Professional Documents
Culture Documents
Dosen:
Ir. Jawoto Sih Setyono, MDP
Dr. Lilin Budiati, SH, MM
Ir. Artiningsih, MSI
Santy Paulla Dewi, ST, MT
KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN
BENCANA MERAPI
(Kerjasama Antar Daerah Dalam
Pengelolaan Bencana Merapi)
Bagian 1
Bencana Merapi 2010
Dan
Page | 1
Upaya Penanggulangannya
Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia dilanda banyak bencana alam, baik itu gempa bumi,
tsunami, banjir, tanah longsor dan lain-lain. Kondisi ini terutama disebabkan karena Indonesia
berada dalam pertemuan sejumlah lempeng tektonik besar yang aktif bergerak, yaitu lempeng
Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu lempeng ini akan bergeser
patah menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antarlempeng tektonik dapat
menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara. Selain dikepung tiga
lempeng tektonik dunia, Indonesia juga merupakan jalur The Pasicif Ring of Fire (Cincin Api
Pasifik), yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Cincin api Pasifik membentang
diantara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan lempeng Indo-Australia, lempeng
Eurasia, lempeng Amerika Utara dan lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika
Selatan. Ia membentang dari mulai pantai barat Amerika Selatan, berlanjut ke pantai barat Amerika
Utara, melingkar ke Kanada, semenanjung Kamsatschka, Jepang, Indonesia, Selandia baru dan
kepulauan di Pasifik Selatan. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240
buah, di mana hampir 70 di antaranya masih aktif (www.pdat.co.id, tanpa tahun).
Salah satu gunung berapi aktif di Indonesia itu adalah Gunung Merapi. Gunung berapi ini
berada di Jawa Tengah dan DIY dan berketinggian 2.968 m diatas permukaan laut. Gunung Merapi
ini merupakan salah satu gunung berapi aktif yang secara periodik mengalami erupsi antara 4-5
tahunan. Erupsi terakhir sebelum tahun 2010 adalah erupsi yang terjadi pada tahun 2006. Erupsi
yang baru saja terjadi yaitu pada tanggal 26 Oktober 2010 dan berlanjut dengan erupsi besar pada
tanggal 5 November 2010 dini hari disebut sebagai letusan terbesar sejak 1930. Salah satu ciri
letusan Merapi adalah sifat bahayanya yang selain memuntahkan material vulkanik juga
menyemburkan awan panas. Selain bahaya primer berupa aliran lahar dan awan panas, bahaya
sekunder yang ditimbulkan berupa banjir lahar dingin dalam perkembangan terakhir juga menjadi
ancaman yang serius. Peristiwa bencana letusan Merapi pada Oktober-November 2010 dan banjir
lahan dingin pada Januari-Februari 2011 sebagai bahaya lanjutannya merupakan salah satu
bencana yang berskala besar karena besarnya dampak yang ditimbulkannya.
Karena letak Gunung Merapi yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan DIY maka wilayah
yang terkena dampak akibat erupsi Merapi meliputi empat Kabupaten yang ada di dua provinsi itu,
yaitu
PageSleman
| 2 (Provinsi DIY), Magelang, Klaten, Boyolali (Provinsi Jawa Tengah), sementara dampak
banjir lahar dingin terutama terjadi di wilayah Kabupaten Magelang dan Kota Jogjakarta.
Kabupaten Sleman merupakan wilayah yang terkena dampak paling besar, karena kondisi kawah
atau kubah lava Merapi yang lebih terbuka ke arah selatan. Zona bahaya erupsi Merapi pada awal
bencana ditetapkan 5 km dari arah puncak, seiring dengan perkembangan aktifitas vulkanologi
Merapi meningkat menjadi 10 km, lalu meningkat lagi menjadi 15 km dan terakhir menjelang
letusan besar pada 5 November zona bahaya tersebut diperluas menjadi 20 km dari puncak Merapi.
Wilayah-wilayah dalam radius 20 km tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1.
Dampak dari erupsi Merapi bulan Oktober-November 2010 adalah berbagai kerugian yang
dialami meliputi korban jiwa (meninggal dan luka-luka), matinya hewan ternak, rusaknya rumah
penduduk, rusaknya lahan pertanian, rusaknya berbagai infrastruktur penting (listrik, air bersih,
jalan, jembatan, dam penahan lahar) dan rusaknya berbagai fasilitas umum lainnya. Sementara
ancaman bahaya sekunder Merapi berupa banjir lahan dingin yang terjadi sejak bulan Janauari
2011 dampaknya juga sangat luas, yaitu merusak beberapa jembatan dan sabo dam terutama di
wilayah Magelang, jalur Magelang-Jogjakarta terganggu (berkali-kali macet akibat luberan material
banjir lahar dingin), merusak rumah penduduk, dan ribuan penduduk mengungsi. Berikut ini
Page | 3
adalah data dari berbagai sumber mengenai berbagai kerugian tersebut.
Tabel 1. Data Kerugian Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010
Sementara fluktuasi jumlah pengungsi akibat erupsi Merapi sejak letusan pertama pada 26
Oktober 2010 sampai dengan 9 Desember 2010 (BNPB, 2010) dapat dilihat pada Gambar 2.
