You are on page 1of 5

Nama: Dio Dera Darmawan

NIM: E0009111

Kelas: A

Tugas Hukum Pemerintahan Daerah

Analisis Kasus Pemerintahan Daerah

Kasus Korupsi Para Kepala Daerah

Kasus korupsi telah lama ditemukan di pemerintahan tiap daerah bahkan di tiap
negara baik negara berkembang maupun negara maju sekalipun. Tak terkecuali di daerah di
Indonesia. Akhir-akhir ini mulai marak diberitakan mengenai penangkapan atau setidaknya
usaha penangkapan para kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Jumlah kepala daerah
yang menjadi tersangka, terdakwa, hingga terpidana kasus korupsi cukup memprihatinkan.
Berdasar data Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hingga
pertengahan 2010, total mencapai 125 kepala daerah.

Mantan Bupati Rokan Hulu, Ramlan Zas dan juga mantan Sekretaris Daerah Rokan
Hulu Syarifuddin Nasution divonis Pengadilan Negeri (PN) Pasir Pangarayan. Masing-
masing dijatuhi hukuman 3 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Kedua terdakwa kasus korupsi dana tak terduga APBD Rokan Hulu 2003 sebesar Rp. 3,5
miliar tersebut divonis dalam dua sidang yang berbeda.

Vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam sidang
sebelumnya, JPU menuntut Ramlan dengan hukuman penjara selama 5 tahun. Ramlan
tentunya tidak puas dengan keputusan hakim. Beliau dengan tim pengacaranya yang terdiri
dari 6 orang itu langsung menyatakan keberatan dan mengajukan banding.

Selain itu, PN Pasir Pangarayan juga menjatuhkan vonis selama 3 tahun hukuman
penjara dan denda sebanyak Rp. 75 juta untuk terdakwa Syarifuddin Nasution. Syarifuddin
adalah mantan sekretaris daerah Rokan Hulu. Beliau dinilai terlibat langsung dalam
penyalahgunaan dana APBD tersebut.
Selama sidang berlangsung, tidak terjadi keributan dan aparat keamanan menjaga
ketat area sekitar PN Pasir Pangarayan.

Sementara itu, di daerah lain yakni di Jember, mantan Bupati Jember, Samsul Hadi
Siswoyo divonis 6 tahun penjara karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan telah
melakukan tindak pidana korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp. 19 miliar. Samsul
diadili dalam kasus korupsi APBD Jember 2004. Menurut JPU, ada sejumlah uang negara
yang disebutkan sebagai pinjaman, tetapi kemudian dialihkan ke rekening pribadi Samsul.
Beliau juga dikenai denda sebanyak Rp. 100 juta, serta harus membayar uang pengganti
sebesar Rp. 9,8 miliar.

Putusan majelis hakim itu separuh dari tuntutan JPU yang meminta Samsul dihukum
selama 12 tahun penjara.

Dari jumlah kerugian yang tercantum dalam dakwaan terdapat dana sekitar Rp. 18
miliar yang hilang dari kas Pemerintah Kabupaten Jember. Jumlah tersebut terdiri dari
akumulasi selisih kas daerah sampai tahun 2004 sebesar Rp. 7,95 miliar dan selisih kas
daerah tahun 2005 sebesar Rp. 10,05 miliar.

Serupa dengan Ramlan Zas, Samsul pun menyatakan keinginannya untuk naik
banding atas hukuman yang dijatuhkan padanya.

Sumber: www.forum-politisi.org/berita/article.php?id=516

Analisis kasus:

Untuk menganalis kasus ini, diperlukan pandangan secara komprehensif . Dengan


demikian, akan didapatkan kesimpulan yang menyeluruh dan luas serta didapatkan faktor
penyebab kenapa kepala daerah melakukan korupsi.
Merujuk pada ketentuan dalam UU No.32 tahun 2004, pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung melalui Pemilihan Kepala Daerah atau PILKADA. Sudah bukan
rahasia, bahwa biaya yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah, dapat
menghabiskan puluhan miliar rupiah untuk dapat berkompetisi dalam pilkada. Tidaklah
rasional, jika orang sampai mau mengeluarkan biaya yang sedemikian besar, tanpa ada
iming-iming timbal balik yang sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkannya. Maka
tidaklah mengherankan, setelah memenangkan pilkada, mayoritas kepala daerah akan
terfokus dengan “bagaimana saya bisa balik modal”, daripada “ bagaimana kebijakan yang
tepat untuk masyarakat saya”.

Pelaksanaan Asas desentralisasi atau otonomi daerah yang memberikan kekuasaan


kepada pemerintah daerah untuk mengerus segala kepentingan rumah tangganya sendiri.
Alasan-alasan dilakukannya desentrlisasi antara lain adalah satuan-satuan desentralisasi atau
otonomi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.
Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakaan tugas dengan efektif dan efisien, serta
lebih inovatif sebab lebih mengetahui apa yang diperlukan untuk pengembangan daerahnya.
Namun semua hal tersebut haruslah ditunjang dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan
sehingga fungsi pemerintah daerah dapat maksimal. Diantaranya, mendapat dukungan dari
para pejabat pusat dan birokrasi pusat dalam hal desentralisasi. Kemudian adanya komitmen
demi kemajuan daerah dari organisasi-organisasi daerah yang diberikan tanggung jawab.
Serta sejauhmana perilaku, sikap, dan budaya terhadap desentralisasi pembuatan keputusan,
sejauhmana keputusan atau kebijakan yang dibuat tersebut tepat sasaran dan dilaksanakan
secara baik, dan sejauhmana sumber daya keuangan, manusia, serta fisik tersedia bagi
organisasi – organisasi yang diserahi tanggung jawab.

