, tenggang rasa atau tepa selira dengan nilai-nilai moral berupa
penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kejujuran, kerukunan, dan
kesetiakawanan. Disadari ataupun tidak disadari akhir-akhir ini telah menjauh dari
kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia. Kebersamaan yang
indah yang mulai terkikis oleh budaya-budaya individualis. Pandangan hidup
yang mengagung-agungkan kebebasan personal yang mendorong manusia untuk
mendahulukan kepentingan dan kebebasan pribadi tanpa memikirkan hak-hak
orang lain. Sikap ini acapkali menjerumuskan manusia ke dalam perbenturan
dengan pihak lain dalam hidup sosial. Penyanjung kebebasan seakan-akan tinggal
di luar entitas sosial dan seolah-olah mereka tidak berdampingan dengan sesama.
Keberadaan budaya kebersamaan sekarang lebih menjadi nilai-nilai yang semu
dan artifisial, Menjauh dari titik nyatanya dan hanya sekedar simbol dipermukaan.
Pudarnya nilai-nilai luhur telah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi ‘kasar’
dan tanpa perasaan, dan semakin menguat manakala hukum tidak lagi mempunyai
kewibawaan untuk mengatur Kita. Jika terus sperti ini, apakah kita masih layak
disebut sebagai suatu bangsa?

Bangsa pada dasarnya merupakan suatu bentuk solidaritas kolektif; yang mana
lebih menonjolkan elemen kebersamaan dan tidak menyoroti masalah
ketidaksamaan ataupun eksploitasi. dalam konteks definisi kelompok social,
Ferdinand Tonnies mengemukakan bahwa kelompok sosial adalah suatu bentuk
kehidupan bersama, dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang
murni dan bersifat alamiah serta kekal. Batasan ini disebut Tonnies sebagai
paguyuban atau gemeinschaft.

Tonnies menyebutkan beberapa ciri peguyuban, yaitu; (1)intimate, hubungan


menyeluruh yang mesra antar individu dalam kelompok masyarakat. (2)Private,
hubungan yang bersifat pribadi antar sesama anggota masyarakat, karena faktor
pertalian darah. Dan yang ketiga adalah exclusive, yakni hubungan yang tertutup
antara segenap anggota masyarakat sebagai suatu paguyuban. Oleh karena itu di
dalam gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu common will (kemauan
bersama), dan juga ada suatu understanding (pengertian bersama), serta kaidah
yang timbul dengan sendiri dari kelompok tersebut. Tujuannya adalah
menciptakan keseimbangan (yang harmonis) antar anggota kelompok. Asas
persaudaraan ini dijaga oleh institusi negara yang memiliki kemampuan
menjangkau segenap anggota dari suatu bangsa. Fungsi lain dari suatu bangsa
adalah merusmuskan dan menegakkan aturan permainan, entah dalam kehidupan
ekonomi, dan politik, maupun kemasyarakatan yang disepakati oleh anggotanya.
Bangsa dibentuk oleh unsur kebudayaan, sejarah dan warisan tradisi lain yang
pernah ada sebelumnya. Dikatakan sebagai suatu solidaritas kolektif karena
memiliki lambang-lambang budaya sendiri seperti bahasa yang digunakan dalam
wilayah teritorial tertentu, yang sebenarnya mencerminkan suatu kesatuaan. Oleh
karena itu, konsep bangsa menonjolkan persaudaraan dan atau kebersamaan. Yang
mana kebersamaan ini akan membentuk suatu komunitas politik, bangsa dan
negara yang senantiasa mengalami proses rekonstruksi terus menerus sepanjang
sejarah perkembangannya.
Diterbitkan di: Juli 13, 2009   Diperbarui: Oktober 05, 2010
Mohon Ringkasan ini dinilai :1 2 3 4 5     
Nilai : 1 2 3 4 5      


o Link yang relevan :


o http://perjuanganku-elrazie.blogspot.com/

More About : maksud gemeinschaft dalam konteks sosial

Lebih lanjut tentang: Budaya kebersamaan

Etika Protestan dan Semangat


Kapitalisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_Protestan_dan_Semangat_Kapitalisme

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (bahasa Inggris: The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism) adalah sebuah buku yang ditulis oleh Max Weber,
seorang ekonom dan sosiolog Jerman pada 1904 dan 1905 yang mulai sebagai
sebuah seri esai. Edisi awal dalam bahasa Jerman dan berjudul: Die
protestantische Ethik und der 'Geist' des Kapitalismus. Terjemahan ke bahasa
Inggris dibuat pada 1930 dan beberapa edisi telah diedarkan.

