You are on page 1of 17

RASIONALISME KRITIS KARL POPPER DAN

REVOLUSI SAINS THOMAS KUHN

(Suatu Telaah Dalam Penerapan Konsep Hukum di Indonesia)

A. PENDAHULUAN

Saat ini kita bisa melihat bagaimana dominasi Ilmu Pengetahuan dalam

kehidupan manusia setiap hari. Dominasi Ilmu pengetahuan nampak melalui para

ilmuan sendiri yang memproklamirkan keisitimewaan pengetahuan yang mereka

miliki, juga isi dan metode yang mereka gunakan. Karena para ilmuan yakin bahwa

kontribusi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada metode yang digunakan oleh

ilmu pengetahuan itu sendiri. Banyak metode yang sudah diperkenalkan oleh para

ahli, untuk meligitimasi hasil penelitian ilmiah, dan membantu manusia untuk

mengatahui apakah suatu pernyataan ilmiah itu benar atau salah.

Ilmu merupakan pengetahuan yang di dapatkan lewat metode

ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu sarana

berfikir, yang memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara

teratur dan cermat. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat

membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus

ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk

memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik,

sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk

mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk bisa

memecahkan masalah sehari-hari

Berfikir biasa merupakan suatu proses pengembangan ide dan

1
konsep yang tingkatannya masih terbatas atau sederhana karena

prosesnya sanagtlah mudah dan hamp[ir semua orang dapat

melakukannya. Berfikir ilmiah yaitu berfikir disini telah disusun

secara sistematis mengenai sebuah objek tertentu yang

menghasilkan pengetahuan ilmiah

Berfikir filsafat yaitu tahapan paling tinggi dari jenis berfikir,

berfikir disini meliputi berfikir biasa, berfikir ilmiah dan

berfilsafat.yaitu berfikir dengan logis dan rasional dengann segala

pembuktian yang dapat di pertanggung jawabkan dan di terima oleh

umum

Berfikir biasa merupakan proses berpikir/ pengembangan

pikiran tanpa didasarkan unsur ilmu dan filsafat, dimana berfikir

disini hanya sederhana saja. Sedangkan Berfikir ilmiah merupakan

proses berfikir/ pengembangan pikiran yang tersusun secara

sistematis yang berdasarkan teori-teori dari pengetahuan-

pengetahuan ilmiah yang sudah ada

Karl Popper berpendapat bahwa kita tidak dapat membuktikan

bahwa suatu teori ilmu pengetahuan itu benar hanya dengan

menambahkan bukti – bukti empiris yang baru. Sebaliknya, jika

suatu bukti telah berhasil menunjukan kesalahan suatu teori, hal itu

sudahlah cukup menunjukan bahwa teori tersebut tidak tepat.

Kemudian, ia menunjukan bahwa suatu teori ilmiah tidak dapat

selalu cocok dengan bukti – bukti yang ada. Bahkan, jika suatu teori

mau dianggap sebagai teori ilmiah, teori tersebut justru haruslah

dapat difalsifikasi. Tentu saja, didalam prakteknya, suatu teori tidak

2
otomatis dinilai tidak memadai, hanya karena ada satu bukti yang

berlawanan dengant teori tersebut. Mungkin saja, bukti bukti yang

diajukan untuk memfalsifikasi suatu teori itulah yang justru tidak

tepat.

Sedangkan Thomas Khun, ia memahami tentang kemajuan di

dalam ilmu pengetahuan dengan berpijak pada teori falsifikasi

Popper. Ia merumuskan teori baru yang didasarkan pada penelitian

historis bagaimana ilmu pengetahuan mengalami perubahan dan

perkembangan dalam sejarahnya. Ia menyimpulkan bahwa ilmu

pengetahuan tidak secara otomatis menyingkirkan suatu teori ketika

ada bukti – bukti yang berlawanan dengan teori tersebut, melainkan

perubahan tersebut terjadi melalui proses yang bersifat gradual dan

kumulatif.

