You are on page 1of 15

Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

KONSEP RUANG TRADISIONAL JAWA DALAM KONTEK KEBUDAYAAN


(J.F. Hamah Sagrim)

Kita akan mencoba mengulas misteri rumah tinggal orang Jawa, dengan penekanan pada
konsep ruang yang terjadi melalui pengetahuan budaya yang dimiliki oleh orang Jawa.
Pengetahuan budaya yang terdiri dari kepercayaan dan ritual terlihat mempunyai kaitan yang
erat dengan konsep ruang yang terjadi mulai dari orientasi ruang maupun konfigurasi ruang.
Banyak hal yang terjelaskan dan membuktikan bahwa ruang pada arsitektur rumah Jawa tidak
bebas nilai.
Dalam era globalisasi saat ini dunia kehilangan sekat batas antara negara dan kebudayaan menimbulkan
banyak persoalan kebudayaan. Akibat pertemuan antar kebudayaan maka terjadilah banyak mutasi
kebudayaan yang berakibat pada mutasi perwujudan arsitektur.
Dibalik masalah globalisasi muncul global paradoks, nilai-nilai lokal menguat dan diyakini mampu
menjadi sesuatu yang mempunyai nilai jual cukup tinggi. Hal ini ditunjang pula dengan menguatnya
pemikiran post modernisme yang merambah segala aspek kehidupan.
Banyak wujud bentuk masa lalu diadopsi untuk dihadirkan pada masa kini dengan
reinterpretasi baru. Kehadiran arsitektur tradisional Jawa dapat dilihat dan dirasakan pada berbagai
arsitektur dengan fungsi bermacam-macam dan berbagai improvisasi. Mulai muncul berbagai keluhan dan
kerisauan di kalangan masyarakat, apakah kehadiran arsitektur tradisional
Jawa saat ini sudah sesuai dengan filosofi bangunan Jawa dan pertanyaan tersebut masih dapat
dilanjutkan: kalau sudah sesuai maka filosofi bangunan Jawa yang mana. Sebab kalau dilihat kedudukan
Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan jawa Timur sangat spesifik dan sangat luar biasa dalam sejarah
Indonesia dan sekaligus menempatkan pada posisi kunci dalam sejarah Asia Tenggara akibat ”pengalaman
ganda”. Menurut Denys Lombard,1996 Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami tumpang tindih dan
saling berpaut dua kebudayaan besar. Menurut Lombard 1996, mutasi yang pertama adalah ”Indianisasi”
dan mutasi yang kedua adalah ”Kolonialisasi Belanda”. Belum lagi antara kebudayaan Jawa pedalaman
dan kebudayaan Jawa pesisir. Data dan kodifikasi arsitektur tradisional Jawa yang terekam dengan jelas
adalah pada saat mulai ”Indianisasi” sedangkan sebelumnya sangat sulit sekali ditelusuri kebenaran
perwujudan arsitekturnya. Sangat miskin data yang ada, baik yang berupa inskripsi maupun artefak yang
tertinggal. Banyak hipotesis yang mengacu kepada gambar-gambar bangunan yang terpampang di dinding
percandian Hindu gaya Jawa Tengah. Hipotesa inipun patut dipertanyakan kebenarannya, sebab
gambar-gambar tersebut apakah merupakan bentukan yang telah hadir sebelum Hindu masuk atau pada
saat Hindu berkembang. Salah satu indikator dari akibat kuatnya ”Indianisasi” mempengaruhi Jawa-
Tengah dan Jawa Timur adalah kehadiran bentuk bangunan yang tidak mempunyai kolong (rumah
panggung). Bentuk ini berbeda dengan bentuk yang dimiliki daerah tetangganya seperti Jawa Barat,
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan kawasan Indonesia Timur yang memiliki kolong pada bangunannya.
Menurut Parmono Atmadi 1984, hal ini bisa saja akibat terpengaruh kebudayaan India yang berbentuk
bangunan percandian yang ada di India.