Weber menulis bahwa kapitalisme berevolusi ketika etika Protestan (terutama


Calvinis) memengaruhi sejumlah orang untuk bekerja dalam dunia sekuler,
mengembangkan perusahaan mereka sendiri dan turut beserta dalam perdagangan
dan pengumpulan kekayaan untuk investasi. Dalam kata lain, etika Protestan
adalah sebuah kekuatan belakang dalam sebuah aksi masal tak terencana dan tak
terkoordinasi yang menuju ke pengembangan kapitalisme. Pemikiran ini juga
dikenal sebagai "Thesis Weber".
Sampul dari salah satu edisi karya Weber.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Isi buku
 2 Daftar isi

 3 Lihat pula

 4 Buku serupa

 5 Pranala luar

[sunting] Isi buku

Ada pendapat yang menyatakan bahwa buku ini tidak boleh dilihat sebagai studi
yang terinci tentang Protestanisme melainkan lebih sebagai pengantar ke dalam
karya-karya Weber yang belakangan, khususnya studinya tentang interaksi antara
berbagai gagasan keagamaan dan ekonomi.

Dalam Etika Protestan dan Semganta Kapitalisme, Weber mengajukan tesis


bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah memengaruhi perkembangan
kapitalisme. Namun demikian, devosi keagamaan biasanya disertai dengan
penolakan terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta
kekayaan. Mengapa hal ini tidak terjadi dengan Protestanisme? Weber membahas
apa yang kelihatan sebagai paradoks ini dalam bukunya.
Ia mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai gagasan dan kebiasaan yang
menunjang pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Weber menunjukkan
bahwa semangat seperti itu tidaklah terbatas pada budaya Barat bila hal itu
dipandang sebagai sikap individual, namun bahwa upaya individual yang heroik
— demikian ia menyebutnya — tidak dapat dengan sendirinya membentuk suatu
tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Kecenderungan-kecenderungan yang
paling umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal
dan gagasan bahwa kerja adalah suatu kutukan dan beban yang harus dihindari
khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan yang
sederhana. Seperti yang ditulisnya dalam esainya:

Agar suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan sifat-sifat khusus dari
kapitalisme… dapat mendominasi gaya hidup yang lainnya, ia harus muncul dari
suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi yang terpisah saja,
melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari keseluruhan kelompok
manusianya.

Setelah mendefinisikan 'semangat kapitalisme', Weber berpendapat bahwa ada


banyak alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan
keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty,
Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya telah
mengomentari kedekatan antara Protestanisme dengan perkembangan
komersialisme.

Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung


pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan
duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah
tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk
sampingan — logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang
didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung
mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan
ekonomi.

Weber menelusiri asal-usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam


pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang idnvidu dapat dijamin
keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-sakramen gereja dan otoritas
hierarkhinya. namun, Reformasi secara efektif telah menyingkirkan jaminan-
jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber mengakui bahwa seorang
"genius keagamaan" seperti Martin Luther mungkin dapat memiliki jaminan-
jaminan tersebut.

Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber
berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang
menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia menjadi sebuah ukuran
keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan argumen yang
sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja
yang mulai berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas
Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan
atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun.

Namun demikian, Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalam


Lutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba, melainkan
dalam bentuk Kekristenan yang Calvinis.

Dalam pengertian yang sederhana "paradoks" yang ditemukan Weber adalah:

 Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara


keagamaan didorong untuk mengikuti suatu panggilan sekular dengan semangat
sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih
besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.

 Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan


uang ini untuk kemeweahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan
dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandanga negatif karena orang yang
tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan
atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.

Cara memecahkan paradoks ini, demikian Weber, adalah menginvetasikan uang


ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme.

Pada saat ia menulis esai ini, Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan
pada umumnya telah lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan
Benjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan
penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani.

Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal sebagian disebabkan
oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang mewah yang mahal ditolak,
maka individu-individu dapat menerima produk-produk yang seragam, seperti
pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi.

Perlu dicatat bahwa Weber menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama


Puritan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan
ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya
(yang lainnya termasuk rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan
antara observasi dengan matematika, aturan-aturan ilmiah dan yurisprudensi,
sistematisasi rasional terhadap administrasi pemerintahan, dan usaha ekonomi.
Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan, menurut Weber, semata-mata
hanyalah menyelidiki suatu tahap dari emansipasi dari magi, pembebasan dari
ilusi dunia, yang dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan dari budaya
Barat.

Weber menyatakan dalam catatan kaki terakhirnya bahwa ia meninggalkan


penelitian terhadap Protestanisme karena rekannya Ernst Troeltsch, a seorang
teolog profesional, telah mulai menulis buku Ajaran Sosial Gereja-gereja Kristen
dan Sekte. Alasan lain untuk keputusan Weber ini ialah bahwa esainya telah
memberikan perspektif untuk perbandingan yang luas antara agama dan
masyarakat, yang dilanjutkannya dalam karya-karyanya berikutnya (studi tentang
agama di Tiongkok, India, dan agama Yudaisme.)

