You are on page 1of 12

Hubungan Etika Dengan 

Ilmu
10 Februari 2010administratorTinggalkan komentarGo to comments
(Daldjoeni dalam Jujun, 1987 hal. 233 ~ 236)

Tulisan ini menyajikan hubungan antar etika dan ilmu, dimana etika lengket dengan ilmu. Sesungguhnya bebas
nilai atau tidaknya ilmu merupakan masalah rumit, yang tak mungkin dijawab dengan sekedar ya atau tidak.
Mereka yang berpaham ilmu itu bebas nilai menggunakan pertimbangan yang didasarkan atas nilai diri yang
diwakili oleh ilmu bersangkutan.

Bebas disitu berarti tak terikat secara mutlak. Padahal bebas dapat mengandung dua jenis makna. Pertama,
kemungkinan untuk memilih; keduanya, kemampuan atau hak untuk menentukan subyeknya sendiri. Disitu harus
ada penentuan dari dalam bukan dari luar.

Dengan penggulatan masalah di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa dua paham yang berbeda itu tak perlu

dilihat sebagai suatu pertentangan.


Fase empiris rasional
Di zaman Yunani dulu, Aristoteles mengatakan bahw ilmu itu tak mengabdi kepada pihak lain. Ilmu digulati oleh
manusia demi ilmu itu sendiri. Sebagai latar belakangnya dikenal ucapan:Primum vivere, deinde philosophari yang
artinya kira-kira: berjuang dulu untuk hidup, barulah boleh berfilsafah. Memang, kegiatan berilmu barulah
dimungkinkan setelah yang bersangkutan tak banyak lagi disibukkan oleh perjuangan sehari-hari mencari nafkah.
Pendapat orang, kegiatan berilmu merupakan kegiatan mewah yang menyegarkan jiwa. Dengan demikian orang
dapat memperoleh banyak pengertian tentang dirinya sendiri dan dunia di sekelilingnya. Menurut faham Yunani,
bentuk tertinggi dari ilmu adalah kebijaksanaan. Bersama itu terlihat suatu sikap etika.

Di zaman Yunani itu etika dan politik saling berjalan erat. Kebijaksanaan politik mengajarkan bagaimana manusia
harus mengarahkan negara. Sebaliknya ilmu tak dapat mengubah apa-apa, baik yang ada maupun yang akan
datang. Pada masa itu, ilmu adalah sekedar apa yang dicapai; ilmu tak dirasakan sebagai suatu tantangan.

Tugas suatu generasi terbatas pada mencapai ilmu tersebut, untuk kemudian diteruskan kepada generasi
berikutnya. Belum ada tuntutan supaya sebelum ilmu diteruskan harus terlebih dulu dikembangkan. Baru sejak
abad ke-17 ilmu giat dikembangkan di Eropa; orang juga mencari apa tujuan sebenarnya dari ilmu. Dengan itu
fase yang sifatnya empiris rasional mulai bergeser ke fase eksperimental rasional. Sifat progresif ini menunjukkan
bahwa ilmu bukan sekedar tujuan bagi dirinya sendiri melainkan suatu sarana untuk mencapai sesuatu.

Faham pragmatis
Jika sekarang ditanyakan kepada kita: apakah sebenarnya tujuan dari ilmu itu; jawaban dapat beraneka. Misalnya,
untuk kemajuan, perkembangan ekonomi dan teknik, kemewahan hidup, kekayaan, kebahagiaan manusia.
Mungkin ada yang mau menambahkan yang lebih mulia lagi seperti: untuk menemukan harta-harta ciptaan Tuhan.

Demikian, tadi cara manusia merenungkan tujuan ilmu. Bukan ilmu sebagai sesuatu yang abstrak, melainkan yang
kongkret kita hayati. Ilmu yang memunculkan diri berdampingan dengan gejala kerumitan spesialisasi, rutin kerja,
krisis ekonomis, teknik perang modern, aneka gangguan rohani dan dehumanisasi.

Dalam menggerayangi hakekat ilmu, sewaktu kita mulai menyentuh nilainya yang dalam, di situ kita terdorong
untuk bersikap hormat kepada ilmu. Hormat ini pertama-tama tak diajukan kepada ilmu murni tetapi ilmu
sebagaimana telah diterapkan dalam kehidupan.