1
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

A. Latar Belakang Kepercayaan Dan Ritual Jawa


Kepercayaan Jawa didasarkan atas pandangan dunia Jawa yaitu keseluruhan keyakinan deskriptip
orang Jawa tentang realitas sejauh mana merupakan suatu kesatuan dari padanya manusia memberi
struktur yang bermakna kepada pengalamannya (Suseno,1984).
Magnis Suseno membedakan 4 unsur pandangan dunia Jawa yang berhubungan dengan yang Illahi
atau Adikodrati. Kesatuan dengan yang Illahi disebut Numinus yang berasal dari kata Numen artinya cahaya
Illahi atau Adikodrati.Kesatuan Numinus menunjuk pada suatu keadaan jiwa (state of mind) yang mampu
menghubungkan realitas dengan gejala-gejala Adikodrati yang dialami dengan perasaan penuh misteri,
kekaguman, takut dan cinta.
Unsur pertama adalah kesatuan numinus antara alam, masyarakat dan alam adikodrati. Orang Jawa,
terutama petani di pedesaan dalam melakukan pekerjaannya sebagai petani mengenal irama alam
seperti pergantian siang dan malam, musim hujan dan musim kering yang menentukan hasil pertaniannya.
Mereka percaya ada suatu kekuatan gaib yang mengendalikan alam, kekuatan ini muncul secara jelas pada
saat-saat terjadinya bencana. Orang Jawa dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakatnya.
Masyarakat terwujud pertama-tama dalam lingkungan keluarga, kemudian tetangga, keluarga yang lebih
luas dan akhirnya masyarakat seluruh desanya. Dalam lingkungan keluarga inilah setiap individu
menemukan identitasnya dan merasa aman. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Revianto Budi
Santosa, 2000 bahwa orang Jawa begitu keluar dari rumah dan keluarganya maka dia akan merasakan ketidak
pastian dan kemungkinan berhadapan dengan halangan. Dengan ”berada dijalan” seseorang berarti
berada pada posisi tak menentu karena meninggalkan rumah, pijakan dirinya yang mapan baik secara sosial
maupun spatial. Kesatuan numinus antara alam, keluarga dengan yang Adikodrati dicapai lewat upacara-
upacara ritual. Penghormatan terhadap Dewi Sri yang dilakukan di Sentong Tengah yang terdapat pada
setiap rumah petani merupakan upaya untuk memelihara keserasian dengan kekuatan gaib yang menguasai
alam agar panenan berhasil.
Unsur yang kedua yaitu kesatuan numinus dengan kekuasaan. Dalam paham Jawa kekuasaan
adalah ungkapan energi Illahi yang tanpa bentuk, suatu kekuatan yang berada dimana- mana. Pusat kekuatan
itu ada pada raja. Konsep kerajaan jawa adalah suatu lingkaran konsentris mengelilingi Sultan sebagai pusat.
Lingkungan yang terdekat dengan sultan adalah keraton.
Lingkaran yang kedua yang mengitari keraton adalah ibukota
negara, lingkungan ketiga adalah Negaragung yang secara
harafiah berarti ibukota yang besar, lingkaran terakhir
adalah mancanegara atau negara asing (Selosoemarjan, 1962),
lihat gambar 5
1. Kraton
2. Nagara (Ibu Kota)
3. Nagara Gung (Negara agung)
4. Manca Negara (Secara Harafiah Negara
Asing)
Unsur ketiga adalah dasar numinus keakuan. Pada
dasarnya keakuan manusia manunggal dengan dasar Gambar 5. Diagram Empat Lingkaran
Illahi dari mana ia berasal, karena itu orang Jawa Konsentris Kerajaan Jawa
sepanjang hidupnya akan berusaha untuk menemukan (Selo Sumarjan, 1962)
2
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

