Professional Documents
Culture Documents
• Home
• Cara Pemesanan
Advetorial • Maaf mbak, file nya
udah bisa dibuka kok,
makasih ya...
Dina
HP:081 802 566 xxx
14 06 2009 • Halaman
Serbuan produk impor China tak tertahankan lagi. Setelah keikutsertaan Indonesia dalam
kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) berlaku efektif awal tahun 2010,
arus masuk produk impor China terus menunjukkan peningkatan. Tercatat nilai impor sektor
non migas dari China sepanjang Januari hingga Oktober 2010 mencapai US$ 15,913 miliar.
Meningkat US$ 5,161 miliar atau 48% dibandingkan nilai impor periode yang sama tahun
sebelumnya yang sebesar US$ 10,752 miliar (Kontan, 02 Desember 2010). Akibatnya pasar
nasional banyak dibanjiri produk impor China.
Celakanya, serbuan produk impor China berpotensi mengancam eksistensi produk usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM) di pasaran. Seperti diketahui, produk impor China
banyak memiliki keunggulan dibanding produk UMKM. Selain harganya lebih murah,
produk impor China memiliki banyak varian dan model yang menarik. Dikhawatirkan
masyarakat akan lebih memilih produk impor China daripada produk UMKM.
Hal ini harus segera diantisipasi. Jika tidak, sedikit demi sedikit keberadaan produk UMKM
di pasaran akan hilang dan digantikan oleh barang impor China.
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan produk UMKM kalah bersaing
dengan produk impor China. Pertama, rendahnya penguasaan teknologi produksi oleh pelaku
UMKM. Hingga saat ini masih banyak pengusaha UMKM yang melakukan proses produksi
secara manual dengan sistem yang tradisonal. Hal ini membuat produktifitas menjadi rendah
dan sebaliknya biaya produksi menjadi tinggi. Akibatnya harga produk UMKM di pasar
menjadi tidak kompetitif. Selain itu waktu pengerjaan juga menjadi lebih lama sehingga
seringkali tidak bisa memenuhi pesanan dalam jumlah besar.
Kedua, lemahnya penguasaan teknologi informasi. Hal ini membuat sistem administrasi dan
manajemen keuangan UMKM menjadi lemah. Akibatnya operasional dan manajemen
UMKM tidak berjalan efektif dan efisien.
Ketiga, terbatasnya jaringan atau network yang dimiliki UMKM. Hal ini menyebabkan
UMKM tidak maksimal dalam melakukan promosi dan pemasaran produk. Sehingga
seringkali hasil produk UMKM tidak dapat menembus pasar padahal kualitas produknya
cukup baik.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah membentuk klaster
usaha mikro, kecil dan menengah. Berdasarkan SK Menteri Negara Koperasi dan UKM No.
32 tahun 2002, klaster usaha mikro, kecil dan menengah didefinisikan sebagai pusat kegiatan
UMKM pada sentra yang telah berkembang, ditandai dengan munculnya pengusaha-
pengusaha yang lebih maju, spesialisasi proses produksi dan kegiatan ekonomi yang terkait
dan saling mendukung.
Pembentukan klaster dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan UMKM dengan
mengintegrasikan usaha sektor hulu dan hilir dalam satu kawasan terpadu sehingga tercipta
efisiensi dan efektifitas proses produksi. Dengan menggabungkan dan mengintegrasikan
pelaku UMKM dari sektor hulu dan hilir dalam satu klaster maka akan tercipta sebuah supply
chain management sehingga proses produksi, standarisasi mutu dan pengiriman hasil
produksi kepada konsumen menjadi lebih efisien dan efektif.
Selain itu, pembentukan klaster UMKM juga memberikan beberapa manfaat lain.
Diantaranya, pertama, pembentukan klaster akan memudahkan terjadinya transfer knowledge
dan transfer technology. Sehingga secara bertahap kompetensi pengusaha UMKM dalam
proses produksi, pengelolaan keuangan dan administrasi bisnis dapat makin meningkat.
Kedua, mempermudah kegiatan promosi. Dengan adanya sistem klaster, pengusaha UMKM
tidak perlu melakukan promosi masing-masing. Mereka hanya perlu memperomosikan
klaster sebagai sebuah kesatuan usaha. Ketika order datang, pekerjaan akan dibagi sesuai
spesialisasi dan kompetensi masing-masing.
