Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
SEJARAH KUSTA
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India.. Pada 1995, Penyakit kusta atau lepra
menjadi salah satu penyakit tertua yang hingga kini awet bertahan di dunia. Dari catatan yang
ditemukan di India, penderita kusta sudah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi.
Dalam buku City of Joy (Negeri Bahagia) karya Dominique, mantan reporter untuk sejumlah
penerbitan di Prancis pada dekade 1960-an hingga 1970-an, kusta menjadi penyakit yang
'populer' dan menjadi bagian dari kehidupan miskin di Calcutta, India. Namun, kuman
penyebab kusta kali pertama baru ditemukan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di
Norwegia.Karena itu penyakit ini juga sering disebut penyakit Hansen. Saat ini penyakit
kusta banyak terdapat di Benua Afrika, Asia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 (tiga)
zaman yaitu zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman moderen. Pada zaman
purbakala karena belum ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan penderita kusta, maka
penderita tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah
diri dan malu, disamping itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman
pertengan penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa tinggal di Leprosaria/koloni
1. Zaman Purbakala
Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari
peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal
didalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala
tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu,
2. Zaman Pertengahan
feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap
penguasa dan hak azasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada
penderi ta kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab
penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih ketat dan
3. Zaman Modern.
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka
mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha
penanggulangannya. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir
Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit
ini pun mampu ditangani kembali. Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah
mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara
sebagai berikut :
puskesmas.
Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi World Health Organisation (Depkes RI,
2005).
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar
keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan,
manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara
isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga
dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak
20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu
Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh
PREVALENSI
Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka
kejadian di atas 10 per 1.000. Hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk,
misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada
115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record,
prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru
pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi
dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang
terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi
terdaftar. Secara internasional prevalensi kusta di dunia 5,5 juta kasus, mayoritas terdapat di
daerah tropik dan subtropik. Di seluruh dunia 80% kasus ditemukan di lima negara, yaitu
India, Myanmar, Indonesia, Brazil, dan Nigeria. ( Barrett. TL. 2002).
Menurut dr. Iwan, dr. Budi Rahayu MPH, Kepala Bidang P2MK (Pemberantasan
Penyakit dan Masalah Kesehatan) Dinkes Provinsi Jatim dari 33 provinsi yang ada di
Indonesia, terdapat empat propinsi yang masih memiliki angka kasus Kusta lebih dari 1000
kasus. Diantaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan juga Sulawesi Selatan. Di
Indonesia, jumlah penderita baru tahun 2008 adalah 17.243 dan 29% darinya berasal dari
Jawa Timur. Penyakit Kusta di Jawa Timur masih merupakan masalah kesehatan terutama di
15 kabupaten/kota yang berada di pantai utara Pulau Jawa dan Madura karena prevalensi
masih di atas 1/10.000.
GAMBAR 3.14
PREVALENSI DAN ANGKA PENEMUAN PENDERITA BARU
DI INDONESIA TAHUN 2000 - 2008
Jumlah kasus Kusta di Indonesia pada tahun 2008 adalah 17.441 kasus terdiri dari tipe PB
3.113 kasus dan tipe MB 14.328 kasus (Sumber Profil DitJen P2PL 2008).
Perkembangan jumlah penderita Kusta di Indonesia tahun 2003 - 2008 dapat dilihat
pada Tabel 3.12 berikut ini.
TABEL 3.12
JUMLAH PENDERITA KUSTA MENURUT TIPE DAN ANGKA PENEMUAN PENDERITA PER
100.000 PENDUDUK
DI INDONESIA TAHUN 2003 - 2008
Tahun Jumlah Kasus 2004
Tipe PB TipeMB 16,572
2003 15,550 3,594 11,956
3,615 12,957 NCDR
(per 100.000 pddk)
2005 18,735 3,859 14,876
2006 18,300 3,550 14,750
2007 17,726 3,643 14,083
2008 17,441 3,113 14,328
Sumber: Ditjen PP&PL, Depkes RI 200
ANGKA PENEMUAN PENDERITA BARU
Selama tahun 2000 ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB
(76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061
dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan
75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001
Angka penemuan penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per
100.000 penduduk. Di tingkat provinsi pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat di
Provinsi Papua (49,65) dan terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan pada tahun 2002
tertinggi di Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi Bengkulu (0,250). Cakupan
penderita dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta
Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785
kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Provinsi yang paling sedikit menemukan
kasus baru adalah Provinsi Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun
2002. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta. Jawa
Timur termasuk di dalamnya.. Jawa Timur menyandang beban sebagai daerah rawan bersama
Irian Jaya bagian Barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Yakarta(Depkes
RI,2005).
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan
Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun
2. Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan
PB MB
1. Lesi kulit 1-5 lesi > 5 lesi
(makula yang Hipopigmentasi/eritem Distribusi
datar, papul yang a lebih simetris
meninggi,infiltrat Distribusi tidak simetris
, plak eritem,
nodus)
2. kerusakan Hilangnya
saraf(menyebabka Hilangnya sensasi yang sensasi
n hilangnya jelas kurang jelas
senasasi/kelemaha Hanya satu cabang Banyak
n otot yang saraf cabang saraf
dipersarafi oleh
saraf yang
terkena)
Sumber :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen
P2 dan PL. Jakarta
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan menentukan,
apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi Mycobacterium leprae dan tipe kusta
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari
2) Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar
dan banyak.
3) Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus
serta peroneus.
4) Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
7) Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
2) Noreksia
4) Cephalgia
7) Neuritis
Gambar 1. Jenis Kusta Tipe Paucibacilary
Jenis Multibacillary
b. Tanda-tanda awal dari jenis ini sering terjadi pada cuping telinga dan muka.
b. Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan sebagai
reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara alamiah dapat
menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang dilakukan dengan
binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari Armadilo kepada manusia.
Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap
di Nigeria dan Sierra Lione.
keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak
Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah
kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya
sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa
organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru,
Job et al menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin
superfisialkulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah
dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta
lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan
bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung
mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler kepada orang
lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian
besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1) Faktor Kuman kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid)
bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada orang yang tidak
utuh lagi Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, bermentuk batang dengan panjang 1-8
mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup diluar
tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman
kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan (Depkes RI, 2002).
2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian
menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak menjadi sakit, 3 orang
sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi mempertimbangkan
pengaruh pengobatan (Depkes RI, 2002).
3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,
merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan meningkatnya taraf
hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta.
4) Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini meningkat
sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan kemudian menurun.
Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun
dan kemudian secara perlahan-lahan menurun (Hasibuan, 1990).
5) Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita, kecuali di
Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis seperti pubertas,
monopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis
penyakit kusta (Hasibuan, 1990).
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan
selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-
rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun,
lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda
adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta
adalah 3-5 tahun (Nadesul, 1995).
KERENTANAN DAN KEKEBALAN
Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung pada kemampuan tubuh
untuk membentuk “cell mediated“ kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur
penyuntikan M. Lepraeyang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari
setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis
lepromatosa dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes
ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai pertanda adanya imunitas.
Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya
untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya prevalensi transformasi limfosit yang
spesifik terhadap M. Leprae dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara
orang yang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi
walaupun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit
kusta.
merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti. Dari hasil penelitian pada bulan Maret
1996 di Rumah Sakit Kusta Sitanala, menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien yang datang
berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta. Walaupun dengan pengobatan yang benar dan
teratur penyakit kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah timbul atau mungkin
yang akan timbul merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila hal ini tidak ditangani
secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal. Makin berat keadaan
benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari
pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik,
pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula
mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun
negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta
dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan
Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik
yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk
mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi
anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk
pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai secara dini, disusul dengan
a) Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis,
dan kontraktur.
c) Kontrol nyeri.
d) Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan. Bila
kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan
kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :
detergen)
3) kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas.
5) secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka dan lain-
lain)
1) Tangan :
b) stop merokok
2) Kaki
c) Latihan fisioterapi
1) Cegah kontraktur
d) Bidai
Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak terjadi
deformitas. Bidai dipasang pada anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai
dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai bidai yang
ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan lingkup gerak sendi.
hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan
rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai
Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik tangan dan jari-jari,
Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien, dan menolong pasien untuk
juga meningkat
Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar, sampai halus, dingin dan
hangat.
i) Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus
dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat
2) Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini termasuk
penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan
permasalahan yang sangat kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan
masyarakat. Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat
fisik.
Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisk yang menimbukan rasa jijik
atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal
tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis,
akan tetapi bila fisinya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa
hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tida dapat menerima
keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya aka nada perubahan mendasar pada
kepribadian dan tingkah laku penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan
keadaannya sebagai seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan
kesembuhan, sebaliknya kan memperbesar resiko timbulnya cacat bagi penderita itu sendiri.
Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali
untuk menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis
akan dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya dapat dialami
dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi
yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang keliru
tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negative terhadap penderita
Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai sedini
mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus
menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup bermasyarakat
seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu
sendiri.
Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil pemeriksaan klinis,
bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif,
maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada
penderita harus ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik
yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah digariskan
oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif, dengan
3) Rehabilitasi Mental
Pada umumnya mereka dibayang-bayangi oleh ketakutan yang sangat mendalam akan
timbulnya cacat fisik akibat penyakit ini. Suatu hal yang perlu kita sadari bahwa tidak
seorang sehatpun ingin mendapatkan cacat dalam kehidupannya. Hal ini merupakan dasar
bagi setiap petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan kusta. dengan menekankan
bahwa sebenarnya penyakit kusta bila diobati secara dini dan benar akan dapat mengurangi
pada setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan
dan semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita dapat
segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh
secara medis. Informasi yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:
c) Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul selama
Hal-hal ini harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada penderita dan
keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara sederhana dan mudah dimengerti oleh
Walaupun pengobatan medis kusta dan upaya rehabilitasi ini berhasil dilakukan,
tetapi dengan adanya stigma dan leprofobi akan timbul banyak kendala dalam
memasyarakatkan kembali penderita dan bekas penderita kusta. Tetapi, dengan memberikan
informasi yang benar tentang penyakit kusta serta menanamkan pengertian yang baik, maka
stigma dan leprofobi dapat dikurangi dan ditekan hingga seminimal mungkin.
Dengan demikian penyakit kusta dapat dianggap sama seperti penyakit menular
lainnya dan penderita kusta dapat diterima dan diperlakukan secara wajar oleh masyarakat
4) Rehabilitasi Karya
Tidak semua penderita kusta bila sembuh datang kembali bekerja pada pekerjaan
semula, apalagi bila pekerja terlanjur mengalam cacat fisik. Walaupun telah diupayakan
rehabilitasi medis dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya, mantan penderita tidak dapat
melakukan pekerjaan yang sama seperti sediakala. Dalam banyak hal adanya stigma atau
leprofobia akan menyebabkan penderita (mantan) kerap kali menghadapi kendala sosial,
sehungga perlu mengganti jenis pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan
keluarganya. Adanya hilang rasa (anastesi) pada palmar atau plantar menyebabkan
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat dapat
kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru
sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya. Disampng itu
penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat
5) Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pernderita. Hal ini
sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di
sekitarnya. Rehabilitasi social bukanlah bantuan social yang harus diberikan secara terus
menerus, melaikan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini
dapat berupa :
c) Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.
d) Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan
cacatnya.
Dari segala upaya tersebut , sangat diharapkan peran serta masyarakat dalam
menunjang keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua akan dapat terlaksana dengan baik
apabila stigma dan leprofobi dapat ditekan hingga seminimal mungkin. Dengan demikian
kehadiran mereka dapat diterima oleh masyarakat, hasil karya dan usaha mereka mau dibeli
serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa partisipasi, maka segala usaha tersebut tidak akan