dasar Illahi, usaha untuk mencari realitas diri ini tersirat dalam istilah manunggaling kawulo lan gusti atau
mencari sangkan paraning dumadi. Pengalaman manusia Jawa dalam mencari dasar Illahi
keakuannya terbentuk menjadi rasa yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan segala mahluk
hidup. Bagi petani pengertian rasa ini adalah suatu keadaan batin yang tenang, bebas dari ancaman
atau kekacauan.
Unsur keempat adalah kepercayaan atau kesadaran akan takdir yaitu kesadaran bahwa hidup
manusia sudah ditetapkan dan tidak bisa dihindari. Hidup atau mati, nasib buruk dan penyakit
merupakan nasib yang tidak dapat dilawan. Menentang nasib hanya akan mengacaukan keselarasan
kosmos. Setiap orang mempunyai tempat yang spesifik yang sudah ditakdirkan, tempat ini ditentukan
secara jelas melalui kelahiran, kedudukan sosial dan lingkungan geografis. Pemenuhan kewajiban
kehidupan yang spesifik sesuai dengan tempatnya masing-masing akan mencegah konflik, sehingga
dicapai ketentraman batin dan keseimbangan dalam masyarakat serta kosmos. Konsep di atas
merupakan konsep yang mencerminkan sikap orang jawa terhadap dunia, manusia wajib memperindah
dunia dengan tidak mengganggu keselarasannya.
B. Rumah Tinggal Orang Jawa
Mengenai asal muasal wujud rumah tinggal orang Jawa sampai saat ini masih merupakan hal
yang belum jelas karena kurangnya sumber-sumber tertulis pada jaman sebelum ”Indianisasi”.
Menurut suatu naskah tentang rumah Jawa koleksi museum pusat Dep. P&K No.Inv.B.G.608
disebutkan bahwa rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu, teknik penyusunannya
seperti batu-batu candi. Tetapi bukan berarti rumah orang Jawa meniru bentuk candi. Bahkan beberapa
ahli menduga bahwa candi meniru bentuk rumah tertentu pada waktu itu (Hamzuri, tanpa tahun).
Namun dugaan ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut mengingat bangunan candi di Jawa dibuat
seiring dengan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Jawa dari India dan seperti diketahui orang India
sebagai pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha telah mempunyai pengetahuan yang cukup canggih
dalam pembuatan bangunan candi di India (Manasara dan Silpasastra). Pada relief candi Borobudur
abad VIII yang diteliti oleh Parmono Atmadi ditemui gambaran tentang bangunan rumah konstruksi
kayu yang mempunyai bentuk atap pelana, limasan dan tajug. Pada relief candi Borobudur tidak
ditemui bentuk atap Joglo (Atmadi,1979).

3
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Panggang Pe Kampung Pokok Limasan Pokok Tajug Pokok

Tajuk Lawakan Tajug Lambang Gantung

Gambar 6. Rumah Tinggal Tradisional Jawa selo sumarjan 1962


Joglo Lawakan Joglo Lambang Gantung

Gambar 6: Tipologi Bangunan Jawa (DIY)


Sumber Selo Sumarja, 1962, dikomposisikan oleh Peneliti, 2011

Pengertian rumah bagi orang Jawa dapat ditelusuri dari kosa kata Jawa. Menurut
Koentjaraningrat (1984) dan Santosa (2000) kata omah-omah berarti berumah tangga,
ngomahake membuat kerasan atau menjinakkan, ngomah-ngomahake menikahkan, pomahan
pekarangan rumah, pomah penghuni rumah betah menempati rumahnya.
Sebuah rumah tinggal Jawa setidak-tidaknya terdiri dari satu unit dasar yaitu omah yang terdiri
dari dua bagian, bagian dalam terdiri dari deretan sentong tengah, sentong kiri, sentong kanan dan
ruang terbuka memanjang di depan deretan sentong yang disebut dalem sedangkan bagian luar disebut
emperan seperti dijelaskan dalam gambar 7.

4
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Gambar 7. Denah Rumah Tinggal Tradisional Jawa.


Sumber Selo Sumarja, 1962.
Dikomposisikan Oleh Peneliti, 2011

Rumah tinggal yang ideal terdiri dari 2 bangunan atau bila mungkin 3, yaitu pendopo dan peringgitan,
bangunan pelengkap lainnya adalah gandok, dapur, pekiwan, lumbung dan kandang hewan, lihat
gambar 7.

5
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

C. Ruang Pada Rumah Jawa


a. Konsep Ruang
Konsep ruang dalam pandangan barat berasal dari dua konsep klasik yang bersumber pada filsafat
Yunani. Konsep yang pertama dari Aristoteles, menyatakan bahwa ruang adalah suatu medium dimana
objek materiil berada, keberadaan ruang dikaitkan dengan posisi objek materiil tersebut (konsep position-
relation). Konsep yang kedua dari Plato kemudian dikembangkan oleh Newton yaitu konsep displacement-
container yang melihat ruang sebagai wadah yang tetap, jadi walaupun objek materiil yang ada didalamnya
dapat disingkirkan atau diganti namun wadah itu tetap ada Munitz,1951). Kedua konsep tersebut mendasari
pandangan Barat yang melihat ruang dari dimensi fisiknya yaitu suatu kesatuan yang mempunyai panjang,
lebar dan tinggi atau kedalaman, dengan demikian ruang mempunyai sifat yang terukur dan pasti.

