You are on page 1of 43

Pengertian Pendidikan Agama Islam menurut berbagai pakar

a. Menurut Drs. Ahmad D. Marimba : Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan jasmani,
rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan
kepribadian yang memiliki nalai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat
berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. b. Menurut
Abdul Rahman Nahlawi; ‫َطب ْيقَة‬ ْ ‫واإلجتماعي الَّذيْ ي ُْؤديْ إلى ا ْعتنَاق اإل ْسالَم وت‬
ُّ ‫اَلتربيّةُ اإل ْسالَ ِميَّةُ ِه َي ا لتَّ ْنظي ُم ال ُم ْنفَ ِس ُّي‬
ْ ْ ّ
‫ كليّا فى َحياة الفرْ ِد َوالج َما َع ِة‬Artinya; “Pendidikan Islam ialah pengaturan pribadi dan masyarakat yang
karenanya dapatlah memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam
kehidupan individu maupun kehidupan kolektif”. c. Menurut Drs. Burlian Shomad : Pendidikan
Agama Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang
bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya untuk mewujudkan
tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci Beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat
disebut Pendidikan Agama Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu : 1). Tujuannya untuk
membentuk individu menjadi bercocok diri tertinggi menurut ukuran Al-Qur`an. 2). Isi
pendidikannya ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap dalam Al-Qur`an dan
pelaksanaannya di dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagaimana di contohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. d. Menurut Mustofa Al-Ghulayani : Bahwa Pendidikan Agama Islam ialah
menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan
menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat, sehingga ahklak itu menjadi salah satu kemampuan
(meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja
untuk kemanfaatan tanah air. e. Menurut Syah Muhammad A. Naquib Al-Atas : Pendidikan
Agama Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan
pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga
membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan
wujud dan kepribadian. f. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung : Pendidikan Agama Islam ialah
Pendidikan yang memiliki 4 macam fungsi, yaitu : 1). Menyiapkan generasi muda untuk
memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini
berkaitan erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri 2). Memindahkan ilmu
pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada
generasi muda. 3). Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan
masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup (surviral) suatu masyarakat dan
peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration)
suatu masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan dapat terpelihara dengan baik yang
akhirnya akan berkesudahan dengan kehancuran masyarakat itu sendiri. g. Hasil seminar
pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai dengan 11mei 1960 di Cipayung Bogor
menyatakan : “Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan
jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh,
dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.” h. Menurut M. Yusuf al-Qardhawi : Pendidikan
Agama Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya,
akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan agama islam menyiapkan manusia untuk
hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. i. Menurut Endang
Saifuddin Anshari : Pendidikan Agama Islam adalah proses bimbingan (pimpinan, tuntunan,
usulan) oleh obyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, dan
sebagainya ), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu
tertentu, dengan metode tertentu, dan dengan alat perlengkapan yang ada kearah terciptanya
pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran agama Islam. j. Menurut Zakiah Darajat :
Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan mela lui ajaran-ajaran agama islam, yaitu berupa
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan itu ia
dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama islam yang telah
diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama islam sebagai suatu pandangan
hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Dari
uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli didik Islam berbeda pendapat
mengenai rumusan Pendidikan Agama Islam. Ada yang menitik beratkan pada segi pembentukan
akhlak anak, ada pula yang menuntut pendidikan teori pada praktek, sebagian lagi menghendaki
terwujudnya kepribadian muslim dan lain-lain. Namun dari perbedaan pedapat tersebut dapat di
ambil kesimpulan, bahwa adanya titik persamaan yang secara ringkas dapat di kemukakan
sebagai berikut: pendidikan agama Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa
kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim yang sejati. Jika
direnungkan Syariat Islam tidak akan di hayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja,
tetapi harus didirikan melalui proses pendidikan.. Nabi telah mengajak orang untuk beriman dan
beramal serta berakhlak baik sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari
satu segi melihat, bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak di tunjukan ke pada perbaikan sikap
mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang
lain. Dari segi lainnya Pendidikan Agama Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga
praktis. Ajaran Agama Islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu
Pendidikan Agama Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena
ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat. Menuju
kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka orang pertama yang bertugas mendidik
masyarakat adalah para Nabi dan Rasul, selanjutnya para ulama dan para cendikiawan sebagai
penerus tugas dan kewajiban mereka.
Pengertian dan Tujuan Pendidikan Agama Islam

Oleh Abdul Aziz | 9 Sya'ban 1430

Pendidikan merupakan kata yang sudah sangat umum. Karena itu, boleh dikatakan bahwa setiap
orang mengenal istilah pendidikan. Begitu juga Pendidikan Agama Islam ( PAI ). Masyarakat
awam mempersepsikan pendidikan itu identik dengan sekolah , pemberian pelajaran, melatih
anak dan sebagainya. Sebagian masyarakat lainnya memiliki persepsi bahwa pendidikan itu
menyangkut berbagai aspek yang sangat luas,termasuk semua pengalaman yang diperoleh anak
dalam pembetukan dan pematangan pribadinya, baik yang dilakukan oleh orang lain maupun
oleh dirinya sendiri. Sedangkan Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai Islam dan berisikan ajaran Islam.

Pendidikan sebagai suatu bahasan ilmiah sulit untuk didefinisikan. Bahkan konferensi
internasional pertama tentang pendidikan Muslim ( 1977 ) , seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad al-Naquib al-Attas, ternyata belum berhasil menyusun suatu definisi pendidikan
yang dapat disepakati oleh para ahli pendidikan secara bulat .

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa :

"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara" .

Sedangkan definisi pendidikan agama Islam disebutkan dalam Kurikulum 2004 Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD dan MI adalah :

"Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan
ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman."

Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk
menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam ( knowing ), terampil melakukan atau
mempraktekkan ajaran Islam ( doing ), dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-
hari ( being ).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah untuk
meningkatkan pemahaman tentang ajaran Islam, keterampilan mempraktekkannya, dan
meningkatkan pengamalan ajaran Islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Jadi secara ringkas
dapat dikatakan bahwa tujuan utama Pendidikan Agama Islam adalah keberagamaan, yaitu
menjadi seorang Muslim dengan intensitas keberagamaan yang penuh kesungguhan dan didasari
oleh keimanan yang kuat.

Upaya untuk mewujudkan sosok manusia seperti yang tertuang dalam definisi pendidikan di atas
tidaklah terwujud secara tiba-tiba. Upaya itu harus melalui proses pendidikan dan kehidupan,
khususnya pendidikan agama dan kehidupan beragama. Proses itu berlangsung seumur hidup, di
lingkungan keluarga , sekolah dan lingkungan masyarakat.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan agama Islam saat ini, adalah bagaimana
cara penyampaian materi pelajaran agama tersebut kepada peserta didik sehingga memperoleh
hasil semaksimal mungkin.

Apabila kita perhatikan dalam proses perkembangan Pendidikan Agama Islam, salah satu
kendala yang paling menonjol dalam pelaksanaan pendidikan agama ialah masalah metodologi.
Metode merupakan bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari semua komponen
pendidikan lainnya, seperti tujuan, materi, evaluasi, situasi dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan Pendidikan Agama diperlukan suatu pengetahuan tentang metodologi Pendidikan
Agama, dengan tujuan agar setiap pendidik agama dapat memperoleh pengertian dan
kemampuan sebagai pendidik yang profesional

Guru-guru Pendidikan Agama Islam masih kurang mempergunakan beberapa metode secara
terpadu. Kebanyakan guru lebih senang dan terbiasa menerapkan metode ceramah saja yang
dalam penyampaiannya sering menjemukan peserta didik. Hal ini disebabkan guru-guru tersebut
tidak menguasai atau enggan menggunakan metode yang tepat, sehingga pembelajaran agama
tidak menyentuh aspek-aspek paedagogis dan psikologis.

Setiap guru Pendidikan Agama Islam harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
berbagai metode yang dapat digunakan dalam situasi tertentu secara tepat. Guru harus mampu
menciptakan suatu situasi yang dapat memudahkan tercapainya tujuan pendidikan. Menciptakan
situasi berarti memberikan motivasi agar dapat menarik minat siswa terhadap pendidikan agama
yang disampaikan oleh guru. Karena yang harus mencapai tujuan itu siswa, maka ia harus
berminat untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk menarik minat itulah seorang guru harus
menguasai dan menerapkan metodologi pembelajaran yang sesuai.

Metodologi merupakan upaya sistematis untuk mencapai tujuan, oleh karena itu diperlukan
pengetahuan tentang tujuan itu sendiri. Tujuan harus dirumuskan dengan sejelas-jelasnya
sebelum seseorang menentukan dan memilih metode pembelajaran yang akan dipergunakan.
Karena kekaburan dalam tujuan yang akan dicapai, menyebabkan kesulitan dalam memilih dan
menentukan metode yang tepat.

Setiap mata pelajaran memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri dalam bahan atau materi
pelajaran, baik sifat maupun tujuan, sehingga metode yang digunakan pun berlainan antara satu
mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.

Misalnya dari segi tujuan dan sifat pelajaran tawhid yang membicarakan tentang masalah
keimaman, tentu lebih bersifat filosofis, dari pada pelajaran fiqih, seperti tentang shalat
umpamanya yang bersifat praktis dan menekankan pada aspek keterampilan. Oleh karena itu,
cara penyajiannya atau metode yang dipakai harus berbeda.

Selain dari kekhususan sifat dan tujuan materi pelajaran yang dapat membedakan dalam
penggunaan metode, juga faktor tingkat usia, tingkat kemampuan berpikir, jenis lembaga
pendidikan, perbedaan pribadi serta kemampuan guru , dan sarana atau fasilitas yang berbeda
baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini semua sangat mempengaruhi guru dalam
memilih metode yang tepat dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

Uraian singkat ini tentu tidak akan memuaskan Anda, untuk itu komentar dan opininya sangat
saya harapkan.
Pengertian Aqidah
Arti ‘Aqîdah dari segi bahasa ialah :

“Apa (sesuatu) yang dipeluk sebagai agama oleh seorang manusia dan dia
meyakininya”.

