Professional Documents
Culture Documents
1
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
2
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
- Tajug atau Masjid, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi
meruncing.
Masing-masing bentuk berkembang menjadi beraneka jenis dan variasi yang bukan hanya
berkaitan dengan perbedaan ukurannya saja, melainkan juga dengan situasi dan kondisi daerah
setempat.
Dari kelima macam bangunan pokok rumah Jawa ini, apabila diadakan penggabungan antara 5
macam bangunan maka terjadi berbagai macam bentuk rumah Jawa. Sebagai contoh : gedang
selirang, gedang setangkep, cere gencet, sinom joglo lambang gantung, dan lain-lain. Menurut
pandangan hidup masyarakat Jawa, bentuk-bentuk rumah itu mempunyai sifat dan penggunaan
tersendiri. Misalnya bentuk Tajug, itu selalu hanya digunakan untuk bangunan yang bersifat suci,
umpamanya untuk bangunan Masjid, makam, dan tempat raja bertahta, sehingga masyarakat Jawa
tidak mungkin rumah tempat tinggalnya dibuat berbentuk Tajug. Rumah yang lengkap sering
memiliki bentuk-bentuk serta penggunaan yang tertentu, antara lain :
- Pintu gerbang : bentuk kampong
- Pendopo : bentuk joglo
- Pringgitan : bentuk limasan
- Dalem : bentuk joglo
- Gandhok (kiri-kanan) : bentuk pacul gowang
- Dapur : bentuk kampong, dll.
Tetapi bagi orang yang tidak mampu tidaklah mungkin akan demikian. Dengan sendirinya rumah
yang berbentuk doro gepak (atap bangunan yang berbentuk mirip burung dara yang sedang terbang
mengepakkan sayapnya) misalnya bagian-bagiannya dipergunakan untuk kegunaan yang tertentu,
misalnya : – emper depan : untuk Pendopo – ruang tengah : untuk tempat pertemuan keluarga – emper
kanan-kiri : untuk senthong tengah dan senthong kiri kanan– emper yang lain : untuk gudang dan
dapur.
Di beberapa daerah pantai terdapat pula rumah-rumah yang berkolong. Hal tersebut dimaksudkan
untuk berjaga-jaga bila ada banjir.Dalam Seni Bangunan Jawa karena telah begitu maju, maka semua
bagian kerangka rumah telah diberi nama-nama tertentu, seperti : ander, dudur, brunjung, usuk
peniyung, usuk ri-gereh, reng, blandar, pengeret, saka guru, saka penanggap, umpak, dan
sebagainya.Bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati.
Arsitektur tradisional Jawa terbukti sangat populer tidak hanya di Jawa sendiri tetapi sampai
menjangkau manca negara. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura dan Malaysia juga Bandar Udara
Soekarno-Hatta mempunyai arsitektur tradisional Jawa.
Arsitektur tradisional Jawa harus dilihat sebagai totalitas pernyataan hidup yang bertolak dari tata
krama meletakkan diri, norma dan tata nilai manusia Jawa dengan segala kondisi alam lingkungannya.
Arsitektur ini pada galibnya menampilkan karya “swadaya dalam kebersamaan” yang secara arif
memanfaatkan setiap potensi dan sumber daya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis
antara “jagad cilik” (mikrokosmos) dan “jagad gedhe” (makrokosmos).
Pada dasarnya arsitektur tradisonal Jawa – sebagaimana halnya Bali dan daerah lain – adalah
arsitektur halaman yang dikelilingi oleh pagar. Yang disebut rumah yang utuh seringkali bukanlah
satu bangunan dengan dinding yang pejal melainkan halaman yang berisi sekelompok unit bangunan
3
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
dengan fungsi yang berbeda-beda. Ruang dalam dan luar saling mengimbas tanpa pembatas yang
tegar. Struktur bangunannya merupakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, bagaikan payung
yang terpancang terbuka. Dinding ruangan sekedar merupakan tirai pembatas, bukan dinding pemikul.
