You are on page 1of 2

GEMPA BUMI DAN ANTISIPASI KITA

Untuk kesekian kalinya, bumi Pertiwi dilanda bencana gempa bumi. Kali ini gempa
mengguncang kota Padang dan kota-kota sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat. Ratusan
warga meninggal dunia, ribuan luka-luka, sementara kerusakan harta-benda akibat bencana
ini tak terhitung nilainya. Belum lagi trauma kejiwaan, kesedihan dan nestapa warga yang
kehilangan anggota keluarga, sanak saudara, serta rumah yang selama ini mereka tinggali.
Seperti saat terjadi gempa-gempa bumi sebelumnya, banyak di antara kita yang terkejut,
prihatin, sekaligus menyesali banyaknya korban yang meninggal dunia. Bagaimanapun,
bencana gempa yang terjadi berturut-turut di berbagai wilayah, dengan korban harta dan jiwa
yang cukup besar, membuat bangsa ini selalu dirundung duka. Namun sayang, semua
keprihatinan itu belum mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat secara mendasar
dalam menghadapi gempa bumi. Kita baru mampu melakukan tindakan kuratif atau
penanggulangan dampak setelah gempa melanda, sementara tindakan preventif-antisipatif
belum diterapkan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari.
Harus diakui, reaksi masyarakat terhadap dampak bencana gempa bumi sangat positif.
Hanya berselang satu hari setelah gempa terjadi, sumbangan dalam bentuk uang, makanan,
pakaian maupun barang dari berbagai pihak terus mengalir ke Sumatera Barat. Hal tersebut
menunjukkan bukti bahwa masyarakat sangat peduli untuk membantu meringankan beban
mereka yang sedang menderita. Hanya saja, tindakan itu belum diimbangi dengan kesadaran
bahwa kekuatan gempa bumi tidak bisa dilawan oleh manusia, sehingga diperlukan sikap
mengalah untuk menang. Mengalah dalam arti mempersiapkan kondisi yang kondusif bagi
berlangsungnya gempa bumi, bukan sebaliknya melawannya dengan tindakan yang tidak
selaras dengan sifat-sifat gempa bumi.
Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya berada di dalam ring of fire atau lingkar
gunung api dunia dan berada persis di patahan lempeng bumi yakni lempeng Australia dan
Eurasia—dimana keduanya merupakan faktor utama pencetus gempa bumi—sepantasnyalah
bangsa Indonesia menganggap bahwa terjadinya gempa bumi merupakan sebuah
keniscayaan. Seyogyanya pula bangsa Indonesia membangun bangunan yang tahan gempa,
sehingga saat bencana yang sama terjadi lagi, jumlah korban bisa diminimalisasi. Namun
kenyataan menunjukkan, di sejumlah daerah yang jelas-jelas termasuk wilayah rawan
gempa, masyarakat justru mendirikan bangunan yang tidak tahan guncangan. Konstruksi
beton yang masif dan kaku menjadi pilihan, karena dipandang lebih murah, kuat dan sesuai
dengan tren desain modern. Namun diakui maupun tidak, tren membuat bangunan beton—
apalagi persyaratan teknisnya tidak diterapkan secara baik—adalah salah satu bentuk
perlawanan terhadap sifat-sifat gempa yang lebih selaras dengan tipe bangunan yang elastis
dan dinamis.
Kendati sebagian besar penduduk Indonesia sadar bahwa mereka tinggal di daerah rawan gempa, akan tetapi jumlah
warga yang secara khusus mendesain tempat tinggal yang tahan guncangan dapat dihitung dengan jari. Ironisnya,
rumah-rumah tradisional yang sejatinya didesain oleh nenek-moyang agar tahan guncangan, justru menghilang dari
khazanah arsitektur Indonesia. Blunder ini pada akhirnya membawa petaka, banyak rumah beton yang rubuh manakala
diguncang gempa berkekuatan besar.
Fakta tersebut sesungguhnya dapat difahami, karena rumah beton—kendati lebih kuat—namun fleksibilitasnya di
tengah guncangan sangat rendah. Apalagi rumah beton yang desainnya tidak memenuhi standar, misalnya tidak disertai
blok-blok beton cor bertulang besi sebagai penunjangnya, kemampuannya menahan daya tarik dan daya tekan sangat
rendah. Kita bisa melihat, hampir 80% rumah yang rubuh saat gempa di Padang Yogyakarta beberapa waktu lalu adalah
rumah beton, sementara sebagian besar rumah-rumah tradisional dari kayu masih berdiri, kendati ada kerusakan pada
atap dan dinding-dindingnya.
Probabilitas terjadinya gempa bumi di Indonesia masih sangat besar, dan jangan lupa, tidak seorangpun dapat
meramalkan kapan gempa tersebut akan terjadi. Maka sangat naif jika bangsa Indonesia terus mendirikan bangunan
yang tidak tahan gempa, khususnya rumah-rumah beton alakadarnya, sebagaimana yang dilakukan sebagian besar
masyarakat saat ini. Tindakan tersebut sama saja dengan mengabaikan keselamatan diri sendiri.
Sekali lagi, kita tidak bisa melawan kekuatan gempa bumi. Sebaliknya, kita seharusnya bersahabat dengan gempa.
Salah satu cara yang paling rasional adalah dengan membangun rumah tahan gempa. Soal desain, kita memiliki
puluhan jenis rumah tradisional yang sebagian besar tahan gempa. Tinggal bagaimana menyesuaikan desain tersebut
dengan kebutuhan dan mode masa kini (g).

Berbagai gempa bumi berskala di atas 6 Skala Richter (SR) seperti yang terjadi di Aceh dan
Nias, Bengkulu, Pangandaran, Tasikmalaya, semua membawa korban yang cukup besar.
Bahkan gempa Yogyakarta yang ‘hanya’ 5,9 SR pun menelan ko
rban jiwa sampai ribuan orang. Kebanyakan korban meninggal dunia akibat tertimpa
reruntuhan bangunan tempat tinggal yang menurut para pakar sebagian besar berkonstruksi
beton non standar atau beton sederhana.
Bandingkan dengan gempa berkekuatan 7,1 SR yang terjadi di Ishikawa Jepang pada 2007,
yang hanya menewaskan sekitar sepuluh orang. Bahkan gempa ini hanya merubuhkan
puluhan rumah saja. Hal tersebut bukan semata-mata karena kuat-lemahnya guncangan,
akan tetapi lebih terkait dengan bagaimana perilaku masyarakat setempat dalam mendirikan
bangunan yang selaras dengan tabiat gempa bumi.

You might also like