You are on page 1of 8

TIGA KERANGKA DASAR AGAMA HINDU

Posted by Ketut Adi on 2004-01-26 [ print artikel ini | dilihat 3233 kali ]

Ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga
Kerangka Dasar", di mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi dan
merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai
tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.

Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:

1. Tattwa (Filsafat)

Sebenarnya agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh
karena masuk akal dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam
Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama
Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan
pendekatan yang disebut Pramana. Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok yang disebut
Tri Pramana. Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat
menerima kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan
dan kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha.
Dalam Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha.

Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup
seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan
batin yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu
disebut Catur Marga.

Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian.
Istilah- istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena
dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari
sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang
mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.

2. Susila (Etika)

Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa).
Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas
hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan
sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati
dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap
yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi
kesusilaan.

Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk
mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung
kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi
manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah,
harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia
yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan
dengan lingkungannya.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan
timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta
(lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih
sayang.

Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah
engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain
berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula
menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian
Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran
susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi
secara lebih terperinci.

2 Tri Kaya Parisudha

Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika
Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan
dan kesucian hidupnya

3 Panca Yama dan Niyama Brata

5 Kebaikan yang harus dilakukan dan 5 keburukan yang harus dipantang.

4 Tri Mala

3 sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan diredam
sampai sekecil- kecilnya.

5 Sad Ripu

Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang
mengakibatkan ketidakstabilan emosi.

6 Catur Asrama

4 tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan tahapan-


tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban menunaikan
dharmanya.

7 Catur Purusa Artha

4 dasar tujuan hidup manusia

8 Catur Warna
Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan
berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.

9 Catur Guru

4 kepribadian yang harus dihormati oleh setiap orang Hindu.

3. Upacara- Yadnya

Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/
rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang
ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban,
mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh
kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta
kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:

Rasa tulus ikhlas dan kesucian.


Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara,
Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing- masing menurut
tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan
kebenaran yang abadi.

PEMBAGIAN YADNYA
Untuk memudahkan pembahasan, yadnya dibagi- bagi sebagai berikut

Menurut tingkat pelaksanaannya


Menurut jenisnya (panca yadnya)
Menurut waktu pelaksanaannya
Menurut cara menjalankannya (panca marga yadnya)

sumber: babadbali.com
MAKNA DAN TATA CARA
PERSEMBAHYANGAN UMAT HINDU
Oleh: Pande Putu Suryadinata

Definisi Sembahyang

Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman
atau Sraddha dalam Agama Hindu meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa, (5) Brahma dan (6) Yajna.
Dari keenam unsur iman di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir termasuk
ajaran sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:12).

Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan
cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan
ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang berarti yang dihormati atau
dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda
1981:13).

Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau “mebhakti” atau
“maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan persembahan
kembang (puspa). Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa
pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang artinya mempersembahkan apa saja yang
merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan dengn perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan,
jajanan, minuman dan lain-lain (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih, pemangku di Pura
Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, menambahkan makna maturan sebagai wujud syukur atas rejeki
yang diberikan Hyang Widhi, sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih
dahulu. Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita haturkan, seperti canang, buah-
buahan, dan sebagainya.

Manfaat Bersembahyang

Menurut Ketut Wiana (2005:49) salah satu manfaat sembahyang adalah untuk memelihara kesehatan. Selain
pikiran menjadi jernih, sikap-sikap sembahyang seperti asana (padmasana, siddhasana, sukhasana, dan
bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.

Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa
yang ada di dalam diri dan di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita tinggalkan atau berpisah
dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa penderitaan yang kita alami karena kita telah
paham benar akan kehendak Hyang Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya
keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melindungi umatNya.

Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang karena orang akan dapat melihat dengan terang
bahwa harta benda harus dicari dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan tekun akan
dapat menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan mementingkan diri sendiri, sehingga meningkatkan
cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang
ada pada semua makhluk adalah satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi.
Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan
sarana yang berasal dari alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya.

Persiapan Sembahyang

Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir seperti pakaian, bunga,
dupa, sikap duduk, pengaturan nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan bathin adalah ketenangan dan
kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang (Sujana & Susila, 2002:27-28) adalah
sebagai berikut:

1. Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan mandi.

2. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran dan
sesuai dengan Desa Kala Patra (waktu, tempat dan keadaan).
3. Bunga dan Kawangen, yaitu lambang kesucian sehingga diusahakan memakai bungan yang segar, bersih dan
harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga. Menurut Mangku
Gede Darsa, pemangku Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, kawangen berasal dari kata
kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum kita kepada Hyang Widhi. Beliau juga menambahkan
bahwa kawangen juga menyimbolkan alam bhuana agung, seperti bulan, matahari dan bintang. Bentuknya yang
segitiga menunjukkan apa yang kita mohon menuju pada diri kita.

4. Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi.

5. Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk sembahyang dan diusahakan beralaskan tikar dan
sebagainya. Arah duduk adalah menghadap pelinggih.

6. Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat yaitu
padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana.

7. Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah “cakupang kara kalih”, yaitu kedua telapak tangan
dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.

Urutan Sembahyang
Menurut Mangku Linggih, sebelum kita masuk ke areal Pura hendaknya “melukat” terlebih dahulu dengan
memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. Mangku Gede
Darsa menambahkan bahwa umat hendaknya masuk ke Pura melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu
sebelah kanan karena harus sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.

Sebelum melaksanakan Panca Kramaning Sembah hendaknya melaksanakan Puja Trisandya. Mangku Darsana
memberi saran, “Dalam melakukan Puja Trisandya baik sendirian maupun berkelompok hendaknya kita
berkonsentrasi dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang mampu kita bernafas
lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran, maka
mantram tersebut seperti terkejar-kejar atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.

Setelah melakukan Puja Trisandya, kita lanjutkan dengan melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang
bermakna (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:29) sebagai berikut:

1. Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon kesucian dan
memusatkan pikiran.

2. Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bungan dan kawangen dengan tujuan penyampaian rasa
hormat kepada Tuhan, penyampaian hormat kepada sifat wujudNya dalam segala manifestasiNya dan kepada
para Dewa, serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan anugrah.

3. Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas
rahmatNya dan mengantarkan kembali ke alam gaib.

Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini dipercikkan 3-
7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati
umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan
kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila, 2002:31)

Kemudian mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu
persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Bila dapat diusahakan
beras galih, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau
wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri
umat (Sujana & Susila, 2002:31-32).

Mangku Gede Darsa memberi saran dalam melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh
Pinandita, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa Pinandita itu seperti supir bus,
sedangkan umat adalah penumpang. Sopir akan mengantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan atau terminal.
Jika penumpang juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga, persembahyangan tidak menjadi tenang dan
menggangu umat lain yang ingin mengadu masalah hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan
tuntunan-Nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang karena menurut Mangku Gede Darsa
bahwa mungkin umat itu tidak sedang dalam masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut, asal
tidak mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang sembahyang.
Sesungguhnya begitu banyak makna yang terkandung dalam persembahyangan, tidak hanya sekedar
“nyakupang tangan” dan “ngelungsur”. Semoga ulasan sederhana mengenai makna dan tata cara persembahyangan
umat Hindu dapat bermanfaat bagi umat seDharma.

Sumber:

Mangku Gede Darsa dan Mangku Linggih. Pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor. 6
Mei 2006.

Bajrasana, I Gede, IB Arisufhana & I Gusti Gede Goda. (1981). Acara (Sadacara). Jakarta: Departemen Agama RI.
Hal. 12-30

Sujana, I Made & I Nyoman Susila. (2002). Manggala Upacara. Jakarta: Departemen Agama RI. Hal. 26-32

Wiana, Ketut. (2005). Doa Sehari-Hari: Menurut Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manikgeni. Hal. 26 – 48.
SUSILA

> 3 Kerangka ...> Pokok-pokok...> Hindu Dharma


1 Pengertian Susila Hindu

Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat
(Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari-
hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya
akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan
memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu
mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang
memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.

Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia


untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya
cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya
menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.

Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah,
harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku
manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam
mengadakan hubungan dengan lingkungannya.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku


hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan
alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya),
keikhlasan dan kasih sayang.

Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah
engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang
lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti
pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan
kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam
hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari-
hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.

2 Tri Kaya Parisudha


Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran
Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai
kesempurnaan dan kesucian hidupnya

3 Panca Yama dan Niyama Brata


5 Kebaikan yang harus dilakukan dan 5 keburukan yang harus dipantang.

4 Tri Mala
3 sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan
diredam sampai sekecil- kecilnya.
5 Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang
mengakibatkan ketidakstabilan emosi.

6 Catur Asrama
4 tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan tahapan-
tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban menunaikan
dharmanya.

7 Catur Purusa Artha


4 dasar tujuan hidup manusia

8 Catur Warna
Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan
berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.

9 Catur Guru
4 kepribadian yang harus dihormati oleh setiap orang Hindu.

sumber
© Yayasan Bali Galang. All rights reserved.

You might also like