You are on page 1of 23

MANAJEMEN FUNGSI SERTA PERAN BANK INDONESIA BAGI

PEREKONOMIAN NASIONAL UNTUK MEWUJUDKAN STABILITAS


SISTEM KEUANGAN

Karya Tulis

Diajukan untuk memenuhi persyaratan beasiswa yang diselenggarkan oleh Bank


Indonesia

NAMA : DEWI FATMAWATI


NIM : 072244610038
KELAS : FISIKA
FAKULTAS : MIPA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena pada akhirnya
kami para penulis berhasil menyelesaikan tulisan ini dengan baik. tulisan berjudul
Manajemen Fungsi Serta Peran Bank Indonesia Bagi Perekonomian Nasional Untuk
Mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan dimaksudkan untuk mengajukan beasiswa
Bank Indonesia.

Disini penulis menghadirkan beberapa fakta mengenai fungsi serta peran bank
indonesia bagi perekonomian nasional. Tulisan ini juga dilengkapi dengan beberapa
usaha yang dapat dilakukan untuk mewujudkan stabilitas sistem keuangan.

Penulis penyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca yang bijak sangat
diperlukan guna meningkatkan kualitas makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat,
baik bagi penulis maupun pembaca, meskipun ibarat setetes air di padang
pasir.pengetahuan dalam hal perab serta tugas Bank Indonesia dalam stabilisasi
perekonomian nasional. Tulisan ini juga diharapkan untuk semakin menumbuhkan
kesadaran untuk bersama-sama menciptakan perekonomian negara Indonesia yang
stabil.

Medan, 10 Januari 2011

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1

C. Tujuan Penulisan 2

D. Manfaat Penulisan 2

E. Metode Penulisan 2

BAB II PERAN DAN KEDUDUKAN BANK INDONESIA


A. Peran Strategis Bank Indonesia 3
B. Kedudukan Keuangan Negara dalam Bank Indonesia 4
C. Bank Indonesia sebagai Badan Hukum Publik 6

BAB III MANAJEMEN KRISIS DALAM KERANGKA MENJAGA


STABILITAS SISTEM KEUANGAN 9

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 17

B. Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Eksistensi bank sentral di suatu negara yang diatur dalam konstitusi pada
dasarnya menunjukkan pentingnya tugas otoritas di bidang moneter dan fungsi
lainnnya dari bank sentral. Sebagai institusi yang mempunyai wewenang untuk
mengelola moneter itulah, bank sentral wajar jika diberikan kedudukan yang
independen guna menjaga kredibilitasnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar
kebijakannya tidak dipengaruhi oleh institusi lainnya, agar fungsinya dapat
dijalankan sebagaimana mestinya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dengan
demikian, tidak ada kepentingan apapun yang dapat mempengaruhi pengambilan
kebijakan moneter yang diambil bank sentral atau kebijakan pemerintah/lembaga
negara lainnya tidak dapat mempengaruhi tugas bank sentral.
Membangun ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peranan
Pemerintah, lembaga-lembaga di sektor keuangan dan pelaku-pelaku usaha.
Pemerintah sebagai pembuat dan pengatur kebijakan diharapkan dapat
memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, sehingga lembaga keuangan
baik perbankan maupun bukan perbankan serta pelaku usaha di lapangan mampu
memanfaatkan kebijakan dan melaksanakan kegiatan usaha dengan lancar, yang
pada akhirnya dapat mendorong percepatan pembangunan ekonomi.
Oleh sebab itu, kebijakan dan tujuan Bank Indonesia yang diarahkan pada
penguatan sektor moneter membutuhkan konsentrasi yang tinggi agar stabilitas
ekonomi yang bertumpu pada fundamental moneter yang sehat tetap terjaga.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi permasalahan pokok dari penulisan paper ini
adalah untuk mengetahui:
1. Apa fungsi serta peran Bank Indonesia bagi perekonomian nasional?
2. Bagaimana cara mewujudkan stabilitas sistem keuangan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui fungsi serta peran Bank Indonesia bagi perekonomian
nasional.
2. Untuk mengetahui cara mewujudkan stabilitas sistem keuangan

D. Manfaat Penulisan
Penulisan karya tulis ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Bagi penulis, Untuk lebih memperdalam pengetahuan penulis tentang
fungsi serta peran Bank Indonesia bagi perekonomian nasional, dan juga
berguna untuk memenuhi salah satu persyaratan akademik dalam
mengajukan permohonan beasiswa Bank Indonesia.
2. Bagi masyarakat umum, dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai fungsi serta peran Bank Indonesia bagi perekonomian nasional.
3. Bagi dunia keilmuan, penulisan karya ilmiah ini diharapkan mampu
mendorong perkembangan ilmu-ilmu sains, serta memberikan informasi
ilmiah mengenai fungsi serta peran Bank Indonesia bagi perekonomian
nasional.

E. Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis
menggunakan metode kepustakaan. Pada metode ini penulis membaca buku –
buku dan mencari dari internet yang berhubungan dengan penulisan karya tulis
atau teknik penulisan karya tulis dan yang berkaitan dengan fungsi serta peran
Bank Indonesia bagi perekonomian nasional.
BAB II
PERAN DAN KEDUDUKAN BANK INDONESIA

A. Peran Strategis Bank Indonesia


Di Indonesia, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Anoname, 1999) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 (UU
BI) (Anoname, 2011). Bank Indonesia berperan sebagai bank sentral yang
mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur
dan menjaga sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank (vide Pasal
8 UU BI). Apabila dilihat dari kedudukannya di UUD 1945 Amandemen ke IV
dan UU BI (Anoname, 2010). Bank Indonesia setara dengan lembaga negara dan
berstatus badan hukum publik. Dalam kedudukannya sebagai bank sentral, Bank
Indonesia harus melepaskan fungsi komersialnya seperti pelayanan jasa
perbankan. Dilepaskannya pelayanan jasa perbankan Bank Indonesia
dimaksudkan agar bank sentral dapat berkonsentrasi pada upaya menjaga
stabilitas moneter dan memperkuat cadangan devisa negara. Dengan dasar
pemahaman tersebut, kebijakan dan tindakan Bank Indonesia dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan
penguatan ekonomi nasional. Dengan kata lain, kebijakan dan tindakan Bank
Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sama sekali tidak dapat
dikatagorikan sebagai tindakan komersial atau upaya memperoleh laba sebagai
layaknya subyek pajak. Apabila mendasarkan pada Pasal 8 UU BI(Anoname,
2010), ketiga tugas Bank Indonesia tersebut harus dijalankan dan dilakukan
dengan proses dan mekanisme yang tersistem serta terbebas dari pengaruh
manapun. Tugas sedemikian strategis dan penting tersebut selayaknya dilakukan
secara independen karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan
nasional yang akan sangat mempengaruhi sistem perekonomian nasional secara
keseluruhan. Oleh sebab itu, Pemerintah dan lembaga negara manapun tidak dapat
mendistigmasi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan untuk mencapai
tujuannya, dengan kebijakan yang dibentuk oleh Bank Indonesia itu sendiri.
Misalnya, Pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal yang cenderung
memperlemah tujuan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya, yang pada
dasarnya juga merupakan sebagian tugas negara. Dalam konteks ini, semua
lembaga negara perlu mendudukkan kebijakan Bank Indonesia yang
dijalankannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan ekonomi
nasional. Oleh sebab itu, kebijakan lembaga negara dan peraturan perundang-
undangan tidak dapat mengesampingkan kebijakan dan peraturan
perundangundangan yang memungkinkan Bank Indonesia untuk secara konsisten
dan konsentrasi mencapai tujuannya mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Dengan pemahaman tersebut, jelas menegaskan Bank Indonesia dalam
mengambil kebijakan bidang moneter tidak dilaksanakan menurut kehendak dan
pertimbangan diri sendiri. Akan tetapi, segala tindakan dan kebijakan dalam
urusan ini bersandarkan pada pertimbangan makro-ekonomi. Dengan demikian,
independensi dalam menjalankan kebijakan tersebut sangat penting bagi Bank
Indonesia untuk memulihkan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini
mengingat Bank Indonesia diberikan tugas yang tidak ringan dalam menjaga
stabilitas makro perekonomian nasional.

B. Kedudukan Keuangan Negara dalam Bank Indonesia


Sementara itu, kedudukan keuangan dalam Bank Indonesia tetap merupakan
keuangan negara. Konsepsi ini dapat dilihat dari kedudukan keuangan negara
dalam Bank Indonesia yang modalnya berasal dari negara. Namun, berdasarkan
aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya, ada perbedaan mendasar pada
risiko yang ditanamkan oleh negara dalam Bank Indonesia. Dengan pembedaan
ini, dapat terlihat kedudukan keuangan negara dalam permodalan Bank Indonesia
yang digunakan untuk menghadapi risiko yang kemungkinan muncul dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Perlu dipahami penanaman
modal Negara mengandung makna pemerintah menyisihkan kekayaan negara
untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan Bank Indonesia dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya. Konsekuensi logis adanya modal negara
pada Bank Indonesia, pemerintah sebagai representasi negara harus ikut menjaga
agar Bank Indonesia tetap mempunyai struktur modal yang kuat dan didukung
dengan cadangan umum yang mampu menanggung risiko yang kemungkinan
muncul dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam
menanggung risiko tersebut, posisi Bank Indonesia harus kuat dalam menjaga
cadangan umumnya, sehingga menjadi kewajiban pemerintah dalam turut
menjaga posisi cadangan umum Bank Indonesia tetap pada upayanya menjaga
kestabilan perekonomian secara keseluruhan.
Dalam hal ini, pemerintah saat berhadapan dengan Bank Indonesia harus
memposisikan diri sebagai badan hukum publik yang harus mendukung Bank
Indonesia dalam menanggung risiko yang kemungkinan terjadi dalam pelaksanaan
tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenang Bank Indonesia tidak akan dapat
optimal dan maksimal dijalankan oleh Bank Indonesia, jika pemerintah
mengesampingkan prinsip pembedaan mendasar antara Bank Indonesia sebagai
badan hukum publik dengan bank umum sebagai badan hukum privat. Sebagai
konsekuensi logis dari adanya pembedaan tersebut, proses penanaman modal
tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang antara pemerintah dan DPR dalam
rangka mewujudkan Bank Indonesia yang kuat dalam menjalankan fungsinya.
Dalam proses penanaman modal tersebut, pemerintah menyatakan persetujuannya
untuk melakukan kewajiban yang tertera dalam Pasal 6 UU BI tersebut. Dengan
ketentuan jika modal Bank Indonesia berkurang, ada penegasan pemerintah harus
segera menutup kekurangan tersebut sesuai dengan jumlah kekurangan yang ada,
setelah mendapatkan persetujuan DPR. Dibebankannya tanggung jawab
pemenuhan modal Bank Indonesia dan penutupan kekurangan modal Bank
Indonesia kepada pemerintah disebabkan kewenangan pengelolaan keuangan
negara berada pada pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Oleh sebab
kewenangan itulah, tindakan menutup kekurangan modal Bank Indonesia maupun
menerima kelebihan surplus kegiatan Bank Indonesia harus dipandang sebagai
bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian,
kewenangan itu berada pada lingkup kewenangan publik serta diambil
berdasarkan pertimbangan agar pemenuhan kecukupan dana modal Bank
Indonesia dari kewajiban moneter tetap tercapai. Oleh sebab itu, menjadi sangat
jelas pemenuhan kecukupan modal Bank Indonesia merupakan tanggung jawab
pemerintah sebagai representasi negara agar mewujudkan Bank Indonesia yang
kuat.
Dengan mendasarkan pada pentingnya kekuatan kecukupan dana tersebut,
pemerintah dan DPR menyepakati surplus hasil kegiatan Bank Indonesia tidak
dikenakan pajak penghasilan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 62 ayat (4) UU
BI2. Penetapan tidak kena pajak terhadap surplus Bank Indonesia selain
merupakan salah satu bentuk kebijakan jaminan pemerintah dan DPR sebagai
garansi politik (political guarantee) agar Bank Indonesia dapat menjalankan tugas
dan kewenangannya dengan baik. Hal ini secara integral merupakan fungsi dan
tanggung jawab pemerintah dan DPR dalam menjamin integritas Bank Indonesia
dalam menjaga perekonomian nasional.

C. Bank Indonesia sebagai Badan Hukum Publik


Negara sebagai badan hukum publik secara derivatif dapat mendirikan badan
hukum publik maupun badan hukum perdata. UU BI, sebagai pelaksanaan lebih
lanjut dari ketentuan dalam Pasal 23D UUD 1945, menetapkan Bank Indonesia
sebagai badan hukum (publik) (Pasal 4 ayat (3)). Dalam hal ini, negara melalui