Yang sangat menarik pula untuk diungkap adalah struktur tersebut diperlihatkan secara jelas, wajar
dan jujur tanpa ada usaha menutup-nutupinya. Demikian pula bahan-bahan bangunannya, semua
dibiarkan menunjukan watak aslinya. Di samping itu arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang cukup
handal terhadap gempa.
Atap bangunannya selalu menggunakan tritisan yang lebar, yang sangat melindungi ruang
beranda atau emperan di bawahnya. Tata ruang dan struktur yang demikian sungguh cocok untuk
daerah beriklim tropis yang sering mengalami gempa dan sesuai untuk peri kehidupan manusia yang
memiliki kepribadian senang berada di udara terbuka. Halaman yang lega dengan perkerasan pasir
atau kerikil sangat bermanfaat untuk penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam
seringkali memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu, peredam angin
dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan binatang bahkan sering pula dimanfaatkan
untuk obat tradisional.
Sumber utama untuk mengenal seni bangunan Jawa untuk untuk daerah Jawa Tengah adalah
Kraton Surakarta dan Kraton Mangkunegaran. Juga peninggalan-peninggalan bangunan makam kuno
serta masjid-masjid kuno seperti Masjid Demak, Masjid Kudus dengan menaranya yang bergaya
khusus, Makam Demak, Makam Kadilangu, Makam Mengadeg, dll.
Di samping seni bangunan Jawa asli yang berupa bangunan rumah tempat tinggal, terdapat juga
seni bangunan Jawa peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça, semasa berkuasa
di daerah Jawa Tengah. Bangunan semasa itu biasanya menggunakan bahan bangunan batu sungai,
ada juga yang menggunakan batu merah, bahan kayu yang peninggalannya tidak kita jumpai lagi,
tetapi kemungkinan dahulunya ada.
Fungsi bangunan-bangunan itu bermacam-macam : sebagai tempat pemujaan, tugu peringatan,
tempat pemakaman, tempat bersemedi, dan sebagainya. Corak bangunan-bangunan agama itu ada
yang agama Budha Mahayana, misalnya : Borobudur. Yang bercorak Trimurti, misalnya : Dieng.
Sedangkan yang bercorak campuran dengan kepercayaan daerah setempat, misalnya : Candi Sukuh
dan Çeta.
Bentuk Rumah Panggang-pe : Banyak kita jumpai sebagai tempat jualan minuman, nasi dan lain-
lainnya yang terdapat di tepi jalan. Apabila diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda,
tempat mobil / garasi, pabrik, dan sebagainya.
Bentuk Rumah Kampung : Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota maupun di desa dan di
gunung-gunung. Perkembangan dari bentuk ini juga dipergunakan sebagai tempat tinggal.
Bentuk Rumah Limasan : Terutama terlihat pada atapnya yang memiliki 4 (empat) buah bidang sisi,
memakai dudur. Kebanyakan untuk tempat tinggal. Perkembangannya dengan penambahan emper
atau serambi, serta beberapa ruangan akan tercipta bentuk-bentuk sinom, kutuk gambang, lambang
gantung, trajumas, dan lain-lain. Hanya saja yang berbentuk trajumas tidak biasa digunakan sebagai
tempat tinggal.
Bentuk Rumah Tajug : Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing, soko guru dengan blandar-
blandar tumpang sari, berdenah bujur sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan
4
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat
tinggal.
Bentuk Rumah Joglo : Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah sisi soko guru dengan
pemidangannya (alengnya) dan berblandar tumpang sari. Bangunan ini umumnya dipergunakan
sebagai pendopo dan juga untuk tempat tinggal (nDalem).
4. Rumah Dalam Kehidupan Orang Jawa
Rumah merupakan sesuatu yang penting karena mencerminkan papan (tempat tinggal),
disamping dua macam kebutuhan lainnya yaitu sandang (pakaian) dan pangan (makanan). Karena
rumah berfungsi untuk melindungi dari tantangan alam dan lingkungannya. Selain itu rumah tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan utamanya saja. Tetapi dipergunakan untuk mewadahi semua
kegiatan dan kebutuhan yang ada di dalam rumah tersebut.
