You are on page 1of 32

Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

PERKEMBANGAN RUMAH JAWA


(Hamah Sagrim)

A. PERJALANAN RUMAH JAWA – Tinjauan Histors


1. Asalmuasal Rumah Jawa
Dari asal usulnya, para ahli sejarah belum mempunyai kesatuan pendapat tentang hal ini.
Sebagian riwayat menceriterakan bahwa betapa sukarnya menentukan wujud bentuk rumah orang
Jawa pada mulanya. Ada yang mengatakan bahwa perkembangan rumah orang Jawa hanya
diceriterakan dari mulut ke mulut (lisan), dari kakek ke cucu, cicit, dan sterusnya. Akan tetapi ada
pula yang mengatakan bahwa rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu. Dari pendapat
yang bermacam-macam itu, dapat diambil kesimpulan bahwa hal itu masih gelap dan belum berhasil
ditemukan bentuknya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa beberapa orang yang ahli telah membuktikan bahwa teknik
penyusunan rumah Jawa seperti teknik menyususnan batu-batu candi yang cukup banyak. Tetapi
menurut para ahli, bukan rumah orang Jawa yang meniru bentuk candi, melainkan candi yang meniru
rumah orang Jawa. Mengapa demikian? Karena candi yang kita saksikan sekarang ini seperti candi
Dieng, Borobudur, Pawon, Mendut, Gedongsongo, dan lain-lain pada umumnya berdiri pada abad ke-
18, sedangkan sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa, sebenarnya nenekmoyang orang
Jawa pasti sudah mempunyai tempat tinggal yang cukum permanen untuk melindungi diri dan
keluarganya.
Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti tentang hal-hal tersebut diatas dengan pasti, dan
yang menjadi saksi bisu pastilah relief-relief yang terdapat pada batu candi. Tapi dugaan yang paling
kuat diperoleh dari sebuah naskah kuno yang ditulis dengan tangan, yang menyebutkan bahwa rumah
orang Jawa terbuat dari bahan kayu, serta dimulai dari jaman Prabu Jayabaya berkuasa di Memenang
ibukota Kediri.
Sekitar abad ke-11, baik adipati Harya Santang maupun Prabu Jayabaya, sendiri menyetujui
untuk membuat rumah dari bahan kayu. Dan orang tidak usah khawatir lagi bahwa rumah batu
mereka akan dikikis habis oleh air hujan, atau oleh sebab-sebab yang lain. Tetapi kalau dibuat dari
bahan kayu, hal ini dikarenakan bahan kayu merupakan bahan yang ringan, mudah dikerjakan, mudah
dicari dan kalau rusak mudah untuk menggantikannya.
Di istana Raja, barisan pekerja yang berada di wilayah pimpingan Adipati Harya Santang juga
mendapat order memperbaiki istana raja. Menurut tulisan yang sama, pada jaman Prabu Wijayaka
berkuasa di medangkemulan, ia telah melakukan berbagai perubahan terutama pada departemen
perumahan yang sejak saat itu diurus oleh pejabat perumahan yang berpangkat Bupati. Mereka terdiri
dari:
1. Bupati Kalang Blandhong – ahli menebang pohon
2. Bupati Kalang Obong – ahli pembersihan hutan

1
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

3. Bupati Kalang Adeg – ahli perencana bangunan


4. Bupati Kalang Abrek
Semua pembangunan rumah Jawa, disesuaikan dengan budaya Jawa.
2. Bagaimana Tempat Tinggal Nenek Moyang Orang Jawa Dahulu?
Diatas telah disebutkan bahwa rumah leluhur orang Jawa terbuat dari bahan batu. Namun hal itu
hanya perkiraan semata, dan sejak semula, orang beranggapan bahwa rumah batu tersebut baru ada
sekitar abad ke-10 dan itupun terbatas pada tempat-tempat tertentu. Tapi, pada jaman sebelumnya,
orang-orang juga membutuhkan tempat tinggal untuk menanggulangi diri dan keluarganya dari hujan
dan panas. Mau tidak mau mereka berpikir praktis sehingga dengan berbagai usaha telah ditempuh
untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu, maka pada jaman kuno, orang-orang memanfaatkan
gua-gua “abris sous roche”. Gua-gua itu sebenarnya lebih mirib dengan ceruk-ceruk di dalam batu
karang yang dapat dipakai untuk berteduh. Kini penelitian terhadap gua-gua semacam itu terus
ditingkatkan.
Limapuluh tahun yang lalu, tepatnya antara tahun 1928-1931, seorang peneliti yang pertama
melakukan penelitian di gua-gua tersebut adalah Van Stein Callenfels, di daerah Gua lawa dekat
Sampung Ponorogo, Madiun. Lambat laun berkembang menjadi semacam ekspedisi, yaitu gabungan
dari puluhan orang yang masing-masing memiliki keahlian khusus (spesialis) di samping didukung
oleh dana yang besar.
Banyak benda-benda unik yang ditemukan disana. Bagi para peneliti yang berasal dari negeri
barat seperti Belanda, Inggris maupun orang Eropa lainnya, cukup mengencangkan alat-alat batu,
ujung panah dan flakes (kepingan senjata tajam), batu, penggalian, kapak-kapak yang sudah diasah
(neolithikum), alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Disamping itu juga ditemukan alat-alat perunggu
dan besi.
Selain temuan-temuan tersebut yang diiedntifikasikan, termasuk identifikasi benda tersebut
menunjukkan bahwa manusia yang pertama hidup di Jawa dalah jenis manusia Papua-melanesoid.
Sehingga dipastikan bahwa ceruk-ceruk tersebut telah lama ditempati oleh nenek moyang.
Setelah membuktikan secara ilmiah kapan benda-benda tersebut mulai ada di sana, maka
muncullah istilah “sampung bone-culture” yang berarti alat-alat tukang dari sampung.
3. Populasi Jenis-Jenis Arsitektur Rumah Adat Jawa
Arsitektur atau Seni Bangunan yang terdapat di daerah Provinsi Jawa Tengah dikelompokkan
menjadi dua, yaitu : a. Arsitektur Tradisional, yaitu Seni Bangunan Jawa asli yang hingga kini masih
tetap hidup dan berkembang pada masyarakat Jawa. Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh
masyarakat Jawa biasa disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Yang merupakan
bangunan pokok dalam seni bangunan Jawa ada 5 (lima) macam, ialah :
- Panggang-pe, yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi.
- Kampung, yaitu bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja.
- Limasan, yaitu bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan de tengahnya.
- Joglo atau Tikelan, yaitu bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah
bubungan di tengahnya.

2
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

- Tajug atau Masjid, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi
meruncing.
Masing-masing bentuk berkembang menjadi beraneka jenis dan variasi yang bukan hanya
berkaitan dengan perbedaan ukurannya saja, melainkan juga dengan situasi dan kondisi daerah
setempat.
Dari kelima macam bangunan pokok rumah Jawa ini, apabila diadakan penggabungan antara 5
macam bangunan maka terjadi berbagai macam bentuk rumah Jawa. Sebagai contoh : gedang
selirang, gedang setangkep, cere gencet, sinom joglo lambang gantung, dan lain-lain. Menurut
pandangan hidup masyarakat Jawa, bentuk-bentuk rumah itu mempunyai sifat dan penggunaan
tersendiri. Misalnya bentuk Tajug, itu selalu hanya digunakan untuk bangunan yang bersifat suci,
umpamanya untuk bangunan Masjid, makam, dan tempat raja bertahta, sehingga masyarakat Jawa
tidak mungkin rumah tempat tinggalnya dibuat berbentuk Tajug. Rumah yang lengkap sering
memiliki bentuk-bentuk serta penggunaan yang tertentu, antara lain :
- Pintu gerbang : bentuk kampong
- Pendopo : bentuk joglo
- Pringgitan : bentuk limasan
- Dalem : bentuk joglo
- Gandhok (kiri-kanan) : bentuk pacul gowang
- Dapur : bentuk kampong, dll.
Tetapi bagi orang yang tidak mampu tidaklah mungkin akan demikian. Dengan sendirinya rumah
yang berbentuk doro gepak (atap bangunan yang berbentuk mirip burung dara yang sedang terbang
mengepakkan sayapnya) misalnya bagian-bagiannya dipergunakan untuk kegunaan yang tertentu,
misalnya : – emper depan : untuk Pendopo – ruang tengah : untuk tempat pertemuan keluarga – emper
kanan-kiri : untuk senthong tengah dan senthong kiri kanan– emper yang lain : untuk gudang dan
dapur.
Di beberapa daerah pantai terdapat pula rumah-rumah yang berkolong. Hal tersebut dimaksudkan
untuk berjaga-jaga bila ada banjir.Dalam Seni Bangunan Jawa karena telah begitu maju, maka semua
bagian kerangka rumah telah diberi nama-nama tertentu, seperti : ander, dudur, brunjung, usuk
peniyung, usuk ri-gereh, reng, blandar, pengeret, saka guru, saka penanggap, umpak, dan
sebagainya.Bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati.
Arsitektur tradisional Jawa terbukti sangat populer tidak hanya di Jawa sendiri tetapi sampai
menjangkau manca negara. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura dan Malaysia juga Bandar Udara
Soekarno-Hatta mempunyai arsitektur tradisional Jawa.
Arsitektur tradisional Jawa harus dilihat sebagai totalitas pernyataan hidup yang bertolak dari tata
krama meletakkan diri, norma dan tata nilai manusia Jawa dengan segala kondisi alam lingkungannya.
Arsitektur ini pada galibnya menampilkan karya “swadaya dalam kebersamaan” yang secara arif
memanfaatkan setiap potensi dan sumber daya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis
antara “jagad cilik” (mikrokosmos) dan “jagad gedhe” (makrokosmos).
Pada dasarnya arsitektur tradisonal Jawa – sebagaimana halnya Bali dan daerah lain – adalah
arsitektur halaman yang dikelilingi oleh pagar. Yang disebut rumah yang utuh seringkali bukanlah
satu bangunan dengan dinding yang pejal melainkan halaman yang berisi sekelompok unit bangunan
3
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

