You are on page 1of 14

Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

A. Pendahuluan

Telah menjadi keniscayaan bahwa bumi sebagai tempat tinggal manusia, berpenghuni
yang sangat beragama. Mulai dari suku, ras, bahasa, profesi, kultur dan agama. Dengan
demikian, kemajemukan adalah keniscayaan dan tak bisa dihindari. Keragaman terdapat di
pelbagai ruang kehidupan. Manusia diciptakan bersuku-suku, berbangsa dan beragama.
Dalam konteks kemajemukan ini, pengertian antar sesama manusia sangat diperlukan untuk
tidak terjadi kesalah-pahaman. Setiap orang berhak memeluk agama apapun yang dia yakini.
Terlepas benar atau salahnya dalam mata umat agama lain.

Kata pluralitas berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Kata ini diduga berasal dari
bahasa Latin, plures, yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Dari asal-usul kata
ini diketahui bahwa pluralisme tidak menghendaki keseragaman bentuk. Sebab, ketika
keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas (plurality). Keseragaman itu
sesuatu yang mustahil. Pluralitas di Indonesia mesti dimaknai sebagai kemajemukan dan
keberagaman realitas penduduk Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200
juta, komposisi penduduk Indonesia tidaklah homogen artinya bahwa terdapat berbagai
macam suku, ras dan bahkan agama yang dianut, terbagi alam beberapa kelompok atau sekte
tertentu.1

Pluralitas (keragaman) bukan hanya terjadi dalam lingkup kelompok sosial yang besar
seperti negara, tetapi pluralitas itu juga bisa dalam lingkup rumah tangga yang kecil. Artinya
dalam agama Islam sendiri ada bermacam perbedaan pada level penafsiran atas ajaran agama.
Pluralitas dalam level penafsiran pada gilirannya akan melahirkan keragaman dalam
aktualisasi dan pelembagaannya.2 Hal serupa juga terjadi pada umat agama lain seperti
Protestan, Khatolik dll.

Konsekuensi Indonesia sebagai negara berfaham demokrasi mengharuskan pemeluk


agama-agama untuk membangun toleransi yang kuat. Saling toleransi dan saling pengertian
akan selalu membuat pemeluk agama positif menjalankan kehidupan keagamaan dan
kebangsaan-kenegaraan. Kecurigaan dalam kehidupan beragama melahirkan ketegangan
antar umat beragama, dan sampai titik ekstrem terjadi konflik beragama.

2
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

Demokrasi yang menjadi konsensus para pendiri bangsa sebagai sistem politik
Indonesia yang berlandaskan Pancasila mesti dimaknai sebagai landasan kehidupan bersama
dalam negara republik Indonesia. Titiik temu-temu agama-agama kalau kita lihat dapat
terfasilitasi oleh demokrasi, jadi ketika kehidupan keagamaan dibangun dalam kecurigaan
dan saling tidak percaya, bukan tidak mungkin negara Indonesia beserta demokrasi, Pancasila
dan cita-citanya masuk jurang kehancuran.

Disadari atau tidak, struktur kemajemukan penduduk Indonesia dari berbagai suku,
ras dan agama menyimpan potensi konflik sangat dashyat, yang setiap saaat akan meledak
menjadi konflik besar. Dekade 90an sampai pada dekade ini menjadi semcam momentum
bagi konflik suku, ras dan agama, tentu dengan intensitasnya masing-masing. Ironi kehidupan
keagamaan seperti ini yang harus diatasi demi kelangsungan hidup dimasa mendatang. Tentu
kita membayangkan kehidupan dalam suatu negara yang harmonis, dimana tanpa ada saling
kecurigaan dan konflik. Orang-orang bekerja dan saling tolong-menolong tanpa memandang
suku, ras dan agama, tetapi memandang sebagai naluri kemanusiaan.
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

B. Islam dan Pluralitas Pada Masyarakat Indonesia

1. Islam dan Pluralitas di Indonesia (Perjumpaan Islam dan Agama-agama lain


dan)