Rumah Jawa lebih dari sekedar tempat tinggal. Masyarakat Jawa lebih mengutamakan moral
kemasyarakatan dan kebutuhan dalam mengatur warga semakin menyatu dalam satu kesatuan.
Semakin lama tuntutan masyarakat dalam keluarga semakin berkembang sehingga timbullah
tingkatan jenjang kedudukan antar manusia yang berpengaruh kepada penampilan fisik rumah suatu
keluarga. Lalu timbulah jati diri arsitektur dalam masyarakat tersebut.
Rumah Jawa merupakan lambang status bagi penghuninya dan juga menyimpan rahasia tentang
kehidupan sang penghuni. Rumah Jawa merupakan sarana pemiliknya untuk menunjukkan siapa
sebenarnya dirinya sehingga dapat dimengerti dan dinikmati orang lain. Rumah Jawa juga
menyangkut dunia batin yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Jawa.
Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu :
- Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri.
- Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.
Kedua pendekatan itu akhirnya menjadi satu kesatuan. Kedua pendekatan mempunyai perannya
masing-masing, situasi dan kondisi yang menjadikan salah satunya lebih kuat sehingga menimbulkan
bentuk yang berbeda bila salah satu peranannya lebih kuat. Rumah Jawa merupakan kesatuan dari
nilai seni dan nilai bangunan sehingga merupakan nilai tambah dari hasil karya budaya manusia yang
dapat dijabarkan secara keilmuan.
Bentuk rumah tradisional jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk. Secara
garis besar tempat tinggal orang jawa dapat dibedakan menjadi:
1. Rumah Bentuk Joglo
2. Rumah Bentuk Limasan
3. Rumah bentuk Kampung
4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5. Rumah bentuk panggang Pe
- Rumah JOGLO
Dibanding 4 bentuk lainnya, rumah bentuk joglo merupakan rumah joglo yang dikenal
masyarakat pada umumnya.
5
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
6
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
7
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
sebagai buktinya.
Untuk para arkeolog, Yogyakarta sangat menarik sebab
setidaknya ada 36 candi / situs-situs sejarah disini. Ada beberapa
peninggalan peradaban dari abad ke-9. Salah satunya, candi
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan paling terkenal di
Indonesia. Borobudur, candi Budha terbesar, tercatat sebagai
salah satu “tujuh keajaiban di dunia”. Borobudur dapat dicapai
selama 1 jam dari kota, hanya 42 km sebelah barat laut
Yogyakarta. Dalam perjalanan ke Borobudur, dapat Foto : 15.a. Budaya
mengunjungi Candi Mendut dan Candi Pawon. Candi Mendut Ramayana
merupakan tempat untuk pemujaan, dengan adanya arca Budha
Gautama didalamnya. Beberapa upacara ritual juga masih
berlangsung di Yogyakarta, dan masih dilaksanakan sampai
sekarang. Lingkungan yang indah, arsitektur tradisional,
kehidupan sosial, dan upacara-upacara ritual membuat
Yogyakarta menjadi tempat paling menarik untuk dikunjungi.
Seni dan budaya tradisional seperti musik gamelan dan tari-
tarian tradisional akan selalu mengingatkan penonton akan
Foto : 15.b. Budaya
kehidupan Yogyakarta beberapa abad yang lalu. Pembangunan
Ramayana
teknologi modern berkembang di Indonesia dan di Yogyakarta,
ini berkembang secara harmoni dengan adat dan upacara
tradisional.
Sesuai namanya, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
memang benar-benar istimewa. Orang-orangnya sangat ramah.
Hal ini membentuk kehidupan dan kelakuan mereka. Mereka
menyukai olahraga tradisional, panahan sebagai hobi dan juga
sangat menyukai permainan burung perkutut. Mereka juga
percaya bahwa orang dapat menikmati hidup dengan Foto : 16.a. Budaya
mendengarkan kicauan burung. Kompetisi panahan tradisional Gerebeg
selalu diselenggarakan untuk memperingati kelahiran raja, yang
disebut dengan “Wiyosan Dalem”. Dan pada saat Sri Sultan
Hamengku Buwono X lahir, tradisi ini juga dilaksanakan.