Dengan berbagai manfaat tersebut diatas, pembentukan klaster UMKM seharusnya dapat
menghasilkan produk unggulan yang mampu bersaing dengan produk impor China.
Sayangnya, masih ada beberapa kendala dalam pembentukan klaster. Pertama, sulitnya
menyatukan pelaku usaha dalam satu area tertentu. Seperti kita tahu, pembentukan klaster
menuntut penyatuan bisnis inti, pendukung dan pelengkap dalam satu area agar bisa saling
bersinergi secara optimal. Namun, minimnya ketersediaan lahan dan mahalnya harga tanah
dan bangunan menyebabkan proses pembentukan klaster tidak mudah.
Kedua, minimnya ketersediaan infrastruktur pendukung. Pada sebagian besar klaster,
penyediaan infrastruktur pendukung sangat tergantung pada inisiatif dan kemampuan
pengusaha UMKM. Masalahnya, modal pelaku UMKM sangat terbatas. Sehingga seringkali
pengusaha UMKM tidak dapat membangun infrastruktur baru dan hanya memanfaatkan
infrastruktur yang sudah ada meskipun minim.
Ketiga, minimnya kreatifitas pelaku UMKM untuk menciptakan berbagai bisnis yang saling
mendukung. Kebanyakan pelaku UMKM melakukan duplikasi atas bisnis yang sudah
berkembang. Akibatnya timbul persaingan antar pelaku usaha di dalam klaster dan cenderung
saling mengalahkan.
Keempat, ketergantungan terhadap trend dan munculnya usaha besar. Pada sebagian klaster
UMKM, pembentukan klaster lebih disebabkan oleh spontanitas akibat trend bisnis atau
munculnya usaha besar yang memunculkan booming produk tertentu. Pada saat terjadi
booming, produktifitas klaster meningkat untuk memenuhi tingginya pesanan produk. Akan
tetapi sebaliknya, saat trend sebuah produk mulai berkurang atau usaha besar mengurangi
volume usahanya, produktifitas kegiatan dalam klaster juga ikut menurun.
Beberapa faktor tersebut diatas menyebabkan manfaat pembentukan klaster UMKM menjadi
tidak optimal. Untuk itu diperlukan partisipasi aktif pemerintah dalam hal; Pertama,
penyediaan lokasi tertentu yang bisa digunakan untuk pengembangan klaster. Penyediaan
lahan ini bisa dilakukan langsung oleh Pemerintah Daerah bekerja sama dengan instansi
terkait atau bekerja sama dengan pengusaha besar yang sudah mendirikan usahanya.
Nantinya pengusaha UMKM harus membayar sewa lahan atau membeli dengan cara
mengangsur kepada penyedia lahan.
Kedua, penyediaan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan oleh pelaku usaha baik dalam
bentuk fisik maupun non fisik. Dengan tersedianya infrastruktur yang dibutuhkan, kegiatan
produksi dalam klaster dapat berjalan lebih optimal.
Ketiga, pendirian lembaga pengembangan bisnis (LPB) atau business development services
(BDS). LPB atau BDS didirikan untuk menjadi mitra bagi pelaku usaha mikro, kecil dan
menengah dalam pengembangan klaster dan memberikan layanan pengembangan bisnis
dalam rangka meningkatkan kinerja, memperluas akses pasar dan mempermudah akses
permodalan bagi UMKM.
Dengan adanya peran aktif pemerintah tersebut diatas, diharapkan pembentukan klaster
menjadi lebih optimal sehingga dapat dihasilkan produk-produk UMKM yang berkualitas
tinggi yang mampu bersaing dengan produk impor China dan produk luar negeri lainnya.
(pernah dimuat di Harian KONTAN, 23 Desember 2010)
STRATEGY MENGHADAPI
PERDAGANGAN BEBAS ( ACFTA )
March 29th, 2010 • Related • Filed Under
Filed Under: Umum
STRATEGY MENGHADAPI
PERDAGANGAN BEBAS ( ACFTA )
Pasti kita sudah mengetahui Indonesia secara geografis terletak di Asia Tenggara bersama
dengan sembilan negara lainnya. Atas dasar kesamaan letak geografis maka dibentuklah
suatu organisasi bernama ASEAN (Asosiation South East Asia Nation).Dalam organisasi
tersebut terjalinlah suatu kerjasama dagang dalam wadah AFTA.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara
ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan
daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis
produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. ASEAN
Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada
hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota
ASEAN.