Bila kita telusuri sejarah Islam klasik dimana imperium Islam pernah ada, banyak
sekali ditemukan fakta-fakta akan pengakuan hak terhadap umat agama lain. Nabi
Muhammad Saw dikenal sebagai pencetus “Piagam Madinah”, Khalifah Umar bin Khatab
membuat “Piagam Aelia” di Jerussalem, Khalifah Umawi Spanyol menegakan nilai-nilai
pluralisme berdsarkan teks-teks agama. Max I. Diamont, penulis The Indestructible Jews,
menyatakan bahwa era pemerintahan Khalifah Umawi di Spanyol dapat dipandang sebagai
pendobrak eksklusifisme, kezaliman dan diskriminasi.

Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh separuh lebih penduduk Indonesia
(82%) dengan dengan berbagai perbedaannya. Dalam sejarah perjumpaan Islam dan agama-
agama lain di Indonesia, Islam masuk pada abad ketiga belas dan keenam belas. Islam datang
setelah agama Hindu dan Budha karena disokong oleh Kerajaan Majapahit dan Kerajaan
Sriwijaya. Setelah dua kerajaan itu tumbang, Jawa dan Sumatera dikuasai kerajaan-kerajaan
Islam. Sejarah mencatat, perpindahan kekuasaan dari kerajaan Hindu-Budha ke kerajaan
Islam ternyata diikuti oleh perpindahan agama para penduduknya. Abad 13-15 menjadi masa
paling ramai perpindahan agama Hindu-Budha ke Islam.

CMH Clark dalam bukunya, A History of Australia, seperti yg dikutip oleh Abdul
Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, menyatakan seandainya islamisasi tak
dicegah oleh penguasa kolonial saat itu, pastilah seluruh penduduk Papua menjadi muslim,
dan proyek islamisasi akan bergerak ke timur hingga Australia. Anehnya, konversi agama
tidak menyebabkan ketegangan ataupun peperangan. Masa-masa paling tegang antar Islam
dan umat beragama lain, terjadi antara abad ke16 dan abad ke 19. Pada periode itu hubungan
antar Islam dan Kristen di Indonesia tidak cukup harmonis. Tidak seperti Islam dan Hindu-
Budha. Islam dan Kristen berkali-kali terjadi benturan dan konflik kekerasan.

Dalam bukunya, Sejarah Indonesia Modern, M.C. Ricklefs menceritakan fenomena


adanya pemaksaan konversi terhadap 28 orang tentara belanda dari Kristen menjadi Islam
dengan cara mengkhitan alat kelamin mereka secara paksa. Begitu juga kristenisasi yang
dilakukan para misionaris Kristen dari Belanda. Regering Almanak voor Nederlandch-Indie
(Alamanak Belanda) mencatat, pada tahun 1850 hanya ada 17 orang pendeta, 27 misionaris,
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

dan 9 pastor Katolik Roma. Ketika tahun 1900 jumlah ini meningkat menjadi 77 pendeta, 73
misionaris protestan, 49 pastor Katolik Roma. Mereka mengaku mengkristenkan 45 orang
Islam dan 900 ribu orang animis.

Azzyumardi Azra menyebutkan, ada lima faktor yg menjadi pertikaian Islam dan
Kristen pada waktu itu.

1. Penerbitan tulisan-tulisan yang menjelekan agama lain.


2. Usaha penyebaran agama secara agresif.
3. Pembangunan rumah ibadah di lingkungan masyarakat yang mayoritas menganut
agama berbeda .
4. Penetapan dan ketentuan pemerintah yang dianggap diskriminatif
5. Saling curiga antar pemeluk agama

Pada masa setelahnya, hubungan kedua agama inipun mengalamai pasang surut.
Entah karena berbagai isu apapun, yang jelas pertikaian antar agama dan antar suku di
Indonesia sangat merugikan dan berbahaya bagi kelangsungan negara-bangsa Indonesia.
Perlu adanya pola yang terpadu dan berkesinambungan, yang menumbuhkan kesadaraan akan
perbedaan dan toleransi.

Kecenderungan toleransi semakin berkurang sejak abad pertengahan, relasi-relasi


keagamanan mengarah pada kecurigaan. Tidak adanya komunikasi yang intens meniadakan
hidup perdamaian. Pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mampu berbuat banyak
kecenderungan ini. Padahal jelas bahwa, pada amsi itu nusantara di jajah oleh bangsa
Belanda.

2. Mendorong Sikap Pluralisme


Masyarakat Indonesia sangat beranekaragam atau dikatakan sebagai masyarakat
majemuk/plural. Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh
Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967), untuk
menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras dan
etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik. Kemajemukan masyarakat
Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam
berbagai hal.
Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

a. Keadaan geografis Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari
lima pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan
penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi
kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku
jenis tersendiri.
b. Letak Indonesia diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta diantara Benua
Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan,
hal ini mempengaruhi terciptanya pluralitas/kemajemukan agama.
c. Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini.

Kemajemukan Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat secara horizontal


yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan perbedaan-berbedaan
kedaerahan. Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan
ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun - temurun. Untuk
itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya.
Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah
beranekaragam dan menurut Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa,
dimana masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda.
Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di
Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat
agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan (suku
Baduy) serta aliran kepercayaan yang lain.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan,
dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa
menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang
diwujudkan melalui integrasi.
Prof. Dr. Ki Supriyoko MPd, Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa
Yogyakarta, menjelaskan dengan sangat baik keterjalinan antara pendidikan dan
kemajemukan atau pluralitas.
Pendidikan dan masyarakat plural itu memiliki hubungan timbal balik (reciprocal
relationship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran yang signifikan guna
membangun masyarakat multikultural, di sisi lain masyarakat multikultural dengan segala
karakternya memiliki potensi signifikan untuk memberhasilkan fungsi dan peran pendidikan
umumnya.
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

Penguatan di satu sisi langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada
sisi lain. Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan
mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun
masyarakat majemuk. Di sisi lain, penguatan pada masyarakat majemuk, yaitu dengan
mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran
pendidikan umumnya.
Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara perlahan akan memberi
hasil optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural
sendiri.

a. Potensi masyarakat pluralitas


Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk, ditandai dengan banyaknya etnis,
suku, agama, budaya, kebiasaan, di dalamnya. Di sisi lain, masyarakat Indonesia dikenal
sebagai masyarakat multikultural, masyarakat yang anggotanya memiliki latar belakang
budaya (cultural background) beragam.
Kemajemukan dan pluralitas mengisyaratkan adanya perbedaan. Bila dikelola secara
benar, kemajemukan menghasilkan energi hebat. Sebaliknya, bila tidak dikelola secara benar,
kemajemukan dan multikulturalitas bisa menimbulkan bencana dahsyat. Kolaborasi positif
orang buta dan orang lumpuh dapat meningkatkan produktivitasnya belasan kali lipat.
Dalam konteks pendidikan, kemajemukan bangsa dan multikulturalitas masyarakat
Indonesia merupakan potensi yang "hebat" bila dikelola secara benar. Sebaliknya,
kemajemukan bangsa dan multikulturalitas masyarakat Indonesia merupakan potensi yang
perpecaha bila tidak bisa dikelola secara benar. Setiap komunitas dengan latar belakang
budaya tertentu pasti memiliki nilai-nilai positif dan negatif. Nilai positif dan negatif ini bila
di-share dengan komunitas lain, secara mutualistik akan menghasilkan daya yang jauh lebih
produktif dari semula. Ini merupakan potensi masyarakat multikultural yang dapat
dikembangkan untuk memberhasilkan peran pendidikan.

b. Peran pendidikan
Dalam konteks membangun masyarakat multikultural, selain berperan meningkatkan
mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain,
pendidikan juga berperan memberi perekat antara berbagai perbedaan di antara komunitas
kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda-beda agar
lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara.
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

Jenis perekat yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan
atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini, karakter kebangsaan merupakan
pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang (pernah) dikenal sebagai bangsa yang ramah,
sopan, toleran, dan sebagainya. Sedangkan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat
mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa.
Karakter dan semangat kebangsaan seperti itu akan berkembang, baik secara natural
maupun kultural, menuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks NCB,
bangsa itu adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan. Persatuan dan kesatuan merupakan
konsekuensi logis pengembangan jati diri dan keinginan mendasar untuk berbangsa.
Dalam konteks NCB, tiap komponen bangsa memiliki kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama. Etnis Melayu memiliki kedudukan yang sama dengan etnis Cina dan etnis-etnis
lain; suku Aceh memiliki hak yang sama dengan suku Sunda dan suku-suku lain; demikian
pula pemeluk agama Islam mempunyai kewajiban yang sama dengan pemeluk agama Kristen
Protestan dan agama-agama lain dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Semua
komponen bangsa mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama untuk
mengembangkan bangsa.
Munculnya banyak kasus yang destruktif dalam konteks kebangsaan, misalnya
terjadinya sentimen antaretnis, perselisihan antarsuku, sampai perang antar (pemeluk) agama,
menunjukkan karakter kebangsaan Indonesia saat ini lemah. Karakter kebangsaan ini harus
selalu dipupuk dan disirami agar dapat tumbuh dengan baik.
Pengembangan karakter kebangsaan itu menurut Prof. Dr. Ki Supriyoko MPd , bukan
sekadar untuk menjadikan anggota masyarakat multikultural Indonesia dapat berperilaku
baik, santun, ramah; tetapi lebih dari itu, dapat memupuk jiwa yang senantiasa berdisiplin
dalam berbangsa.

3. Kendala Kemajemukan dan Pluralisme


Mustahil untuk mendambakan keserasian dan keselarasan dalam hidup bernegara jika
tanpa ada dorongan dari masing-masing individu untuk mengimplementasikan toleransi dan
penghargaan seluasnya terhadap perbedaan. Dalam konteks inilah peran humanisme
mendapat tantangannya. Kalau kita selidik, memang tidak mudah berbicara toleransi, sejarah
republik ini diwarnai dengan sejumlah “kebuntuan-kebuntuan” kehidupan beragama.
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

Dialog bukan tidak pernah dilakukan, bahkan sejak awal periode orde baru dialog
antar agama pernah dilakukan secara berkala tetapi signifikasi hasil dialog antar pemuka
agama itu belum terwujud dalam kehidupan umat beragama.
Banyak masalah yang muncul jika berbicara tentang komitmen kemajemukan dan
pluralisme. Kebanyakan orang di Indonesia belum memahami akan pentingnya bersikap
toleran dan menghargai perbedaan. Ini juga tidak terlepas dari doktrin atau pemahaman
agama sebagian kalangan, hingga tokoh agama sekalipun. Bahkan “kebuntuan” hidup
majemuk pernah terjadi dan menghasilkan konflik antar agama (termasuk peledakan tempat
ibadah) dengan intensitas berbeda.
Benny Susetyo,Pr, Sekr. Eksekutif Komisi HAK-KWI dalam makalahnya merinci
kendala kehidupan umat beragama, konflik umat beragama di Indonesia, serta kegagalan
otoritas negara sebagai berikut :
 Problem kehidupan beragama di Indonesia masih cukup banyak. Untuk menjalankan
kehidupan beragama secara bersama-sama antar pemeluk dengan semangat toleransi
tinggi masih menghadapi tantangan yang tidak kecil
 Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antar agama sudah sering dikemukakan
dalam berbagai wacana publik, namun prakteknya tidaklah semudah yang dipikirkan
dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun
bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas
"agamaku", "keyakinanku" justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-
hari yang bermuatan kekerasan.
 Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktek di
lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan
keagamaan di Indonesia yang menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas dan
toleransi antar umat beragama.

Kelompok Korban

 Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan


beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah
 Yaitu 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan.
 Kelompok berikutnya adalah jemaat Kristen/Katolik yang mengalami 28 pelanggaran,
disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran.
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

Perusakan Rumah Ibadah

 Masjid, Antara 15 janurai 1999 sampai 26 Desember 2000, 28 Mesjid


 Gereja, di era Presiden Megawati 39 Gereja.

Angka Pelanggaran

 Pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara.

 Sejumlah 92 pelanggaran dilakukan oleh negara (commission) dalam bentuk


pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis atas mereka yang dianggap sesat.

 Termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas
negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu.

 Sedangkan 93 tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena negara melakukan


pembiaran terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh warga atau
kelompok.

Kegagalan Negara

 Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan negara dalam menilai


sebuah ajaran agama dan kepercayaan merupakan bentuk ketidakmampuan negara
untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan.
Padahal, institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan
bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang
 Dapat dilihat di sini negara telah gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi
hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara, bahkan telah bertindak sebagai
pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang
aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan
melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.
 Negara gagal memberikan perlindungan dan kesempatan yang adil bagi semua
pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya. Jika demikian, lalu Pancasila
untuk apa? Apa untuk gagah-gagahan saja? Untuk apa para founding fathers
merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan terhormat itu jika dalam
perilaku sehari-hari kita tidak bisa mempraktekkannya dengan sepenuh hati ?
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

Kontradiksi Peraturan

 Dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah
dijamin,tetapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan menghambat
umat untuk beribadah. Ada pengekangan dari berbagai pihak.

Membuka Ruang Dialog

 Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, itu belum
berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadah. Beribadah, seperti kata
Romo Franz Magnis-Suseno, adalah hak warga yang paling asasi, dan hanya rezim
komunis yang melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan
kekerasan dalam beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang
secara lebih manusiawi?

Peran pemerintah dan DPR

 Pemerintah berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran


dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan
beragama yang dianggap "lain".

 Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran


umat akan toleransi dan pluralisme. Itulah yang dimaui Pancasila. Dengan begitu
kebijakan yang berpeluang untuk menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara
sebangsanya yang lain perlu didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan
kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan.

 Komisi III DPR belum bersikap dan bertindak sama sekali atas setiap peristiwa
kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Adalah fakta bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak
konstitusional warga yang dijamin oleh konstitusi. Karena itu, pengingkaran terhadap
pemenuhan hak-hak tersebut tidak hanya melanggar HAM, tapi juga melanggar
konstitusi.

Pembatinan Pancasila

 Pancasila tidak dijadikan pembatinan nilai kehidupan bersama untuk mewujudkan


bangsa yang beradab. Peradaban bangsa yang diukur dengan komitmen warga untuk
mewujudkan nilai kemanusiaan dan keadilan tidak pernah berhasil.
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

Catatan-catatan Romo Benny Susetyo diatas memberi penegasan tentang carut-


marutnya kehidupan pluralisme di Indonesia. Aksi kekerasan terhadap rumah ibadah dan
kekerasan kemanusiaan merupakan masalah yang serius. Kegagalan negara yang mempunyai
kekuatan pemaksa (keamaanan) dalam mengatasi atau mencegah kekerasan, seperti
menandakan lemahnya fungsi negara. Ironi lemahnya fungsi harus segera dibenahi untuk
meminimalisir “kebuntuan” kemajemukan.

Pembaruan makna atau penafsiran pancasila harus dihidupkan. Penafsiran nilai


pancasila yang sudah tidak relevan dengan semangat zaman, harus ditinggalkan. Karena
penafsiran yang tidak relevan berpotensi untuk menghadirkan konflik.
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

C. Kesimpulan

Penduduk Islam merupakan penghuni yang paling banyak di negeri ini. Umat Islam
dituntut untuk bersikap terbuka kepada umat beragama lain yang berjumlah sedikit. Sejarah
perjumpaan Islam sedikit kurang harmonis, maupun setelah kehidupan setelah Indonesia
merdeka. Untuk mengarah pada kehidupan majemuk, umat Islam harus turut berpartisipasi.
Sejarah Islam klasik merekam ddengan sangat baik, bagaimana penguasa Islam menghargai
umat agama lain.
Komposisi Indonesia yang terdiri dari beragam suku bila kita cermati, memeliki dua
sisi. Yang satu positif dan yang lainnya negatif. Kemajemukan / pluralitas berisikan keaneka-
ragaman budaya dan nilai-nilai identitas yang dimiliki. Jika ini disadari dengan baik,
keanekaragaman yang terbawa dari pluralitas masyarakat, dapat menjadi kan kayannya
khazanah kebudayaan Indonesia. Betapa banyak nilai identitas lokal yang tumbuh atas
pluralitas. Tengok saja kebudayaan Islam di Aceh, Riau, Kalimantan, Sulawesi dan
sebagainya, tidak selalu sama. Ketidaksamaan ini, membuat ciri khasnya berbeda. Inilah yang
menjadi implementasi positif dari kemajemukan.
Sedangkan segi negatifnya sangatlah destruktif. Kerusuhan berkepanjangan
menyebabkan kehidupan tidak harmonis. Saling curiga antara pemeluk agama. Sepertinya
kita bisa memahami bahwa Indonesia akan tamat riwayatnya, apabila segi negatif ini yang
mendominasi wajah kemajemukan dan pluralisme kita. Segi positif kiranya menjadi pilihan
dan dambaan kita bersama untuk melangsungkan proyek Indonesia. Penyadaran tentang
kemajemukan yang harus dimulai sejak dini, perlu terus diterpadukan. Artinya, ada sistem
yang integratif memberikan penyadaran sertab pendidikan tentang pluralitas, multikulturalitas
dan kemajemukan.
Kita sudah lama mendengar slogan Bhineka Tunggal Ika, tanpa sedikitpun
membelah perbedaannya. Kesatuan selalu menjadi kata kunci, tanpa membicarakan
perbedaan. Perbedaan dipaksa melebur jika berhadapan dengan kesatuan, tanpa kita tahu
bagaimana rumusan perbedaan, konsep perbedaan, dan batas-batas perbedaan. Akhirnya,
kesatuan itu hanya semu. Kesatuan tidak kuat merekat perbedaan, dan akhirnya perbedaan itu
mencari saluran-saluran ekspresi secara sendiri. Saluran yang sangat destruktif dan
merugikan.
Bagi kami, perbedaan harus dibicarakan agar batas-batas sensitifitas yang ada pada
perbedaan dapat kita ketahui. Batas-batas sensitifitas menjadi semacam rambu-rambu untuk
hidup dalam perbedaan serta toleransi. Slogan kesatuan harus mapan terhadap kemajemukan
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

dan perbedaan, bukan hanya slogan kosong. Sekarang adalah tugas rakyat dan terutamanya
pemertintah untuk melibatkan diri penuh dalam usaha untuk memperkokoh kesatuan
Indonesia dalam bingkai perbedaan. Perbedaan harus didiskusikan agar jelas. Dan kejelesan
menjadi modal utama berbicara kesatuan Indonesia. Serta menjadi model penting untuk kita
sama-sama mempertahankan dan melanjutkan proyek ke-Indonesiaan kita.
Wenaldy Andarisma - HI UNIKOM

Daftar Pustaka
Buku :
Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama, Jakarta: Katakita, 2009-11-03
Madjid, Nurcholis, Islam dan Peradaban: Sebuah telaah kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Ricklefs, M. C, Sejarah Indoneisa Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2005.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam dan Plurralisme: Akhlaq Quran menyikapi perbedaan, Jakarta:
Serambi 2006.
Jurnal Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Pro Kontra Sekularisme, 2009.

Internet:
http://unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=3669&coid=1&caid=52
http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-pluralitasisme-agama/
http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di-
indonesia/

Catatan Kaki :
Lihat Abd. Moqsith Ghazali, “Membangun Teologi Pluralis”, Media Indonesia, Jumat, 25 Mei
2000.
2. Presiden Abdurahman Wahid mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang berisi pengakuan terhadap
lima agama, kemudian diganti dengan Kepres No. 6 Tahun 2000 sehingga Konghucu diakui sebagai
agama resmi. Namun selain agama Konghucu, agama-agama diluar agama resmi sangat banyak.
Misalnya agama-agama lokal seperti Kaharingan, Waktu Telu, Tolotang dll.

You might also like