Dengan adanya berbagai macam kesenian adat dan upacara
tradisional yang masih berlangsung, Yogyakarta juga dikenal
sebagai “museum hidup Jawa”, yang dicerminkan dalam segala
bentuk hal-hal tradisional berupa kendaraan, arsitektur, pasar,
pusat cindera mata, museum, dan banyak pilihan atraksi wisata
di Yogyakarta. Foto : 16.b. Budaya
Gerebeg
Dengan berdirinya Karaton ngayogyakarta, maka
selanjutnya didirikanlah bangunan-bangunan Pangeran,
Sumber Dinas Kebudayaan
termasuk nDalem Ngadiwinatan Suryoputran yang berada di
DIY
alun-alun Selatan Yogyakarta.
9
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
10
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
prajurit-prajurit keraton. Mestinya mereka pada waktu itu mereka sedang marah dan berani.
Luas keraton Yogyakarta adalah 14.000 meter2. di dalamnya terdapat banyak bangunan-
bangunan, halaman-halaman, dan lapangan-lapangan. Dimulai dari halaman keraton ke utara:
1. Kedaton atau prabayeks.
2. Bangsal Kencana
3. Regol Danapratapa (pintu gerbang)
4. Sri manganti
5. Regol Sri Manganti (pintu gerbang)
6. Bangsal Ponconiti (dengan halaman Kemandungan)
7. Regol Brajanala (pintu gerbang)
8. Siti Inggil
9. Tarub Agung
10. Pagelaran (tiangnya berjumlah 64)
11. Alun-alun utara (dihias dengan pohon beringin 62 batang)
12. Pasar (Beringharja)
13. Kepatihan
14. Tugu, angka 64 manggambarkan usia Nabi Muhammad 64 tahun Jawa atau 62 tahun
Masehi.
Sedangkan dari halaman keraton ke selatan maka dapat terlihat:
1. Regol Kemagangan (pintu gerbang)
2. Bangsal Kemagangan
3. Regol Gadung mlati (pintu gerbang)
4. Bangsal Kemandungan
5. Regol Kemandungan (pintu gerbang)
6. Siti Inggil
7. Alun-alun Selatan
8. Krapyak
Perhatian :
1. Regol = pintu gerbang
2. Bangsal = bangunan terbuka
3. Gedong = bangunan terturtup
4. Plengkung = pintu gerbang benteng
5. Selogilang = lantai tinggi dalam sebuah bangsal semacam poium rendah tempat duduk
Sri Sultan atau tempat singgasana Sultan
6. Tratag = bangunan, biasanya tempat berteduh, beratap anyaman-anyaman bambu dengan
tiang-tiang tinggi, tanpa dinding. Di pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
semua tratag kraton dimuliakannya dan diberi atap seng, tetapi arsitekturnya tetap tidak
berubah.
11
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
12
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
VIII gaji abdi dalem masih bisa untuk menghidupi keluarganya. Mereka bekerja sebagai abdi
dalem semarta-mata sebagai wujud pengabdian terhadap Sultan, dan untuk “nguri-uri” budaya
Jawa (melestarikan budaya Jawa).
Semenjak Hamengku Buwono VIII mangkat, terjadi perubahan yang besar dalam keraton
yang mana bentuk perubahan tersebut dapat kita kategorikan dalam bentuk inovasi birokrasi
dalam keraton. Contohnya adalah dihapuskannya sistem upeti karena sudah terbentuk
karisedenan-karisedenan di Surakarta dan tidak digunakannya Patih dalam keraton karena pada
masa sekarang lebih mementingkan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap
permasalahan (semua permasalahan ditangani langsung oleh Raja) sedangkan pada jaman dahulu
kekuasaan Raja adalah mutlak contoh yang lain adalah adanya perbedaan antara kegiatan raja
yang dahulu dengan sekarang. Pada jaman dahulu, kegiatan raja semata-mata hanya di kerajaan
sedangkan kegiatan Raja pada jaman sekarang merupakan perpaduan antara kegiatan di kantor
Gubernuran dan kegiatan di keraton.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan radikal pada keraton mulai
dari perubahan fungsi-fungsi pejabat-pejabatnya yang mengalami perubahan nama saja sampai
pada adanya proses difusi dalam sistem pemerintahan yang mengalami percampuran dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun terjadi percampuran antara Negara Kesatuan
republik Indonesia, diharapkan fungsi keraton sebagai pusat budaya Jawa tetap dijaga
keasliannya sebagai pusat budaya Jawa.