Berdasarkan data BNPB diatas, penduduk sekitar Merapi mulai mengungsi sejak tanggal 26
Oktober ketika letusan pertama Merapi, kemudian meningkat pada tanggal 5 November 2010
ketika terjadi letusan terbesar, kemudian mulai menurun jumlahnya pada tanggal 22 November
ketika Merapi mulai berangsur aman. Pengungsi adalah penduduk dari empat kabupaten yang
terkena dampak langsung erupsi Merapi, yaitu Kabupaten Sleman, Klaten, Magelang dan Boyolali.
Page | 4
adalah di Sungai Putih dan Pabelan yang menyebabkan rusaknya rumah penduduk, beberapa
jembatan, macetnya jalur Magelang-Jogjakarta dan ribuan penduduk mengungsi.
Pada tanggal 25 Oktober Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menetapkan
perubahan status aktifitas Gunung Merapi dari siaga menjadi awas, lalu terjadi letusan pertama
pada 26 Oktober 2010 dan ditetapkan zona bahaya sejauh 5 km. Korban meninggal pada letusan
pertama ini terutama dari Desa Kinahrejo tempat tinggal Mbah Maridjan, juru kunci Merapi.
Sebagian penduduk di beberapa desa terdekat dengan Merapi pun segera melakukan pengungsian
ke beberapa titik lokasi pengungsian. Pada tahap ini pihak yang melakukan penanganan bencana
terutama adalah tim SAR dan PMI yang melakukan evakuasi korban meninggal dan luka-luka akibat
awan panas dan juga membuat tenda-tenda bagi para pengungsi dibantu oleh Tagana (Taruna
Tanggap Bencana) dan beberapa LSM, Ormas dan lembaga non pemerintah lainnya. Pengelolaan
bencana berbeda antar wilayah (antar Sleman, Magelang, Klaten dan Boyolali), termasuk respon
pemerintah setempat dalam menghadapi bencana, namun berdasarkan berita dari berbagai media
massa terungkap bahwa lembaga-lemabaga non-pemerintah beserta para relawannya adalah pihak
yang paling cepat berada di lokasi bencana untuk melakukan penanganan bencana dibanding
dengan respon pemerintah setempat, bahkan ada lembaga non-pemerintah berada di lokasi
sebelum terjadi letusan, yaitu sejak Merapi dinyatakan berstatus siaga pada tanggal 25 Oktober
2010. Di beberapa wilayah juga terjadi kondisi dimana hanya ada Ormas dan LSM saja yang bekerja
menangani bencana, baru setalah skala bencana Merapi menjadi lebih besar, berbagai pihak pun
berdatangan.
Seiring dengan peningkatan aktifitas Merapi pada saat itu menyebabkan zona bahaya
ditambah sejauh 10 km, kemudian bertambah lagi menjadi 15 km dan menjelang letusan terbesar
pada 5 November zona bahaya diperluas menjadi 20 km. Akibat letusan kedua ini korban jiwa
meningkat jumlahnya dan pengungsi semakin banyak jumlahnya yang tersebar di berbagai titik di
empat kabupaten. Setelah letusan besar itu, Presiden Yudhoyono memutuskan agar penanganan
bencana Merapi berada di bawah satu komando yaitu Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) Syamsul Maarif. BNPB ini akan dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah, Gubernur
Page | 6
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Pangdam IV Diponegoro, Polda Jawa Tengah dan Polda DIY.
Selain itu Presiden juga memutuskan untuk mengajukan unsur pemerintah pusat yang dipimpin
oleh Menko Kesejahteraan Rakyat guna membantu daerah dan juga memastikan bantuan pusat ke
daerah dapat disalurkan secara cepat, tepat dan terkoordinasi dengan baik. Presiden juga
menginstruksikan TNI untuk mengerahkan satu brigade plus penanggulangan bencana dipimpin
oleh seorang brogadir jendral terdiri atas batalyon kesehatan, batalyon zeni tempur untuk
pekerjaan konstruksi dan lebih dari satu batalyon marinir dan infantri yang bertugas segera
membangun berbagai fasilitas seperti rumah sakit lapangan dan dapur umum. TNI juga diminta
menyiapkan kendaraan untuk memudahkan pergerakan masayarakat di daerah bencana. Presiden
juga memerintahkan Polri untuk menyiapkan satuan tugas khusus untuk penanggulangan bencana
terutama mengatur lalu lintas yang kacau karena mobilitas masyarakat yang mengungsi. Brigadir
TNI dan Satgas Polri juga berada di bawah komando Kepala BNPB (www.antaranews.com, 2010).
Sejak penanganan bencana oleh pemerintah diambil alih oleh BNPB maka penanganan bencana di
lapangan dikordinasikan oleh BNPB, terdiri dari SAR, PMI, TNI, Polri, pemerintah setempat, dan
berbagai lembaga non-pemerintah (LSM, NGO, Ormas, Parpol, Mahasiswa).