Gambar 8. Skema Denah Rumah Tinggal Tradisional Jawa, Sumber Selo Sumarjan 1962.
Dikomposisikan oleh Peneliti, 2011

Ini dipertegas oleh Descartes dengan konsep Cartesian space yang memilah-milah ruang kedalam
bentuk-bentuk geometris seperti, kubus, bola, prisma, kerucut atau gabungan dari bentuk-bentuk gseometris
tersebut (Van de Ven, 1978). Konsep ruang barat ini banyak sekali dipakai oleh para arsitek masa kini.
Nama ruang pada rumah tinggal ”modern” mencerminkan secara jelas fungsi-fungsi untuk pemenuhan
kebutuhan fisik-biologis. Fungsi-fungsi yang mencerminkan kebutuhan sosial dan ungkapan budaya
kurang diperhatikan karena penataan ruang-ruang tersebut lebih menekankan aspek ekonomis (efisiensi)
dan teknis (Tjahjono,1989). Demikian pula dengan pembatas halaman pada rumah tinggal modern
dipergunakan pagar-pagar besi yang tinggi sehingga membuat pemisahan teritorial yang tegas sehingga
mempunyai kesan tertutup, tidak komunikatif dengan tetangga.
6
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Konsep ruang dalam rumah tinggal menurut tradisi arsitektur Jawa pada kenyataannya berbeda
dengan konsep ruang menurut tradisi Barat. Tidak ada sinonim kata ruang dalam bahasa Jawa, yang
mendekati adalah Nggon, kata kerjanya menjadi Manggon dan Panggonan berarti tempat atau Place. Jadi
bagi orang Jawa lebih tepat pengertian tempat dari pada ruang (Tjahjono,1989, Setiawan,1991).
Rumah tinggal bagi orang Jawa dengan demikian adalah tempat atau tatanan tempat, konsep ruang
geometris tidak relevan dalam pengertian rumah tinggal Jawa. Pengertian tempat lebih lanjut dapat
dilihat pada bagian-bagian rumah tinggal orang Jawa. Pada rumah induk (omah) istilah dalem dapat
diartikan sebagai keakuan orang Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama (aku) dalam
bahasa Jawa halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia Jawa terletak pada kesatuan dengan Illahi
yang diupayakan sepanjang hidupnya dalam mencari sangkan paraning dumadi dengan selalu memperdalam
rasa yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan sebagai mahluk (Magnis Suseno,1984). Sentong tengah
yang terletak dibagian Omah merupakan tempat bagi pemilik rumah untuk berhubungan dan menyatu
dengan Illahi sedangkan Pendopo merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan sesama manusianya
(Priyotomo,1984). Demikianlah pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa ini mencakup aspek tempat,
waktu dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat menyatunya jagad-cilik (micro cosmos) yaitu manusia
Jawa dengan jagad-gede (macro-cosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi
orang Jawa rumah tinggalnya merupakan poros dunia (axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago-mundi
(Eliade,1957) dan memenuhi aspek kosmos dan pusat (Tjahjono,1981), lihat gambar 9.

Skema Konsep Persatuan Ibu Pendopo pringgitan Umah


Bumi dan Bapa Langit

Gambar 9. Urutan Tingkat Kesakralan dan Cahaya Dalam Ruang (Gunawan Tjahjono, 1981)
dikomposisikan oleh Peneliti, 2011

b. Orientasi Ruang
Rumah tinggal di daerah Yogyakarta dan Surakarta kebanyakan memiliki orientasi arah hadap ke
Selatan. Orientasi ini menurut tradisi bersumber pada kepercayaan terhadap Nyai Roro Kidul yang
bersemayam di Laut Selatan. Demikian juga dengan arah tidur (Wondoamiseno dan Basuki, 1986). Namun
rupanya makin jauh dari pusat keraton (kebudayaan Jawa) kebiasaan ini makin ditinggalkan, seperti yang
terjadi di daerah Somoroto, Ponorogo (Setiawan,1991). Dalam primbon Betaljemur Adammakna bab 172
dipaparkan juga cara penentuan arah rumah yang diperhitungkan berdasarkan hari pasaran kelahiran
pemilik rumah berkaitan dengan arah ke empat penjuru angin.

