You are on page 1of 16

ETIKA BISNIS

DEFINISI ETIKA BISNIS DARI BISNIS YANG TIDAK


BERETIKA
DAN
STAKEHOLDER THEORY VS STOCKHOLDER THEORY
Disusun Oleh :

KELOMPOK 7
DANIEL WICAKSONO 07.60.0218
Y A KRISNA WIJAYA 08.60.0177
HERWINDO BAGUS S 08.60.0178
LEONIS ADHYTIA 08.60.0193
YOHANES RISMADITYO 08.60.0198
SAMODRA B.A. 08.60.0214
FILIA CHRISMA 08.60.0222
Kasus Carrefour
• Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
memutuskan untuk melanjutkan pemeriksaan kasus
dugaan monopoli PT Carrefour Indonesia pasca
akuisisi PT Alfa Retailindo. Tidak cukup diduga
melanggar pasal 17 dan 25 ayat 1, Carrefour pun
ditengarai melanggar pasal 20 dan 28 UU tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat tersebut.
• Dalam pemeriksaan pendahuluan, KPPU menemukan
bahwa Carrefour tidak hanya diduga melanggar pasal
17 tentang monopoli dan pasal 25 ayat 1 tetang posisi
dominan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peritel asal Perancis tersebut diduga juga melanggar
pasal 20 tentang jual rugi dan pasal 28 tentang
larangan pengambilalihan yang menyebabkan
monopoli.
• Dalam pasal 20 dikatakan "Pelaku usaha dilarang melakukan
pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau
menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Sementara itu pasal 28 ayat 2 berbunyi, "Pelaku usaha dilarang


melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.“

• Menanggapi dugaan pelanggaran dua pasal tambahan, Corporate


Affairs Director PT Carrefour Indonesia Irawan Kadarman mengatakan
dirinya belum bisa berkomentar lebih jauh mengenai hal tersebut karena
pihaknya belum menerima surat pemberitahuan resmi mengenai hal
tersebut dari pihak KPPU.
Kasus Marta Tilaar
• PT Mustika Ratu melaporkan mantan GM PT
Martina Berto, Chandra Sugiono, ke Mabes Polri
pada 4 September 2000 dengan tuduhan
melakukan persaingan curang. Pengaduan yang
disampaikan langsung oleh Wakil Presdir PT
Mustika Ratu Putri K. Wardani itu terdaftar dalam
Laporan Polisi Nopol: 234/IX/2000/Siaga II.
• Kuasa hukum PT Mustika Ratu mengatakan
persaingan curang itu dilakukan oleh Chandra
Sugiono dengan cara menggunakan nama
perusahaan dan nama dagang Mustika Ratu milik
PT Mustika Ratu Tbk. dengan domain name
Mustika-Ratu.Com. Perbuatan tersebut dilakukan
tanpa seizin dari PT Mustika Ratu, sehinga
pemakaian domain name itu dinilai merusak
reputasi dan nama baik perusahaan kliennya
• Dipaparkan bahwa sejak awal 1970-an, Mooryati Soedibyo
dan Martha Tilaar merupakan sahabat karib. Mereka bekerja
sama secara rukun berupaya agar jamu dan kosmetika
tradisional Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. Pada awalnya, keduanya berjalan dengan satu merek
yaitu Mustika Ratu. Kemudian pada tanggal 7 Februari 1977
mereka sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Mustika Ratu
tetap dipegang oleh Mooryati Soedibyo, sedangkan Martha
Tilaar mendirikan Martina Berto yang memegang merek Sari
Ayu.
• Seiring berjalannya waktu, ternyata persaingan yang timbul
mulai meretakkan hubungan mereka berdua. Pasalnya, baik
Mustika Ratu yang mengeluarkan produk dengan nama
Mustika Ratu dan Martina Berto yang mengeluarkan produk
dengan nama Sari Ayu, ternyata memiliki produk dan segmen
yang sama persis. Beberapa produk bahkan keluar nyaris
secara berbarengan untuk menyaingi produk lainnya.
Kasus Cineplex 21
• Monopoly Watch melaporkan kelompok usaha 21 Cineplex
ke KPPU. Importir film-film asing ini dianggap telah
melanggar UU 5/1999 tentang larangan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat. Indikasi terjadinya
monopoli tersebut, menurut Samuel, tampak dari peredaran
film asing yang dikuasai, keterkaitan antar direksi atau
kepemilikan. 
• Berdasarkan data yang dimiliki Monopoly Watch, jumlah film
impor asal Amerika dan Eropa, tahun 2002 (sampai Juli)
sebanyak 95 judul. Sebesar 59 persen-nya diimpor oleh
kelompok usaha 21 Cineplex. Angka ini turun dari tahun
sebelumnya yang mencapai 61 persen dari 147 film AS dan
Eropa yang diimpor.  Monopoli yang terjadi di sektor ini, pada
dasarnya karena tiga hal, yaitu distribusi, impor, dan bioskop
• Tuduhan yang dialamatkan antara lain, dugaan pelanggaran
pasal 25 ayat 1 butir (c) mengenai posisi dominan, pasal 19
butir (a), (c) dan (d) mengenai penguasaan pasar, pasal 17
ayat (1) tentang monopoli, pasal 18 ayat (1) tentang
monopsoni, pasal 24 tentang persekongkolan, pasal 15 ayat
1 mengenai pernjanjian tertutup, pasal 26 mengenai jabatan
rangkap dan pasal 27 mengenai kepemilikan saham.
• KPPU hanya menemukan PT NSR memiliki saham
mayoritas di beberapa perusahaan yang bergerak dibidang
perbioskopan yaitu PT. Intra Mandiri dan PT. Wedu Mitra di
pasar yang sama yaitu di Surabaya. Bioskop-bioskop yang
dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut menguasai lebih
dari 50 persen pangsa pasar. KPPU akhirnya meminta NSR
mengurangi kepemilikan saham di kedua perusahan
tersebut.
KESIMPULAN
• Berdasarkan kedua kasus di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa bentuk bisnis yang tidak
beretika adalah karena kedua bisnis tersebut
berusaha untuk memonopoli pasar. Hal ini tentu
saja melanggar etika bisnis yang ada.
• Oleh karena itu dapat disimpulkan definisi dari
etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan
kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek
yang berkaitan dengan  individu,  perusahaan,
industri dan juga masyarakat.
Stakeholders Theory
• Pengertian Stakeholders
Stakeholder merupakan individu, sekelompok
manusia, komunitas atau masyarakat baik secara
keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki
hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan.
Perkembangan teori stakeholder diawali dengan
berubahnya bentuk pendekatan perusahaan dalam
melakukan aktifitas usaha. Ada dua bentuk dalam
pendekatan stakehoder yaitu old-corporate relation dan
new-corporate relation.
1. Old Corporate Relation
Menekankan pada bentuk pelaksanaan aktifitas
perusahaan secara terpisah dimana setiap fungsi
dalam sebuah perusahaan melakukan
pekerjaannya tanpa adanya kesatuan diantara
fungsi-fungsi tersebut. Hubungan antara
pemimpin dengan karyawan dan pemasok pun
berjalan satu arah, kaku dan berorientasi jangka
pendek. Hal itu menyebabkan setiap bagian
perusahaan mempunyai kepentingan, nilai dan
tujuan yang berbeda-beda bergantung pada
pimpinan masing-masing fungsi tersebut yang
terkadang berbeda dengan visi, misi, dan capaian
yang ditargetkan oleh perusahaan.
2. New-Corporate Relation
Menekankan kolaborasi antara perusahaan dengan
seluruh stakeholder-nya sehingga perusahaan bukan hanya
menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara
sendiri dalam sistem sosial masyarakat karena
profesionalitas telah menjadi hal utama dalam pola
hubungan ini. Hubungan perusahaan dengan internal
stakeholders dibangun berdasarkan konsep
kebermanfaatan yang membangun kerjasama untuk bisa
menciptakan kesinambungan usaha perusahaan sedangkan
hubungan dengan stakeholder di luar perusahaan bukan
hanya bersifat transaksional dan jangka pendek namun