Sejak letusan kedua pada 5 November, berbagai pihak baik unsur pemerintah maupun unsur
masyarakat non-pemerintah semakin banyak yang terlibat dalam penanganan bencana, baik dalam
proses evakuasi korban meninggal dan luka-luka akibat awan panas maupun penanganan para
pengungsi. Unsur pemerintah yang tampak lebih cepat dan tanggap di lokasi bencana adalah PMI,
SAR, dan TNI, dan masing-masing memiliki keahlian yang spesifik, yaitu penanganan mencari dan
mengevakuasi korban (SAR) dan menangani korban luka-luka (PMI), serta penanganan pengungsi
beserta logistiknya (TNI). Selain itu relawan dari berbagai lembaga non-pemerintah semakin
banyak berdatangan, termasuk para mahasiswa dan relawan asing. Mereka membawa personil dan
sumber daya yang dimiliki serta bantuan hasil donasi dari masyarakat dan masing-masing
mengambil peran sesuai dengan kemampuannya, ada yang ikut melakukan evakuasi, ada yang
mengurusi logistik pengungsi, menyalurkan bantuan, ada pula yang menangani trauma pasca
bencana para pengungsi. Keberadaan relawan banyak disebut-sebut sebagai ujung tombak dalam
penanganan bencana Merapi ini, dan hal ini juga diakui oleh Wapres Budiono yang memberikan
apresiasi terhadap mereka.
Setelah beberapa bulan sejak terjadinya bencana tersebut, Komnas HAM menilai penanganan
bencana Merapi belum maksimal dan belum terkoordinasi dengan baik, terutama berkaitan dengan
hak-hak pengungsi (www.republika.co.id, 28 Des 2010). Dengan mencermati berbagai pemberitaan
di media dan pengalaman para relawan Merapi berbagai permasalahan kelembagaan dalam
pengelolaan bencana Merapi adalah sebagai berikut :
Page | 7
1. Minimnya langkah antisipatif dan persiapan dalam menghadapi bencana (ketika Merapi
berstatus siaga maupun telah naik menjadi awas).
2. Pemerintah yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana kurang cepat dan
tanggap dalam menghadapi dan menangani bencana (tidak ada kesiapan menghadapi bencana
dan baru bergerak setelah bencana menjadi besar).
3. Berbagai pihak non-pemerintah lebih siap menghadapi bencana, lebih cepat berada di lokasi
bencana dan lebih tanggap dalam menangani bencana, yaitu LSM, NGO, Ormas, Parpol,
mahasiswa dan lembaga-lembaga lain, dengan keragaman sumber daya yang dimiliki
(personil, peralatan, dana, dan lain-lain).
4. Masih lemahnya koordinasi antara pemerintah dengan lembaga-lembaga non-pemerintah
yang terlibat dalam pengelolaan bencana tersebut, terutama dalam koordinasi penanganan
pengungsi dan penyaluran bantuan.
5. Pemerintah kabupaten bekerja hanya di wilayahnya masing-masing dan berdasarkan dampak
yang dialami oleh wilayah kabupatennya saja.
6. Tidak ada kerjasama dan koordinasi antar wilayah atau antar pemerintah kabupaten yang
terkena dampak dalam menangani bencana.
Berbagai masalah kelembagaan dalam pengelolaan bencana Merapi tersebut selanjutnya akan
lebih dikaji dengan melihat berbagai regulasi dan kebijakan yang mengatur mengenai pengelolaan
bencana, serta berbagai teori tentang kerjasama antar wilayah dalam pengelolaan bencana, juga
best practice pengelolaan bencana yang dilakukan Jepang. Hasil kajian diharapkan menghasilkan
suatu solusi kelembagaan atas permasalahan tersebut.
Bagian 2
Perspektif Teori dan
Kebijakan
Page | 8 Penanggulangan Bencana
Definisini bencana adalah gangguan yang serius dari berfungsinya satu masyarakat, yang
menyebabkan kerugian-kerugian besar terhadap jiwa (manusia), harta benda (properti), dan
lingkungannya, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk
menanggulanginya dengan hanya menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu sendiri
(UNDMTP (United Nations Disaster Management Training Program) dalam Sadisun, 2004).
Pengertian bencana menurut UU No. 24 Tahun 2007 pasal 1 adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Klasifikasi bencana biasanya didasarkan atas penyebab kejadian (secara alami atau karena
ulah manusia) dan cepat lambatnya kejadian bencana (perlahan atau tiba-tiba). Bencana alam
dimana faktor geologi sangat dominan disebut sebagai bencana alam geologi, diantaranya gempa
bumi tsunami, letusan gunung api, tanah longsor, dan penurunan tanah (Sadisun, 2004). Bencana
yang paling sering menimpa Indonesia adalah bencana geologi tersebut, sebagai akibat dari posisi
Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik dan merupakan jalur cincin api
Pasifik.
Sementara pengelolaan atau manajemen bencana merupakan suatu bentuk rangkaian kegiatan
yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan yang dilaksanakan semenjak sebelum kejadian bencana,
pada saat atau sesaat setelah kejadian bencana, hingga pasca kejadian bencana (Sadisun, 2004).