7
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

c. Konfigurasi Ruang
Konfigurasi ruang atau bagian-bagian rumah orang Jawa di desa membentuk tatanan tiga bagian linier
belakang. Bagian depan pendopo, di tengah peringgitan dan yang paling belakang dan terdalam adalah
dalem. Konfigurasi linier ini memungkinkan membuat rumah secara bertahap dengan bagian dalem
dibangun terlebih dahulu. Luas pendopo pada rumah tinggal orang Jawa kenyataannya cukup luas. Hal
ini terjadi karena diprediksikan dapat menampung sanak-sedulur atau kindred pada hari raya Idul Fitri
dimana semua anak cucu dan para kerabat akan datang. Selain itu pendopo mempunyai fungsi untuk
pengeringan padi. Pada konfigurai ruang rumah Jawa dikenal adanya dualisme (oposisi binair), antara luar
dan dalam, antara kiri dan kanan, antara daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki (tempat
placenta yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit wanita (tempat placenta yang biasanya
diletakkan pada bagian kiri), sentong kanan dan sentong kiri. Pembagian dua ini juga terjadi pula pada saat
pagelaran wayang, dimana layar diletakkan sepanjang Peringgitan, dalang dan perangkatnya di bagian
pendapa dengan penonton laki-laki sedangkan perempuan menonton dari bagian belakang (bayangannya)
dibagian Emperan rumah, lihat gambar 10.

Gambar 10. Posisi Pagelaran Wayang. Sumber Selo Sumarjan 1962.


Dikomposisikan oleh Peneliti, 2011
8
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Demikian juga pada saat pernikahan dilakukan tatanan pengantin di depan sentong tengah dan para
tamu dibagi menjadi 2 bagian antara tamu laki-laki dan tamu perempuan seperti pada gambar 7.
Rupa bangunan rumah tinggal tradisional Jawa didominasi oleh bentuk atapnya. Ada 3 bentuk
dasar atap yaitu Kampung, limasan dan joglo yang disebut bucu di daerah ponorogo (Setiawan,1991).
Panggang Pe tidak termasuk dalam kategori ini karena umumnya bersifat sementara dan Tajug umumnya
untuk mesjid. Badan bangunan terdiri dari tiang-tiang kayu yang berukuran kecil antara 5 cm sampai
dengan 20 cm, berdiri bebas tanpa dinding karena itu ruangnya terbuka (pendopo). Ukuran tinggi badan
mulai dari bangunan muka lantai sampai garis atap terendah dibandingkan tinggi atap mulai dari garis atap
terendah sampai puncak atap (molo) kira-kira 1:3 sampai 5 pada atap limasan dan bucu, karena badan
bangunan pendek, terbuka dan berkesan ringan sedangkan atap menjulang tinggi, masif dan terkesan berat
maka bentuk atap menjadi dominan.
Untuk ornamentatif dekoratif, bangunan di pusat kebudayaan Jawa yaitu di keraton mempunyai
banyak ragam hias flora yang diwarnai merah, hitam, hijau, putih dan kuning keemasan sedangkan pada
daerah pinggiran kebudayaan Jawa pada umumnya rumah tinggalnya sangat sedikit sekali diberikan
ornamentatif dan dekoratif dan warna yang digunakan lebih natural. Lihat gambar. 11.

Gambar 11. Denah Rumah Pak Suratman Saat Pesta Perkawinan.


Sumber Selo Sumarjan 1962. Dikompisisikan oleh Peneliti, 2011

9
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Rumah tinggal orang Jawa selalu memperhatikan keselarasan dengan kosmosnya dalampengertian
selalu memperhatikan dan menghormati potensi-potensi tapak yang ada disekitarnya. Konsep ruang tidak
seperti yang dimiliki oleh konsep ruang barat tetapi lebih berwatak tempat (place) yang sangat dipengaruhi
oleh dimensi waktu dan ritual. Rumah Jawa juga memiliki pusat dan daerah yang ditata secara oposisi binair.
Ruang yang terjadi memiliki hirarkhi ruang yang ditata secara unik dengan menggunakan aspek pencahayaan.

