You are on page 1of 23

BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI

ISLAM (Bag. 1)
 
SEBUAH PENGANTAR

Sebuah kotak korek api yang dipegang miring sehingga orang yang di sebelah kanan akan
melihat suatu gambar sedang orang yang berada di sebelah kiri akan melihat gambar yang
berbeda dengan apa yang dilihat orang di samping kanan. Semuanya melihat korek api tapi
dalam perpekstif yang berbeda. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang lain yang berdiri di sisi
yang berlawanan dengan kita, apalagi yang sifatnya menghujat atau menyalahkannya. Karena
kita tidak berdiri pada sisi yang sama dengannya.

Kebenaran yang hakiki adalah milik Allah, dan kita manusia mempunyai keterbatasan dalam
menaksir suatu kebenaran. Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, tapi ketika berbeda
pendapat, kepala harus tetap dingin, dan menghargai orang lain yang berbeda pendapat dengan
kita.

Adalah sesuatu yang sangat zalim, ketika tercipta pertengkaran dan konflik akibat perbedaan
pandangan, pemikiran dan pendapat. Apalagi ketika merasa diri kita paling benar dan kemudian
menuduh orang lain kafir. Allah swt telah berfirman:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. karena itu orang yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 256)

Alquran menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Ini berarti bahwa kebebasan
beragama merupakan keniscayaan. Ini merupakan  hak  asasi  manusia  yang  harus  dihormati.
Adalah  hak,  bahkan  kewajiban setiap orang untuk meyakini bahwa agamanyalah yang benar,
tetapi pada saat yang sama dia harus menghormati orang lain untuk bersikap sama terhadap
agamanya.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terjadi perang klaim tentang kebenaran dan janji
keselamatan. Hanya agamanyalah yang benar, dan karenanya hanya penganut agama itu yang
akan masuk surga dan mendapat kasih Tuhan. Agama lain adalah agama yang sesat, dan karena
itu penganutnya tidak berhak memperoleh surga dan kasih Tuhan. Mereka  akan masuk  neraka
dan akan mendapatkan murka-Nya.  Adalah hak,  bahkan kewajiban setiap orang untuk meyakini
bahwa agamanyalah yang benar, tetapi pada saat yang sama dia harus menghormati orang lain
untuk bersikap sama terhadap agamanya Padahal, yang maha benar  dan maha tahu  hakikat
kebenaran hanyalah Tuhan. Manusia hanya mencari tahu dan berupaya  memperoleh apa yang
dimaksudkan benar oleh Tuhan itu. Demikian pula dengan surga dan neraka. Bukankah
pemiliknya adalah Tuhan? Berarti, yang berhak memasukkan ke sana pun hanyalah Dia.
Kewenangan itu sepenuhnya  merupakan hak prerogatif-Nya.
Sungguh merupakan kesombongan luar biasa, siapa pun manusia yang mengaku dapat
memasukkan ke surga atau ke neraka. Karena hal itu, sama dengan memposisikan dirinya
dengan  Tuhan.  Setidaknya,  telah  mengambil  alih  kewenangan-Nya. Mungkin perlu
dikemukakan, bahwa berdasarkan firman Allah, “surga itu luasnya seluas langit dan bumi”.
Dibuat seluas itu, nampaknya, supaya dapat menampung seluruh umat yang beriman dan
bertaqwa kepada-Nya, sejak umat nabi/rasul pertama (Nabi Adam) hingga umat nabi/ rasul yang
terakhir (Nabi Muhammad saw.). Rasa-rasanya, surga itu terlalu luas kalau hanya dihuni oleh
penganut agama tertentu, apalagi kalau oleh warga NU, Muhammadiyah, atau PUI saja.

Oleh karena itu, diperlukan saat ini adanya ukhuwah basyariyah, adalah menuntut 
dikembangkan paham Multikulturisme, suatu pandangan yang mendorong untuk menghormati
pihak lain yang berbeda, bukan karena mengakui kebenaran agama lain itu, tetapi karena setiap
orang harus menghormati tradisi pihak lain dalam menyembah Tuhan.

PENDEKATAN STUDI ISLAM

Studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas
Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya.  Dimaklumi 
bahwa Islam sebagai agama dan  sistem ajaran telah  menjalani proses akulturasi, transmisi dari
generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam  ruang budaya yang beragam.
Proses ini melibatkan tokoh-tokoh agama, mulai dari Rasulullah saw., para sahabat, sampai
ustadz dan para pemikir Islam sebagai pewaris dan perantara yang hidup. Secara kelembagaaan
proses transmisi ini berlangsung di berbagai institusi mulai dari keluarga, masyarakat, mesjid,
kuttab, madrasah, pesantren, sampai al-jamiah.  Dalam proses tersebut  para  pemeluk  agama
ini telah  memberikan respon, baik dalam pemikiran ovensif maupun devensif terhadap ajaran,
ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya itu. Dengan demikian, studi
keislaman, dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai
aspeknya dan dari berbagai perspektifnya.

Studi ini menggunakan pola kajian Islamic studies sebagaimana berkembang dalam tradisi
akademik  modern  (barat).  Pola  ini  tidak  sama  dengan  pengertian  pendidikan agama Islam
(al-tarbiyah al-islamiyah), yang secara konvensional lebih merupakan proses transmisi  ajaran 
agama,  yang  melibatkan aspek  kognitf (pengetahuan  tentang  ajaran Islam), afektif dan
psikomotor (menyangkut sikap dan pengalaman ajaran). Pola kajian yang dikembangkan dalam
studi ini adalah upaya kritis terhadap teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman
dengan menggunakan pendekatan-pendektan tertentu,seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf,
historis, antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik dianggap
ilmiah. Dengan pendekatan ini kajian tidak disengajakan untuk menemukan atau
mempertahankan keimanan atas kebenaran suatu konsep atau ajaran tertentu, melainkan
mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang  di dalamnya  untuk ditolak, diterima, maupun
dipercaya  kebenarannya. Kajian dengan pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh para
orientalis atau islamis yang memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam daru luar) dan
insider (pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.