Diketahui bahwa seluruh cara berpikir seorang ilmuwan pun

selalu sudah dipengaruhi oleh paradigma tertentu, serta

membutuhkan argumentasi yang sangat kuat dan signifikan untuk

mengubah paradigma tersebut. Menurut Khun, suatu paradigma

tidak selalu terbuka pada proses falsifikasi secara langsung. Dan

karena suatu paradigma mempengaruhi proses penafsiran atas

suatu bukti, maka bukti – bukti yang ada seringkali menyesuaikan

dengan paradigma. Dibutuhkan lompatan yang penuh keberanian,

jika seorang ilmuwan hendak mengganti paradigma yang telah

dipakai sebelumnya

Dalam tulisan ini penulis akan menguraikan perbandingan kritis teori Falsifikasi

dari Karl Popper dan Teori Revolusi Sains Thomas Khun, kemudian akan membahas

3
diantara kedua teori tersebut mana yang paling tepat dianut untuk penerapan ilmu

hukum kita?

B. PEMBAHASAN1

1. Karl Popper: Teori Falsifiksi

Karl Prpopper mengkritik dan mempertanyakan metode induksi yang sudah

mapan bahkan ia menolak metode induksi dan mengagggapnya sebagai metode yang

tidak sah secara logis. Popper kemudian memperkenalkan metode falsifikasi sebagai

berikut:

P1 -------- > TS -------- > EE --------- > P2

P1 : Problem yang ingin dipecahkan


TS : Tentative Solution
EE : Error Elimination
P2 : Problem baru yang timbul setelah dilakukan falsifikasi kritis.

Popperian question: ‘what data would it take to change your


mind?’2

1
Disarikan dari catan Kuliah Filsafat Hukum Lanjut untuk Program Doktor Univesitas
Padjadjaran oleh Prof. Dr. H Lili Rasjidi.,SH., S.Sos., LL.M
2
http://scienceblogs.com/ethicsandscience/2007/02/what_scientists_believe_and_wh.php

4
Ciri-ciri Epistemologi Propper:
Obyektif : Tidak berpikiran dalam citra melainkan dalam problem dan
solusi tentative terhadapnya.
Rasional : Menggunakan pendekatan kritikal (Rasionalisme)
Kritis : Kritik termasuk dalam mekanisme pertumbuhan pengetahu-
an itu sendiri.
Evolusioner : Prosedur penemuan dan pembangunan kesalahan (reputasi)
terhadap terori-teori yang tidak tangguh. (mirip dengan
seleksi alam Dawin).
Realistis : Dilandasi atas terdapatnya dunia nyata.
Pluralistis : Tidak seorangpun entah pencipta teori itu ataupun orang lain
yang mencoba memahami seluruh kemungkinan yang
terkandung dalam teori tersebut.

5
Para pendukung teori falsifikasi menolak induktivisme karena menurut

pendukung teori Falsifikasi setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang

mendahuluinya. Sebagaimana dikatakan oleh Karl Popper,”Perkembangan suatu ilmu

pengetahuan dimulai dengan hipotesa dari proposal imajinasi, sesuatu yang berasal

dari sebuah pengertian individu dan tak dapat diprediksi…” Karena itu, teori ilmiah

yang diperoleh melalui observasi ditolak oleh mereka. Teori sebenarnya merupakan

hasil rekaya intelek manusia untuk mengatasi setiap problem dalam kehidupan mereka.

Teori-teori ini nanti diuji dengan eksperimen-eksperimen atau observasi, bila ada teori

yang tidak bertahan akan dinyatakan gagal dan harus diganti oleh teori spekulatif

lainnya. Menurut Popper kemajuan ilmu tidaklah berkaitan dengan kenyataan bahwa

dalam perjalanan waktu terkumpul pengalaman-pengalaman pengamatan yang

bertambah-tambah.. Juga bukan karena kenyataan bahwa kita memanfaatkan indera

kita dengan baik. Dari pengalaman-pengalaman indera yang belum dijamah

interpretasi kita tidak memperoleh ilmu pengetahuan, tak peduli betapun rajin kita

mengumpulkan dan memilah-milahkannya. Justru ide-ide yang berani, antisipasi-

antisipasi yang belum dibenarkan, dan gagasan-gagasan spekulatif- hanya itulah sarana

kita untuk menafsirkan alam: hanya itulah instrumen-instrumen kita untuk memperoleh

pengetahuan. Menurut Popper, bahkan tes yang cermat atas ide-ide kita dengan

pengalaman pada gilirannya juga diilhami oleh ide-ide. Eksperimen, kata Popper,

adalah perbuatan terencana di mana setiap langkah dibimbing oleh teori. Kita harus

aktif; kita harus membuat pengalaman kita. Kitalah yang merumuskan pertanyaan

untuk diajukan kepada alam. Akhirnya kita pulalah yang memberikan jawaban

Menurut teori falsifakasi, ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian hipotesis-

hipotesis yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah laku manusia

atau kenyataan dalam alam semesta. Hipotesis itu layak disebut teori atau hukum

6
ilmiah jika memenuhi syarat fundamental berikut: hipotesis itu harus terbuka terhadap

kemungkinan falsifikasi. Artinya, ciri khas pengetahuan ilmiah ialah dapat dibuktikan

salah. Dengan cara itulah hukum-hukum ilmiah dapat dibangun dan berkembang maju.