3. Profile Berdirinya nDalem Ngadiwinatan Suryoputran
nDalem Ngadiwinatan Suryoputran Yogyakarta, berdiri Pada tahun 1927, di daerah Alun-
alun Selatan, didirikan oleh SriS Sultan, yang semulanya ditempati oleh Pangeran, kemudian
ditempati oleh SMKI, sebelum tahun 1977, atau ± 1970-an. Kemudian ditempati Bidang Pemuda
(BIMUD) Propinsi Daerah Iatimewa Yogyakarta, pada tahun 1990-an, setelah itu digantikan dan
ditempati oleh Balai Pengembangan Pemuda Olahraga (BPPO) Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, pada tahun 2001-2009, setelah itu ditempati oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2009 –
sekarang, sebagai Perkantoran kerja.
4. Bentuk Bangunan nDalem Ngadiwinatan Suryoputran
a. Macam Bentuk Atap
Bentuk atap nDalem adalah atap gabungan antara
atap limasan dan joglo, dimana atap Joglo berada
dibagian tengah (central) dan diapit oleh atap limasan
di sekeliling kiri, kanan, dan muka belakang.
Bentuk Joglo, sebagai penutup ruang bagian
tengah. Dalam nilai rumah Jawa, bahwa ruang tengah
atau ruang bagian dalam ini disebut dengan gedongan,
dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin
salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai
tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Foto : 22. Bentuk atap nDalem
13
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
sedemikian rupa sehingga berbentuk hiasan bermotif Foto : 23. Bentuk kolom Dalem
padma, pada umpak, sebagai sitilisasi songkok pada Sumber peneliti 2010
umpak, menjadi motif sorotan pada tiang bangunan
14
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
nDalem, yang mana kesemuanya itu untuk mengagungkan kuasa Nabi Mohamad.
Rangkaian huruf Arab: mim, ha, mim, dhal, serta huruf : ra, sin, wau, lam, aiif, lam, lam
dan ta simpul, dimaksudkan untuk menyebutkan : Mohammad Rasul Allah. Tulisan ini
distilisasikan sedemikian rupa sehingga berbentuk hiasan dengan motif putri mirong pada tiang.
Kolom pada rumah nDalem berjumlah genap. Hal ini merupakan tata aturan dalam
mendirikan rumah adat Jawa. Bahwa setiap rumah adat Jawa, jumlah kolom bangunan harus
genap, tidak boleh ganjil. Kolom rumah nDalem tersebut disusun sesuai dengan titik sudut,
sebagai keseimbangan.
Karena bangunan nDalem ini merupakan aliran arsitektur Jawa yang keseluruhannya
merupakan hasil dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, sehingga sistem keseimbangannya
dibentuk dengan kolom yang genap, dengan 4 kolom utama sebagai struktur di tengah sebagai
soko guru.
Soko guru atau juga bisa disebut saka guru, kedua sebutan ini juga mempunyai makna yang
sama.
c. Macam Bentuk Bukaan
Foto : 25. Bentuk Pintu kantor Foto : 26. Bentuk Pintu Kamar Mandi/WC
Sumber Peneliti 2010
15
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
Pintu, berbentuk memanjang vertikal dengan bahan pintu terbuat dari kayu. Setiap pintu,
selain pintu kayu diluar, bagian dalamnya dilapisi dengan pintu kaca dengan bingkai dari kayu.
Pola bentuk pintu, berbentuk kotak, pada bagian atas
membentuk segi empat memanjang, sedangkan bagian bawa
berbentuk segi empat pendek.