.
. Perkembangan terakhir AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea
masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia,
Philippines, Singapura,Thailand,Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.
Sebagai Con toh : Vietnam menjual sepatu ke Thailand, Thailand menjual radio ke Indonesia,
dan Indonesia melengkapi lingkaran tersebut dengan menjual kulit ke Vietnam. Melalui
spesialisasi bidang usaha, tiap bangsa akan mengkonsumsi lebih banyak dibandingyang dapat
diproduksinya sendiri. Namun dalam konsep perdagang tersebut tidak ada hambatan tarif
(bea masuk 0-5%) maupun hambatan non-tarif bagi negara – negara ASEAN melalui skema
CEPT-AFTA.
AFTA Sendiri dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di
Singapura tahun 1992. Pada pelaksanaan perdagangan bebas khususnya di Asia Tenggara
yang tergabung dalam AFTA proses perdagangan tersebut tersistem pada skema CEPT-
AFTA. Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program tahapan
penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-
negara ASEAN sehingga dalam melakukan perdagangan sesama anggota, biaya operasional
mampu di tekan sehinnga akan menguntungkan.
Dalam skema CEPT-AFTA barang – barang yang termasuk dalam tarif scheme adalah semua
produk manufaktur, termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta produk-
produk yang tidak termasuk dalam definisi produk pertanian. (Produk-produk pertanian
sensitive dan highly sensitive dikecualikan dari skemaCEPT).
Dalam skema CEPT, pembatasan kwantitatif dihapuskan segera setelah suatu produk
menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan non-tarif dihapuskan dalam jangka waktu 5
tahun setelah suatu produk menikmati konsensi CEPT.
Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan
meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN
Mulai awal tahun ini Indonesia 1 Januari 2010 terjadi pelaksanaan kesepakatan Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN-China. Idonesia bersama negara-negara ASEAN dan CINA
dalam perekonomiannya melakukan kegiatan perekonomian kawasan perdagangan pasar
bebas. Akibat nya terjadi pro dan kontra dampak yang akan di timbulkan dari kegiatan ini .
Di Indonesia, para pendukung Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA)
melihat pelaksanaan kesepakatan perdagangan itu akan bermakna besar bagi kepentingan
geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan. Pertumbuhan
perekonomian China yang relatif pesat waktu itu menjadikan Negara Tirai Bambu itu salah
satu aktor politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan Indonesia dan ASEAN. Mereka
yang berpendapat kritis terhadap kesepakatan perdagangan ini melihat potensi ambruknya
industri domestik di Indonesia yang akan kesulitan menghadapi tantangan dari membanjirnya
impor produk murah dari China.
Kita juga mengetahui perdagangan bebas (liberalization of trade) tidak bisa di hindari dari
suatu perekonomian suatu negara yang terbuka. Perdagangan bebas telah menciptakan sebuah
akselerasi dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Dahulu, merkantilisme yang berkarakteristik
proteksionisme mendorong terjadinya penjajahan Barat atas Asia dan Afrika. Negara Barat
pertama kali memperkenalkan perdagangan bebas ke negara-negara Asia, banyak yang
merespon dengan skeptisisme serta melihat hal ini tak lain adalah bentuk imperialisme gaya
baru. Perdagangan bebas telah bertransformasi menjadi macan-macan Asia yang sekarang
malah sebaliknya membuat takut negara-negara Barat yang memperkenalkan pasar Bebas.
World Bank merilis sebuah laporan yang menyatakan ”bahwa eliminasi total terhadap
hambatan dalam perdagangan akan mengangkat puluhan juta orang dari kemiskinan. Bagi
negara-negara berkembang, liberalisasi perdagangan dapat menjadi powerful tool bagi
penghilangan kemiskinan dalam masyarakat” karena dengan dihilangkannya hambatan
perdagangan, tentu akan membuat harga barang semakin murah sehingga purchasing power
masyarakat semakin meningkat. perdagangan bebas merupakan salah satu instrumen dalam
menciptakan kemakmuran.
Banyak Permintaan sejumlah pengusaha lokal Indonesia untuk menunda pelaksanaan penuh
ACFTA tapi sebenarnya kurang beralasan., Karena Indonesia, seperti negara Asia Tenggara
lain, telah diberikan tenggang lima tahun untuk mempersiapkan diri.dan pemerintah malah
semakin aktif mendorong terbentuknya kesepakatan perdagangan bebas bilateral dengan
negara-negara mitra dagang utama lain, seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan
Uni Eropa.