lebih kepada hubungan yang bersifat fungsional yang
bertumpu pada kemitraan selain usaha untuk menghimpun
kekayaan yang dilakukan oleh perusahaan, perusahaan
juga berusaha untuk bersama-sama membangun kualitas
kehidupan external stakholders.
Stockholders Theory
• Pengertian Stockholders
Pemegang saham adalah seseorang atau
badan hukum yang secara sah memiliki satu
atau lebih saham pada perusahaan. Para
pemegang saham adalah pemilik dari
perusahaan tersebut. Perusahaan yang terdaftar
dalam bursa efek berusaha untuk meningkatkan
harga sahamnya. Konsep pemegang saham
adalah sebuah teori bahwa perusahaan hanya
memiliki tanggung jawab kepada para
pemegang sahamnya dan pemiliknya, dan
seharusnya bekerja demi keuntungan mereka.
Pemegang saham diberikan hak khusus tergantung
dari jenis saham, termasuk hak untuk memberikan
suara (biasanya satu suara per saham yang dimiliki)
dalam hal seperti pemilihan papan direktur, hak
untuk pembagian dari pendapatan perusahaan, hak
untuk membeli saham baru yang dikeluarkan oleh
perusahaan, dan hak terhadap aset perusahaan
pada saat likuidasi perusahaan. Namun, hak
pemegang saham terhadap aset perusahaan berada
di bawah hak kreditor perusahaan. Ini berarti bahwa
pemegang saham biasanya tidak menerima apa pun
bila suatu perusahaan yang dilikuidasi setelah
kebangkrutan (bila perusahaan tersebut memiliki
lebih untuk membayar kreditornya, maka
perusahaan tersebut tidak akan bangkrut), meskipun
sebuah saham dapat memiliki harga setelah
kebangkrutan bila ada kemungkinan bahwa hutang
perusahaan akan direstrukturisasi.
PT Henrison Iriana dan PT. Yotefa Sarana
Timber (HPH) 
Anis Akwan, Direktur Komunitas Adat Bin Madag
Hom (BmH) Teluk Bintuni mengemukakan bahwa PT.
Yotefa Sarana Timber (HPH) sangat merugikan masyarakat
adat pemilik hutan dan tanah adat di Teluk Bintuni. Dari
hasil study BmH pada tahun 2008, pihaknya menemukan
adanya system penebangan hutan yang dilakukan pihak
perusahan tanpa berkordinasi secara baik dengan
masyarakat sehinga masyarakat mengkomplein bahwa
tanah tersebut bukan milik perusahan tetapi milik
masyarakat adat. Pihak perusahaan bukannya menghargai
hak adat masyarakat, tetapi justru melawan masyarakat
dengan ancaman hukum dan juga menggunakan oknum
aparat kemanan negara dalam proses penyelesaian konflik
dengan masyarakat. Jelas masyarakat tidak berdaya di
hadapan hukum dan aparat keamanan yang mem-back up
pihak perusahaan, terang Anis Akwan dengan kesal. 
Kepala Suku Wamesa di Teluk Bintuni, Otto Manibui mengatakan bahwa
dengan masuk nya perusahan seperti PT Henrison Iriana, PT. Yotefa Sarana
Timber, PT. Rimbah Arthamas dan PT. Marindo Utama Jaya hanya mengacaukan
alam di Teluk Bintuni dan membuat komflik horizontal di antara masyarakat adat.
Contohnya kompensasi yang diberikan perusahan tidak mencukupi jumlah
komunitas yang ada di wilayah hutan masyarakat hukum adat sehingga antara
marga yang satu dengan yang lain sering terjadi saling bentrok.
Adapun kekesalan yang datang dari Kepala Kampung Manimeri Atibo.
Pihaknya mengatakan bahwa sangat menyesal dengan tindakan dari PT Hendrison
Iriana yang dengan secara sewenang-wenang masuk mengelola hutan dan tanpa
berkordinasi dengan aparat kampung. Pihak perusahaan langsung melakukan
aktivitasnya dengan memanfaatkan jalur dalam kampung sebagai jalur yang
digunakan untuk berlalu lalang menghouling kayu ke loker yang dibuka dekat lokasi
pemukiman. Ketika mereka houling kayu, pada saat siang hari atau aktivitas houling
dimulai, masyarakat selalu menderita karena ’kabut debu’ yang menjadi sumber
polusi udara di kampung. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah banyak
warga yang sering batuk beringus, sesak nafas, sakit paru-paru dan muntaber.
Kepala Kampung Manimeri menceritakan bahwa pernah memerintahkan warga
untuk memalang jalur houling kayu tersebut. Tetapi pihak perusahan mendatangkan
aparat kepolsian dari satuan Brimob, sehinga masyarakat takut dan menbuka
palang tersebut. Pihaknya juga pernah menyurat kepada pihak perusahan untuk
memberikan ganti kerugian dalam hal biaya pengobatan masyarakat yang menjadi
korban dari aktivitas perusahaan. tetapi pihak perusahan tidak menangapi tuntutan
tersebut. ”Perusahaan dorang malas tau, dorang tra mo pusing dengan kitorang
masyarakat pu penderitaan. Dorang hanya mau kejar uang saja”, ungkap kepala
kampung Manimeri ini dengan nada kesal.
Daniel Irai, tokoh masyarakat adat di Teluk Bintuni menerangkan
bahwa dalam melakukan aktivitas penebangan, perusahan hanya membayar
Rp. 50,000,- per meter kubik untuk kayu merbau, sedangakan untuk kayu
miks/campuran seharga Rp.10,000,- per meter kubik. Terkait harga kayu
yang tidak masuk akal ini, pernah masyarakat pemilik hak atas hasil hutan
adat itu melakukan komplein terhadap perusahaan. Namun, tidak ada
perubahan sama sekali. Sama saja prakteknya, karena memang kelakuan
perusahaan sudah demikian. Mereka mencari keuntungan besar, sehingga
tidak mau peduli hak orang lain.
”Pada tahun 2003, pihak PT. Yotefa Sarana Timber berjanji
membangun 25 unit rumah masyarakat pemilik hak ulayat. Perusahaan
sudah membangun 10 unit rumah pada tahun itu juga, tetapi 15 unit belum
dipenuhi hingga tahun 2009 ini. Masyarakat pernah menagih janji itu kepada
pihak perusahaan, tetapi tidak ditanggapi pihak perusahaan. Penyesalan
masyarakat pun semakin mendalam karena kayu-kayu yang sudah ditebang
sepanjang tahun 2003-2004 belum terbayar hingga sekarang. Keberadaan
PT Yotefa Sarana Timber memang merugikan masyarakat. Masyarakat
pernah menuntut supaya perusahan segera membayar hak-hak mereka,
tetapi perusahaan selalu menanggapi dengan menghadirkan aparat
keamanan”, tutur Anis Akwan. Wartawan JUBI Papua dan Koordinator
JASOIL Tanah Papua.

You might also like