Jumlah keseluruhan pintu pada bangunan nDalem
Ngadiwinatan Suryo Putran; 16 buah, dengan bentukkan
yang berbeda-beda, antara pintu pada ruang dalam bangunan
berbeda dengan pintu di kamar mandi/wc, maupun sebuah
pintu yang di bagian kiri bahannya terbuat dari kaca dengan
bingkainya dari kayu, pintu tersebut hanya berbeda dari
bahannya, namun bentuk tipenya menyerupai bentuk pintu
dalam bangunan lainnya.
Pada bagian atas pintu kamar mandi/wc, berbentuk
pelangi dengan ujung-ujungnya menyerupai anak panah, ini
melambangkan pelangi dengan bagian sebelah menyebelah Foto : 27. Bentuk Jendela
menuju ke titik tertentu yang menghubungkan adanya Sumber Peneliti 2010
kunjungan antara penguasa laut yang satu dengan penguasa
laut yang lain.
Bentuk jendela yang asli pada bangunan nDalem ini
adalah berbentuk segi empat memanjang, dengan bahan
adalah bagian lapisan luar dengan bahan utama kayu, yang
mana tidak tertutup semua, tetapi disusun dengan bercelah,
dengan tujuan sebagai ventilase. Selain dibagian luar yang
memakai kayu, pada lapisan dalammya menggunakan bahan
kaca dengan bingkai dari kayu.
Total jendela pada bangunan pangeran nDalem Foto : 28. Gerbang Utama
Ngadiwinatan Suryo Putran adalah; 8 buah, dengan Sumber Peneliti 2010
bentuknya yang sama, namun pada bagian sisi kanan, telah
mengalami perubahan ketika terjadi
gempa, sehingga telah digantikan
bahannya dengan kaca.
Pintu Gerbang utama ada satu buah.
Letak pintu utama langsung berhadapan
dengan Jalan utama alun-alun selatan.
Penutup pintu menggunakan kayu yang di
rakit dengan baut sehingga kuat. Umur
pintu ini seumur dengan umur bangunan,
dan bahan-bahannya pun juga masih tetap
awet hingga sekarang. Hanya saja Foto: 29. Gerbang sayap kiri dan Kanan
perawatannya yang selalu di cat, namun Sumber peneliti 2010
warna cat yang dipakai tetap mengikuti
16
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
17
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
2. Motif Kolom
Motif-motif kolom ada yang polos dan ada yang bermotif. Kebanyakan kolom yang bermotif
pada bagian kaki, dengan berwarna kehitaman, umpak. Sedangkan pada bagian yang lain, dapat
kita jumpai dibagian tengah dan bagian atas/kepala dengan warna putih.
Motif lagnit-langit didominasi oleh persegi empat untuk plafond ruang lainnya, yang
dibatasi dengan gari-garis vertikal dan horizontal dan berbentangan dengan garis finis pada
bagian ujung dinding. Sedangkan pada ruang penyeimbang, bentuk plafondnya persegi
empat yang diapit oleh Brunjung, motifnya berbentuk Bintang di bagian tengah sebagai
sentral, dan dibagi dengan tumpang sari serta dikelilingi oleh garis dan motif bunga pada
ujung akhir 4 sisi. Bentuk ini terdiri atas dua plafond, yang mana pada bagian tengah dibagi
oleh penangkur, yang diukir berbentuk gugungan atau Kayon. Bentuk bintang tersebut
masing-masing yang berada dibagian kiri dilihat dari depan, tertuliskan tahun, sedangkan
pada bagian kanan dituliskan huruf arab.
18
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
4. Motif Kuda-kuda
Tidak semua langit-langit diberi ornament. Kita hanya dapat menjumpai ornament
pada langit-langit ruang
penyeimbang, yang ditutupi
dengan atap Joglo. Baik plafond
maupun brunjung, diberi ornament.
2. Ornament Tembok Pagar
Ornament pagar diistilasi dari
ragam hias semacam kaligrafi yang
diambil dari huruf Arab yang
dirangkum menjadi wujud hiasan Foto : 36. Bentuk ornament Pagar.
ornament. Pada bagian tembok Sumber Peneliti-2010
nDalem, kita akan temukan
ornament yang berwujudkan bunga padma sebagai symbol 4 penjuru angin dan buah
labuh (labu) sebagai lambang kata Allah. Kata Allah diambil dari kata waluh atau
19
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
waloh yang sebutannya mirib seperti sebutan Allah dalam bahasa Arab. Hiasan tersebut
ditempatkan sebagai ujung pilar pada bangunan pagar (tembok) dilingkungan halaman
nDalem.