konstitusi memberikan dasar bagi pembentukan badan hukum publik yang
mempunyai kewenangan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan.
Ada dua pengertian yang terkandung dari penetapan Bank Indonesia sebagai
badan hukum publik, yaitu, pertama, Bank Indonesia mempunyai kewenangan
penuh di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan, dan untuk
melaksanakan kewenangannya tersebut Bank Indonesia dapat membentuk
peraturan yang mengikat umum. Kedua, sebagai badan hukum, Bank Indonesia
mempunyai kewenangan dalam mengelola kekayaannya sendiri terlepas dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pembahasan mengenai hubungan
Bank Indonesia dan pemerintah setelah berlakunya UU BI tidak lagi
menempatkan Bank Indonesia sebagai bagian dari lembaga yang setingkat dengan
departemen pemerintahan. Kedudukannya sebagai lembaga negara yang
independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak lainnya, kecuali
untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU BI. Campur tangan yang
dimaksud dalam UU BI adalah sebatas pada pengangkatan dan pemilihan anggota
Dewan Gubernur yang membutuhkan peran presiden dan DPR. Mengenai
hubungan dengan pemerintah, Bank Indonesia berposisi sebagai pemegang kas
pemerintah. Dalam hal ini Bank Indonesia menatausahakan rekening yang
dimiliki oleh pemerintah. Di samping itu, Bank Indonesia untuk dan atas nama
pemerintah menerima pinjaman luar negeri. Penerimaan pinjaman luar negeri
dilakukan Bank Indonesia dengan konsekuensi Bank Indonesia menatausahakan
dan menyelesaikan tagihan dan kewajiban pemerintah tersebut. Hal ini dilakukan
berdasarkan perjanjian yang telah dilakukan pemerintah dan pemberi pinjaman.
Dalam hal kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian, khususnya
perbankan dan keuangan yang terkait erat dengan tugas Bank Indonesia,
pemerintah harus mengundang Bank Indonesia pada saat sidang kabinet yang
mengambil kebijakan tersebut. Kehadiran Gubernur Bank Indonesia dalam
sidang kabinet bukan berarti masuknya kembali posisi Gubernur Bank Indonesia
dalam kabinet pemerintahan. Akan tetapi, lebih bersifat konsultatif di mana
Gubernur Bank Indonesia diberikan kesempatan memberikan pandangan dan
pendapat mengenai kebijakan perekonomian yang akan diambil pemerintah, yang
akan terkait erat dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Selanjutnya, dalam
hal pengajuan Rancangan APBN, Bank Indonesia juga memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada pemerintah.
Pemerintah harus memperhatikan sungguh-sungguh pertimbangan Bank
Indonesia yang biasanya dirumuskan dalam berbagai analisis moneter guna
mendukung pelaksanaan APBN. Pemberian pertimbangan kepada pemerintah
dalam penyusunan Rancangan APBN merupakan bagian yang penting dalam
rangka pelaksanaan APBN jika disahkan DPR. Sementara itu, dalam hal
penerbitan surat utang negara, Pemerintah juga harus berkonsultasi dahulu dengan
Bank Indonesia. Konsultasi ini diperlukan agar, “penerbitan surat utang negara
tepat waktu dan tidak berakibat negatif terhadap kebijakan moneter, sehingga
pelaksanaan penjualan surat utang tersebut dapat dilakukan dengan persyaratan
yang dapat diterima pasar serta menguntungkan pemerintah.”
Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan pendapat Bank
Indonesia, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas moneter Indonesia.
Berdasarkan UU BI tersebut dapat terlihat hubungan Bank Indonesia dan
Pemerintah lebih bersifat konsultatif, dan tidak bersifat subordinatif. Hal demikian
menunjukkan independensi Bank Indonesia dalam dua hal pokok, bebas untuk
memutuskan cara mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Kedua, keputusan yang
diambil itu harus merupakan hal yang sulit bagi bagian dari pemerintahan untuk
mempengaruhinya. Dengan dasar hubungan dengan Pemerintah yang bersifat
konsultatif, Bank Indonesia akan terlepas dari kontrol dan pengaruh lembaga lain
yang berupaya menekannya dalam pengambilan keputusan. Namun, sifat
independensi tersebut tidak melepaskan tanggung jawab Bank Indonesia dalam
menjalankan kinerjanya kepada DPR. Hakikat yang diperoleh dari independensi
Bank Indonesia adalah dimilikinya kekuatan, kedaulatan, dan kekuasaan untuk
merumuskan serta melaksanakan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan
perbankan. (Anoname, 2010).
BAB III

MANAJEMEN KRISIS DALAM KERANGKA MENJAGA STABILITAS


SISTEM KEUANGAN

Untuk meminimalkan terulangnya sistemic risk pada sektor keuangan


khususnya sistem perbankan, maka sistem perbankan nasional perlu
disempurnakan. Penyempurnaan cetak biru sistem perbankan nasional dalam
rangka kestabilan system keuangan yang tengah digodok saat ini meliputi dua
aspek besar, yaitu:
1. Penyempurnaan fungsi Bank Indonesia selaku lender of last resort
(LOLR);
2. Penyempurnaan kelembagaan peran, dan wewenang otoritas perbankan
sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia dan Pasal 37B ayat (2) UU No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu :
a) Pemisahan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia;
b) Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang indipenden;
dan
c) Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan. Serta Penyempurnaan system
perbankan yang meliputi kelembagaan bank, pemilikan bank sumber daya
manusia perbankan, produk perbankan, dan teknologi perbankan yang
kesemua aspek itu dikemas dalam kesatuan perangkat hukum yang jelas
dan tegas.

Ad (1) Penyempurnaan Fungsi Bank Indonesia selaku Lender of Last Resort


Dalam rangka penyempurnaan sektor keuangan dan perbankan, langkah
penting yang harus dilakukan adalah perbaikan perangkat hukum perbankan dan
kesentralan. Penyempurnaan perangkat hukum ini tidak hanya mencakup
Penyempurnaan Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaan
dibawahnya saja, tetapi juga meliputi penyempurnaan peran dan kewenangan
lembaganya. Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia selaku otoritas moneter,
perbankan dan sistem pembayaran mengeluarkan regulasi dan melakukan
pembinaan / pengawasan (surveillance) terhadap perbankan agar perbankan dapat
menjalankan fungsinya secara efektif selaku lembaga intermediary dan sekaligus
berfungsi pula sebagai media untuk mentransmisikan kebijakan moneter bank
sentral.
Berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 peran Bank Indonesia dalam rangka
menjaga stabilitas sistem keuangan mencakup :
a. Menciptakan kebijakan moneter yang kondusif
b. Melakukan pemantauan terhadap stabilitas sistem keuangan (financial
system surveillance)
c. Melakukan koordinasi dengan dan memberikan rekomendasi kebijakan
stabilitas sistem keuangan pada otoritas lain, misalnya kepada pemerintaH
Depertemen Keuangan selaku otoritas fiskal, dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK);
d. Menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran dengan terselesaikannya
transaksi secara aman dan tepat waktu (safe and robust payment system)
antara lain melalui kegiatan design, operasional dan pengawasan sistem
pembayaran;
e. Menyediakan mekanisme LOLR dalam upaya menangkal terjadinya
kegagalan bank karena liquidity mismatch.
Dalam rangka memantau stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia
melaksanakan berbagai upaya, antara lain berupa kegiatan riset dan observasi
(surveillance) terhadap lembaga keuangan, pasar modal, kebijakan makro-
ekonomi, kebijakan fiskal, sektor riil, household, sistem pembayaran hutang luar
negeri, hutang dalam negeri dan pasar internasional. Melalui analisis data dan
informasi yang realitis dan terukur tersebut, diharapkan performance sistem
keuangan nasional dapat dipantau dengan baik. Namun mengingat tugas
memelihara stabilitas sistem keuangan nasional pada dasarnya merupakan produk
sinergi dari beberapa otoritas, sehingga tidak dapat diletakkan pada Bank
Indonesia semata, maka perlu ada mekanisme koordinasi dan tanggungjawab yang
jelas antar otoritas dimaksud. Permasalahannya, sampai dengan saat ini belum
tersedia perangkat hukum yang mengatur mengenai kerangka kerja formal (baik
di level pembuat kebijakan umum maupun di level teknis) dalam rangka
mendukung tugas ini. Oleh karena itu kiranya perlu dipikirkan penyusunan
perangkat hukum yang jelas dan tegas mengatur aspek-aspek seperti:
1) mekanisme koordinasi yang efektif,
2) standar dan arah / keselerasan pengaturan yang kondusif bagi perbankan
dan lembaga-lembaga non-bank;
3) information sharing dan exchange, serta
4) aturan yang tegas mengenai alternatif mengatasi krisis (crisis resolution)
yang efektif.
Berkenaan dengan aspek yang keempat yang disebutkan diatas, dalam rangka
merancang aturan yang tegas mengenai alternatif mengatasi krisis (crisis
resolution) yang efektif dan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan
terulangnya krisis di sector perbankan, maka fasititas-fasilitas keuangan yang
dapat diberikan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya selaku LOLR bagi
perbankan nasional perlu dipertimbangkan untuk lebih disempurnakan lagi. Hal
ini mengingat fasilitas LOLR yang berdasarkan UU dapat disediakan Bank
Indonesia dipandang masih belum memadai, karena fasilitas yang tersedia dewasa
ini hanya terbatas untuk mengatasi liquidity missmatch saja dan belum mencakup
fasilitas yang lebih komprehensif, yaitu untuk tujuan mengatasi krisis perbankan
yang bersifat sistematik atau berkepanjangan. Sebagai perbandingan di negara-
negara lain, seperti USA dan UK, selain bantuan solvabilitas (emergency liquidity
assitance) walaupun sifatnya cenderung case by case.
Berdasarkan UU No.23 Tahun 1999, peran Bank Indonesia (BI) sebagai
LOLR sangat terbatas. BI hanya dapat memberikan LLR kepada Bank pada
kondisi normal (maksimum 90 hari) dengan agunan berkualitas tinggi dan likuid,
namun tidak untuk kondisi khusus. Fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia
tersebut berfungsi seperti fasilitas diskonto yang disediakan secara rutin oleh bank
sentral untuk mengatasi kesenjangan (mismatches) likuiditas yang mungkin
dihadapi oleh bank. Namun demikian, fasilitas tersebut tidak mencakup fungsi
LOLR yang khusus digunakan dalam rangka pemberian bantuan likuiditas darurat
kepada sistem keuangan dalam masa krisis. Dalam hal ini bank-bank umumnya
tidak memiliki agunan berkualitas tinggi sehingga diperlukan beberapa
pengecualian dari prasyarat kondisi normal.
Oleh karena itulah maka perangkat hukum mengenai fasilitas LOLR yang
lebih komprehensif, yaitu dengan mengintegrasikannya sebagai bagian dari
strategi krisis manajemen perlu dipikirkan seksama. Walaupun kerangka yang
digunakan berbeda dari satu negara dengan negara lain, terdapat suatu konsensus
umum mengenai pertimbangan utama dalam pemberian pinjaman darurat pada
kondisi normal dan krisis. Dalam kondisi normal, bantuan LOLR harus
didasarkan pada suatu aturan yang jelas. Kebijakan dan peraturan LOLR yang
transparan dapat mengurangi kemungkinan terjadi krisis (self-fullfilling crises),
dan memberikan insentif tumbuhnya disiplin pasar. Dengan demikian, peranan
Bank Indonesia sebagai LOLR perlu dirumuskan kembali secara lebih jelas.
Disamping itu, juga perlu ditetapkan kriteria dan mekanisme pemberian LOLR
pada krisis sistemik.

Ad (2) Merancang Cetak Biru Sistem Perbankan


Selain menyempurnakan peran bank sentral dalam rangka menjaga
stabilitas system keuangan nasional sistem perbankan juga perlu disempurnakan
lebih lanjut. Dalam rangka itu, dewasa ini sedang di susun cetak biru (blue print)
sistem perbankan nasional. Cetak biru sistem perbankan nasional itu dapat
dikategorikan menjadi tiga bagian besar yaitu :
(1) Menyempurnakan Sistem Perbankan Nasional
Dalam rangka membangun sistem perbankan yang handal dan mampu
menghadapi perkembangan ekonomi global yang sangat cepat, maka UU
Perbankan No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun
1998 perlu disempurnakan kembali.
Berkenaan dengan itu, Penyempurnaan terhadap UU Perbankan No.7 tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998 antara lain akan
meliputi struktur perbankan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha,
ketentuan kehati-hatian (prudential regulations), serta aspek pengawasan bank.
Selain Penyempurnaan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan diatas,
dalam penyempurnaan UU perbankan diperhatikan pula upaya pengembangan
bank syariah yang dewasa ini menunjukkan kemajuan yang semakin pesat.
Mengingat bank syariah mempunyai jenis-jenis kegiatan usaha yang tidak
mungkin disamakan dengan jenis usaha bank konvesional, maka bank syariah
direncanakan akan diatur dalam UU tersendiri, terpisah dan UU Perbankan yang
hanya akan mengatur bank konvesional.
Selain Penyempurnaan UU Perbankan, dewasa ini secara parallel sedang
disusun pula berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penataan kembali sistem perbankan nasional secara lebih komprehensif, yaitu
RUU Otoritas Jasa Keuangan, RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU
Perkreditan dan RUU Likuidasi Bank. Dari berbagai RUU tersebut dapat
diketahui bahwa, pada waktunya akan dibentuk lembaga-Iembaga baru yang
dimaksudkan dapat berfungsi untuk memperkuat system perbankan nasional.
Lembaga-lembaga baru yang akan dibentuk adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dengan adanya lembaga-lembaga baru
ini, maka lembaga yang memiliki otoritas pada sektor perbankan akan berubah,
yaitu dari semula hanya Bank Indonesia, maka pada waktunya akan menjadi 3
otoritas, yaitu Bank Indonesia, OJK dan LPS.
Oleh karena akan terdapat 3 otoritas di sektor perbankan, maka penataan
kembali sistem perbankan nasional juga membutuhkan penataan formal mengenai
hubungan kelembagaan antar ketiga otoritas tersebut yang meliputi: (1)
pengaturan mengenai mekanisme dan forum komunikasi; (2) subtansi koordinasi
dan prosedur pengawasan dan pembinaan bank (oleh masing-masing otoritas)
serta (3) ketentuan-ketentuan yang terkait dengan usaha perbankan, sehingga
otoritas di sektor keuangan dan perbankan dipastikan akan mampu mendeteksi
kelemahan-kelemahan (vulnerabilities) dalam sistem keuangan yang diduga dapat
memicu terjadinya krisis.

(2) Otoritas Pengawasan Bank


Berdasarkan pengalaman dari krisis perbankan dan memperhatikan trend
pengawasan bank di beberapa negara lain, serta dalam rangka mengupayakan
meningkatnya efisiensi, keamanan dan kestabilan disektor jasa keuangan dibidang
pengawasan bank, maka paradigma pola pengawasan bank diubah. Pengawasan
bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan pengawasan institusional,
oleh UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diubah menjadi pola
pendekatan pengawasan fungsional. Berkenaan dengan itu, maka Pasal 34 UU
No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan perlunya pemisahan
fungsi otoritas moneter dan system pembayaran di satu sisi dengan fungsi
pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya.
Dengan demikian, sesuai dengan amanat UU tersebut, pada waktunya Bank
Indonesia selaku bank sentral hanya akan menjalankan otoritas dibidang
kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan otoritas dibidang
pengawasan dan pembinaan bank akan dilakukan oleh sebuah lembaga
independen (OJK).
Mengingat ototritas moneter akan terpisah dari otoritas pengawas bank, maka
dalam rangka mengupayakan stabilitas sistem keuangan (financial system
stability) nasional, khususnya agar kebijakan di sektor perbankan senantiasa dapat
konsisten dan seiring dengan kebijakan di sektor moneter dan sistem pembayaran,
maka sekurang-kurangnya
Ada 5 aspek yang harus dikaji secara mendalam, yaitu:
1) Cakupan obyek pengawasan OJK
2) Independensi ojk
3) Kapabilitas dan kredibilitas SDM OJK
4) Kemungkinan keterpisahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, dan
5) Koordinasi yang efektif dan efisien antar institusi terkait. Selain dari aspek
yang disebutkan terdahulu, maka aspek yang terakhir merupakan faktor penting
yang sangat menentukan dalam rangka tercapainya tujuan. Dalam hubungan
ini, pengaturan mengenai penetapan kewenangan yang jelas dari masing-
masing otoritas merupakan aspek yang penting.
Termasuk dalam lingkup koordinasi dan kewenagan masing-masing otoritas
tersebut antara lain adalah aspek yang berkenaan dengan penggunaan fasilitas
bank sentral di sektor moneter oleh bank, kepesertaan bank dalam sistem
pembayaran, lalu-lintas devisa, teknis penyampaian laporan bank, pelaporan bank,
dan penggunaan informasi.
Dari sisi kepentingan untuk pencapaian tugas Bank Indonesia, mengingat
sector perbankan masih mendominasi perekonomian Indonesia, maka Bank
Indonesia yang dalam melakukan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter (makro prudential) perlu didukung oleh data yang benar, akurat, dan
tepat waktu dari sektor ini harus memiliki keyakinan terhadap kebenaran,
keakurasian dan ketepatan waktu dari data sektor perbankan ini, oleh karena itu
dalam menyusun pengaturannya, selain harus menjamin terciptanya koordinasi
yang efektif antar otoritas, Bank lndonesia juga perlu diberi kewenangan khusus
agar Bank Indonesia dapat mengakses data secara langsung dari bank untuk
keperluan tertentu (dalam hal ini dalam bentuk on-site supervision) apabila
diperlukan. Selanjutnya mengingat latar belakang pemisahan fungsi pengawasan
bank tersebut tidak terlalu jelas, maka segi-segi permasalahan yang bersifat
substansial yang inheren dalam sistem dan pasar jasa keuangan Indonesia, seperti
banyaknya unit lembaga keuangan yang harus di awasi, banyaknya lembaga
keuangan yang merupakan bagian dari konglomerasi, produk jasa keuangan yang
semakin bervariasi dan semakin kompleks, dan trend globalisasi yang didukung
kemajuan teknologi, kiranya perlu mendapat perhatian yang serius dalam proses
penyusunan perangkat peraturannya, khususnya dalam hal koordinasi dan
kapabilitas masing-masing otoritas. Dalam hubungan ini patut diperhatikan pula
mengenai perlunya disusun grand design dari arah regulasi, mengingat peraturan
dibidang moneter dan payment system akan tetap merupakan kewenangan Bank
Indonesia, pengaturan perbankan merupakan kewenangan OJK, sedangkan
pengaturan di bidang pinjaman luar negeri, lembaga keuangan non-bank, dan
pasar modal merupakan kewenangan Departemen Keuangan.

(3) Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)


Sesuai dengan best practices pada negara-negara lain, dalam rangka menjaga
integritas sistem perbankan nasional, otoritas moneter dan sistem pembayaran
serta otoritas pengawasan dan pembinaan bank didukung oleh suatu skim asuransi
deposito (deposit insurance scheme) yang berfungsi sebagai penyedia jaring
pengaman social (social safety net) apabila terjadi kegagalan pada suatu bank.
Tujuannya adalah agar individu deposan kecil terlindungi (public well-being)
dan gagalnya suatu bank dalam mengembalikan simpanan nasabahnya tidak
meluas menjadi krisis yang bersifat sistemik. Selain itu, dari sisi macro prudential
dalam rangka menjaga kestabilan sistem perbankan, LPS juga berperan sebagai
second line of defence sebelum bank sentral melaksanakan fungsinya selaku
lender of last resort.
Sebagaimana diketahui pada saat ini skim asuransi deposito yang
diselenggarakan di Indonesia adalah bentuk Program Penjaminan Pemerintah
yang dilaksanakan berdasarkan Keppres No.26 Tahun 1998 (Anoname, 1998).
Bentuk explicit guarantee seperti ini lazim dikenal sebagai blanket guarantee
scheme. Walaupun skim ini berhasil menjalankan fungsinya untuk memberikan
perlindungan kepada nasabah bank, namun blanket guarantee ternyata
mengandung banyak kelemahan. Kelemahan yang menonjol dari implementasi
skim penjaminan yang dioperasikan tidak sesuai dengan kaidah pasar asuransi ini
adalah berkenaan dengan terjadinya moral hazard, baik dari pihak deposan
maupun dari pihak bank.
Sebagaimana telah dikemukakan, Pasal 37B ayat (2) UU No.7 Tahun 1992
dan telah diubah dengan UU No. 1O Tahun 1998 tentang Perbankan, untuk
menjamin simpanan masyarakat pada bank akan dibentuk Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), namun sisi negatif dari pengalaman mengimplementasikan
blanket guarantee scheme kiranya perlu mendapatkan perhatian dalam perumusan
perangkat aturan pembentukan LPS. Pada sisi lain, selain dari perlunya
memikirkan waktu yang tepat untuk pembentukan LPS, ketentuan LPS harus
dirancang agar dapat menghindarkan terjadinya penarikan dana masyarakat dari
perbankan sehubungan dengan penggantian Program Penjaminan Pemerintah oleh
LPS, mengingat jumlah simpanan yang dijamin berbeda dan jenis transaksi yang
dijamin juga berbeda. Dalam konteks ini, LPS diharapkan secara efektif mampu
memberikan kontribusi positif bagi stabilitas sistem perbankan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari pambahasan sebelumnya, kesimpulan penulis adalah sebagai berikut:
1. Bank Indonesia berperan sebagai bank sentral yang mempunyai tugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga
sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank
2. Bank Indonesia dimaksudkan agar bank sentral dapat berkonsentrasi pada
upaya menjaga stabilitas moneter dan memperkuat cadangan devisa
negara.
3. Untuk manajemen fungsi serta peran bank indonesia bagi perekonomian
nasional untuk mewujudkan stabilitas sistem keuangan adalah
Penyempurnaan Fungsi Bank Indonesia selaku Lender of Last Resort dan
Merancang Cetak Biru Sistem Perbankan

B. Saran
Berdasarkan pembahasan tersebut, saran penulis adalah
1. Pemerintah dan Bank Indonesia lebih berkerjasama dalam
menstabilitaskan perekonomian nasional.

2. Harus ada pemantauan yang berkala dalam pelaksanaan fungsi serta peran
Bank Indonesia bagi perekonomian nasional untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan wewenang.
DAFTAR PUSTAKA

Anoname, (1999), Peraturan UU BI, Retrieved Maret, 8, 2010, web :


http://www.lps.go.id

Anoname, (2010), UU BI No 0304, Retrieved Maret, 8, 2010, web :


http://www.bi.go.id

Anoname, (2010), Bank Indonesia, Retrieved, Maret, 8, 2010, web :


http://ocw.gunadarma.ac.id/course/economics/management

Anoname, (2010), UU Bank 1998, Retrieved, Maret, 8, 2010, web :


http://www.komisiinformasi.go.id

Anoname, (2010), Gagasan Hukum Bi Dalam Tata Pemerintahan Indonesia


Bagian IV, web : http://wordpress.com

Anoname, (2010), Badan Hukum Keuangan, retrieved Maret,8,2010, web :


http://www.kppnjambi.org/index.php

Nasution, Anwar, (2010), Masalah Sistem Keuangan dan Perbankan, Retrieved


Maret, 8, 2010, web : http://www.lfip.org
LAMPIRAN

1. Upaya Penyempurnaan aturan dibidang perbankan dan kebank-sentralan


telah dimulai sejak 1998, antara lain diterbitkannya UU No. 10 Tahun 1998
yang menyempurnakan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No.
23Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dan UU No. 24 Tahun 1999 tentang
Lalu-Lintas Devisa.
2. Stabilitas sistem keuangan bertujuan agar terciptanya lembaga dan pasar
keuangan yang stabil guna menghindari terjadinya krisis keuangan yang
mengganggu berfungsinya tatanan perekonomian nasional.
3. Emergency liquidity assistance adalah pemberian bantuan (discount
window borrowing) kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka
pendek (3 s/d 6 bulan) yang dijamin dengan agunan Iikuid dan bernilai tinggi.
Sedangkan emergency solvency assitance adalah pemberian pinjaman
(secured direct lending) kepada bank yang insolvency namun perlu dibantu
karena mempunyai potensi memicu terjadinya systemic risk.
4. Dalam terjadinya krisis yang bersifat sistemik, maka terdapat
kemungkinan bebannya akan ditanggung publik, oleh karena itu LOLR yang
digunakan untuk mengatasi krisis harus melibatkan parlemen dan pemerintah.
5. BI selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran berwenang mengatur
dan mengawasi seluruh aspek perbankan dalam rangka perumusan dan
pelaksanaan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. OJK akan memiliki
kewenangan terhadap seluruh aspek penggunaan dan pengawasan bank,
sedangkan LPS akan memiliki kewenangan dalam menetapkan dalam
menetapkan persyaratan keanggotaan, termasuk aspek pengawasan dan
pemeriksaan bank yang terkait dengan kepentingan LPS selaku lembaga
penjamin dana pihak ketiga.
6. Negara-negara yang menerapkan OJK atau Finansial Supervisory Agency
atau FSA antara lain adalah Inggris, Australia, Jepang, Denmark, Canada,
Norwegia, Swedia, dan Korea Selatan.
7. Dalam penjelasan Pasal 34 tersebut dikemukakan bahwa lembaga jasa
keuangan tersebut juga akan mengawasi lembaga-Iembaga keuangan bukan
bank, seperti perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan modal ventura,
perusahaan pembayaran, perusahaan sekuritas, dan lembaga-lembaga lain
yang mengelola dana masyarakat. Dapat dikemukakan bahwa perkembangan
terakhir dari draft RUU OJK, kewengan perijinan dan pengaturan bank
termasuk yang akan dialihkan dari Bl kepada OJK. Walaupun ide ini
mengandung harapan untuk menyelesaikan masalah-masalah di sektor jasa
keuangan, namun kewenangan yang diberikan kepada OJK mengindikasikan
adanya tantangan yang berat bagi lembaga ini untuk mencapai sukses.
8. 15 Pasal 34 UU No.23 Tahun 1999 sebenarnya mengamanatkan pendirian
lembaga ini sebelum 31 Desember 2002, namun ternyata proses pembentukan
penyusunan perangkat aturan, dan pengoperasian OJK ternyata tidaklah
mudah dan tidak dapat dilakukan secara terburu-buru.
9. Sebagaimana dketahui, lebih dari 80% aset industri jasa keuangan di
Indonesia adalah aset industry perbankan.
10. Jumlah bank sebanyak 146 bank, sedangkan BPR sebanyak 7765 bank.
11. The Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) di USA telah
beroperasi sejak tahun 1930-an, berdasarkan Banking Act 1933. UU FDIC
bahkan diperbaiki dengan The Federal Deposity Insurance Corporation
Improvement Act 1991.

You might also like