Professional Documents
Culture Documents
TAKE HOME
SOAL :
e. AGIL
f. Protestan Etic and Spirit of Capitalism
g. Pattern Variabel
ooooooooooooooOOOOOOOOOOLGWOOOOOOOOOOooooooooo
Paradigma Fakta Sosial
Posted on April 24, 2009 by devirahman
Paradigma Definisi Sosial
Posted on April 24, 2009 by devirahman
Dalam wacana sosiologi, Zainuddin Maliki dalam buku “Narasi Agung: Tiga
Teori Sosial Hegemonik” mengemukakan bahwa paradigma teori social
dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni paradigma Fakta Sosial,
Definisi Sosial dan Perilaku Sosial. Pada masing-masing paradigma
terdapat beberapa persepktif (teori) diantaranya:
A. Paradigma Fakta Sosial (August Comte, Herbert Spencer)
Perspektif Strukturalisme (Herbert Spencer) Herbert Spencer
pondasi strukturalnya dengan memandang bahwa sebuah struktur
masyarakat harus melihat individu-individu yang ada di dalamnya
sebagai sebuah organisme. Hal ini berbeda dengan pandangan
pendahulunya Auguste Comte yang sangat anti-individual. Memang
ia bukanlah seorang yang ingin menjelaskan masyarakat—tentang
apa yang dibutuhkan mereka dan apa yang harus mereka lakukan
untuk memenuhinya—namun ia memberikan pandangan-
pandangannya dan memfokuskannya kepada masalah objektif yang
dihadapi oleh masyarakat. Seperti masalah agama masyarakat
(yang juga menjadi masalah pelik bagi individu dalam cosmos
social); yang semula masyarakat pada masanya menggunakan
pandangan Teologis untuk melihat gejala-gejala social yang ada
disekitar mereka, ia ganti dengan pandangan alami, ilmiyah dan
positifistik untuk melihat gejala-gejala social itu, itulah salah satu
dari sekian banyak usaha intelektual yang ia lakukan, untuk
merubah struktur sosial. Pada dasarnya ia banyak dipengaruhi oleh
pandangan Naturalisme Darwin, terutama masalah seleksi alam
yang menjadi salah satu saduran dalam karya Darwin The Origin Of
Species, On The Natural Selection. Oleh karena itulah ia
menganggap bahwa kehiduapan bermasyarakat merupakan
hubungan organisme biologis—atas landansan pandangan seperti
itulah kemudian Spencer kemudian tidak memperhatikan ranah
mental masyarakat. Sebagai organisme masyarakat tumbuh
layaknya organisme secara umum yang melewati empat
tahap; Tahap Pertambahan, Tahap Komplesifikasi, Tahap
Deferensiasi dan Tahap Integrasi. Pertama Tahap Pertambahan,
tidak seperti organisme yang mati, masyarakat sebagai organsime
hidup pasti akan mengalami pertambahan atau penggandaan yang
dimiliki oleh organisme-organisme dalam kelompok-kelompok
social. Organisme kecil akan berevolusi menjadi organisme besar,
suku bangsa akan menjadi bangsa, desa akan menjadi kota dan
kelompok kecil akan menjadi kelompok besar. Kedua Tahap
Kompleksifikasi, setelah terjadinya proses penggandaan atau
pertambahan dalam organisme hal selanjutnya yang akan terjadi
adalah berubahnya organisme tersebut menjadi lebih kompleks
secara simultan. Dari tahap inilah kemudian evolusi memasuki
tahap ketiga yaitu Tahap Deferensiasi, dimana secara alami
masing-masing organiseme akan menonjolkan perbedaan struktur
maupun fungsinya, seiring dengan perkemabangan organisme
tersebut. Dalam masyarakat akan terlihat gejala (stratifikasi)—atau
terbaginya masyarakat kedalam kelas-kelas social. Tahap terakhir
Tahap Integrasi, yang merupakan titik tertinggi dari evolusi
masyarakat sebagai organsime, dimana masing-masing organisme
berdiri sendiri, yang disebabkan oleh perbedaan fungsi dan
perbedaan status social yang terjadinya hal itu tidak bisa terelakkan
dalam masyarakat. Perspektif Fungsionalisme (Talcott Parsons,
William James) Struktural Fungsional adalah sebuah paradigma
yang bisa dikatakan seumur dengan renaissance, atau bisa juga
dikatakan sebagai salah satu warna penghias ruang dan utilitas
renaissance. Paradigma ini muncul sebagai “adik kecil” renaissance
yang nantinya akan membesarkan nama harum renaissance
sebagai “kakak” yang baik dalam mendidik adiknya. Dari analogi
tadi kita mampu melihat dengan jelas betapa dekat dan kuatnya
hubungan yang terjalin antara renaissance dengan teori fungsional
itu. Tidak hanya hubungan yang kita lihat namun juga sumbangan
teori itu kepada renaissance yang demikian terasa sampai abad ini
di seluruh belahan dunia terutama barat yang merupakan Ibu
kandung mereka. Teori ini memandang bahwa masyarakat harus
bertindak sesuai dengan fakta social yang dialaminya bukan malah
menjauhi dan ingin kembali kemasa awal sejarah dibangun. Namun
mereka tidak akan mampu menghadapi fakta itu dengan sehat dan
menguntungkan tanpa adanya media yang bisa dipergunakan
untuk mensikapinya. Salah satu tawaran Fungsionalisme untuk
melihat atau menghadapi fakta social adalah Positivistik. Dimana
setiap organ social memiliki peran-peran tertentu dalam tataran
positif tentunya. Tegasnya struktural fungsional adalah
penghargaan kepada setiap keberadaan dan fungsi organisme
dalam sturktur social untuk melakukan peranannya masing-masing
demi keberlangsungan kehidupan social. Pandangan ini
menekankan pada keteraturan masing organisme atau kelompok
social dalam setiap interaksi yang terjadi diantara mereka.