3. Ornament Gerbang
4. Ornament Kolom
5. Ornament Listplank
20
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
Bahan utama penutup atap nDalem Ngadiwinatan Suryoputran adalah Genteng, dan
ditambahkan dengan atap senk pada bagian sosoran pematah sinar matahari dibagian jendela
dan ventilasi.
2. Bahan Dinding
Bahan dinding nDalem, menggunakan tembok yang tersusun dari bahan Bata, semen,
pasir, dan cor-coran.
3. Bahan Lantai
21
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
4. Bahan Plafond
B
Foto : 42. Bahan Plafond. Sumber Peneliti-2010
Bahan plafond menggunakan kayu, pada ruang penyeimbang yang beratap Joglo,
sedangkan pada bagian ruang lainnya menggunakan bahan plafond dari Triplek.
5. Bahan bukaan
Bahan bukaan pintu, Jendela dan Ventilasi, terdiri atas Kayu, Kaca dan beton. Untuk
pintu dan Jendela, menggunakan kayu dan kaca, sedangkan untuk ventilasi ada yang
menggunakan Beton dan ada yang menggunakan kaca.
22
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
Gambar: Denah
Foto: 48
Bentuk Ornament Pada
Sosoran Bagian Kiri
Foto: 47
Tampak Depan
Sumber: Peneliti, 2010
Organisasi Ruang
1. Teras depan 8. Ruang Kepala
2. Ruang tengah penyeimbang/ruang staf 9. Ruang Kabag. TU.
3. Ruan sidang 10. Ruang Kasub. TU.
4. Ruang staf kepala 11. Ruang Kepala Umum
5. Ruang staf dan magang 12. Teras Belakang
6. Ruang seksi pemuda dan olahraga 13. Teras Kanan
7. Rung Kepala Pemuda dan Olahraga 14. KM/WC
23
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
Foto 52. Konstruksi Foto 53. Kolum dan Ukiran Foto 54. Pedestal –
Pengaku dan ukiran – – Sumber data Peneliti 2011 Sumber data Peneliti 2011
Sumber data Peneliti 2011
24
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
Tumpang sari yang bersusun tujuh trap dengan ukiran terbuat dari kayu jati dan sudah dipolitur.
Biasanya jumlah susunan tumpang sari dapat menunjukkan status sosial dari pemiliknya. Semakin
banyak susunannya maka semakin kaya pemiliknya.
25
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
26
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
PERKEMBANGAN
ARSITEKTUR
TRADISIONAL JAWA
27
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
DAFTAR PUSTAKA
Atmadi, P. 1979. Beberapa patokan perencanaan bangunan candi. Yogyakarta: Universitas gajah Mada,
Disertasi, Fakultas Teknik, 1984. Apa yang Terjadi Pada Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Lembaga
Javanologi. Dakung, S. 1981. Arsitektur tradisional daerah Istimewa Yogyakarta. Proyek
Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan.
Eliade, M. 1959. The Sacred and the Profane.The nature of the religion. Diterjemahkan oleh
Willard R.Trask.A. New York: Harvest Book, Harcourt, Brace& World,Inc.
Hamzuri, ......., Rumah tradisional Jawa. Proyek Pengembangan Permusiuman DKI. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan kebudayaan.
Ismunandar, K.R. 1986. Joglo,Arsitektur rumah tradisional Jawa. Semarang: Dahara Prize. Lombard, D.
1999. Nusa Jawa: Silang budaya, warisan kerajaan-kerajaan konsentris.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Munitz, M.K. 1981. Space, Time and Creation: Philosophical aspects of scientific cosmology.
New York: Dover.
Priyotomo, J. 1984. Ideas and forms of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Santosa, R.B. 2000. Omah, membaca makna rumah Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Selosumarjan. 1962. Social changes in Yogyakarta. Ithaca: Cornell University Press.