Akan tetapi terjadi permasalahan utama bagi pengusaha local adalah ketidakimbangnya
antara produk impor dengan harga produk yang di hasilkan oleh para pengusaha local
Indonesia sehingga harga produk yang di hasilkan oleh pengusaha local relative lebih mahal.
Masyarakat di berbagai negara berkembang dan di negara miskin yang sudah terlibat dalam
perdagangan bebas bilateral sudah dapat melihat bahwa kesepakatan ini dapat berdampak
cukup serius terhadap kelangsungan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik di negara-negara
tersebut. Apindo menengarai Indonesia belum siap menghadapi perdagangan bebas dengan
Cina, sang raksasa manufaktur. Menurut Apindo, FTA akan membuat 7,5 juta pekerja
industri manufaktur kehilangan pekerjaannya. Beberapa pengamat melihat CAFTA hanya
akan merugikan Indonesia karena hanya akan membuat defisit perdagangan dengan Cina
semakin membesar. Selain itu, CAFTA akan menghancurkan industri manufaktur lokal.
Namun apakah penundaan FTA merupakan sebuah solusi permanen atau hanya penyelesaian
jangka pendek dari permasalahan mendasar dari industri manufaktur kita.
Sebelum era perdagangan bebas ASEAN-China diberlakukan pun, kita sudah tak berdaya
menghadapi gempuran barang impor ilegal dari China. Neraca perdagangan Indonesia
dengan China juga berapor merah dalam lima tahun terakhir. Impor dari China lebih besar
daripada ekspor kita ke `Negeri Tirai Bambu’
Banyak Permintaan sejumlah pengusaha lokal Indonesia untuk menunda pelaksanaan penuh
ACFTA tapi sebenarnya kurang beralasan., Karena Indonesia, seperti negara Asia Tenggara
lain, telah diberikan tenggang lima tahun untuk mempersiapkan diri.dan pemerintah malah
semakin aktif mendorong terbentuknya kesepakatan perdagangan bebas bilateral dengan
negara-negara mitra dagang utama lain, seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan
Uni Eropa.
Strategy Menghadapi Perdagangan Bebas Menurut Mentri Perdagangan dan Pengamat
Ekonomi
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Ardiansyah Parman memaparkan jurus
menghadapi ACFTA. Antara lain:
- Meningkatkan daya saing, pengamanan perdagangan dalam negeri serta penguatan
ekspor.”Untuk penguatan daya saing pihak Kementerian akan melaksanakan pembenahan
infrastruktur dan energi, pemberian insentif, membangun KEK (Kawasan Ekonomi Khusus),
memperluas akses pembiayaan dan pengu-rangan biaya bunga, pembenahan sistem logistik,
pelayanan publik, serta penyederhanaan peraturan dan meningkatkan kapasitas kerja,”
- Strategi pengamanan pasar domestik akan difokuskan kepada pengawasan tingkat border
(pengamanan) serta peredaran barang di pasar lokal. Namun pihaknya juga akan melakukan
promosi penggunaan produksi dalam negeri. Sedangkan untuk penguatan industri, pihak
Kementerian Perdagangan berupaya mengoptimalkan peluang pasar China dan ASEAN
sekaligus penguatan peran perwakilan luar negeri. Kementerian berusaha mengembangkan
kebijakan dan diplomasi perdagangan di forum internasional, menjaga pertumbuhan
(Ekonomi, menekan kesenjangan kesejahteraan masyarakat dan lainnya,” Kementerian
Perdagangan telah menetapkan beberapa program dan kegiatan yang bertujuan meningkatkan
daya saing komoditi ekspor serta mengamankan perdagangan dalam negeri.
Anggota DPR Komisi VI F-Ge-rindra Edhy Prabowo mengharapkan kalangan industri bisa
merubah stigma ancaman dari ACFTA jadi sebuah peluang untuk bersaing dan meningkatkan
hasil produksi.
Menurut Pengamat Ekonomi Untan, Evi Asmayadi mengefektifkan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 56/2008 yang mengharuskan setiap barang impor yang masuk ke
Indonesia harus lolos verifikasi Sucofindo.Hasil verifikasi itu bisa dicantumkan dalam bentuk
sertifikat yang ditempel di setiap barang produk impor yang masuk ke pasar Indonesia.