Jadi, ‘Aqîdah adalah ajaran agama yang diyakini dan dipercayai sepenuh hati oleh pemeluknya.
Atau, ‘Aqîdah adalah keyakinan dan kepercayaan seorang terhadap ajaran agamanya. Seorang
Yahûdî meyakini dan percaya sepenuhnya terhadap ajaran agamanya yang bersumber dari kitab
Talmud. Ia yakin bahwa Allâh pernah berkelahi dengan nabi Ya’kûb dan Allâh kalah dalam
perkelahian itu.

Demikian pula dengan seorang Nasrani, ia yakin dan percaya sepenuhnya terhadap ajaran
agamanya yang dia katakan berasal dari kitab Injîl, meskipun di dalam kitab Injîl yang sekarang
banyak terdapat kontradiksi dan perkara yang kontroversial, ia tidak perduli. Ia percaya bahwa
Yesus anak Allâh yang mati disalib untuk menebus dosa, bunda Maria ibu Tuhan yang dapat
mengabulkan do’a siapa saja yang berdo’a kepadanya.

Begitu juga kita, sebagai seorang muslim kita harus meyakini dan percaya sepenuhnya terhadap
Al-Islâm dan seluruh ajarannya yang sempurna yang bersumber dari Al-Qur-ân dan As-Sunnah.
Dengan kata-lain — sebagai muslim — ‘Aqîdah atau apa yang kita jadikan keyakinan harus
berdasarkan Al-Qur-ân dan As-Sunnah, karena Al-Qur-ân dan As-Sunnah merupakan nara
sumber sekaligus petunjuk (hudan) bagi kaum Muslimîn, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

“Telah aku tinggalkan dua perkara di tengah-tengah kalian, tidak akan sesat
kalian selama berpegang pada keduanya; yaitu Kitabullâh dan Sunnah
Rasul-Nya”.
(H.R. Mâlik)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil baik dari Al-Qur-ân maupun Al-Hadits atau As-Sunnah yang
menegaskan hal ini, sehingga hal ini bisa dinyatakan sebagai perkara yang qath’î (pasti). Begitu-
pula penjelasan dari para ‘ulamâ’ sejak dahulu sampai sekarang, seperti misalnya Syaikh
Muhammad bin Jamîl Zainû, seorang ‘ulamâ’ kelahiran Hilb, Suriya yang saat ini menjadi
pengajar di “Dârul-Hadîts Al-Khairiiyah di Al-Makkatul-Mukarramah”. Beliau telah menyusun
sebuah kitab yang diberi nama :

“Ambillah ‘Aqîdah-mu dari Al-Kitâb dan As-Sunnah”.

Adalah sangat naif, bila kaum Yahûdî dan Nasrani begitu yakin dengan kebenaran ‘Aqîdah
mereka, begitu-pula dengan para pemikut agama lainnya, sementara kita sendiri tidak yakin atau
ragu-ragu terhadap sumber ‘Aqîdah kita. Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi seorang muslim
mengambil ‘Aqîdah, meyakini atau mempercayai segala sesuatu — terutama yang berkaitan
dengan urusan agamanya — yang tidak bersumber dari Al-Qur-ân dan As-Sunnah apalagi yang
bertentangan dengan keduanya.

Sebagai contoh, Al-Qur-ân mengatakan bahwa agama yang diterima di sisi Allâh hanyalah
Islâm, sebagaimana disebutkan dalam surah Âli ‘Imrân (3) ayat 19 :

“Sesungguhnya agama yang (diridhai) di sisi Allâh hanyalah Islâm”.

Dan Al-Qur-ân juga menyatakan bahwa seluruh agama selain Islâm tidak akan diterima oleh
Allâh, sebagaimana dinyatakan dalam surah Âli ‘Imrân (3) ayat 85 :

“Barang-siapa yang mencari agama selain Islâm, maka sekali-kali tidaklah


akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi”.

Seorang muslim harus meyakini dan mempercayai serta membenarkan pernyataan-pernyataan


dari Al-Qur-ân tersebut di atas, tidak boleh ragu-ragu sedikit pun. Karena, keraguan terhadap
pernyataan tersebut merupakan penyimpangan ‘Aqîdah atau penyimpangan keyakinan yang amat
berbahaya bagi orang yang bersangkutan.

Terutama sekali diakhir satu dasawarsa ini telah muncul berbagai pernyataan dari sekelompok
orang yang menyebut dirinya sebagai cendikiawan Islâm, yang menyatakan bahwa agama selain
Islâm juga diterima di sisi Allâh dan para pemeluknya pun berhak masuk sorga. Dalam
berargumentasi mereka pun menggunakan ayat-ayat Al-Qur-ân yang diambil sepotong-sepotong
dan ditafsirkan menurut pikiran dan hawa nafsu mereka tanpa menggunakan disiplin ilmu yang
seharusnya. Lalu disajikan dengan kata-kata yang indah dan menarik sehingga orang-orang Islâm
yang dangkal pengetahuan agamanya dan lemah imânnya berhasil dibuat ragu terhadap
pernyataan Al-Qur-ân yang menyebutkan bahwa agama yang diterima di sisi Allâh hanyalah Al-
Islâm (surah Âli ‘Imrân (3) ayat 19), dan siapa pun yang mengambil agama selain Islâm, maka
tidak akan diterima ‘amal-’ibadahnya oleh Allâh dan di akhirat kelak ia akan dimasukkan ke
dalam neraka (Âli ‘Imrân (3) ayat 85). Hal semacam ini jelas merupakan penyimpangan ‘Aqîdah
yang sama-sekali tidak dapat dibenarkan.
Definisi Aqidah

dari : Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari

Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :

Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-
ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan
kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-
yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).
"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata
kerja: " ‘Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan " ‘Uqdatun Nikah" (ikatan
menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).

Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang
pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan.
Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id.
(Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu'jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada).

Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti adalah aqidah; baik itu
benar ataupun salah.

Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)

Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi
suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang
menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka.
Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah.
Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.

Aqidah Islamiyyah:

Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta'ala, Uluhiyyah-Nya, para
Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib,
pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat
kepada Allah Ta'ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta
meneladani Rasulullah SAW.
Aqidah Islamiyyah:

Jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena
itulah pemahaman Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah Islamiyyh
adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi'in dan orang yang
mengikuti mereka dengan baik.

Nama lain Aqidah Islamiyyah:

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya,
at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari'iah dan al-Iman.

Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu ‘aqidah.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis
Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad
Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 33-35.
AKHLAK
1. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP AKI-ILAK
Sebagaimana telak kita ketahui bahwa komponen (utama) agama Islam adalah akidah, syari'ah
dan akhlak. Penggolongan itu didasarkan pada penjelasan Nabi Muhammad kepada Malaikat
Jibril di
depan para sahabatnya mengenai arti Islam, Iman dan Ihsan yang ditanyakan Jibril kepada
Beliau.
Intinya hampir sama dengan isi yang dikandung oleh perkataan akidah, syan`”ah dan akhlak.
Perkataan
ihsan (tersebut di atas) berasal dari kata ahsana-yuhsinu-ihsanan yang berarti berbuat baik.
Di dalam Al~Qur ' an terdapat kata ihsan yang artinya berbuat kebajikan atau kebaikan (antara
lain
pada surat an-Nahl (16) ayat 90) dan kebaikan ( pada surat ar-Rahman (55) ayat 60). Baik
kebajikan
maupun kebaikan rapat hubungamrya dengan akhlak
Kata akhlaq (kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi akhlak) berasal dari kata khilqun, yang
mengandung segi-segi persesuaian kata khaliq dan makhluq.
Dari sinilah asal perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi ugeran yang memungkinkan
timbulnya hubtmgan yang baik antara makhluk dan Khalik serta antara makhluk dengan
makhluk lain.
Menurut definisi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali, akhlak adalah; suatu sifat yang tertanam
dalam jiwa (manusia) yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang mudah dilakukan, tanpa
telalu banyak
pertimbangan dan pemikiran yang larna.
Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu perbuatan atau tindakan yang terpuji menurut
ketentuan
akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia melahirkan perbuatan
yang
jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk. (Mahyudin; 1991 15)
Kata dalam bahasa Indonesia yang lebih mendekati maknanya dengan akhlak adalah budi
pekerti.
Baik budi pekerti maupun akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung pada palaksanaan
atau
penerapannya melalu tingkah laku yang mungkin positif, mungkin negatif, mungkin baik
mungkin
buruk.
Yang termasuk ke dalam pengertian positif adalah segala tingkah laku, tabiat, watak dan
perangai
yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, rendah hati dan lain-lain sifat yang baik.
Sedang yang termasuk pengertian akhlak atau budi pekerti yang buruk adalah semua tingkah
laku, perangai, watak sombong, dendam, dengki, kianat, dan lain-lain sifat yang buruk. Yang
menentukan
apakah suatu perbuatan itu baik apa buruk adalah nilai dan norma agama, dan katakan bahwa al-
haq
datangnya dari Tuhamnu.
Suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai cerminan akhlak, jika memenuhi syarat berikut ini;
1. Dilakukan berulang-ulang sehingga hampir menjadi suatu kebiasaan
Pendidikan Agama Islam 7 5

Page 2
2. Timbul dengan sendirinya, tanpa pertimbangan yang lama dan dipikir-pikir terlebih dahulu.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia dengan takwa, yang akan
dibicarakan
nanti, merupakan “buah” pohon Islam yang berakarkan akidah, bercabang dan berdaun syari'ah.
Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah (sumah dalam bentuk
perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah ;
( ..wi aj) )
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak ” (HR. Ahmad)
“Mukmin yang paling sempurna imanya adalah orang yang paling baik akhlaknya ” U-I.R.
Tannizi).
Dan, akhlak nabi Muhamad, yang diutus menyempumakan akhlak manusia itu, disebut akhlak
Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahtu Allah yang kini terdapat dari Al-Qur”an
yang
menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam.
Di kalangan umat Islam masalah yang penting ini sering kurang digambarkan secara baik benar
kalau dibandingkan dengan penggambaran tentang syari'at, terutama yang berhubungan dengan
shalat;
sehingga, akibatnya, karena tidak mengenal butir-butir akhlak agama Islam, dalam praktek,
tingkah
laku kebanyakan orang Islam tidak sesuai dengan akhlak Islami yang disebut di dalam Al-Qur'an
dan
dicontohkan oleh Nabi Muhamad dalam kehidupan beliau sehari-hari.
Suri teladan yang diberikan Rasulullah selama hidup beliau merupakan contoh akhlak yang
tercantum dalam Al-Qur”an. Butir-butir akhlak yang baik yang disebut dalam berbagai ayat yang
tersebar
didalam al-Qur°an terdapat juga dalam Al-Hadits yang memuat perkataan, tindakan dan sikap
diam
Nabi Muhammad selama kerasulan beliau 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.
Menurut Siti Aisyah (salah satu Isteri Rasulullah), yang banyak sekali meriwayatkan sunnah
Rasulullah, akhlak Nabi Muhammad adalah (seluruh) isi Al-Qur 'an. Dan di dalam Al-Qur°an
pun
Rasulullah dipuji oleh Allah dengan Firman-Nya :
“Dan engkau Muhammad, sungguh memiliki akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Umat Islam seharusnya bersyukur karena Allah telah mengutus seorang insan kamil (manusia
sempuma) kedunia ini untuk diteladani. Sayang sekali, manusia yang sesungguhnya wajib
menjadi
idola kaum muslimin dan muslimat itu (seperti) kurang dikenal oleh ummat Islam sendiri karena
tidak
mempelajari sejarah hidup Rasulullah secara sistematis, dan benar.
Dahulu, juga sekarang, pada bulan Rabi'ul awal diadakan han' lahir Nabi Muhammad, yang
disebut
maulid Nabi tidak lagi dibarengi hidangan yang enak-enak, tetapi dengan acara khusus
menjelaskan
riwayat hidup Nabi Muhammad dalam berbagai aspeknya, terutama aspek akhlak yang
seyogyanya di
teladani oleh umat Islam baik dia muslim maupun muslimat. Dimasa lampau peringatan maulid
Nabi
Muhammad yang semula dimaksud untuk menghormati dan mencontoh akhlaknya, dilakukan
kampung-
76 Pendidikan Agama Islam

Page 3
kampung dengan suatu dengan suatu upacara khusus yang di akhiri dengan makan bersama
menikmati
makanan sumbangan masyarakat bersangkutan di tempat.
Dahulu, peringatan maulid Nabi Muhammad diselenggarakan dengan membaca kitab barzanji
yang di tulis dalam bahasa Arab yang tidak di ketahui artinya oleh pendengar. Oleh karena
keadaanya
demikian, pada suatu ketika, pemah, perayaan maulid Nabi Muhammad dinyatakan tidak ada
gunanya
diselenggarakan. Sebabnya adalah karena akhlak Rasulullah mengenai berbagai bidang hidup
dan
kehidupan manusia, tidak di tampilkan dalam acara tersebut.
Sesungguhnya peringatan maulid Nabi Muhamrnad, baik di adakan, asal dalam setiap upacara di
tampilkan, sekurang-kurangnya, secara umum akhlak beliau yang perlu di cuntoh, diteladani
umat Isalarn.
Akhlak adalah sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manuisia. Karena, itu, selain
dengan akidah, akhlak tidak dapat dipisahkan dengan syari”ah. Syari°ah mempunyai lima
kategori
pemilaian tentang perbuatan dan tingkah laku manusia, disebut al-ahkam al-khamsah seperti
yang telah
di uraikan di muka. Kategori penilaian itu tidak hanya wajib dan haram, tetapi juga sunnat,
makruh dan
mubah serta j a” iz. Wajib dan haram, tennasuk kategori hukum (duniawi) terutama, sedang
sunnat, makruh
dan mubah termasuk dalam kategori kesusilaan atau akhlak.
Sunnat dan makruh tennasuk ke dalam kategori kesusilaan umum atau kesusilaan masyarakat
sedang mubah atau ja'iz termasuk dalam kategori kesusilaan atau akhlak pribadi. Ini kentara
benar
kalau dihubungkan dengan ihsan dalam melakukan ibadah. Ihsan, dalam beribadat, adalah
melakukan
shalat, misalnya dengan baik dan khusuk (sungguh-sungguh, penuh penyerahan dan kebulatan
hati,
dengan kerendahan hati) seolah-olah yang melakukan shalat itu sedang melihat atau berhadapan
langsung
dengan Allah. Kalau tidak dapat membayangkan melihat Allah, kata Hadits Nabi yang berasal
dari
Umar bin Khattab itu, sekurang-kurangnya yang bersangkutan merasakan Allah melihat dia.
Karena syari”ah atau hukum Islam mencakup segenap aktivitas manusia, maka ruang lingkup
akhlak pun dalam Islam meliputi semua aktivitas manusia dalam segala bidang hidup dan
kehidupan.
Dalam garis besamya, seperti telah disebut di depan, akhlak dibagi dua pertama adalah akhlak
terhadap Allah atau Khalik (pencipta), yang kedua adalah akhlak terhadap makhluk (semua
ciptaan
Allah).
Akhlak terhadap Allah dijelaskan dan dikembangkan oleh Ilrnu Tasawuf dan tarikat-tarikat,
sedang
akhlak terhadap makhluk dijelaskan oleh ilmu akhlak, (dalam bahasa asing disebut ethics). Ilmu
akhlak,
dilihat dari sudut etimologi ialah upaya untuk mengenal budi pekerti, tingkah laku, atau tabi°at
seorang
sesuai dengan sensasinya.
Dipandang dari terminologi, ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas baik dan buruk,
antara yang terpuji dengan yang tercela tentang perkataan dan perbuatan manusia lahir dan batin
(Asmaran
AS, 1994 : 4,5).
Akhlak terhadap makhluk, dapat dibagi dua yaitu ;
(1) akhlak terhadap manusia dan
(2) akhlak terhadap bukan manusia.
Akhlak terhadap manusia dibagi lagi menjadi
Pendidikan Agama Islam 77

Page 4
(a) akhlak terhadap diri sendiri sedang
(b) akhlak terhadap orang lain dapat disebut misalnya akhlak terhadap Rasulullah, akhlak
terhadap
orang tua, akhlak karib terhadap kerabat, akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap
masyarakat.
Akhlak terhadap bukan manusia dapat dipecah lagi menjadi;
(i) akhlak terhadap makhluk hidup bukan manusia, misahiya akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan
(flora) dan hewan (fauna), dan
(ii) akhlak terhadap makhluk (mati) bukan manusia, misalnya akhlak terhadap tanah, air, udara
dan sebagainya. Akhlak terhadap manusia dan bukan manusia, kini disebut akhlak terhadap
lingkungan hidup. Butir-butir masing-masing akhlak ini akan disebutkan di bawah.
2. PERBANDINGAN UKURAN BAIK BURUK DALAM AKHLAK DENGAN ALIRAN
DALAM FILSAFAT ETIKA
Selain dengan kata-kata tersebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), perkataan akhlak
sering juga disamakan dengan kesusilaan, atau sopan santun. Bahkan, supaya kedengarannya
lebih “mod-
em” dan “mendunia', perkataan akhlak, budi pekerti dan lain-lain itu, kini sering diganti dengan
kata
moral atau etika. Penggantian itu sah-sah saja dilakukan, asal saja orang mengetahui dan
memahami
perbedaan arti kata-kata dimaksud.
Perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores, jamak kata mos yang berarti adat kebiasaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut di atas, moral artinya ajaran tentang baik buruk
yang
diterima umum mengenai perbuatan , sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak.
Moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai,
kehendak,
pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, buruk. Dimasukkannya
penilaian benar
atau salah ke dalam moral, jelas menunjukkan salah satu perbedaan moral dengan akhlak, sebab
salah
benar adalah penilaian dipandang dari sudut hukum yang di dalam agama Islam tidak dapat
dicerai
pisahkan dengan akhlak, seperti telah disinggung di atas.
Dalam Ensiklopedi Pendidikan (1976) Sugarda Poerbakawatja menyebutkan, sesuai dengan
makna
aslinya dalam bahasa Latin (mos), adat istiadat menjadi dasar untuk menentukan apakah
perbuatan
seseoran baik atau buruk. Oleh karena itu pula untuk mengukur tingkah laku manusia, baik atau
buruk,
dapat dilihat apakah perbuatan itu sesuai dengan adat istiadat yang umum diterima kesatuan
sosial atau
lingkungan tertentu.
Karena demikian halnya, maka dapat dikatakan, baik atau buruk suatu perbuatan secara moral,
bersifat lokal (Asmaran AS, 1994 : 9).
Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan. Yang dimaksud adalah
kebiasaan baik atau kebiasaan buruk. Dalam kepustakaan, umumnya, kata etika diartikan sebagai
ilrnu.
Makna etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, adalah ilmu tentang apa yang baik
dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak.
Di dalam Ensiklopedi Pendidikan tersebut di atas diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang
73 Pendidikan Agama Islam