10
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

DAFTAR PUSTAKA

Atmadi, P. 1979. Beberapa patokan perencanaan bangunan candi. Yogyakarta: Universitas gajah Mada,
Disertasi, Fakultas Teknik, 1984. Apa yang Terjadi Pada Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Lembaga
Javanologi. Dakung, S. 1981. Arsitektur tradisional daerah Istimewa Yogyakarta. Proyek
Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan.
Eliade, M. 1959. The Sacred and the Profane.The nature of the religion. Diterjemahkan oleh
Willard R.Trask.A. New York: Harvest Book, Harcourt, Brace& World,Inc.
Hamzuri, ......., Rumah tradisional Jawa. Proyek Pengembangan Permusiuman DKI. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan kebudayaan.
Ismunandar, K.R. 1986. Joglo,Arsitektur rumah tradisional Jawa. Semarang: Dahara Prize. Lombard, D.
1999. Nusa Jawa: Silang budaya, warisan kerajaan-kerajaan konsentris.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Munitz, M.K. 1981. Space, Time and Creation: Philosophical aspects of scientific cosmology.
New York: Dover.
Priyotomo, J. 1984. Ideas and forms of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Santosa, R.B. 2000. Omah, membaca makna rumah Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Selosumarjan. 1962. Social changes in Yogyakarta. Ithaca: Cornell University Press.
Suseno, M.F. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Orang Jawa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Setiawan, A.J. 1991. Rumah tinggal orang Jawa;Suatu kajian tentang dampak perubahan wujud arsitektur
terhadap tata nilai sosial budaya dalam rumah tinggal orang Jawa di Ponorogo. Jakarta:
Universitas Indonesia, Tesis.
Berke, D. (1997). Thoughts on The Everyday. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.),
Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture
of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.
Fausch, D. (1997). Ugly and Ordinary: The Representation of the Everyday . Dalam Harris, S. dan
Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the
Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Lefebvre, H. (1997). The Everyday and Everydayness. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.),
Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Catanese, A. J. & Snyder, J. C. (1991). Pengantar Arsitektur. Jakarta: Penerbit Erlangga
O’Gorman, J. F. (1997). ABC of Architecture. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
11
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Rasmussen, S. E. (1964). Experiencing Architecture. Cambridge: The MIT Press.


Shepheard, P. (1999). What is Architecture? Cambridge: The MIT Press.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.
Berke, D. (1997). Thoughts on The Everyday. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.),
Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture
of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.
http://juanfranklinsagrim.blogspot.com
http://www. Hamah.socialgo.com
Google terjemahan bebas, tentang kebudayaa, arsitektur, kota.