Agama islam ada diantara normatif dan historian, tekstual dan kontekstual. Ada 5 bentuk gejala
agama:
1. Teks, naskah, sumber ajaran, dan simbol-simbol
2. Penganut , pemimpin, pemuka agama
3. Ritus ibadat, lembaga
4. Alat-alat (mesjid, topi/kopiah/peci, sorban, jilbab, dan lain-lain)
5. Organisasi

Islam sebagai produk sejarah:

1. Islam Syiah
2. Islam Sunni
3. Nadhatul Ulama
4. Muhammadiyah
5. Ahmadiyah, dan lain-lain.

Agama dalam bahasa adalah religion, din, millah, yang berarti :

 pengakuan adanya hubungan manusia dengan yang gaib yang harus


 dipatuhi pengakuan adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia
 Pengakuan pada sumber diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan manusia
 Kepercayaan pada kekuatan gaib

STUDI  AL-QURAN

Al-Quran dari sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Quran sebagai tersurat dari nama-namanya
adalah sebagai berikut:

1. Al Huda (petunjuk). Dalam Al-Quran terdapat tiga kategori tentang posisi Al-Quran: 
petunjuk  bagi menusia secara umum (QS.  Al-Baqarah: 185), Alquran sebagai petunjuk
bagi orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah: 2), dan sebagai petunjuk bagi orang beriman
(QS. Fushilat: 44).
2. Al-Furqan (pemisah) antara yang hak dan yang batil.
3. Al-Shifa (obat), berfungsi sebagai obat  bagi penyakit  yang  ada di dalam dada/jiwa (QS.
Yunus : 570).
4. Al-Mau’idzah/nasihat (QS. Ali Imran: 138).
5. Al-Mubin/yang  menerangkan (QS.  Al-Maidah : 15).
6. Al-Mubarak/yang diberkati (QS Al-An’am : 92).

Al-Quran berisi 30 juz, 114 surat, dan ± 6236 ayat. Ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran
terdiri dari :

 Ayat Makkiyah    : sebagai ayat-ayat pokok yang terdiri dari ± 4789 ayat
 Ayat Madaniyah : sebanyak ± 1456 ayat

Apabila ada pertentangan antara makkiyah dan madaniyah, maka yang dipilih adalah
Madaniyah, sedangkan pendapat lainnya adalah sebaliknya.
Rincian penganturan ayat-ayat dalam Al-quran:

 ± 10 ayat tentang hubungan antara kaya dan miskin


 ± 10 ayat tentang kenegaraan
 ± 13 ayat tentang pengadilan
 ± 25 ayat tentang hubungan muslim dan non muslim
 ± 30 ayat tentang pidana
 ± 70 ayat tentang kekeluargaan, perkawinan, dan waris
 ± 70 ayat tentang perekonomian, jual beli, sewa, pinjam meminjam
 ± 136 ayat tentang keimanan, tuhan, malaikat, Rasul, Kitab dan hari Akhir
 ± 140 ayata tentang ibadah, sholat, zakat, puasa, haji
 ± 150 ayat tentang sains (fenomena alam)
 ± 228 ayat yang mengatur dasar-dasar kemasyarakatan, dan seterusnya.

Al-Quran merupakan hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang ada didalamnya
merupakan undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan
jalan qoth’i (absolut), yang kebenarannya tidak boleh diragukan, alasan lain bahwa Al-quran
sebagai mukjizat mampu menundukan manusia yang mau mencoba-coba meniru Al-Quran itu
memang ternyata tidak ada yang mampu meniru.

Macam-macam hukum di dalam Al-Quran :

1. Hukum aqidah (ahkam ’itiqodiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah
yang harus dipercaya oleh mukalaf, yang disebut rukun iman.
2. Hukum-hukum akhlak (Ahkam Khuluqiyah) yaitu hukum yang berkaitan erat dengan
masalah yang harus dipakai setiap mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad),
dan menghindarkan diri dari kehinaan.
3. Hukum Amaliyah (Ahkam ’Amaliyah) yaotu hukum yang erat hubungannya dengan
seluruh tidakan atau perbuatan mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad) dan
kegiatan –kegiatan lainnya dan hidup sehari-hari.

Bila dilihat dari segi hukumnya terbagi 2 bagian yaitu nash yang qoth’i (yang menunjukkan
makna tertentu dan tidak mungkin menerima takwil, atau tidak ada pengertian yang lain selain
makna tersebut) dan nash yang dzanni (nash yang menunjukkan makna yang mungkin menerima
takwil atau mungkin dipalingkan makna asalnya kepada makna yang lain). Dengan kata lain
dapat juga dikatakan bahwa nash tersebut mempunyai beberapa pengertian dan penafsiran.

Sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam menafsirkan ayat Al-Quran :

 Beda dalil yang dipakai


 Beda Paham tentang dalil
 Beda Metoda ijtihad
 Beda Konsep Masalah

Beberapa persoalan tentang Al-Quran :


 Al-Quran Mahluk / kalamullah?
 Sistematis Al-Quran , siapa yang menyusunnya
 Mengapa Indonesia tidak memakai hukum Islam
 Bermazhab
 Bid’ah
 Hadis hubungannya dengan Al-Quran

Kalau ada perbedaan pandangan tentang Islam, lalu dikembalikan pada Al-Quran dan hadist,
persoalan tidak begitu saja selesai. Sebab ayat yang terdapat dalam Al-Quran sebagai berpotensi
untuk diartikan lain. Al-Quran sebagai gudang, petunjuk, obat, yang dapat dipahami secara
tekstual dan kontekstual. Jangan berada dalam perdebatan yang proporsional.

http://miftah19.wordpress.com/2010/01/18/berbagai-cara-pendekatan-studi-islam-bag-1/

STUDI  AL-HADIS

Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan
pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru)
sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits dapat
pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga
mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang
diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.

Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut sebagian ulama
hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa, dan
akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya menjadi rasul. Berbeda dengan al-
Thibby dan lainnya yang berpendapat bahwa hadis tidak hanya segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw., akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para sahabat dan
tabi’in.

Sedangkan pengertian hadis menurut disiplin ilmu ushul fiqh adalah ucapan-ucapan Nabi saw.
yang berkaitan dengan hukum. Namun, bila ia mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang
berkaitan dengan hukum dinamakan sunnah. Dan pengertian hadis/sunnah menurut pandangan
ulama ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan
sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”.

Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut pandang masing-
masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis maupun sunnah adalah hal
yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, disamping mereka juga berpendapat
bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun
yang berasal dari beliau dapat diterima sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis
merupakan salah satu sumber atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam
bidang hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi
yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah
sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan
melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala dan tidak
disiksa orang yang meninggalkannya.

Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi
redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu al-
Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi
Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari
generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena
sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian
disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berbohong.
Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.

Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun
seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw.
Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang
menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis
hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi
otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.

Diantara naskah-naskah hadis sebelum Umar bin Abd al-‘Aziz memerintahkan pengumpulan dan
penulisan hadis, antara lain:

 Al-Shahifah al-Shahihah (Shahifah Humam),


 Al-Shahifah al-Shadiqah,
 Shahifah Sumarah bin Jundub,
 Shahifah Jabir bin ‘Abdullah,
 Shahifah ‘Ali bin Abi Thalib.

