You are on page 1of 35

MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB I TAHNIK Pelajaran Penting Tentang Tahnik

Yang Dimaksud Tahnik Pertama: Para ulama sepakat tentang disunnahkannya (dianjurkannya)
mentahnik bayi yang baru lahir dengan kurma. Jadi tahnik dilakukan di hari
Tahnik adalah melumurkan kurma ke mulut bayi setelah kurma tersebut pertama.
dilumat.[1] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para pakar bahasa
menyatakan bahwa tahnik adalah mengunyah kurma atau semacamnya, Kedua: Jika tidak mendapati kurma untuk mentahnik, maka bisa digantikan
kemudian dilumuri di mulut si bayi”.[2] dengan yang lainnya yang manis-manis.

Bukti Tuntunan Tahnik Ketiga: Cara mentahnik adalah orang yang mentahnik mengunyah kurma
hingga agak cair sehingga mudah ditelan, lalu ia membuka mulut si bayi, lalu ia
Dari Abu Musa, beliau berkata, meletakkan kunyahan kurma tadi di mulutnya sehingga si bayi akan
mencernanya ke dalam kerongkongannya.
ُ ‫ُولِ َد لِى ُغالَ ٌم فَأَتَي‬
.‫ فَ َس َّماهُ إِب َْرا ِهي َم َو َحنَّ َكهُ بِتَ ْم َر ٍة‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ْت بِ ِه النَّبِ َّى‬
Keempat: Hendaknya yang melakukan tahnik adalah orang sholih sehingga bisa
diminta do’a keberkahannya, terserah yang mentahnik tersebut laki-laki atau
“(Suatu saat) aku memiliki anak yang baru lahir, kemudian aku mendatangi
perempuan. Jika orang sholih tersebut tidak hadir, maka hendaklah bayi
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memberi nama padanya
tersebut yang didatangkan ke orang sholih tersebut.[5]
dan beliau mentahnik dengan sebutir kurma.”[3]

Mengenai yang mentahnik boleh seorang wanita sebagaimana dijelaskan oleh


Dari ‘Aisyah, beliau berkata,
Ibnul Qayyim bahwa Imam Ahmad bin Hambal ketika lahir salah satu bayinya,
beliau menyuruh seorang wanita untuk mentahnik bayinya tersebut.[6]
.‫ك َعلَ ْي ِه ْم َوي َُحنِّ ُكهُ ْم‬
ُ ِّ‫ان فَيُبَر‬ َ ‫أَنَّ َرس‬
ِ َ‫ َكانَ ي ُْؤتَى ِبالصِّ ْبي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
Ada ulama yang memberi penjelasan urutan makanan yang dijadikan bahan
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan anak kecil, lalu beliau untuk mentahnik: tamr (kurma kering); kalau tidak ada, barulah rothb (kurma
mendoakan mereka dan mentahnik mereka.”[4] basah); kalau tidak ada, barulah makanan manis yaitu yang jadi pilihan adalah
madu; dan setelah itu adalah makanan yang tidak disentuh api.[7]
An Nawawi menyebutkan dua hadits di atas dalam Shahih Muslim pada Bab:
Di Samping Mentahnik, Minta Do’a Keberkahan
‫ التسمية‬F‫استحباب تحنيك المولود عند وال دته وحمله إلى صالح يحنكه وجواز تسميته يوم وال دته واستحباب‬
‫ عليهم السالم‬F‫بعبدهللا وإبراهيم وسائر أسماء األنبياء‬ Di samping mentahnik, penjelasan di atas juga menunjukkan setelah ditahnik
hendaknya orang yang mentahnik mendoakan keberkahan pada si bayi dan
”Dianjurkan mentahnik bayi yang baru lahir, bayi tersebut dibawa ke orang lebih utama yang mentahnik dan mendoakan adalah orang sholih. Yang
sholih untuk ditahnik. Juga dibolehkan memberi nama pada hari kelahiran. dimaksud keberkahan adalah tetapnya dan bertambahnya kebaikan.
Dianjurkan memberi nama bayi dengan Abdullah, Ibrahim dan nama-nama nabi
lainnya.”
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Tentang Kencing Bayi yang Pernah Ditahnik Dengan Kurma atau Diobati memasukkan makanan ke mulutnya sendiri, dan ada pendapat yang lainnya.
dengan Madu Dan yang benar adalah pendapat yang pertama.

Oleh : Syaikh Abu Abdil Mu’iz Muhammad Ali Farkus -hafidzohulloh- ‫ وصلى هللا على محمد وعلى آله وصحبه‬،‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل ربِّ العالمين‬،‫والعلم عند هللا تعالى‬
‫وإخوانه إلى يوم الدين وسلم تسليما كثيرا‬.
Pertanyaan :
Al-Jaza’ir 23 Shofar 1427 H // 23 Maret 2006 M
Dalam hadits Ummu Qois bintu Mihshon rodhiyallohu anha:
________________
‫صلى‬- ِ ‫ فأَجلسهُ َرسو ُل هّللا‬، -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫سول هّللا‬
ِ ‫الطعا َم إِلى َر‬ ّ ‫كل‬ ِ ْ‫ ل ْم يأ‬،‫صغير‬
ٍ ْ َ‫أَنها أ‬
‫تت ِباب ٍْن لها‬
‫ فدعا بما ٍء فنضحهُ َول ْم يغسله‬، ‫بال على ثَوْ ب ِه‬
َ َ ‫ف‬ ، ‫ه‬‫حجر‬
ِِ ‫فى‬ - ‫وسلم‬ ‫وآله‬ ‫هللا عليه‬ Catatan kaki:

[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/3716, Multaqo Ahlil Hadits


Bahwa ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil yang belum makan
[2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/194, Dar Ihya’ At
makanan kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Lalu Rosululloh Turots, cetakan kedua, 1392.
shollallohu alaihi wa aalihi wa sallam mendudukkan anak itu di pangkuannya, [3] HR. Muslim no. 2145.
kemudian anak itu ngompol di baju beliau. Beliau pun meminta air lalu [4] HR. Muslim no. 2147.
[5] Keempat point ini diolah dari penjelasan An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh
memercikinya dan tidak mencucinya [8].
Shahih Muslim, 14/122-123.
[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/3716
Apa makna “‫( ”لم يأكل الطعام‬belum makan makanan)? Dan apakah kurma yang [7] Idem.
digunakan untuk mentahniknya termasuk “makanan” tersebut? Dan juga madu [8] HR. al-Bukhori dalam al-Wudhu’ (223), Muslim dalam ath-Thoharoh (691), Abu Dawud dalam
ath-Thoharoh (374), at-Tirmidzi dalam ath-Thoharoh (71), an-Nasa’i dalam ath-Thoharoh (304),
yang digunakan untuk pengobatan? Ibnu Majah dalam ath-Thoharoh dan Sunannya (566), Malik dalam al-Muwaththo’ (141), Ahmad
(27756), al-Humaidi dalam musnadnya (365), al-Baihaqi (4319), dari hadits Ummu Qois bintu
Jawaban: Mihshon rodhiyallohu anha.

‫ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى‬،‫ والصالة والسالم على من أرسله هللا رحمة للعالمين‬،‫الحمد هلل ربِّ العالمين‬
‫ أ ّما بعد‬،‫يوم الدين وسلم تسليما‬:

Yang dimaksud dengan “makanan” di sini adalah yang selain ASI yang engkau
susui, kurma yang engkau tahnik kepadanya, dan madu yang ia disuapi untuk
pengobatan dan yang selainnya, karena kurma dan madu tidak untuk
mengenyangkan, sebab ‘illah(alasan) dalam tahnik adalah tabarruk dengan air
liur Nabi shollallohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dari satu sisi dan ‘illah
pengobatan dengan madu dari sisi yang lain, sehingga tidak ada kekeyangan
bagi bayi tersebut selain ASI. Dan sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan “ ‫( ”لم يأكل الطعام‬belum makan makanan) adalah belum bisa
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB II NAMA TERBAIK UNTUK SI BUAH HATI Intinya, nama begitu pengaruh dalam diri orang yang diberi nama. Coba
bayangkan bagaimana jika seorang anak diberi nama dengan Hazn (sedih), pasti
ia akan jadi orang yang terus-terusan bersedih karena mengingat namanya
Urgensi Pemberian Nama Terbaik tersebut. Itulah urgensi penting dalam pemberian nama bagi si buah hati.

Nama dalam bahasa Arab disebut dengan isim. Makna isim bisa jadi adalah Pengaruh lainnya lagi, dari nama terbaik, seseorang dapat mengetahui
‘alamat (tanda). Isim juga bisa bermakna as samuu (sesuatu yang tinggi). bagaimanakah orang tuanya. Orang tuanya dapat diketahui dari nama anaknya,
Sehingga isim (nama) adalah tanda yang tertinggi (mencolok) pada seseorang. apakah ortunya itu sholih atau tholih (lawan dari sholih). Sebagaimana orang
arab pun mengatakan,
Dengan nama inilah akan membedakan seseorang dan lainnya. Di antara
maksud inilah para ulama bersepakat (berijma’) tentang wajibnya pemberian َ‫ِم ْن اِ ْس ِمكَ أَ ْع ِرفُ أَبَاك‬
nama pada laki-laki dan perempuan.[1] Sehingga tidak boleh seseorang pun di
muka bumi ini yang tidak memiliki nama. Karena jika tidak punya nama, “Dari namamu, aku bisa mengetahui bagaimanakah ayahmu.”
bagaimana bisa membedakannya dari manusia lainnya.
Dari nama yang baik pula, seseorang bisa menyebarkan kebaikan. Lihatlah
Karena pentingnya seseorang memiliki nama, sampai-sampai para pakar hadits bagaimana jika seseorang diberi nama “Musa”. Dari nama ini, setiap orang yang
ketika menemukan hadits terdapat seorang perowi yang mubham (tidak mendengar nama tersebut bisa mengingat bagaimanakah sifat dan akhlaq
dikenal namanya), mereka pun mendhoifkan hadits tersebut sampai diketahui mulia dari Nabi Musa ‘alaihis salam. Oleh karena itu, pemberian nama yang
jelas siapa nama perowi tersebut. baik di sini termasuk menyebar sunnah hasanah di tengah-tengah umat.
Maksud kami ini sebagaimana disebutkan dalam hadits,
Di antara urgensi pemberian nama terbaik disebabkan nama dapat membawa
pengaruh pada orang yang diberi nama. Oleh karena itu, orang Arab ‫اإل ْسالَ ِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل ِبهَا‬
ِ ‫َم ْن َسنَّ فِى‬
mengatakan,
“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka
ِ ‫ِل ُكلِّ ُم َس َّمى ِم ْن اِ ْس ِم ِه ن‬
ٌ‫َصيْب‬ dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan
itu.” (HR. Muslim no. 1017)[2]
“Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan
padanya.” Inilah di antara urgensi memberi nama yang baik.

Ini menunjukkan bahwa jika nama yang diberikan adalah nama yang terbaik, Waktu Terbaik dalam Pemberian Nama
maka atsarnya (pengaruhnya) pun baik. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyatakan bahwa nama yang terbaik adalah ‘Abdullah karena Mengenai waktu terbaik dalam pemberian nama dapat kita lihat dalam hadits-
nama tersebut menunjukkan penghambaan murni pada Allah. Begitu pula, hadits berikut.
dalam beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi
nama dengan nama yang buruk seperti ‘Ashiyah (wanita yang bermaksiat, Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan huruf ‘ain dan shod), Hazn (sedih) dan Zahm (sempit). bersabda,
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

‫ُولِ َد ِل َى اللَّ ْيلَةَ ُغالَ ٌم فَ َس َّم ْيتُهُ بِاس ِْم أَبِى إِب َْرا ِهي َم‬ Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam kitabnya Tasmiyatul Mawlud
mengatakan, “Terdapat dalam sunnah Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
“Semalam telah lahir anakku dan kuberi nama seperti ayahku yaitu Ibrahim.” pemberian nama itu ada tiga waktu:
(HR. Muslim no. 2315)
1. Di hari kelahiran,
Dari Abu Musa, ia mengatakan, 2. Sampai hari ketiga dari hari kelahiran,
3. Di hari ketujuh dari kelahiran,
، ‫ َو َدعَا لَهُ ِب ْالبَ َر َك ِة‬، ‫ة‬Fٍ ‫ فَ َحنَّ َكهُ ِبتَ ْم َر‬، ‫ فَ َس َّماهُ ِإب َْرا ِهي َم‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ْت ِب ِه النَّ ِب َّى‬ ُ ‫ فَأَتَي‬، ‫ُو ِل َد ِلى ُغالَ ٌم‬
. ‫ َو َكانَ أَ ْكبَ َر َولَ ِد أَ ِبى ُمو َسى‬، ‫َو َدفَ َعهُ ِإلَ َّى‬ Perbedaan ini adalah perbedaan variatif dan dalam hal ini ada kelonggaran
untuk memilih salah satunya.”[5]
“Anak laki-lakiku lahir, kemudian aku membawanya kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam. Beliau lalu memberinya nama Ibrahim, beliau menyuapinya Apa yang disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid sama halnya dengan yang
dengan kunyahan kurma dan mendoakannya dengan keberkahan, setelah itu disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul
menyerahkannya kepadaku." Ibrahim adalah anak tertua Abu Musa.” (HR. Mawdud[6]. Namun sebagaimana kata Ibnu Hajar di atas, dalam pemberian
Bukhari no. 5467, 6198 dan Muslim no. 2145) nama lebih cepat itu lebih baik yaitu lebih bagus memberi nama pada hari
pertama. Wallahu a’lam.
Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata, Pemberian Nama dan Nasab Menjadi Hak Ayah (Bukan Ibu)

ُ َ‫ُكلُّ ُغالَ ٍم َر ِهينَةٌ ِب َعقِيقَتِ ِه تُ ْذبَ ُح َع ْنهُ يَوْ َم َسا ِب ِع ِه َويُحْ ل‬