12
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

TENTANG PENULIS

Juan Frank Hamah Sagrim, Lahir di lembah perbukitan Hamah Yasib,


Kampung Sauf, Distrik Ayamaru, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, pada
06 April 1982. Ayah Nixon Sagrim (alm) dan Ibu Marlina Sagrim/Sesa.
Orang tua bekerja sebagai Penginjil di lingkungan Klasis GKI Maybrat,
dan tenaga Medic Klasis GKI Maybrat. Hamah adalah anak Kedua dari
empat Bersaudara, (Jeremias, Daud Itas, dan Desi Sah Bolara).
Pendidikan: SD Bethel Sauf, SLTP N1 Ayamaru, SMA YPK 1
Ebenhaezer Sorong. Melanjutkan Kuliah di Institut Teknologi Adhi Tama
Surabaya “ITATS” Jurusan Teknik Arsitektur, pindah dan
Melanjutkannya di Universitas Widya Mataram Yogyakarta, 2006, pada
Jurusan yang sama. Aktivitas Ekstra: Menjadi Tutor Pelatihan Mengetik
10 jari bersama Missionaris Jerman Tn. Hesse dkk. Di wilayah Maybrat,
Imian, Sawiat, Tehit, thn.2000. Sekretaris Ikatan Mahasiswa Papua se-
Jawa timur Surabaya, 2004, Menjabat Ketua Ikatan Mahasiswa Papua se-
Jawa Timur 2005. Anggota Ikatan Arsitektur Asia Pacific 2003. Anggota Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) 2004. Team Perumusan Metode Belajar Mengajar Nusantara bersama
Dirjen Pendidikan Tinggi RI 2006. Menjabat Koordinator Mahasiwa Arsitektur Asia Pacific Rayon II
Indonesia Bagian Tengah DIY 2006-2008. Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
2008. Menjabat Ketua Asrama Mahasiswa Papua 2008. Menjabat Direktur Program Lembaga Study
Papua (LSP) 2007-2008. Anggota Luar Biasa University Harytake program UNESCO 2007-2008.
Menjabat Sekretaris Umum Lembaga Intelektual Tanah Papua 2009-sekarang. Peneliti Tamu bidang
lintas Budaya (researcher of cross culture) pada Yayasan Pondok Rakyat (YPR) DIY 2008-2009.
Civitas Yayasan STUBE-hemat Yogyakarta 2007-sekarang. Tenaga Pengarah kerja pada
perkumpulan seniman rantau di Yogyakarta 2009-sekarang. Agen Informan GRIC dan Pax Roman
2008-2010. Anggota International Working Group (IWG) for Asia Africa to Globalization 2009-
sekarang. Staf Ahli pada Team Peneliti dan Pemerhati Arsitektur Tradisional Nusantara UWMY,
2010. Peneliti Lepas dan Penulis. Ketika Menulis Buku ini, masih aktif Sebagai Mahasiswa
Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Berkeinginan besar sebagai Peneliti dan Ilmuwan Muda.

Beberapa Karya Tulis adalah:

• Makalah Ilmiah “ Kajian Tentang Keterkaitan Seni Budaya


Etnic Negro Melanesoid Papua Dan Negroid Afrika”, 2009.
“Karya ini merupaka karya yang luarbiasa baginya daripada karya yang lain”

Karya yang sudah diterbitkan adalah:


13
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

HISTORY OF GOD IN TRIBALS RELIGION


KISAH TUHAN DALAM AGAMA SUKU
RAHASIA THEOLOGIA TRADISIONAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA
Wiyon-wofle
DIPARALELKAN DENGAN ALKITAB

Beberapa karya Tulis yang belum diterbitkan adalah:


1. Arsitektur Tradisional suku Maybrat Imian Sawiat Papua “Halit-Mbol Chalit” dalam
Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Dengan Usulan Konsep Desain dari Bentuk Tradisional
ke Bentuk Moderen. “sebagai suatu kajian ethno arsitektur”.
2. Sistem Kepemimpinan dan sistem Politik tradisional suku Maybrat, Imian, Sawiat “Ra Bobot-Na
Bobot-Big Man” dan Pengaruh Wanita Maybrat, Imian, Sawiat, Terhadap Lingkungannya .
3. Menyelamatkan Hutan Adat Papua Sebagai Suplai Oksigen Terbesar Dunia, dengan usulan
konsep dan rekomendasi agar dalam pernyataan Protokol Kyoto mencanangkan pola penanganan
tata laksana lingkungan hidup untuk mengatasi Global warming dengan sistem communal.
4. Mengapa Orang Papua Diprediksikan akan Punah Pada tahun 2030?
5. Tata Bahasa Maybrat. Disusun Dalam Bahasa Indonesia – Inggris –Maybrat.
6. Penuntun Untuk Berpikir Bijaksana “The Bigest Thingking”.
7. Bamboo in the socio cultural living society of Java - Kegunaan Bambu dalam kehidupan sosial
budaya masyarakat Jawa
8. Teori Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat
9. Pengaruh Arsitektur Terhadap Fenomena Lingkungan Alam
10. Pendidikan Tradisional Wanita Maybrat, Imian, Sawiat - “Finya mgiar”.