Dapat disebutkan beberapa faktor hadis di masa  Nabi saw. belum dibukukan, yaitu:

 Larangan Nabi saw. untuk tidak menulis al-Qur’an, selain untuk catatan pribadi, sehingga
al-Qur’an dapat terjaga kemurniannya.
 Nabi saw. selalu hadir di tengah-tengah umat Islam sehingga tidak memerlukan
ditulisnya hadis.
 Kemampuan baca-tulis masyarakat ketika itu sangat terbatas, sekalipun ada maka
difokuskan pada penulisan al-Qur’an.
 Saat itu umat Islam sedang berkonsentrasi kepada al-Qur’an.
 Kesibukan umat Islam yang luar biasa menghadapi perjuangan da’wah Islamiyah.

Menurut penelitian para ahli hadis, pada garis besarnya kitab-kitab hadis itu dapat
diklasifikasikan kepada:

 Kitab Hadis Shahih, yaitu kitab yang hanya menghimpun hadis-hadis shahih saja
menurut masing-masing penulisnya. Seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan  seterusnya.
 Kitab Sunan, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis termasuk hadis dha’if
(lemah/palsu) yang dijelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Seperti, Sunan al-Tirmizi,
al-Darimi, al-Baihaqi, dan seterusnya.
 Kitab Musnad, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis tanpa menyaringnya. Seperti
Musnad Ahmad bin Hanbal, Abi ‘Awanah, al-Syafi’i, dan seterusnya.

Diantara kitab-kitab hadis tersebut, yang dinilai terbaik adalah 6 kitab hadis yang secara
berurutan: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-
Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Keenam kitab ini disebut Kutub al-Sittah. Sementara ulama lain
menambahkan 3 kitab hadis lainnya, yaitu Musnad Ahmad, al-Muwaththa’ dan Sunan al-Darimi
sehingga menjadi 9 kitab yang kemudian disebut Kutub al-Tis’ah.

Suatu hadis terdiri dari 3 unsur. Pertama, matn (materi hadis). Suatu matn hadis yang baik ialah
apabila hadis itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau matn hadis lain yang lebih kuat
sanad-nya, tidak pula bertentangan dengan rasio, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Untuk mengetahui hal ini dibutuhkan ilmu ‘Ilal al-Hadis, Nasikh wa al-Mansukh, Ma’ani al-
Hadis, Gharib al-Hadis, Syaz al-Hadis, Talfiq / Mukhtalif al-Hadis, Asbab al-Wurud al-Hadis,
dan Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis.

Kedua, sanad (rangkaian rawi). Sanad yang baik ialah sanad yang bersambung (muttashil) rawi
(periwayat)-nya, baik dalam kedudukannya sebagai penerima maupun penyampai hadis, mereka
pernah bertemu, bahkan rawi penerima pernah berguru kepada rawi penyampainya. Jika diantara
mereka ada yang tidak memenuhi persyaratan tersebut maka hadis yang diriwayatkannya adalah
mursal (terputus) yang berarti mardud (tertolak). Penelitian sanad dapat dilakukan dengan
menggunakan ilmu Thabaqat al-Ruwah, Fann al-Mubhamat, dan Tahammul wa al-Ada’.

Ketiga, rawi (orang yang meriwayatkan hadis). Rawi yang dapat diterima periwayatannya
haruslah tsiqqah (terpercaya), yakni memenuhi syarat ‘adil (benar, tidak pernah dusta, jujur, dan
tidak biasa berbuat dosa (kualitas kepribadian)), dan dhabith atau hafizh (kuat hafalan, tidak
pelupa, punya catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan (kualitas intelektual). Untuk
mengetahui kualitas rawi, dibutuhkan ilmu Rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, dan Tarikh al-
Ruwah.

Gejolak Pemikiran Tentang Hadis

Ulama yang cukup tersohor dalam bidang penelitian dan kritik hadis pada masa kodifikasi hadis,
diantaranya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam al-Bukhari. Keduanya ini dikenal cukup ulet dan
teliti dalam mencari, mengumpulkan, menyaring, mengkritisi, dan membukukan hadis-hadis
Nabi.

Al-Syafi’i berhasil menegakkan otoritas hadis dan menjelaskan kedudukan serta fungsi hadis
nabi secara jelas dengan alasan-alasan yang mapan. Dengan pembelaannya itu, ia memperoleh
pengakuan dari masyarakat sebagai Nashir al-Sunnah (Pembela Sunnah). Bahkan ia dipandang
sebagai ahli hukum Islam yang berhasil merumuskan konsep ilmu hadis.
Dari sisi lain, al-Syafi’i juga dipandang sebagai perintis dalam perumusan kaidah-kaidah ilmu
hadis. Seperti di dalam kitabnya al-Risalah yang banyak terdapat rumusan-rumusan yang
berkaitan dengan ilmu hadis, terutama persyaratan rawi dan hal-hal yang berkaitan dengan ‘ilat,
syaz, dan ikhtilaf hadis.

Ulama lainnya adalah Imam al-Bukhari yang salah satu karyanya, Shahih al-Bukhari, menjadi
salah satu kitab hadis yang utama. Meskipun banyak dikritik oleh para ulama, namun al-Bukhari
dapat dikatakan sebagai pencetus ilmu-ilmu hadis, baik dalam prakteknya ketika ia
mengumpulkan hadis maupun dalam teori yang banyak ia tulis dalam kitab-kitabnya yang lain.
Dalam menjaring hadis yang shahih, setidaknya al-Bukhari menggunakan 5 kriteria, yaitu: (a)
rawi yang berkualitas kepribadiannya (‘adalah); (b) rawi yang tinggi kapasitas intelektualnya
(dhabth); (c) sanad yang bersambung (ittishal al-isnad); (d) tidak ada cacat pada sanad dan
matn-nya; dan (e) matn hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis mutawatir.

Pada masa modern, cukup banyak ulama masa kini yang melakukan kajian terhadap hadis. Sebut
saja misalnya, Musthofa al-Siba’i, Muhammad al-Ghazali, Zainuddin al-‘Iraqi, Rif’at Fauzi ‘Abd
al-Muthallib, Mahmud Abu Rayyah, Mahmud al-Thahhan, ‘Ajaj al-Khatib, Nuruddin ‘Atar, dan
masih banyak lagi. Di Indonesia, walau masih tergolong sedikit, tetapi cukup berperan dalam
kajian hadis dan ilmu hadis. Seperti Ali Musthofa Yakub, Quraish Shihab, M. Luthfi Abdullah,
dan lainnya.

Dari sisi outsider, Mereka mengkritisi dan mengingkari hadis dari berbagai segi, diantaranya
pengingkaran terhadap penulisan dan penghafalan hadis, tidak dapat dibedakan antara hadis
shahih dan palsu akibat kodifikasi yang terlambat, pengingkaran sistem isnad dan rawi,
pengingkaran adanya konsensus tentang ke-shahih-an hadis, dan seterusnya.

Upaya mereka tersebut, meskipun hanya dalam bentuk wacana, tetapi sedikit banyak
mempengaruhi pikiran dan asumsi masyarakat muslim, khususnya mereka yang awwam menjadi
mudah teracuni. Maka untuk menjawab tantangan tersebut, para ulama dan pemikir Islam
bangkit untuk menangkis pemikiran-pemikiran kaum outsider yang mengingkan kehancuran
Islam. Terjadilah perang intelektual antara kaum orientalis dan kaum ulama Islam di berbagai
penjuru dunia. Namun, usaha memerangi pemikiran orientalis tidaklah cukup bila tidak diiringi
dengan usaha penanaman kembali nilai-nilai Islam pada masyarakat muslim itu sendiri.

STUDI  ILMU KALAM (TEOLOGI)

Adalah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (ushuluddin),
Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan  berupaya  membuktikan  keabsahannya
dan  menjawab  keraguan terhadap akidah-akidah pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran, hadist,
pemikiran manusia. Obyek Pembahasan Ilmu Kalam :

1. Masalah pengetahuan (al-Ma’rifah) cara memperolehnya, tujuan mengukuhkan


keyakinan mengenai pengetahuan informatif    (al-ma’rifah al-khariyyah), khususnya
yang  dibawa oleh Rasul,  tujuannya untuk  meng-counter pandangan Thummamiyyah
dan safsata’iyyah (sofisme) yang menolak pengetahuan informatif.
2. Masalah kebaruan alam (huduts al’alam) yang bertujuan membuktikan kewujudan zat
yang maha pencipta. Ini merupakan bantahan terhadap filosofi .
3. Masalah Keesaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini
eksistensi tuhan cahaya  (al-nur) dan tuhan kegelapan (al-zulmah).
4. Masalah  sifat  Allah dan  hubungannya  dengan  zat-Nya,  apakah zat-Nya  sama dengan
sifatnya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap kaum Mu’tazilah yang
terpengaruh filsafat Yunani. Ketika konsep jawhar (substansi) dan ‘arad (aksiden)  serta
aqnumiyah (oknum  dalam  teologi  kristen)  yang digunakan untuk menjustifikasi konsep
teologis mereka, dimana Tuhan dianggap akumulasi dari Bapak, anak, ruh kudus.
5. Masalah  tanzih (pensucian)  Allah  dan  penolakan  tasybih (penyeruan  Allah), tujuan
untuk  membantah pandangan orang  yahudi yang  menambahkan Tuhan dengan ciri-ciri
manusia.
6. Masalah  kalam  Allah,   baik  qadim  maupun  baru,   ini  terpengaruh  dengan
pandangan teologi Kristen mengenai al-Masih yang dianggap sebagai kalimatullah.
menurut teologi Kristen, Al-Masih adalah Tuhan sedangkan pandangan Islam, beliau
adalah Kalimatullah.
7. Masalah Kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan pada kenabian
Muhammad SAW, dan mengkonter sekte Sabi’ah dan Brahmana (Hindu) yang menolak
kebutuhan manusia pada nabi, Juga membantah orang-orang yahudi dan Nasrani yang
menolak kenabian Muhammad.
8. Masalah ke-ma’shum-an para Nabi yang bertujuan membantah pandangan Yahudi bahwa
Nabi mempunyai kelemahan, dosa, dan tidak Ma’shum.
9. Masalah tempat  kembali (al-mi’ad)  yang  membantah pandangan reincarnation
(penjelmaan kembali) Agama Budha dan lainnya.
10. Masalah al-jabr   wa al-iktiyar (keterbatasan dan kebebasan berkehendak)  yang
terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat Yunani.

Sejarah Kemunculan Permasalahan Ilmu Kalam

1.   Aliran Khawarij

Kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik atas terbunuhnya Ustman bin Affan yang
berbuntuk penolakan Mua’wiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara
Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi Perang Shifin yang berakhir dengan
keputusan Tahkim, dimana Ali menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan Mu’awiyah.
Mereka berpendapat persoalan yang terjadi tidak  dapat  diputuskan  dengan  tahkim,  semboyan
mereka  hukum  harus  kembali kepada Al-Quran. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah
berbuat salah dan mereka meninggalkan barisannya, sehingga mereka disebut khawarij.

Menegaskan  bahwa orang  yang  berdosa besar  adalah  kafir.  Dalam arti telah keluar dari Islam
atau telah murtad dan wajib dibunuh. Mereka umumnya berasal dari suku Badawi, kehidupannya
di padang pasir yang tandus, sehingga mereka hidup bersifat sederhana  baik dalam cara hidup
dan pemikiran, keras hati, radikal, bengis dan suka kekerasan, fanatik berfikiran sempit, tidak
dapat mentolerir hal-hal yang dianggap menyimpang dalam pandangan keislamannya. Sehingga
merekapun dengan mudah terpecah belah menjadi golongan kecil-kecil. Sehingga dapat
dimengerti mengapa mereka terus mengadakan perlawanan dengan penguasa jamannya.
Golongan Khawarij ada 8 yang terbesar yaitu : Al-Muhakkimah, Al- Azariqah, Al-Nadjat, Al-
Baihasiyyahn, Al-ajaridah, Al-Sa’alibah, dan Al-Shufriyah.

2.  Aliran Murji’ah

Nama murjiah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan,
pengharapan.memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan
dan rahmat  Allah (arja’a) atau orang  yang  menunda penjelasan kedudukan seseorang  yang 
bersengketa yaitu  Ali dan Muawiyah serta pasukannya.

Murjiah  menangguhkan penilaian terhadap orang  yang  terlibat  dalam peristiwa tahkim
dihadapan Allah. Karena Allah lah yang mengetahui iman seseorang. Demikian pula orang-
orang  mukmin yang  melakukan dosa besar dianggap tetap mukmin/bukan kafir selama ia tetap
mengucapkan 2 kalimat syahadat.

Terdapat nama-nama seperti Al-Hasan Ibnu Muhammad bin Ali bin bi Thalib. Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan beberapa ahli hadist. Menurut Abu Hanifah, Iman adalah pengetahuan dan
pengetahuan adanya Tuhan, Rasul-rasulnya dan tetang segala yang datang dari Tuhan dalam
keseluruhan tidak dalam perincian: Iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan
tidak ada perbedaan diantara manusia dalam hal iman.

3.  Aliran Qadariyah

Qadariyah berasal dari bahasa Arab yaitu qadara (kemampuan dan kekuatan), aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri, penekanan pada kebebasan
manusia dalam mewejudkan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan melaksanakan
kehendaknya, menentukan keputusan . dalam surat Al-Rad ayat 11, Allah
berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu
mengubah keadaan diri mereka sendiri.

4.  Aliran Mu’tazilah

Ajaran Mutazilah yang mengalami jaman kejayaan pada saat peradaban Islam the golden age
(abad 7 abad sampai abad 13). Ketika itu muncul banyak ilmuwan seperti Ibnu Sina (bapak
kedokteran), Ibnu Khawarijmi (bapak matematika). Aliran Mu’tazilah mengakar dari paham
qadariyah. Secara harfiah, mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah. dibina oleh
Wasil bin Ata. (lahir 81-131  H), belajar pada Hasan al-Basri salah satunya.

Ada 5  pokok  ajaran Mu’tazilah  yang  menjawab masalah akal dan wahyu dalam menjawab
persoalan teologis yaitu: (1) Al-Tauhid, yaitu Kemahaesaan Tuhan, Tuhan Maha Esa, zat yang
Unik dan tiada yang serupa dengan dia. (2) Al-adl, yaitu Keadilan Tuhan, Dari sini timbullah
paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, manusia harus bertanggung jawab
kepada perbuatannya,  paham  al-shalih  wa-ashlah,  wajib  bagi  Tuhan  berbuat  baik  kepada
manusia, mengirin nabi-nabi untuk menyampaikan segala yang diketahui akal, wajib untuk tidak
memberi beban diluar batas kemampuan, terikatnya tuhan kepada janji-janji-Nya dan
sebagainya,  (3) Al-Wa’d wa al-wa’id,  memiliki arti Tuhan wajib memberi pahala bagi orang
yang berbuat baik dan wajib menghukum orang yang berbuat mungkar di akherat. (4) Al-
Manzilah bayna al-manzilatain, yaitu pemposisian di tengah bagi pembuat dosa besar, mereka
tidak kafir tetapi juga tidak mukmin, tidak surga dan tidak juga neraka, tapi posisi siksa ringan
yang terletak diantaranya, (5) Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an Al-munkar, yaitu suatu
perintah berbuat baik dan larangan berbuat  jahat  yang  berhubungan dengan usaha  membina
moral dan suatu kontrol sosial.

5.  Aliran Jabariyah

Jabara mengandung arti memaksa, menurut Al-Syahrastani, jabariah berarti menghilangkan


perbuatan dari hamba seorang hakikat dan menyadarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT.
Paham ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang kemasyarakat arab. Di hadapan
alam yang tandus, ganas, berpasir, indah namun kejam, menyebabkan jiwa mereka dekat kepada
Zat yang Maha. Dengan semata-mata tunduk, patuh pasrah. Al-Shaffat ayat 96, ditegaskan: Allah
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.

6.  Aliran Asy’ariyah

Nama  lengkapnya Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-asyari 260 H/873M –  324 H/935M),
keturunan  Abu  Musa  Al-Asyari.,  salah  satu  perantara  dalam  sengketa antara Ali dan
Mu’awiyah. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal yaitu Al-Jubba’i ,
yang diikutinya sampai ia berumur 40 tahun, setelah bersembunyi selama 15 hari, kemudian ia
pergi ke Mesjid Basrah dan di depan orang banyak, mula-mula dia mengatakan bahwa: Quran itu
mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat mata kepala. Dia tidak lagi sepaham dengan mu’tazilah yang
melibatkan akal di atas  segalanya. Ia mengkawatirkan  quran  dan Hadist  yang  menjadi korban
paham-paham mu’tazilah yang menurutnya pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena
didasarkan atas pekerjaan akal dan pikiran. Abu  Hasan  al-Asy’ari  tampil  dengan  konsep  kasb
(perolehan,  acquisition)  yang cukup rumit. Yakni, manusia tetap dibebani kewajiban
melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan
berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia
bukanlah dalam keadaan tak berdaya seperti kata kaum Jabari, tapi karena usahanya toh tidak
berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk bebas yang
menentukan sendiri kegiatannya seperti kata kaum Qadari. Dan jika Allah memberi kita pahala
(masuk surga), maka itu hanyalah karena kemurahan-Nya (bukan karena amal perbuatan kita),
dan jika dia menyiksa kita (masuk neraka) maka itu hanyalah karena keadilan-Nya (juga bukan
karena semata perbuatan kita).

7.  Aliran Maturidiyah

Abu Mansur ibnu Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkhan pada pertengahan ke-dua dari abad ke
9, wafat tahun 944 M, ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham- paham teologi nya banyak
persamaan dengan Abu Hanifah. Pendapatnya    tentang  perbuatan manusia, Al-Maturidi
sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai faham Qadariyah dan bukan jabariah,
Mengenai orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa-dosa besarnya akan
ditentukan Tuhan kelak di akherat,  iapun menolak paham posisi  menengah kaum Mu’tazilah.

http://miftah19.wordpress.com/2010/01/18/berbagai-cara-pendekatan-studi-islam-bag-2/

STUDI  TASAWUF

TASAWUF, menurut etimologi, AHLU SUFFAH = kelompok orang pada zaman rasulullah
hidupnya banyak di serambi serambi mesjidm mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah
kepada Alah. Ada lagi mengatakan Tasawuf berasal dari kata SHAFA, orang yang bersih dan
suci, orang yang menyucikan dirinya Di hadapan Allah. Ada yang mengartikan berasal dari
bahasa Yunani SAUFI yang berarti kebijaksanaan. SHUF yang berarti bulu domba (wol).

Tasawuf  berdasarkan istilah,  (1)  Menurut  Al-Jurairi,  Memasuki  segala  budi (Akhlak) yang
bersifat suni dan keluar dari budi pekerti yang rendah. (2) Menurut Al- Junaidi,  ia  memberikan
rumus bahwa tasawuf adalah bahwa  yang  hak adalah  yang mematikanmu dan Hak-lah yang
menghidupkanmu. Adalh beserta Allah tanpa adanya penghubung.

Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu
perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita,
memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari
hawa nafsu.mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki
barang-barang yang penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat
manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh
Rasulullah dalam hal syariat.

Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu
perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita,
memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari
hawa nafsu. Mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki
barang-barang yang penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat
manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh
Rasulullah dalam hal syariat.

Fase perkembangan tasawuf :

1. Fase Askestisme (zuhud). Berkembang pada abad kedua Hijriah, sikap semacam ini
dipandang pengantar kemunculan tasawuf diman setiap individu dari kalangan muslim
memusatkan dirinya pada ibadah dan pendekatan diri pada Allah SWT, mereka tidak
mementingkan kenikmatan duniawi dan kemudian berpusat pada kenikmatan akherat,
Tokoh yang populer pada fase ini adalah hasan Al Basri (110 H) dan Rabiah Al
Adawiyah (185 H) keduanya dalam sejarah disebuth seorang zahid
2. Fase Akhlaki. Pada fase ini tasawuf berkembang pada abad ketiga Hijriah, dimana para
sufi mulai ekspansi pada wilayah prilaku dan moral manusia. Pada saat manusia ketika
itu berada ditengah-tengah terjadinya dekadensi moral yang cukup akut, sehingga dari
sini tasawuf mulai berkembang dengan pesat sebagai ilmu moral keagamaan dan
mendapat respon yang baik dari masyarakat islam, dari sini kemudian nampaklah bahwa
ajaran tasawuf semakin sederhana dan mudah dipraktekkan dengan standar akhlak.
3. Fase Al-Hallaj. 1 abad kemudian, muncul tasawuf jenis lain yang lebih ekslusif dan
fenomental yang  diwakili oleh al-Hallaj,  beliau  mengajarkan tentang  kebersatuan
manusia dengan Tuhan Konsep yang dibawanya adalah wahdatul wujud (bersatu dengan
wujud yang satu). Dari konsep ini kemudian Al-Hallaj diputuskan bersalah dan harus
dihukum mati, untuk sebuah konsistensi paham tasawufnya, Dimana masyarakat islam
masih sangat indentik dengan jenis tasawif aklaki, kemudian al- Hallaj dianggap
membahayakan stabilitas umat.
4. Fase Tasawuf Moderat. Kemunculan tasawuf pada fase ini, muncul sekitar abad kelima
hijriyah dengan seorang  tokohnya  yaitu  Imam  Ghazali,  yang  sepenuhnya  hanya
menerima tasawuf yang  berdasarkan al-Quran dan Al-Hadist, serta menekankan kembali
askestisme. Al-Ghazali telah berhasil menempatkan prinsip-prinsip tawawuf yang
moderat, akibat pengaruh kepribadian iman al-Ghazali yang begitu besar, maka pengaruh
tasawuf  dengan  dasar  moderat  ini  telah  meluas  hampir  keseluruh pelosok dunia
islam, lalu  mulailah bermunculan para tokoh sufi yang kemudian mengembangkan
tarekat  tertentu  untuk  murid-murid  mereka,  seperti  Sayyid Ahmad Ar-Rijai dan
Sayyed Abdul Qadir Jaelani.
5. Fase Tasawuf Falsafi. Pada fase ini tasawuf mulai dipadukan dengan filsafat yang
muncul pada abad ke 6 Hijriah, tokoh yang muncul Syuhrowardi al Maqtul (549 H), Syek
Akbar Mulyadin Ibn Araby (638 H) dan Ibn faridh (632 H) mereka memcoba
menggabungkan pola pikir tasawuf yang akhlaki dan askestisme dengan filsafat yunani
khususnya neo-Platonisme. Teori –teori yang mendalam khususnya mengenai jiwa,
moral, ilmu tentang wijud menjadi hal yang urgensi dalam prinsip berfikir mereka.

Pemikiran Tasawuf Akhlaki

Tasawuf disini dimaksudkan untuk merubah dan memperbaiki akhlak yang mulia. Dalam
pemikiran  ini tidak  hanya  bersifat  lahiriyah tapi juga  batiniyah,  dengan latihan (riyadoh)
tujuannya adalah menguasai hawa nafsu. Untuk  itulah tasawuf akhlaki  menerapkan  terapi 
pembinaan  mental  dan  akhlak  yang  disusun  sebagai berikut :

1. Terapi takhalli adalah  mengosongkan  diri dari prilaku  dan akhlak  tercela, adalah
langkah awal yang harus dijalani seorang sufi, untuk memasuki dunis tasawuf yang suci.
Kerena akhlak tercela adalah perangkap kenikmatan duniawi.  Sebagai  penghalang
perjalanan  seorang  hamba  pada  Tuhannya, untuk mencapai spiritual yang hakiki,
Akhlak tercela lainnya yang paling berbahaya adalah Riya(suka pamer). Imam Al-
Ghazali menganggap penyembuhan diri yang masuk dalam politeisme.
2. Terapi Tahalli, dilakukan agar seseorang dihiasi oleh sikap, prilaku dan Akhlakul
karimah, Tahp ini dilakukan setelah tahap pertama selesai, lalu mereka akan selalu
berusaha   berjalan   diatas   ketentuan   agama,   tahap   ini   adalah   isi   dari pembersiha
diri dan pengosongan jiwa. Beberaoa hal yang harus diisi dalam menghiasi beberapa
prilaku tadi adalah :

1)        Taubat: penyesalan sungguh-sungguh dalam hati yang disertai dengan permohonan.
2)        ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang dapat menimbukan dosa itu
kembali

3)        Cemas  dan  Harap  adalah  sikap  mental tasawuf  yang  selalu  bersandar kepada salah
seorang tokoh yaitu hasan Al-Basri yaitu suatu perasaan yang timbul karena banyak yang
berbuat dosa dan lalai kepada Allah.

4)        Zuhud yaitu sikap mental sufi yang melepaskan diri dari ras ketergantungan terhadap
kenikmatan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akherat yang abadi.

5)        Al-faqr, sikap bermakna, dimana seorang sufi tidak menuntut lebih banyak dari apa yang
telah dimiliki, sehingga tidak menuntut sesuatu yang lain. Sikap ini merupakan benteng terhadap
pengaruh kenikmatan duniawi dan menghindari keserakahan, Pada prinsipnya sikap ini adalah
rentetan dari sikap zuhud, hanya saja zuhud lebih eksrim sedangkan faqr adalah sekedar.

6)        Pendisiplinan, sikap inipun pada gilirannya akan menimbulkan sikap wara dalam diri sufi.

7)        Al-Shabr adalah hal yang paling  mendasar dalam tasawuf kaena sabar mengandung
makna keadaan jiwa yang kokoh stabil, konsekwensi dalam pendirian, walaupun godaan dan
tantangan begitu kuat, sikap ini dilandasi satu anggapan bahwa segala sesuatu terjadi merupaka
kehendak Allah dan kita  harus  menerimanya  dengan  sabar,  tapi  iktiar  juga  tetap  harus
dijalankan.

8)        Ridha,  sikap  ini  merupakan  kelanjtan  dari rasa  cinta  yang  merupakan perpaduan
Mahabbah dan sabar, Ridho dalam hal ini mengandung makna lapang dada, berjiwa besar, hati
terbuka terhadap apa yang bersadar dari Allah baik menerima ketentuan agama dan masalah
nasib itu sendiri.

9)        Muraqqabah,  sikap  ini  adalah  berarti  mawas  diri  atau  lebih  tepat  nya dengan  self
correction,  sikap dimana kita siap  siaga setiap  saat  untuk meneliti keadaan diri sendiri. Sikap
ini berawal dari sebuah landasan pemikiran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengamati
setipa gerak dan langkah kita selama hidup di dunia.

3.     Terapi Tajalli merupakan pemantapan dari tahap tahlli yang bermakna nur ghaib, yaitu
dengan menghayati rasa keber Tuhanan lebih mendalam yang kemudian menimbulkan rasa rindu
yang amat sangat kepada sang Tuhan, karena kaum sufi berpendapat untuk mencapai
kesempurnaan kesucian jiwa, hanya dapat ditempuh dengan satu jalan yaitu cinta kepada Allah
secara mendalam, maka jalan menuju tuhan akan terbuka dengan lebar.

http://miftah19.wordpress.com/2010/01/18/berbagai-cara-pendekatan-studi-islam-bag-3/

STUDI ISLAM PENDEKATAN FILOSOFIS

Yang dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha
untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan analisis spekulatif.
Pada dasarnya filsafat adalah berfikir untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan
menjawab suatu persoalan. Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan
menjawab permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis radikal dan
universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu
bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan
yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan demikian filsafat yang
menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata
(teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau
menerima segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan. Filsafat
selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif,
sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya yang selanjutnya bisa
mendatangkan kebijaksanaan (wisdom) dan menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran
agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang sering dipahami dan
menggejala di kalangan umat selama ini.

STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  SOSIOLOGI

Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan manusia lain,
interaksi seseorang induvidu dengan individu  yang  lain, atau individu dengan kelompok
masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat,
organisasi dengan organisasi.

Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan
meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur
Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil
tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian
tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang mempunyai latar
belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan
pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang
digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita.

Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit.
Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang
validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah
pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi
sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa
sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan
kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan
memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.

Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori
kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan,
diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode
empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial
menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran
agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan
untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan
ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang
reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.

Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa
teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme
integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol,
dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek
empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas
sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak
jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama
dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.

Namun, terdapat kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan
mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel
yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan
perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi,
dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan
metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu
sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi
pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.

Meskipun demikian, harus diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan
studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah satu
disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada
wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai dengan fokus
keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang
dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah
satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan
sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas
aktivitas lainnya.

Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka
akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek
Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai.
Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama,
maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit
jika dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau
kekuatan sosial.

STUDI ISLAM PENDEKATAN ANTROPOLOGIS

Antropologi dalam KBBI didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang
asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau.
Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang studi
yang lebih elegan dan luas. Sehingga nilai-nilai dan pesan keagamaan bisa disampaikan pada
masyarakat yang heterogen.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan
komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai
budaya. Pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep
manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya
posisi manusia dalam Islam.

Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka
teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.

Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang
intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan
kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk
dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai
kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Namun, dampak dari pendekatan seperti ini
bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.

Ketiga pendekatan setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile
Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life, telah
mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus
menggabungkannya secara struktur.

Obyek studi antropogis terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite,
upacara, totem, dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson obyek ini ada 4 kelompok :

1. Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi


sistemnya, semacam soal totem.
2. Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
3. Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
4. Praktik ritual sampingan seperti soal magik, ekstase dan orakel.

Monograf atau penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek
pendekatan antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran dalam
antropologi agama, diantaranya :

1.    Aliran Fungsional

Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942).


Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun
sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional. Baginya tujuan
dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran masyarakat sederhana dan
hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan pandangan mereka tentang dunia.

2.   Aliran Historis


Tokoh aliran antropologi histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri
antropologi historisnya adalah :

 Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan,
dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti
sendiri.
 Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari
masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan
analisis structural.
 Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur
masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.

E.E.Evans Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional
seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia menganalisis arti konsep-
konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth yang berarti semacam hantu,
berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol
dan ritus-ritus mereka. Disamping itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin
menemukan apa yang dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala
yang berada di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.

3.    Aliran Struktural

Tokoh pendekatan antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek
favoritnya adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan
mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan
budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam
mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang diwarisi
manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan
tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya adalah segala sesuatu yang diwarisi secara
tradisi sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia
primitif.

http://miftah19.wordpress.com/2010/01/18/berbagai-cara-pendekatan-studi-islam-bag-4/

STUDI ISLAM PENDEKATAN FENOMENOLOGIS

Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan
bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif
netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan
rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam
tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang
lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.

Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia


merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan
yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu
penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih
baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi
agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah
meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai
agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di
luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi
agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan
dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi
fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi
sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.

Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti
sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya.
Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi
data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan
hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek
kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab
pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang
digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan
ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang
keyakinan Islam.

Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk
mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas
fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang
akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari
struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam
membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.

Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini
karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk
mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan
pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang
diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi
lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno.

STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  HISTORIS

Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah meninjau suatu permasalahan dari sudut
tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan menggunakan
metode analisis sejarah. Sejarah atau histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-
peristiwa atau kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya.
Sejarah memang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, namun peristiwa masa lalu
tersebut hanya berarti dapat dipahami dari sudut tinjau masa kini dan ahli sejarah dapat benar-
benar memahami peristiwa atau kejadian masa kini hanya dengan petunjuk-petunjuk dari
peristiwa kejadian masa lalu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan
mempelajari masa lalu orang dapat mempelajari masa kininya dan dengan memahami serta
menyadari keadaan masa kini maka orang dapat menggambarkan masa depannya. Itulah yang
dimaksud dengan perspektif sejarah. Di dalam studi Islam, permasalahan atau seluk beluk dari
ajaran agama Islam pelaksanaan serta perkembangannya dapat ditinjau dan dianalisis dalam
kerangka perspektif kesejarahan yang demikian itu.

STUDI  ISLAM PENDEKATAN  KAWASAN

Pokok bahasan setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama  adalah fakta agama dan
pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan
keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-
tindakan, seperti do’a, upacara-upacara ritual, konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat
dalam mitos dan simbol, kepercayaan berkenaan dengan yang suci dan sakral, makhluk-makhluk
supernatural, dan sebagainya. Penyelidikan terhadap fenomena agama tersebut dilakukan oleh
berbagai disiplin ilmu. Meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, berbagai disiplin
tersebut memeriksanya dari aspek-aspek khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya.
Wilayah agama tentu selalu merujuk pada tipe karakteristik tertentu terhadap data yang ada
seperti kepercayaan, praktik, perasaan, keadaan jiwa, sikap, pengalaman, dan lain-lain. Oleh
karena itu bangsa yang berbeda menunjukkan karakteristik atau pengalaman yang berbeda pula.
Demikian pula agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling
sublim, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat, dan perdamaian batin individu,
sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Tetapi agama telah pula dituduh
sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme sektarian, dan sifat tidak
toleran, pengacuhan, dan kesia-siaan.

Disamping itu agama memiliki kecenderungan untuk menjadi sponsor ketakhayulan, magic,
dogmatik, kepercayaan, mudah percaya tanpa dipikir dahulu dan kepercayaan pada supernatural.
Sebaliknya agama pun telah memperlihatkan kemampuannya melahirkan kecenderungan yang
sangat revolusioner. Sehubungan dengan persoalan ini timbul pertanyaan atau bahkan keragu-
raguan yang ditujukan kepada hakekat ilmu agama. Apakah ia merupakan disiplin ilmu yang
bersifat teologis, filosofis, historis atau sosiologis?

Perkembangan awal studi agama biasanya melihat perkembangan agama dari interpretasi
sosiologis yang menyebut agama sebagai ‘ilmu primitif’ sehingga sampai pada studi tentang
struktur dalam agama dan berusaha menjelaskan model ilmiah dalam agama. Jika
dikategorisasikan, interpretasi agama ini dapat dibagi ke dalam empat bentuk; intelektualis,
fungsionalis, simbolis dan strukturalis. Di sebut penelitian agama bukan hanya karena
metodenya, tetapi karena bidang kajiannya. Pada intinya, bidang kajian agama ada dua, yakni
beliefs (ajaran) dan practices (praktik-praktik agama atau keagamaan). Ajaran adalah teks, baik
tulisan maupun lisan, yang sakral dan menjadi rujukan bagi pemeluk agama. Keberagamaan
adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung pada ajaran. Keberagamaan
muncul dalam lima dimensiaa: ideologis, intelektual, ekspresiensial, ritualistik, dan
konsekuensial. Ada problem lain yang muncul sebagai tantangan dalam studi Islam sehubungan
dengan kajian-kajian agama yang menggunakan disiplin empiris ini. Misalnya, bisakah agama
didekati secara ilmiah ? Bukankah agama sudah mutlak benar karena didasarkan kepada wahyu?
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mirip.
SEBUAH AKHIR PENDEKATAN STUDI ISLAM

Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama
pada masa sebelum abad ke –19 memiliki beberapa karakteristik yaitu, sinkritisme, penemuan
area baru, dan untuk kepentingan misionari. Dipicu oleh semangat dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi agama mengalami
perubahan.

Studi-studi agama tidak lagi bersifat bersifat primordial atau bersifat hanya untuk kepentingan
penyebaran agamanya, tetapi lebih didorong oleh semangat metodologis atau ilmiah, yakni
berangkat atas dasar kepentingan dan perkembangan ilmu pegetahuan. Maka muncullah berbagai
kajian agama dengan metode dan pendekatan yang beragam pula, sesuai dengan kecenderungan
dan keahlian akademik para masing-masing sarjana (penstudi) itu sendiri.

Beberapa kecenderungan pengkajian agama dapat dilihat setidaknya atas tiga alasan, yaitu;
pertama, kemajuan pesat ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemikiran-pemikiran ilmiah
mempengaruhi dinamika beragam sehingga minat intelektual untuk mengkaji agama secara lebih
mendalam sangat tinggi. Kedua, kecenderungan untuk merekonstruksi agama dalam upaya
mengembangkan semua urusan dunia. Ketiga, pengaruh-pengaruh sosial, politik, dan peristiwa-
peristiwa internasional yang mempengaruhi agama-agama.

Dari berbagai macam pendekatan studi Islam di atas timbul suatu metode studi Islam yang secara
lebih rinci dan dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Metode Diakronis

Suatu metode mempelajari Islam menonjolkon aspek sejarah, metode ini memberikan
kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam, sehingga umat Islam memiliki pengetahuan yang relevan hubungan
sebab akibat dan kesatuan integral. Lebih lanjut umat Islam mampu menelaah kejadian sejarah
dan mengetahui lahirnya tiap komponen, bagian subsistem dan supra sistem ajaran Islam.
Wilayah metode ini lebih terarah pada aspek kognitif.

Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris yakni suatu metode pemahaman terhadap
suatu pemahaman terhadap suatu kepercayaan sejarah atau kejadian dengan melihatnya sebagai
suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan,
golongan dan lingkungan dimana kepercayaan sejarah atau kejadian itu muncul. Metode ini
menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber
dasarnya yakni al-Qur’an dan as-Sunnah serta latar belakang masyarakat, sejarah, budaya di
samping sirah nabi SAW dengan segala alam pikirannya.

2.      Metode Sinkronis-Analitis

Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat
berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-
mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis. Metode
diakronis dan metode sinkronis analitis menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:

1. Islam adalah agama wahyu Illahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya
cipta dan rasa manusia.
2. Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya (QS. Al-Maidah: 3)
3. Islam merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan subsistem serta
komponen dengan bagian-bagiannya dan secara keseluruhan merupakan suatu struktur
yang unik.
4. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pada yang ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali
Imron: 104)
5. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengn jalan yang
hikmah dan penuh kebijaksanaan (QS. An-nahl: 125)

3.      Metode Problem Solving (hill al musykilat)

Metode mempelajari Islam untuk mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai
masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya.

4.      Metode Empiris (Tajribiyyah)

Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya
melalui prosed realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam dengan
suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses
interaktif dapat dirumuskan dan suatu sistem norma baru.

Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:

1. Norma (ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam
(QS. Ali Imron: 104)
2. Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah (QS. Al-fath: 29)
3. Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan akhirat (Asy-Syura:
13).
4. Ajaran Islam sebagai ilmu pengetahuan (QS. Al-baqoroh: 120, at-Taubah: 122)
5. Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif (QS. Fushilat: 53)

5.      Metode Deduktif

Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis
dan selanjutnya kaidah-kaidah itu diaplikasikan untuk menentukan masalah yang dihadapi.

6.      Metode Induktif (al-Marhal al-Istiqariyyah)

Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan
kepada masalah-masalah furu’ yang disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Prosedur
pelaksanaan metode induktif dapat dilakukan dengan empat tahap yaitu:
1. Adanya penjelasan dan penguaraian serta menampilkan topik yang umum.
2. Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara menghubungkan hubungan masalah
tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk menghindari masuknya bahasan yang
tidak relevan.
3. Identifikasi masalah dengan mensistematisasi unsur-unsurnya dan
4. Implikasi formulasi yang baru tersebut.

http://miftah19.wordpress.com/2010/01/18/berbagai-cara-pendekatan-studi-islam-bag-5-selesai/

You might also like