Dalam UU No. 24 Tahun 2007 pasal 1 dijelaskan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana
adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Pengelolaan bencana dapat digambarkan sebagai suatu siklus manajemen sebagai berikut :
Jepang merupakan salah satu negara rawan bencana di dunia, terutama bencana gempa bumi,
dan telah memiliki manajemen bencana yang baik dan bisa dijadikan sebagai contoh. Jepang
membangun sistem manajemen bencana yang memadai setalah terjadinya gempa Hanshin Awaji di
Kota Kobe Provinsi Hyogo pada awal 1995, berkekuatan 7,2 skala ritcher dan menelan korban jiwa
sekitar 6.000 orang. Kejadian gempa bumi di Kobe ini menjadi titik tolak manajemen bencana
dimana pemerintah Jepang membentuk Kementrian Negara Urusan Bencana yang menjadi
pelaksana teknis Dewan Pusat Penanganan Bencana yang didukung oleh 37 badan publik, mulai
dari badan meteorologi, badan penyiaran, perusahaan gas, perusahaan telepon, dan lain-lain
(Minamiyama, 2010).
Salah satu kelebihan utama dalam manajemen bencana di Jepang adalah berbagai tindakan
antisipatif yang dilakukan dalam menghadapi bencana. Dari sekian banyak tindakan antisipatif
yang dilakukan di daerah-daerah rawan bencana di Jepang, setidaknya ada dua langkah yang bisa
langsung dicontoh Indonesia, yang dititikberatkan pada koordinasi antar pemerintah daerah.
Langkah antisipatif pertama adalah pembentukan sistem kerja sama kota kembar (sister city)
untuk mengatasi bencana, di mana dua atau lebih kota atau kabupaten melakukan perjanjian kerja
sama penyediaan langkah tanggap darurat. Contohnya bisa dilihat pada saat terjadinya gempa di
Provinsi Niigata pada bulan Oktober tahun 2009 lalu. Kota Ojiya, salah satu kota yang paling rusak
parah oleh gempa berskala 6,8 pada skala Richter itu, langsung mendapat suplai bahan bantuan
berupa air bersih, makanan kering, tisu toilet, tenda darurat, dan selimut dari kota kembarnya, kota
Komae, yang terletak di luar Tokyo. Seluruh bantuan ini tiba dalam waktu 24 jam, dan pemerintah
kota Ojiya bisa berkonsentrasi mengevakuasi penduduk sambil menunggu datangnya bantuan dari
kota kembarnya. Seluruh bahan bantuan darurat ini telah dipersiapkan dalam jumlah besar yang
disimpan di dalam gudang setiap kota kembar sehingga bila terjadi bencana, dapat langsung
disalurkan. Dengan menguatkan sistem kerja sama antardaerah seperti ini, langkah tanggap
darurat dalam skala besar tidak lagi harus semata-mata bergantung pada instruksi pemerintah
pusat atau koordinasi antarinstansi. Di Jepang tercatat lebih dari 1.000 kesepakatan kerja sama
kota kembar antar pemerintah daerah semacam ini, yang terbukti sangat efektif melakukan
tanggap darurat (Minamiyama, 2010).
Langkah antisipatif kedua yang dapat ditiru adalah penyebaran informasi tempat pengungsian
yang wajib dimiliki oleh setiap rumah tangga. Untuk konteks negara rawan bencana, informasi
tempat pengungsian dan pertolongan pertama saat terjadi bencana alam sangat penting sebab
penduduk yang menyelamatkan diri di tengah terjadinya bencana seharusnya tahu ke mana
mereka harus menyelamatkan diri. Pola pikir dan reaksi masyarakat yang memiliki disaster
awareness yang tinggi adalah tidak sekadar menyelamatkan diri, tetapi tahu ke mana harus
menyelamatkan diri serta kebutuhan apa yang diperlukan untuk menyelamatkan diri. Pentingnya
pemerintah daerah mendesain tempat yang ditunjuk sebagai pusat-pusat pengungsian juga
membawa implikasi lebih lanjut, yaitu bahwa penunjukan itu mutlak diiringi dengan penyediaan
kebutuhan darurat. Di Provinsi Hyogo, khususnya di kota Kobe, yang luluh lantak dalam gempa
dahsyat 10 tahun lalu, taman dan gedung sekolah yang ditetapkan sebagai tempat perlindungan
Page | 11
darurat dilengkapi dengan tangki air minum dan cadangan toilet portabel yang langsung dapat bisa
dimanfaatkan saat terjadinya bencana. Di setiap wilayah terdapat fasilitas publik yang ditunjuk dan
disiapkan sebagai tempat penampungan korban (Minamiyama, 2010).
Pengelolaan bencana di Indonesia secara khusus telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, lalu pada tahun 2008 keluar tiga peraturan pemerintah yang
melengkapinya, yaitu PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana,
PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 Tahun
2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah Dalam
penanggulangan Bencana. Selain itu juga beberapa regulasi yang terkait dengan kelembagaan
pengelolaan bencana, yaitu Permendagri No. 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata
Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Peraturan Kepala BNPB No. 3 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Sementara berbagai regulasi yang
terkait dengan kelembagaan pengelolaan bencana diantaranya adalah PP No. 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP
No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
2008 tentang pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca lemah.
Penyelenggaraan bencana. - Resources dan tools
Penanggulangan - Penanggulangan dalam situasi terdapat potensi penanggulangan bencana
Bencana bencana meliputi : kesiapsiagaan, peringatan sebagian besar dikuasai
dini, mitigasi bencana. oleh pusat.
- Penanggulangan saat tanggap darurat meliputi : - Respon masyarakat dan
pengkajian lokasi, kerusakan, kerugian, sumber lembaga non-pemerintah
daya, penentuan status keadaan darurat sangat besar (SDM,
Page | 12 bencana, penyelamatan dan evakuasi, program, dana)
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan - Respon pemerintah
kelompok rentan, pemulihan prasarana sarana terbatas hanya dari SAR,
vital. PMI, TNI.
