You are on page 1of 3

Hak Ulayat dalam Hukukm Agraria Indonesia

MONDAY, 28 JUNE 2010 09:18

WRITTEN BY PENGACARAONLINE

Bagi masyarakat Hukum Adat (apalagi yang masih sangat bercorak agraris) tanah merupakan modal
utama. Hal ini karena tanah merupakan tempat tinggal sekaligus tempat bercocok tanam dan tempat
beribadah bagi masyarakat Hukum Adat. Betapa pentingnya tanah sehingga dari jaman raja-raja
sampai dengan sekarang dirasakan perlu untuk mengatur mengenai masalah tanah ini.

Pada masyarakat Hukum Adat jaman dahulu yang masih belum mengenal arti Hukum Agraria yang
dibukukan, peraturan mengenai tanah sudah ada. Pada waktu itu berlaku ketentuan bahwa siapa
yang pertama kali membuka suatu lahan dan mendudukinya, maka dialah yang dianggap menjadi
pemilik tanah itu. Dalam hal ini untuk pembuktian kepemilikan tanah tidak diperlukan surat-menyurat
secara tertulis, tetapi cukup adanya pengakuan secara lisan dari masyarakat setempat bahwa benar
tanah yang bersangkutan telah lama diduduki oleh orang yang bersangkutan, sehingga orang
tersebut dianggap sebagai pemiliknya.

Sering pula terjadi bahwa sebidang tanah tidak dapat dikatakan sebagai hak milik orang
perseorangan. Hal ini terjadi apabila ada sekelompok orang yang datang bersama-sama dan
terpimpin membuka sebidang tanah hutan yang masih luas karena penduduk daerah tersebut masih
sedikit sekali, yang dimulai dengan cara membuka ladang, kemudian bercocok tanam dan mendirikan
bangunan perumahan untuk tempat tinggal, sehingga terjadilah perkampungan. Dalam hal ini tidak
ada seorangpun yang dikatakan sebagai pemilik tanah, karena tanah itu dianggap sebagai milik
bersama dari kelompok masyarakat tersebut. Pemilikan tanah oleh sekelompok orang sering ditandai
dengan adanya kuburan/makam atau keramat dari puyang pendiri desa yang bersangkutan.

Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan semakin meningkatnya kebutuhan akan tempat
tinggal, maka mendapatkan tanah tidak semudah dulu lagi. Orang harus  mendapat izin khusus dari
penguasa setempat (misalnya raja) atau pejabat lainnnya yang berwenang agar dapat membuka
tanah dan memilikinya. Pada masa-masa ini kepemilikan tanah masih belum dibuktikan dengan bukti
tertulis. Namun demikian sejalan setelah dikenalnya hukum tertulis dan meningkatnya kesadaran
hukum dalam masyarakat akhirnya dibentuklah hukum tertulis yang mengatur mengenai tanah.
Hukum ini dikenal dengan nama Hukum Agraria. Dengan adanya Hukum  Agraria maka dimulailah
usaha-usaha untuk membuktikan kepemilikan tanah dengan menggunakan akta tanah. Akta tanah ini
memuat hal-hal yang berkaitan dengan tanah, dan lain-lain yang dianggap perlu. Dengan adanya
akta tanah ini maka seseorang yang namanya tertera di dalam akta tanah dianggap sebagai pemilik
tanah tersebut.

Dalam kaitannya dengan kesejahteraan seluruh masyarakat, ada tanah tertentu yang tidak dimiliki
oleh siapapun. Tanah ini disebut dengan tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan tanah milik
masyarakat desa tertentu yang merupakan milik bersama dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan
bersama.

Di Indonesia keberadaan hak ulayat ini ada yang masih kental, ada yang sudah menipis dan  ada
yang sudah tidak ada sama sekali. Di dalam Undang-undang Pokok Agraria UU No. 5 Tahun 1960
hak ulayat yang merupakan hak purba persekutuan hukum diakui dengan tegas di dalam Pasal 3
yang menyatakan :
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”.

Dengan adanya ketentuan Pasal 3 UUPA sebagaimana disebutkan di atas berarti bahwa secara
hukum hak ulayat masih diakui, namun apakah di dalam masyarakat Hukum Adat hak ulayat itu
masih ada.

Namun menurut Maria Sumardjono, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental


tersebut di atas, dapatlah dikatakan, bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat,
harus dilihat pada tiga hal, yaitu :

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat.

2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek
hak ulayat.

3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu


sebagaimana diuraikan di atas.

Dipenuhinya ketiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya cukup obyektif sebagai kriteria
penentu masih ada atau tidak adanya hak ulayat, sehingga misalnya, walaupun ada masyarakat
hukum atau wilayahnya, namun apa bila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai
kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut di atas, maka hak ulayat dapat dikatakan
sebagai sudah tidak ada lagi.

Di samping hak ulayat dalam pengertian yang lazim sebagaimana yang biasa kita kenal di dalam 
hukum adat tetapi telah ditingkatkan kedudukan sehingga oleh Prof. Hazairin dikemukakan bahwa
Hak Ulayat masih selalu diakui, akan tetapi tidak boleh dipergunakan bertentangan dengan Undang-
undang serta kepentingan umum bangsa.

Penjelasan Umum Undang-undang Pokok Agraria selanjutnya menyatakan : “Tetapi dalam pada itu
ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). Undang-undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-
kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok : kemakmuran, keadilandan
kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.”

Pengertian tanah “dikuasai” oleh negara menurut Penjelasan Umum Undang-undang Pokok Agraria
bukan berarti “dimiliki” oleh negara tetapi hal itu berarti memberi wewenang kepada negara sebagai
organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkatan  yang tertinggi :

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.

2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang
angkasa itu.
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

You might also like