Sebenarnya nilai dari ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengabdi masyarakat sehingga ia menjadi sarana
kemajuan. Boleh saja orang mengatakan bahwa ilmu itu mengejar kebenaran dan kebenaran itu inti etika ilmu,
tetapi jangan dilupakan bahwa kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu. Pandangan yang
demikian itu termasuk faham pragmatis tentang kebenaran. Di situ kebenaran merupakan suatu ide yang
berlandaskan efek-efeknya yang praktis.

Logos dan Ethos


Apa yang sebenarnya merupakan daya tarik dari ilmu bagi ilmuwan? Van Peursen sehubungan dengan ini
menunjukkan pada sifat ilmu yang tak akan selesai. Dijelaskan bahwa ilmu itu beroperasi dalam ruang yang tak
terbatas. Kegiatannya berisi aneka ketegangan dan gerak yang penuh dengan keresahan. Keresahan ilmu itu
memang cocok dengan hasrat manusia yang tanpa henti ingin tahu segalanya.
Muncul pertanyaan ini: apakah keresahan itu sama dengan kebenaran? Apakah keresahan itu yang menciptakan
kebenaran? Tulis Van Peursen: keresahan itu keinginan yang tak dapat dipenuhi atau jarak yang prinsipiil ke
kebenaran.

Apakah hubungan antara keresahan ilmu sebagai daya tarik bagi hasrat ingin tahu manusia yang tanpa henti dan
kebenaran? Apakah karena kebenaran itu lalu ilmu bukan tujuan bagi dirinya sendiri, sehingga perlu diperhatikan
etika sebagai efek tambahan dari ilmu setelah diterapkan dalam masyarakat?

Untuk menjawabnya perlu diketahui hubungan antara logos dan ethos sebagai berikut. Martin Heidegger


mengatakan bahwa jika kita sebutkan manusia itu memiliki logos, itu tak berarti bahwa manusia sekedar ditabiati
oleh akal. Ditunjukkannya bahwa logos bertalian dengan kata kerja legein yang artinya macam-macam, dari
berbicara sampai membaca; kemudian diluaskan menjadi memperhatikan, menyimak, mengumpulkan makna,
penyimpan dalam batin, berhenti untuk menyadari.
Dalam arti yang disebut terakhir itu, logos bertemu dengan ethos dan ethos ini dapat berarti penghentian, rumah,
tempat tinggal, endapan sikap. Kemudian arti logos selanjutnya: sikap hidup yang menyadari sesuatu, sikap yang
mengutamakan tutup mulut untuk berusaha mendengar, dengan mengorbankan berbicara lebih. Sehubungan ini
Karl Jasper menulis bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari
dunia yang dihuninya. Di sinilah lengketnya etika dengan ilmu!
Kebenaran Keilmuan
Apa hubungan antara tak akan selesainya ilmu dan usaha mendengarkan jawaban? Batas dari ilmu sesungguhnya
bukanlah suatu garis yang dicoretkan dengan tergesa-gesa di belakang gambaran tentang dunia yang terbatas ini,
sebagai petunjuk tentang selesainya sesutu. Batasnya justru berupa suatu pespektif baru yang membukakan diri,
sebagai petunjuk bahwa manusia siap untuk mendengarkan. Dengan demikian, tak akan ada pertentangan antara
masalah dan rahasia, antara pengertian dan keajaiban, antara ilmu dan agama.

Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang
kehidupan. Kebenaran memang merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak berwarna, dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi steril.
Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya
kebenaran.

Seperti disebutkan di depan, ilmu bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berhimpit dengan
etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggung jawab secara agama. Sebenarnya ilmuwan dalam gerak
kerjanya tak usah memperhitungkan adanya dua faktor: ilmu dan tanggung jawab, karena yang kedua itu sudah
lengket dengan yang pertama.

Ilmu pun lengket dengan keberadaan manusia yang transenden dengan kata-kata lain, keresahan ilmu bertalian
dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Di situ terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang transenden.
Dengan ini berarti pula bahwa titik henti dari kebenaran itu terdapat di luar jangkauan manusia!