- Penanggulangan pascabencana meliputi - Recovery pasca bencana
rehabilitasi dan rekonstruksi. sering terabaikan
3. PP No. 22 Tahun - Dana penanggulangan bencana menjadi - Tidak diatur prosedur
2008 tentang tanggungjawab pemerintah dan pemerintah pencairan agar bisa cepat
Pendanaan dan daerah digunakan dalam tanggap
Pengelolaan - Dana penanggulangan bencana berasal dari darurat,
Bantuan Bencana APBN, APBD, dan/atau masyarakat - Tidak ada alokasi dana
- Pengaturan mengenai bantuan dan santuanan untuk mitigasi,
kepada korban bencana. kesiapsiagaan dan
pencegahan bencana.
- Tidak ada alokasi dalam
APBN/APBD
4. PP No. 23 Tahun - Peran serta lembaga internasional dan lembaga - Hanya mengatur peran
2008 tentang asing adalah untuk mendukung penanggulangan serta lembaga internasional
Peran Serta bencana, meliputi kegiatan tahap pra bencana, dan lembaga asing non-
Lembaga tanggap darurat dan pra bencana, dan Kepala pemerintah saja, padahal
Internasional BNPB berwenang menentukan peran serta fakta banyak lembaga non
dan Lembaga mereka. pemerintah lokal dan
Asing - Lembaga internasional atau lembaga asing nasional yang punya peran
Nonpemerintah nonpemerintah yang akan berperan serta dalam besar dalam
Dalam penanggulangan bencana harus menyusun penanggulangan bencana
penanggulangan proposal, nota kesepahaman dan rencana kerja. selama ini.
Bencana
5. Permendagri No. - Di setiap provinsi dibentuk BPBD Provinsi dan - Kab/Kota tidak wajib
46 Tahun 2008 di setiap Kabupaten/Kota dapat dibentuk membentuk BPBD, tetapi
tentang Kabupaten/Kota tidak ada kriteria daerah
Organisasi dan - Kabupaten/Kota yang tidak membentuk BPBD dengan kondisi apa yang
Tata Kerja Badan Kab/Kota maka penanggulangan bencana seharusnya wajib dan
Penanggulangan diwadahi dengan fungsi yang bersesuaian daerah dengan kondisi apa
Bencana Daerah dengan fungsi penanggulangan bencana yang tidak wajib
- Hubungan antara BPBD Prov dengan BPBD membentuk BPBD, misal
Kab/Kota adalah koordinasi dan saat dilihat dari sisi potensi
bencanaBPBD Prov dapat melaksanakan fungsi kebencanaan di wilayah
komando, hubungan antara BPBD Prov dengan tersebut.
BNPB koordinasi dan teknis kebencanaan.
6. Perka BNPB No. - BPBD terdiri dari Kepala, unsur pengarah - Tidak semua daerah telah
3 Tahun 2008 penanggulangan bencana dan unsur pelaksana membentuk BPBD
tentang Badan penanggulangan bencana. - Apakah lembaga baru
Penanggulangan - Unsur pengarah memberikan masukan dan tersebut memiliki kapasitas
Bencana Daerah saran kepada kepala BPBD dalam yang memadai dalam
penanngulangan bencana. pengelolaan bencana?
- Unsur pelaksana bertugas melaksanakan tugas - Tidak dijelaskan pembagian
penanggulangan bencana, terdiri dari kepala tugas dengan lembaga yang
pelaksana, sekretariat unsur pelaksana, dan memiliki kemampuan
1. Regulasi
Penanggulangan bencana memegang yang sangat penting pada saat sebelum, saat dan
sesudah terjadinya bencana, dengan cara:
Rendahnya daya guna tata ruang wilayah dalam mengurangi resiko bencana. Belum
ada alat untuk mendeteksi gejala alam secara akurat untuk memberikan peringatan
dini kepada masyarakat.
b. Perda Prov. DI Yogyakarta No. 2/ 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DI
Yogyakarta Tahun 2009-2029
1) Pasal 51: Arahan penetapan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49, sebagai berikut :
Penetapan kawasan rawan bencana banjir di Kabupaten Bantul, dan Kulon Progo;
2) Pasal 101: Kawasan strategis lindung dan budidaya sebagaimana dimaksud dalam
Page | 14 Pasal 97 huruf d terdiri atas Kawasan strategis nasional meliputi Taman Nasional
Gunung Merapi seluas 1.743,250 ha di Kecamatan Turi,Cangkringan dan Pakem
Kabupaten Sleman.
a. Kebijakan penataan ruang sudah cukup jelas (zonasi, sempadan sungai, kawasan lindung
dan budidaya), tetapi pengendalian masih lemah.
c. Mitigasi dan kesiapsiagaan bencana belum menjadi prioritas dalam pengelolaan bencana,
padahal DIY memiliki banyak wilayah yang rentan terhadap bencana.
d. Belum ada keterkaitan antar kebijakan, misalnya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana
dengan alokasi penganggarannya.
e. Kebijakan yang ada belum mengakomodasi pengelolaan bencana lintas regional (antar
kabupaten ataupun antar provinsi).
