You are on page 1of 16

REHABILITASI HUTAN DAN PENINGKATAN DAYA DUKUNG

DAERAH ALIRAN SUNGAI ( DAS )

Dosen Pembimbing :
Oding Affandi S.Hut, MP

Oleh:
Kelompok II
Kehutanan-I

Hafnita Misrawati 091201005


Cut Yulia Maghfirah 091201029
Christin Anastasia Tarigan 091201069
Vicky Fadliansah Sihombing 091201115
Sudiyanto DP Samosir 091201117
Tambahot Siallagan 091201161

DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah yang berjudul “Rehabilitasi Hutan Dan Peningkatan
Daya Dukung Daerah Aliran Sungai ( DAS )” ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk dapat mengikuti mata kuliah kebijakan dan perundang-undangan
kehutanan di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yaitu Oding Affandi, S.Hut, MP. yang telah memberikan bimbingan
dan arahan selama penulis mengikuti mata kuliah kebijakan dan
perundang-undangan kehutanan.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2011

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
Latar Belakang ......................................................................................1
Tujuan Penulisan....................................................................................2

REHABILITASI HUTAN DAN PENINGKATAN DAYA DUKUNG DAS


Definisi Rehabilitasi Hutan.....................................................................3
Indikator Rehabilitasi Hutan...................................................................4
Definisi Daerah Aliran Sungai ( DAS )..................................................5
Pengelolaan DAS Terpadu.....................................................................6
Permasalahan Tata Guna Lahan.............................................................7
Tantangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ke Depan.....................10

PENUTUP.....................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................13

3
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan tropika basah merupakan salah satu ekosistem yang banyak
membangkitkan minat orang untuk mempelajarinya dan juga sekaligus ancaman.
Oleh karena itu pengelolaan hutan tropika menjadi sorotan dunia baik melaui
pemberitaan popular press maupun scientific press.
Intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi terhadap hutan
baik pada masa silam maupun sekarang merupakan pengalaman yang
konsekuensinya tidak dapat dihindarkan, yaitu berupa kerusakan baik biologi
(vegetasi) maupun fisik (tanah dan iklim).
Data aktual tentang laju konversi hutan tropis sangat sulit diperoleh karena
datanya sangat beragam. FAO (1992) memperkirakan bahwa laju deforestasi
hutan tropis sekitar 17 juta ha per tahun. Dari angka tersebut menurut USP et al.
(1990) sebagian besar dikonversi menjadi lahan pertanian, padang rumput (areal
penggembalaan) dan hutan tanaman. Kurang lebih 5.1 juta ha berupa hutan
sekunder tanpa pengelolaan dan perlakuan silvikultur yang memadai. Deforestasi
hutan tropis tidak hanya berpengaruh pada produksi kayu (timber) tetapi juga
lingkungan secara global.
Rehabilitasi lahan merupakan suatu usaha memperbaiki, memulihkan
kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara
optimal baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air, maupun sebagai
unsur perlindungan alam dan lingkungannya (Wahono, 2002 : 3).
Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999,
Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan
dan meningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan
peranannya dalam mendukung sistem keidupan tetap terjaga. Kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan diselengaarakan melalui kegiatan Reboisasi ,
Penghijauan , Pemeliharaan , Pengayan tanaman, atau Penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis da tidak
produktif. Menurut Supriyanto (1996 : 1) Kegiatan reboisasi dan penghijauan

4
pada umunya dilakukan pada tanah kritis dan areal bekas pembalakan. Kedua
kegiatan tersebut memerlukan bibit dalam jumlah besar dan berkualitas baik. 
Daerah aliran sungai atau DAS adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 11).
Pengertian DAS tersebut diatas memperlihatkan bahwa dalam suatu DAS
secara utuh akan terdiri dari berbagai type ekosistem seperti hutan, perkebunan,
pertanian, pemukiman, lahan basah dan wilayah pantai. Dalam berbagai ekosistem
tersebut terlibat berbagai sektor dan parapihak pemangku kepentingan dengan
tujuannya masing-masing. Tiap sektor biasanya selalu berusaha meningkatkan
aktivitasnya dalam rangka pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Akan tetapi aktivitas tersebut seringkali lebih bertumpu pada
kepentingan ekonomi dan kurang memperhatikan daya dukung DAS sehingga
mendorong timbulnya permasalahan DAS seperti meluasnya hutan rusak dan
lahan kritis; meningkatnya erosi dan sedimentasi; terjadi bencana alam banjir dan
tanah longsor; kekeringan; dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang. Fenomena yang terjadi di banyak DAS tersebut merupakan
indikasi dari rendahnya kinerja pengelolaan DAS yang dilaksanakan oleh
berbagai sektor dan lembaga terkait.

Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan Makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai ( DAS ).

5
REHABILITASI HUTAN DAN PENINGKATAN
DAYA DUKUNG DAERAH ALIRAN SUNGAI ( DAS )

Definisi Rehabilitasi Hutan


Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999,
Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan
dan meningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan
peranannya dalam mendukung sistem keidupan tetap terjaga. Kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan diselengaarakan melalui kegiatan Reboisasi ,
Penghijauan , Pemeliharaan , Pengayan tanaman, atau Penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis da tidak
produktif. Menurut Supriyanto (1996 : 1) Kegiatan reboisasi dan penghijauan
pada umunya dilakukan pada tanah kritis dan areal bekas pembalakan. Kedua
kegiatan tersebut memerlukan bibit dalam jumlah besar dan berkualitas baik. 
Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan  bagian dari sistem
pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran
sungai. Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem
perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sitem budidaya hutan dan lahan,
sehingga terjadi deforestasi dan degredasi fungsi hutan dan lahan. Rehabilitasi
hutan dan lahan dapat diimplemntasikan pada semua kawasan hutan kecuali cagar
alam dan zona inti taman nasional. Sistem RHL dicirikan oleh komponen sebagai
berikut:
1. komponen obyek rehabilitasi hutan dan lahan;
2. komponen teknologi;
3. komponen institusi.
Sistem RHL merupakan sistem yang terbuka, yang melibatkan para pihak
yang berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian pada
prinsipnya RHL, diselenggarakan atas inisiatif bersama para pihak. Ini berbeda
dengan  penyelenggaraan RHL, selalu melalui inisiatif  pemerintah dan menjadi
beban tanggungan pemerintah. Dengan kata lain, ke depannya RHL dilaksanakan
oleh masyarakat dengan kekuatan utama dari masyarakat sendiri. Prinsip-prinsip
penyelenggaraan RHL secara lebih deskriptif disajikan pada Pola Umum RHL.

6
Sistem, kriteria dan indikator rehabilitasi hutan adalah rambu-rambu yang
harus diperhatikan dalam penyelenggaraan RHL. Rambu-rambu tersebut
digunakan oleh pemerintah, propinsi, kabupaten/kota, dan pelaksanan rehabilitasi
secara proporsional. Di samping untuk menjelaskan pemilahan kewenangan,
rambu-rambu ini berguna sebagai pedoman penyelenggaraan dan pelaksanaan
RHL, serta sekaligus memberikan ukuran-ukuran bagi pengendalian
pelaksanaannya.

Indikator Rehabilitasi Hutan Dan Lahan ( RHL )


Kriteria dan indikator RHL dirumuskan di dalam rangkaian keterpautan
pernyataan sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan RHL disebut berhasil jika sudah konsisten mengarah
pada tujuannya.
2. Tujuan penyelenggaraan RHL adalah terpulihnya sumberdaya hutan dan
lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat memberikan
manfaat kepada seluruh stakeholder , menjamin keseimbangan lingkungan
dan tata air DAS, dan mendukung kelangsungan industri kehutanan.
3. Tujuan tersebut dapat didekati jika ada ketepatan penanganan kawasan,
kelembagaan yang kuat, teknologi RHL yang tepat berorientasi
pemanfaatan yang jelas. Pernyataan ini mendasari kriteria kawasan,
kelembagaan, serta teknologi dan partisipasi masyarakat/insentif.
4. Ketepatan penanganan kawasan ditentukan oleh unit perencanaan yang
tepat, terkendalinya konflik lahan, dan fungsi kawasan yang spesifik.
Pernyataan ini menegaskan adanya tiga determinan atau sub-kriteria,
yakni unit perencanaan, tenure lahan dan fungsi kawasan.
5. Kelembagaan yang mantap ditentukan oleh sumberdaya manusia yang
kompeten, organisasi yang efektif menurut kerangka kewenangan masing-
masing, dan tata hubungan kerja yang fungsional. Pernyataan ini
menegaskan adanya empat determinan atau sub-kriteria, yakni :
sumberdaya manusia, organisasi, kewenangan dan tata hubungan
kerja.

7
6. Ketepatan teknologi dan pemanfaatan ditentukan oleh kesesuaiannya
terhadap sistem lahan atau tapak setempat, oleh tingkat partisipasi
masyarakat, dan oleh penyediaan input (utamanya  pendanaan) yang
cukup. Pernyataan ini menegaskan adanya tiga determinan atau sub-
kriteria, yakni : teknologi, peran masyarakat dan disinsentif.
7. Kriteria dan sub-kriteria tersebut dapat dipenuhi jika  ada usaha yang
sungguh-sungguh pada proses penyelenggaraan dan pelaksanaan RHL.
Dimensi penyelenggaraan RHL tidak berbeda dengan proses dasar
pengelolaan, yakni : perencanaan, organisasi, pelaksanaan  dan
pengendalian.
8. Dengan demikian, indikator-indikator dipenuhinya tujuan RHL ditentukan
oleh kinerja penyelenggaraan dan pelasanaaan jika  dihadapkan pada
masing-masing sub-kriteria.

Definisi Daerah Aliran Sungai ( DAS )


Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001 yang
dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang
bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya
untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan
kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya. Sementara itu, pengelolaan
DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumber daya
alam dengan sumber daya manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya untuk
mewujudkan kemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan pembangunan dan
kelestarian ekosistem DAS serta kesejahteraan masyarakat.
Sampai saat ini, pengelolaan DAS yang ada belum optimal antara lain
disebabkan tidak adanya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan DAS tersebut. Program atau
kegiatan masing-masing sektor dan wilayah berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan
yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut
lebih terasa dengan adanya otonomi daerah, dimana masing-masing daerah
berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan

8
memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-
kedaerahan akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota
atau propinsi.
Oleh sebab itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan DAS
maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu
adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan
pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas pemangku kepentingan secara
partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan
kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS Terpadu


Pengelolaan DAS terpadu bertujuan untuk mewujudkan koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan yang terkait
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di dalam DAS agar dapat
dicapai kondisi tata air DAS yang optimal, kondisi lahan yang produktif sesuai
daya dukung wilayah dan daya tampung lingkungan serta meningkatnya
kesejahteraan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2006). Pengelolaan DAS
terpadu dilakukan secara menyeluruh mulai dari keterpaduan kebijakan,
penentuan sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah
direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara terpadu.
Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu
sampai hilir juga mempertimbangkan faktor sosialekonomi, kelembagaan dan
hukum.
Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu unsur utama
dalam pengelolaan DAS adalah perencanaan, implementasi, monitoring dan
evaluasi. Dalam sektor Kehutanan, karakteristik DAS tersebut, lebih lanjut
dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Dalam Pedoman tersebut,
karakteristik DAS mencakup parameter: luas, topografi, geologi, tanah, iklim,
kondisi hidrologi, penggunaan lahan, kerapatan drainase, sosial, ekonomi dan
kelembagaan. Disamping itu DAS juga diklasifikasi berdasarkan perwilayahan
yakni DAS lokal, regional, nasional, dan internasional (Dept. Kehutanan, 2001).

9
Pengelolaan DAS dalam Surat Keputusan tersebut di atas, belum selaras
dengan perencanaan pembangunan yang didasarkan pada daerah administrasi,
propinsi, kota dan kabupaten. Disisi lain, pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) merupakan bagian dari pembangunan wilayah. Secara administrasi
pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi
wilayah besar Propinsi dan wilayah kecil (kota dan Kabupaten). Oleh sebab itu
rencana pembangunan daerah dibagi menjadi Rencana Pembangunan Propinsi dan
Rencana Pembangunan Kota dan Propinsi.
Keluaran (output) pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi
oleh input yang meliputi kondisi fisik, sosial, ekonomi, kelembagaan dan
aktivitas manajemen itu sendiri. Dalam proses penyusunan perencanaan, masukan
tersebut harus diketahui untuk menentukan strategi dan skenario pengelolaannya.
Karena masukan dalam pengelolaan DAS berbeda satu DAS dengan DAS-DAS
lainnya maka input tersebut merupakan ciri khas atau karakter tertentu suatu DAS.
Untuk penyusunan rencana jangka panjang pengelolaan DAS dalam satu propinsi
perlu diketahui karakter sosial ekonomi untuk masing-masing kota dan kabupaten
dalam propinsi tersebut.

Permasalahan Tata Guna Lahan


Masalah menonjol yang masih banyak ditemui di lapangan adalah
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Banyaknya
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan di daerahnya antara lain
disebabkan oleh:
 Pertambahan penduduk yang sangat cepat,
 Perencanaan pembangunan yang tidak matang dan selalu ketinggalan,
 Persepsi para perancang dan pelaksana belum sama dan belum
berkembang,
 Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perencanaan,
 Kebutuhan pembangunan yang mendesak, dan
 Para perencana yang belum berwawasan lingkungan dengan tidak
berpandangan ke depan.

10
Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik
antarCsumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya
manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi
dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem
DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau
optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta
praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator
kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada
titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah
adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur
hidrologi.
Jumlah DAS Prioritas I (kritis) terus bertambah sejak 30 tahun yang lalu dari
22 DAS tahun 1970 menjadi 36 DAS tahun 1980-an dan sejak tahun 1999
menjadi 60 DAS. Peningkatan jumlah DAS Prioritas I tersebut menunjukkan
bahwa pengelolaan DAS selama ini belum tepat sasaran.
Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi
permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS
dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi
dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim
kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50%
luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus
menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha
per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar
30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari
daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang
dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus
hidrologi menjadi menurun.
Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi
masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan
dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat
kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan
mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan)

11
bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan
di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di
perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS serta kurangnya keterpaduan
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk
dalam hal pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya instansi yang terlibat dalam
pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum,
Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Bakosurtanal dan
Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan swasta dan masyarakat.
Permasalahan lain yang sangat dirasakan dalam pengelolaan DAS
disamping masalah ego sektoral yang sangat mencolok, juga terdapat masalah
dimana ada di beberapa kalangan instansi Pemerintah/Departemen/Lembaga,
Pemda/Bappeda, Pemerhati, LSM bahkan Pakar masih belum sepenuhnya
memahami tentang pengertian DAS dan implikasinya terhadap tata air dan
terhadap terjadinya bencana tanah longsor, banjir dan kekeringan sehingga sering
terjadi kesalahan dalam menetapkan kebijakan dan program sektornya yang tidak
berbasis DAS.
Hal-hal inilah yang menyebabkan pembangunan di daerah sulit dikontrol
sehingga terjadilah kerancuan pemanfaatan tata ruang. Dari hasil analisis yang
dilakukan juga ditemukan beberapa permasalahan dalam pemanfaatan lahan
antara lain:
 Para pelaku pembangunan belum memahami secara lengkap mengenai
pentingnya keputusan keputusan tersebut dalam pemanfaatan ruang. Selain
itu, masih banyak yang belum dapat membaca atau menginterpretasikan
rencana yang telah disusun karena kekurang pahaman mengenai penataan
ruang.
 Masih terikatnya masing-masing sektor oleh target sektoral yang sukar
untuk menterjemahkan ke dalam ruang. Saat ini, masingmasing sektor
memiliki target tertentu berdasarkan interpretasi terhadap sektor makro.
Sebenarnya, hal ini bukan masalah dari sektor tersebut, melainkan masalah
dalam proses tersebut.
 Sukarnya membentuk keterpaduan dana sehingga dalam pelaksanaannya
sering digunakan dana yang dimiliki oleh sektor tersebut sendiri, atau

12
tidak meratanya dana yang disalurkan untuk melaksanakan kegiatan
yang telah ditetapkan di dalam rencana tata ruang.
 Kurang serasinya pemanfaatan sumber daya lahan oleh dunia usaha karena
belum adanya rencana tata ruang yang diacu. Hal ini dapat dilihat dari
pembangunan pemukiman skala besar oleh swasta yang menyebar.
 Kurang jelasnya pihak yang bertanggung jawab dalam proses perubahan
tata guna lahan, termasuk kriteria yang digunakan untuk melakukan
perubahan tersebut. Akibatnya banyak lahan yang berubah fungsinya
tanpa arah, seperti terjadinya perubahan lahan irigasi teknis untuk kegiatan
pembangunan lainnya. Hal ini dapat memberi dampak bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat setempat, seperti hilangnya mata pencaharian
merekadan semakin tersisih oleh pendatang. Di samping itu, alih guna
lahan tersebut juga menimbulkan kerugian bagi pemerintah, karena
investasi irigasi yang telah dibangun dengan biaya cukup besar akhirnya
tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Selain itu, juga terjadi masalah dalam pelibatan pemangku kepentingan
dalam pembangunan di suatu daerah. Kebijakan yang dirumuskan untuk mencapai
sasaran perencanaan pada umumnya hanya melihat dari sisi satu pemangku
kepentingan saja yaitu pemerintah. Pembangunan daerah tidak hanya
diselenggarakan oleh pemangku kepentingan pemerintah saja, tetapi juga oleh
pihak swasta atau dunia usaha, dan masyarakat. Rancangan yang ada kurang peka
terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat sehingga pendekatan perencanaan
untuk sebuah daerah yang satu dan daerah lainnya sering kali sama. Hal ini sering
mengakibatkan perencanaan daerah tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Tantangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ke Depan


Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,695 juta hectare
(Badan Planologi Kehutanan, tahun 2007) dan jumlah penduduk Indonesia lebih
dari 220 juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat
penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan,
papan dan energi. Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan
pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan

13
aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor
semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa
direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu
oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan
semua aspek sosial ekonomi.
Degradasi di lahan pertanian terus terjadi akibat erosi tanah yang tinggi
sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan meningkatnya sedimentasi
pada waduk-waduk yang akan berdampak pada berkurangnya daya tampung dan
pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Apabila
tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah degradasi hutan dan lahan serta
upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan semakin menurun kualitasnya.
Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan datang harus mampu
mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan
yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa lingkungan
yang semakin meningkat.
Pengelolaan DAS melibatkan banyak pihak mulai unsur pemerintahan,
swasta, dan masyarakat. Ada indikasi bahwa kesadaran dan kemampuan para
pihak dalam melestarikan ekosistem DAS masih rendah, misalya masih banyak
lahan yang seharusnya berupa kawasan lindung atau resapan air masih digunakan
untuk fungsi budidaya yang diolah secara intensif atau dibangun untuk
pemukiman baik secara legal maupun illegal, sehingga meningkatkan resiko erosi,
longsor dan banjir. Dalam aliran sungai sendiri sering dijumpai sampah dan
limbah dari berbagai sumber yang menyebabkan pendangkalan, penyumbatan,
dan pencemaran air sungai sehingga kualitas air dan palung sungai menjadi rusak
yang pada akhirnya merugikan lingkungan dan kehidupan masyarakat. Rendahnya
kesadaran, kemampuan dan partisipasi para pihak dalam pengelolaan DAS
menjadi tantangan bagi para pengelola DAS dan unsure lain yang terkait dengan
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat secara luas.

14
PENUTUP

Pengelolaan DAS jelas melibatkan banyak pihak yang berkepentingan


baik lintas sektoral maupun lintas wilayah administrasi sehingga untuk
mewujudkan tujuan pengelolaan DAS terpadu diperlukan kelembagaan yang
memadai yang dapat memfasilitasi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinegi
antar pihak berkepentingan tersebut. Walupun beberapa lembaga koordinatif
”Forum DAS” telah terbentuk namun masih banyak tugas dan fungsi forum belum
berjalan secara optimal karena masih menghadapi berbagai kendala dan
permasalahan yang cukup kompleks. Karena itu dimasa yang akan datang masih
diperlukan penelitian atau kajian untuk mendukung pembinaan dan
pengembangan kelembgaan DAS kearah yang lebih baik. Kebutuhan penelitian
atau kajian kelembagaan tersebut antara lain:
1) Analisis posisi dan peran lembaga ditinjau dari aspek lembaga yang terlibat
dalam kebijakan, program dan kegiatan dalam pengelolaan DAS.
2) Menganalisis kapasitas lembaga pemerintah yang terlibat dalam mengatasi
masalah yang terjadi di DAS.
3) Menganalisis mekanisme koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam
pengelolaan DAS.
4) Merancang bangun alternatif kelembagaan pengelolaan DAS.
Dalam pengelolaan hutan yang terkait dengan hasil air, secara
spasial/keruangan terdapat keeratan dengan satuan/unit DAS. Air yang dihasilkan
oleh kawasan hutan juga mengalir melalui jejaring sungai yang terdapat pada
suatu DAS. Pendekatan satuan/unit DAS ini dimaksudkan untuk memudahkan
dalam pengukuran atau prediksi hasil air dari kawasan hutan, karena pada suatu
DAS ada kemungkinan secara keseluruhan tertutup oleh kawasan hutan atau
kombinasi sebagian kawasan hutan dengan berbagai penggunaan lahan lainnya.
Selain itu, karakteristik air yang berasal dari curah hujan yang turun pada
suatu wilayah alirannya dibatasi oleh wilayah DAS. Oleh karena itu, untuk
mengetahui hasil air dari suatu kawasan hutan bisa dilakukan pada satuan wilayah
DAS berhutan, sehingga basis unit DAS dimaksudkan untuk memudahkan dalam
pengelolaan hutan yang terkait dengan hasil air.

15
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah


Aliran Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT. Jakarta
Ditjen RLPS. 2009. Rehabilitasi Hutan Dan Lahan. Samanta Foundation.
Jakarta.
Direktur Pengelolaan DAS. 2007. Kebijakan Umum Pengelolaan DAS. Makalah
disampaikan dalam rangka Lokakarya Pembentukan Forum DAS Barito
Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.
Kompas. 2007. DAS Empat Sungai Besar di Kalimantan Selatan Makin Kritis.
www.kompas.com
Sirang, K. 2007. Pembentukan Forum DAS Propinsi Kalimantan Selatan
(AspekKelembagaan). Makalah disampaikan dalam rangka
LokakaryaPembentukan Forum DAS Barito Kalimantan
Selatan.Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.
Sunaryo, N. 2007. Upaya Pengembangan Forum DAS di Indonesia. Makalah
disampaikan dalam rangka LokakaryaPembentukan Forum DAS Barito
Kalimantan Selatan. Banjarbaru.Tidakdipublikasikan.
Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

16

You might also like