Daftar bacaan:
Jujun S. Suriasumantri. 1987. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta. PT Gramedia

Hubungan antara Etika dengan Ilmu

Pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan

tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan

manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka

diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan nafsu manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu

pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi pendukung yang baik bagi pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat

moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.

Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar, dan salah. Yang paling menonjol adalah tentang baik

dan teori tentang kewajiban. Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Herman Soewardi

1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak

dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya

adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan yang pelaksananya tidak ditunjuk. pelaksananya menjadi jelas

ketika sang subyek menghadapi opsi baik atau buruk, yang baik itulah materi kewajiban pelaksana dalam situasi ini.

Hubungan antara estetika dengan ilmu

Menurut A.G. Baumgarten, estetika adalah ilmu tenteng pengetahuan yang dihasilkan oleh indeera manusia, atau secara

sederhana dapat disebut sebagai pengetahuan inderawi. Perenungan estetika memiliki perbedaan dengan perenungan

logika. Perenungan estetika bertujuan untuk mencapai keindahan, sedangkan perenungan logika bertujuan mencari

kebenaran (Earle,1992).

Estetika merupakan sesuatu untuk menilai terhadap hasil ilmu, apakah itu indah atau tidak. Misalnya dalam hal bermusik,

orang yang suka musik dangdut akan merasa bosan apabila mendengarkan musik jazz. Begitu pula sebaliknya, orang yang

suka musik jazz, akan menganggap musik dangdut membosankan. Etika bersiafat sujektivitas, akan tetapi bias berubah

menjadi objektivitas apabila diberikan ketentuan-ketentuan untuk menilai hasil ilmu tersebut.

Rujukan:

Soewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti

Mandiri, Bandung.

KAITAN ETIKA DENGAN ILMU PENGETAHUAN

Pendahuluan

Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia
yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah
kehidupan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pembicaraan ilmu pengetahuan, seharusnya yang harus dibicarakan terlebih dahulu
ialah mengenai bagaimana proses berpikir manusia (thinking process) sehingga dapat menghasilkan pengetahuan pada manusia.
Pengetahuan pada manusia secara garis besar terbagi kedalam dua bagian. Pertama, konsepsi (tassawur) yaitu pengetahuan
sederhana dan kedua, pembenaran (thasdiq) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian . Artinya, proses berpikir yang
manusia lakukan melalui dua tahapan yang saling melengkapi yaitu; pengetahuan yang pertama kali muncul berupa konsepsi
(tassawur) atau pengetahuan sederhana dan seterusnya manusia melalui pikirannya melakukan pembenaran (thasdhiq) atau dari
pengetahuan sederhana (tassawur) sampai kepada ilmu pengetahuan, pengetahuan sederhana itu diberi pembenaran sesuai
dengan keyakinan manusia yang diyakininya. Selanjutnya, untuk memahami pengetahuan sebagai sesuatu yang natural (alamiah)
dari sudut pandang manusia diperlukan uraian psikologi, yaitu penjelasan atau uraian tentang proses mental yang bersifat subjektif
yang dikaitkan dengan hal-hal empirik yang bersifat objektif, dari hal itu diharapkan dapat berpengaruh pada penguasaan manusia
terhadap data konkrit sehingga dapat mendukung pada pembenaran pengetahuan .
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu
pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan
dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses
pembangunan ilmu pengetahuan. Dalam pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu
pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam
pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi . Perlunya
penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan
dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan
dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri
sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam
ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu.

Teori Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir
". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu
hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan "barangkali" keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena
pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin
diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki
pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya
ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka
tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu
yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu,
maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara
memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia
yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan
itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam
benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau
nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia
barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan
filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad
Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan
"Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan
mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang
merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka
dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi
gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang
apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari
itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-
aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum
rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan
Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan
seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena
interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit
dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang
lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta
pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. Dia menggunakan kata ini karena dua
alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya
sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka
pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka
katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala
sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan
seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung
kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan
pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai. Kemudian perjuangannya dilanjutkan
oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian
dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian
yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu
pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis
mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik.

Peran Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek,
didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara
berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya (kesahihan). Dengan demikian
pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi
aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu, perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada
sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia. Filsafat ilmu dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu
yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) dan John Locke (aliran empirikal) yang
telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses “create”
ilmu pengetahuan. Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan
dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara
berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan
yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu,
hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini
menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis
yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan
meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara
empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian
ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah.
Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau eksperimen, bukan teori ,
atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah
dilakukan) . Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan),
hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati,
melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta disebabkan oleh pengamatan
manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin
berubah dengan berubahnya pengamatan. Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan taakulan, menurut
pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras atau sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut
pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut). Dengan demikian rasionalitas mencakup dua sumber
pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) . Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa
berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan
dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya memahami empirikal. Sementara,
pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan
yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta
(objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi
oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu
sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan
demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan.
Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa
sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan.
Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan,
kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir . Dari terminologi di atas dogma dan
paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer.
Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah
self evident atau benar dengan sendirinya. Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu
pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila
pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran
pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan
diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya.
Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan
tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan
dunia. Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih
berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab
permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu
keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh
aspek kehidupan. Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan
kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang
cukup serius.

Tingkatan Aksiologi Pengetahuan

Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi. Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan
menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk
memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep
ilmiah tentang gejala alam sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya.
Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam
perjalan dan pencapaian-pencapaiannya, justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya
dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup. Sejarah kehidupan manusia memang telah
mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu menimbulkan efek kehancuran pada manusia
dan alam, sementara pada sisi lainnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian banyak dimanfaatkan
dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu untuk mengunkap hakikat gejala alam dan
manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti
menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru. Akhirnya, eksistensi manusia terpinggirkan dalam kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) antara kerusakan
ekologi. Banyak yang dapat disebutkan tentang kehancuran ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca,
kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba toksik, penipisan laporan ozon pada atmosfir
bumi, kerusakan ekosistem lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I dan
II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban
manusia berguguran akibat bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia Tengah, yaitu
Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang
Rusia).
Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan netral dari segala nilai atau justru batas petualangan
dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi. Ilmu
pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri, sementara teknologi atau ilmu pengetahuan
terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan
memberikan kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi ketika ilmu kedokteran
berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi tabung”.
Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni suksesnya para ilmuan merampungkan
eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh
manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi untuk membantu dan memudahkan
manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru berkembang dimana ilmu pengetahuan dan atau teknologi itu sendiri
mengkreasikan tujuan-tujuan hidup itu sendiri.

Pertentangan Aksiologis: Ilmuwan dan Humanis

Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang penting. Antara lain pertanyaan itu adalah: untuk apa
sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi
ilmuan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penelaahan tujuan ilmu
pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini, cukup penting. Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu
pengetahuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, ekspektasi
besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya.
Namun yang terjadi kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru membiaskan kehancuran dan
malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah disebutkan pada pragraf sebelumnya).
Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh
dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau
ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini dipagari, berarti kita telah melangkah mundur
hingga pada jamannya Galileo atau Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri,
sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu.
Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya pengetahuan perlu diungkit kembali untuk
mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini,
suatu pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan manusia sebagai suatu obyek empiris
(tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk obyek itu berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap
epistemologis. Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang
tidak relevan ditempatkan dalam proses itu. Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia,
berarti yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap ini, persitwa alam dan manusia tidak lagi
bergerak secara orisinal menurut kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan manipulatif.
Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan pengetahuan itu.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan
paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-
kejadian alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang pada manusia itu
sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita
tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengatahuan
dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa pertentangan
antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus
atau Galileo, di mana ilmuan bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada tataran ontologis.
Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman secara
luas.

Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan

Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan.
Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian
kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua
instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-
ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani. Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka
(hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga
dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara
id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara murka yang
mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang
diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon,
adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral,
dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan
manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron
nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral,
tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling
menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung
di bawah filsafat moral . Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu
tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah
seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas
ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.
Peran Etika (Moral) Dan Dilema Yang Muncul
Peranan moral akan sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat tahap peralihan dari kontemplasi ke tahap
manipulasi. Pada tahap kontemplasi, masalah moral berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi
masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata lain ketika ilmu dihadapkan pada
kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang aksiologi keilmuan.
Sebelum menentukan sejauhmana peran moral dalam penggunaan ilmu atau teknologi, ada dua kelompok yang memandang
hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi
dan aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan selanjutnya terserah kepada orang lain untuk
mempergunakan untuk tujuan baik atau buruk. Kelompok pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti
pada waktu Galileo. Kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Hal ini ditegaskan oleh Charles Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam penggunakan ilmu kita sejogyanya menggunakan
pikiran kita .
Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi, kelompok yang mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan
terjadinya de-humanisasi, di mana martabat manusia menjadi lebih rendah, manusia akan dijadikan obyek aplikasi teknologi
kelimuan. Hal ini berkaitan peristiwa yang terjadi selama ini, yaitu : (1) Secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh
manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang Dunia II. (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan sangat esoterik (hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu saja) sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia
dan kemanusiaannya yang paling hakiki seperti pada revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah konflik yang menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar,
yang mana yang tidak dan mana yang selayaknya. Disinilah, etika memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa yang
seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan serta apa yang salah dan apa yang benar.
Menurut J.Osdar, oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles, kata etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata moral punya arti
sama dengan kosakata etika. Kata moral berasal dari bahasa Latin, yakni mos (jamaknya mores). Artinya kebiasaan, adat. Di sini
kata moral dan etika punya arti sama.
Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu dalam realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi
konflik batin dikemukakan teori-teori etika yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan koheren dalam mengambil
keputusan–keputusan moral. Teori–teori etika tersebut adalah :
1. Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan memandang konsekuensi dari bebagai jawaban.
Ini berarti bahwa yang harus dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang menguntungkan, melebihi
segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbesar. Manfaat paling besar daru teori ini
adalah bahwa teori ini sangat memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu dan memperhatikan bagaimana orang
terpengaruh. Kelemahan dari teori ini bahwa lingkungan tidak menyediakan standar untuk mengukur hasilnya.
2. Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini menganut bahwa kewajiban dalam menentukan
apakah tindakannya bersifat etis atau tidak, dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan bersifat etis, bila
memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab, Jadi yang paling penting adalah kewajiban-kewajiban atau aturan-
aturan, karena hanya dengan memperhatikan segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan menyalahkan moral. Manfaat paling
besar yang dibawakan oleh etika deontologis adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar adalah bahwa deontologi tidak
peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan. Dengan hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak melihat
beberapa aspek penting sebuah problem.
3. Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral yang ada didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini
dipecahkan dengan hirarkhi hak. Yang penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan
sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai terutama karena terkanannya pada nilai moral seorang manusia dan tuntutan
moralnya dalam suatu situasi konflik etis. Selain itu teori ini juga menjelaskan bagiaman konflik hak antar individu. Teori ini
menempatkan hak individu dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan konflik hak yang bisa timbul.
4. Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan berpijak pada intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki
seseorang untuk mengetahui secara langsung apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis mengetahui
apa yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya, bukan berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan intuisi
kita dapat meramalkan kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut
karena kita tidak dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan.
Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf
Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya
makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan lain.

Problematika Etika dan Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan

Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat
diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya
bahwa kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak. Patutlah kita menyelidiki
lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek
bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.
Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam
perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat
universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan
untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan “menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi
bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh
eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin
lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup
dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang
tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga seolah-olah
sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya.
Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan theoria dengan penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan. Tetapi
jelas karena sudah menyangkut relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik “awang-awang”
harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang – yang berupa tekhnologi – apabila tidak tepat
dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada
yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat manusia justru direndahkan dengan
menjadi budak teknologi, kerisauan social yang mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya
tingkat kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi,
dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik
sosial- politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (tekhnologi) dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang
berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan tekhnologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur
keseimbangan antar ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku produsen
dengan konsumen. Dalam bahasa Jacob lebih lanjut dikatakan bahwa ilu pengetahuan jangan sampai merugikan manusia dan
lingkungan serta tidak boleh menimbulkan konflik internal maupun politik.
Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu
pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia
dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik
alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam
perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab dalam
ilmu pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang
seharusnya ada.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan
kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari.
Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat
menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak
dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini.
Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan
mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat”
olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka
kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai
kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan manusia dibidang ilmu
pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan
apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-
empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria
baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak
terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana”
dari etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana tekhnik yang
mengelola kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari
perorangan, mengenai yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang mampu merencanakan
masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya
sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah,
melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi moderen
dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret.
Tidak lagi sekedar memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan factual
manusia, sehingga terjadi hubungan timbale balik dengan apa yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi”
antara keadaan etika sendiri dengan masalah-masalah yang mem-“bumi”.

Penutup
Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan
manusia sehingga baik dan lurus. Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula perbedaan penafsiran.
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul
teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski
demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap
martabat kemanusiaan
Selain itu, pengembangan ilmu harus memperhitungkan perasaan moral dan bukannya berdasarkan situasi, kewajiban dan hak.
Pengembangan ilmu harus berpijak pada proyeksi tentang kemungkinan yang secara etis dapat diterima oleh masyarakat atau
individu-individu manusia selaku pengguna atau penerima hasil pengembangan ilmu (teknologi). Apa yang baik dan buruk dari hasil
pengembangan ilmu harus dapat dipertanggungjawabkan pihak yang mengembangkan ilmu (ilmuwan ataupun penemu).
Sebagaimana namanya, “intiusionisme” memang tidak bisa menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena berpijak pada
intuisi. Ini dapat dimaknai, ilmuwan secara pribadi, menjadi penentu pertimbangan moral dari pengembangan ilmu tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Charis Zubeir, Ahmad. 2002. Kajian Filsafat Ilmu; Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Lembaga Studi Filsafat
Islam; Yogyakarta
Van Melsen, A. G. M.1992. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita Terj. Dr. K. Bertens, PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Ed. ke 2. Jakarta: Balai Pustaka
As-Shadr, Muhammad Baqir.1995. Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung: Penerbit Mizan.
Kamus Dewan. 1994. Ed. ke 3. Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa.
Rosenthal, Franz. 1997. Keagungan Ilmu Terj. Syed Muhamad Dawilah Syed Abdullah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Jujun S, Suriasumantri.,2003, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta

Soewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti Mandiri,
Bandung.
METAFISIKA DAN FILSAFAT

Aristoteles adalah orang yang pertama sekali memahami sederet persoalan yang tidak ada hubungannya


dengan pengetahuan yang sudah dikenal pada masa itu seperti matematika, etika, sosial, pengetahuan alam ataupun logika.

Metafisika dan filsafat

Persoalan persoalan yang ditemukan ini disadarinya sebagai inti dari semua yang daripadanya kemudiandiketahui hubungan dan
keterpisahan persoalan suatu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Persoalan ilmu ini dikemudian hari semakin luas seiring dengan pengamatan yang semakin intensif terhadapnya.
Sehingga Aristoteles merasa perlu untuk memisahkan ilmu ini dari ilmu-ilmu yang sudah dikenal saat itu karena ilmu ini memiliki
sisi khusus disisi berbagai ilmu lainnya. Tetapi perlu diingat, bahwa saat itu Aristotelestidak memberikan nama untuk jenis ilmu ini
sampai dia meninggal.
Setelah Aristoteles meninggal barulah orang-orang mengumpulkan hasil karyanya ini dan disusun dalam sebuah ensiklopedia.
Dari sisi urutannya, bahasan yang belum diberi nama tadi terletak setelah bagian ilmu fisika (ilmu alam) .  Dari urutan tadi dan
dikarenakan memang belum diberi nama, maka mereka saat itu memberikannya nama sesuai dengan urutannya, yaitu ‘setelah
fisika’  atau ‘metafisika’ , yang terambil dari kata ‘meta’= setelah dan ‘fisika’ = fisika.
Namun apa yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita saksikan sekarang, lambat laun orang-orang mulai lupa akan ‘cerita
penamaan’ terhadap ilmu(metafisika) ini. Mereka lupa bahwa nama metafisika adalah penamaan terhadapilmu yang di urutkan
berdasarkan ensiklopedia yang berarti ‘setelah fisika’.  Setelah pembahasan filsafat rendah (filsafat fisika )  dan BUKAN
karena ilmu ini semata-mata membahas Akal Murni, Tuhan dan segala sesuatunya yang diluar jangkauan ilmu alam (fisika).
Karena kalau alasannya adalah karena ilmu ini membahas tentang ketuhanan saja, maka seyogyanya ilmu ini dinamakan
PROFISIKA atau ‘sebelum fisika’ , karena Tuhan sesungguhnya jauh sebelum adanya alam dan fisika, dan bukan sesudahnya.
Karena kekeliruan dalam pendefinisian verbal itu, maka sampai sekarang masih banyak ilmuwan barat yang mengatakan
bahwa ilmu metafisika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan ketuhanan atau sesuatu yang
tidak bisa dilihat dan diraba secara fisik / terpisah dari alam material.
Padahal jelas Aristoteles sendiri tidak menamakan demikian terhadap fenomena keterhubungan dan keterpisahan antara
satu ilmu dengan yang lainnya itu yangdiketahui sebagai pusat faktor keterkaitan dan keterpisahan antara alam materi dan non
materi.
Penyederhanaan kalaupun tidak mau dikatakan sebagai penyimpangan maknaseperti ini terjadi juga pada kata ‘filsafat’ , bahkan
lebih ngacau lagi …
Coba kita perhatikan apa yang terjadi disekitar kita sekarang ini, filsafat yang tadinya berarti semua ilmu pengetahuan yang bisa
dicerna oleh rasio (selain wahyu Tuhan)  kini menyempit artinya menjadi nama dari satu disiplin ilmu khusus yang membahas
tentang metafisika, etika, logika, estetika atau yang lainnya.
Darimanakah ‘kekeliruan’ ini bermula? Mari kita simak apa yang terjadi di abad 16 ketika Rene Descartes dari Perancis
dan Francis Bacon dari Inggris mengumandangkan sanggahan mereka terhadap metode deduktif (silogistik) , dimana mereka
berpendapat bahwa apa-apa yang tidak bisa dibuktikan dengan eksperimen maka semua ke apaan itu adalah tidak masuk akal,
tidak termasuk kedalam ilmu yang dikatagorikan sebagai ilmu yang mempunyai kebenaran. Dan dengan sendirinya ilmu semacam
itu diangap tidak berlaku karena tidak mempunyai kaidah dasar yang jelas. Dan bukan itu saja, kelompok ini bahkan kemudian
mencoret ‘kepala kodi’ ( kepala ilmu) yang paling agung itu. Menurut mereka tidak ada itu yang
namanyafilsafat utama, filsafat tinggi, metafisika atau apapun namanya.
Setelah kelompok yang menentang keras filsafat tinggi ini ada juga kemudian kelompok lainnya yang sedikit lebih bersahabat
dengan metode silogisme. Mereka mengatakan bahwa apa apa yang BISA dibuktikan dengan eksperimen mereka sebut
dengan ilmu ‘science’ dan apa apa yang harus menggunakan metode silogisme seperti metafisika, etika, estetika, logika dan
akhlak mereka namakan filsafat.  
Disini dan dari sinilah penyempitan definisi verbal itu mulai terjadi, dimana filsafat yang tadinya didefinisikan oleh cendikiawan
kuno sebagai nama umum untuk semua ilmu pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio,
yaitu filsafat tinggi (teologi), filsafat menengah (matematika) dan filsafat rendah (fisika),  kini menyempit menjadi nama khusus
untuk ilmu yang membahas etika, estetika, dan logika. Alhasil terjadilah pemisahan antara filsafat dan Ilmu pengetahuan akibat
kekeliruan definisi verbal ini.
Ini sangat menggangu khasanah ke ilmu-an, karena yang dipotong bukan saja arti verbalnya tapi sudah menjadi salah kaprah.
Perpisahan ini bukan hanya pada istilah tapi juga ‘isi’.
Berbeda dengan ilmu-ilmu kuno lainnya semisal Ilmu kedokteran, ilmu kedokteran  kuno demikian dan ilmukedokteran modern
begini, ilmu botani kuno begini dan modern begitu. perbedaannya hanya kepada jenis alat yang dipakai dan metode aplikasinya.
Tetapi tetap sama-sama ilmu kedokteran dan ilmu botani. Sedangkanfilsafat BEDA JAUH, terjadi perbedaan antara filsafat kuno
dan filsafat modern dalam arti yang terpisah,filsafat kuno membahas semua hal dan filsafat modern membahas hal khusus.

You might also like