Alasan utama diperlukannya kerjasama antar pemerintah daerah adalah agar berbagai
masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak
potensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Dalam kenyataan
berbagai masalah dan kepentingan sering muncul sebagai akibat dari hubungan fungsional di
bidang sosial ekonomi yang melewati batas-batas wilayah administratif (Keban, 2009).
Menurut Taylor dalam Wahyudi (2010) ada beberapa model bentuk kerja sama antar daerah,
yaitu diantaranya:
1. Handshake Agreement, yang dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian kerja sama yang
formal. Kerja sama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara politis antar
daerah yang terkait. Biasanya, bentuk kerja sama seperti ini dapat berjalan pada daerah-
daerah yang secara historis memang sudah sering bekerja sama dalam berbagai bidang.
Bentuk kerja sama ini cukup efisien dan lebih fleksibel dalam pelaksanaannya karena tidak ada
kewajiban yang mengikat bagi masing-masing pemerintah daerah. Meski begitu, kelemahan
model ini adalah potensi munculnya kesalah-pahaman, terutama pada masalah-masalah
Page | 15
teknis, dan sustainibility kerja sama yang rendah, terutama apabila terjadi pergantian
kepemimpinan daerah. Oleh karena itu, bentuk kerja sama ini sangat jarang ditemukan pada
isu-isu strategis.
2. Fee for service contracts (service agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah daerah
“menjual” suatu bentuk pelayanan publik kepada daerah lain. Misalnya air bersih, listrik, dan
sebagainya, dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang disepakati bersama.
Keunggulan sistem ini adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang relatif biaya awal (start-up
cost) dalam penyediaan pelayanan. Akan tetapi, biasanya cukup sulit untuk menentukan harga
yang disepakati kedua daerah.
3. Joint Agreements (pengusahaan bersama). Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya
partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau
pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol,
dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan
struktur kepemerintahan daerah (menggunakan struktur yang sudah ada). Kelemahannya,
dokumen perjanjian (agreement) yang dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena
harus mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang bersangkutan.
4. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama). Di Indonesia, sistem ini lebih
populer dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda yang bersangkutan setuju untuk
mendelegasikan kendali, pengelolaan, dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk
bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa
juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang
bersangkutan. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan-
kebijakan yang terkait dengan bidang pelayanan publik yang diurusnya, termasuk biasanya
otonom secara politis. Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol yang lemah terhadap
bidang yang diurus oleh badan tersebut.
5. Regional Bodies. Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani isu-
isu umum yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan. Seringkali,
badan ini bersifat netral dan secara umum tidak memiliki otoritas yang cukup untuk mampu
bergerak pada tataran implementasi langsung di tingkat lokal. Lebih jauh, apabila isu yang
dibahas ternyata merugikan satu daerah, badan ini bisa dianggap kontradiktif dengan
pemerintahan lokal. Di Indonesia, peranan badan ini sebenarnya bisa dijalankan oleh
Pemerintah Provinsi.
Di Indonesia sendiri kerjasama antar daerah memiliki beberapa bentuk kelembagaan
diantaranya : Regional Manajemen, Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) dan Sekber (Sekretariat
Page | 16
Bersama). Bentuk regional manajemen diterapkan dalam kerjasama antar daerah Barlingmascakeb
(Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilapacap, Kebumen), bentuk Badan Kerjasama Daerah
digunakan oleh BKAD Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen dan
Klaten) dan bentuk Sekretariat bersama diaplikasikan oleh Sekber Kartamantul (Yogyakarta,
Sleman, Bantul).
Agar berhasil melaksanakan kerja sama antar daerah dibutuhkan prinsip-prinsip sebagaimana
prinsip-prinsip yang diterapkan dalam mewujudkan good governance (Edralin, dalam Wahyudi,
2010). Beberapa prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam melakukan
kerja sama antar pemerintah daerah yaitu (Wahyudi, 2010) :
1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerja sama harus
transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka
kerja sama tersebut, tanpa ditutup-tutup.
2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerja sama harus
bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan
segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerja sama, termasuk kepada DPRD
sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan publik.
3. Partisipatif. Dalam lingkup kerja sama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi harus
digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang
harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi
kompensasi dan risiko.
4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerja sama antar Pemerintah Daerah ini harus
dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil
tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang
lebih tinggi.
5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerja sama antar Pemerintah Daerah ini harus
dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan
target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerja sama dengan hasil yang nyata diperoleh.
6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerja sama tersebut harus dicari titik temu agar masing-
masing pihak yang terlibat dalam kerja sama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau
dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalam kerja sama tersebut.
7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerja sama antar Pemerintah Daerah harus
dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus
Page | 17
menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerja sama
Berdasarkan uraian mengenai penanganan bencana Merapi terutama pada kejadian bencana
erupsi Merapi tahun 2010 dan banjir lahar dingin tahun 2011 serta kajian terhadap regulasi dan
kebijakan pengelolaan bencana dan pengelolaan kawasan rawan bahaya Merapi, diperoleh
kesimpulan bahwa permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan bencana Merapi adalah
sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 3.