Kini sedang mempersiapkan penyusunan buku barunya, yaitu:


1. ENCYCLOPEDIA ADAT ISTIADAT BUDAYA MAYBRAT
2. KAMUS BAHASA MAYBRAT

Makalah-makalah kajian lain adalah:


1. Menguak Imunity Rasial Diskriminasi Terhadap Orang Papua (Makalah Konferensi Asia-
Afrika) disampaikan pada “International Conference of 55 th. Asia – Africa Sustainabelity”,
Thaksin University-Mindanao, Moro, Philipines; March, 2009; UI Depok Jakarta, Oktober, 2009.
2. Benturan budaya lokal negara non kapitalisme dengan budaya global negara kapitalisme
(Makalah Simposium) – disampaikan pada “Simposium nasional”. Kebudayaan dan
keeksistensian local wosdom sebagai tatanan bangsa, UGM, Yogyakarta, Juni, 2008.
3. Pandangan Kontemporer Papua tentang keindonesiaan (Makalah Dialog) - disampaikan pada
“Dialog Nasional, Ketahanan Negara”, UC UGM, Yogyakarta, July, 2010.
4. Usaha Melepaskan Papua Dari Cengkeraman Asing (Makalah Seminar Nasional)- disampaikan
pada “ National Seminary”, UPI Bandung, September, 2009.
5. Penyusunan Metode Belajar Mengajar Nusantara Bersama DIKTI, (Makalah Pembelajaran,
Student Equity), Quality Hotel Yogyakarta April, 2006.

14
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

6. Peran Pemuda Dalam Memajukan Bangsa (Makalah Dialog), disampaikan dalam “Dialog
Pemuda Nasional Regional II Indonesia Bagian Tengah”, Gedung Negara Gubernur Yogyakarta,
Oktober, 2006.
7. Apa Peran Gereja di Tengah Pergolakan Umat Manusia di Tanah Papua (Makalah Diskusi),
disampaikan dalam “Saresehan LITP”, Pogung Rejo Yogyakart, September, 2010.
8. SAVING EARTH’S HAS INTEGRAL LIFE SYSTEM: Can Asian-African Visions Rescue
Biodiversity from the West-born Globalization? (Makalah Konferensi) disampaikan dalam
“Comemoration 55th. Asia-Afrika Conference”, Yogyakarta Indonesia, October, 25-27, 2010 -
Rabat Moroco 23-25 Nopember, 2010.
9. Indegenous People In Papua and Asia Religion: DIVERSITY IN GLOBALIZED SOCIETY.
(Makalah Konferensi) disampaikan dalam “The Role of Asia and Africa for a Sustainable
World 55 Years after Bandung Asian-African Conference 1955. Asia – Africa Summit,
Yogyakarta-Molucas Nopember, 2010.
10. Kajian Kritis Tentang Pasar Bebas dan Pengaruhnya terhaap Ketahanan Negara non
Kapitalisme. Kliping Pribadi, 2009
11. Pendidikan Zaman Pendudukan Bangsa Asing di Papua. Kliping Pribadi, 2010.
12. Pranata Kehidupan Negara Berkembang. Kliping Pribadi, 2009.
13. Struktur Fungsional Dominasi Budaya Kapitalisme. Kliping Pribadi, 2008.
14. Memaknai Arsitektur Nusantara Sebagai Kearifan Lokal Di Era Globalisasi. Kliping Pribadi,
2010.
15. Difusi Ajaran dan Pemikiran Kristen Dalam Konstelasi Kristen di Tehit, Maybrat, Imian,
Sawiat, Papua. Kajian sejarah. Kliping Pribadi, 2007.
16. Evolusi Pemikiran Pembangunan. Kliping Pribadi, 2007.
17. Kajian Kritis Tafsiran Yesus Kristus – Isa Almaseh dari Alkitab dan Al-Quran. Kliping
Pribadi, 2009.
18. Refleksi Kehidupan Masyarakat Plural Moderen dan Majemuk Papua. Kliping Pribadi, 2010.
19. Sejarah-Sejarah Alkitab dan yang berkaitan dengan Kejadian dalam Alkitab. Kliping Pribadi,
2008.
20. Transisi Masyarakat Tradisional Indonesia. Kliping Pribadi, 2009.
21. Teori konvergensi dan Pertumbuhan Ekonomi. Kliping pribadi, 2007.
22. Arsitektur Tradisional dalam RENSTRA Pengembangan tata ruang kota berbasis kebudayaan
lokal. Kliping pribadi, 2008.
23. Usulan teori dalam berarsitektur; Rasionansi Arsitektur, dan Empirisme arsitektur.
Kliping Pribadi, 2011.

15
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito

You might also like