‫ق َويُ َس َّمى‬ Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Mengenai pemberian nama menjadi
hak ayah itu tidak ada perselisihan di antara para ulama. Hadits-hadits
"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada sebelumnya (yang membicarakan tentang pemberian nama, pen) juga
hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, menunjukkan akan hal ini. ”
An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih) Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Sebagaimana tidak ada perselisihan
bahwa ayah yang berhak memberi nama, maka tidak ada perselisihan pula
Dari hadits Abu Musa di atas, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mengenai masalah anak dipanggil dengan nama ayahnya bukan dengan nama
menunjukkan bahwa Abu Musa bersegera membawa bayinya yang baru lahir ibunya. Sehingga anak tersebut dipanggil dengan fulan bin fulan (dan bukan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ditahnik setelah diberi nama fulan bin fulanah, pen). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini, firman Allah
sebelumnya. Dalil ini menunjukkan bahwa bersegera dalam pemberian nama Ta’ala,
pada si buah hati itu lebih baik, dan tidak mesti menunggu pemberian nama
pada hari ketujuh.”[3] ِ ‫م ه َُو أَ ْق َسطُ ِع ْن َد هَّللا‬Fْ ‫ا ْدعُوهُ ْم آِل َبَائِ ِه‬

Al Baihaqi mengatakan, “Hadits yang membicarakan pemberian nama pada si “Panggilah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al
buah hati di hari kelahiran lebih shahih daripada hadits yang menunjukkan Ahzab: 5). Anak hanyalah mengikuti ibunya dalam masalah merdeka atau
pemberian nama pada hari ketujuh.”[4]
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

budak. Sedangkan ia tetap mengikuti ayahnya dalam nasab dan dalam “Seorang laki-laki di antara kami ada yang memiliki anak, kemudian dia
pemberian nama.” [7] memberi nama "Al Qasim”. Maka kami berkata, "Kami tidak akan menjuluki
kamu dengan Abu Al Qasim dan kami tidak akan memuliakannya. Lalu orang
Dalil lain yang dapat kita lihat adalah hadits dari Ibnu Umar, dia berkata, tersebut memberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, beliau bersabda, "Berilah anakmu nama Abdurrahman." (HR. Bukhari no. 6186)

َ ِ‫اآلخ ِرينَ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة يُرْ فَ ُع ِل ُكلِّ غَا ِد ٍر ِل َوا ٌء فَق‬


‫يل هَ ِذ ِه َغ ْد َرةُ فُالَ ِن ب ِْن فُالَ ٍن‬ ِ ‫ِإ َذا َج َم َع هَّللا ُ األَ َّولِينَ َو‬ Kedua nama ini memiliki keunggulan dari segi:

"Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang Pertama: Nama ini mengandung sifat penghambaan yang khusus antara hamba
yang terakhir kelak di hari Kiamat, maka akan dikibarkan bendera bagi setiap dan Allah dibanding dengan nama-nama (yang bersandar pada asmaul husna)
pengkhianat, lalu dikatakan, 'Ini adalah bendera si fulan bin fulan'." (HR. lainnya. Karena nama ‘Abdullah mengandung sifat ubudiyah (penghambaan
Muslim no. 1735). Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang akan dipanggil dalam ibadah) dan ini hanya ada kaitannya antara Allah dan hamba. Begitu pula
pada hari kiamat dengan nama bapak mereka (fulan bin fulan), bukan nama ibu nama ‘Abdurrahman mengandung sifat ubudiyah (penghambaan) karena sifat
mereka (fulan bin fulanah). Ar Rahman adalah sifat rahmat yang khusus antara hamba dan Allah.[9]

Urutan Nama Terbaik Bagi Si Buah Hati[8] Kedua: Nama berupa penghambaan yang terdapat dalam kedua nama tersebut
dikhususkan dalam Al Qur’an dari nama-nama terbaik lainnya. Semisal dapat
Urutan pertama: Nama Abdullah dan Abdurrahman ayat-ayat berikut,

Dalam ktab Al Adzkar, Imam An Nawawi Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan ‫َوأَنَّهُ لَ َّما قَا َم َع ْب ُد هَّللا ِ يَ ْدعُوهُ كَادُوا يَ ُكونُونَ َعلَ ْي ِه لِبَدًا‬
Bab “Penjelasan nama yang paling dicintai oleh Allah”. Lantas beliau bawakan
dua hadits berikut ini. “Dan bahwasanya tatkala Abdullah (yaitu hamba Allah, Muhammad) berdiri
menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, mengerumuninya.” (QS. Al Jin: 19)

‫إِنَّ أَ َحبَّ أَ ْس َمائِ ُك ْم إِلَى هَّللا ِ َع ْب ُد هَّللا ِ َو َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن‬ ‫ض هَوْ نًا َوإِ َذا خَ اطَبَهُ ُم ْال َجا ِهلُونَ قَالُوا َساَل ًما‬
ِ ْ‫َو ِعبَا ُد الرَّحْ َم ِن الَّ ِذينَ يَ ْم ُشونَ َعلَى اأْل َر‬

“Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai di sisi Allah adalah ‘Abdullah “Dan ‘Ibadurrahman (hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang) itu (ialah)
dan ‘Abdurrahman.”(HR. Muslim no. 2132) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqon: 63)
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,

‫قُ ِل ا ْدعُوا هَّللا َ أَ ِو ا ْدعُوا الرَّحْ َمنَ أَيًّا َما تَ ْدعُوا فَلَهُ اأْل َ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬
- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ فَأ َ ْخبَ َر النَّ ِب َّى‬. َ‫اس ِم َوالَ ك ََرا َمة‬
ِ َ‫يك أَبَا ْالق‬
Fَ ِ‫اس َم فَقُ ْلنَا الَ نَ ْكن‬
ِ َ‫ُولِ َد ِل َرج ٍُل ِمنَّا ُغالَ ٌم فَ َس َّماهُ ْالق‬
» ‫ال « َس ِّم ا ْبنَكَ َع ْب َد الرَّحْ َم ِن‬ َ َ‫فَق‬
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana “Berilah nama dengan namaku (Muhammad) dan janganlah kalian berkunyah
saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)” dengan kunyahku (Abul Qosim)”. (HR. Bukhari no. 6187 dan Muslim no. 2134)
(QS. Al Isro’: 110)
An Nawawi membawakan hadits-hadits di atas dalam Bab “Larangan berkunyah
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nama pada anak pamannya dengan Abul Qosim dan penjelasan mengenai nama-nama yang disunnahkan.”
(Al ‘Abbas) dengan nama Abdullah. Hal ini menunjukkan bahwa nama para Nabi dan Rasul adalah di antara nama
terbaik yang bisa digunakan.
Keempat: Sekitar 300 sahabat Nabi memiliki nama Abdullah.[10]
An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Dari hadits ini sekelompok
Urutan kedua: Nama bentuk penghambaan pada asmaul husna lainnya. ulama berdalil bahwa bolehnya memberi nama dengan nama para Nabi
‘alaihimus salaam, bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) ulama. Kecuali Umar
Seperti Abdul ‘Aziz, ‘Abdul Malik, Abdur Rozaq, Abdul Halim, dan Abdul Muhsin. bin Khottob yang berpendapat agak sedikit berbeda dalam hal ini.”[13]
[11]
Urutan keempat: Nama orang sholeh
Urutan ketiga: Nama para Nabi dan Rasul Allah
Dalil hal ini sudah disebutkan sebelumnya dalam hadits Al Mughirah bin
Seperti Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, Isa dan Muhammad, yang intinya ada 25 Syu'bah. Yang paling baik digunakan adalah nama para sahabat karena
nama Nabi yang disebutkan dalam Al Qur’an. merekalah generasi terbaik dari umat ini. Seutama-utama dari mereka adalah
para Khulafaur Rosyidin, yaitu Abdullah (Abu Bakr), ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.
Dari Al Mughirah bin Syu'bah ia berkata, “Ketika aku mendatangi kota Najran,
para penduduknya bertanya kepadaku: Sesungguhnya kalian membaca "Wahai Untuk anak perempuan bisa menggunakan nama istri-istri Nabi shallallahu
saudara Harun". Padahal Musa hidup sebelum Isa berjarak beberapa tahun. ‘alaihi wa sallam (Ummahatul Mukminin). Menurut pendapat yang kuat, istri
Maka ketika aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku yang dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada 11[14] :
menanyakan hal itu kepada beliau, dan beliau pun menjawab,
1. Khadijah binti Khuwailid;
‫إِنَّهُ ْم كَانُوا يُ َس ُّمونَ بِأ َ ْنبِيَائِ ِه ْم َوالصَّالِ ِحينَ قَ ْبلَهُ ْم‬ 2. Saudah binti Zum’ah;
3. Aisyah binti Abu Bakar Ash Shidiq;
“Dulu mereka memberi nama dengan nama-nama para Nabi mereka dan 4. Hafshoh binti Umar bin Al Khaththab;
orang-orang shaleh dari kaum sebelum mereka.” (HR. Muslim no. 2135) 5. Zainab binti Khuzaimah;
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah;
7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab;
Dalil lainnya adalah bolehnya memiliki nama seperti nama “Muhammad”, nama
8. Juwairiyyah binti Al Harits;
Nabi kita. Bahkan nama inilah yang terbaik dari nama para Nabi ‘alaihimus
9. Ummu Habibah Romlah binti Abu Sufyan;
salam lainnya[12]. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
10. Shofiyah binti Huyai bin Akhthab;
bersabda,
11. Maimunah binti Al Harits.[15]

F‫تَ َس َّموْ ا ِبا ْس ِمى َوالَ تَ َكنَّوْ ا ِب ُك ْنيَ ِتى‬


MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Sebagai contoh yang menggunakan nama sahabat adalah anak-anak Az Zubair dengan nama yang langsung menunjukkan sifat dari orang yang diberi nama.
bin Al ‘Awam. Beliau menamakan sembilan anaknya dengan nama para sahabat Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti beberapa
yang mengikuti perang Badar. Anak-anaknya tersebut diberi nama: nama ke nama yang benar-benar menunjukkan sifat orang tersebut. Beliau
melakukan semacam itu bukan maksud melarangnya, akan tetapi untuk
1. ‘Abdullah maksud ikhtiyar (menunjukkan pilihan yang lebih baik).”[17]
2. Al Mundzir
3. ‘Urwah Adab dalam pemberian nama yang sebisa mungkin dilakukan:
4. Hamzah
5. Ja’far Pertama: Menggunakan nama sesuai urutan terbaik yang telah kami jelaskan di
6. Mush’ab awal.
7. ‘Ubaidah
8. Kholid Kedua: Menggunakan nama yang terdiri dari huruf yang jumlahnya sedikit.
9. ‘Umar[16]
Ketiga: Menggunakan nama yang mudah diucapkan di lisan.
Urutan kelima: Nama lainnya yang memenuhi syarat dan adab
Keempat: Memudahkan orang yang mendengar untuk mengingatnya.
Syarat dalam pemberian nama sebagai berikut:
Kelima: Menggunakan nama yang cocok dengan orang yang diberi nama dan
Syarat Pertama: Menggunakan bahasa Arab. tidak keluar dari kebiasaan yang dipakai dalam agamanya atau masyarakat
sekitarnya.[18]
Dari sini, menunjukkan terlarangnya menggunakan nama-nama bukan Arab
seperti Joseph, Robert, Markus, Julia dan Diana. Dari penjelasan adab tambahan ini menunjukkan bahwa nama yang kurang
bagus adalah nama yang terdiri dari banyak kata seperti: Andika Syarifudin
Syarat Kedua: Memiliki susunan dan makna yang bagus. Guntur Prasetyo, Linggar Simping Pembayun Retno Utami. Nama ini kurang
disukai karena orang-orang akan beranggapan bahwa satu nama ini terdiri dari
Sehingga dari sini tidak boleh menggunakan nama makruh dan terlarang. Begitu beberapa orang. Inilah sisi kurang bagusnya untuk nama-nama semisal itu.
juga terlarang menggunakan nama yang mengandung celaan dan mengandung
tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya). Oleh karena itu, nama semacam ini DAFTAR PUSTAKA
[1] Marootibul Ijma’, hal. 154.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai merubahnya.
[2] Hadits ini dibawakan oleh An Nawawi dalam Bab “Dorongan untuk sedekah meskipun dengan
setengah biji kurma atau kalimat yang baik”, juga pada Bab “Barangsiapa membuat contoh yang
Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Tidak sepantasnya seseorang memakai baik atau yang jelek, atau mengajak pada yang petunjuk atau kesesatan.”
nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang [3] Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
[4] Fathul Baari, 9/589.
mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula [5] Tasmiyatul Mawlud, Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, hal. 28, Darul ‘Ashimah, cetakan ketiga,
dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah tahun 1416 H
nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan [6] Lihat Tuhfatul Mawdud, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Bab VIII, pasal pertama, Maktabah Darul
sebagai hakikat sifat. Akan tetapi, dihukumi makruh jika seseorang bernama Bayan, 1391 H
[7] Tuhfatul Mawdud, hal. 135.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB III NAMA-NAMA YANG TERLARANG Bagaimana mau membedakan muslim dan kafir, jika seorang anak diberi nama
UNTUK SI BUAH HATI dengan nama yang jelas-jelas itu nama orang kafir?

Nama-nama yang Diharamkan Keempat: Nama yang merupakan nama berhala yang disembah selain Allah.

Pertama: Setiap nama yang terdapat bentuk penghambaan kepada selain Allah. Seperti: Laata, ‘Uzza, Isaf, Nailah, Hubal.