dengan fungsi yang berbeda-beda. Ruang dalam dan luar saling mengimbas tanpa pembatas yang
tegar. Struktur bangunannya merupakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, bagaikan payung
yang terpancang terbuka. Dinding ruangan sekedar merupakan tirai pembatas, bukan dinding pemikul.
Yang sangat menarik pula untuk diungkap adalah struktur tersebut diperlihatkan secara jelas, wajar
dan jujur tanpa ada usaha menutup-nutupinya. Demikian pula bahan-bahan bangunannya, semua
dibiarkan menunjukan watak aslinya. Di samping itu arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang cukup
handal terhadap gempa.
Atap bangunannya selalu menggunakan tritisan yang lebar, yang sangat melindungi ruang
beranda atau emperan di bawahnya. Tata ruang dan struktur yang demikian sungguh cocok untuk
daerah beriklim tropis yang sering mengalami gempa dan sesuai untuk peri kehidupan manusia yang
memiliki kepribadian senang berada di udara terbuka. Halaman yang lega dengan perkerasan pasir
atau kerikil sangat bermanfaat untuk penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam
seringkali memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu, peredam angin
dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan binatang bahkan sering pula dimanfaatkan
untuk obat tradisional.
Sumber utama untuk mengenal seni bangunan Jawa untuk untuk daerah Jawa Tengah adalah
Kraton Surakarta dan Kraton Mangkunegaran. Juga peninggalan-peninggalan bangunan makam kuno
serta masjid-masjid kuno seperti Masjid Demak, Masjid Kudus dengan menaranya yang bergaya
khusus, Makam Demak, Makam Kadilangu, Makam Mengadeg, dll.
Di samping seni bangunan Jawa asli yang berupa bangunan rumah tempat tinggal, terdapat juga
seni bangunan Jawa peninggalan dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça, semasa berkuasa
di daerah Jawa Tengah. Bangunan semasa itu biasanya menggunakan bahan bangunan batu sungai,
ada juga yang menggunakan batu merah, bahan kayu yang peninggalannya tidak kita jumpai lagi,
tetapi kemungkinan dahulunya ada.
Fungsi bangunan-bangunan itu bermacam-macam : sebagai tempat pemujaan, tugu peringatan,
tempat pemakaman, tempat bersemedi, dan sebagainya. Corak bangunan-bangunan agama itu ada
yang agama Budha Mahayana, misalnya : Borobudur. Yang bercorak Trimurti, misalnya : Dieng.
Sedangkan yang bercorak campuran dengan kepercayaan daerah setempat, misalnya : Candi Sukuh
dan Çeta.
Bentuk Rumah Panggang-pe : Banyak kita jumpai sebagai tempat jualan minuman, nasi dan lain-
lainnya yang terdapat di tepi jalan. Apabila diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda,
tempat mobil / garasi, pabrik, dan sebagainya.
Bentuk Rumah Kampung : Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota maupun di desa dan di
gunung-gunung. Perkembangan dari bentuk ini juga dipergunakan sebagai tempat tinggal.
Bentuk Rumah Limasan : Terutama terlihat pada atapnya yang memiliki 4 (empat) buah bidang sisi,
memakai dudur. Kebanyakan untuk tempat tinggal. Perkembangannya dengan penambahan emper
atau serambi, serta beberapa ruangan akan tercipta bentuk-bentuk sinom, kutuk gambang, lambang
gantung, trajumas, dan lain-lain. Hanya saja yang berbentuk trajumas tidak biasa digunakan sebagai
tempat tinggal.
Bentuk Rumah Tajug : Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing, soko guru dengan blandar-
blandar tumpang sari, berdenah bujur sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan

4
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat
tinggal.
Bentuk Rumah Joglo : Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah sisi soko guru dengan
pemidangannya (alengnya) dan berblandar tumpang sari. Bangunan ini umumnya dipergunakan
sebagai pendopo dan juga untuk tempat tinggal (nDalem).
4. Rumah Dalam Kehidupan Orang Jawa
Rumah merupakan sesuatu yang penting karena mencerminkan papan (tempat tinggal),
disamping dua macam kebutuhan lainnya yaitu sandang (pakaian) dan pangan (makanan). Karena
rumah berfungsi untuk melindungi dari tantangan alam dan lingkungannya. Selain itu rumah tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan utamanya saja. Tetapi dipergunakan untuk mewadahi semua
kegiatan dan kebutuhan yang ada di dalam rumah tersebut.
Rumah Jawa lebih dari sekedar tempat tinggal. Masyarakat Jawa lebih mengutamakan moral
kemasyarakatan dan kebutuhan dalam mengatur warga semakin menyatu dalam satu kesatuan.
Semakin lama tuntutan masyarakat dalam keluarga semakin berkembang sehingga timbullah
tingkatan jenjang kedudukan antar manusia yang berpengaruh kepada penampilan fisik rumah suatu
keluarga. Lalu timbulah jati diri arsitektur dalam masyarakat tersebut.
Rumah Jawa merupakan lambang status bagi penghuninya dan juga menyimpan rahasia tentang
kehidupan sang penghuni. Rumah Jawa merupakan sarana pemiliknya untuk menunjukkan siapa
sebenarnya dirinya sehingga dapat dimengerti dan dinikmati orang lain. Rumah Jawa juga
menyangkut dunia batin yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Jawa.
Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu :
- Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri.
- Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.
Kedua pendekatan itu akhirnya menjadi satu kesatuan. Kedua pendekatan mempunyai perannya
masing-masing, situasi dan kondisi yang menjadikan salah satunya lebih kuat sehingga menimbulkan
bentuk yang berbeda bila salah satu peranannya lebih kuat. Rumah Jawa merupakan kesatuan dari
nilai seni dan nilai bangunan sehingga merupakan nilai tambah dari hasil karya budaya manusia yang
dapat dijabarkan secara keilmuan.
Bentuk rumah tradisional jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk. Secara
garis besar tempat tinggal orang jawa dapat dibedakan menjadi:
1. Rumah Bentuk Joglo
2. Rumah Bentuk Limasan
3. Rumah bentuk Kampung
4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5. Rumah bentuk panggang Pe
- Rumah JOGLO
Dibanding 4 bentuk lainnya, rumah bentuk joglo merupakan rumah joglo yang dikenal
masyarakat pada umumnya.

5
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Rumah Joglo kebanyakan


hanya dimiliki oleh mereka yang
mampu. Hal ini disebabkan rumah
bentuk joglo membutuhkan bahan
bangunan yang lebih banyak dan
mahal daripada rumah bentuk
yang lain. Masyarakat jawa pada
masa lampau menganggap bahwa
rumah joglo tidak boleh dimiliki
oleh orang kebanyakan, tetapi
rumah joglo hanya diperkenankan
untuk rumah kaum bangsawan, Foto : 1. Joglo jompongan Foto : 2. Joglo kepuh lawakan
- Sumber Peneliti - 2010
istana raja, dan pangeran, serta
orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah joglo digunakan
oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan
dan kantor-kantor.
Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat tidak mudah untuk membuat rumah
bentuk joglo. Rumah bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga
membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan
perlu diperbaiki.
Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh,
terutama setelah terjadi penggeseran keturunan dari orang tua kepada anaknya. Jika keturunan
seseorang yang memiliki rumah bentuk joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus
memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya
secukupnya. Ini akan menjadi masalah bagi orang tersebut. Hal ini disebabkan adanya suatu
kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk joglo pada bentuk yang lain merupakan pantangan sebab
akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan selanjutnya, misalnya menjadi
melarat, mendatangkan musibah, dan sebagainya.
Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya bentuk ini
mempunyai empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar
bersusun yang di sebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas
makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk joglo zaman
sekarang. Perkembangan selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagian-bagian
samping, sehingga tiang di tambah menurut kebutuhan. Selain itu bentuk denah juga mengalami
perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang hanya bersifat sekedar
tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan konstruksi.
Dari perubahan-perubahan tersebut timbulah bentuk-bentuk rumah joglo yang beraneka
macam dengan namanya masing-masing. Adapaun, jenis-jenis joglo yang ada, antara lain : joglo
jompongan, joglo kepuhan lawakan, joglo ceblokan, joglo kepuhan limolasan, joglo sinom apitan,
joglo pengrawit, joglo kepuhan apitan, joglo semar tinandu, joglo lambangsari, joglo wantah
apitan, joglo hageng, dan joglo mangkurat.

6
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

A. ARSITEKTUR nDALEM PANGERAN – cross cutting Karaton story


1. Sejarah Arsitektur nDalem Pangeran Ngadi Winatan Suryoputran Yogyakarta Dalam
Perjalanan Karaton Ngayogyakarta.
Dibawah bayangan gunung setinggi 2.914 meter, yang
disebut Gunung Merapi, berdiri Ngayogyakarto Hadiningrat,
salah satu kerajaan Mataram di Jawa. Kini disebut sebagai
Yogyakarta (Jogja) mulai tahun 1755, ketika wilayah Kerajaan
Mataram dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta
(Solo).
Keraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi
pada saat itu, dan beliau menggunakan keraton sebagai pusat
daerah paling berpengaruh di Jawa sejak abad ke-17. Keraton Foto: 3. Logo keraton
tetap menjadi pusat kehidupan tradisional dan meskipun ada Yogyakarta
modernisasi di abad ke-20, keraton tetap memancarkan
semangat kemurnian, yang ditandai dengan kebudayaannya
selama berabad-abad.
Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan di
Jawa. Musik gamelan merupakan pandangan dari masa lalu,
klasik dan sejaman, pertunjukan tari-tarian Jawa yang sangat
indah dan memabukkan, pertunjukkan wayang kulit dan ratusan Foto : 4. Tampak Depan
kesenian tradisional yang membuat para pengunjung terpesona. Keraton Yogyakarta
Semangat kehidupan yang luar biasa dan kehangatan kota Hadiningrat
ini sendiri yang hampir tidak pernah pudar. Seni kontemporer
juga tumbuh dalam suburnya kebudayaan dan masyarakat
Yogyakarta. ASRI, Akademi Seni Rupa, sebagai contoh,
merupakan pusat kesenian di sini, dan Yogyakarta telah
mencatatkan namanya sebagai sebuah sekolah seni lukis modern
penting di Indonesia, yang mungkin bisa dicontohkan dalam
sosok pelukis impersionis, Affandi. Foto: 5. Budaya Garebeg
Propinsi ini merupakan salah satu daerah padat penduduk di
Indonesia dan merupakan pintu gerbang utama menuju pusat
Jawa dimana secara geografis tempat ini berada. Membentang
dari Gunung Merapi di sebelah utara menuju Samudera Hindia
di sebelah selatan. Penerbangan harian menghubungkan
Yogyakarta dengan Jakarta, Surabaya, Papua dan Bali, juga
kereta api dan angkutan bis menawarkan perjalanan darat Foto: 6. Budaya Jathilan
dengan rute sama.
Sumber Dinas Kebudayaan
DIY

7
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (disingkat dengan


Jogja), merupakan salah satu dari 34 propinsi di Indonesia.
Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah tingkat II, Kotamadia
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman,
Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul. Luas
Yogyakarta sekitar 3.186 km persegi, dengan total penduduk
3.226.443 (Statistik Desember 1997). Propinsi ini terkenal Foto : 8. Gedong kaca.
sebagai kota kebudayaan dan pendidikan dan merupakan Museum hamengkubuono IX
daerah tujuan wisata.
Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan
ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Gianti (Palihan
Nagar) pada 1755, mataram dibagi menjadi 2 kerajaan:
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan
Ngayogyakarto Hadiningrat. Mengikuti kebiasaan, Pangeran
Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai Foto : 9. Budaya Numplak
sebagai Raja Ngayogyakarto Hadiningrat. Kemudian beliau Wajik
disebut sebagai Sultan Hamengku Buwono I. Pada tahun
1813, dibawah penjajahan Inggris, pemisahan kerajaan
Mataram terjadi untuk ketiga-kalinya. Pangeran Notokusumo,
putra dari Hamengku Buwono I, dimahkotai sebagai Pangeran
Paku Alam I. Kerajaannya terpisah dari Kasultanan
Yogyakarta.
Ketika Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945,
yang dilambangkan dengan penandatanganan Proklamasi Foto: 10. Budaya Pekchun
Kemerdekaan, Ngayogyakarto Hadiningrat dan Pakualaman
menyatu sebagai salah salah satu propinsi di Indonesia dimana
Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditunjuk sebagai gubernur
dan Sri Paku Alam VIII sebagai wakil gubernurnya. Meskipun
propinsi DIY mempunyai wilayah yang relatif kecil, namun
kaya akan daya tarik wisata. Pengunjung dapat menemukan
berbagai macam hasil seni dan pertunjukan kesenian yang
sangat menarik dan menakjubkan. Foto : 12. Budaya Imogiri
Sebagai pusat seni dan budaya di Jawa, terdapat
beberapa macam daya tarik wisata di Yogyakarta. Hal ini
menjadi alasan mengapa orang mereferensikan Yogyakarta
sebagai tempat lahirnya kebudayaan Jawa. Dan untuk pecinta
gunung, pantai atau pemandangan indah, Yogyakarta juga
menyediakan beberapa tempat untuk itu. Propinsi ini juga
diakui sebagai tempat menarik untuk para periset, ahli Foto : 13. Budaya
geologi, ahli speleogi dan vulkanologi merujuk pada adanya Karawitan
gua-gua di daerah batuan kapur dan gunung berapi yang aktif. Sumber Dinas Kebudayaan
Di selatan kabupaten Gunung Kidul merupakan ujung laut, DIY & Peneliti 2010
dimana terdapat beberapa fosil biota laut dalam batuan kapur
8
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

sebagai buktinya.
Untuk para arkeolog, Yogyakarta sangat menarik sebab
setidaknya ada 36 candi / situs-situs sejarah disini. Ada beberapa
peninggalan peradaban dari abad ke-9. Salah satunya, candi
Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan paling terkenal di
Indonesia. Borobudur, candi Budha terbesar, tercatat sebagai
salah satu “tujuh keajaiban di dunia”. Borobudur dapat dicapai
selama 1 jam dari kota, hanya 42 km sebelah barat laut
Yogyakarta. Dalam perjalanan ke Borobudur, dapat Foto : 15.a. Budaya
mengunjungi Candi Mendut dan Candi Pawon. Candi Mendut Ramayana
merupakan tempat untuk pemujaan, dengan adanya arca Budha
Gautama didalamnya. Beberapa upacara ritual juga masih
berlangsung di Yogyakarta, dan masih dilaksanakan sampai
sekarang. Lingkungan yang indah, arsitektur tradisional,
kehidupan sosial, dan upacara-upacara ritual membuat
Yogyakarta menjadi tempat paling menarik untuk dikunjungi.
Seni dan budaya tradisional seperti musik gamelan dan tari-
tarian tradisional akan selalu mengingatkan penonton akan
Foto : 15.b. Budaya
kehidupan Yogyakarta beberapa abad yang lalu. Pembangunan
Ramayana
teknologi modern berkembang di Indonesia dan di Yogyakarta,
ini berkembang secara harmoni dengan adat dan upacara
tradisional.
Sesuai namanya, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
memang benar-benar istimewa. Orang-orangnya sangat ramah.
Hal ini membentuk kehidupan dan kelakuan mereka. Mereka
menyukai olahraga tradisional, panahan sebagai hobi dan juga
sangat menyukai permainan burung perkutut. Mereka juga
percaya bahwa orang dapat menikmati hidup dengan Foto : 16.a. Budaya
mendengarkan kicauan burung. Kompetisi panahan tradisional Gerebeg
selalu diselenggarakan untuk memperingati kelahiran raja, yang
disebut dengan “Wiyosan Dalem”. Dan pada saat Sri Sultan
Hamengku Buwono X lahir, tradisi ini juga dilaksanakan.
Dengan adanya berbagai macam kesenian adat dan upacara
tradisional yang masih berlangsung, Yogyakarta juga dikenal
sebagai “museum hidup Jawa”, yang dicerminkan dalam segala
bentuk hal-hal tradisional berupa kendaraan, arsitektur, pasar,
pusat cindera mata, museum, dan banyak pilihan atraksi wisata
di Yogyakarta. Foto : 16.b. Budaya
Gerebeg
Dengan berdirinya Karaton ngayogyakarta, maka
selanjutnya didirikanlah bangunan-bangunan Pangeran,
Sumber Dinas Kebudayaan
termasuk nDalem Ngadiwinatan Suryoputran yang berada di
DIY
alun-alun Selatan Yogyakarta.

9
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

2. Inovasi Birokrasi di Dalam Keraton Hadiningrat


Keraton adalah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari
kata ka+ratu+an= keraton. Juga disebut kadaton, yaitu ka+datu+
an = kedaton, tempat datu-datu atau ratu-ratu. Bahasa
Indonesianya adalah istana, keraton ialah sebuah istana, tetapi
istana bukanlah keraton. Keraton ialah istana yang mengandung
arti, baik arti keagamaan, arti filsafat dan arti kultural
(kebudayaan). Foto : 18. Pakualaman
Keraton Yogyakarta memiliki arti-arti tersendiri. Arsitektur
bangunannya, letak bangsal-bangsalnya, hiasannya, sampai warna
gedungnya mempunyai arti, pohon yang ditanamnya pun bukan
sembarang pohon. Semua yang terdapat di sana seakan-akan
memberi nasehat kepada kita untuk cinta dan menyerahkan diri
kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, berlaku sederhana dan tekun,
berhati-hati dalam tingkah laku kita sehari-hari dan lain-lain. Fotoa : 19. Tugu
Arsitek dari keraton tersebut adalah Sri Sultan Hamengku Yogyakarta
Buwono I, waktu masih muda, baginda bergelar Pangeran
Mangkubumi. Kompleks keraton terletak di tengah-tengah, tetapi
daerah keraton membentang antara sungai Code dan sungai
Winanga, dari utara ke selatan, dari Tugu sampai Krapyak. Nama
kampung-kampung jelas memberi bukti kepada kita, bahwa ada
hubungannya antara penduduk kampung itu dengan tugasnya di Foto : 20.a. Karaton
keraton pada waktu dulu, misalnya Gandekan=tempat tinggal Yogyakarta
gandek-gandek (koerir) dari Sri Sultan, Wirobrajan tempat tinggal
para prajurit keraton Wirabraja, Pasindenan tempat tinggal
pesinden-pesinden keraton.
Daerah keraton terletak di hutan Garjitawati, dekat Desa
Beringin dan Desa Pacetokan. Karena daerah ini dianggap kurang
memadai untuk membangun sebuah keraton dengan bentengnya, Foto : 20.b. Karaton
maka aliran sunagai Code dibelokkan sedikit ke timur dan aliran Yogyakarta
sungai Winanga sedikit ke barat.
Kerton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun
Jawa 1682, diperingati dengan sebuah condrosengkolo memet di
pintu Gerbang Pemagangan dan di pintu Gerbang Melati berupa
dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa
Jawa:”dwi naga rasa tunggal.” Artinya dwi=2, naga=8, rasa=6,
tunggal=1 (dibaca dari belakang : 1682). Warna naga hijau, hijau Foto : 21. Budaya
adalah simbol dari pengharapan. Tahunnya sama, tetapi Wayang
dekorasinya tidak sama. Ini tergantung dari arsitektur, tujuan dan
sudut yang dihiasinya. Warna naga merah, dimana sebagai Sumber Dinas
simbol dari keberanian. Di halaman Kemagangan ini dahulu Kebudayaan DIY
dijadikan ujian-ujian bela diri memakai tombak antar calon

10
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

prajurit-prajurit keraton. Mestinya mereka pada waktu itu mereka sedang marah dan berani.
Luas keraton Yogyakarta adalah 14.000 meter2. di dalamnya terdapat banyak bangunan-
bangunan, halaman-halaman, dan lapangan-lapangan. Dimulai dari halaman keraton ke utara:
1. Kedaton atau prabayeks.
2. Bangsal Kencana
3. Regol Danapratapa (pintu gerbang)
4. Sri manganti
5. Regol Sri Manganti (pintu gerbang)
6. Bangsal Ponconiti (dengan halaman Kemandungan)
7. Regol Brajanala (pintu gerbang)
8. Siti Inggil
9. Tarub Agung
10. Pagelaran (tiangnya berjumlah 64)
11. Alun-alun utara (dihias dengan pohon beringin 62 batang)
12. Pasar (Beringharja)
13. Kepatihan
14. Tugu, angka 64 manggambarkan usia Nabi Muhammad 64 tahun Jawa atau 62 tahun
Masehi.
Sedangkan dari halaman keraton ke selatan maka dapat terlihat:
1. Regol Kemagangan (pintu gerbang)
2. Bangsal Kemagangan
3. Regol Gadung mlati (pintu gerbang)
4. Bangsal Kemandungan
5. Regol Kemandungan (pintu gerbang)
6. Siti Inggil
7. Alun-alun Selatan
8. Krapyak
Perhatian :
1. Regol = pintu gerbang
2. Bangsal = bangunan terbuka
3. Gedong = bangunan terturtup
4. Plengkung = pintu gerbang benteng
5. Selogilang = lantai tinggi dalam sebuah bangsal semacam poium rendah tempat duduk
Sri Sultan atau tempat singgasana Sultan
6. Tratag = bangunan, biasanya tempat berteduh, beratap anyaman-anyaman bambu dengan
tiang-tiang tinggi, tanpa dinding. Di pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
semua tratag kraton dimuliakannya dan diberi atap seng, tetapi arsitekturnya tetap tidak
berubah.
11
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Ditengah-tengah halaman Kemandungan Kidul berdiri sebuah bangsal, yang dinamakan


Bangsal Kemandungan. Bangsal ini bekas pesanggrahan Sri Sultan Hamengku Buwono I di Desa
Pandak Karangnangka waktu Perang Giyanti (1746-1755).
Krapyak ialah sebuah podium tinggi dari batu bata untuk Sri Sultan, kalau baginda sedang
memperhatikan tentara atau kerabatnya memperlihatkan ketangkasannya mengepung, memburu,
dan menangkap rusa. Kompleks keraton dikelilingi oleh sebuah tembok lebar, benteng yang
panjangnya 1 km, berbentuk empat persegi, tingginya 3,5 m, lebarnya 3 sampai 4 m. Di beberapa
tempat di benteng itu ada gang atau jalan untuk menyimpan senjata dan amunisi, Di keempat
sudutnya terdapat bastion dengan lubang-lubang kecil dindingnya untuk mengintai musuh. Tiga
dari bastion itu saat ini masih dapat dilihat. Benteng Dui sebelah luar dikelilingi oleh parit lebar
dan dalam.
Kaitannya antara inovasi dalam keraton, kami mengangkat tema inovasi birokrasi dalam
keraton. Dalam pengertian ini inovasi menunjuk pada suatu proses kreativitas yaitu kombinasi
dari dua konsep atau lebih, sehingga melahirkan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak
diketahui oleh individu yang bersangkutan. Dalam pengertian ini inovasi, diartikan sebagai proses
pengambilan dan internalisasi atau proses memasarkan ide-ide baru. Inovasi menurut Barnet
(1953) adalah semua pemikiran, perilaku, atau hal-hal yang baru karena hal itu secara kualitatif
berbeda dengan bentuk-bentuk yang telah ada. Menurut Zaltman, dkk, inovasi adalah semua ide,
praktek-praktek atau artefak yang oleh individu-individu dalam masyarakat yang bersangkutan
dianggap baru. Zaltman, dkk. (1973 : 32) mengelompokkan inovasi dalam tiga kategori besar
yaitu (1) Berdasarkan keberadaanya dalam sistem; (2) Berdasarkan pada fokus sasaran; (3)
Berdasarkan pada hasil atau pengaruh inovasi.
Merujuk pada teori Zaltman, dkk. bentuk inovasi birokrasi pada keraton dalam kategori
kesatu temasuk kategori inovasi yang tidak diprogramkan. Contohnya semenjak Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdiri dan Yogyakarta menyatakan diri menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka secara otomatis kedudukan Raja sebagai petinggi keraton
Yogyakarta merangkap sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini menyebabkan
dalam menjalankan pemerintahannya sebagai seorang gubernur dibantu oleh staf gubernur (di
bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sedangkan dalam menjalankan
pemerintahannya sebagai raja dalam lingkungan keraton, raja dibantu oleh abdi dalem.
Inovasi dalam kategori kedua yaitu inovasi struktural contohnya adanya pembagian pangkat
dan golongan pada abdi dalem. Kedudukan abdi dalem di dalam keraton disamakan dengan
pegawai negeri, di mana mereka juga digaji sesuai dengan pangkat dan golongan mereka.
Masing-masing bagian di kepalai oleh kepala bagian, yang bertanggung jawab penuh atas kinerja
anggota di bawahnya. Kinerja anggota dititik beratkan pada nilai-nilai kejawen, diantaranya tata
karma, sikap, tutur kata, perilaku, dan kepribadian yang mencerminkan orang Jawa yang
sesungguhnya. Abdi dalem di dalam keraton dibagi menjadi dua belas kelompok, yang masing-
masing kelompok bekerja dalam dua belas hari sekali. Gaji yang mereka terima disesuaikan
dengan pangkat dan golongan yang jumlahnya sangat sedikit. Berdasarkan informan yang kami
wawancarai, mengaku bahwa gaji beliau tidak seberapa, “seorang abdi dalem namung angsal gaji
sekawan ewu rupiah”. Menurut beliau gaji abdi dalem sekarang berbeda dengan gaji abdi dalem
pada saat pemerintahan Hamengku Buwono VIII. Pada saat pemerintahan Hamengku Buwono I-

12
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

VIII gaji abdi dalem masih bisa untuk menghidupi keluarganya. Mereka bekerja sebagai abdi
dalem semarta-mata sebagai wujud pengabdian terhadap Sultan, dan untuk “nguri-uri” budaya
Jawa (melestarikan budaya Jawa).
Semenjak Hamengku Buwono VIII mangkat, terjadi perubahan yang besar dalam keraton
yang mana bentuk perubahan tersebut dapat kita kategorikan dalam bentuk inovasi birokrasi
dalam keraton. Contohnya adalah dihapuskannya sistem upeti karena sudah terbentuk
karisedenan-karisedenan di Surakarta dan tidak digunakannya Patih dalam keraton karena pada
masa sekarang lebih mementingkan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan setiap
permasalahan (semua permasalahan ditangani langsung oleh Raja) sedangkan pada jaman dahulu
kekuasaan Raja adalah mutlak contoh yang lain adalah adanya perbedaan antara kegiatan raja
yang dahulu dengan sekarang. Pada jaman dahulu, kegiatan raja semata-mata hanya di kerajaan
sedangkan kegiatan Raja pada jaman sekarang merupakan perpaduan antara kegiatan di kantor
Gubernuran dan kegiatan di keraton.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan radikal pada keraton mulai
dari perubahan fungsi-fungsi pejabat-pejabatnya yang mengalami perubahan nama saja sampai
pada adanya proses difusi dalam sistem pemerintahan yang mengalami percampuran dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun terjadi percampuran antara Negara Kesatuan
republik Indonesia, diharapkan fungsi keraton sebagai pusat budaya Jawa tetap dijaga
keasliannya sebagai pusat budaya Jawa.
3. Profile Berdirinya nDalem Ngadiwinatan Suryoputran
nDalem Ngadiwinatan Suryoputran Yogyakarta, berdiri Pada tahun 1927, di daerah Alun-
alun Selatan, didirikan oleh SriS Sultan, yang semulanya ditempati oleh Pangeran, kemudian
ditempati oleh SMKI, sebelum tahun 1977, atau ± 1970-an. Kemudian ditempati Bidang Pemuda
(BIMUD) Propinsi Daerah Iatimewa Yogyakarta, pada tahun 1990-an, setelah itu digantikan dan
ditempati oleh Balai Pengembangan Pemuda Olahraga (BPPO) Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, pada tahun 2001-2009, setelah itu ditempati oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2009 –
sekarang, sebagai Perkantoran kerja.
4. Bentuk Bangunan nDalem Ngadiwinatan Suryoputran
a. Macam Bentuk Atap
Bentuk atap nDalem adalah atap gabungan antara
atap limasan dan joglo, dimana atap Joglo berada
dibagian tengah (central) dan diapit oleh atap limasan
di sekeliling kiri, kanan, dan muka belakang.
Bentuk Joglo, sebagai penutup ruang bagian
tengah. Dalam nilai rumah Jawa, bahwa ruang tengah
atau ruang bagian dalam ini disebut dengan gedongan,
dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin
salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai
tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Foto : 22. Bentuk atap nDalem

13
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur


utama yang dihormati dan pada waktuwaktu tertentu
dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-
anaknya.
Fungsi ruang tengah kini difungsikan sebagai
ruang perkantoran staf Kepemudaan dan Olahraga
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta semenjak tahun
2009-sekarang.
Rumah adat jawa tengah berbentuk rumah joglo,
Sebuah bangunan joglo yang menimbulkan interpretasi
arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di
antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Gambar: 3. Proyeksi.
Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi Sumber Peneliti 2010
atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di
ruang per ruang.
Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang
bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus
merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional.
Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah adat Kudus terdiri atas soko guru
berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang
telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur
utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.
Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni
konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan
manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur
rumah dengan gaya ini.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di tengah dan pintu
kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu
utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna
simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah
untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping
kanan dan kiri untuk besan.
b. Macam Bentuk Kolom
Bentuk kolom pada nDalem menggunakan kolom
ompak. Dengan bentuk hiasannya yang diambil dari
urutan huruf arab: mim - ” ”, ha – “ ”, mim, dan
dhal – “ ” (mohamad) yang distilisasikan

sedemikian rupa sehingga berbentuk hiasan bermotif Foto : 23. Bentuk kolom Dalem
padma, pada umpak, sebagai sitilisasi songkok pada Sumber peneliti 2010
umpak, menjadi motif sorotan pada tiang bangunan

14
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Gambar. 4. Proyeksi ruang


Foto. 25. Ruang Penyeimbang.
Sumber peneliti 2010 penyeimbang – sumber peneliti.2010

nDalem, yang mana kesemuanya itu untuk mengagungkan kuasa Nabi Mohamad.
Rangkaian huruf Arab: mim, ha, mim, dhal, serta huruf : ra, sin, wau, lam, aiif, lam, lam
dan ta simpul, dimaksudkan untuk menyebutkan : Mohammad Rasul Allah. Tulisan ini
distilisasikan sedemikian rupa sehingga berbentuk hiasan dengan motif putri mirong pada tiang.
Kolom pada rumah nDalem berjumlah genap. Hal ini merupakan tata aturan dalam
mendirikan rumah adat Jawa. Bahwa setiap rumah adat Jawa, jumlah kolom bangunan harus
genap, tidak boleh ganjil. Kolom rumah nDalem tersebut disusun sesuai dengan titik sudut,
sebagai keseimbangan.
Karena bangunan nDalem ini merupakan aliran arsitektur Jawa yang keseluruhannya
merupakan hasil dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, sehingga sistem keseimbangannya
dibentuk dengan kolom yang genap, dengan 4 kolom utama sebagai struktur di tengah sebagai
soko guru.
Soko guru atau juga bisa disebut saka guru, kedua sebutan ini juga mempunyai makna yang
sama.
c. Macam Bentuk Bukaan

Foto : 25. Bentuk Pintu kantor Foto : 26. Bentuk Pintu Kamar Mandi/WC
Sumber Peneliti 2010

15
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Pintu, berbentuk memanjang vertikal dengan bahan pintu terbuat dari kayu. Setiap pintu,
selain pintu kayu diluar, bagian dalamnya dilapisi dengan pintu kaca dengan bingkai dari kayu.
Pola bentuk pintu, berbentuk kotak, pada bagian atas
membentuk segi empat memanjang, sedangkan bagian bawa
berbentuk segi empat pendek.
Jumlah keseluruhan pintu pada bangunan nDalem
Ngadiwinatan Suryo Putran; 16 buah, dengan bentukkan
yang berbeda-beda, antara pintu pada ruang dalam bangunan
berbeda dengan pintu di kamar mandi/wc, maupun sebuah
pintu yang di bagian kiri bahannya terbuat dari kaca dengan
bingkainya dari kayu, pintu tersebut hanya berbeda dari
bahannya, namun bentuk tipenya menyerupai bentuk pintu
dalam bangunan lainnya.
Pada bagian atas pintu kamar mandi/wc, berbentuk
pelangi dengan ujung-ujungnya menyerupai anak panah, ini
melambangkan pelangi dengan bagian sebelah menyebelah Foto : 27. Bentuk Jendela
menuju ke titik tertentu yang menghubungkan adanya Sumber Peneliti 2010
kunjungan antara penguasa laut yang satu dengan penguasa
laut yang lain.
Bentuk jendela yang asli pada bangunan nDalem ini
adalah berbentuk segi empat memanjang, dengan bahan
adalah bagian lapisan luar dengan bahan utama kayu, yang
mana tidak tertutup semua, tetapi disusun dengan bercelah,
dengan tujuan sebagai ventilase. Selain dibagian luar yang
memakai kayu, pada lapisan dalammya menggunakan bahan
kaca dengan bingkai dari kayu.
Total jendela pada bangunan pangeran nDalem Foto : 28. Gerbang Utama
Ngadiwinatan Suryo Putran adalah; 8 buah, dengan Sumber Peneliti 2010
bentuknya yang sama, namun pada bagian sisi kanan, telah
mengalami perubahan ketika terjadi
gempa, sehingga telah digantikan
bahannya dengan kaca.
Pintu Gerbang utama ada satu buah.
Letak pintu utama langsung berhadapan
dengan Jalan utama alun-alun selatan.
Penutup pintu menggunakan kayu yang di
rakit dengan baut sehingga kuat. Umur
pintu ini seumur dengan umur bangunan,
dan bahan-bahannya pun juga masih tetap
awet hingga sekarang. Hanya saja Foto: 29. Gerbang sayap kiri dan Kanan
perawatannya yang selalu di cat, namun Sumber peneliti 2010
warna cat yang dipakai tetap mengikuti
16
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

warna awal yang di pakai semenjak didirikan bangunan tersebut.


Selain itu, dibagian sayap kiri dan kanan terdapat pintu gerbang. Pintu gerbang pada sayap
kiri dan kanan di apit dengan tembok yang dihubungkan langsung dari antara dinding bangunan
dan tembok pagar. Bahan pintu terbuat dari kayu jati. Semu pintu nDalem terdiri atas dua daun
pintu yang berbentuk kupu tarung (kupu yang sedang kelai) jika dibuka. Kedua gerbang tersebut
salah satunya, yang terletak di sayap kanan telah mengalami perbaikan pasca gempa, sedangkan
gerbang pada sayap kiri tetap seperti bentuk terdahulu lengkap dengan daun pintu dan bahan-
bahannya. Walaupun mengalami patahan pada bagian dindingnya, namun sudah di
perbaiki/renovasi.

d. Macam Bentuk Ventilasi

Foto : 30. Bentuk-Bentuk Ventilasi. Sumber Peneliti 2010

Bentuk-bentuk ventilasi pada bangunan nDalem pangeran Ngadiwinatan suryoputran,


membentuk lengkung, persegi empat dengan dihiasi bentukkan ornament, dan bergaris.
e. Macam Bentuk Motif
1. Motif Dinding

Foto : 31. Bentuk Motif Dinding. Sumber Peneliti-2010


Pada umumnya dinding nDalem Ngadi Winatan berbentuk polos, dan mengalami relief
pada bagian puncak atas yang berbatasan dengan plafond, dan batasan bawah dengan lantai
dan pondasi, sedangkan bentuk yang lain dengan relief yang menonjol ke dalam dengan
berbentuk garis horizontal dan vertikal pada bagian bukaan (Pintu, Jendela, Ventilasi).

17
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

2. Motif Kolom
Motif-motif kolom ada yang polos dan ada yang bermotif. Kebanyakan kolom yang bermotif
pada bagian kaki, dengan berwarna kehitaman, umpak. Sedangkan pada bagian yang lain, dapat
kita jumpai dibagian tengah dan bagian atas/kepala dengan warna putih.

Foto : 32. Bentuk Motif Kolom. - Sumber Peneliti-2010


3. Motif Langit-langit

Foto : 33. Bentuk Motif plafond. - Sumber Peneliti 2010

Motif lagnit-langit didominasi oleh persegi empat untuk plafond ruang lainnya, yang
dibatasi dengan gari-garis vertikal dan horizontal dan berbentangan dengan garis finis pada
bagian ujung dinding. Sedangkan pada ruang penyeimbang, bentuk plafondnya persegi
empat yang diapit oleh Brunjung, motifnya berbentuk Bintang di bagian tengah sebagai
sentral, dan dibagi dengan tumpang sari serta dikelilingi oleh garis dan motif bunga pada
ujung akhir 4 sisi. Bentuk ini terdiri atas dua plafond, yang mana pada bagian tengah dibagi
oleh penangkur, yang diukir berbentuk gugungan atau Kayon. Bentuk bintang tersebut
masing-masing yang berada dibagian kiri dilihat dari depan, tertuliskan tahun, sedangkan
pada bagian kanan dituliskan huruf arab.

18
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

4. Motif Kuda-kuda

Foto : 34. Bentuk Motif Kuda-Kuda. Sumber Peneliti-2010

f. Macam Bentuk Ornament


1. Ornament Langit-langit

Foto : 35. Bentuk ornament plafond. Sumber Peneliti-2010

Tidak semua langit-langit diberi ornament. Kita hanya dapat menjumpai ornament
pada langit-langit ruang
penyeimbang, yang ditutupi
dengan atap Joglo. Baik plafond
maupun brunjung, diberi ornament.
2. Ornament Tembok Pagar
Ornament pagar diistilasi dari
ragam hias semacam kaligrafi yang
diambil dari huruf Arab yang
dirangkum menjadi wujud hiasan Foto : 36. Bentuk ornament Pagar.
ornament. Pada bagian tembok Sumber Peneliti-2010
nDalem, kita akan temukan
ornament yang berwujudkan bunga padma sebagai symbol 4 penjuru angin dan buah
labuh (labu) sebagai lambang kata Allah. Kata Allah diambil dari kata waluh atau

19
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

waloh yang sebutannya mirib seperti sebutan Allah dalam bahasa Arab. Hiasan tersebut
ditempatkan sebagai ujung pilar pada bangunan pagar (tembok) dilingkungan halaman
nDalem.

3. Ornament Gerbang

Foto : 37. Bentuk ornament Pintu. Sumber Peneliti-2010

4. Ornament Kolom

Foto : 38. Bentuk ornament Koloum. Sumber Peneliti-2010

5. Ornament Listplank

Foto : 39. Bentuk ornament listplank. Sumber Peneliti-2010

20
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

g. Bahan – bahan Bangunan


1. Bahan Atap

Foto : 40. Bahan Atap. Sumber Peneliti-2010

Bahan utama penutup atap nDalem Ngadiwinatan Suryoputran adalah Genteng, dan
ditambahkan dengan atap senk pada bagian sosoran pematah sinar matahari dibagian jendela
dan ventilasi.

2. Bahan Dinding
Bahan dinding nDalem, menggunakan tembok yang tersusun dari bahan Bata, semen,
pasir, dan cor-coran.

3. Bahan Lantai

Foto : 41. Bahan Lantai. Sumber Peneliti-2010

21
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

4. Bahan Plafond

B
Foto : 42. Bahan Plafond. Sumber Peneliti-2010

Bahan plafond menggunakan kayu, pada ruang penyeimbang yang beratap Joglo,
sedangkan pada bagian ruang lainnya menggunakan bahan plafond dari Triplek.
5. Bahan bukaan

Foto : 43. Bahan bukaan. Sumber Peneliti-2010

Bahan bukaan pintu, Jendela dan Ventilasi, terdiri atas Kayu, Kaca dan beton. Untuk
pintu dan Jendela, menggunakan kayu dan kaca, sedangkan untuk ventilasi ada yang
menggunakan Beton dan ada yang menggunakan kaca.

h. Bentuk Bangunan nDalem Ngadiwinatan Suryoputran


Bentuk denah nDalem Ngadiwinatan Suryoputran adalah persegi empat memanjang.
Bentuk tata ruang terdiri atas dua belas (12) kamar yang kini digunakan oleh BPPO Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut lihat Pada Gambar Denah.

22
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Foto: 44 Foto: 45 Foto: 46


Tampak Samping Kiri Tampak Belakang Tampak Samping Kanan

Gambar: Denah

Foto: 48
Bentuk Ornament Pada
Sosoran Bagian Kiri
Foto: 47
Tampak Depan
Sumber: Peneliti, 2010
Organisasi Ruang
1. Teras depan 8. Ruang Kepala
2. Ruang tengah penyeimbang/ruang staf 9. Ruang Kabag. TU.
3. Ruan sidang 10. Ruang Kasub. TU.
4. Ruang staf kepala 11. Ruang Kepala Umum
5. Ruang staf dan magang 12. Teras Belakang
6. Ruang seksi pemuda dan olahraga 13. Teras Kanan
7. Rung Kepala Pemuda dan Olahraga 14. KM/WC

B. ARSITEKTUR RUMAH RAKYAT


1. Rumah Rakyat Bentukkan Joglo
Bangunan rumah tradisional Jawa termasuk diklasifikasikan sesuai dengan stratifikasi
kedudukan. Pada bagian awal, telah kita bahas tentang rumah nDalem Ngadiwinatan Suryoputran,

23
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

sebagai bangunan kelas menengah. Berikut ini kita akan


uraikan bangunan rumah tradisional Jawa khusus hunian
rakyat biasa.
Perbedaan utama pada bangunan rumah rakyat biasa
dan rumah hunian bagi strata menengah sebagai berikut:
Tata ruang lebih banyak untuk rumah strata menengah,
bentuk dan ukuran bangunan lebih besar untuk rumah
menengah, untuk bangunan strata menengah lebih
komplit dan elit dibanding dengan rumah rakyat, jenis
dan mutu bahan bangunan untuk rumah strata menengah
lebih mahal dibanding rumah rakyat biasa. Foto 49. Bangunan Rumah Rakyat
Rumah ini berlokasi di jl. Laksda Adi Sucipto Biasa - Sumber Peneliti - 2011
Yogyakarta berfungsi sebagai tempat menyimpan
koleksi barang-barang antik yang salah satunya terlihat
didepan rumah tersebut yaitu lesung.
Rumah ini didirikan tahun 2007 dengan menyusun
beberapa elemen dari berbagai rumah yang ditata
sedemikian rupa sehingga menjadi utuh dan membentuk
sebuah rumah dengan gaya klasik jawa.
Hal ini dapat dilihat dari perbedaan secara visual
antara tiang yang berada diteras dengan dinding bagian
depan. Terlihat dengan jelas bahwa usia kayu tersebut Foto : 51. Tampak Kontradiksi antara
terpaut jauh. bangunan Tradisional dengan
Demikian juga jika dilihat dari bentuk lisplanknya moderen – Sumber data Peneliti - 2010
menunjukkan perbedaan waktu pembuatannya, karena
lisplanknya terlihat lebih using dibandingkan dengan dinding bagian depan rumah.

Foto 52. Konstruksi Foto 53. Kolum dan Ukiran Foto 54. Pedestal –
Pengaku dan ukiran – – Sumber data Peneliti 2011 Sumber data Peneliti 2011
Sumber data Peneliti 2011

24
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Rumah berikut ini terletak di Jl. Ngeksigondo


Yogyakarta Dibangun sekitar tahun 1921. Seluruh
kayu yang dipakai Adalah kayu jati dengan Kualitas
yang sangat bagus. Terbukti meskipun usianya Sudah
90 tahun namun rumah tersebut tetap kokoh. Langgam
arsitektur jawa Sangat kental terlihat pada bentuk atap
joglo dan ornamen-ornamen yang ada pada tiang dan
bubungan atap. Jika diperhatikan ornamen pengaku
pada tiang hampir sama dengan ornamen pada tiang
rumah yang berada di Jl. Laksda Adi Sucipto.
Kemungkinan ornamen seperti itu sedang populer pada
jamannya. Foto : 56. Bentuk arsitektur Jawa yang
Menurut pemiliknya, rumah ini sudah dihuni oleh kental. Lihat atap – sumber peneliti 2011
tiga gnerasi dan belum pernah mengalami renovasi yang berarti termasuk saat terjadi gempa tahun
2006. Berdasarkan survey memang rumah kayu lebih
tahan terhadap gempa dibanding dengan rumah yang Foto. 57. Dinding dari Kayu Jati.
terbuat dari batu bata. Sumber data penelti - 2011
Dinding dari kayu jati dibiarkan tanpa finishing cat
maupun politur. Lantai rumah dibiarkan terbuat dari tanah tanpa penyelesaian layaknya rumah-rumah
pada masa sekarang yang kebanyakan menggunakan perkerasan.

Foto. 58. Tumpang Sari pada Langit-Langit


dengan ukiran. Sumber data peneliti, 2011

Tumpang sari yang bersusun tujuh trap dengan ukiran terbuat dari kayu jati dan sudah dipolitur.
Biasanya jumlah susunan tumpang sari dapat menunjukkan status sosial dari pemiliknya. Semakin
banyak susunannya maka semakin kaya pemiliknya.

25
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

2. Rumah Rakyat Berbentuk Limasan


Rumah tinggal ini terletak di Dukuh Kledokan Desa Catur tunggal Kecamatan Depok
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Menurut pemiliknya, Bapak Sumarto, rumah ini didirikan pada tahun
1956 dan telah mengalami perbaikan dua kali. Yang
pertama adalah pada tahun 1972 perbaikan terhadap
dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Mengingat anyaman bambu jika dipakai untuk
dinding luar dan tidak diberi pengawet akan cepat
rusak.
Perbaikan yang kedua yaitu pada tahun 2006
saat gempa melanda Yogyakarta. Perbaikan yang
kedua kalinya meliputi dinding dan usuk serta reng
yang semuanya terbuat dari bambu. Tidak terdapat
ornamen-ornamen khusus pada rumah ini
dikarenakan pemiliknya menjaga keaslian dari
bentuk semula yang mempunyai arti sejarah yang Foto. 59. Rumah Rakyat Bentuk
sangat berkesan ketika rumah tersebut masih dihuni Limasan – Sumber data Peneliti 2011
bersama orang tua Bapak Sumarto. Disamping rumah
terdapat tambahan ruangan dengan inding seng untuk dijadikan dapur dan kamar mandi. Bentuk
atapnya limasan, kuda- kuda pelana. Konstruksi utama terbuat dari kayu jati dan kayu glugu.
Bentuk arsitektur tradisional Jawa semacam ini, kebanyakan ditemukan di desa-desa dan
pemiliknya adalah masyarakat yang tergolong ekonomi lemah, atau kadang disebut sebagai
masyarakat miskin dan masyarakat kampong. bentuk-bentuk bangunan khas Jawa yang kental, tidak
dijumpai pada wajah tata ruang kota, akan tetapi kebanyakan tersembunyi dibalik cengkeraman dan
kemegahan gedung-gedung bergaya asing yang berdiri megah mendominasi wajah perkotaan di Jawa.
Mungkin sebaiknya konsep penataan ruang Jawa harus menampilkan sebanyak-banyaknya citra
Jawa dengan arsitektur Jawa. Walaupun kelihatannya terlambat, namun setidaknya di daerah-daerah
perkampungan yang baru beranjak menuju perkembangan, sudah harus diterapkan konsep ini sebagai
fondasi awal menuju daerah pemerdekaan karakter sendiri yang diharapkan menambah citra
kejawaan.
Disadari bahwa, semakin manusia berkeinginan untuk maju, disaat itulah ia mulai melakukan hal-
hal yang menunjukkan kemajuannya. Masyarakat Jawa kini sedang dan sudah dalam proses semacam
ini. Oleh karena itu, maka terjadilah perubahan dalam perkembangan berarsitektur mereka. Orang
Jawa sudah melakukan sedikit demi sedikit perubahan, dan kelihatan jelas pada arsitektur yang begitu
terlupakan. Dengan kecenderungan ingin mengikuti gaya hidup bangsa lain terutama gaya hidup
kebarat-baratan, maka kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa kini dalam proses Penetrasian.
Secara Sadar dan tidak sadar, hal ini sedang berjalan dan sedang menyusup masuk kedalam jantung
sosial budaya Jawa, dan kelihatannya sudah merasuki pemikiran masyarakat Jawa sebagai Manusia
Jawa yang berkarakter Jawa sedang mengalami penurunan hakekat Kejawaannya. Ini akan berakibat
pada kehilangan bentuk dan gaya, baik bagi masyarakat Jawa maupun masyarakat tradisional lainnya
di Nusantara bahkan suku bangsa di benua lainnya. Untuk perkembangan arsitektur Jawa, lihat
perkembangan dan perubahannya pada analisis berikut.

26
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Perkembangan Bentuk-bentuk arsitektur tradisional Jawa dan perubahan


sumber analisis peneliti 2011
Foto 60: Bentuk Asli Rumah Joglo Foto 61: Bentuk Transisi Rumah Joglo. Foto 62: Bentuk Moderen
menggunakan bahan Kayu Mengalami perubahan pada bahan, warna Rumah Joglo. Mengalami
dan tata ruang. Perubahan pada bahan bangunan
dari kayu dan warna tradisional
menjadi bentuk yang inofatif.

PERKEMBANGAN
ARSITEKTUR
TRADISIONAL JAWA

Foto 65: Bentuk Moderen


Foto 64: Bentuk Transisi Rumah Limasan. Rumah Limasan. Mengalami
Foto 63: Bentuk Asli Rumah Limasan Mengalami perubahan pada bahan, warna Perubahan pada bahan
menggunakan bahan Bambu (gedeg) dan tata ruang. Bangunan dari kayu dan warna
tradisional menjadi bentuk yang
inofatif

27
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

DAFTAR PUSTAKA

Atmadi, P. 1979. Beberapa patokan perencanaan bangunan candi. Yogyakarta: Universitas gajah Mada,
Disertasi, Fakultas Teknik, 1984. Apa yang Terjadi Pada Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Lembaga
Javanologi. Dakung, S. 1981. Arsitektur tradisional daerah Istimewa Yogyakarta. Proyek
Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan.
Eliade, M. 1959. The Sacred and the Profane.The nature of the religion. Diterjemahkan oleh
Willard R.Trask.A. New York: Harvest Book, Harcourt, Brace& World,Inc.
Hamzuri, ......., Rumah tradisional Jawa. Proyek Pengembangan Permusiuman DKI. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan kebudayaan.
Ismunandar, K.R. 1986. Joglo,Arsitektur rumah tradisional Jawa. Semarang: Dahara Prize. Lombard, D.
1999. Nusa Jawa: Silang budaya, warisan kerajaan-kerajaan konsentris.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Munitz, M.K. 1981. Space, Time and Creation: Philosophical aspects of scientific cosmology.
New York: Dover.
Priyotomo, J. 1984. Ideas and forms of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Santosa, R.B. 2000. Omah, membaca makna rumah Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Selosumarjan. 1962. Social changes in Yogyakarta. Ithaca: Cornell University Press.
Suseno, M.F. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Orang Jawa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Setiawan, A.J. 1991. Rumah tinggal orang Jawa;Suatu kajian tentang dampak perubahan wujud arsitektur
terhadap tata nilai sosial budaya dalam rumah tinggal orang Jawa di Ponorogo. Jakarta:
Universitas Indonesia, Tesis.
Berke, D. (1997). Thoughts on The Everyday. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.),
Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture
of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.
Fausch, D. (1997). Ugly and Ordinary: The Representation of the Everyday . Dalam Harris, S. dan
Berke, D. (Ed.), Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.), Architecture of the
Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Lefebvre, H. (1997). The Everyday and Everydayness. Dalam Harris, S. dan Berke, D. (Ed.),
Architecture of the Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Catanese, A. J. & Snyder, J. C. (1991). Pengantar Arsitektur. Jakarta: Penerbit Erlangga
O’Gorman, J. F. (1997). ABC of Architecture. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
28
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

Rasmussen, S. E. (1964). Experiencing Architecture. Cambridge: The MIT Press.


Shepheard, P. (1999). What is Architecture? Cambridge: The MIT Press.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.
Berke, D. (1997). Thoughts on The Everyday. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.),
Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Steven Harris dan Deborah Berke (Ed.), Architecture
of The Everyday. New York: Princeton Architectural Press.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.
http://juanfranklinsagrim.blogspot.com
http://www. Hamah.socialgo.com
Google terjemahan bebas, tentang kebudayaa, arsitektur, kota.

29
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

TENTANG PENULIS

Juan Frank Hamah Sagrim, Lahir di lembah perbukitan Hamah Yasib,


Kampung Sauf, Distrik Ayamaru, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, pada
06 April 1982. Ayah Nixon Sagrim (alm) dan Ibu Marlina Sagrim/Sesa.
Orang tua bekerja sebagai Penginjil di lingkungan Klasis GKI Maybrat,
dan tenaga Medic Klasis GKI Maybrat. Hamah adalah anak Kedua dari
empat Bersaudara, (Jeremias, Daud Itas, dan Desi Sah Bolara).
Pendidikan: SD Bethel Sauf, SLTP N1 Ayamaru, SMA YPK 1
Ebenhaezer Sorong. Melanjutkan Kuliah di Institut Teknologi Adhi Tama
Surabaya “ITATS” Jurusan Teknik Arsitektur, pindah dan
Melanjutkannya di Universitas Widya Mataram Yogyakarta, 2006, pada
Jurusan yang sama. Aktivitas Ekstra: Menjadi Tutor Pelatihan Mengetik
10 jari bersama Missionaris Jerman Tn. Hesse dkk. Di wilayah Maybrat,
Imian, Sawiat, Tehit, thn.2000. Sekretaris Ikatan Mahasiswa Papua se-
Jawa timur Surabaya, 2004, Menjabat Ketua Ikatan Mahasiswa Papua se-
Jawa Timur 2005. Anggota Ikatan Arsitektur Asia Pacific 2003. Anggota Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) 2004. Team Perumusan Metode Belajar Mengajar Nusantara bersama
Dirjen Pendidikan Tinggi RI 2006. Menjabat Koordinator Mahasiwa Arsitektur Asia Pacific Rayon II
Indonesia Bagian Tengah DIY 2006-2008. Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
2008. Menjabat Ketua Asrama Mahasiswa Papua 2008. Menjabat Direktur Program Lembaga Study
Papua (LSP) 2007-2008. Anggota Luar Biasa University Harytake program UNESCO 2007-2008.
Menjabat Sekretaris Umum Lembaga Intelektual Tanah Papua 2009-sekarang. Peneliti Tamu bidang
lintas Budaya (researcher of cross culture) pada Yayasan Pondok Rakyat (YPR) DIY 2008-2009.
Civitas Yayasan STUBE-hemat Yogyakarta 2007-sekarang. Tenaga Pengarah kerja pada
perkumpulan seniman rantau di Yogyakarta 2009-sekarang. Agen Informan GRIC dan Pax Roman
2008-2010. Anggota International Working Group (IWG) for Asia Africa to Globalization 2009-
sekarang. Staf Ahli pada Team Peneliti dan Pemerhati Arsitektur Tradisional Nusantara UWMY,
2010. Peneliti Lepas dan Penulis. Ketika Menulis Buku ini, masih aktif Sebagai Mahasiswa
Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Berkeinginan besar sebagai Peneliti dan Ilmuwan Muda.

Beberapa Karya Tulis adalah:

• Makalah Ilmiah “ Kajian Tentang Keterkaitan Seni Budaya


Etnic Negro Melanesoid Papua Dan Negroid Afrika”, 2009.
“Karya ini merupaka karya yang luarbiasa baginya daripada karya yang lain”

Karya yang sudah diterbitkan adalah:


30
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

HISTORY OF GOD IN TRIBALS RELIGION


KISAH TUHAN DALAM AGAMA SUKU
RAHASIA THEOLOGIA TRADISIONAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA
Wiyon-wofle
DIPARALELKAN DENGAN ALKITAB

Beberapa karya Tulis yang belum diterbitkan adalah:


1. Arsitektur Tradisional suku Maybrat Imian Sawiat Papua “Halit-Mbol Chalit” dalam
Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Dengan Usulan Konsep Desain dari Bentuk Tradisional
ke Bentuk Moderen. “sebagai suatu kajian ethno arsitektur”.
2. Sistem Kepemimpinan dan sistem Politik tradisional suku Maybrat, Imian, Sawiat “Ra Bobot-Na
Bobot-Big Man” dan Pengaruh Wanita Maybrat, Imian, Sawiat, Terhadap Lingkungannya .
3. Menyelamatkan Hutan Adat Papua Sebagai Suplai Oksigen Terbesar Dunia, dengan usulan
konsep dan rekomendasi agar dalam pernyataan Protokol Kyoto mencanangkan pola penanganan
tata laksana lingkungan hidup untuk mengatasi Global warming dengan sistem communal.
4. Mengapa Orang Papua Diprediksikan akan Punah Pada tahun 2030?
5. Tata Bahasa Maybrat. Disusun Dalam Bahasa Indonesia – Inggris –Maybrat.
6. Penuntun Untuk Berpikir Bijaksana “The Bigest Thingking”.
7. Bamboo in the socio cultural living society of Java - Kegunaan Bambu dalam kehidupan sosial
budaya masyarakat Jawa
8. Teori Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat
9. Pengaruh Arsitektur Terhadap Fenomena Lingkungan Alam
10. Pendidikan Tradisional Wanita Maybrat, Imian, Sawiat - “Finya mgiar”.

Kini sedang mempersiapkan penyusunan buku barunya, yaitu:


1. ENCYCLOPEDIA ADAT ISTIADAT BUDAYA MAYBRAT
2. KAMUS BAHASA MAYBRAT

Makalah-makalah kajian lain adalah:


1. Menguak Imunity Rasial Diskriminasi Terhadap Orang Papua (Makalah Konferensi Asia-
Afrika) disampaikan pada “International Conference of 55 th. Asia – Africa Sustainabelity”,
Thaksin University-Mindanao, Moro, Philipines; March, 2009; UI Depok Jakarta, Oktober, 2009.
2. Benturan budaya lokal negara non kapitalisme dengan budaya global negara kapitalisme
(Makalah Simposium) – disampaikan pada “Simposium nasional”. Kebudayaan dan
keeksistensian local wosdom sebagai tatanan bangsa, UGM, Yogyakarta, Juni, 2008.
3. Pandangan Kontemporer Papua tentang keindonesiaan (Makalah Dialog) - disampaikan pada
“Dialog Nasional, Ketahanan Negara”, UC UGM, Yogyakarta, July, 2010.
4. Usaha Melepaskan Papua Dari Cengkeraman Asing (Makalah Seminar Nasional)- disampaikan
pada “ National Seminary”, UPI Bandung, September, 2009.
5. Penyusunan Metode Belajar Mengajar Nusantara Bersama DIKTI, (Makalah Pembelajaran,
Student Equity), Quality Hotel Yogyakarta April, 2006.

31
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito
Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Moderen n

6. Peran Pemuda Dalam Memajukan Bangsa (Makalah Dialog), disampaikan dalam “Dialog
Pemuda Nasional Regional II Indonesia Bagian Tengah”, Gedung Negara Gubernur Yogyakarta,
Oktober, 2006.
7. Apa Peran Gereja di Tengah Pergolakan Umat Manusia di Tanah Papua (Makalah Diskusi),
disampaikan dalam “Saresehan LITP”, Pogung Rejo Yogyakart, September, 2010.
8. SAVING EARTH’S HAS INTEGRAL LIFE SYSTEM: Can Asian-African Visions Rescue
Biodiversity from the West-born Globalization? (Makalah Konferensi) disampaikan dalam
“Comemoration 55th. Asia-Afrika Conference”, Yogyakarta Indonesia, October, 25-27, 2010 -
Rabat Moroco 23-25 Nopember, 2010.
9. Indegenous People In Papua and Asia Religion: DIVERSITY IN GLOBALIZED SOCIETY.
(Makalah Konferensi) disampaikan dalam “The Role of Asia and Africa for a Sustainable
World 55 Years after Bandung Asian-African Conference 1955. Asia – Africa Summit,
Yogyakarta-Molucas Nopember, 2010.
10. Kajian Kritis Tentang Pasar Bebas dan Pengaruhnya terhaap Ketahanan Negara non
Kapitalisme. Kliping Pribadi, 2009
11. Pendidikan Zaman Pendudukan Bangsa Asing di Papua. Kliping Pribadi, 2010.
12. Pranata Kehidupan Negara Berkembang. Kliping Pribadi, 2009.
13. Struktur Fungsional Dominasi Budaya Kapitalisme. Kliping Pribadi, 2008.
14. Memaknai Arsitektur Nusantara Sebagai Kearifan Lokal Di Era Globalisasi. Kliping Pribadi,
2010.
15. Difusi Ajaran dan Pemikiran Kristen Dalam Konstelasi Kristen di Tehit, Maybrat, Imian,
Sawiat, Papua. Kajian sejarah. Kliping Pribadi, 2007.
16. Evolusi Pemikiran Pembangunan. Kliping Pribadi, 2007.
17. Kajian Kritis Tafsiran Yesus Kristus – Isa Almaseh dari Alkitab dan Al-Quran. Kliping
Pribadi, 2009.
18. Refleksi Kehidupan Masyarakat Plural Moderen dan Majemuk Papua. Kliping Pribadi, 2010.
19. Sejarah-Sejarah Alkitab dan yang berkaitan dengan Kejadian dalam Alkitab. Kliping Pribadi,
2008.
20. Transisi Masyarakat Tradisional Indonesia. Kliping Pribadi, 2009.
21. Teori konvergensi dan Pertumbuhan Ekonomi. Kliping pribadi, 2007.
22. Arsitektur Tradisional dalam RENSTRA Pengembangan tata ruang kota berbasis kebudayaan
lokal. Kliping pribadi, 2008.
23. Usulan teori dalam berarsitektur; Rasionansi Arsitektur, dan Empirisme arsitektur.
Kliping Pribadi, 2011.

32
J.F.Hamah Sagrim & Mei Edi Mujito

You might also like