Suseno, M.F. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Orang Jawa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Setiawan, A.J. 1991. Rumah tinggal orang Jawa;Suatu kajian tentang dampak perubahan wujud arsitektur
terhadap tata nilai sosial budaya dalam rumah tinggal orang Jawa di Ponorogo. Jakarta:
Universitas Indonesia, Tesis.
Berke, D. (1997). Thoughts on The Everyday. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.),
Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture
of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.
Fausch, D. (1997). Ugly and Ordinary: The Representation of the Everyday . Dalam Harris, S. dan
Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the
Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Lefebvre, H. (1997). The Everyday and Everydayness. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.),
Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Catanese, A. J. & Snyder, J. C. (1991). Pengantar Arsitektur. Jakarta: Penerbit Erlangga
O’Gorman, J. F. (1997). ABC of Architecture. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
28
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
29
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
TENTANG PENULIS
31
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n
6. Peran Pemuda Dalam Memajukan Bangsa (Makalah Dialog), disampaikan dalam “Dialog
Pemuda Nasional Regional II Indonesia Bagian Tengah”, Gedung Negara Gubernur Yogyakarta,
Oktober, 2006.
7. Apa Peran Gereja di Tengah Pergolakan Umat Manusia di Tanah Papua (Makalah Diskusi),
disampaikan dalam “Saresehan LITP”, Pogung Rejo Yogyakart, September, 2010.
8. SAVING EARTH’S HAS INTEGRAL LIFE SYSTEM: Can Asian-African Visions Rescue
Biodiversity from the West-born Globalization? (Makalah Konferensi) disampaikan dalam
“Comemoration 55th. Asia-Afrika Conference”, Yogyakarta Indonesia, October, 25-27, 2010 -
Rabat Moroco 23-25 Nopember, 2010.
9. Indegenous People In Papua and Asia Religion: DIVERSITY IN GLOBALIZED SOCIETY.
(Makalah Konferensi) disampaikan dalam “The Role of Asia and Africa for a Sustainable
World 55 Years after Bandung Asian-African Conference 1955. Asia – Africa Summit,
Yogyakarta-Molucas Nopember, 2010.
10. Kajian Kritis Tentang Pasar Bebas dan Pengaruhnya terhaap Ketahanan Negara non
Kapitalisme. Kliping Pribadi, 2009
11. Pendidikan Zaman Pendudukan Bangsa Asing di Papua. Kliping Pribadi, 2010.
12. Pranata Kehidupan Negara Berkembang. Kliping Pribadi, 2009.
13. Struktur Fungsional Dominasi Budaya Kapitalisme. Kliping Pribadi, 2008.
14. Memaknai Arsitektur Nusantara Sebagai Kearifan Lokal Di Era Globalisasi. Kliping Pribadi,
2010.
15. Difusi Ajaran dan Pemikiran Kristen Dalam Konstelasi Kristen di Tehit, Maybrat, Imian,
Sawiat, Papua. Kajian sejarah. Kliping Pribadi, 2007.
16. Evolusi Pemikiran Pembangunan. Kliping Pribadi, 2007.
17. Kajian Kritis Tafsiran Yesus Kristus – Isa Almaseh dari Alkitab dan Al-Quran. Kliping
Pribadi, 2009.
18. Refleksi Kehidupan Masyarakat Plural Moderen dan Majemuk Papua. Kliping Pribadi, 2010.
19. Sejarah-Sejarah Alkitab dan yang berkaitan dengan Kejadian dalam Alkitab. Kliping Pribadi,
2008.
20. Transisi Masyarakat Tradisional Indonesia. Kliping Pribadi, 2009.
21. Teori konvergensi dan Pertumbuhan Ekonomi. Kliping pribadi, 2007.
22. Arsitektur Tradisional dalam RENSTRA Pengembangan tata ruang kota berbasis kebudayaan
lokal. Kliping pribadi, 2008.
23. Usulan teori dalam berarsitektur; Rasionansi Arsitektur, dan Empirisme arsitektur.
Kliping Pribadi, 2011.
32
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito