You are on page 1of 2

Mengembangkan Kecerdasan Sosial

Oleh WILLIAM CHANG

Sorotan atas kasus pengangguran sosial (Kompas, 11/2/2006), kematian 92


Saudara di Il-lada dan Gome, Jayapura, flu burung (Kompas 14/2/2006), Freeport di Papua
dan katebelece Sudi Silalahi termasuk kecerdasan sosial pers dalam meneropong
perjalanan suatu bangsa.
Sebaliknya kelambanan menangani kasus-kasus tragis di NAD, Nias, Illaga,
Gome, mencerminkan tingkat kecerdasan sosial bangsa. Kepekaan budi dan hati menipis.
Katastrofe kosmik menguji kecerdasan bangsa. Biasanya, spekulan dan oportunis
memanfaatkan kecerdasan mereka untuk mengais keuntungan.
Kelambanan bereaksi dapat ditafsirkan akubat rendahnya kecerdasan sosial atau
social intelligence (SI). Selama ini kecerdasan budi (IQ) diprioritaskan dalam pendidikan
formal, sedangkan kecerdasan sosial hampir tidak muncuk ke permukaan. Akuisme lebih
menonjol, sedangkan altruisme tergeser.
Pergeseran dari IQ ke SI mengandalkan perombakan pola pikir dan perilaku
manusia sebagai makhluk sosial. Keterbukaan batiniah mendobrak ketertutupan manusia
dalam percaturan sosial. Pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai mikrokosmos
menyatu dengan makrokosmos.
Kecerdasan bangsa
Sejak awal dan pertengahan abad silam, arsitek negara kita menyadari
pentingnya kecerdasan sosial sebagai modal dasar dalam pembangunan bangsa. Bung
Karno dan kawan-kawan mengangkat tema kemiskinan sebagai salah satu titik tolak
perumusan UUD 1945. kemiskinan mendorong mereka mewujudkan kesetaraan nilai
kemanusiaan (anti diskriminasi) dan keadilan sosial yang mencakup semua lapisan dan
segala bidang hidup.
Masalahnya, sejak kemerdekaan faham indefferentism berkembang subur,
mengakbatkan kelesuan nasionalisme, kekacauan sosial, dan kelemahan penegakan
hokum. Sampah berserakan, lalu lintas kacau, bangunan liar, termasuk buah indifferentism.
Sikap bermasa bodoh dan acuh diterapkan dalam memandang kenyataan sosial ini.
Indifferentism yang bernafas individualisme dan sekterianisme ternyata
menggemburkan ketidakadilan sosial dan mengabaikan kepentingan umum. Jurang
pemisah kaya-miskin terlampau lebar. Justru itu, dunia pendidikan kita (informal, formal,
dan nonformal) tidak cukup hanya mengembangkan IQ, tetapi juga SI sehingga anak-anak
kita dapat bersikap dan bertindak bijaksana (bandingkan dengan Edward L Thorndike).
Kecerdasan sosial
Pengembanhan kecerdasan sosial anak bangsa mengandaikan keunggulan
pribadi, minimal mencakup empat bidang:
(1) Membaca mitos dan diversi sosial di masyarakat;
(2) Memahami pentingnya pembinaan diri seumur hidup;
(3) Mengenal aksi sosial, tuntutan situasi sosial, dan merancang reformasi sosial;
(4) Mengembangkan belas kasih dan memerhatikan sesama.
Jangkauan kecerdasan ini melampaui wawasan kesadaran politik atau faham
psikologis karena merangkul hubungan antarpribadi dan kekpekaan sosial. Salah satu nilai
tambah kecerdasan berupa kesanggupan menilai keadaan sosial secara obyektif, dari
ritual kepada agama, dari MTV kepada metafisik, dari jetset hingga daown-
sizing, dari terorisme kepada antiterorisme (Norman D Livergood).
Kecerdasan yang mengandung kesadaran kritis, menurut pakar pendidikan Paulo
Freire, cepat memantau dampak sosial ketidakadilan, diskriminasi, korupsi,
penyelewengan hokum, dan jaringan kejahatan. Diharapkan, jenis kesadaran ini akan
melahirkan generasi baru yang tak mau menjadi hamba korupsi, manipulator kuasa dan
pengisap kekayaan rakyat. Kecerdasan tak cukup diajarkan di rumah atau sekolah, tetapi
amat penting diterapkan dalam hidup harian.
Kini, kita sedang diuji kecerdasan sosial penguasa negara, lembaga pengadilan
(Mahkamah Agung, pengadilan tinggi, kejaksaan), aparat keamanan dan rakyat dalam
menegakkan keadilan hokum mulai koridor kepresidenan, lembaga pemerintah pusat dan
daerah. Sanggup dan maukah oknum penegak hokum menerapkan cara pandang baru yang
adil sambil mengingat perkembangan kecerdasan sosial rakyat yang pesat? Kapankah
penegakan hokum kita akan menggeser vested interest dan pengaruh politik penguasa?

You might also like