Bila suatu hipotesis telah dibuktikan salah, maka hipotesis itu ditinggalkan dan diganti

oleh hipotesis baru. Kemungkinan lain adalah bahwa hanya salah satu unsur hipotesis

yang dibuktikan salah, sedangkan inti hipotesis dapat dipertahankan, maka unsur tadi

ditinggalkan dan diganti dengan unsur baru. Dengan demikian, hipotesis tersebut

disempurnakan, walaupun tetap terbuka untuk dibuktikan salah. Popper beranggapan

bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah ternyata bahwa ia dapat

meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Pengujian kedua kekuatan teori itu akan

dilakukan melalui suatu tes empiris, yaitu tes yang direncanakan untuk membuktikan

salah apa yang diujinya (memfalsifisikasi). Kalau dalam tes tersebut sebuah teori

terbukti salah, maka teori tersebut akan dianggap batal, sedangkan teori yang bertahan

dan lolos dalam tes tersebut akan diterima sampai ditemukannya cara pengujian yang

lebih ketat. Sebaliknya, menurut Popper hipotesa, hukum dan teori falsifikasi yang

kalah dalam proses falsifikasi akan ditinggalkan. Dengan demikian kita dapat

menyaksikan bahwa tidak ada suatu ungkapan, hipotesa, hukum maupun teori ilmiah

yang defenitif. Bagi Popper segala pengetahuan bersifat sementara, maka terbuka

untuk dikatakan salah. Karena itu, menurut Popper kita harus meninggalkan usaha

untuk mencari kepastian mutlak dalam pengetahuan manusia. Pengetahuan kita

selamanya bersifat konjektural, tentatif, dan selalu harus diuji. Ini mempunyai

implikasi metodologis, yakni bahwa suatu teori harus dirumuskan sejelas mungkin

sehingga terbuka terhadap penyangkalan. Jadi, ilmu pengetahuan dalam pandangan

Popper, merupakan suatu sistem yang terbuka dinamis, dan tak pernah final.

2. Thomas Kuhn : Revolusi Sains

7
Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia

tidak dapat mencapai kesempurnaan absolud dalam konotasi dapat dirumuskan dengan

definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-

endend atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan.

Bagi Thomas Kuhn pandangan tradisional tentang ilmu baik indukvitas atau

falsifikasionis semuanya tidak mampu bertahan dalam sejarah. Disini Kuhn

menggunakan sejarah sebagai dasar untuk menyusun gagasan teorinya. Sejarah telah

membantu menemukan konstelasi fakta, teori dan metoda-metoda yang tersimpan

dalam buku-buku tentang sains. Dengan jalan begitu, Kuhn menemukan suatu proses

perkembangan teori yang selanjutnya disebut proses perkembangan teori paradigma

yang bersifat revolusioner.

Sejak saat itu teori Kuhn tentang ilmu kemudian dikembangkan sebagai usaha

untuk menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah, sebagaimana

yang dilihat oleh Kuhn, maka disimpulkan ilmu pengetahuan berkembang secara

revolusioner.

Pemikiran Kuhn kurang lebih dapat diuraikan dengan model, sebagai berikut:

P (1) ------- > NS -------- > A ------- > C -------- > R ---------- > P (2)

P (1) : Ilmu pengetahuan tertentu (1) pada waktu tertentu (1) dipengaruhi oleh
paradigma tertentu P (1). Simbol P(1) adalah kapasitas pardigma saat itu
untuk mengatisipasi permasalahan yang dihadapi masyarakat.

NS : Normal Science adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan, dimana


ilmuwan-ilmuwan bekerja dengan memegang teguh paradigma yang berlaku
dan berpengaruh saat itu, yaitu P (1).

A : Anomali adalah periode pertentangan antara kelompok ilmuwan yang


berpegang teguh dengan pencapaian-pencapaian lama dari paradigma lama P
(1), dengan ilmuwan-ilmuwan yang menanggapi kehadiran gejala-gejala

8
baru yang sedang berkembang yang menghendaki perubahan-perubahan
untuk menjawab tantangan-tantangan dari permasalahan yang baru dan akan
datang.

C : Jika pertentangan memuncak dan paradigma yang ada P (1) tidak dapat lagi
menjawab dan memecahkan masalah yang timbul, maka krisis (C) akan
timbul. Pada periode ini keberdaan paradigma lama akan disanggah habis-
habisn. Krisis ini akan diakhiri oleh munculnya teori baru, yang ditandai
dengan proses penggantian kedudukan yang radikal, yaitu runtuhnya
paradigma lama P (1) maka terjadi revolusi sains.

R :Pardigma baru menggantikan paradigma lama. Muncul teori baru secara


revolusioner. Bertolak dari dasar-dasar itu muncul paradigma baru P (2), dan
runtuhlah paradigma lama P (1).

Berdasarkan karakter proses ini maka cirri utama untuk menentukan standar

revolusi sains adalah, ada atau tidaknya terobosan terhadap komitmen sains yang

normal. Ciri lainnya adalah ada tidaknya anomaly, krisis dan akhirnya pergantian

kedudukan terhadap suatu teori lama. Menurut Kuhn, revolusi sains tidak selalu

merupakan gejala eksplisit yang tegas. Sering merupakan proses yang implicit dari

perubahan unsure-unsur penting dari suatu formula.

Konsep sentral Kuhn ini dijelaskan dalam bukunya “The Structure of Scienctific

Revololution” adalah Paradigma yang merupakan elemen primer dalam progress

Sains. Seorang ilmuan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah

dibangun sekitar paradigma dasar. Paradigma itu memungkinkan seorang ilmuan untuk

memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul

begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya dan

menuntut adanya revolusi paradigmatic terhadap ilmu tersebut.

B. KELANGSUNGAN HIDUP ALIRAN-ALIRAN HUKUM DAN


PENERAPANNYA DALAM HUKUM NASIONAL MENURUT

9
FALSIFIKASI DAN REVOLUSI SAINS

Para pendukung teori falsifikasi Propper menolak pandangan induktivisme

bahwa ilmu pengetahuan selalu berangkat dari observasi-observasi, karena menurut

pendukung teori falsifikasi setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang

mendahuluinya. Teori ini kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau

observasi, bila ada teori yang tidak bertahan akan dinyatakan gagal dan harus diganti

oleh teori spekulatif lainnya. Namun, apa yang dikritik oleh pendukung teori falsifikasi

ini sekaligus menjadi kelemahan mereka. Pertama, karena pernyataan-pernyataan

observasi sangat tergantung pada teori dan dapat salah. Dan sering terjadi justru

pernyataan-pernyataan observasi yang salah. Karena itu, tidak benar bahwa pernyataan

observasi selau benar sedangkan hipotesis atau teori mengandung kemungkinan salah.

Bisa jadi bahwa teori yang difalsifikasi bertahan sedangkan pernyataan observasi itu

yang salah dan disingkirkan. Kedua, menurut pendukung teori falsifikasi, hipotesis

yang tidak bertahan terhadap pernyataan-pernyataan eksperimen dan observasi harus

mundur karena tidak lagi penting. Akan tetapi pandangan ini tidak sesuai dengan

kenyataan historis, karena ada hipotesis yang dikemukakan dan tidak konsisten sesuai

dengan pernyataan observasi, tetapi tidak pernah ditolak.

Kuhn juga mengkritik Popper yang berpendapat bahwa aktivitas-aktivitas ilmiah

berpusat pada falsifikasi atau menguji teori; kemudian, dengan berpegang pada

pernyataan-pernyataan observasi seorang ilmuwan bertugas menguji semua teori atau

hipotesis. Kuhn mengkritik karena menurutnya, para ilmuwan yang berkecimpung

dalam “normal science” bukan lagi penguji teori tetapi pemecah masalah dan kesulitan

hidup. Dalam kemapaman paradigma itu tidak ada lagi pertentangan antara paradigma.

Karena paradigma yang telah diterima dipakai sebagai landasan dan pedoman untuk

10
praksis kehidupan. Dengan demikian Kuhn memberikan suatu sumbangan yang besar

kepada manusia, bahwa ilmu pengetahuan dan aktivitas-aktivitas ilmiah tidak

mempunyai tujuan dalam dirinya sediri, melainkan bertugas melayani manusia. Selain

itu Kuhn juga mengkritik Popper yang dianggapnya telah memutarbalikkan kenyataan

dengan menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis disusul upaya

falsifikasi.

Melawan Popper, Kuhn mendasarkan pada sejarah ilmu, ia berpendapat bahwa

terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi berdasarkan upaya

empiris untuk membuktikan salah suatu teori/sistem melainkan berlangsung melalui

revolusi-revolusi ilmiah . Yang dimaksud dengan revolusi ilmiah,”Segala

perkembangan nonkumulatif di mana paradigma yang telebih dahulu ada diganti

dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian, dengan yang baru.”

Dalam sejarah filsafat hukum, hukum alam telah mengalami masa jabatan selama

lebih dari 2000 tahun, kemudian tergeser oleh positivisme hukum. Akan tetapi, pada

abad XX ia tampil kembali kendatipun dalam keadaan yang dianut dan yang tidak

dianut. Oleh karena itu, pertanyaan yang mengusik adalah teori manakah yang lebih

cocok untuk menjelaskan perkembangan dan penerapannya dalam hukum kita?

Pertanyaan ini akan dijawab melalui pendekatan falsifikasi dan revolusi sains terhadap

mazhab-mazhab dalam teori ilmu hukum.

Walaupun antara teori falsifikasi Karl Popper dan teori revolusi sains Thomas

Kuhn hingga saat ini masih tampil dalam arena perdebatan para pendukungnya, namun

untuk menjawab pertanyaan ini, kedua teori tersebut boleh dianggap benar menurut

sudut pandang mereka masing-masing dalam mencapai suatu kebenaran. Essensi yang

dapat diambil dari teori-teori tersebut adalah; apabila suatu kebenaran itu dicapai

11
melalui pembuktian kesalahan teori sebelumnya, itulah ajaran teori falsifikasi3.

Sebaliknya, apabila suatu kebenaran dicapai melalui pembuktian teori baru yang lebih

benar, itula inti ajaran teori revolusi sains. Apabila kita teliti lebih seksama dengan

penggunaan sains dalam memecahkan permasalahan kita sehari-hari maka kedua

pendekatan tersebut sebenarnya kerap digunakan dalam konteks masalah yang

berbeda: Teori Falsifikasi- Propper digunakan untuk upaya perbaikan yang

berkesinambungan (improvement), sedangkan teori Revolusi sains – Kuhn diperguna-

kan untuk mencari upaya terbosan perbaikan melalui inovasi.

Khusus untuk menelaah perkembangan ilmu hukum dan membuat persepsi

tentang masa depan sebuah teori ilmu hukum, kedua teori tersebut tetap dapat

dijadikan acuan.

Karl Popper beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima jika ternyata

bahwa teori itu dapat meruntuhkan teori sebelumnya. Pengujian kedua teori (lama dan

baru) itu dilakukan melalui suatu tes empiris, yang direncanakan untuk membuktikan

salah tehadap apa yang diujinya, alias memfalsifikasi. Kalau dalam tes tersebut sebuah

teori terbukti salah, maka teori tersebut akan diterima sampai diketemukannya cara

pengujian yang lebih ketat4

Lepas dari cara pengujian apakah melalui tes empiris atau tidak, esensi teori

falsiikasi ini adalah suatu kebenaran yang diperoleh melalui kritik, artinya,

mengungkapkan kelemahan teori sebelumnya. Hal ini tampak jelas dalam

perkembangan teori-teori ilmu hukum, khususnya pergeseran kedudukan oleh mazhab

hukum yang satu terhadap yang lainnya.

3
Lili Rasjidi et al, Momograf: Filsafat Ilmu, Metode Penelitian dan Karya tulis ilmiah, Bandung
2005 hlm 27.
4
C.Verhaak,et al., Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu
(Jakarta:Gramedia,1989),hlm.160

12
Teori hukum positif hadir dan diterima setelah adanya kritik terhadap teori

hukum alam. Banyak buku yang menyingkapkan kelemahan hukum alam. Kelemahan

yang paling sering dikemukakan ialah bahwa hukum alam tidak menjamin kepastian

hukum. Hukum alam sendiri tidak dapat dipastikan secara obyektif, tidak pula dapat

ditentukan apa yang menjadi kodrat manusia. Akibat berbagai kelemahan ini, dicari

teori baru yang mampu menjamin kepastian hukum tersenut. Hadirlah teori hukum

positif yang mengajarkan bahwa hukum identik dengan undang-undang.

Upaya menyebarluaskan teori hukum positif antara lain dilakukan melalui Code

Napoleon yang terkenal di Romawi, sebagaimana diterima juga di Perancis dan

Belanda. Akan teta[pi, jika memasuki Jerman, Cosde Napoleon ditolak karena

dianggap hukum asing. Hukum yang berlaku menurut mereka (Jerman) hanyalah

hukum yang tumbuh dan berkembang menurut perkembangan sejarah bangsa itu

sendiri. Jadi hukum yang berlaku di Jerman harus hukum adat Jerman sendiri, bukan

hukum asing seperti Code Napoleon. Bagi bangsa Jerman, penolakan terhadap Code

Napoleon itu sekaligus merupakan kritik terhadap teori hukum positif , dan lahirlah

mazhab sejarah dengan tokoh utamanya Friedrich Carl von Savigny.

Mazhab sejarah merupakan paradigma pengganti positivisme hukum. Paradigma

positivisme hukum, yan mengagung-agungkan pemikiran manusia dalam menciptakan

hukum yang logis, ditumbangkan oleh paradigma mazhab sejarah. Hukum tidak

dibuat, melainkan timbul dan berkembang bersama masyarakat. Hukum merupakan

ekspresi dan semngat jiwa rakyat (volksgeist). Artinya , hukum adalah pengalaman

sejarah.

Baik aliran hukum positif John Austin maupun mazhab sejarah von Savigny

dipersalahkan oleh Roscoe Pound. Kedua pandangan tersebut tidak ada satupun yang

13
dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum; kedua-duanya harus timbal-balik. Lebih

lanjut, menurut Roscoe Pound, hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal

yang dapat hidup terus, karena yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum hanyalah

pernyataan-pernyataan kekal. Pernyataan kekal itu harus berdiri di atas pengalaman

dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal. Sebaliknya, akal

diuji oleh pengalaman5 Dengan demikian muncul mazhab baru sebgai paradigma baru

yang dinamakan “Sociological Jurisprudence”. Inti pemikiran mazhab ini ialah bahwa

hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan “living law” yang sebagai “inner

order” masyarakat, yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya6

Akan tetapi, baik mazhab sejarah von Savigny maupun aliran “Sociological

Jurisprudence” dikritik oleh Mochtar Kusumaatmadja. Kedua mazhab itu tidak dapat

menerangkan secara memuaskan apa yang dimaksudkan dengan “volksgeist” atau

nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, yang menurut mereka pada analisis

terakhir merupakan hakikat hukum dalam arti yang sebenar-benarnya. 7 Kritik inilah

yang merontokkan paradigma lama, mazhab “Sociological Jurisprudence”, dan

muncul teori baru, yang oleh Mochtar Kusumaatmadja dinamakan “teori hukum

pembangunan (nasional)” atau mazhab Unpad

Dari uraian-uraian tersebut jelaslah bahwa kehadiran teori yang baru akan terjadi

setelah teori yang bersangkutan membuktikan salah terhadap teori sebelumnya.

Dengan lain perkataan, teori yang baru dalam ilmu hukum terjadi setelah

memfalsifikasi teori sebelumnya.

Meskipun demikian, dari perdebatan antara mazhab hukum yang satu terhadap

yang lain, sebagaimana dipertontonkan di muka, ternyata bahwa tidak semua unsur

5
Lili Rasjidi,op.cit.,hlm 48
6
Mochtar Kusumaatmadja,op.cit.,hlm.5
7
Ibid.,hlm7

14
dari masing-masing mazhab dirontokkan, digeser ataupun digugurkan oleh mazhab

hukum berikutnya. Terhadap mazhab hukum alam, unsur yang digugurkan adalah

unsur kepastian hukum karena hukum alam tidak menjamin kepastian hukum tersebut.

Adapun unsur etika, yang merupakan jati—diri hukum alam, justru dipertahankan

sebagai tolak ukur bagi suatu hukum yang adil, sehingga mampu menerobos setiap

rintangan mazhab hukum yang hadir setelah mazhab hukum alam. Dengan kata lain ,

teori falsifikasi hanya merontokkan kelemahan (weakness) hukum alam, sementra

potensi (streng) hukum alam, yang berupa nilai etika yang terkandung di dalamnya,

tetap hidup terus pada setiap mazhab hukum.

Bagaimanakah halnya dengan penerapan system hukum Negara kita.

Sebagaimana diketahui tertib hukum yang tertiggi sekaligus sumber dari segala sumber

hukum itu berasal dari rakyat (kedaulatan rakyat).8 Menurut sejarah pembentukan

Negara Indonesia, pada awalnya kedaulatan rakyat diwakili kepada suat badan

istimewa yang disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. (PPKI). Badan ini

memiliki keistimewaan, paling tidak karena tiga hal; Pertama karena Badan ini

mewakili seluruh bangsa Indonesia untuk membentuk Negara Republik Indonesia.

Kedua, karena menurut sejarah perjuangan kemerdekaan, badan tersebut yang

melahirkan atau pembentuk Negara Republik Indonesia. Ketiga, karena badan seperti

itu, menurut teori hukum mempunyai wewenang menetapkan dasar Negara yang

paling fundamental, yang disebut dasar falsafah Negara atau norma dasar hukum

negara kita ialah Pancasila. Pancasila telah disahkan oleh suatu badan yang memang

berwenang untuk itu. Dasar negara kita Pancasila itu dinyatakan secara tegas dalam

pokok-pokok pikiran dari Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian jelas pula bahwa

Pancasila itu menjadi sumber dari segala sumber hukum negara kit. Dapat dikatakan

kita telah menggunakan Teori positivisme Hukum dari Kelsen, yang menjadikan
8
Pokok-pokok Filsafat Hukum, ,hlm. 213.

15
Pancasila sebagai sumber tertib hukum kita. (Grudnorm dan stuffentheory).

Pokok-pokok pikiran landasan hukum yang ada Pada pada pembukaan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, adalah:

Alinea I : Prikemanusiaan …… (aliran hukum alam)

Alinea II : Adil & Makmur …… (aliran utility, Jeremy Bentham)

Alinea III : Berkat Rahmat YME ….. (Thomas Aquino, hukum alam)

Alinea IV : Pancasila (Positivisme Hans Kelsen Teori Murni dihilangkan dari

anasir-anasir non yuridis, murni hukum harus dilaksanakan)

Sebagaimana diketahui, disamping hukum yang tertulis dalam

undang-undang, masih terdapat hukum lain yang tidak tertulis,

seperti hukum alam. Harus diakui bahwa hukum tidak tertulis yang

mencerminkan kepribadian bangsa, yang mengandung nilai-nilai

bangsa, dan lebih dalam lagi meminjam istilahVon Savignya –

memuat Volksgeist bangsa Indonesia (aliran hukum sejarah).

C. SIMPULAN

Kedua filsuf mempunyai visi dan pandangan yang sama untuk menciptakan

ilmu-ilmu baru namun perbedaannya terletak pada cara mendapatkan atau

mendapatkan ilmu baru. Metode falsifikasi Popper berorientasi menguji suatu hipotesa

dengan membantahnya, sehingga terbukti bahwa teori tersebut benar. Apabila lolos

dalam falsifikasi maka ia akan kembali menjadi hipotesa yang dikokohkan

(corroborated) dan masih membuka peluang untuk tetap difalsifikasi. Rasionalisme

Kritis Karl Popper beranggapan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang secara

sedikit demi sedikit.

16
Thomas Kuhn menyatakan, ilmu pengetahuan selalu terbuka pada hal – hal yang

sewaktu-waktu dapat direvolusi (perubahan besar dalam ilmu pengetahuan). Dengan

memusatkan pada revolusi pengetahuan, dikatakan revolusioner jika teori barunya

dapat menggantikan teori lama secara struktural, sehingga ia mengandaikan bahwa

ilmu pengetahuan selalu relatif sifatnya.

Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam

system hukum nasional – Indonesia, tidak hanya menganut satu

paradigma aliran hukum tetapi menganut beberapa paradigma aliran

hukum yang berbeda yangpenerapannya disesuaikan dengan

budaya bangsa dalam rangka menunjang tujuan pembangunan

nasional, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua teori tersebut

dapat digunakan dalam koteks dan situasi yang berbeda untuk

perkembangan ilmu hukum kita.

17

You might also like