Page 5
nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk. Kecuali mempelajari nilai-nilai, etika merupakan
pengetahuan
tentang nilai~nilai itu sendiri.
Sebagai cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai
perbuatan
baik atau buruk, ukuran yang dipergunakannya adalah akal pikiran. Akallah yang menentukan
apakah
perbuatan manusia itu baik atau buruk. Kalau moral dan etika diperbandingkan, moral lebih
bersifat
praktis, sedang etika bersifat teoritis. Moral bersifat lokal, etika bersifat umum (regional).
Sebelum membandingkan akhlak dengan moral dan etika, tidak ada salahnya kalau disebut juga
padanan lain akhlak yaitu kesusilaan. Kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan
ke dan
akhiran an. Susila dalam bahasa Sansekerta terdiri dari su dan sila. Su artinya baik atau bagus
dan sila
berarti sikap, dasar, peraturan hidup atau nonna.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesusilaan artinya perihal susila (beradab, sopan, tertib),
berkenaan dengan adab (kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti) dan sopan santun,
sesuai
dengan norma-nonna tata susila (Asmaran AS 1994: 10), menurut kebiasaan di suatu tempat
pada suatu
masa.
Akhlak Islami berbeda dengan moral dan etika. Perbedaannya dapat dilihat terutama dari sumber
yang menentukan mana yang baik mana yang buruk.
Yang baik menurut akhlak adalah segala sesuatu yang berguna, yang sesuai dengan nilai dan
norma agama; nilai serta norma yang terdapat dalam masyarakat, bermanfaat bagi diri sendiri
dan orang
lain.
Yang buruk adalah segala sesuatu yang tidak berguna, tidak sesuai dengan nilai dan nonna
agama
serta nilai dan nonna masyarakat, merugikan masyarakat dan diri sendiri. Yang menetukan baik
atau
buruk suatu sikap (akhlak) yang melahirkan perilaku atau perbuatan manusia, di dalam agama
dan
ajaran Islam adalah Al-Qur'an yang dijelaskan dan dikembangkan oleh Rasulullah dengan
sunnah beliau
yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis.
Yang menentukan perbuatan baik atau buruk dalam moral dan etika adalah adat-istiadat dan
pikiran
manusia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu masa.
Oleh karena itu, dipandang dari sumbemya, akhlak Islami bersifat tetap dan berlaku untuk
selama-
selamanya, sedang moral dan etika berlaku selama masa tertentu di suatu tempat tertentu.
Konsekuensinya, akhlak Islam bersifat mutlak, sedang moral dan etika bersifat relatif (nisbi).
Perbedaan pengertian ini harus dipahami supaya kita dapat membedakan sifat dan isi akhlak,
moral dan
etika, walupun dalam masyarakat ketiga istilah itu disinonim dan dipakai silih berganti untuk
menunjukkan sesuatu yang baik atau buruk, kendatipun istilah akhlak, tampaknya, makin lama
makin
terdesak.
3. IIVIPLEMENTASI AKI-ILAK DALAM KEHIDUPAN BERSAMA.
Butir-butir akhlak di dalam Al-Qur°an dan Al-Hadits bertebaran laksana gugusan bintang-
bintang
di langit. Karena banyaknya tidak semua dicatat di ruang ini. Lagi pula, selain satu butir dapat
dilihat
dari berbagai segi juga mempunyai kaitan bahkan persamaan dengan takwa. Dalam ruangan ini,
karena
itu, hanya dicantumkan beberapa saja sebagai contoh.
Pendidikan Agama Islam 79
Page 6
l. Akhlak terhadap Allah (Khalik) antara lain adalah:
a. Al-Hubb, yaitu mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapapun juga dengan
mempergunakan firman-Nya dalam Al-Qur'an sebagai pedoman hidup dan kehidupan;
Kecintaan kita kepada Allah diwujudkan dengan cara melaksanakan segala perintah dan
menjauhi segala larangan-Nya;
b. AI-Raja, yaitu mengharapkan karunia dan berusaha memperoleh keridaan Allah;
c. As-Syukr; yaitu mensyukuri nikmat dan kanmia Allah;
d. Qana'ah; yaitu menerima dengan ikhlas semua kada dan kadar Ilahi setelah berikhtiar
maksimal (sebanyak-banyaknya, hingga batas te1tinggi);
e. Memohon ampun hanya kepada Allah;
/T At-Taubat; bertaubat hanya kepada Allah. Taubat yang paling tinggi adalah taubat nasuha
yaitu taubat benar-benar taubat, tidak lagi melakukan perbuatan sama yang dilarang Allah,
dan dengan tertib melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya;
g. Tawakkal (berserah diri) kepada Allah.
2. Akhlak terhadap Makhluk, dibagi dua:
I.Akhlak terhadap Manusia, dapat dirinci menjadi:
(1). Akhlak terhadap Rasulullah (Nabi Muhammad), antara lain:
a. Mencintai Rasulullah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya;
b. Menjadikan Rasulullah sebagai idola, suri teladan dalam hidup dan kehidupan;
c. Menjalankan apa yang disuruh-Nya, tidak melakukan apa yang dilarang-Nya.
(2). Akhlak terhadap Orang tua (birrul walidain), antara lain:
a. Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya.
b. Merendahkan diri kepada keduanya diiringi perasaan kasih sayang.
c. Berkomunikasi dengan orang tua dengan khidmat, mempergunakan kata-kata lemah lembut.
d. Berbuat baik kepada ibu-bapak dengan sebaik-baiknya, dengan mengikuti nasehat baiknya,
tidak menyinggung perasaan dan menyakiti hatinya, membuat ibu-bapak ridha
e. Mendo'akan keselamatan dan keampunan bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-duanya
telah meninggal dunia.
(3) Akhlak terhadap Diri Sendiri, antara lain:
a. Memelihara kesucian diri.
b. Menutup aurat (bagian tubuh yang tidak boleh kelihatan, menurut hukum dan akhlak Islam).
c. Jujur dalam perkataan dan berbuat Ikhlas dan rendah hati.
d. Malu melakukan perbuatanjahat.
e. Menjauhi dengki dan menjauhi dendam.
f. Berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain.
g. Menj auhi segala perkataan dan perbuatan sia-sia.
80 Pendidikan Agama Islam

Page 7
(4.) Akhlak terhadap Keluarga, Karib Kerabat, antara lain:
a. Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga.
b. Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak.
c. Berbakti kepada ibu-bapak.
d. Mendidik anak-anak dengan kasih sayang.
e. Memelihara hubungan silahturrahim dan melanjutkan silaturrahmi yang dibina orang tua yang
telah meninggal dunia.
(5). Akhlak terhadap Tetangga, antara lain:
a. Saling mengunjungi.
b. Saling bantu di waktu senang lebih-lebih tatkala susah.
c. Saling beri-memberi, saling hormat-menghormati.
d. Saling menghindari pertengkaran dan permusuhan.
(6). Akhlak terhadap Masyarakat, antara lain:
a. Memuliakan tamu.
b. Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
c. Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa.
d. Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri
sendiri
dan orang lain melakukan perbuatan jahat (mungkar).
e. Memberi makan fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan kehidupamrya.
f. Berrnusyawarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama.
g. Mentaati putusan yang telah diambil.
h. Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan seseorang atau
masyarakat kepada kita.
i. Menepati janji.
II. Akhlak terhadap Bukan Manusia (Lingkungan Hidup) antara lain:
a. Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup.
b. Menjaga dan memanfaatkan alam terutama hewani dan nabati, fauna dan flora (hewan dan
tumbuh-turnbuhan) yang sengaja diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk
lainnya.
c. Sayang pada sesama makhluk.(Mohammad Daud Ali; 1997: 458)
Butir butir di atas merupakan akhlak yang baik. Ulama Akhlak menyatakan bahwa akhlak yang
baik merupakan sifat para Nabi dan orang-orang shiddiq. Sedangkan akhlak yang buruk
merupakan
sifat syaitan dan orang-orang tercela. Dengan demikian akhlak terbagi menjadi dua jenis, yaitu;
~ Akhlak baik atau terpuji (Akhlaqul Mahmudah), yakni perbuatan baik terhadap Tuhan (al-
Khaliq),
terhadap sesama manusia dan makhluk lainnya sebagaimana diuraikan pada butir-butir akhlak
di atas, dan
~ Akhlak yang tercela (Akhlaqul Madzmumah) yakni, perbuatan buruk terhadap Tuhan (Al-
Khaliq),
perbuatan buruk dengan sesama manusia dan makhluk yang laimiya. (mahyuddin; 1991: 9)
Pendidikan Agama Islam 31

Page 8
Berikut akan diuraikan secara singkat mengenai akhlak yang buruk:
Akhlak buruk terhadap Allah:
a. Takabbur (Al-Kibru) yaitu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak mau mengakui
kekuasaan Allah di alam ini, tennasuk mengingkari nikmat Allah yang ada padanya.
b. Musyrik (A I-Syirk) yaitu sikap yang mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya, dengan
cara menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya.
c. Murtad (Ar-Riddah) yaitu sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama Islam, untuk
menjadi
kafir.
d Munafiq (An-Nifaaq) yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan
kemauan
hatinya dalam kehidupan beragama.
e. Riya' (Ar-Riyaa ') yaitu suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baik yang
dilakukannya. Maka ia berbuat bukan karena Allah melainkan hanya ingin dipuji oleh sesama
manusia. Jadi perbuatan ini, kebalikan dari sikap ikhlas.
ff Boros atau Beifoya-foya (Al-Israaj) yaitu perbuatan yang selalu melarnpui batas-batas
ketentuan
agama. Tuhan melarang berrsikap boros, karena hal itu dapat melakukan dosa terhadap-Nya,
merusak perekonomian manusia, merusak hubungan sosial, serta merusak diri sendiri.
g. Rakus atau Tamak (Al-Hirshu atau Ath-Thama 'u) yaitu suatu sikap yang tidak pemah merasa
cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan
hak-hak orang lain. Hal ini, termasuk kebalikan dari rasa cukup (Al-Qanaa 'ah) dan merupakan
akhlaq buruk terhadap Allah, karena melanggar ketentuan larangan-Nya.
Akhlak Buruk terhadap Manusia ; antara lain:
a. Mudah Marah (Al-Ghadhab) yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh
kesadarannya, sehingga menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan orang lain.
b. Iri-hati atau Dengki (Al-Hasadu atau Al-Hiqdu) yaitu sikap kejiwaan seseorang yang selalu
menginginkan agar kenikmatan dan kebahagiaan hidup orang lain bisa hilang sama sekali.
c. Mengadu-adu (An-Namiimah) yaitu perilaku yang suka memindahkan perkataan
seseorang kepada orang lain, dengan maksud agar hubungan sosial keduanya rusak.
d. Mengumpat (Al-Ghiibah) yaitu suatu perilaku yang suka membicarakan keburukan seseorang
kepada orang lain.
e. Bersikap Congkak (Al-Ash 'aru) yaitu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan;
baik dilihat dari tingkah lakunya, maupun perkataannya.
ff Sikap Kikir (Al-Bukhlu) yaitu suatu sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa
kepada orang lain.
g. BerbuatAniaya (Azh-Zhulmu) yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain; baik kerugian
matriil maupun non-matriil. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa seseorang yang mengambil
hak-hak orang lain, termasuk perbuatan dzalim (menganiaya). (Mahyuddin; 1991 : 26-32)
Pendidikan Agama Islam

Page 9
Penggolongan sikap manusia dalam butir-butir akhlak tersebut di atas sebenamya merupakan
sebagian aplikasi dari kata taqwa, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya. Untuk
lebih memperluasnya pengertian taqwa, berikut ini akan diuraikan mengenai taqwa .
Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh
setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan
terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah
SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman
disebut sebagai orang-orang kafir.

Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah
maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain
dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang
diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.
Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk
berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akan tetapi sebaliknya, akidah-akidah
hasil rekayasa manusia berjalan sesuai dengan langkah hawa nafsu manusia dan menanamkan akar-akar
egoisme dalam sanubarinya.
Akhlak mendapatkan perhatian istimewa dalam akidah Islam.
Rasulullah saww bersabda:
‫ار َم ْاألَ ْخالَ ِق‬ ُ ُ ‫ُبع ِْث‬
ِ ‫ت ِأل َت ِّم َم َم َك‬
(Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).
Dalam hadis lain beliau bersabda: “Akhlak yang mulia adalah setengah dari agama”.
Salah seorang sahabat bertanya kepada belaiu: “Anugerah apakah yang paling utama yang diberikan
kepada seorang muslim?” Beliau menjawab: “Akhlak yang mulia”.

Islam menggabungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama menganjurkan
setiap individu untuk berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban (taklif) di atas pundaknya
yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak mengutarakan
wejangan-wejangan akhlaknya semata tanpa dibebani oleh rasa tanggung jawab. Bahkan agama
menganggap akhlak sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama tersusun dari keyakinan
(akidah) dan perilaku. Dan akhlak mencerminkan sisi perilaku tersebut.
Imam Baqir a.s. berkata:
‫إِنَّ أَ ْك َم َل ْالم ُْؤ ِم ِني َْن إِ ْي َما ًنا أَحْ َس ُن ُه ْم ُخلُ ًقا‬
(Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya).
Seseorang datang kepada Rasulullah saww dari arah muka dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah
agama itu?” Rasulullah saww menjawab: ”Akhlak yang mulai”. Kemudian laki-laki itu mendatangi beliau
dari arah kiri dan bertanya: “Apakah agama itu?” Beliau menjawab: “Akhlak yang mulia”. Lalu laki-laki itu
mendatangi beliau dari arah kanan dan bertanya: “Apakah agama itu?” “Akhlak yang mulia”, jawab
beliau untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya lali-laki itu mendatangi beliau dari arah belakang dan
bertanya: “Apakah agama itu?” Rasulullah saww menoleh kepadanya dan bersabda: “Apakah kau tidak
memahami agama? Agama adalah hendaknya engkau jangan suka marah”.
Amirul Mukminin a.s. berkata:
‫ِن حُسْ نُ ُخلُقِ ِه‬ ِ ‫ص ِح ْي َف ِة ْالم ُْؤم‬ َ ُ‫ُع ْن َوان‬
(Sifat utama seorang mukmin adalah kemuliaan akhlaknya).
Allamah Thabathaba’i menulis: “Akhlak tidak akan dapat membahagiakan sebuah masyarakat dan
mengarahkan manusia untuk memperbaiki amalnya kecuali jika akhlak itu bersandar kepada tauhid.
Yaitu keyakinan bahwa alam semesta, termasuk manusia memiliki Tuhan Yang Esa dan abadi yang segala
sesuatu tidak tersembunyi dari ilmu-Nya dan tidak ada kekuatan lain yang dapat menundukkan
kekuasaan-Nya. Ia mencipatakan segala sesuatu dengan aturan yang terbaik, tidak karena Ia butuh
kepadanya. Ia akan membangkitkan mereka kembali dan menghisabnya. Setelah itu, Ia akan
memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik karena perbuatan baik (yang pernah ia kerjakan di
dunia) dan menyiksa orang yang berbuat jelek karena kejelekan (yang pernah perbuat di dunia).
Kemudian mereka akan kekal dalam nikmat atau siksa.
Dan jelas, jika akhlak berlandaskan kepada akidah semacam ini, maka tugas manusia hanyalah
mengharapkan keridlaan Allah dalam segala tingkah lakunya. Taqwa adalah faktor penolak internal bagi
manusia dari mengerjakan dosa. Seandainya akhlak tidak bersandarkan kepada akidah ini (akidah
tauhid), niscaya tujuan utama manusia dalam setiap tingkah lakunya adalah berfoya-foya dengan
kenikmatan dunia yang fana dan tenggelam dalam lautan kehidupan materi.
Akidah-akidah yang memiliki paham Atheisme dengan persepsinya yang memusnahkan rasa
ketergantungan manusia kepada Penciptanya yang maha sempurna dan rasa bertanggungjawab kepada-
Nya, sebenarnya akidah-akidah tersebut telah memusnahkan satu sumber utama nilai-nilai akhlak
(dalam kehidupan manusia), dan ia tidak akan mampu menemukan sumber lain sekuat sumber itu
sebagai gantinya.
Akhlak adalah satu kebutuhan vital masyarakat. Akhlak adalah pengaman dari berkobarnya api
kejahatan yang sudah lama tersimpan dalam diri manusia. Atas dasar ini, membangun sebuah
masyarakat tanpa didukung oleh tuntunan-tuntunan akhlak bagaikan membangun sebuah bangunan di
atas tumpukan pasir.
Amirul Mukminin a.s. berkata:
َ َ ُ‫ان َي ْن َبغِيْ لَ َنا أَنْ َن ْطل‬
َ ‫ لَ َك‬،‫لَ ْو ُك َّنا الَ َنرْ ج ُْو َج َّن ًة َوالَ َن ْخ َشى َنارً ا َوالَ َث َوابًا َوالَ عِ َقابًا‬
ِ ‫ َفإِ َّن َها ِممَّا َت ُد ُّل َعلَى َس ِبي ِْل ال َّن َج‬،‫ار َم ْاأل ْخالَ ِق‬
‫اح‬ ِ ‫ب َم َك‬
(Apabila kita tidak mengharap surga dan tidak takut neraka, dan tidak mengharap pahala dan siksa,
maka sepatutnya kita mencari akhlak yang mulia. Karena akhlak mulia dapat menunjukkan kepada kita
jalan keselamatan).

Metode Akidah dalam Membentuk Manusia Berakhlak

Akhlak memperoleh perhatian khusus dalam ajaran-ajaran akidah Islam. Dengan ini, dalam usaha
membentuk manusia berakhlak mulia dan terselamatkan dari dekadensi moral, akidah mengikuti
metode-metode yang beraneka ragam demi mencapai hal itu. Metode-metode tersebut antara lain:
1. Menjanjikan Pahala Ukhrawi bagi Orang yang Berakhlak Mulia.
Akidah menjanjikan pahala yang besar dan derajat yang tinggi di akhirat kelak bagi orang yang berakhlak
mulia, dan siksa yang pedih bagi orang yang berakhlak tidak terpuji dan menyembah hawa nafsunya.
Rasulullah saww bersabda:
‫ض ِعيْفُ ْال ِع َبا َد ِة‬ ِ ‫ت ْاآلخ َِر ِة َو َش َرفِ ْال َم َن‬
َ َ‫از ِل َوإِ َّن ُه ل‬ ِ ‫إِنَّ ْال َعبْدَ لَ َي ْبلُ ُغ ِبحُسْ ِن ُخلُقِ ِه َعظِ ْي َم َد َر َجا‬
(Seorang hamba dengan akhlaknya yang mulia bisa mencapai derajat akhirat yang agung dan tempat
yang mulia kendatipun sedikit ibadahnya).
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
‫إِنَّ َح َس َن ْال ُخلُ ِق َي ْبلُ ُغ َد َر َج َة الصَّائ ِِم ْال َقائ ِِم‬
(Orang yang berakhlak terpuji dapat menyamai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam).
Beliau berwasiat kepada Bani Abdul Muthalib:
َّ ‫شوا ال َّسالَ َم َوصِ لُوا ْاألَرْ َحا َم َوأَ ْط ِعمُوا‬
‫الط َعا َم َو َطيِّـبُوا ْال َكالَ َم َت ْد ُخلُوا ْال َج َّن َة ِب َسالَ ٍم‬ ُ ‫ أَ ْف‬،ِ‫ُط ِلب‬
َّ ‫َيا َبنِي َعب ِد ْالم‬
(Wahai Bani Abdul Muthalib, sebarkanlah salam, sambunglah tali kekerabatan, berilah makan (kepada
orang-orang fakir) dan bertutur katalah yang baik, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat).

Beliau juga bersabda:


‫ْث ال َّشمْسُ ْال َجلِ ْي َد‬ ُ ‫ْث ْال َخطِ ْي َئ َة َك َما ُت ِمي‬
ُ ‫إِنَّ ْال ُخلُقَ ْال َح َس َن ُي ِمي‬
(Akhlak yang terpuji dapat mencairkan kejelekan sebagaimana matahari mencairkan es).
Imam Ash-Shadiq a.s. juga berkata: “Sesungguhnya Allah SWT akan memberikan pahala kepada
hambanya karena akhlaknya yang terpuji seperti Ia memberi pahala kepada seorang mujahid di jalan
Allah”.
Menjelaskan Efek-efek Duniawi Akhlak.
Seseorang yang berakhlak terpuji akan mampu beradaptasi dengan sesamanya, hidup bahagia, tentram
dan melangkah dengan mantap. Adapun orang yang tidak memiliki nilai dan prinsip-prinsip moral, ia
akan jatuh dalam jurang kegelapan, hidup dalam kecemasan dan kebingungan sehingga dirinya tersiksa,
tidak disenangi oleh sesamanya dan akhirnya akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan yang tidak
memiliki akibat yang terpuji.
Rasulullah saww bersabda:
‫ِّت ْال َم َو َّد َة‬
ُ ‫حُسْ نُ ْال ُخلُ ِق ُي َثب‬
(Akhlak yang terpuji dapat melanggengkan kecintaan).
Imam Ali a.s. berkata:
... ‫اق‬ ِ ‫َوفِي َس َع ِة ْاألَ ْخالَ ِق ُك ُن ْو ُز ْاألَرْ َز‬
(...Dan dalam akhlak yang mulia tersembunyi simpanan-simpanan rizki).
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
ْ‫شن‬ ُ ‫اخ‬ َ ‫ َوإِنْ شِ ْئتَ أَنْ ُت َه‬، ْ‫َوإِنْ شِ ْئتَ أَنْ ُت ْك َر َم َفلِن‬
ْ ‫ان َف‬
(Jika engkau ingin dihormati, maka berlemah lembutlah dan jika kau ingin dihina, maka bersikaplah
kasar).
IBADAH

Memahami tauhid tanpa memahami konsep ibadah adalah mustahil. Oleh karena itu
mengetahuinya adalah sebuah keniscayaan. Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan, “Ibadah
secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah,
hal. 28).

Adapun secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa definisi yang beraneka ragam.
Di antara definisi terbaik dan terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala
sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang
tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara
jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan,
menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan
orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu
sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang
dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya
adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut
kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya
untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya,
merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih
sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian
dari ibadah kepada Allah” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).

Dari keterangan di atas kita bisa membagi ibadah menjadi tiga; ibadah hati, ibadah lisan dan
ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang hukumnya wajib, ada yang
sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau haram. Dalam ibadah lisan juga
demikian, ada yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Begitu pula dalam ibadah anggota
badan. Ada yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sehingga apabila dijumlah ada
15 bagian. Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh
Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid.

Ta’abbud dan Muta’abbad bih


Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus
berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai
salah satu diantara dua perkara berikut :

1. Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini
dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi
kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).
2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah. Inilah
pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah
adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya,
baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang
tampak (lahir)”.
Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk
ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang terdapat di
dalam rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka apabila disebutkan kita harus
mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita harus benar-benar menghamba kepada Allah
saja dengan penuh perendahan diri yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah
dengan melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan (Al-Qaul Al- Mufid, I/7).

Pengertian ibadah secara lengkap


Dengan penjelasan di atas maka ibadah bisa didefinisikan secara lengkap sebagai : ‘Perendahan
diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh
syari’at-Nya.’ (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).

Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman
secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan
pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya.
Hal itu seperti halnya perilaku orang-orang munafiq yang secara lahir bersama umat Islam,
mengucapkan syahadat dan melakukan rukun Islam yang lainnya akan tetapi hati mereka
menyimpan kedengkian dan permusuhan terhadap ajaran Islam.

Macam-macam penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada
tiga macam :
1. Penghambaan umum,
2. Penghambaan khusus,
3. Penghambaan sangat khusus.

Penghambaan umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta,
mengatur, dsb). Penghambaan ini meliputi semua makhluk. Penghambaan ini disebut juga
‘ubudiyah kauniyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun di langit
maupun di bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai hamba” (QS.
Maryam [19] : 93). Sehingga orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam kategori ini.

Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di
atas muka bumi dengan rendah hati” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini meliputi semua
orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.

Adapun penghambaan sangat khusus ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was
salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya),
“Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur” (QS. Al Israa’ [17] : 3). Allah
juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan
apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang
lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut
‘ubudiyah syar’iyah (Al-Qaul Al-Mufid I/16, Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39).
Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga.
Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan sebab
perbuatannya. Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat, musibah, dsb) yang
menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya. Misalnya saja ketika
seseorang memperoleh kelapangan maka dia pun bersyukur. Atau apabila dia tertimpa musibah
maka dia bersabar. Adapun penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi
berdasarkan hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar
kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.
38-39).
PERAN,FUNGSI DAN TUJUAN IBADAH

Ibadah menurut  asal bahasanya berarti segala usaha lahir dan batin yang sesuai perintah agama
yang harus dituruti pemeluknya atau upacara yang berhubungan dengan agama. Sedangkan
menurut islam, ibadah mempunyai dua pengertian,yaitu:

1. Ibadah dalam pengertian khusus,yaitu “Lima Rukun Islam” yang wajib dilakukan oleh
setiap Muslim dengan beberapa pengecualian pada kondisi khusus.
2. Ibadah dalam pengertian luas atau umum,yaitu segala perbuatan yang dilakukan
seseorang dengan niat untuk mencari keridaan Allah, seperti seorang suami pergi ke
kantor guna mencukupi kebutuhan keluarganya.

Ibadah mempunyai peran,fungsi dan tujuan dalam kehidupan manusia. Berikut adalah peran dan
fungsi ibadah:

A. PERAN DAN FUNGSI IBADAH

Peran dan fungsi ibadah terbagi menjadi 2 yaitu peran dan fungsi ibadah secara umum dan secara
khusus

 Peran dan fungsi ibadah secara umum

Secara umum ibadah dapat berperan sebagai alat untuk menumbuhkan kesadaran pada diri
manusia bahwa ia sebagai insan diciptakan Allah khusus untuk mengabdi kepada diri-Nya. Ini
jelas disebutkan dalam Al Qur’an surat Az Zariyat ayat 56

56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

 Peran dan fungsi ibadah secara khusus

Peran dan fungsi ibadah secara khusus ini meliputi fungsi masing-masing dari jenis ibadah.
Jenis-jenis ibadah ini dapat dikelompokkan menjadi lima bagian atau biasa disebut Rukun Islam
yang terdiri dari syahadat,shalat,zakat,puasa, dan pergi haji jika mampu.

v      Peran dan fungsi Syahadat

Kalimat syahadat berbunyi : Asyhadu allaa ilaaha illa Allaah wa asyhadu anna Muhammad
Rasuul Allaah. Yang artinya adalah Aku mengaku tidak ada tuhan selain Allah dan Aku
mengaku Muhammad Utusan Allah.

Ikrar pertama yang diucapakan dalam syahadat adalah pernyataan suci penyaksian dan
keyakinan yang sungguh-sungguh tentang keesaan Allah. Bagian yang pertama ini mengandung
pengingkaran mutlak tentang adanya ilah-ilah,tuhan-tuhan ataupun dewa-dewa lain dalam segala
bentuknya selain Allah.  Kalimat ini membebaskan manusia dari pengkultusan individu
(pendewaan seseorang) Bagi orang beriman, kalimat ini sejatinya berfungsi untuk menimbulkan
kesadaraan akan harga dirinya sebagai manusia, dengan menutup segala kemungkinan untuk
menyombongkan diri,merasa lebih dari orang lain.

Ikrar selanjutnya ialah pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Mengenai
ini,ajaran islam hanya memberikan tempat yang sewajarnya saja kepada Rasul Allah. Seorang
muslim mengaku bahwa Nabi Muhammad adalah manusia biasa yang dipilih Allah untuk
menjadi Utusan-Nya.  Seperti yang telah difirmankan  Allah dalam surat Al Kahfi ayat 110:

110. Katakanlah( Muhammad)  Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.”
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”

Hal ini berfungsi untuk mencegah pegkultusan Nabi Muhammad  seperti yang telah dilakukan
kaum Nasrani yang telah mengkultuskan Nabi Isa as menjadi sekutu Allah.

v      Peran dan Fungsi Shalat

Shalat adalah suatu ibadah yang mengandung beberapa ucapan dan perbuatan tertentu,yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat adalah tiang agama,barangsiapa
yang ,menegakkannya maka dia telah menegakkan agama,barangsiapa yang menghancurkannya
dia menghancurkan agama. Peran dan fungsi shalat antara lain:

 Shalat dapat memberikan ketentraman dan ketabahan hati,sehingga orang tidak mudah
kecewa/gelisah mentalnya jika menghadapi musibah,dan tak mudah lupa daratan jika
mendapat kenikmatan/kesenangan, sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Maarij
ayat 20-22

20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, 21. dan apabila ia mendapat kebaikan ia
amat kikir, 22. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,

 Mencegah seseorang melakukan pernuatan keji dan munkar,sebagaimana firman Allah


dalam Al Qur’an  surat al Ankabut ayat 45:

45. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan

 Menumbuhkan Disiplin Pribadi

Dalam shalat kita dituntut untuk fokus dan selalu tepat waktu sehingga akan menumbuhkan rasa
disiplin bagi setiap individu yang melaksanakan shalat.

 Menyehatkan Fisik
Ternyata tak hanya manfaat shalat tak hanya berupa manfaat ruhani tapi, manfaat shalat juga
berupa manfaat fisik. Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyatakn
bahwa posisi dalam shalat sangat berguna untuk kesehatan fisik. Salah satunya adalah posisi
badan ketika sujud yang dapat memperlancar darah masuk ke otak sehingga otak lebih banyak
mendapat pasokan oksigen dan nutrisi. Hal ini dapat menyebabkan pikiran kita terasa lebih
jernih.
PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’
(terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara
lain adalah:

[1]. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

[2]. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling
tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

[3]. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla,
baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi
yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap),
mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan
dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah
ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang
berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan
lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka
melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan
ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada
Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang
beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku
bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia
adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar


Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’
(harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedang-kan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam
setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang
mukmin:

“Artinya : Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

“Artinya : Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

“Artinya : Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-
orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah
zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang
beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah
kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah


Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah
yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

ãóäú Úóãöáó ÚóãóáÇð áóíúÓó Úóáóíúåö ÃóãúÑõäóÇ Ýóåõæó ÑóÏøñ.

“Artinya : Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
[6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali
dengan adanya dua syarat:

[a]. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
[b]. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan
ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah
konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul,
mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“Artinya : (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat
kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada
Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’at-kan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman.

“Artinya : Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan
amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam ber-ibadah kepada Rabb-nya.” [Al-
Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha
illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita
wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah menjelaskan bagai-mana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan
bahwa semua bid’ah itu sesat. [7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:


[1]. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka,
beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman.

“Artinya : Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

[2]. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’
adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang
diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
[3]. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita[8] Maka, orang yang membuat tata
cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini
tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

[4]. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri,
maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang
terjadi di dalam ke-hidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan
pertikaian akan meliputi ke-hidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal
agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-
Nya.
Pengertian Akhlak Menurut Sarjana lslam

a) Imam Al-Ghazali   menyebut akhlak ialah suatu sifat


  

yang tertanam dalam jiwa . Daripada jiwa itu ,timbul


perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan
pertimbangan fikiran.
b) Prof. Dr. Ahmad Amin  mendefinasikan akhlak
 

sebagai kehendak yang dibiasakan . Maksudnya,


sesuatu yang mencirikan akhlak itu ialah kehendak
yang dibiasakan.  Ertinya, kehendak itu apabila
membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan
akhlak. Ahmad Amin menjelaskan erti kehendak itu
ialah ketentuan daripada beberapa keinginan manusia.
Manakala kebiasaan pula ialah perbuatan yang
diulang-ulang sehingga mudah melakukanya.
Daripada kehendak dan kebiasaan ini mempunyai
kekuatan ke arah menimbulkan apa yang disebut
sebagai akhlak.
c) Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu
  

keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau


jiwa itu) untuk melakukan perbuatan  dengan senang
tanpa didahului oleh daya pemikiran kerana sudah
menjadi kebiasaan.

 
et 2010
Pengertian Akhlak

Pengertian Akhlak
Akhlak dari kata Al-Akhlak, jamak dari Al-khuluq yang artinya kebiasaan, perangai, tabiat dan
agama.

Menurut Al Gazali, kata akhlak sering diidentikkan dengan kata kholqun (bentuk lahiriyah) dan
Khuluqun (bentuk batiniyah), jika dikaitkan dengan seseorang yang bagus berupa kholqun dan
khulqunnya, maka artinya adalah bagus dari bentuk lahiriah dan rohaniyah. Dari dua istilah
tersebut dapat kita pahami, bahwa manusia terdiri dari dua susunan jasmaniyah dan batiniyah.
Untuk jasmaniyah manusia sering menggunakan istilah kholqun, sedangkan untuk rohaniyah
manusia menggunakan istilah khuluqun. Kedua komponen ini memilih gerakan dan bentuk
sendiri-sendiri, ada kalanya bentuk jelek (Qobi’ah) dan adakalanya bentuk baik (jamilah).
Akhlak yang baik disebut adab. Kata adab juga digunakan dalam arti etiket, yaitu tata cara sopan
santun dalam masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka.

Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku / perangai (Imal-Suluh) atau Tahzib al-akhlak (Filsafat
akhlak), atau Al-hikmat al-Amaliyyat, atau al-hikmat al- khuluqiyyat. Yang dimaksudkan
dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk mensucikannya.
Dalam bahasa Indonesia akhlak dapat diartikan dengan moral, etika, watak, budi pekertim,
tingkah laku, perangai, dan kesusilaan.

Ruang Lingkup Akhlak


a) Akhlak pribadi
Yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka hendaknya seseorang itu
menginsyafi dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya dengan insyaf dan sadar kepada diri
sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang utama, budi yang tinggi. Manusia terdiri dari
jasmani dan rohani, disamping itu manusia telah mempunyai fitrah sendiri, dengan semuanya itu
manusia mempunyai kelebihan dan dimanapun saja manusia mempunyai perbuatan.

b) Akhlak Berkeluarga
Akhlak ini meliputi kewajiban orang tua, anak, dan karib kerabat.
Kewjiban orang tua terhadap anak, dalam islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk
memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran –ajaran yang bijak, islam telah
memerintahkan kepada setiap oarang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan
mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah
lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara istiqomah, terdidik untuk
berani berdiri sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan
kemuliaan.

Seorang anak haruslah mencintai kedua orang tuanya karena mereka lebih berhak dari segala
manusia lainya untuk engkau cintai, taati dan hormati. Karena keduanya memelihara,mengasuh,
dan mendidik,menyekolahkan engkau, mencintai dengan ikhlas agar engkau menjadi seseorang
yang baik, berguna dalam masyarakat, berbahagia dunia dan akhirat. Dan coba ketahuilah bahwa
saudaramu laki-laki dan permpuan adalah putera ayah dan ibumu yang juga cinta kepada engkau,
menolong ayah dan ibumu dalam mendidikmu, mereka gembira bilamana engkau gembira dan
membelamu bilamana perlu. Pamanmu, bibimu dan anak-anaknya mereka sayang kepadamu dan
ingin agar engkau selamat dan berbahagia, karena mereka mencintai ayah dan ibumu dan
menolong keduanya disetiap keperluan.

c) Akhlak Bermasyarakat
Tetanggamu ikut bersyukur jika orang tuamu bergembira dan ikut susah jika orang tuamu susah,
mereka menolong, dan bersam-sama mencari kemanfaatan dan menolak kemudhorotan, orang
tuamu cinta dan hormat pada mereka maka wajib atasmu mengikuti ayah dan ibumu, yaitu cinta
dan hormat pada tetangga.

Pendidikan kesusilaan/akhlak tidak dapat terlepas dari pendidikan sosial kemasyarakatan,


kesusilaan/moral timbul didalam masyarakat. Kesusilaan/moral selalu tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat hidup
sendiri–sendiri dan terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok, bantu-membantu,
saling membutuhkan dan saling mepengaruhi, ini merupakan apa yang disebut masyarakat.
Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat lancar dan tertib jika tiap-tiap individu sebagai
anggota masyarakat bertindak menuruti aturan-aturan yang sesuai dengan norma- norma
kesusilaan yang berlaku.

d) Akhlak Bernegara
Mereka yang sebangsa denganmu adalah warga masyarakat yang berbahasa yang sama
denganmu, tidak segan berkorban untuk kemuliaan tanah airmu, engkau hidup bersama mereka
dengan nasib dab penanggungan yang sama. Dan ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang
dari mereka dan engkau timbul tenggelam bersama mereka.

e) Akhlak Beragama
Akhlak ini merupakan akhlak atau kewajiban manusia terhadap tuhannya, karena itulah ruang
lingkup akhlak sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan
Tuhan, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.

Berangkat dari sistematika diatas dengan sedikit modifikasi penulis membagi pembahasan ruang
lingkup akhlak antar lain:
1. Akhlak terhadap Allah SWT
2. Akhlak terhadap Rasullah Swt
3. Akhlak Pribadi
4. Akhlak dalam keluarga
5. Akhlak bermasyarakat
6. Akhl;ak bernagara

Dalam konsep akhlak segala sesuatu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata
karena syara (Qu’an dan Sunah) yang menilainya demikian. Namun akhlak dalam ajaran agama
tidak dapat disamakan dengan etika, jikqa etika dibatasi pada sopan santun antar sesame
manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Pembinaan Akhlak
Pembinaan adalah suatu usaha untuk membina. Membina adalah memelihara dan mendidik,
dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Anak didik adalah anak yang masih dalam proses perkembangan menuju kearah kedewasaan.
Hal ini berarti bahwa anak harus berkembang menjadi manusia yang dapat hidup dan
menyesuaikan dari dalam masyarakat, yang penuh dengan aturan-aturan dan norma-norma
kesusilaan. Oleh karena itu perlulah anak di didik, dipimpin kearah yang dapat dan sanggup
hidup menuruti aturan-aturan dan norma-norma kesusilaan. Jadi maksud dari tujuan pendidikan
akhlak atau kesusilaan adalah memimpin anak setia serta mengerjakan segala sesuatu yang baik
dan meninggalkan yang buruk atas kemauan sendiri dalam segala hal dan setiap waktu.

Pada masa sekarang ini demoralisasi telah merajalela dalam kehidupan masyarakat, maka dari itu
diperlukan usaha-usaha pendidikan dalam mengupayakan pembinaan akhlak terutama pada masa
remaja, karena pada masa pubertas dan usia baligh anak mengalami kekosongan jiwa yang
merupakan gejala kegoncangan pikiran, keragu-raguan, keyakinan agama, atau kehilangan
agama. Menurut Al-Gazaly adalah menunjukkan suatu hikmah bahwa anak puber tersebut
memerlukan bekal untuk mengisi kekosongan jiwanya melalui sublimasi dan “way out” dari
problema yang dihindarinya.

Metode Pendidikan Akhlak


Yang dimaksud dengan metode disini ialah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik.
Adapun metode Islam dalam upaya perbaikan terhadap akhlak adalah mengacu pada dua hal
pokok, yakni pengajaran dan pembiasaan. Yang dimaksud dengan pengajaran adalah sebagai
dimensi teoritis dalam upaya perbaikan dan pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan
pembiasaan untuk dimensi praktis dalam upaya pembentukan (pembinaan) dan persiapan.

Ali Kholil Abu’Ainin didalam kitabnya : Falsafahtul Tarbiyatul Islamiyahtu Al-Qur’anil karim”
mengemukakan secara panjang lebar tentang metode pendidikan Islam, yang diringkasnya
menjadi 11 (sebelas) macam, yaitu :
1. Pengajaran tentang cara beramal dan pengalaman / ketrampilan.
Metode ini dapat dilakukan melalui ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan ijtihad.
2. Mempergunakan akal
3. Contoh yang baik dan jujur
4. Perintah kepada kebaikan, larangan perbuatan munkar saling berwasiat kebenaran, kesabaran
dan kasih sayang.
5. Nasihat-nasihat
6. Kisah-kisah
7. Tamsil
8. Menggemarkan dan menakutkan atau dorongan dan ancaman.
9. Menanamkan atau menghilangkan kebiasaan.
10. Menyalurkan bakat.
11. Peristiwa-peristiwa yang berlalu.
Menurut al-nahlawi metode pendidikan yang diajurkan, antara lain :
1. Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi
Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik,
dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru).
Dalam percakapan itu bahan pembicaraan tidak dibatasi, dapat digunakan berbagai konsep sains,
filsafat, seni, wahyu, dll. Kadang-kadang pembicaraan sampai pada satu kesimpulan, kadang-
kadang tidak sampai pada kesimpulan, karena salah satu pihak tidak puas terhadap pendapat
pihak lain. Yang manapun ditemukan hasilnya dari segi pendidikan tidak jauh berbeda, masing-
masing mengambil pelajaran untuk menentukan sikap pada dirinya.

Metode Hiwar pada saat ini masih efektif dipakai dalam belajar mengajar, yakni sama dengan
diskusi pada zaman sekarang ini, dan memang cukup efektif untuk melatih anak didik lebih
mandiri karena mereka dapat berdialog dari hasil bacaan mereka sendiri pada tema yang telah di
tentukan oleh gurunya.

2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi


Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu bidang studi), kisah
sebagai suatu metode pendidikan amatlah penting, untuk dapat merenungkan kisahnya, yang
menyentuh hati umat manusia. Kisah Qur’ani adalah untuk mendidik perasaan keimanan.

3. Metode amtsal (perumpamaan)


Metode ini banyak kita temui dalam Al-qur’an, antara lain :

Dalam surah Al-Baqarah ayat 17. Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti orang yang
menyalakan api.
‫مثلهم كمثل الذي استو قدنارا فلما اضأت ما حوله ذهب هللا بنورهم وتركهم فى ظلمت اليبصرون‬
Dalam surah Al-Ankabut ayat 41 Allah mengumpamakan sesembahan atau Tuhan orang kafir
dengan sarang laba-laba, Perumpamaan orang-orang yang berlindung kepada selain Allah atau
seperti laba-laba yang membuat rumah, padahal rumah yang paling lemah adalah rumah laba-
laba.

‫مثلهم الذين اتخذوا من دون هللا اوليأ كمثل المنكبوت اتخذت بيتا وان اوهن البيوت لبيت المنكبوت لوكانوا يعلمون‬
Kebaikan dari metode ini adalah :
a) Memudahkan siswa memahami konsep yang abstrak.
b) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan
tersebut.
c) Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah logis dan mudah
dipahami.
d) Perumpamaan Qur’ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk berbuat
amal baik dan menjauhi kejahatan.

4. Metode Teladan
Secara psikologis anak menang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelekpun ditirunya.
Dalam teori tabula rasa (John Lock dan Francis Bacon), bahwa anak yang baru dilahirkan dapat
di umpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi, segala kecakapan dan
pengetahuan manusia timbul dari pengalaman yang masuk melalui alat indra.

5. Metode Pembiasaan
Inti dari pembiasaan adalah pengulangan, metode mendidik anak murid pada masa kini. Yang
menetapkan bahwa dengan cara mengulang –ngulangi pengalaman dalam berbuat sesuatu dapat
meninggalkan kesan-kesan yang baik dalam jiwanya, dan dari aspek inilah anak akan
mendapatkan kenikmatan pada waktu mengulang-ngulangi pengalaman yang baik itu, berbeda
dengan pengalaman-pengalaman tanpa melalui praktik.

6. Metode Ibrah dan mau’idah


Ibrah ialah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang
disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya.
Adapun Mu’idah ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan
pahala atau ancamannya.

7. Metode Targib dan Tarhib


Targib ialah janji terhadap kesenangan, kenilematan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah
ancaman karena dosa yang dilakukan.

Sedangkan menurut Prof. Dr.H.M Arifin Med, bahwa dalam Al-Qur’an dan sunah nabi dapat
ditemukan metode-metode untuk pendidikan agama, antara lain :
a) Perintah / larangan
b) Cerita tentang orang-orang yang taat dan orang-orang yang berdosa (kotor) serta akibat-akibat
dari perbuatannya.
c) Peragaan, misalnya manusia disuruh melihat kejadian dalam alam ini, dengan melihat gunung,
laut, hujan, tumbuhan dan sebagainya.
d) Instruksional (bersifat pengajaran), misalnya menyebutkan sifat-sifat orang yang beriman,
begini dan begitu dan lain sebainya.
e) Acquisition (self : aducation), misalnya menyebutkan tingkah laku orang yang munafik itu
merugikan diri mereka sendiri, dengan maksud manusia jangan menjadi munafik dan mau
mendidik dirinya sendiri kearah iman yang sesungguhnya.
f) Mutual Education (mengajar dalam kelompok), misalnya nabi mengajar sahabat tentang cara-
cara sembah yang dengan contoh perbuatan yang mendemonstrasikannya.
g) Exposition (dengan menyajikan) yang didahului dengan motivasion (menumbuhkan minat)
yakni dengan memberikan muqodimah lebih dahulu, kemudian baru menjelaskan pelajarannya.
h) Function (pelajaran dihidupkan dengan praktek) misalnya nabi mengajarkan tentang hukum-
hukum dan syarat-syarat haji, kemudian nabi bersama-sama untuk mempraktekannya.
i) Explanation (memberi penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas) misalnya nabi memberi
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, seperti ayat-ayat yang memerintahkan bersembahyang dan
sebagainya.

Konsep pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Gazaly tentang pentingnya
pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama,
terutama karena pembiasaan itu dapat berpengaruh baik terhadap jiwa manusia, yang
memberikan rasa nikmat jika diamalkan sesuai dengan akhlak yang telah terbentuk dalam
dirinya.
Begitu juga metode mendidik anak pada masa kini yang menetapkan bahwa dengan cara
mengulang-ulangi pengalaman dalam berbuat sesuatu dapat meninggalkan kesan-kesan yang
baik dalam jiwanya, dan dari aspek inilah anak akan mendapatkan kenikmatan pada waktu
mengulang-ulangi pengalaman yang baik itu, berbeda dengan pengalaman yang diperoleh
dengan tanpa melalui praktek, maka kesan yang ditinggalkan adalah jelek.

Pandangan Al-Gazaly tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John
Dewey, yang mengatakan “Pendidikan moral itu terbentuk dari proses pendidikan dalam
kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus menerus”.

Oleh karena itu pendidikan akhlak menurut John Dewey adalah pendidikan dengan berbuat dan
berkegiatan (learning by doing) yang terdiri dari pada tolong menolong, berbuat kebajikan dan
melayani orang lain, dapat dipercaya dengan jujur. John Dewey berpendapat bahwa akhlak
(moralitas) tidak dapat diajarkan kepada anak dengan melalui cerita-cerita yang dikisahkannya,
akan tetapi hanya dapat diajarkan melalui praktek yang manusiawi saja. Sehingga kebajikan dan
moralitas dan pengertian yang terkandung didalam cerita-cerita tidak mungkin dipindahkan
(transformasikan) kedalam jiwa anak untuk menjadi akhlaknya, yang kemudian berinteraksi
dengan anak lain berdasarkan atas pemeliharaan keutamaan-keutamaannya, akhlak (moralitas)
hanya dapat diajarkan dengan cara membiasakan dengan perbuatan praktis.

Tujuan Pembinaan Akhlak


Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika diatasi pada sopan
santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terlebih dahulu serta mencakup
pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap
batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak
terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
benda-benda tak bernyawa).
a) Akhlak Terhadap Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah atau pengukuran dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian Agung sifat terpuji itu, yang jangankan manusia,
malaikat pun tidak akan mampu menjunjungkan hakikatnya.

b) Akhlak Terhadap Sesama Manusia


Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap
sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-
hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta hati dengan jalan
menceritakan aib seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun
sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
)263 :/2 ‫قول معروف ومغفرة خير من صدقة يتبعهاازى وهللا غني حليم ( البقره‬
Artinya : “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai
dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima)”.
(Q.S. Al-Baqarah/2 : 263).

Disisi lain Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi
Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia yang sempurna, namun dinyatakan
pula sebagai Rosul yang memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu Al-
Qur’an berpesan kepada orang-orang

You might also like