Bagian 3
Kerjasama Antar Daerah
dalam Pengelolaan Bencana Merapi
Page | 19
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dan telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
peluang dan potensi pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan bencana Merapi adalah
sebagai berikut :
1. Respon masyarakat yang sangat besar, baik individu maupun berbagai lembaga non-
pemerintah, memilili sumber daya (resource) baik berupa dana, berbagai perlengkapan
dan peralatan maupun personil dan program penanggulangan bencana. Kondisi ini perlu
dikoordinasikan agar terbangun sinergi dan tidak terjadi tumpah tindih, misalnya dalam
penyaluran bantuan kepada masyarakat, penanganan pengungsi, dan lain-lain.
2. Beberapa unsur pemerintah yang memiliki keahlian dalam penanggulangan bencana dan
terbukti relatif lebih cepat dalam merespon bencana (PMI, TNI, SAR) seharusnya bisa lebih
terkoordinir agar hasil lebih optimal.
3. Terdapat peluang dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan bencana Merapi, yaitu
dalam bentuk kerjasama antar daerah dan kerjasama antara pemerintah dan lembaga non-
pemerintah.
Dengan demikian, kerjasama antar daerah dan kerjasama antara pemerintah dengan lembaga-
lembaga non-pemerintah dalam pengelolaan bencana merupakan salah satu solusi penting
permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan bencana Merapi. Kerjasama dengan lembaga non-
pemerintah yang selama ini telah ada dalam bentuk public private parthnership lebih kepada
kerjasama yang bersifat profit, sementara kerjasama dalam pengelolaan bencana belum pernah ada
dan siafnya non-profit, sehingga perlu ada pengkajian tersendiri mengenai hal ini. Lembaga non-
pemerintah yang terlibat dalam penanggulangan bencana biasanya merupakan lembaga sosial yang
sebagian menghimpun dana dari masyarakat, masing-masing memiliki sumberdaya dan program,
sehingga bentuk kerjasama dengan lembaga-lembaga tersebut lebih dalam bentuk koordinasi
terutama dalam fase tanggap darurat dan pasca bencana.
peningkatan aktifitas vulkanologinya. Selain itu dampaknya dari aktifitas Merapi selama meliputi
berbagai wilayah lintas administratif, terutama empat kabupaten yang berinteraksi secara langsung
dengan Merapi yaitu Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten, sehingga kerjasama antar
daerah akan lebih dibutuhkan terutama untuk mengurangi resiko dan korban akibat bencana.
Berikut adalah kajian mengenai bentuk kerjasama, bidang yang menjadi pembahasan, bentuk
Page | 20
kegiatan atau program dan output yang diharapkan.
Pengelolaan bencana merupakan salah satu hal yang memerlukan koordinasi kelembagaan,
didukung dengan komitmen yang kuat oleh masing-masing unsur dalam kelembagaan, yang terlibat
dalam penanganan dan pengelolaan bencana tersebut.
BNPB, Bakosurtanal, ESDM (PVMBG), BPPT, BMG, LIPI, DPU, Deptan, Dephut, Depkes, Keminfo, Kemenkesra
Bencana
Page | 22 Merapi merupakan bencana nasional dan memberikan dampak lintas wilayah, yaitu
di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Kabupaten Sleman, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Magelang dan Kabupaten Boyolali merupakan wilayah yang terkena dampak paling besar dari
bencana merapi. Karena dampaknya yang lintas wilayah, penanganan bencana ini memerlukan
koordinasi yang cukup kuat dari masing-masing wilayah tersebut. Selama ini, karena adanya
keterbatasan dalam koordinasi antar wilayah serta dampak bencana yang meluas, penanganan
Bencana Merapi ditarik pengelolaannya oleh Pemerintah Pusat. Institusi dari pusat yang terlibat
antara lain adalah BNPB, Bakosurtanal, ESDM, BPPT, BMG, LIPI, Kementrian Pekerjaan Umum,
Kementrian Kehutanan, Kementrian Kesehatan. Keminfo dan Kemenkesra.
Koordinasi kelembagaan juga diperlukan dengan masyarakat, dalam hal ini diwakili oleh
organisasi masyarakat/ LSM. Masyarakat selama ini terbiasa dalam menghadapi bencana yang
terjadi di Merapi. Namun demikian manjaemen pengelolaan bencana belum mengacu pada
kebijakan dari pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi antara masyarakat dan
pemerintah sehingga pelaksanaan pengelolaan bencana tidak tumpang tindih.
Bentuk solusi kerjasama antar daerah, termasuk di dalamnya antara pemerintah dan
masyarakat), dalam pengelolaan bencana merapi terbagi dalam tiga tahapan bencana, yaitu pra
bencana, penanganan bencana dan pasca bencana (Gambar 6). Kegiatan tersebut
Pemetaan kaw. rawan bencana (zona pengungsi manusia & hewan ternak, jalur evakuasi)
Page | 23
Pengembangan teknologi mitigasi bencana
Pencegahan, Mitigasi dan Kesiapsiagaan (Pra Bencana)
Tahapan ini merupakan tahap pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana Merapi. Kerjasama antar daerah dan antar sektor dilakukan dalam bentuk:
Tahapan ini merupakan tahap penanganan bencana utama. Kerjasama antar daerah dan antar
sektor dapat dilakukan dalam penanganan korban dan pengungsi Merapi. Selama ini tidak ada
koordinasi yang jelas sehingga penanganan korban lintas wilayah masih sulit dilakukan. Selain
itu zona pengungsi juga perlu dikoordinasikan antar wilayah sehingga pada saat bencana tidak
ada lagi persoalan dalam menangani tempat pengungsian bagi korban Merapi.