Perspektif Struktural-konflik (Karl Marx) Hampir semua pandangan
dalam alat manalisis social (matter of social analysis) terilhami dari
teori Evolusi Darwin. Terutama—dalam konteks social—perubahan,
pertahanan diri maupun kelompok, yang banyak mendapat wahyu
dari seleksi alam yang menjadi pemacu evolusi dalam pandangan
Darwin. Inilah pandangan yang terakhir dalam paradigma fakta
Sosial. Kalau ternyata kemudian dalam pandangan Fungsional lebih
menekankan pada keteraturan fungsi dalam kaitannya dengan
fungsi yang lain maka dalam pandangan Struktural konflik ini lebih
memperhatikan ketegangan, komplik dan ketidak teraturan dalam
fakta social sebagai bahan kajiannya. Kami pikir adanya perspektif
ini lebih sebagai antitesis dari structural fungsional, pandangan ini
mengatakan bahwa pandangan pendahulunya terlalu berbaik
sangka (Positive Thinking) terhadap Fakta social, yang menurutnya
merupakan keteraturan-ketaraturan dalam social, namun mereka
tidak melihat bahwa dibalik keteraturan itu terdapat berbagai chaos
yang melatari, itulah kemungkinan yang sekaligus diyakini sebagai
elemen yang paling penting dalam fakta social untuk diperhatikan,
itulah statemen yang terdapat dalam pandangan sturktur komplik
ini. Pandangan ini mengatakan bahwa keberadaan komplik dalam
masyarakat atau social merupakan sebuah anak tangga menuju
kemajuan dan keperkembangan. Itulah sebabnya komplik adalah
bagian terpenting bahkan arti lain social yang tidak bisa sangkal
akan betapa perlu keberadaanya dalam masyarakat sosial. Akhir
dari paradigma ini menemukan muaranya dalam pemikiran seorang
Karl Marx yang mencetuskan teori ekonomi-sosialis. Ia
menganalogikan social sebagai sebuah sekolah atau bangunan
yang didalamnya terdapat kelas-kelas dan persaingan yang ketat
antara kelas yang satu dengan yang lain, bahkan terdapat kwalisi-
kwalisi di dalamnya untuk saling menguasai demi kepentingan
ekonomi. Konflik-konflik itu dalam istilah yang lebih halus adalah
Dealektika, namun ia tidak selembut yang kita lihat ketika ia berada
atau diaplikasikan dalam konteks social (Social Current), yang
terjadi bukan persaingan manusia yang hanya dengan tujuan perut,
malah lebih dari itu; mirip seperti binatang yang memiliki
kecerdasan dan keteraturan dalam persaingan yang mereka
lakukan
B. Paradigma Definisi Sosial (Keikigard, Husserl, Jean Paul Sartre)
Perspektif Fenomenologis Sosial dalam segala bentuknya
adalah hal yang penuh makna yang masing-masing bentuk social
memilikinya. Dari banyak tokoh kita telah mengetahui di atas
dengan definisi social mereka yang berbeda-beda. Yang kesemua
pandangan itu merupakan kualitas-kualitas parsial yang kalau
dibenturkan antara satu dengan yang lainnya pasti akan terjadi
ketimpang tindihan yang tidak menentu. Oleh karena itulah
Fenomenologi terlahir sebagai penyempurna semua perspektif
dalam fakta social kemudian bisa kami katakan sebagai definisi-
definisi social yang dilihat masing-masing dari fakta yang terdapat
dipermukaan social (social current) yang masih bersifat sangat
parsial. Fenomenologi memandang social telah terpisah dari actor-
aktornya atau pelaku social di dalamnya. Oleh karena keterpisahan
itulah maka social harus dilihat bukan dari Struktur, fungsi dan
Konflik yang ada dipermukaan social itu, namun ia juga harus
dilihat dari spirit yang melatari terjadinya hal itu atau melihat
fenomena social bukan dari sisi empirisnya, namun emosi-emosi
yang melatarinya. Lagi sekali perlu kami tegaskan bahwa dalam
perspektif ini yang ditekankan adalah ontology dari social itu sendiri
dan bukan empirisnya. Fenomenologi melihat kontruksi social itu
sebagai bangunan ontology yang berarti fakta dan esensi fakta
tersebut belum tentu sama, sama halnya dengan permainan politik
atau catur sekalipun. Di dalam kedua permainan itu—dalam
konteks social—actor bisa saja berada dalam posisi social yang
tidak sesuai dengan perannya, tidak seperti sinetron. Perspektif
Interaksionisme Simbolik Kami menemukan makna interaksi
simbolik ini di dalam sebuah buku yang berjudul Manusia Satu
Dimensi. Di dalam buku tersebut, kelompok-kelompok social dalam
melakukan interksi dengan kelompok-kelompok social lainnya
mengunakan Simbol dalam berinteraksi. Symbol-simbol itulah
kemudian yang menyatukan manusia dalam satu paradigma social
yang sama. Dengan demikian semua manusia yang masuk kedalam
symbol itu kemudian seolah menjelma menjadi satu dimensi yang
sama, hubungan, kepentingan, dan dasar pikiran yang sama serta
dengan tujuan yang sama pula. Dalam buku itu dipaparkan contoh
symbol-simbol yang sekarang menyatukan manusia dalam satu
dimensi. Yang paling jelas kami lihat dalam penjelasan itu adalah
symbol-simbol ekonomi. Setelah kami membaca sebagian
pembahasan dalam buku itu; ternyata metodologi yang digunakan
penulis sebagai alat analisa adalah fenomenologi. Tapi kami
menyimpulkan bahwa pe-symbolan tersebut tidak hanya terjadi
secara universal namun terjadi didalam setiap aktifitas kita sebagai
individu-individu. Agensi dan Strukturasi (Antonio Giddens)
Karena penulis tidak memiliki pengetahuan yang jelas tentang
Agensi dan Strukturasi dan Agensi, maka untuk menemukan makna
tersebut penulis menggunakan analisa semiotika pada dua istilah
tersebut. Pertama Agensi adalah kata yang menunjukkan
penyipatan kata benda yaitu agen. Agen adalah person yang
berperan sebagai penjelas, penyampai, pengarah dan mungkin juga
penghukum. Selanjutnya; strukturasi juga merupakan peralihan
kata benda menjadi kata sifat. Yang mewakili sebuah tatanan atau
tingkatan-tingkatan tertentu. Jadi dapat penulis katakan dari
analisa pendek di atas bahwa Agensi adalah penempatan person-
person dalam tugas atau wewenang tertentu dalam ranah social.
Karena agen tersebut tidak mungkin duduk dalam struktur yang
tidak pasti maka dalam setiap struktur social pasti tedapat agen
(Messenger) untuk mengendalikan, mengontrol setiap struktur
yang ia berada di dalamnya. Perspektif Konstruksionisme (Max
Weber) Weber melihat bahwa di dalam masyarakat itu terdapat
sebuah peraturan yang menjadikan masyarakat tersebut menjadi
lebih sadar akan apa yang terjadi padanya dan apa yang akan
dilakukannya. Pandangan “keteraturan” inilah yang kemudian oleh
Weber ditelorkan menjadi sebuah kontruksi yang memiliki satu titik
pusat control yang seharusnya kuat. Dari pandangan seperti itulah
kemudian muncul teori Kapitalisme dalam social yang orientasi
dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Teori
kapital ini adalah kelanjutan dari Kapital yang diserukan oleh Marx,
namun ada sedikit pembeda di antara keduanya, dimana Marx
memandang capital sebagai sesuatu yang hanya terjadi di atas atau
permukaan social namun Waber memilihat bahwa Ia tidak
sesederhana itu—kapitalisme dalam pandangannya lebih kepada
sikap atau moral yang darinya muncul kepermukaan menjadi
sebuah aktifitas social yang dilatari oleh kepentingan ekonomi.
C. Paradigma Perilaku Sosial (Ivan Pavlov, B.F Skinner, Watson) a.
Perspektif Pertukaran Sosial Istilah pertukaran social sepertinya
senada dengan Istilah pertukaran pelajar dalam konteks
pendidikan. Dimana terjadi proses saling melengkapi “nilai” oleh
kelompok social kepada kelompok social lainnya. Nilai—adalah hal
yang sangat luas, kalau dibagi menurut pandangan akademis Nilai
bisa dilihat dalam dua bentuk yang pertama Nilai dalam bentuk
Kuantitas dan Nilai yang berbentuk Kualitas. Adapun nilai yang
berbentuk kuantitas dapat dikenali dengan segala sesuatu yang
dapat dikalkulasikan secara nomerik dan matematis dan nilai yang
berbentuk kualitas merupakan kebalikan darinya.
Bahwa setiap sistem sosial selalu ada hubungan timbal balik yang
konstan. Konstan artinya apa yang terjadi kemarin merupakan
perulangan dari yang sebelumnya, dan besok akan diulang kembali
dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya yang konstan itulah .maka
pola hubungan interaksi itu memeliki sistem tertentu. Organisasi sosial
merupakan salah satu sistem sosial, karena adanya serangkaian tindakan
yang berulang tetap secara teratur. Ada organisasi sosial seperti misalnya
perguruan tinggi yang rangkaian kegiatanya dapat diamati dalam kantor –
kantor,dengan jadwal kerja yang teratur . Masyarakat merupakan sistem
sosial.
Nama lain yang diberikan oleh para ahli sosiologi untuk paradigma fakta
social adalah stuktural fungsional atau fungsional structural.
Tipe Solidaritas
1.Solidaritas Mekanik
2. Solidaritas organik
MASYARAKAT MAJEMUK
Salah satu difinisi institusi social yang diberikan Peter L Berger adalah
predefined pattern of conduct.
Fakta sosial
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi.
Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu
(Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek
penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami
melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya
diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini
menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
Pendahuluan
Buku yang menjadi resensi saya dibawah ini merupakan buku pokok
dalam mata kuliah dasar-dasar Sosiologi berjudul “ Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda “ yang ditulis oleh George Ritzer,
seorang pakar sosiolog sekaligus filosof ini memiliki nilai bobot ilmiyah
yang sangat baik untuk dijadikan sebagai buku pokok dan acuan
mahasiswa yang mempelajari konsep sosiologi ataupun berupa pengantar.
Buku asli yang berjudul “ Sosiology A Multiple Paradsigm Science “ ini
diterjemahkan oleh Drs. Alimandan.
Bab I
Status Paradigma Sosiologi
Dalam paparan awalnya ini penulis buku menggambarkan dan
menjelaskan tentang asal-usul lahirnya sebuah ilmu sosiologi. Dimana
penulis menerangkan sejarah lahir dan terbentuknya cabang ilmu ini mulai
pemisahan diri dari filsafat positif hingga memiliki nilai empiris bahkan
terbentuknya paradigma sosiologi. Thomas Kuhn sebagai penggagas
konsep tentang istilah pertamakali paradigma menempati posisi sentral
ditengah perkembangan sosiologi hingga menempati kurun dekade yang
cukup lama.
Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa
yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu
cabang ilmu pengetahuan. Gagasan Kuhn mengenai paradigma inilah
yang mendorong generasi setelahnya yaitu Robert Friederich, Lodahl dan
Cordon, Philips, Efrat ikut mempopulerkan istilah paradigma yang digagas
oleh Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu
didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang
mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter)
dari suatu cabang ilmu.
Kemudian istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak memiliki
kejelasan hingga timbul istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari
dua puluh satu konsep paradigma yang kemudian direduksir oleh
Masterman menjadi 3 bagian besar yaitu :
1. Paradigma Metafisik : Paradigma ini berfungsi menunjukkan
sesuatu yang ada, serta menunjukkan suatu komunitas ilmuwan
tertentu
2. Paradigma Sosiologi : Pardigma sosiologi terbentuk dari
kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hukum yang di
terima, serta hasil-hasil nyata ilmu pengetahuan yang di terima
secara umum. (hasil dari ilmu pengetahuan yang diterima secara
umum.)
3. Paradigma Konstrak : Pemahaman paradigma yang paling
sempit karena hanya memperhatikan satu aspek saja.
Sebab terjadinya perbedaan antar komunitas dalam suatu cabang ilmu:
1. Karena dari semula pandangan filsafat yang mendasari pemikiran
ilmuwan itu berbeda-beda. (perbedaan pandangan yang mendasar).
2. Teori-teori yang dikembangkan oleh komunitas ilmuwan berbeda-beda.
3. Metode yang digunakan untuk memahami substansi ilmu juga berbeda-
beda.
Sehingga oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi itu terdiri
atas kelipatan beberapa paradigma. Dimana diantaranya terdapat
pergulatan pemikiran yang terjelma dalam eksemplar, teori-teori, metode,
serta perangkat yang digunakan masing-masing komunitas ilmuwan yang
termasuk kedalam paradigma tertentu.
BAB II
Paradigma Fakta Sosial
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi.
Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu
(Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek
penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami
melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya
diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini
menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak,
ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian
dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata
( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari
dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan
sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis
besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur
sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas
: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-
nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada
dua tipe dasar dari fakta sosial :
1. Nilai-nilai umum ( common values )
2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.
Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut institution atau di sini
diartikan dengan pranata. Sedangkan jaringan hubungan sosial di mana
interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana
posisi-posisi sosial dari individu dan kelompok dapat dibedakan, sering
diartikan sebagai struktur sosial.
BAB III
Paradigma Definisi Sosial
Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber
sebagai tindakan sosial antar hubungan social. Inti tesisnya adalah “
tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah
sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi
dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang
termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi
(action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan
Fenomenologi (Phenomenology).
1) Tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat
berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang
mungkin terjadi karena pengaruh posistif dari situasi tertentu. Atas dasar
rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam 4 tipe.
Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami.
1. Zwerk Rational yakni tindakan sosial murni. Aktor menentukan nilai
tujuan itu sendiri.
2. Werktrational action yakni aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara
yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk
mencapai tujuan orang lain.
3. Affectual action, yakni tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh
perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor.
4. Traditional action, yakni tindakan yang didasarkan atas kebiasaan
dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.
2) Social relationship, yakni Tindakan yang beberapa aktor yang
berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan dihubungkan
serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori-teori social
relationship :
a) Teori Aksi (action theory)
Tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam
pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara
untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemuanya itu
dibatasi oleh kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan
dalam bentuk norma-norma, ide-ide, dan nilai-nilai sosial.
b) Teori Interaksionisme Simbolik
Fakta sosial bukanlah merupakan barang sesuatu yang mengendalikan
dan memaksakan tindakan manusia. Fakta sosial yang sebagai aspek yang
memang penting dalam kehidupan masyarakat, ditempatkannya di dalam
kerangka simbol-simbol interaksi manusia.
3) Teori Fenomenologi yakni Tindakan manusia menjadi suatu hubungan
sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu dalam
tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai
sesuatu yang penuh arti. Pemahaman secara subyektif terhadap suatu
tindakan sangat menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi
sosial.
BAB IV
Paradigma Perilaku Sosial
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini
memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial
yang cenderung perilaku manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat
pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku
individu yang brelangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan
yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan
menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku. Jadi
terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang
terjadi dalam lingkungan aktor.
BAB V
Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian)
Lalu hubungan antara keempat ini dapat diuraikan menjadi satu bentuk
tabel seperti dibawah ini :
Tingkatan realitas social Paradigma Sosiologi
Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada realitas
sosial pada tingkatan makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma
definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan
mikro-subyektif dan sebagai mikro-obyektif yang tergantung kepada
proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan
sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak tercakup
kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut
tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri
actor, yang disini disebut sebagai ‘behavior’ itu.
Kesimpulan
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma banyak, mengapa
dikatakan demikian ? hal ini dikarenakan, antara paradigma yang satu
dengan paradigma yang lain terdapat perbedaan bahkan pertentangan
pandangan tentang disiplin sosiologi sebagai suatu kebulatan dan tentang
batas-batas bidang paradigma itu masing-masing. Dalam bidang ilmu ini
terdapat bebrapa paradigma yang memaparkan dan menjelaskan cabang-
cabang paradigmanya dan spsesifikasi bidangnya masing-masing.
Setidaknya terdapat 3 paradigma yang mendasari ilmu sosiologi ini
diantaranya :
1. Paradigma Fakta Sosial, yang dibagi lagi menjadi dua objek kajian :
a. struktur sosial, dan
b. pranata social
2. Paradigma Definisi Sosial, yang terbagi menjadi tiga teori diantaranya :
a. Teori Aksi (action theory),
b. Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan
c. Fenomenologi (Phenomenology).
3. Paradigma Perilaku Sosial, terbagi menjadi dua teori diantaranya :
a. Behavioral Sociology Theory
b. Exchange Theory
Tanggapan
Substansi buku ini telah dapat dikatakan sempurna dikarenakan Ritzer
mengangkat tema-per temanya sesuai dengan penjelasan yang tepat
diberikan oleh para ahli dibidangnya masing-masing. Dalam buku ini Ritzer
pun tak jarang memberikan bantahan-bantahannya, atau bahkan
terkadang memberikan komparatif terhadap satu paradigma dengan
paradigma lainnya. Namun mungkin yang ada adalah kelemahan dari
penyadurnya, dimana buku yang diterjemahkannya ini masih terdapat
seringkali keruwetan dalam penggunaan tanda baca. Dan juga seperti apa
yang dituliskan oleh penyadurnya yaitu kelemahan dari buku yang
disadurnya adalah berpangkal dari keterbatasan dan kemampuan dalam
mencernakan ‘grand theories’ dari Ritzer ini. Tapi secara totalitas di buku
yang tipis ini penjelasan tentang mengapa sosiologi menjadi terdiri dari
berbagai paradigma telah tercakup dengan lengkap dibuku ini dengan
baik.
http://adjhee.wordpress.com/2007/12/12/resume-sosiologi-ilmu-
pengetahuan-berparadigma-ganda/
Pengantar Sosiologi
Sosiologi
adalah suatu ilmu sosial yang mempelajari tentang hubungan yang terjadi
dalam masyarakat (interaksi sosial) dan proses yang terjadi akibat
hubungan tersebut masyarakat, serta mempelajari fakta-fakta yang ada
dimasyarakat yang mungkin dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah
yang muncul dalam masyarakat tersebut. Sehingga dalam pengantar
sosiologi ini kita akan mempelajari mulai dari masyarakat itu sendiri,
proses interaksi dalam masyarakat, proses sosialisasi, kebudayaan,
stratifikasi, perubahan sosial, kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan
sampai pada masalah-masalah sosial.
Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan
’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini
bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku
Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna
untuk kata positive.[1] Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar
hukum positif yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum
adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum positif berarti hukum, dan juga
hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan oleh manusia dan berdasar
rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara berbeda. Tapi, arti ini,
sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal dari kata ini. Dalam
kamus saku Oxford, makna jelas adalah arti kelima bagi kata positive.
Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan
Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di
Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis,
yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[2] Hal
ini, yang kemudian berkembangan menjadi paradigma positivistik ini,
merasuk ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-
ilmu humaniora. Tulisan pendek ini akan mencoba memaparkan Auguste
Comte dan positivisme yang diperkenalkannya.
AUGUSTE COMTE
endnotes:
DAFTAR BACAAN
Sumber Internet:
http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte
http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
Pendahuluan
Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi
terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori
fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada
dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-
elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Penutup
Teori fungsional struktural bukan hal yang baru lagi didalam dunia
sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan
merata. Sehingga tak ayal banyak Negara yang menggunakan teori ini di
dalam menjalankan pemerintahannya baik itu mengatur suatu pola
interaksi maupun relasi diantara masyarakat. Dalam kesempatan ini
setidaknya pemakalah dapat mengambil keseimpulan bahwa secara
singkat dan sederhana teori sosial ini merupakan seperti rantai sosiologi
manusia, dimana didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan
saling berhubungan. Juga adanya saling ketergantungan, layaknya suatu
jasad maka apabila salah satu bagian tubuh jasad tersebut ada yang sakit
ataupun melemah sangat ber-implikasi pula pada bagian yang lain.
Referensi
Blog ini
Web
Blog ini
Web
Kutipan diatas disampaikan salah satu founding father GMKI, Johannes Leimena pada saat
memproklamirkan bahwa sudah saatnya mahasiswa ikut ambil bagian dalam perjuangan pergerakan
untuk kebaikan dan kepentingan negara dan bangsa Indonesia, serta memperjuangkan oikumenisme
(eucumenical’s mission) dalam injil kehidupan, kematian dan kebaktian Yesus Kristus sebagai Sang
Kepala Gerakan.
Berangkat dari terminologi diatas, gemeinschaft dan gesellschaft merupakan pada dasarnya pengertian
dari teori sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tonnies, tokoh sosiolog kenamaan yang satu ini
membedakan dua tipologi persekutuan (asosiasi) yang ada di masyarakat, yaitu asosiasi Gemeinschaft
dan Gesellschaft berdasarkan pada upaya untuk mengungkap motif dan sentimen yang ada di balik
hubungan antar manusia atau masyarakat yang membuatnya tetap bersama dan melakukan kerja sama.
Gemeinschaft adalah masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman, memiliki tujuan kesatuan
yang esensial, orang bekerja sama untuk kepentingan bersama, kehidupan sosial bercirikan: "hidup
bersama yang karib, pribadi dan eksklusif”, mereka mengakui "kebaikan bersama, kejahatan bersama,
sahabat bersama, musuh bersama", dalam diri mereka terkandung "we-ness" dan "our-ness", dan
dipandang sebagai organisme hidup. Sedangkan, Gesellschaft adalah kumpulan (association) yang
menjadi ciri kota besar, yang bercirikan perpecahan (individualisme dan mementingkan diri sendiri), tidak
ada kebaikan bersama dan ikatan keluarga, lingkungan cenderung tidak banyak mempunyai arti
mekanikal dan artifact (buatan manusia), lebih rasional, lebih memperhitungkan, dan eksistensi bergeser
dari kelompok ke individual.
Berbeda halnya kalau kita merujuk dari teori yang dikemukakan oleh Durkheim. Tokoh sosiolog yang
satu ini agak berbeda pemahaman dalam melihat sisi solidaritas sosialnya. Untuk itu, ia kemudian
mengembangkan konsep tentang solidaritas mekanik dan solidaritas organik yang pada tataran tertentu
dapat disamakan atau dibandingkan dengan Gemeinschaft dan Gesellschaft dari Tonnies.
Adapun ciri-ciri dari solidaritas mekanik dan organik adalah sebagai berikut: Solidaritas mekanik merujuk
kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama. Disebut mekanik,
karena orang yang hidup dalam unit keluarga suku atau kota relatif dapat berdiri sendiri dan juga
memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa tergantung pada kelompok lain. Sedangkan, Solidaritas organik
menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat yang merupakan ciri dari
masyarakat modern, khususnya kota. bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan
didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda, seperti dalam organ tubuh, orang
lebih banyak saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dalam Division of Labor yang rumit ini, Durkheim melihat adanya kebebasan yang lebih besar untuk
semua masyarakat: kemampuan untuk melakukan lebih banyak pilihan dalam kehidupan mereka.
Meskipun Durkheim mengakui bahwa kota-kota dapat menciptakan impersonality (sifat tidak mengenal
orang lain), alienasi, disagreement dan konflik, ia mengatakan bahwa solidaritas organik lebih baik dari
pada solidaritas mekanik. Beban yang kami berikan dalam masyarakat modern lebih ringan daripada
masyarakat pedesaan dan memberikan lebih banyak ruang kepada kita untuk bergerak bebas.
Kita harus jujur mengakui. Banyak dari kalangan kita tidak mampu lagi memaknai persekutuan yang
dimaksud dalam terminologi diatas. Sudah sangat jelas bahwa GMKI adalah Gemeinschaft yang
mengandung prinsip yang berbeda dengan Gesellschaft.
Hal ini jelas keliatan dalam aktivitas tugas pelayanan kita dalam menjalankan tugas-tugas organisasi.
Kecurigaan subjektif dapat membiaskan semangat persekutuan dalam membina kasih persaudaraan
sehingga berdampak pada susahnya mengoptimalkan kerja-kerja (program) guna pencapaian tantangan
medan pelayanan GMKI (Perguruan Tinggi, Gereja dan Masyarakat). Ini merupakan salah satu dari
banyak sebab yang dianggap penulis sebagai ketidakmampuan kita dalam mengaplikasikan semangat
persekutuan yang sering kita singgung baik dalam forum resmi maupun dalam forum dan diskusi yang
sifatnya tidak resmi.
Masih banyak soal-soal yang bisa menjadi koreksi pemahaman kita dalam memaknai persekutuan. Dalam
berdebat misalnya, pernahkah kita menempatkan lawan bicara kita sebagai saudara sebagaimana prinsip
sebuah persekutuan? Mungkin bagi kita merupakan kebanggaan tersendiri bila membuat lawan bicara
kita yang notabenenya saudara sebenang biru merasa tersudut, keliatan bodoh, bereaksi marah karena
argumentasi yang bersifat meyinggung hak pribadi (privillage). Atau pernahkah kita menganggap
persoalan yang dihadapi kelompok lain di dalam kita merupakan persoalan kita bersama? Pernahkah kita
berusaha untuk mendiskreditkan orang atau badan/lembaga yang nyata-nyatanya berada dalam
persekutuan kita bersama?
Pertanyaan-pertanyaan diatas bukan merupakan suatu bentuk justifikasi tetapi lebih kepada bagaimana
kita sebagai entitas-entitas hidup mengenal persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan kita yang
mungkin bermuara pada kontradiksi atau semacam distorsi ide dengan kenyataan.
Bagi orang percaya hubungan dengan Tuhan adalah hal yang terpenting dan terutama. Kita rindu untuk
mempunyai hubungan dan persekutuan yang indah dengan Tuhan. Tetapi hal yang tidak boleh diabaikan
adalah hubungan di antara sesama kita. Karena suatu hubungan/persekutuan dengan Allah yang baik
dan benar, secara otomatis orang tersebut seharusnya mempunyai hubungan yang baik dengan
sesamanya, khususnya saudara-saudari seiman.
Adalah bahaya besar kalau dikatakan orang ini rohani, punya persekutuan yang indah dengan Tuhan,
tetapi persekutuan dengan saudara seiman bermasalah. Jadi persekutuan antara sesama adalah cermin
dari ibadah kita yang benar dan baik dengan saleh. Kalau hubungan vertikal baik, otomatis hubungan
horisontal juga baik. Bisa jadi seorang yang mempunyai hubungan horisontal bagus, belum tentu
memiliki hubungan vertikal yang bagus pula. Tetapi seorang yang mempunyai hubungan vertikal yang
bagus, seharusnya hubungan horisontalnya juga bagus.
Dalam memahami persekutuan yang dimaksud diatas, penulis ingin mengajak kita menyederhanakan
persoalan tetapi bukan dalam rangka mengurangi apa yang menjadi esensi yang kita bicarakan.
Persekutuan erat kaitannya dengan pertemanan. Mungkin banyak dari antara kita yang meragukan
kesimpulan ini. Tapi itu sah-sah saja. Semua merupakan proses dialektika argumen dalam mencapai
pengertian yang lebih mendalam untuk mencapai persamaan pemaknaan. Tapi setidaknya itulah yang
dirasakan penulis hingga harus mengangkat tulisan ini untuk bahan evaluasi atau rekomendasi dalam
menata hubungan interpersonal kita (persekutuan ala GMKI).
Kejujuran merupakan cikal bakal perubahan, merupakan kalimat sakti yang harus kita renungkan
bersama-sama. Mungkin tidaklah sesuatu yang berlebihan bahwa pengingkaran terhadapa prinsip
kejujuran merupakan tindakan yang kontra revolusioner (hegemoni pasca kemerdekaan Soekarno).
Ketidakjujuran dalam melihat persoalan akan menghasilkan penyelesaian yang tidak menyentuh akar
persoalan. Misalnya, ketidakjujuran mengakui kemampuan pengurus organisasi akan tugas-tugasnya
berdampak susahnya organisasi mencari solusi persoalan dalam tubuh organisasi.
Banyak dari antara kita masih bergabung dalam organisasi ini dikarenakan hubungan pertemanan.
Anggota-anggota dalam sebuah organisasi GMKI merupakan entitas-entitas yang diberi tugas untuk
mewujudkan apa yang menjadi visi dan misi organisasi dalam balutan persekutuan. Apa jadinya kalau
seorang entitas dalam organisasi merasa sudah tidak punya teman dalam organisasi tersebut? Akankah
dia masih tetap memilih untuk aktif berkegiatan? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Sejauh
mana motivasi kita dalam bergabung dalam persekutuan ini akan menentukan keputusan yang akan kita
ambil bila terlibat dalam pengandaian tersebut.
Tetapi harus kita akui, hampir kebanyakan dari kita yang masih bertahan dalam perserkutuan ini lebih
didasari oleh latar belakang pertemanan, baik itu dalam mencari teman biasa maupun teman yang luar
biasa (maksudnya pacar atau yang lebih lagi teman hidup). Sulitnya rasanya menepis anggapan ini,
apalagi sering kali kita sebagai entitas dalam organisasi ini memplesetkan istilah GMKI dengan Gerakan
Mencari Kawan Intim yang mungkin bagi sebagian orang merupakan bahan gurauan sesaat yang bisa
menghidupkan suasana pembicaraan atau barangkali ada pesan-pesan yang mau disampaikan dalam
rangka menggugat realitas yang terjadi terhadap penyelewangan dari cita-cita luhur pendiri organisasi
ini.
Tidak ada yang salah menggunakan pendekatan pertemanan dalam membangun persekutuan dalam
tubuh organisasi ini. Terbukti, kehadiran GMKI sampai saat ini masih tetap eksis dikarenakan pendekatan
pertemanan diatas. Barangkali kalau kita mau lebih serius menggali pemahaman tentang organisasi ini.
Kita akan menemukan kesadaran yang lebih tinggi sifatnya mengarahkan kita pada apa yang dinamakan
militansi berorganisasi. Bahwasanya kita masih tetap berdiri di GMKI dikarenakan panggilan-Nya untuk
berbuat setelah anugerah (Sola Gratia) yang diberikan-Nya kepada kita sebagai warga Kerajaan Sorga
bagi yang percaya pada-Nya (Roma 10: 9, Yohanes 5: 24, 1 Yohanes 5; 13, dan Yohanes 20: 31).
Penulis jadi teringat akan suatu kalimat bijak yang digunakan “saudara kita yang diseberang” dalam
menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi mereka ditengah pesatnya
pemikiran pragmatisme mahasiswa dalam berburu organisasi yang mapan. Disebutkan “Jangan mencari
hidup di Muhammadiyah, tetapi hidup-hidupilah Muhammadiyah” barangkali seperti itulah pesan yang
dimanisfestasikan dalam susunan kalimat yang menggugah kesadaran pembacanya.
Tidak ada salahnya kalau kita belajar dari kata-kata bijak diatas.
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke
Google Buzz
GEMEINSCHAFT DAN
GESSELSCHAFT
April 10th, 2010 • Related • Filed Under
Budaya kebersamaan
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/1913039-budaya-kebersamaan/
oleh: elrazie
Summary rating: 3 stars (10 Tinjauan)
Kunjungan : 1458
kata:600
Bangsa pada dasarnya merupakan suatu bentuk solidaritas kolektif; yang mana
lebih menonjolkan elemen kebersamaan dan tidak menyoroti masalah
ketidaksamaan ataupun eksploitasi. dalam konteks definisi kelompok social,
Ferdinand Tonnies mengemukakan bahwa kelompok sosial adalah suatu bentuk
kehidupan bersama, dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang
murni dan bersifat alamiah serta kekal. Batasan ini disebut Tonnies sebagai
paguyuban atau gemeinschaft.
o Link yang relevan :
o http://perjuanganku-elrazie.blogspot.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_Protestan_dan_Semangat_Kapitalisme
Belum Diperiksa
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (bahasa Inggris: The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism) adalah sebuah buku yang ditulis oleh Max Weber,
seorang ekonom dan sosiolog Jerman pada 1904 dan 1905 yang mulai sebagai
sebuah seri esai. Edisi awal dalam bahasa Jerman dan berjudul: Die
protestantische Ethik und der 'Geist' des Kapitalismus. Terjemahan ke bahasa
Inggris dibuat pada 1930 dan beberapa edisi telah diedarkan.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Isi buku
2 Daftar isi
3 Lihat pula
4 Buku serupa
5 Pranala luar
Ada pendapat yang menyatakan bahwa buku ini tidak boleh dilihat sebagai studi
yang terinci tentang Protestanisme melainkan lebih sebagai pengantar ke dalam
karya-karya Weber yang belakangan, khususnya studinya tentang interaksi antara
berbagai gagasan keagamaan dan ekonomi.
Agar suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan sifat-sifat khusus dari
kapitalisme… dapat mendominasi gaya hidup yang lainnya, ia harus muncul dari
suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi yang terpisah saja,
melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari keseluruhan kelompok
manusianya.
Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber
berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang
menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia menjadi sebuah ukuran
keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan argumen yang
sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja
yang mulai berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas
Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan
atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun.
Pada saat ia menulis esai ini, Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan
pada umumnya telah lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan
Benjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan
penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani.
Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal sebagian disebabkan
oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang mewah yang mahal ditolak,
maka individu-individu dapat menerima produk-produk yang seragam, seperti
pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi.
Buku ini juga merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep
rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran
kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara
keberadaan yang rasional, kekayaan. Pada suatu titik tertentu, rasional ini
berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang
mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi
intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat
Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.
Esai ini juga dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx
dan teori-teorinya. Sementara Marx berpendapat, pada umumnya, bahwa semua
lembaga manusia - termasuk agama - didasarkan pada dasar-dasar ekonomi, Etika
Protestan memalingkan kepalanya dari teori ini dengan menyiratkan bahwa
gerakan keagamaan memperkuat kapitalisme, dan bukan sebaliknya.
Bagian 1. Masalah
A. Calvinisme
Predestinasi; Eliminasi Magi; Rasionalisasi Dunia; Kepastian Keselamatan;
Lutheranisme vs. Calvinime; Katolisisme vs. Calvinisme; Monastisisme vs.
Puritanisme; Etika Methodis; Gagasan tentang Bukti.
B. Pietisme
C. Methodisme
D. Sekte-sekte Puritan
Etika
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Filosofi
Cabang[tampilkan]
Epistemologi
Estetika
Etika
Filosofi politik
Logika
Metafisika
Zaman[tampilkan]
Kuno
Pertengahan
Modern
Kontemporer
Tradisi[tampilkan]
Analitik
Kontinental
Timur
Islam
Marxisme
Platonisme
Skolastisisme
Filsuf[tampilkan]
Estetikawan
Epistemologian
Etikawan
Metafisikawan
Logikawan
Filsuf politik dan sosial
Sastra[tampilkan]
Estetika
Epistemologi
Etika
Logika
Metafisika
Politik filsafat
Daftar[tampilkan]
Garis besar
Topik
Teori
Glosari
Filsuf
Daftar filsuf Indonesia
Portal l • b • s
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang
utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral.[rujukan?] Etika mencakup analisis dan penerapan konsep
seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.[rujukan?]
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai
etika.[rujukan?] Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam
melakukan refleksi.[rujukan?] Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai
suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi
berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika
memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan
buruk terhadap perbuatan manusia.[2]
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika
normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-
nilai etika).[rujukan?]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Jenis Etika
o 1.1 Etika Filosofis
2 Reference
3 Pranala luar
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari
kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika
sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.[rujukan?]
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan
dari filsafat.[rujukan?] Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita
harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua
sifat etika:[3]
1. Non-empiris[rujukan?] Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu
empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun
filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan
seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula
dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara
faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau
tidak boleh dilakukan.
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika
teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat
memiliki etika teologisnya masing-masing.[rujukan?] Kedua, etika teologis
merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di
dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah
memahami etika secara umum.[4]
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak
dari presuposisi-presuposisi teologis.[5] Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda
antara etika filosofis dan etika teologis.[rujukan?] Di dalam etika Kristen, misalnya,
etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang
Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam
kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.[rujukan?] Karena itu, etika teologis
disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris.[6] Etika
teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu
tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit
berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik
atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.[7]
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang
diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara
agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam
merumuskan etika teologisnya.[rujukan?]
[sunting] Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam
ranah etika.[rujukan?] Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga
jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:[8]
Revisionisme[rujukan?]
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika
teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika
filosofis.
Sintesis[rujukan?]
Diaparalelisme[rujukan?]
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis
antara keduanya.[10] Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat
terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.[rujukan?]
Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan
bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya
hidup.
[sunting] Reference
1. ^ [K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 25.]
2. ^ Etika, 24-25
3. ^ Etika, 27-29
4. ^ [Eka Darmaputera. 1987. Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan
Pertama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 94.]
7. ^ [J. Verkuyl. 1982. Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 17.]
Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan
agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia
mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara
stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya
barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur
berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya
terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar
dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu
saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya
ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang
pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan
dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu
emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi
sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting
dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat
Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika
protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras
dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme.
Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat
puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern
telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi
perilaku individu.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik
memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya
merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika
Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata
dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari
individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi
keseluruhan kelompok manusia.
Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan
semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber
mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi
masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas katolik justru
sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik membakar teorinya Weber
sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi teorinya tidak
.dapat dijadikan ramalan masa depan
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme,
Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan
Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya
perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia.
Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-
masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya
Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat
dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja
dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk
mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan
Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang
agama.
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang
membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat
perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik,
ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan
oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan
keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing
merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak
pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara
beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak
kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta
sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan
kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik
sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga
yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini
menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik
barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga
justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar
bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering
disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat
yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial
dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas
dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas
kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada
wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan
individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama
perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai
sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini
didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul
karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang
beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih
secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku
seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah,
beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang
agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam
buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali
pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social,
status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri
administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang
ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan
banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada
beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang
berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang
sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-
tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen
tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang
tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu
merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat
birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber
mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat
menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang
merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya
administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka
teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi
salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika
Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-
satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu
sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi
kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana
stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis,
status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang
proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot
nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti
permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini.
Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya
terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam
bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan
penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam
menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan
menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa
oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide
yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam
buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat
diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran
dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan
tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis
baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi
sepanjang zaman.
Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen,
Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja
yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’
dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-
masalah agama dan politik.