Pada kenyataannya, kondisi-kondisi penunjang tersebut jauh dari layak. Sehingga


yang terjadi adalah maraknya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kepala daerah
atau pejabat daerah yang berwenang lainnya. Kemajuan daerah tergantung dari komitmen
para pejabat pemerintah daerahnya, terutama kepala daerah. Kepala daerah seharusnya adalah
mereka yang mempunyai legitimasi dari masyarakat, kompetensi, serta integritas yang
memadai sebagai pemegang kekuasaan daerah. Disamping itu, kepala daerah juga harus
mempunyai kemauan politik untuk memberikan kemanfaatan otonomi daerah yang
semaksimal mungkin kepada masyarakat. Namun yang terjadi, seperti yang telah disebutkan
diatas, Para kepala daerah ini biasanya sangat suka dengan kekuasaan dan cenderung
menyalahgunakan wewenang atau mungkin juga berbuat sewenang-wenang. Bukan saja tak
inovatif, kepala daerah yang haus kekuasaan ini memang tak punya komitmen untuk
kemajuan daerah yang ia pimpin. Hal ini disebabkan modal menjadi kepala daerah sangat
besar sehingga harus dikembalikan melalui berbagai cara dalam pemerintahan.

Pemerintah pusat sendiri mengalami kesulitan untuk melakukan kontrol terhadap


daerah. Otonomi daerah seluas-luasnya, sebagaimana menjadi semangat konstitusi dan UU
Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, ternyata ikut menghancurkan tatanan sistem pemerintahan.
Pada satu sisi kepala daerah jadi sangat berkuasa, sedangkan pemerintah pusat tak memiliki
cukup kemampuan mengawasi dan membina kewenangan yang diserahkan. Akibatnya adalah
penggunaan kewenangan yang tak sesuai dengan tujuan pembangunan, baik karena
ketidakmampuan maupun karena penyalahgunaan wewenang.

Disamping beberapa hal tersebut, peran masyarakat tidak dapat dikesampingkan.


Masyarakat haruslah ikut mengawasi jalannya pemerintahan daerah serta turut berperan serta
dalam pemerintahan daerah. Cara yang paling sederhana adalah dengan ikut serta dalam
pemilihan umum secara jujur dan baik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa masyarakat kita masih
mudah “dibeli” hak pilihnya. Kebanyakan calon kepala daerah memakai cara-cara ini, atau
lebih sering disebut money politic, untuk memenangkan pilkada. Tidak mengherankan
karenanya, calon kepala daerah memerlukan dana sampai miliaran rupiah untuk berkompetisi
dalam pilkada. Selain itu, panitia pemilihan sendiri kadang juga dengan mudahnya disuap
untuk mengelembungkan suara calon kepala daerah didaerah tertentu guna memenangkan
pemilihan. Kesiapan masyarakat pada umumnya, untuk belajar berdemokrasi secara baik dan
jujur masih sangat rendah.

Dari pembahasan diatas,dapat ditarik simpulan, faktor-faktor yang menyebabkan


banyak kepala daerah di Indonesia cenderung melakukan korupsi diantaranya adalah:

A. Mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk berkompetisi dalam PILKADA


B. Pelaksanaan Asas Desentralisasi yang disalahgunakan oleh oknum Kepala
Daerah dan oknum pejabat pemerintah daerah lain yang berwenang, atau dapat
dikatakan buruknya sumber daya manusia dan sistim yang ada banyak
memberi celah untuk melakukannya.
C. Lemahnya kontrol dari pemerintah pusat dalam memberikan pengawasan dan
pembinaan kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah
D. Lemahnya kontrol dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah dan
buruknya peran serta masyarakat dalam pemerintahan daerah.

Berbagai faktor diatas, telah menyebabkan negara ini, khususnya kepala daerah,
terjebak praktek korupsi yang berkepanjangan. Kekuasaan yang berlebihan akan cenderung
korupsi (Power Tends to Corrupt). Untuk mengatasinya, tidak bisa hanya berpikir secara
lurus atau linear pada mahalnya biaya pilkada saja, namun dibutuhkan suatu pendekatan
pemikiran yang komprehensif. Tidak harus dengan merivisi peraturan perundang-undangan
yang telah ada, namun lebih kepada pemaksimalan fungsi pemerintah pusat dalam
mengadakan pengawasan dan pembinaan terhadap wewenang yang telah diserahkan kepada
daerah. Selain itu kesadaran masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja
pemerintah, peran aktif didalam pengambilan keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah, serta kesadaran untuk berdemokrasi secara jujur dan baik, perlu
ditingkatkan. Jika tidak, negara ini akan terus terpuruk dalam lingkaran korupsi yang semakin
lama semakin sulit untuk dihilangkan.

You might also like