Yaitu menggunakan kata ‘Abdul tetapi disandarkan bukan pada nama Allah, Kelima: Nama yang bukan menunjukkan yang dinamai, mengandung penyucian
namun pada selain Allah. Ini adalah nama yang diharamkan. Seperti: ‘Abdur diri bahkan kedustaan.
Rasul (hamba Rasul), ‘Abdu ‘Ali (hamba ‘Ali), ‘Abdul Hasan (hamba Hasan),
‘Abdul Husain (hamba Husain), ‘Abdul Harits (hamba Harits), ‘Abdul ‘Uzza Telah terdapat dalam hadits yang shahih,
(hamba ‘Uzza), ‘Abdul Masih (hambanya Isa Al Masih), ‘Abdul Ka’bah (hamba
Ka’bah).[1] ِ َ‫إِنَّ أَ ْخنَ َع اس ٍْم ِع ْن َد هَّللا ِ َر ُج ٌل تَ َس َّمى َملِكَ األَ ْمال‬
‫ك‬

Juga ada nama-nama penghambaan (memakai Abdul) yang dinilai keliru karena “Sesungguhnya nama yang paling jelek di sisi Allah Ta'ala ialah nama "Malikul
disandarkan bukan pada nama Allah seperti ‘Abdul Maqshud, ‘Abdus Sataar, Amlak" (Maha Raja Diraja)”. (HR. Bukhari no. 6206 dan Muslim no. 2143)
‘Abdul Mawjud, ‘Abdul Mursil, ‘Abdul Ma’bud, ‘Abdul Wahid, ‘Abduth Tholib.
Nama-nama ini adalah nama-nama yang keliru ditinjau dari dua sisi: Nama yang diqiyaskan (dianalogikan) dengan  Malikul Amlak adalah Sulthon As
Salaathin (Sultan dari segala sultan), Hakimul Haakim (Hakim dari para hakim),
1. Nama-nama yang disandarkan tersebut bukanlah nama Allah karena Qodhi Al Qudhot (Qodhi dari para Qodhi). Nama-nama ini adalah nama yang
nama Allah itu tauqifiyah (butuh dalil). haram karena mengandung penyucian diri dan kedustaan.
2. Ini adalah penghambaan kepada sesuatu yang Allah tidak menamakan
diri-Nya dengan nama tersebut, begitu pula dengan Rasul-Nya.[2] Yang semisal itu dan diharamkan adalah sayyidunnaas (penghulu para
manusia), sayyidul kulli (penghulu seluruh manusia). Sedangkan “Sayyid Waladi
Kedua: Nama yang khusus untuk nama Allah. Adam” diharamkan untuk digunakan kecuali pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam saja.
Nama ini hanya khusus untuk Allah Ta’ala, tidak boleh digunakan oleh makhluk.
Seperti: Al Kholiq (Sang Pencipta), Ar Rahman (Maha Penyayang), Al Ahad Dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha dia berkata, "Aku menamai anak
(Maha Esa), Ash Shomad (Bersandarnya seluruh makhluk pada-Nya), Ar Roziq perempuanku 'Barrah' (yang artinya: baik). Maka Zainab binti Abu Salamah
(Maha Pemberi Rizki). berkata kepadaku, 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang
memberi nama anak dengan nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu
Ketiga: Nama dari barat yang merupakan nama khusus untuk orang kafir. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

Contoh nama tersebut: Imanuel, George, Robert, Susan, Alberto, Diana, Susan. ‫الَ تُزَ ُّكوا أَ ْنفُ َس ُك ُم هَّللا ُ أَ ْعلَ ُم بِأَ ْه ِل ْال ِبرِّ ِم ْن ُك ْم‬
Nama-nama seperti ini haram digunakan dan sudah seharusnya untuk diganti
dengan nama yang Islami.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Janganlah kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta'ala-lah yang lebih Keenam: Memberi nama dengan nama yang tidak memotivasi diri. Seperti:
tahu siapa saja sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu.” Para Hazn (sedih), Zahm (sempit).
sahabat bertanya, “Lalu nama apakah yang harus kami berikan kepadanya? “
Beliau menjawab, “Namai dia Zainab.” (HR. Muslim no. 2142) Ketujuh: Memberi nama dengan nama-nama hewan. Seperti: Himar (keledai),
Kalb atau Kulaib (anjing), Bagong.
Keenam: Nama yang merupakan nama-nama setan . Seperti: Khinzab, A’war,
Walhan, Ajda’. Kedelapan: Memberi nama dengan nama yang disandarkan pada lafazh “ad
diin” dan “al islam”.
Nama-Nama yang Dimakruhkan (Tidak Disukai)
Seperti: Muhyiddin (yang menghidupkan agama), Nuruddin (cahaya agama),
Pertama: Memberi nama dengan nama-nama yang arti dan lafazhnya tidak Dhiyauddin (cahaya agama), Syamsuddin (cahaya agama), Qomaruddin (cahaya
disukai oleh jiwa, lebih-lebih menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam).
sallam untuk memperbagus nama.
Penamaan seperti di atas terlarang karena kebesaran kedua lafazh Islam dan
Contoh dari nama semacam ini adalah Huyam dan Suham (jenis penyakit pada Diin. Oleh karena itu mengaitkan nama tersebut pada Islam dan Diin adalah
unta). suatu kebohongan. Ambil misal orang yang namanya Muhyiddin, artinya orang
yang menghidupkan agama. Pertanyaannya, kapan orang tersebut
Ath Thobari rahimahullah mengatakan, “Tidak sepantasnya seseorang memakai menghidupkan agama?
nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang
mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula An Nawawi rahimahullah tidak suka dipanggil dengan Muhyiddin. Begitu pula
dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak suka dipanggil Taqiyuddin (penjaga agama).
nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan Beliau berkata, “Keluargaku sudah sering memanggilku seperti itu dan akhirnya
sebagai hakikat sifat.”[3] panggilan seperti itu tersebar luas.”[4]

Kedua: Memberi nama dengan nama-nama yang menimbulkan syahwat. Kesembilan: Menggunakan nama yang bersusun (terdiri lebih dari dua kata
Seperti: Fatin (wanita penggoda), Syadi atau Syadiyah (biduanita). atau lebih), sehingga menimbulkan kerancuan apakah yang dinamai tersebut
satu atau beberapa orang.
Ketiga: Memberi nama dengan nama orang fasiq (yang gemar maksiat). Seperti:
Madona, Britney. Seperti: Muhammad Firdaus, Muhammad Ahmad, Muhammad Haris. Nanti
akan dikira bahwa nama-nama ini terdiri dari dua orang, ada Muhammad
Keempat: Memberi nama yang menunjukkan dosa dan maksiat. Seperti: sendiri, ada Firdaus sendiri. Apalagi jika nama tersebut terdiri dari tiga kata atau
Zhalim. bahkan sampai tujuh kata?!

Kelima: Memberi nama dengan nama-nama orang yang terkenal sombong. Kesepuluh: Sebagian ulama tidak menyukai memberi nama dengan nama para
Seperti: Fir’aun, Haamaan, Qorun. Malaikat yang khusus bagi mereka. Seperti: Jibril, Mikail, Isrofil. Kecuali Malik,
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

nama ini bersekutu antara manusia dan malaikat, dan ada sebagian sahabat “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti (merubah) nama yang
yang menggunakan nama Malik.[5] jelek.” (HR. Tirmidzi no. 2839. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Sedangkan menamai anak perempuan dengan nama malaikat, ini jelas haram
karena ini sama halnya kelakukan orang musyrik yang menjadikan malaikat Dari Ibnu 'Umar, ia berkata,
sebagai anak perempuan Allah.[6]
ِ ‫ال « أَ ْن‬
» ُ‫ت َج ِميلَة‬ َ ‫أَنَّ َرس‬
ِ ‫ َغي ََّر ا ْس َم ع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
َ َ‫َاصيَةَ َوق‬
Kesebelas: Sebagian ulama (di antaranya Imam Malik) tidak menyukai memberi
nama dengan nama-nama surat dalam Al Quran, seperti: Yasin, dan Thoha. “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengganti nama 'Ashiyah (artinya:
wanita yang suka bermaksiat) seraya berkata; "Nama kamu adalah Jamilah
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, (artinya: wanita yang cantik)." (HR. Muslim no. 2139)

‫حيح وال حسن وال‬FF‫ديث ص‬FF‫حيح ليس ذلك في ح‬FF‫ير ص‬FF‫بي فغ‬FF‫ماء الن‬FF‫وام أن يس وطه من أس‬FF‫ذكره الع‬FF‫وأما ي‬ Dari Usamah bin Akhdari, ia berkata,
‫مرسل وال أثر عن صاحب وإنما هذه الحروف مثل الم وحم والر ونحوها‬
‫لى هللا‬FF‫ص‬- ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫أَنَّ َر ُجالً يُقَا ُل لَهُ أَصْ َر ُم َكانَ فِى النَّفَ ِر الَّ ِذينَ أَتَوْ ا َرس‬
َ َ‫ فَق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
“Adapun yang biasa disebut oleh orang awam bahwa “Yasin” dan “Thoha” .» ‫ال « بَلْ أَ ْنتَ زرْ َعة‬
ُ ُ َ َ‫ ق‬.‫ال أَنَا أَصْ َر ُم‬ َ َ‫ ق‬.» َ‫ « َما ا ْس ُمك‬-‫عليه وسلم‬
adalah di antara nama-nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu
tidaklah benar. Tidak ada satu pun hadits shahih, hadits hasan, hadits mursal “Ada seseorang bernama Ashrom, ia bersama sekelompok orang mendatangi
atau pun atsar sahabat yang menyatakan demikian. Yasin dan Thoha hanyalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
huruf biasa sebagaimana alif laam miim, haamiim, alif laam roo dan lantas bertanya, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Ashrom”. Beliau bersabda,
semacamnya.”[7] “Sekarang namamu berganti menjadi Zur’ah.” (HR. Abu Daud no. 4954. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ashrom artinya terpotong,
Mengganti Nama sedangkan Zur’ah artinya tumbuh.

Jika memang nama tersebut adalah di antara nama yang haram dan tidak Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah menceritakan kepada
disukai, maka hendaknya diganti dengan nama yang baik sesuai syari’at yang kami Hisyam bahwa Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada orang-orang,
sudah kami terangkan dalam tulisan sebelumnya. Dalil mengenai hal ini adalah katanya; telah mengabarkan kepadaku Abdul Hamid bin Jubair bin Syaibah dia
praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengganti nama berkata; saya duduk di hadapan Sa'id bin Musayyib maka dia menceritakan
beberapa sahabat. Perhatikan dalil-dalil berikut ini. kepadaku, bahwa kakeknya datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam keadaan sedih, lalu beliau bertanya; "Siapakah namamu?" Dia
Dari ‘Aisyah, ia berkata, menjawab; "Namaku Hazn, " Beliau bersabda,

َ ‫اال ْس َم ْالقَ ِب‬


.‫يح‬ ِ ‫ َكانَ يُ َغيِّ ُر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫أَنَّ النَّ ِب َّى‬ ‫بَلْ أَ ْنتَ َس ْه ٌل‬

“Sekarang namamu adalah Sahl." Namun dia berkata; "Tidak, aku tidak akan
merubah nama yang pernah di berikan oleh ayahku." Ibnu Musayyib berkata,
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

"Sesudah itu keluarga terus menerus dalam keadaan khuzunah." (HR. Bukhari BAB IV MENGGUNDUL RAMBUT KEPALA BAYI
no. 6193). Ibnu Tiin mengatakan bahwa khuzunah adalah kerasnya akhlaq. Ahli PADA HARI KETUJUH
nasab menyebutkan bahwa keturunan Hazn ini terkenal dengan akhlaknya yang
keras.[8]
Pensyariatan Menggundul Rambut Kepala
Ibnu Baththol mengatakan,
Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata,
‫ْس َعلَى ْال ُوجُوب‬
َ ‫ير ااِل سْم إِلَى أَحْ َسن ِم ْنهُ لَي‬
ِ ‫ين اأْل َ ْس َماء َو ِبتَ ْغ ِي‬
ِ ‫أَنَّ اأْل َ ْمر ِبتَحْ ِس‬
ُ َ‫ُكلُّ ُغالَ ٍم َر ِهينَةٌ بِ َعقِيقَتِ ِه تُ ْذبَ ُح َع ْنهُ يَوْ َم َسابِ ِع ِه َويُحْ ل‬
‫ق َويُ َس َّمى‬
“Perintah untuk memperbagus nama dan merubah nama menjadi yang lebih
baik bukanlah suatu yang wajib.”[9] Namun merubahnya adalah sesuatu yang
lebih afdhol (lebih baik), apalagi jika nama tersebut jelas-jelas nama yang haram "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada
untuk digunakan.[10] hari ketujuhnya, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no.
2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani
DAFTAR PUSTAKA
mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[1] Lihat pembahasan di Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/378. Dari ‘Ali bin Abu Thalib ia berkata,
[2] Lihat Tasmiyatul Mawlud, Syaikh Bakr Abu Zaid, hal. 46.
[3] Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 10/577, Darul Ma’rifah, 1379.
[4] Lihat Tasmiyatul Mawlud, hal. 54-55. َ ‫اط َمةُ احْ لِقِى َر ْأ َسهُ َوت‬
ِ ‫َص َّدقِى بِ ِزنَ ِة َشع‬
‫ْر ِه‬ َ َ‫ ع َِن ْال َح َس ِن بِشَا ٍة َوق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ق َرسُو ُل هَّللا‬
ِ َ‫ال « يَا ف‬ َّ ‫َع‬
[5] Lihat Al Ishobaah fi Tamyiz Ash Shohabah, 3/338-359. Dinukil dari “Menanti Buah Hati dan َ ‫ال فَ َوزَ نَ ْتهُ فَ َكانَ َو ْزنُهُ ِدرْ هَ ًما أَوْ بَع‬
‫ْض ِدرْ ه ٍَم‬ َ َ‫ ق‬.» ً‫ضة‬ َّ ِ‫ف‬
Hadiah untuk yang Dinanti”, Ustadz Abdul Hakim bin Amr Abdat, hal. 169, Darul Qolam.
[6] Lihat Tasmiyatul Mawlud, hal. 57.
[7] Tuhfatul Mawdud, Ibnul Qayyim, hal. 127, Maktabah Darul Bayan. "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengakikahi Hasan dengan seekor
[8] Lihat Fathul Baari, 10/575. kambing." Kemudian beliau bersabda, "Wahai Fatimah, gundullah rambutnya
[9] Idem. lalu sedekahkanlah perak seberat rambutnya." Ali berkata, "Aku kemudian
[10] Pembahasan ini adalah faedah dari tulisan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Tasmiyatul
Mawlud. menimbang rambutnya, dan beratnya sekadar uang satu dirham atau
sebagiannya." (HR. Tirmidzi no. 1519. Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya
hasan gharib dan sanadnya tidak bersambung. Dan Abu Ja'far Muhammad bin
Ali bin Al Husain belum pernah bertemu dengan Ali bin Abu Thalib." Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini telah di-washol-kan/disambungkan oleh Al
Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’
1175)

Dari Salman bin ‘Ami Adh-Dhobbi, dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ فَأَ ْه ِريقُوا َع ْنهُ َد ًما َوأَ ِميطُوا َع ْنهُ األَ َذى‬، ٌ‫َم َع ْال ُغالَ ِم َعقِيقَة‬
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Pada anak lelaki ada perintah 'aqiqah, maka potongkanlah hewan sebagai Definisi qoza’ sebagaimana yang diterangkan oleh Nafi’ di atas, yaitu
akikah dan buanglah keburukan darinya.” (HR. Bukhari no. 5472). Al Hasan Al menggundul sebagian kepala saja dan meninggalkan yang lainnya secara
Bashri mengatakan bahwa “imathotul adza” (membuang keburukan) dalam mutlak. Inilah yang dipilih oleh An Nawawi.
hadits ini adalah mencukur rambut bayi. (HR. Abu Daud no. 2840. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih, namun hanya maqthu’, yaitu An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa
perkataan tabi’in). qoza’ itu dimakruhkan jika rambut yang digundul tempatnya berbeda-beda
(misalnya: depan dan belakang gundul, bagian samping tidak gundul, pen)
Riwayat terakhir ini menunjukkan bahwa mencukur rambut bayi akan membuat kecuali jika dalam kondisi penyembuhan penyakit dan semacamnya. Yang
bayi tersebut terbebas dari kotoran. Berarti bayi yang tidak dicukur rambutnya dimaksud makruh di sini adalah makruh tanzih (artinya: sebaiknya
adalah kebaikan dari hal tersebut. Renungkanlah! ditinggalkan). ... Madzhab Syafi’iyah melarang qoza’ secara mutlak termasuk
laki-laki dan perempuan.”[1]
Aturan dalam Mencukur Rambut Kepala
Bersedekah Seberat Timbangan Rambut dengan Perak
Pertama: Menggundul rambut kepala disunnahkan dilakukan pada hari ketujuh
sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits di atas. Ini berlaku untuk bayi laki- Dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib di atas terdapat pelajaran untuk bersedekah
laki dan perempuan karena syariat untuk laki-laki berlaku juga untuk dari rambut bayi yang telah dicukur (digundul). Caranya adalah rambut bayi
perempuan kecuali jika ada dalil pembeda. tersebut ditimbang, setelah itu sedekah dengan perak sesuai dengan hasil
timbangan tadi, atau boleh pula sedekah dengan uang seharga perak. Misalnya
Kedua: Tidak boleh mencukur sebagian kepala saja dan meninggalkan sebagian berat rambut yang telah digundul adalah 1 gram, berarti sedekahnya adalah
lainnya, disebut qoza’. Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, dengan 1 gram perak. Atau boleh pula dengan uang seharga 1 gram perak tadi.
Misalnya harga 1 gram perak ketika itu adalah Rp. 5.650[2], berarti sedekahnya
adalah dengan Rp. 5.650,-. Sedekah ini diserahkan kepada fakir miskin yang
ِ َ‫ نَهَى ع َِن ْالق‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
‫زَع‬ َ ‫أَنَّ َرس‬
membutuhkan.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza’.” (HR. Bukhari no. DAFTAR PUSTAKA
5921 dan Muslim no. 2120)
[1] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 14/101, Dar Ihya’ At Turots, 1392.
[2] Ini harga perak yang kami ketahui infonya dari pedagang emas-perak saat kami membuat tulisan
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar mengatakan,
ini.

ْ ُ َ‫ت لِنَافِ ٍع َو َما ْالقَز‬


ُ ‫ال قُ ْل‬
‫ص ِب ِّى‬
َّ ‫س ال‬ ُ َ‫ال يُحْ ل‬
ِ ‫ق بَعْضُ َرأ‬ َ َ‫ع ق‬ ِ َ‫ نَهَى ع َِن ْالق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
َ َ‫ ق‬.‫زَع‬ َ ‫أَنَّ َرس‬
.ٌ‫ك بَعْض‬ ُ ‫َويُ ْت َر‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qoza’.” Aku (Umar bin Nafi’)
berkata pada Nafi’, “Apa itu qoza’?” Nafi’ menjawab, “Qoza’ adalah
menggundul sebagian kepala anak kecil dan meninggalkan sebagian lainnya.”
(HR. Muslim no. 2120)
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Gundul Kepala untuk Bayi Para ulama menafsirkan ‘dihilangkan kotoran darinya’ dengan menggundul
kepala. Sebagaimana bayi perempuan dianalogkan dengan bayi laki-laki dalam
Tanya: masalah diakikahi pada hari ketujuh maka bayi perempuan juga digundul
Apakah ketentuan menggundul kepala bayi itu berlaku untuk bayi laki-laki dan sebagaimana bayi laki-laki karena illah/sebab hukumnya adalah sama.
perempuan ataukah hanya berlaku untuk bayi laki-laki saja? Kapankah Diriwayatkan dengan sanad yang mursal bahwa Fathimah menggundul kepala
menggundul ini dilakukan? al Hasan, al Husain, Zainab dan Umm Kultsum.

Jawab: ‫ وزنت فاطمة بنت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم شعر حسن‬: ‫عن جعفر بن محمد بن علي عن أبيه أنه قال‬
‫و حسين و زينب و أم كلثوم فتصدقت بوزن ذلك فضة‬
Pada asalnya menggundul kepala bayi adalah suatu yang dianjurkan. Namun
apakah hanya berlaku untuk laki-laki ataukah juga berlaku untuk perempuan Dari Ja’far bin Muhammad bin Ali dari ayahnya, Fathimah binti Rasulillah
maka ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Insya menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab dan Umm Kultsum lalu bersedekah
Allah pendapat yang benar ketentuan ini berlaku untuk bayi laki-laki dan bayi dengan perak seberat timbangan rambutnya. (HR Baihaqi dalam Syuabul Iman
perempuan dengan dua pertimbangan: no 8629).

[Pertimbangan pertama] Jadi bayi perempuan tidaklah beda dengan bayi laki-laki dalam hal ini selain
dalam masalah kadar akikah. Untuk laki-laki dua ekor kambing sedangkan
untuk perempuan seekor kambing karena adanya kesamaan illah antara bayi
Dalam bahasa arab akikah adalah istilah untuk rambut yang ada pada bayi saat
laki-laki dengan bayi perempuan.
dilahirkan sebagaimana yang dikatakan oleh dua orang pakar bahasa Arab yaitu
al Asma’i dan Ibnu Qutaibah. Kambing yang disembelih untu bayi disebut akikah
karena ketika itu rambut bayi digundul. Menimbang realita bahwa bayi Sedangkan waktu pelaksaan menggundul bayi adalah sama dengan waktu
perempuan itu diakikahi maka konsekuensinya rambut kepalanya juga harus akikah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yaitu hari ketujuh.
digundul.

[Pertimbangan kedua]

Dalam hadits disebutkan,

ُ‫ َكانَ يَقُو ُل « ُكلُّ ُغالَ ٍم ُمرْ تَهَنٌ بِ َعقِيقَتِ ِه تُ ْذبَ ُح َع ْنهُ يَوْ َم َسابِ ِع ِه َويُ َماط‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ع َْن َس ُم َرةَ أَنَّ نَبِ َّى هَّللا‬
‫» َع ْنهُ األَ َذى َويُ َس َّمى‬.

Dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Setiap bayi laki-laki itu tergadai dengan akikahnya. Akikah tersebut disembelih
pada hari ketujuh, dihilangkan kotoran darinya dan diberi nama.” (HR. Ahmad
no 20201, sanadnya shahih menurut Syaikh Syu’aib al Arnauth).
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

BAB V SUNNAH AQIQAH BAGI SI BUAH HATI hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838,
An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pengertian Aqiqah
Ketiga: Hadits –Ummul Mukminin- ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Mengenai pengertian aqiqah disebutkan dalam kitab-kitab para ulama –semisal
dalam kitab fiqh Syafi’iyah-, yaitu aqiqah berasal dari kata (‫ق‬ ُّ ‫ق يَ ِع‬
َّ ‫) َع‬. Secara َ‫ت َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن فَ َسأَلُوهَا ع َِن ْال َعقِيقَ ِة فَأ َ ْخبَ َر ْتهُ ْم أَنَّ عَائِ َشة‬ ِ ‫صةَ ِب ْن‬ َ ‫ع َْن يُوسُفَ ب ِْن َماهَكَ أَنَّهُ ْم َدخَ لُوا َعلَى َح ْف‬
bahasa, aqiqah adalah sebutan untuk rambut yang berada di kepala si bayi َ َ‫ ق‬.ٌ‫اريَ ِة شَاة‬
‫ال َو ِفى‬ ِ ‫ج‬
َ ْ
‫ال‬ ‫َن‬ ‫ع‬ ‫و‬
ِ َ ِ ِ ُ ِ ‫َان‬ ‫ت‬َ ‫ئ‬‫ف‬ ‫َا‬
‫ك‬ ‫م‬ ‫َان‬ ‫ت‬‫َا‬ ‫ش‬ ‫م‬ ِ َ ‫ال‬ ‫غ‬ ُ ْ
‫ال‬ ‫َن‬
ِ ‫ع‬ ‫م‬
ْ ُ ‫ه‬ ‫ر‬َ ‫م‬ َ
َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
‫أ‬ َ ‫ أَنَّ َرس‬F‫أَ ْخبَ َر ْتهَا‬
‫س َو َس ْل َمانَ ب ِْن عَا ِم ٍر َواب ِْن‬ َ ‫ن‬َ ‫أ‬ ‫و‬ ‫و‬
ٍ َ ٍ ْ ِ ِ ِ َ َ َ ‫ر‬ ‫م‬‫ع‬َ ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫هَّللا‬ ‫د‬ ْ
‫ب‬ ‫ع‬
َ ‫و‬ َ ‫ة‬‫ْر‬
‫ي‬ ‫ُر‬ ‫ه‬ ‫ى‬ ‫ب‬ َ ‫أ‬ ‫و‬
ِ َ َ َُ َ َ ‫ة‬‫ر‬ ‫م‬ ‫س‬ ‫و‬ َ ‫ة‬‫د‬َ ْ
‫ي‬ ‫ُر‬ ‫ب‬‫و‬
َ َ ٍ ‫ز‬ ْ‫ر‬ ُ
‫ك‬ ‫م‬ ُ
ِّ ‫ب ع َْن َع ِل ٍّى َو‬
‫أ‬ ِ ‫ْالبَا‬
ketika ia lahir. Sedangkan secara istilah, aqiqah berarti sesuatu yang disembelih
ketika menggundul kepala si bayi. Aqiqah dinamakan dengan sebabnya karena ‫ت َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن أَ ِبى بَ ْك ٍر‬ ُ ‫صةُ ِه َى ِب ْن‬ َ َ َْ
‫ف‬ ‫ح‬ ‫و‬ .‫ح‬ ٌ ‫ي‬‫ح‬ِ َ ‫ص‬ ٌ‫ن‬ ‫س‬َ َ ‫ح‬ ‫يث‬ٌ ‫د‬ ‫ح‬
َِ َ ‫ة‬ َ
‫ش‬ ‫ئ‬
ِ ‫َا‬
‫ع‬ ُ
‫يث‬ ‫د‬
َِ‫ح‬ ‫ى‬ ‫س‬
َ ِ‫ي‬ ‫ع‬ ‫ُو‬ ‫ب‬ َ ‫أ‬ ‫ال‬
َ َ ‫ق‬ .‫س‬ٍ ‫َعبَّا‬
menyembelihnya berarti  (ُّ‫) يُ َعق‬, yaitu memotong, sedangkan rambut kepala si .‫ِّيق‬
ِ ‫الصِّ د‬
bayi dicukur pula ketika itu.[1]
Dari Yusuf bin Mahak, mereka pernah masuk menemui Hafshah binti
Pensyariatan Aqiqah 'Abdirrahman. Mereka bertanya kepadanya tentang hukum aqiqah. Hafshah
mengabarkan bahwa 'Aisyah pernah memberitahu dia, bahwa Rasulullah
Aqiqah adalah sesuatu amalan yang disyari’atkan oleh kebanyakan ulama shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyembelih
semacam Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, para fuqoha tabi’in, dan para ulama dua ekor kambing yang hampir sama (umurnya[2]) untuk anak laki-laki dan satu
di berbagai negeri. Dalil pensyariatan aqiqah adalah sebagai berikut. ekor untuk anak perempuan."

Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir. Ia berkata, "Dalam bab ini ada hadits serupa dari Ali dan ummu Kurz, Buraidah,
Samurah, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru, Anas, Salman bin Amir dan Ibnu
Abbas." Abu Isa berkata, "Hadits 'Aisyah ini derajatnya hasan shahih, sementara
‫ « َم َع ْال ُغالَ ِم َع ِقيقَتُهُ فَأَ ْه ِريقُوا َع ْنهُ َد ًما‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ال ق‬ َّ ‫ع َْن َس ْل َمانَ ب ِْن عَا ِم ٍر ال‬
َ َ‫ضب ِِّّى ق‬
maksud Hafshah dalam hadits tersebut adalah (Hafshah) binti 'Abdurrahman
» ‫َوأَ ِميطُوا َع ْنهُ األَ َذى‬
bin Abu Bakar Ash Shiddiq." (HR. Tirmidzi no. 1513. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi,
Keempat: Hadits Ibnu ‘Abbas.
maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya." (HR.
Bukhari no. 5472)
.‫ق ع َِن ْال َح َس ِن َو ْال ُح َسي ِْن َك ْب ًشا َك ْب ًشا‬ َ ‫س أَنَّ َرس‬
َّ ‫ َع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ ٍ ‫ع َِن اب ِْن َعبَّا‬
Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor gibas (domba
‫ال « ُكلُّ ُغالَ ٍم َر ِهينَةٌ ِب َعقِيقَتِ ِه تُ ْذبَ ُح َع ْنهُ يَوْ َم َسا ِب ِع ِه‬ َ ‫ب أَنَّ َرس‬
َ َ‫ ق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ ٍ ‫ع َْن َس ُم َرةَ ب ِْن ُج ْن ُد‬
jantan).” (HR. Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
» ‫ق َويُ َس َّمى‬ ُ َ‫َويُحْ ل‬
ini shahih[3])
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Hukum Aqiqah Ibnul Mundzir –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al Fath-
mengatakan, “Ulama Hanafiyah (ashabur ro’yi) yang mengingkari sunnahnya
Setelah kita melihat hadits-hadits tentang pensyariatan aqiqah di atas, lantas aqiqah telah menyelisihi hadits-hadits shahih mengenai hal ini. Sebagian
apakah hukum aqiqah itu sendiri? Wajib ataukah sunnah? mereka berdalil dengan hadits riwayat Imam Malik dalam Al Muwatho’ dari
Zaid bin Aslam dari seorang Bani Dhomroh dari ayahnya, ia menanyakan pada
Mengenai masalah ini, para ulama terdapat silang pendapat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai aqiqah. Jawaban Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
Berdasarkan hadits,
‫اَل أُ ِحبّ ْال ُعقُوق‬
‫َم َع ْال ُغالَ ِم َع ِقيقَتُهُ فَأ َ ْه ِريقُوا َع ْنهُ َد ًما‬
“Aku tidak menyukai aqiqah”, seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyukai penamaan aqiqah. Lalu beliau bersabda,
“Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi,
maka sembelihlah (aqiqah) untuknya" (HR. Bukhari no. 5472), juga berdasarkan ْ‫َم ْن ُولِ َد لَهُ َولَد فَأَ َحبَّ أَ ْن يَ ْن َسك َع ْنهُ فَ ْليَ ْف َعل‬
hadits lainnya, sebagian ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah itu wajib
semacam ulama Zhohiriyah (Daud, Ibnu Hazm, dkk), dan Al Hasan Al Bashri. “Siapa saja yang dilahirkan anak untuknya, maka ia suka dinusuk (diaqiqahi),
Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah maka lakukanlah.”[7]
adalah sunnah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum
aqiqah itu tidak wajib dan juga tidak sunnah. –Demikian dikatakan oleh Asy Dalam riwayat Sa’id bin Manshur, dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam dari seorang
Syaukani dalam Nailul Author-[4] Bani Dhomroh dari pamannya, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai aqiqah sedangkan beliau di
Hadits dari jumhur ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah mimbar di Arofah, lalu beliau menyebutkan semacam tadi.” Hadits ini pun
berpegang pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memiliki penguat dari hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,
dikeluarkan oleh Abu Daud. Dua hadits ini dikuatkan satu dan lainnya. Abu ‘Umr
ْ‫َم ْن أَ َحبَّ أَ ْن يَ ْنسُكَ ع َْن َولَ ِد ِه فَ ْليَ ْف َعل‬ mengatakan, “Aku tidak mengetahui hadits tersebut marfu’ (sampai pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dari dua riwayat ini.” Al Bazzar dan Abusy
Syaikh juga telah mengeluarkan hadits tentang aqiqah dari Abu Sa’id, namun
“Barangsiapa yang senang untuk mengaqiqahi anaknya, maka lakukanlah.”[5]
hadits tersebut bukanlah jadi hujjah bagi yang menyatakan tidak
Hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib karena di sini dikatakan
disyari’atkannya aqiqah. Bahkan akhir hadits jelas-jelas menetapkan
boleh memilih. Dalil ini adalah indikasi yang memalingkan perintah yang
disyariatkannya aqiqah. Sedangkan yang dimaksud dalam hadits adalah lebih
disebutkan dalam hadits-hadits yang memerintahkan aqiqah kepada perintah
utama menyebut aqiqah dnegan nasikah atau dzabihah, dan dilarang
sunnah.[6]
menyebutnya dengan aqiqah. Telah dinukil dari Ibnu Abid Dam dari beberapa
sahabat mengenai penamaan semacam ini sebagaimana tidak disukai pula
Lalu bagaimana dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang menyebut Isya dengan ‘atamah.”[8]
menyatakan bahwa hukum aqiqah tidak wajib dan tidak pula sunnah?
Kesimpulan: Aqiqah adalah suatu yang disyariatkan tidak sebagaimana
pendapat ulama Hanafiyah. Hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Sedangkan kami sendiri lebih cenderung pada pendapat jumhur (mayoritas) Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin juga pernah menjelaskan maksud
ulama yang menyatakan hukum aqiqah adalah sunnah. Namun sudah hadits di atas. Beliau –rahimahullah- mengatakan,
sepantasnya bagi orang yang mampu yang diberi kelebih rizki oleh Allah Ta’ala
tidak meninggalkan syari’at yang mulia ini. “Sebagian ulama mengartikan “setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya”
bahwasanya aqiqah adalah sebab anak tersebut terlepas dari kegelisahan
Sayyid Sabiq -rahimahullah- memiliki perkataan yang amat baik. Beliau berkata, dalam maslahat agama dan dunianya. Hatinya akan begitu lapang setelah
“Hukum aqiqah adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan), diaqiqahi. Jika seorang anak tidak diaqiqahi maka keadaannya akan selalu
walaupun si ayah (yang membiayai aqiqah) adalah orang yang dalam keadaan gelisah layaknya orang yang berutang dan menggadaikan barangnya. Inilah
sulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap melakukan aqiqah , pendapat yang lebih tepat tentang maksud hadits tersebut. Jadi, aqiqah adalah
begitu pula sahabatnya. Telah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan bahwa sebab seorang anak akan mendapatkan kemaslahatan, hatinya pun tidak begitu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain gelisah dan semakin mudah dalam aktivitasnya.”[12]
masing-masing dengan satu ekor kambing. Sedangkan ulama yang mewajibkan
aqiqah adalah Al Laits dan Daud Azh Zhohiri.”[9] Siapa yang Dituntut Melaksanakan Aqiqah?

Sayyid Sabiq menyatakan bahwa jika si ayah dalam keadaan sulit sekalipun Aqiqah dituntut pada ayah selaku penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari
hendaklah melakukan aqiqah. Apa yang beliau utarakan senada dengan harta ayah dan bukan harta anak. Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah,
perkataan Imam Ahmad -rahimahullah-. Imam Ahmad pernah berkata, namun dengan seizin ayahnya.

. ‫ إحْ يَا َء ُسنَّ ٍة‬، ‫ َرجَوْ ت أَ ْن ي ُْخ ِلفَ هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬، ‫ض‬
َ ‫ فَا ْستَ ْق َر‬، ‫ق‬
ُّ ‫إ َذا لَ ْم يَ ُك ْن ِع ْن َدهُ َما يَ ُع‬ Sebagaimana disebutkan dalam Subulus Salam, Ash Shon’ani -rahimahullah-
mengatakan, “Menurut Imam Asy Syafi’i, aqiqah itu dituntut dari setiap orang
“Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), yang menanggung nafkah si bayi. Sedangkan menurut ulama Hambali, aqiqah
maka hendaklah ia mencari utangan. Aku berharap ia mendapatkan ganti di itu dituntut khusus dari ayah, kecuali jika ayahnya tersebut mati atau terhalang
sisi Allah karena ia berarti telah menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi tidak bisa memenuhi aqiqah.”[13]
wa sallam.”[10]
Dalam masalah ini berarti ada perselisihan pendapat, siapakah yang dituntut
Manfaat Aqiqah melaksanakan aqiqah. Namun tentu saja yang utama adalah ayah yang
menanggung biaya ini, apalagi ayahlah yang sudah jelas penanggung nafkah
Dalam hadits disebutkan, keluarga. Sehingga kurang tepat jika aqiqah dibebankan pada anak atau ibu
yang sama sekali bukan orang yang bertanggung jawab mencari nafkah
‫ُكلُّ ُغالَ ٍم َر ِهينَةٌ بِ َعقِيقَتِ ِه‬ keluarga. Wallahu a’lam.

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya.” Lalu bagaimanakah dengan aqiqah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam terhadap cucunya –Al Hasan dan Al Husain-?
Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud hadits di atas. Imam Ahmad
bin Hambal berpendapat bahwa jika seorang anak tidak diaqiqahi, dia tidak Dijawab oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini -rahimahullah-, “Aku
akan memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya.[11] jawab bahwa yang dimaksud dengan aqiqah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

pada keduany adalah perintah beliau kepada kedua orang tuanya, atau boleh diangkat sebagai Nabi, dalam Al Majmu’ disebut sebagai pendapat yang batil.
jadi pula beliau yang memberikan hewan yang akan dijadikan aqiqah, atau [16]
barangkali lagi Al Hasan dan Al Husain menjadi tanggungan nafkah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedua orang tua mereka adalah orang yang Sebagaimana pula dikatakan dalam salah satu kitab ulama Syafi’iyah, Kifayatul
kurang mampu. Namun jika aqiqah itu diambil dari harta anak, maka itu tidak Akhyar, “Riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dibolehkan bagi wali (orang tua) untuk melakukannya. Karena aqiqah itu mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi adalah riwayat yang
termasuk pemberian cuma-cuma (tabarru’) dari orang tua sehingga tidak boleh dho’if (lemah) dari setiap jalannya.”[17]
hewan aqiqah diambil dari harta anak. ”[14]
Pendapat yang bagus tentang masalah ini diterangkan oleh Syaikh Muhammad
Bagaimana Jika Tidak Mampu Aqiqah? bin Sholih Al Utsaimin. Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan kepada
beliau –rahimahullah-, “Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah
Aqiqah tentu saja melihat pada kemampuan orang yang  bertanggung jawab ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih
untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman, dibolehkannya aqiqah?”

‫فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬ Beliau -rahimahullah- memberikan jawaban –di antaranya-,

“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16). “Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu
dianjurkannya aqiqah, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun
Asy Syarbini –rahimahullah- menjelaskan, “Jika orang tua tidak mampu mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila
melakukan aqiqah pada saat kelahiran, namun setelah itu ia mendapati seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan
kemudahan pelaksanaan aqiqah sebelum hari ketujuh kelahiran, maka ketika mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila
itu ia disunnahkan melaksanakan aqiqah. Jika orang tua mendapati kemudahan keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah
pelaksanaan aqiqah setelah hari ketujuh dan masih tersisa sedikit waktu istri menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
mengalami nifas, maka sebagian ulama belakangan tidak memerintahkan untuk
dilaksanakan aqiqah. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menganjurkan Sedangkan jika orang tuanya mampu melaksanakan aqiqah ketika ia lahir,
dilaksanakannya aqiqah jika masih dalam masa nifas, inilah pendapat yang namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu
dikuatkan oleh Al Anwar.”[15] anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.”[18]

Lalu bagaimana jika bayi sebenarnya mampu diaqiqahi ketika lahir, namun Intinya, untuk masalah ini kembali ke kemampuan sang ayah ketika bayi itu
sampai dewasa, ia belum juga diaqiqahi? lahir. Jika ayahnya di hari kelahiran termasuk orang yang tidak mampu untuk
melaksanakan aqiqah, maka aqiqahnya jadi gugur termasuk pula ketika ia
Menurut ulama Syafi’iyah, orang tua yang mampu mengaqiqahi, ia tetap dewasa. Sedangkan jika sang ayah adalah orang yang mampu ketika itu, maka
dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa. Jika sampai sampai dewasa pun si anak dituntut untuk diaqiqahi. Adapun jika si anak
dewasa, anak tersebut belum juga diaqiqahi, maka ia boleh mengaqiqahi mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, maka ini pendapat yang perlu dikritisi.
dirinya sendiri. Sedangkan sebagian orang yang menyatakan bahwa Nabi Karena Imam Asy Syafi’i sendiri tidak memerintahkan agar si anak mengaqiqahi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dirinya sendiri[19].Wallahu a’lam.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

DAFTAR PUSTAKA

[1] Lihat Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al Minhaj (Kitab Syarh
Minhaj Ath Tholibin), Muhammad  bin Al Khotib Asy Syarbini, 4/390, Darul
Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H.
[2] Sebagaimana keterangan dari Sayyid Sabiq dalam catatan kaki kitab Fiqh
Sunnah, 3/327, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut-Lebanon.
[3] Namun pembahasan mengenai hadits ini -insya Allah- akan disinggung
selanjutnya pada pembahasan “hewan yang diaqiqahi” dalam tulisan serial
kedua.
[4] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 8/154, Mawqi’ Al Waroq.
[5] HR. Ahmad 2/182. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan bahwa sanad
hadits ini hasan.
[6] Nailul Author, 8/154.
[7] HR. Ahmad 5/430 dan Abu Daud 2842. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[8] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul Ma’rifah, 1379.
[9] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/326, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut.
[10] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, cetakan pertama,
1405
[11] Subulus Salam Syarh Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani,
Ta’liq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, 4/337, Maktabah Al Ma’arif,
cetakan pertama, tahun 1427 H.
[12] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset
95, no. 19.
[13] Idem.
[14] Mughnil Muhtaj, 4/391.
[15] Idem.
[16] Lihat Mughnil Muhtaj, 4/391.
[17] Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr bin BAB VI JUMLAH DAN JENIS HEWAN AQIQAH
Muhammad bin Al Husaini Al Hushni Ad Dimasyqi Asy Syafi’i, hal. 705, Darul
Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1422 H.
[18] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset Perselisihan Ulama Mengenai Jumlah Hewan yang Diaqiqahi
234, no. 6
[19] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
Apakah yang disembelih ketika aqiqah adalah satu ekor kambing atau dua ekor,
di sini terdapat silang pendapat di antara para ulama. Imam Malik berpendapat
bahwa laki-laki dan perempuan diaqiqahi dengan masing-masing satu kambing.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Adapun Imam Asy Syafi’i, Abu Tsaur, Abu Daud, dan Imam Ahmad berpendapat Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bahwa laki-laki hendaknya diaqiqahi dengan dua ekor kambing, sedangkan mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor domba.” (HR.
perempuan dengan satu ekor kambing.[1] Abu Daud no. 2841. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Akan
tetapi riwayat yang menyatakan dengan dua kambing, itu yang lebih shahih)
Perselisihan di atas berasal dari perbedaan dalil dalam masalah tersebut. Ada
beberapa dalil yang digunakan, yaitu sebagai berikut. Namun dalam riwayat An Nasai lafazhnya,

Dalil pertama: Hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha. ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن ْال َح َس ِن َو ْال ُح َسي ِْن َر‬
‫ ِب َك ْب َشي ِْن َك ْب َشي ِْن‬F‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما‬ َ ِ ‫ق َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫س ق‬
َّ ‫ال َع‬ ٍ ‫ع َْن اب ِْن َعبَّا‬

ِ ‫ات‬F‫و ُل « ع َِن ْال ُغالَ ِم َش‬FFُ‫ يَق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ Fَ‫َان ُمكَافِئَت‬
‫ان َوع َِن‬F َ ‫ْت َرس‬ Fُ ‫ت َس ِمع‬ ْ َ‫ع َْن أُ ِّم ُكرْ ٍز ْال َك ْعبِيَّ ِة قَال‬ Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
.‫َان‬ِ ‫اربَت‬َ َ
ِ ‫َان أوْ ُمق‬ َ َ ‫ال أَبُو دَا ُو َد َس ِمعْت أحْ َم َد ق‬
ِ ‫ال ُمكَافِئَت‬
ِ ‫َان أىْ ُم ْست َِويَت‬ َ َ ُ َ َ‫ ق‬.» ٌ‫اريَ ِة شَاة‬ ِ ‫ْال َج‬ mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing dua ekor domba.” (HR. An
Nasai no. 4219. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadit ini shahih)
Dari Ummu Kurz Al Ka'biyyah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah
shallallahu wa 'alaihi wa sallam bersabda, "Untuk anak laki-laki dua kambing Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud, itulah yang jadi pegangan
yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Abu Daud berkata, saya Imam Malik untuk menyatakan bahwa aqiqah anak laki-laki sama dengan anak
mendengar Ahmad berkata, “Mukafiatani yaitu yang sama atau saling perempuan yaitu dengan satu ekor kambing. Manakah yang tepat dalam
berdekatan.” (HR. Abu Daud no. 2834 dan Ibnu Majah no. 3162. Syaikh Al masalah ini?
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pendapat Terkuat dalam Masalah Jumlah Hewan Aqiqah
Dalil kedua: Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud di atas, Syaikh
ِ ‫َان َوع َِن ْال َج‬
ٌ‫اريَ ِة شَاة‬ ِ ‫ أَ َم َرهُ ْم ع َِن ْال ُغالَ ِم شَات‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫َان ُمكَا ِفئَت‬ َ ‫أَنَّ َرس‬ Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah mengatakan,

“Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka, untuk anak ‫ وهو األصح‬. ‫ كبشين كبشين‬: ‫صحيح لكن في رواية النسائي‬
laki-laki aqiqah dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu
ekor kambing.” (HR. Tirmidzi no. 1513. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini “Hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Abu Daud itu shahih. Akan tetapi
hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) dalam riwayat An Nasai dikatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyembelih masing-masing dua kambing. Inilah riwayat yang lebih shahih.”[2]
Dua hadits ini dengan jelas membedakan antara aqiqah anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan anak Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan,
perempuan dengan satu ekor kambing.
ِ ‫لّ َو‬FF‫ق ع َْن ُك‬
‫احد‬ ّ F‫ َواء فَيَ ُع‬F‫ َوع َْن َمالِك هُ َما َس‬، ‫اريَة‬ِ ‫ور فِي التَّ ْف ِرقَة بَيْن ْالغُاَل م َو ْال َج‬F
ِ Fُ‫ ا ِديث ُحجَّة ِل ْل ُج ْمه‬F‫َوهَ ِذ ِه اأْل َ َح‬
Dalil ketiga: Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ْ َ ً َ ً َ ْ ْ ْ َّ
ُ‫َعل ْي ِه َو َسل َم َعق عَن ال َح َسن َوال ُح َسيْن ك ْبشا ك ْبشا " أخ َر َجه‬َّ َ ‫هَّللا‬ َّ
‫صلى‬ َّ‫ن‬َ
َ ‫ َواحْ تَ َّج لَهُ بِ َما َجا َء " أ النبِ ّي‬، ‫ِم ْنهُ َما شَاة‬
َّ
" ‫أَبُو دَا ُو َد َواَل ُحجَّة ِفي ِه فَقَ ْد أَ ْخ َر َجهُ أَبُو ال َّشيْخ ِم ْن َوجْ ه آخَ ر ع َْن ِع ْك ِر َمة ع َْن اِبْن َعبَّاس ِبلَ ْف ِظ " َك ْب َشي ِْن َك ْب َشي ِْن‬
.‫ق ع َِن ْال َح َس ِن َو ْال ُح َسي ِْن َك ْب ًشا َك ْب ًشا‬ َ ‫س أَنَّ َرس‬
َّ ‫ َع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ ٍ ‫ع َِن اب ِْن َعبَّا‬ َ ‫ ِر َوايَة أَ ِبي دَا ُو َد فَلَي‬F‫وت‬FFُ‫ ِدير ثُب‬F‫ َو َعلَى تَ ْق‬، ‫ ّده ِم ْثله‬F‫َوأَ ْخ َر َج أَيْضً ا ِم ْن طَ ِريق َع ْمرو بْن ُش َعيْب ع َْن أَ ِبي ِه ع َْن َج‬
‫ْس‬
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

َ F‫دُلّ َعلَى َج‬Fَ‫لْ غَايَته أَ ْن ي‬FFَ‫ ب‬، ‫يص َعلَى التَّ ْثنِيَة ِل ْلغُاَل ِم‬F‫ص‬
‫واز‬F ِ ‫اردَة فِي التَّ ْن‬
ِ ‫و‬Fَ Fَ‫فِي ْال َح ِديث َما ي َُر ّد بِ ِه اأْل َ َحا ِديث ْال ُمت‬ “Jika seseorang  tidak mendapati hewan aqiqah kecuali satu saja, maka maksud
ً
ّ‫ْس شَرْ طا بَلْ ُم ْست ََحب‬ َ ‫ فَإِنَّ ْال َعدَد لَي‬، َ‫ َوه َُو َك َذلِك‬، ‫صار‬ َ ِ‫ااِل ْقت‬ aqiqah tetap sudah terwujud. Akan tetapi, jika Allah memberinya kecukupan
harta, aqiqah dengan dua kambing (untuk anak laki-laki) itu lebih afdhol.”[6]
“Hadits-hadits ini (semacam hadits Ummu Kurz, -pen) menjadi argumen yang
kuat bagi jumhur (mayoritas) ulama dalam membedakan aqiqah untuk anak Para ulama yang duduk di komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil
laki-laki dan anak perempuan. Namun Imam Malik berpendapat bahwa aqiqah Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ menerangkan,
pada keduanya itu sama. Imam Malik beralasan dengan hadits bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing- “Disunnahkan aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing yang semisal,
masing dengan satu ekor kambing. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud, sedangkan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan
namun tidak bisa dijadikan argumen. Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Abusy Syaikh dari jalur lain dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas dengan lafazh ”Anak laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang semisal, sedangkan
“masing-masing dua ekor kambing”. Dikeluarkan pula dari jalan ‘Amr bin anak perempuan dengan satu ekor kambing” (HR. At Tirmidzi 794, Ahmad 5/40.
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya riwayat yang semisalnya.  Berdasarkan At Tirmidzi menshahihkannya).
riwayat Abu Daud tadi, hadits tersebut bukanlah menafikan hadits-hadits
mutawatir yang menjelaskan dengan tegas bahwa aqiqah bagi anak laki-laki Ada hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah
adalah dengan dua ekor kambing. Akan tetapi riwayat tersebut menunjukkan shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain masing-
bolehnya aqiqah kurang dari dua ekor kambing. Itulah maksudnya. Sehingga masing satu ekor kambing” (HR. Tirmidzi 794, Ahmad 5/39). Namun dalam
dari sini, jumlah kambing (yaitu dua ekor kambing bagi laki-laki, pen) bukanlah riwayat Abu Daud dan An Nasai dikatakan bahwa aqiqah yang dilakukan pada Al
syarat dalam aqiqah, namun hanya sekedar disunnahkan (dianjurkan) saja.”[3] Hasan dan Al Husain masing-masing dengan dua ekor kambing. Inilah yang lebih
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ash Shon’ani dalam Subulus Salam[4]. afdhol. Adapun jika dikatakan sah dengan satu ekor kambing, jawabannya tetap
sah sebagaimana berlaku pada daging sembelihan lainnya.[7]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa anak perempuan tidak perlu
َّ ‫ َو‬، ُ‫ة‬F ‫ َوعَائِ َش‬، ‫س‬
، ‫افِ ِع ُّي‬F ‫الش‬ ٍ ‫ال ابْنُ َعبَّا‬Fَ Fَ‫ ِه ق‬F ‫ائِلِينَ ِبهَا َو ِب‬FFَ‫ر ْالق‬F
ِ Fَ‫وْ ُل َأ ْكث‬FFَ‫ َذا ق‬F َ‫ه‬. ٌ‫اة‬F ‫ ِة َش‬F َ‫اري‬ِ ‫ َوع َْن ْال َج‬، ‫ع َْن ْالغُاَل ِم‬ diaqiqahi sebagaimana yang dipegang oleh Al Hasan Al Bashri dan Qotadah [8]
. ‫اريَ ِة‬
ِ ‫ج‬َ ‫ال‬ْ ‫و‬
َ ‫م‬
ِ ‫ُاَل‬
‫غ‬ ْ
‫ال‬ ْ
‫َن‬‫ع‬ ٌ ‫ة‬‫َا‬
‫ش‬ ٌ ‫ة‬‫َا‬
‫ش‬ : ‫ول‬ ُ ‫ق‬َ ‫ي‬ ‫ر‬
َ ‫م‬
َ ُ
‫ع‬ ُ‫ْن‬ ‫ب‬‫ا‬ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ َ ‫ َوأَبُو ثَوْ ٍر‬، ‫ق‬
‫و‬. ُ ‫ْحا‬َ ‫َوإِس‬ adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan dalil yang
mensyariatkan aqiqah bagi anak perempuan dengan seekor kambing.
“Aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan boleh sama, yaitu dengan
satu ekor kambing. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Inilah yang dipilih oleh Kesimpulan, aqiqah pada anak laki-laki dianjurkan dengan dua ekor kambing,
Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Asy Syafi’i, Ishaq dan Abu Tsaur. Bahkan Ibnu ‘Umar sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing. Namun jika tidak
sendiri pernah berkata, “Aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan masing- mampu, boleh pula bagi anak laki-laki dengan satu ekor kambing dan itu
masing dengan seekor kambing.”[5] dianggap sah. Wallahu a’lam.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, Apakah Aqiqah Boleh dengan Selain Kambing?

‫ان‬FF‫ فاالثنت‬، ‫اه‬FF‫ان هللا قد أغن‬FF‫ لكن إذا ك‬، ‫ود‬FF‫زأت وحصل بها المقص‬FF‫دة أج‬FF‫اة واح‬FF‫ إال ش‬، ‫ان‬FF‫إن لم يجد اإلنس‬FF‫ف‬
‫أفضل‬
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Jika memperhatikan dalil-dalil yang membicarakan aqiqah, maka kita dapati menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
bahwa aqiqah dikhususkan dengan kambing atau domba, tidak dengan hewan melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa
lainnya. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ummu Kurz, Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah: 267)

ِ ‫َان َوع َِن ْال َج‬


ٌ‫اريَ ِة شَاة‬ ِ ‫ع َِن ْال ُغالَ ِم شَات‬
ِ ‫َان ُمكَافِئَت‬ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

"Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu ‫أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَّللا َ طَيِّبٌ الَ يَ ْقبَ ُل إِالَّ طَيِّبًا‬
kambing." Dan juga dapat kita lihat dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali dari
Sedangkan hadits muthlaq semacam dari Salman bin ‘Amir yang dikeluarkan yang thoyyib” (HR. Muslim no. 1015). Thoyyib di sini bermakna selamat dari
dalam Shahih Bukhari, kejelekan (cacat)[11].

‫َم َع ْال ُغالَ ِم َعقِيقَتُهُ فَأَ ْه ِريقُوا َع ْنهُ َد ًما َوأَ ِميطُوا َع ْنهُ األَ َذى‬ Ketentuan Pemilihan Hewan Aqiqah

“"Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah 1. Hewan aqiqah boleh jantan atau betina, namun yang lebih afdhol
(aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya", hadits muthlaq ini dibawa adalah jantan.
kepada hadits muqoyyad, yaitu semacam pada hadits Ummu Kurz. Sehingga 2. Syarat hewan aqiqah sama dengan hewan udhiyah (hewan qurban).
dari sini, tidak boleh aqiqah kecuali dengan kambing saja. Tidak boleh dengan 3. Lebih bagus memilih hewan aqiqah yang berwarna putih sebagaimana
sapi, unta, atau bahkan ayam. ketentuan dalam hewan qurban.
4. Dianjurkan memilih yang gemuk, yang besar, dan yang paling bagus.
Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini[9], berbeda dengan madzhab Hanafi, 5. Jika yang disembelih adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki,
Hambali dan Syafi’iyah yang membolehkan dengan selain kambing, yaitu masih maka hendaklah dua kambing tersebut semisal (di antaranya dalam
dibolehkan dengan al an’am (sapi dan unta)[10]. Sebaik-baik petunjuk adalah umur, -pen[12]).[13]
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bolehkah Aqiqah Diganti dengan Hanya Membeli Daging Saja?
Hewan Aqiqah Terlepas dari ‘Aib
Hal ini tidak dibenarkan. Yang benar haruslah hewan aqiqah itu disembelih,
Hewan yang diaqiqahi tidak sah jika memiliki ‘aib, hewan tersebut harus tidak hanya dengan sekedar membeli daging kambing di pasar lalu dibagikan
terlepas dari ‘aib. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, pada orang lain.

َ ‫وا ْالخَ ِب‬FF‫ض َوال تَيَ َّم ُم‬


َ‫ون‬FFُ‫هُ تُ ْنفِق‬F‫يث ِم ْن‬ ِ ْ‫ ْبتُ ْم َو ِم َّما أَ ْخ َرجْ نَا لَ ُك ْم ِمنَ األر‬F‫َس‬ ِ ‫ا‬FFَ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ْنفِقُوا ِم ْن طَيِّب‬
َ ‫ت َما ك‬ Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
)٢٦٧( ‫آخ ِذي ِه إِال أَ ْن تُ ْغ ِمضُوا فِي ِه َوا ْعلَ ُموا أَنَّ هَّللا َ َغنِ ٌّي َح ِمي ٌد‬ ِ ‫َولَ ْستُ ْم ِب‬ Kerajaan Saudi Arabia pernah ditanya,

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari “Bolehkah penyembelihan kambing aqiqah diganti dengan membeli beberapa
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari kilo daging ataukah aqiqah harus dengan jalan menyembelih?”
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Jawaban: Tidak boleh. Aqiqah harus dengan jalan menyembelih seekor kambing Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki.[14] "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada
hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838,
DAFTAR PUSTAKA An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
1] Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Maliki, hal. 421, Darul Kutub Al
‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1428 H dan At Tamhid, Ibnu ‘Abdil Barr, 4/314, Wizarotusy Syu’un Al
Islamiyah. Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?
[2] Lihat Takhrij Syaikh Al Albani terhadap Sunan Abi Daud. Lihat Shahih Abi Daud no. 2458.
[3] Fathul Bari, 9/592 Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah
[4] Subulus Salam, 4/335-336
[5] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 11/120, Darul Fikr, 1405 semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal
[6] Syarhul Mumthi’, 7/492. kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi.
[7] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ketiga no. 2191, 11/438. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain.
Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah
‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota.
[8] Lihat Al Mughni, 11/120. disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari
[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/383. ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”[1]
[10] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11012, Mawqi’ ahlalhdeeth.
[11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 7/100, Dar Ihya’ At
Turots, 1392. Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?
[12] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi, 8/25, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415.
[13] Lihat ketentuan ini di Al Mughni, 11/120. Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
[14] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan kesepuluh no. 8052,
11/440. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua,
Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selakuk anggota. ‫ بل يحسب اليوم‬، ً‫ وال تحسب اللّيلة إن ولد ليال‬، ‫أن يوم الوالدة يحسب من السّبعة‬
ّ ‫وذهب جمهور الفقهاء إلى‬
‫الّذي يليها‬

“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang[2] pada hari
kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[3] tidaklah
jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan
BAB VII WAKTU PELAKSANAAN AQIQAH hari berikutnya.”[4] Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,

‫تُ ْذبَ ُح َع ْنهُ يَوْ َم َسابِ ِع ِه‬


Waktu Pelaksanaan Aqiqah
“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang
Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits, hari.

‫ال « ُكلُّ ُغالَ ٍم َر ِهينَةٌ بِ َعقِيقَتِ ِه تُ ْذبَ ُح َع ْنهُ يَوْ َم َسابِ ِع ِه‬ َ ‫ب أَنَّ َرس‬
َ َ‫ ق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ ٍ ‫ع َْن َس ُم َرةَ ب ِْن ُج ْن ُد‬ Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka
» ‫ق َويُ َس َّمى‬ ُ َ‫َويُحْ ل‬ hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah
bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri
hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan
keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi
Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini. dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang
menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri
Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh? menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi
dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab
Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama. fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]. Wallahu a’lam.

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?
Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya,
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia,
ketujuh dan tidak boleh sebelumnya. apakah diwajibkan baginya aqiqah?”

Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan sempurna
ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi yang telah
dan ini menjadi kewajiban sang ayah. mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan ia akan
dibangkitkan pada hari kiamat.”[7]
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan
pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak
Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”
keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha. Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap
diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah
jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya.
hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum
gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[5] hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah
disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak
tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi,
Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari
barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai
ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu
kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak
yang disepakati oleh para ulama.
mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”
Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka
penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, Berkumpul-kumpul untuk menikmati makanan semacam ini dan sama-sama
“Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bersuka cita serta mengumumkan pernikahan ketika itu adalah suatu hal yang
bulan dalam kandungan.”[8] baik.”[13]

Dianjurkan Daging Aqiqah untuk Dimasak Tidak Mengapa Tulang Sembelihan Aqiqah Dipecah

An Nawawi Asy Syafi’i menyatakan dalam matan Minhajuth Tholibin, “(Daging Sebagian ulama memang melarang hal ini karena jika tulang itu tidak
aqiqah) disunnahkan untuk dimasak (sebelum dibagikan).”[9] Dengan dihancurkan, dianggap bahwa tulang-tulang si anak pun nantinya akan selamat.
dimasaknya sembelihan aqiqah ini menunjukkan seseorang itu berbuat baik [14]
dengan bertambahnya nikmat dari Allah. Hal ini juga menunjukkan akhlaq mulia
dan tanda kedermawanan.[10] Di antara ulama Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Tidak
dimakruhkan jika daging sembelihan aqiqah dipecah karena tidak ada dalil yang
Penulis Kifayatul Akhyar –Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah- menjelaskan, melarang hal ini.”[15]
“Hendaklah hasil sembelihan hewan aqiqah tidak disedekahkan mentahan,
namun dalam keadaan sudah dimasak. Inilah yang lebih tepat. Lebih baik lagi Intinya, tidak terlarang memecah tulang hasil sembelihan aqiqah karena tidak
jika dihidangkan dengan bumbu manis menurut pendapat yang lebih ada dalil shahih yang melarang hal ini.[16]
tepat.”[11]
Tidak Perlu Mengusapkan Bayi dengan Darah Hewan Aqiqah
Mengundang Makan-Makan Aqiqah
Ini adalah perbuatan masa Jahiliyah yang terlarang dilakukan di saat Islam itu
Taqiyuddin Abu Bakr rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih afdhol hasil datang.
sembelihan aqiqah tersebut yang dikirim kepada orang miskin. Inilah pendapat
dari Imam Asy Syafi’i. Namun jika mesti mengundang orang untuk Dari Buraidah, ia berkata,
menikmatinya (di rumah), itu juga tidak mengapa.”[12]
ِ ِ‫ُكنَّا فِى ْال َجا ِهلِيَّ ِة إِ َذا ُولِ َد ألَ َح ِدنَا ُغالَ ٌم َذبَ َح شَاةً َولَطَخَ َر ْأ َسهُ بِ َد ِمهَا فَلَ َّما َجا َء هَّللا ُ ب‬
ُ ِ‫اإل ْسالَ ِم ُكنَّا ن َْذبَ ُح شَاةً َونَحْ ل‬
‫ق‬
ٍ ‫َر ْأ َسهُ َون َْلطَ ُخهُ بِزَ ْعفَ َر‬
Jadi, dibolehkan jika seseorang mengundang orang lain untuk menyantap hasil .‫ان‬
sembelihan aqiqah dan dinikmati sebagaimana pada walimahan ketika nikah.
“Dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami lahir
Ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ anaknya, maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepala anaknya
pernah ditanya, “Apa hukum peraayaan aqiqah dan mengadakan walimah tersebut dengan darah sembelihan. Kemudian tatkala Allah datang membawa
untuk aqiqah?” Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta
melumurinya dengan za'faran.” (HR. Abu Daud no. 2843. Syaikh Al Albani
Para ulama tersebut menjawab, “Yang dimaksud aqiqah adalah sesuatu yang mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
disembelih untuk si anak pada hari ketujuh setelah kelahiran. Sedangkan
walimah adalah makanan yang disajikan pada suatu pesta berupa sembelihan DAFTAR PUSTAKA
atau yang lainnya. Aqiqah dan walimah adalah dua perkara yang disunnahkan.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

[1] Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 349, terbitan Darul ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.
‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang
[2] Waktu siang dihitung dari Shubuh hingga Maghrib.
[3] Waktu malam dihitung dari Maghrib hingga Shubuh. mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah Al
[4] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’ Ahlalhdeeth. Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof, Asy
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011. Syamilah)
[6] Lihat Kifayatul Akhyar,hal. 705.
[7] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11
[8] Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42 Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman
[9] Minhajuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftin, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, hal. 538, dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Darul Minhaj, cetakan pertama, 1426 H. Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
[11] Kifayatul Akhyar,hal. 706 perselisihan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?
[12] Idem
[13] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaak keempat dari Fatawa Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-
no. 6779, 11/443. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai
ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh Nya.
‘Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota.
[14] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 706. Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu
[15] Mughnil Muhtaj, hal. 392.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/384.
perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini
diperintahkan dalam firman Allah,

ُ‫ت َوإِلَ ْي ِه أُنِيب‬


ُ ‫َي ٍء فَ ُح ْك ُمهُ إِلَى هَّللا ِ َذلِ ُك ُم هَّللا ُ َربِّي َعلَ ْي ِه ت ََو َّك ْل‬
ْ ‫اختَلَ ْفتُ ْم ِفي ِه ِم ْن ش‬
ْ ‫َو َما‬

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah.


(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah
aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syuura : 10)

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, ”Maksudnya


BAB IX ANJURAN ADZAN DI TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam
perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim
Pendapat Para Ulama Madzhab dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya
dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini
Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,
saja.
ِ ‫َي ٍء فَ ُردُّوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس‬
‫ُول‬ ْ ‫فَإِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم ِفي ش‬
Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak
menganggap mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
Imam Asy Syafi’i yang menganjurkan adzan di telinga bayi, pen). ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”(QS. An Nisa’ [4] : 59).
Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala ‫ وأقام في أذنه اليسرى‬، ‫ فأذن في أذنه اليمنى‬، ‫أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد‬
perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita
mengembalikan segala urusan. –Demikianlah perkataan beliau rahimahullah
dengan sedikit perubahan redaksi-. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari
beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.”
Dalil Para Ulama yang Menganjurkan (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Hadits pertama: Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk
anjuran atau tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata, dahulu.

ِ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َّذنَ ِفي أُ ُذ ِن ْال َح َس ِن ب ِْن َع ِل ٍّي ِحينَ َولَ َد ْتهُ ف‬
َّ ‫اط َمةُ ِبال‬
‫صاَل ِة‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫َرأَي‬
َ ‫ْت َرس‬ Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-hadits Di Atas

Penilaian hadits pertama:


“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan
adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan Para perowi hadits pertama ada enam,
shalat”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
‫َاص ُم بْنُ ُعبَ ْي ِد هَّللا ِ ع َْن ُعبَ ْي ِد هَّللا ِ ب ِْن أَبِى َرافِ ٍع ع َْن أَبِي ِه‬ َ َ‫ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَا يَحْ يَى ع َْن ُس ْفيَانَ ق‬
ِ ‫ال َح َّدثَنِى ع‬
Hadits kedua:

Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi
Rofi’, dan Abu Rofi’.
ِ َ‫ض َّرهُ أُ ُّم الصِّ ْبي‬
‫ان‬ ُ َ‫صاَل ةَ ِفي أُ ُذنِ ِه ْاليُس َْرى لَ ْم ت‬
َّ ‫َم ْن ُولِ َد لَهُ َموْ لُو ٌد فَأ َ َّذنَ فِي أُ ُذنِ ِه ْاليُ ْمنَى َوأَقَا َم ال‬
Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin
Ubaidillah.
“Bayi siapa saja yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan
dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan
membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu bahwa Ibnu Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya
Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan). mengatakan bahwa ‘Ashim adalah munkarul hadits (sering membawa hadits
munkar).
Hadits ketiga:
Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, sanad, hadits ini sanadnya lemah.

Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if).


Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

mengatakan bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ‫ حدثنا الحسن بن‬، ‫ حدثنا محمد بن يونس‬، ‫ أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار‬، ‫وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان‬
ke derajat hasan karena ada beberapa riwayat yang semakna yang mungkin ‫ عن ابن عباس‬، ‫ عن أبي معبد‬، ‫ عن منصور ابن صفية‬، ‫ حدثنا القاسم بن مطيب‬، ‫عمر بن سيف السدوسي‬
bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits kedua dan ketiga.
yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin
Penilaian hadits kedua: Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib,
Manshur bin Shofiyah, Abu Ma’bad, dan Ibnu Abbas.
Para perowi hadits kedua ada lima, Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun,
apakah hadits ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat
‫ عن حسين‬، ‫ عن طلحة بن عبيد هللا‬، ‫ عن مروان بن سالم‬، ‫ حدثنا يحيى بن العالء‬، ‫حدثنا جبارة‬ perowinya lagi.

Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.
Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari
yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, berkata Al Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu
dan Husain. matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan
ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).
Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).
Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada
Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan
Dzahabi menilainya matruk (harus ditinggalkan). penguat bagi hadits pertama tadi.

Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau
lembek dan juga dituduh dusta. mendekati maudhu’.

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al (Takhrij ketiga hadits di atas adalah faedah dari guru kami Ustadz Abu Ali.
‘Alaa’ dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits. Semoga Allah selalu merahmati dan menjaga beliau)

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki
hadits pertama karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa
tidak boleh ada perowi yang dusta. Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat mengangkatnya dari dho’if (lemah) menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian
derajat hadits pertama yang dho’if (lemah) menjadi hasan. ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan adalah suatu kekeliruan. Syaikh
Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di telinga bayi adalah
hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini
Penilaian hadits ketiga:
sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Jadi
kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah
Para perowi hadits ketiga ada delapan, hadits yang lemah sehingga tidak bisa diamalkan.
Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini
hafizhohullah mengatakan,
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

“Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah.
Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits Bayi tabung merupakan produk kemajuan teknologi kedokteran yang demikian
lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum canggih yang ditemukan oleh pakar kedokteran Barat yang notabene mereka
juga mendapatkan penguatnya (menjadi hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, adalah kaum kuffar (orang kafir). Bayi tabung adalah proses pembuahan
hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, sperma dengan ovum, dipertemukan di luar kandungan pada satu tabung yang
hal. 22-23) dirancang secara khusus. Setelah terjadi pembuahan lalu menjadi zygot,
kemudian dimasukkan ke dalam rahim sampai dilahirkan. Jadi prosesnya tanpa
melalui jima’ (hubungan suami istri).

Pertanyaan ini telah ditanyakan kepada salah seorang imam abad ini, yaitu Asy-
Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu. Maka
beliau menjawab:

“Tidak boleh, karena proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut
berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita
lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram
menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam
keadaan darurat.

Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang


mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara
yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat
suami wanita tersebut, dan ini pun tidak boleh.
Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban
orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau
(sebaliknya) mereka hindari.
BAB IX HUKUM BAYI TABUNG Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan
dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang
Hukum Bayi Tabung dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala atasnya.
Tanya:
Bagaimana menurut pandangan syariah tentang bayi tabung? Jikalau saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan
membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa usaha dan harta
Jawab: dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing mereka untuk menempuh
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.” (Fatawa Al-
sallam. Mar`ah Al-Muslimah hal. 288)
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Jawaban:
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi kita
Muhammad, dan juga kepada keluarga beliau dan para sahabat beliau
seluruhnya. Wa ba’du.

Sunnah dalam aqiqoh, adalah disembelih (binatang sembelihan; kambing -pent)


pada hari ke tujuh dari kelahiran bayi. Dimana hari kelahiran bayi juga ikut
dihitung. Maka (untuk kasus ini -pent) engkau mulai menghitungnya dari hari
Ahad. Hal itu karena bayi ini dilahirkan setelah tenggelamnya matahari pada
hari sabtu, sehingga engkau tidak menghitung hari sabtu dilahirkannya bayi itu.
Maka engkau mengadakan aqiqoh pada hari Sabtu.

BAB XII HUKUM AQIQAH KETIKA SUDAH DEWASA


BAB XI CARA MENGHITUNG HARI AQIQOH
Assalamu’alaykum ustadz. Ana mau tanya, ada seorang anak yang sudah baligh,
Oleh: Syaikh Kholid bin Ali al-Musyaiqih – hafizhohulloh.
yang dulunya anak tersebut oleh orang tuanya belum diaqiqahi, kemudian
setelah baligh orang tuanya ingin mengaqiqahi. Apakah hal ini diperbolehkan
Pertanyaan:
dalam syariat Islam? Kemudian apakah hukumnya wajib bagi orang tua untuk
mengaqiqahi anaknya? Jazaakallahu khairan ustadz…
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menjawab:
Semoga Alloh memberkahi Anda, dan menjadikan Anda bermanfaat bagi Islam
dan kaum Muslimin.Telah dilahirkan untukku seorang bayi pada hari sabtu jam
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
tujuh malam. Kapankah hari aqiqohnya? Apakah hari kelahirannya dianggap
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka
sebagai hari sabtu atau hari Ahad?
hingga akhir zaman.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Mengenai permasalahan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari dua fatwa Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berikut dalam Liqo-at Al Bab Al diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?
Maftuh. Semoga bermanfaat.
Jawab:
[Pertama]
Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu
Soal: dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21 kelahiran, pen), maka ia
tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya
Ada seorang ayah yang memiliki sepuluh anak perempuan dan mereka semua menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu
belum diaqiqohi, namun sekarang mereka sudah berkeluarga. Apa yang mesti pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun
dilakukan oleh anak-anaknya? Apa sebenarnya hukum aqiqah?Apakah betul setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak
apabila seorang anak tidak diaqiqohi, maka ia tidak akan memberi syafaat pada mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak
orang tuanya? memiliki kemampuan.

Jawab: Sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah
hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun
Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad. Aqiqah bagi anak laki-laki dengan dua sudah dewasa.
ekor kambing, sedangkan bagi wanita dengan seekor kambing. Apabila
mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, itu juga Adapun waktu utama aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran, kemudian hari
diperbolehkan.[1] Anjuran aqiqah ini menjadi kewajiban ayah (yang keempatbelas kelahiran, kemudian hari keduapuluh satu kelahiran, kemudian
menanggung nafkah anak, pen). Apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah setelah itu terserah tanpa melihat kelipatan tujuh hari.
(misalnya tujuh hari kelahiran, pen), orang tua dalam keadaan faqir (tidak
mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun anak laki-laki
berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan aqiqah untuk anak
Taghobun: 16). Namun apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah, orang tua perempuan dengan satu ekor kambing dan lebih utama tidak menambahnya
dalam keadaan berkecukupan, maka aqiqah masih tetap jadi kewajiban ayah, dari jumlah ini.
bukan ibu dan bukan pula anaknya.
[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234,
[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 214, no. 6]
no. 6]
Pelajaran Penting Seputar Aqiqah
[Kedua]
Hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad dan seharusnya tidak ditinggalkan oleh
Soal: orang yang mampu melakukannya.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

Aqiqah bagi anak laki-laki afdholnya dengan dua ekor kambing, namun dengan Pendapat yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak
seekor kambing juga dibolehkan. Sedangkan aqiqah bagi anak perempuan akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti”, ini adalah
adalah dengan seekor kambing. pendapat yang lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ibnul Qayyim. [Keterangan
Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]
Waktu utama aqiqah adalah hari ke-7 kelahiran, kemudian hari ke-14 kelahiran,
kemudian hari ke-21 kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat Demikian pembahasan ringkas mengenai aqiqah. Semoga bermanfaat bagi
hari kelipatan tujuh. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali, namun kaum muslimin.
dinilai lemah oleh ulama Malikiyah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau
setelah waktu tadi sebenarnya diperbolehkan. Karena yg penting adalah
aqiqahnya dilaksanakan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan
dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan
aqiqah selain melalui izin ayah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)

Imam Asy Syafi’i mensyaratkan bahwa yang dianjurkan aqiqah adalah orang
yang mampu. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)

Apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam
keadaan tidak mampu, maka aqiqah menjadi gugur, walaupun nanti beberapa
waktu kemudian orang tua menjadi kaya. Sebaliknya apabila ketika waktu
pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan kaya, maka APAKAH MAKRUH MENAMAKAN NASIKAH DENGAN AQIQAH?
orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah
dewasa. Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah
Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun
Terjadi perbedaan pendapat tentang makna aqiqah secara bahasa, dalam hal ini
diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika
ada tiga pendapat.
aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur.
Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri
Pendapat Pertama
atau tidak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)
Pendapat Abu Ubaid dan Al-Ashma’i dan selain keduanya bahwa asal kata
Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari aqiqah adalah rambut yang berada di kepala bayi ketika dilahirkan. Kambing
kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran yang disembelih berkenaan dengan kelahiran anak dinamakan aqiqah karena
adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. rambut tersebut (yang ada pada bayi) dicukur ketika diadakan penyembelihan.
[Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161,
Ini termasuk penamaan sesuatu dengan nama malabisnya, dan ini termasuk
no. 24] cara orang Arab dalam ucapannya (yakni diberikan istilah aqiqah bagi kambing
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

yang disembelih itu dengan meminjam nama dari perkara lain –dalam hal ini Boleh, tidak makruh menamakannya dengan aqiqah. Mereka berdalil dengan
istilah bagi rambut di kepala bayi ketika dilahirkan- yang punya kaitan hadits yang banyak di antaranya hadits Samurah.
dengannya,-pent)
“Artinya : Anak itu tergadaikan dengan aqiqahnya”
Pendapat Kedua.
Dan selain dari hadits-hadits yang shahih di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Aqiqah adalah penyembelihan itu sendiri. Ini merupakan pendapat Imam sallam memakai lafadz tersebut.
Ahmad –semoga Allah merahmati beliau- dan beliau menyalahkan Abu Ubaid
dan orang yang sependapat dengannya. Ketiga
Apa yang ditetapkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul Wadud hal. 54
Pendapat Ketiga setelah beliau menyebutkan perbedaan pendapat yang ada, beliau berkata :

Aqiqah meliputi dua pendapat di atas dan ini pendapatnya Al-Jauhari dalam “Aku katakan : Yang sebanding dengan perselisihan ini adalah dalam
Ash-Shihah. Kata Ibnul Qayyim : “Pendapat ini yang lebih utama (tepat) wallahu nenamakan shalat Isya dengan Atamah. Dalam hal ini ada dua riwayat dari
a’lam”. Imam Ahmad. Penetapan terhadap dua permasalahan ini adalah makruhnya
meninggalkan nama yang masyru (disyariatkan) seperti Isya dan Nasikah dan
Terjadi pula perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum menggantinya dengan nama aqiqah dan ‘atamah. Adapun jika nama yang
memutlakkan nama aqiqah. Dalam hal ini ada tiga pendapat. digunakan itu adalah nama yang syar’i dan nama tersebut tidak ditinggalkan,
namun terkadang dipakai nama yang lain maka tidak jadi masalah. Berdasarkan
Pertama. hal ini bersesuaianlah hadits-hadits yang ada, dan Allah-lah yang memberi
Makruh berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya taufiq” [1]
bawha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aqiqah maka
beliau bersabda : “Allah tidak menyukai ‘uquq (secara bahasa makna uquq Kami katakan :
adalah durhaka, -pent) –seakan-akan beliau tidak menyukai nama itu-. Para
sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kami hanyalah menanyakan kepadamu Apa yang kita saksikan sekarang dari saudara-saudara kita,mereka justru
tentang apa yang harus dilakukan salah seorang dari kami (ketika) kelahiran meninggalkan nama syar’i –tentunya ini menjadi masalah- dan mereka
anak”. Beliau bersabda. memberikan nama (dengan nama) yang tidak syar’i, hingga bila anda
menyebutkan dihadapan seseorang tentang kata nasikah niscaya ia akan
“Artinya : Siapa yang ingin bernasikah (menyembelih berkenaan dengan meminta kepadamu penjelasan makna dari kata tersebut. Karena itu kami
kelahiran) untuk anaknya maka hendaklah ia lakukan, untuk anak laki-laki dua memberi peringatan pentingnya untuk kembali pada lafadz-lafadz syar’i yang
ekor kambing dan untuk wanita satu ekor”. telah diitnggalkan, agar beredar lafadz ini dari mulut ke mulut di tempat
perkumpulan kita, hingga tersebarlah nama ini kita tidak mengganti lafadz syar’i
Berdasarkan hadits diatas penyembelihan untuk kelahiran anak dinamakan dengan yang selainnya agar kita tidak terjatuh pada (perbuatan) sebagaimana
nasikah dan tidak dinamakan aqiqah. firman Allah.

Kedua. “Artinya : Lalu orang-orang dzalim itu mengganti ucapan (perintah) dengan apa
yang tidak diucapkan (diperintahkan) kepada mereka” [Al-Baqarah : 58]
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

[2]. Awjazul Masalik ila Muwatha’ Imam Malik (9/209) oleh Muhammad Zakaria
Berkata Al-Hafidz ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/588) setelah membawakan Al-Kandahlawi
hadits (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang aqiqah) :
“maksud yang diambil dari hadits ini adalah lebih utama menamakan Bolehnya Orang Lain Mengurusi Sembelihan Nasikah [Aqiqah], Walimah
(penyembelihan berkenaan dengan kelahiran anak) dengan nasikah atau Nasiqah [Aqiqah]
dzabihah dan tidak dinamakan aqiqah” (selesai ucapan Al-Hafidz).
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
Berkata Ibnu Abdil Barr : “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disukainya nama- Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.
nama yang mengandung makna yang jelek. Dan berdasarkan dhahir hadits ini
wajib untuk menyebutkan sembelihan bagi anak yang lahir dengan nasikah dan
tidak dinamakan aqiqah. Akan tetapi aku tidak mengetahui ada seorang pun
dari ulama yang condong kepada ucapan ini (seperti dhahir hadits) dan tidak
ada yang berpendapat demikian. Aku mengira mereka meninggalkan hal Diperbolehkan selain wali anak, untuk mengurusi sembelihan nasikah dan tidak
tersebut karena adanya riwayat lain yang shahih di sisi mereka dari hadits- ada larangan dalam hal itu. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
hadits yang menyebut lafadz aqiqah” Demikian dalam At-Tanwir. sallam dari hadits Samurah Radhiyallahu ‘anhu.

Berkata Az-Zarqani : “Mudah-mudahan yang dimaksudkan oleh Ibnu Abdil Barr “Artinya : Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari
adalah mereka para mujtahid (dari kalangan orang-orang yang berijtihad), dan ketujuh kelahirannya…”
jika tidak maka (beliau keliru karena) sebenarnya telah berkata Ibnu Abid Dam
dari teman-teman mereka yang bermadzhab Syafi’iyah bahwa sunnah Berkata Al-Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (5/133) : “Ucapan Nabi
menamakannya dengan nasikah atau dzabihah dan makruh menamakannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “disembelih untuknya” ada dalil di dalamnya
dengan aqiqah sebagaimana tidak disukainya menamakan shalat Isya dengan bahwa boleh bagi orang lain untuk mengurusi penyembelihan nasikah tersebut,
Atamah”. sebagaimana bolehnya kerabat mengurusi kerabatnya dan seseorang
mengurusi dirinya”
Dan Al-Bujairami berkata : “Yang lebih utama menamakannya dengan dzabihah
dan nasikah karena pada lafadz aqiqah ada isy’ar uquq (durhaka). Maka Kami katakan :
menamakannya dengan aqiqah berarti menyelisihi nama yang lebih utama” [2] Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk dalil yang terbesar
atas kebolehan tersebut di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia mengaqiqahi kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husain.
Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin
Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-
Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura] WALIMAH NASIKAH (AQIQAH)
__________ Tidak ada hadits marfu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
Foote Note meriwayatkan tentang walimah nasikah ini, akan tetapi ada riwayat dari
[1]. Dari kitab Mu’jam Al-manahi Al-Lafdhiyyah hal. 244 oleh Syaikh Bakr Abu sahabat beliau yang meunjukkan hal tersebut.
Zaid
[1]. Muawiyah bin Qurrah berkata : “Ketika lahir Iyyas [1] aku mengundang
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku menjamu [Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia
mereka, lalu mereka berdo’a. Aku katakana : “Kalian telah berdo’a maka Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin
semoga Allah memberkahi kalian dalam apa yang kalian doakan”. Jika aku Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-
berdo’a dengan satu do’a maka mereka mengaminkan”. Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura]
__________
Muawiyah berkata : “Maka aku mendo’akan Iyyas dengan do’a yang banyak Foote Note
untuk kebaikan agamanya dan akal’ [2] [1]. Iyyas adalah putra Muawiyah bin Qurrah, ia seorang qadhi yang masyhur
dengan kepandaian, ia tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam At-Taqrib.
[2]. Bilal bin Ka’ab Al-Akki’ berkata : “Kami yakni aku, Ibrahim bin Adham, Abdul [2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1255) dan sanadnya
Aziz bin Qarir dan Musa bin Yasar, mengunjungi Yahya bin Hasan Al-Bakri Al- shahih, di dalamnya ada Hazm bin Abi Hazm, kata Syaikh Al-Albani (dalam) Ash-
Filisthini di kampungnya. Maka Yahya datang pada kami dengan membawa Shahihah (3/418) : “Dia diperbincangkan tanpa hujjah”.
makanan. Musa tidak ikut memakan hidangan karena ia sedang puasa. Maka Dan ini yang benar maka ia (Hazm) tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ahmad,
berkata Yahya : “Telah mengimani kami di masjid ini selama 40 tahun seorang Ibnu Main dan selain keduanya, dan tidak perlu menoleh pada ucapan Ibnu
lelaki dari Bani Kinanah dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Hajar dal At-Taqrib.
kunyahnya Abu Qurshafah. Kebiasan Abu Qurshafah ini adalah puasa sehari dan [3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1253) dan sanadnya
berbuka sehari. Lalu lahir anaknya ayahku maka ayahku mengundangnya dlaif. Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abdul Aziz Al-Umari : “Ia suhuduq
bertetapan dengan hari puasanya, maka ia berbuka” sering wahm” seperti yang dinyatakan dalam “At-Taqrib”. Dan rawi yang
bernama Bilal bin Kaab kata Al-Hafidzh ia maqbul yakni jika ada yang
Ibrahim berdiri lalu menyapunya dengan bajunya dan Musa berbuka dari mengikutinya dalam periwayatan.
puasanya [3] [4]. Shahih dikeluarkan oleh Musim (10/246-Nawawi) dan selainnya.

Dengan demikian disyari’atkan walimah nasikah dan bagi yang diundang


hendaklah memenuhinya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Bila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya maka


hendaklah ia memenuhinya apakah undangan nikah atau semisalnya” [4]

Berkata Imam Syafi’i dalam Al-Umm : “Mendatangi undangan walimah adalah


wajib”.

Dan beliau berkata :


“Dan aku tidak memberikan keringanan pada seorangpun untuk
meninggalkannya”

Tentunya dikecualikan jika ada kemungkaran di dalam acara tersebut maka


ketika itu wajib untuk tidak menghadirinya.
MENYAMBUT KELAHIRAN BUAH HATI

You might also like