Buku ini juga merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep
rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran
kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara
keberadaan yang rasional, kekayaan. Pada suatu titik tertentu, rasional ini
berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang
mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi
intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat
Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.

Esai ini juga dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx
dan teori-teorinya. Sementara Marx berpendapat, pada umumnya, bahwa semua
lembaga manusia - termasuk agama - didasarkan pada dasar-dasar ekonomi, Etika
Protestan memalingkan kepalanya dari teori ini dengan menyiratkan bahwa
gerakan keagamaan memperkuat kapitalisme, dan bukan sebaliknya.

[sunting] Daftar isi

Bagian 1. Masalah

I. Afiliasi Agama dan Stratifikasi Sosial

Pekerjaan; Aturan Keagamaan; Etika Kerja; Rasionalisme Ekonomi;


Protestantisme vs. Katolisisme; Semangat Bisnis; Wilayah-wilayah Kapitalis;
Fokus Kota.

II. Semangat Kapitalisme

Individualitas Historis; Benjamin Franklin; Etos Kapitalis; Modern vs. Pra-modern


Kapitalisme; Rasionalisme vs. Traditionalisme; Etos dan Gagasan Keagamaan;
Gagasan tentang Panggilan.

III. Konsep Luther tentang Panggilan, Tugas Penyelidikan.

Asal-usul Panggilan; Pandangan Abad Pertengahan; Traditionalisme dan


Mistisisme Luther; Calvinisme dan Puritanisme; Kekuatan Sejarah.

Bagian 2. Etika Praktis dari Cabang-cabang Asketik Protestantisme

IV. Dasar-dasar Keagamaan dari Asketisisme Dunia

Sejarah Asketisisme Protestan

A. Calvinisme
Predestinasi; Eliminasi Magi; Rasionalisasi Dunia; Kepastian Keselamatan;
Lutheranisme vs. Calvinime; Katolisisme vs. Calvinisme; Monastisisme vs.
Puritanisme; Etika Methodis; Gagasan tentang Bukti.

B. Pietisme

Emosionalisme; Spener; Francke; Zinzendorf; Pietisme Jerman.

C. Methodisme

D. Sekte-sekte Puritan

Baptis dan Quaker; Prinsip Sekte; Asketisisme Duniawi; Transformasi Dunia.

V. Asketisisme dan Semangat Kapitalisme

Richard Baxter; Makna Kerja; Pembenaran atas Keuntungan; Kapitalisme Yahudi


vs. Puritan; Puritanisme dan Kebudayaan; Tabungan dan Modal; Paradoks
Asketisisme dan Kekayaan; Melayani Kedua Dunia; Etika Kapitalistik Warga
Negara; Kandang Besi Kapitalisme.

Etika
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Filosofi

Cabang[tampilkan]

Epistemologi
Estetika
Etika
Filosofi politik
Logika
Metafisika

Zaman[tampilkan]
Kuno
Pertengahan
Modern
Kontemporer
Tradisi[tampilkan]

Analitik
Kontinental
Timur
Islam
Marxisme
Platonisme
Skolastisisme
Filsuf[tampilkan]

Estetikawan
Epistemologian
Etikawan
Metafisikawan
Logikawan
Filsuf politik dan sosial
Sastra[tampilkan]

Estetika
Epistemologi
Etika
Logika
Metafisika
Politik filsafat
Daftar[tampilkan]

Garis besar
Topik
Teori
Glosari
Filsuf
Daftar filsuf Indonesia
Portal   l • b • s 

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang
utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral.[rujukan?] Etika mencakup analisis dan penerapan konsep
seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.[rujukan?]

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-


pendapat spontan kita.[rujukan?] Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara
lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.[1]
Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia.[rujukan?]

Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai
etika.[rujukan?] Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam
melakukan refleksi.[rujukan?] Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai
suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi
berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika
memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan
buruk terhadap perbuatan manusia.[2]

Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika
normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-
nilai etika).[rujukan?]

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Jenis Etika
o 1.1 Etika Filosofis

o 1.2 Etika Teologis

o 1.3 Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

 2 Reference

 3 Pranala luar

[sunting] Jenis Etika

[sunting] Etika Filosofis

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari
kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika
sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.[rujukan?]

Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan
dari filsafat.[rujukan?] Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita
harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua
sifat etika:[3]
1. Non-empiris[rujukan?] Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu
empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun
filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan
seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula
dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara
faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau
tidak boleh dilakukan.

2. Praktis[rujukan?] Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”.


Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak
terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan
demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung
berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi
ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai.
Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya
menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban,
dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan
kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang
tahan uji.