Tahap pasca bencana lebih difokuskan pada langkah rehabilitasi dan rekonstruksi dalam
pemulihan kawasan Merapi. Kerjasama antar daerah diperlukan dalam perbaikan sarana dan
prasarana terutama di daerah perbatasan, seperti perbaikan kondisi jalan dan sarana
prasarana publik lainnya. Selain itu perlu kesepakatan antara keempat wilayah mengenai zona
konservasi dan zona budiday (permukiman) di sekitar Merapi sehingga kerugian atau dampak
negatif dari Bencana Merapi dapat diminimalisir.
Bagian 4
Penutup
Page | 25
Bencana Merapi yang terjadi secara periodik membawa dampak kerugian dan kerusakan pada
empat wilayah kabupaten di sekitarnya yaitu Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten.
Penanggulangan bencana yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum maksimal dan masih
memiliki banyak kelemahan. Berbagai permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan bencana
Merapi sebagian besar merupakan bentuk permasalahan kelembagaan pengelolaannya. Dibalik
semua permasalahan tersebut, terdapat peluang yaitu kerjasama antar daerah dan kerjasama
antara pemerintah dengan lembaga-lembaga non-pemerintah.
Kerjasama antar daerah dan antara pemerintah dengan lembaga non-pemerintah diharapkan
dapat mengatasi permasalahan yang selama ini terjadi dalam pengelolaan bencana. Berbagai
kegiatan yang menjadi target penting meliputi berbagai kegiatan pencegahan, mitigasi, dan
kesiapsiagaan (pra bencana), evakuasi korban dan pengungsi secara cepat pada tanggap bencana,
dan proses recovery pada tahap pasca bencana. Kelemahan pengelolaan bencana Merapi selama ini
terutama pada mitigasi bencana dan kesiapsiagaan diharapkan dapat diperbaiki sehingga dapat
meminimalisir jumlah korban. Rencana jalur evakuasi dan rencana zona pengungsi menjadi hal
yang sangat penting. Selain itu, besarnya respon masyarakat dalam bentuk berbagai bantuan dan
banyaknya relawan serta lembaga-lembaga non-pemerintah dapat dikoordinasikan sehingga dapat
bekerja secara sinergis dan tidak terjadi tumpang tindih.
Sebagai negara yang rentan terhadap berbagai bencana, sudah saatnya Indonesia belajar
kepada Jepang yang telah mampu membangun sistem pengelolaan bencana yang sangat baik,
sehingga korban bencana dapat ditekan dari tahun ke tahun. Pengembangan teknologi mitigasi dan
peringatan dini, peningkatan kapasitas, pembelajaran kepada masyarakat tentang cara menghadapi
bencana, kerjasama antar wilayah dan kerjasama antar lembaga pemerintah menjadi hal yang
sangat diperhatikan oleh pemerintah Jepang dalam mengelola bencana. Belajar dari kondisi itu,
komitmen pemerintah dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan dan dalam membangun sistem
pengelolaan bencana (disaster management) menjadi kunci dalam keberhasilan pengelolaan
bencana.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. Presiden Pusatkan Komando Penanganan Bencana Merapi Pada BNPB. Dalam
Page | 26
www.antaranews.com, Jumat 5 Nov. 2010, diunduh pada 13 Februari 2011
------------. 2010. Komnas HAM : Penanganan Bencana Merapi Tidak Terkoordinasi Baik, dalam
www.republikaonline.co id, 28 Deseember 2010, diunduh pada 13 Februari 2011.
------------, 2010. 2.271 Rumah Warga Rusak Akibat Erupsi Merapi dalam www.slemankab.go.id,
tanpa tanggal, diunduh pada 13 Februari 2011.
------------, 2010. Amuk Merapi Kapan Berhenti ? dalam www.detiknews.com, 8 November 2010,
diunduh pada 13 Februari 2011.
------------, 2011. 14 Jembatan Rusak Akibat Banjir Lahar Dingin, dalam www.mediaindonesia.com,
23 Januari 2011, diunduh pada tanggal 13 Februari 2011.
Keban, Yeremias T, 2009. Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi : Isu Strategis
Bentuk dan Prinsip, dalam www.bappenas.go.id, diunduh pada tanggal 23 Januai 2010.
Wahyudi, 2010. Kajian Kerjasama dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Wisata Dataran
Tinggi Dieng. Tesis tidak diterbitkan. Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas
Diponegoro, Semarang.
BNPB. 2010. Laporan harian tanggap darurat Merapi tanggal 8 November 2010. Badan Nasional
Penanggulangan Benacana. 2010
----------. 2010. Laportan harian tanggap darurat Merapi tanggal 15 November 2010. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. 2010
----------. 2010. Laportan harian tanggap darurat Merapi tanggal 3 Desember 2010. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. 2010
----------. 2010. Laportan harian tanggap darurat Merapi tanggal 9 November 2010. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. 2010.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 46 Tahun 2009 Tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana.
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2008 Tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan
Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana.