You are on page 1of 9

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi kami kesehatan dan
kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini

Dalam pembahasan makalah ini yaitu membahas tentang dasar-dasar pengetahuan.


Dalam makalah ini, dimana ada beberapa bentuk dan beberapa prinsip yang sangat perlu kita
ketahui. Sehingga kami bisa tahu bagaimana pentingnya mempelajari filsafat tersebut.

Harapan kami dalam pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
dapat menambah ilmu pengetahuan kita. Kami juga bersedia menerima kritik maupun saran
yang mungkin dapat menunjang pembuatan makalah yang lebih baiknya karena kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN :

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1

BAB II. PEMBAHASAN :

A. Definisi Ilmu ...................................................................................................................... 2


B. Ontologi ............................................................................................................................. 2
C. Epistemologi ......................................................................................................................3
D. Aksiologi ........................................................................................................................... 4

BAB III. PENUTUP:

A. Kesimpulan ........................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................iii

ii
DAFTAR PUSTAKA

Mustansyir, Rizal, Misnal Munir. 2009. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Prawironegoro, Darsono. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Penerbit Nusantara Consulting

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara khusus, manusia memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan makhluk


atau benda mati lain di bumi ini. Manusia adalah makhluk berfikir yang bijaksana (homo
sapiens), manusia sebagai pembuat alat karena sadar keterbatasan inderanya sehingga
memerlukan instrumen (homo feber), manusia mampu berbicara (homo languens), manusia
dapat bermasyarakat (homo sasious) dan berbudaya (homo humanis), manusia mampu
mengadakan usaha (homo economicus) serta manusia berkepercayaan dan beragama (homo
religious); sedangkan binatang memiliki daya fikir terbatas dan benda mati (anorganis)
cenderung tidak memliki perilaku dan tunduk pada hukum alam.

Keunggulan manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab makin menjulang
oleh ketekunannya memantau berbagai gejala dan peristiwa seantero alamnya.
Konsekuensinya, manusia tidak lagi menemukan kenyataan sebagai sesuatu yang selesai,
melainkan sebagai peluang yang membuka berbagai kemungkinan. Bagi manusia, setiap
kenyataan mengisyaratkan adanya kemungkinan. Transendensi manusia terhadap kenyataan
yang detemuinya sebagai pembuka berbagai kemungkinan itu merupakan kemampuannya
yang paling mendasari perkembangan pengetahuannya. Tentu saja tiap pengalaman
meninggalkan jejak berupa pengetahuan (knowledge). Pada manusia himpunan pengetahuan
tersebut tidak pernah selesai dan memungkinkan adanya penjelajahan lebih lanjut.
Penjelejahan yang tak kunjung berakhir inilah yang kemudian meningkatkan pengetahuan
manusia sampai pada perwujudannya sebagai ilmu (science).

Penguasaan ilmu tidak lagi menjadikan manusia sekadar makhluk yang harus
menyesuaikan diri dengan lingkungannya tanpa pilihan. Sebaliknya, penguasaan ilmu
menjadikan manusia sanggup melakukan rekayasa terhadap alamnya demi kepentingan
hidupnya. Kepentingan itu bukan hanya terkait pada kebutuhan (needs) untuk bertahan hidup,
melainkan juga untuk mencapai berbagai keinginan (wants) yang nyaris tanpa batas.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ilmu

Kata “ilmu” merupakan terjemahan dari kata science, yang secara etimologis berasal
dari kata latin scinre, artinya to know. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk
menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. Harold H. Titus
mengartikan ilmu (science) sebagai common sense yang diatur dan diorganisasikan,
mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan
metode-metode observasi, yang teliti dan kritis. Menurut Prof. Dr. Mohammad Hatta, tiap-tiap
ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan
masalah yang sama tabiatnya maupun menurut kedudukannya tampak dari luar maupun
menurut bangunnya dari dalam.

B. Ontologi

Menurut bahasa, ontologi ialah berasal dari bahasa Yunani yaitu On/ Ontos = ada, dan
Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi ialah
ilmu yang mebahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Term ontologi pertama kali dipopulerkan
oleh Rudolf Goclenius pada 1636 M untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang
bersifat metafisis yang dalam perkembangannya dibagi menjadi dua yaitu metafisika umum
dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan untuk istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
prinsip yang paling dasar dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih
dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi dan teologi.

Ontologi merupakan salahsatu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang


paling kuno. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada ini?. Pertamakali orang dihadapkan pada adanya

v
dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua,
kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).

Wacana mengenai hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang
mungkin ada. Hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau
keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah. Pembahasan mengenai ontologi
sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The
First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Ontologi berusaha mencari
ultimate reality, yaitu inti yang termuat dalam setiap kenyataan.

C. Epistemologi

Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.

Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai
metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:

1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil
obeservasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut Dick Hartoko,
induksi berasal dari bahasa latin inducere yang berarti mengantar ke dalam, yang secara
sederhana merupakan suatu metode, khusus dalam ilmu alam, yang menuju dan
menyimpulkan sebuah hipotesa umum dengan berpangkal pada sejumlah gejala sendiri-
sendiri. Tokoh-tokoh teori ini adalah David Hume, Baco d. Verulam dan John Stuart Mill.

2. Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam
metode deduktif adalah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu
sendiri.

vi
3. Metode Positivisme
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif.
Mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Apa yang
diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian,
metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi pada bidang gejala-gejala
saja. Tokohnya adalah August Comte (1798-1857M).

4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda
harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi yang dapat
diperoleh dengan berkontemplasi. Tokohnya adalah Al-Ghazali.

5. Metode Dialektis
Dialektis atau dialektika berasal dari bahasa Yunani Dialektike yang berarti
cara/metode berdebat dan berwawancara yang diangkat menjadi sarana dalam memperoleh
pengertian yang dilakukan secara bersama-sama mencari kebenaran. Tokohnya adalah
Hegel yang dalam dialektika disini berarti mengompromikan hal-hal mengenai tesis, anti
tesis dan sintesis.

D. Aksiologi
Aksiologi berasal dari perkataan Axios (Yunani) yang berarti nilai dan Logos yang
berarti teori. Jadi aksiologi secara sederhana merupakan teori tentang nilai. Jujun S.
Sumantri mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sedangkan menurut Bramel, aksiologi terbagi
dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan
disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang
ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang
akan melahirkan filsafat sosio politik.
Permasalahan yang utama dalam aksiologi adalah mengenai nilai. Teori tentang
nilai dalam filsafat mengacu pada permasalah etika dan estetika. Etika menilai perbuatan

vii
manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma
kesusilaan manusia dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku
manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki
oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Dihadapkan dengan masalah nilai moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan
pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara
ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya
haruslah berdaskan nilai-nilai moral. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya
netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun,
selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan
harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya
mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang
ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang paling menakutkan.
Oleh karena itu, solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai adalah harus ada
transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteknya, dan agamalah yang
menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu
memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia sadar akan hakikat
penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada kemudahan-
kemudahan material duniawi. M. Saekhan Muchith mencontohkan bahwa dari proses
penurunan ayat-ayat Al Quran tentang hukum lebih banyak diturunkan di Madinah yang
relatif sudah ada perkembangan peradabannya. Ini berarti mengandung makna bahwa
semakin tinggi tingkat perkembangan peradaban manusia harus segera diikuti dengan
aturan atau hukum yang bisa menjamin rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut
menunjukkan bahwa solusi yang diberikan Al Quran terhadap ilmu pengetahuan yang
terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur
semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan
sebaliknya membawa mudharat.

viii
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut bahasa, ontologi ialah berasal dari bahasa Yunani yaitu On/ Ontos = ada, dan
Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi ialah
ilmu yang mebahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.

Epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.

Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai
metode tersendiri dalam teori pengetahuan.

Aksiologi berasal dari perkataan Axios (Yunani) yang berarti nilai dan Logos yang
berarti teori. Jadi aksiologi secara sederhana merupakan teori tentang nilai. Jujun S. Sumantri
mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh. Sedangkan menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga
bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus,
yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan
keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosio politik.

ix

You might also like