[sunting] Etika Teologis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika
teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat
memiliki etika teologisnya masing-masing.[rujukan?] Kedua, etika teologis
merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di
dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah
memahami etika secara umum.[4]

Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak
dari presuposisi-presuposisi teologis.[5] Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda
antara etika filosofis dan etika teologis.[rujukan?] Di dalam etika Kristen, misalnya,
etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang
Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam
kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.[rujukan?] Karena itu, etika teologis
disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris.[6] Etika
teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu
tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit
berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik
atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.[7]

Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang
diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara
agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam
merumuskan etika teologisnya.[rujukan?]
[sunting] Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam
ranah etika.[rujukan?] Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga
jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:[8]

 Revisionisme[rujukan?]

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika
teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika
filosofis.

 Sintesis[rujukan?]

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang


menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua
jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu
entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat
umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

 Diaparalelisme[rujukan?]

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap


etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut
dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.

Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai


pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak
dihormati setingkat dengan etika teologis.[rujukan?] Terhadap pandangan Thomas
Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika
filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis
telah diperkuat.[rujukan?] Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan
kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada
pertemuan di antara mereka.[9]

Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis
antara keduanya.[10] Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat
terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.[rujukan?]
Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan
bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya
hidup.

[sunting] Reference
1. ^ [K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 25.]
2. ^ Etika, 24-25

3. ^ Etika, 27-29
4. ^ [Eka Darmaputera. 1987. Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan
Pertama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 94.]

5. ^ [Paul L. Lehmann. 1963. Ethics in a Christian Context. New York:


Harper & Row Publishers, 25.]

6. ^ [J.A.B. Jongeneel. 1980. Hukum Kemerdekaan Jilid 1. Jakarta: BPK


Gunung Mulia, 15-16.]

7. ^ [J. Verkuyl. 1982. Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 17.]

8. ^ Ethics in a Christian Context, 254

9. ^ Ethics in a Christian Context, 254

10. ^ Hukum Kemerdekaan Jilid 1, 38.

Pemikiran Max  Weber


Oleh Sarip hasan

Memahami Pemikiran Max Weber


Oleh: Saripuddin *

Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan
agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia
mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara
stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya
barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur
berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya
terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar
dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu
saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya
ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang
pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan
dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu
emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi
sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting
dari budaya yang ada di barat.

Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat
Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika
protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras
dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme.
Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat
puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern
telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi
perilaku individu.

Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism


menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat
kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang
yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada
intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui
apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di
dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat
dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya
kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang
itu ditakdirkan untuk masuk neraka.

Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah


membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas
Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna
merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan
ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja
yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi
individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial
ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi
ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa
pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya
kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan
menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.

Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan


“mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya
menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi
kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes,
bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam
perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya
kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan
berpengaruh sangat kuat disana.

Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan


yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi.
Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya
pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada
memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh
Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna
doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat
disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk
bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun
dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi
kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.

Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik
memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya
merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika
Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata
dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari
individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi
keseluruhan kelompok manusia.

Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan
semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber
mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi
masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas katolik justru
sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik membakar teorinya Weber
sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi teorinya tidak
.dapat dijadikan ramalan masa depan
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme,
Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan
Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya
perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia.
Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-
masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya
Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat
dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja
dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk
mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan
Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang
agama.

Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat


Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian
barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha
mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam
rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan
studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu
dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan
empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,

Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat


Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka
sejak tahun 200 SM,

Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang
membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat
perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik,
ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan
oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan
keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing
merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak
pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara
beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak
kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta
sosial saat ini.

Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan
kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik
sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga
yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini
menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik
barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga
justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar
bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering
disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat
yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial
dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas
dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas
kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada
wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan
individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama
perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai
sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini
didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul
karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang
beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih
secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku
seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.

Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan


rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala
kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum
sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang
kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan
hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas
manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat
empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh
kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional,
artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai
kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan
metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu
akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang
sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum,
proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya
bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi
masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih
menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam
menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan
negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas
masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum
sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.

Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum


manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu
saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang
disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu
kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini.
Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu
dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru
kharismatik tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.

Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah,
beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang
agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam
buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali
pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social,
status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri
administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang
ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan
banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada
beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang
berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang
sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-
tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen
tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang
tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu
merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat
birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.

Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber
mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat
menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang
merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya
administrasi modern.

Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka
teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi
salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika
Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-
satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu
sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi
kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana
stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis,
status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang
proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.

Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot
nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti
permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini.
Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya
terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam
bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan
penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam
menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan
menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa
oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide
yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam
buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat
diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.

Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran
dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan
tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis
baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi
sepanjang zaman.

Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen,
Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja
yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’
dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-
masalah agama dan politik.

Saripuddin adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial


Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunanan Kalijaga, Yogyakarta

You might also like