Kemudian segera diberlakukan penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI) terhadap
produk impor, termasuk produk buatan Cina yang akan masuk. Selanjutnya, SNI harus
diberlakukan terhadap produk-produk buatan pabrik milik perusahaan Cina yang ada di
Indonesia. “Penerapan SNI ini penting untuk menciptakan standarisasi produk-produk impor
yang masuk ke Indonesia, yang tak kalah penting adalah membenahi faktor-faktor yang
menyangkut peraturan dan perijinan, meminimalisir ekonomi biaya tinggi, menurunkan suku
bunga kredit, mempercepat pembangunan dan perbaikan infrastruktur, khususnya listrik,
jalan, air bersih, dan pelabuhan, kemudian meningkatkan kualitas entrepreneur dan tenaga
kerja, teknologi produksi, pemasaran, keuangan, iklim usaha dan investasi.
Pemberlakuan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China atau ASEAN-China Free Trade
Area (ACFTA) mulai Januari 2010 sudah terlanjur kita hadapi. Suka atau tidak suka dan siap
atau tidak siap, kita harus siap, ini tak bisa lagi dihindari, ini harus kita hadapi dan dijalani.
jadikanlah pemberlakuan ACFTA ini sebagai kesempatan, bukan semata-mata ancaman yang
dipandang sebagai momok menakutkan. , ancaman harus dipandang sebagai pelecut agar
dapat berlari mengejar ketertinggalan melalui berbagai upaya yang inovatif, kreatif, dan
sinergis.
Kesimpulan
Produk cina tentunya sudah lama masuk di Indonesia tetapi sekarang produk cina
mengancam pembisnis Indonesia, Hal ini di karenakan produk Cina yang terkenal murah
sudah membuat pebisnis lokal ketar-ketir. Namun karena ACFTA, Januari ini, 83% dari
8.738 produk impor Cina bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai bea masuk. Wajarlah
terjadi kecemasan, dulu pun telah membawa dampak, apalagi sekarang yang tanpa di kenakan
bea masuk.
Produk cina sangat murah pasti ada penyebabnya yaitu :
Cina unggul di 12 faktor kompetisi bisnis (GCI Cina di 29, Indonesia di 54). Kecuali faktor
efisiensi pasar barang dan jasa, Cina menang telak di faktor sistem birokrasi yang cepat-tepat,
infrastruktur, stabilitas ekonomi, inovasi bisnis, efisiensi tenaga kerja dan ukuran pasar
(sehingga mampu mencapai economies of scale).
Cina menerapkan strategi Reverse Engineering atau imitasi, sehingga mengurangi biaya riset
& pengembangan, serta dapat memproduksi barang yang bervariasi dalam waktu singkat.
adanya tax free policy selama tiga tahun pertama untuk perusahaan joint venture, subsidi
13,5% dari pemerintahan lokal dalam bentuk tax refund, pinjaman bank yang hanya 3% per
tahun, serta banyaknya industri pendukung sehingga industri Cina tidak perlu mengimpor
barang. Mata uang yuan yang dipatok terhadap US$ membuat harga ekspor barang Cina
menjadi sangat murah.
sistem politik di Cina lebih terbuka dan tidak memberangus kritik lagi sehingga mendorong
perbaikan bersinambung. Contohnya, ada pertemuan tahunan yang disebut Chinese
Economists Society.
Adanya jejaring keluarga. Pebisnis Cina bisa menekan biaya pemasaran karena menggunakan
jejaring ini untuk promosi.
Ada trust antarpedagang, terutama kredit yang dilandasi guanxi (hubungan). Guanxi ini tidak
hanya pada keluarga, tetapi juga kesamaan asal daerah, sekolah dan persahabatan.
investasi luar biasa di sektor pendidikan. Pada 1998, 3,4 juta pelajar masuk ke universitas.
Empat tahun kemudian, pendaftaran universitas naik 165% dan siswa Cina yang ke luar
negeri naik 152%. Setelah lulus mereka kembali dan membangun negerinya. Walau awalnya
hanya menjadi pabrik alih daya, karena SDM-nya sudah menguasi teknologi, tak
mengherankan perusahaan Cina seperti Lenovo bisa membeli IBM Thinkpad, Huawei
mengancam Cisco dan Ericsson, serta Haier mengejar GE, Whirlpool dan Maytag.
walau upah tenaga kerja hampir sama, buruh Cina bekerja lebih efisien (Cina di peringkat 32,
Indonesia di 75 dari 133 negara). Produktivitas pekerja Cina naik 6% per tahun (1978-2003).
Di Cina, satu produk butuh seorang pekerja. Di Indonesia, butuh tiga pekerja.
Permasalahan Industri dan Perdagangan Indonesia
1. Industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara lain,
terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri (industrially
developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi ini merupakan
salah satu faktor tersembunyi yang menjadi penyebab kegagalan dari berbagai sistem industri
dan sistem ekonomi di Indonesia.
2. Tataran nasional maupun internasional, sistem industri Indonesia tidak memiliki
kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya sangat lemah dalam
mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-tindakan preventif untuk
menghadapi terjadinya perubahan tersebut. Tuntutan perubahan pasar dan persaingan antar
industri secara global tidak hanya mencakup perubahan di dalam corak, sifat, kualitas, dan
harga dari komoditas yang diperdagangkan, tetapi juga tuntutan lain yang muncul karena
berkembangnya idealisme masyarakat dunia terhadap hak azasi manusia, pelestarian
lingkungan, liberalisasi perdagangan, dan sebagainya.
3. Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk ke
Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang
luar negeri.
4. Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang
berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif yang berkaitan dengan (i)
tersedianya sumber daya alam – seperti hasil perikanan, kopi, karet, dan kayu; dan (ii)
tersedianya tenaga kerja yang murah – seperti pada industri tekstil, alas kaki, dan barang
elektronik. Keunggulan komparatif, bukan keunggulan kompetitif, inilah yang dijadikan
acuan untuk menarik investor.
5. Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk
bahan mentah (raw material), sehingga nilai tambah yang diperoleh sangat kecil. Misalnya
Indonesia mengekspor kayu dalam bentuk gelondongan, yang kemudian diimpor lagi dalam
bentuk mebel (furniture) karena terbatasnya penguasaan desain dan teknologi finishing.
6. Masih relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
sistem pendidikan formal dan pola pelaksanaan pelatihan yang cebderung masih bersifat
umum dan kurang berorientasi pada perkembangan kebutuhan dunia usaha. Selain itu,
rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat dari pola penyerapan tenaga kerja di masa
lalu yang masih mementingkan pada jumlah tenaga manusia yang terserap (labor intensive)
ketimbang kualitas tenaga manusianya (labor efficiency).
Kebanyakan Masyarakat Indonesia pada umumnya lebih berminat produk cina karena ia
menawarkan tarif yagng lebih murah dari pada produk dalam negri indonesia sendiri hal ini
di pengaruhi oleh daya beli masyarakat dan pendapatan yang di hasilkan tiap bulannya .
Karena sebagian besar masyarakat indonesia adalah para petani yang rentan dengan
kemiskinan dan tingkat daya beli nya rendah sudah pasti memilih menggunakan produk cina
yang murah dari pada produk Indonesia
Menurut saya cara mengatasi perdagangan bebas di indonesia yang paling sederhananya
adalah dengan mencintai produk indonesia sendiri . Sebaiknya masyarakat tidak berfikir
singkat untuk membeli produk cina tersebut umpamanya : kita membeli hp cina yang sangat
murah 3x lipat dari pada hp nokia, dengan fitur dan fasilitas lengkap seperti hp nokia
yangagak mahal jika di bandingkan harga sepintas masyrakat tentunya memilih hp cina
karena harganya murah dan fasilitasnya lengkap akan tetapi jika kita berfikir jauh ke depan
apakah kualitas hp cina tu sama dengan hp nokia, apakah jika di jual kembali harga tidak
jatuh, akan kan mudah mencari sperpat hp cina , apakah awet dalam penggunaan nya, apakah
mudah rusak dsb. Sudah tentunya hal-hal demikian harus lebih di fikirkan sebelum kita
memutuskan untuk membeli hp tersebut .
Kita harus mencontoh negara jepang yang maju. Negara tersebut lebih kecil wilayahnya dan
tidak banyak mempunyai sumber daya alam dari pada negara Indonesia tetapi Masyarakat
negara Jepang lebih mencintai produk negri nya sendiri dari pada produk impor. Mereka
tidak mau membeli produk impor karena mereka menyadari bahwa jika industri lokalnya
mati maka perekonomian negaranya juga akan terpukul . Jauh berbeda dengan masayarakat
indonesia yang lebih menyukai produk impor mungkin karena gengsi atau sebagai kebanggan
mereka dapat membeli produk impor . Contohnya masyarakat kalangan atas lebih suka
berbelanja di luar negri dan mengenakan pakaian yang berasal dari luar negri .
Yang saya ingin ingatkan kualitas produk indonesia tak kalah baiknya dengan produk luar
negri mungkin lebih baik .Sebagai masyarakat Indonesia sudah sepatutnya mencintai produk
negaranya
Rumusan Masalah:
Tulisan ini akan menyoroti tentang:
1. Sejauh mana respon pemerintah dan pengusaha lokal dalam menanggapi
“hegemoni produk Cina di pasar lokal” pasca ratifikasi ACFTA?
2. Apa saja faktor yang menghambat perkembangan produk lokal sehingga kalah
saing dengan produk Cina?
3. Apa rekomendasi solutif untuk membuat Indonesia bisa “survive” dalam arena
pertarungan dengan Cina tersebut?
Kerangka Teori:
Dalam kasus ini teori yang relevan adalah:
1. Konsep “Variabel Sistemile” dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri:
Untuk menganalis alasan di balik kebijakan Indonesia dalam meratifikasi ACFTA
walaupun tanpa disertai oleh kesiapan pasar domestik tersebut -
variabel yang paling relevan adalah Variabel Sistemile – yang diadopsi dari
pemikiran James N. Rosenau dan disempurnakan oleh Holsti. Konsep ini
menyebutkan bahwa: “kebijakan suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor
eksternal yang merujuk pada situasi politik-ekonomi internasional”. Seperti
diketahui bahwa fenomena integrasi pasar kini telah melanda seluruh dunia
(adanya Uni Eropa, NAFTA, dll) – maka sebagai negara yang berdaulat akhirnya
Indonesia pun terstimulasi untuk ikut tergabung dalam formasi integrasi pasar
bebas, dimulai dengan Cina – karena Cina kini merupakan “The Emerging Power”
di Asia.
2. Teori “Comparative Advantage” (Keunggulan Komparatif) – karya David
Ricardo yang mengatakan bahwa; “Dalam mekanisme pasar bebas, suatu
negara akan diuntungkan apabila mampu memproduksi barang dan jasa dalam
kuota masif, namun dengan biaya yang lebih murah dibandingkan negara
saingannya, serta mampu membuat spesialisasi, dengan memproduksi
komoditas unggulan yang tidak bisa diproduksi oleh negara lain. Teori ini-lah
yang dapat menjelaskan mengapa pengusaha domestik “kewalahan”
menghadapi kompetisi dengan Cina.
Pembahasan
Menurut peta perdagangan dunia, ACFTA saat ini merupakan salah satu blok
perdagangan terbesar di dunia. Dengan didukung jumlah akumulatif penduduk
ASEAN plus Cina yang mencapai 1,9 milyar jiwa, ACFTA pantas dinobatkan
sebagai blok perdagangan dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Apalagi
dilihat dari sisi volume perdagangan, nilai perdagangan ACFTA yang mencapai
200 milyar dollar AS, membuat blok perdagangan ini pantas dianugerahi
kategori sebagai blok perdagangan terbesar ke-3 setelah Uni Eropa dan NAFTA.
Data ini mengindikasikan bahwa pasar ACFTA adalah blok perdagangan yang
sangat potensial dan prosfektif. Sehingga kemudian, data itulah yang
menstimulasi para kepala Negara ASEAN dan RRC untuk meratifikasi ACFTA pada
tanggal 4 November 2002 – yaitu dengan ditandatanginya Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and
People’s Republic of China di Phnom Penh, Kamboja.
Esensialnya, dalam formulasi tujuan blok perdagangan ini, tercantumlah 4 poin
elementer yang menjadi landasan utama tujuan kerjasama negara-negara
anggota ACFTA ini. Ke-4 poin tersebut terdiri dari:
1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan
investasi antara negara-negara anggota.
2. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan
jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah
investasi.
3. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan
kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-
negara anggota.
4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif bagi para anggota ASEAN
baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan
pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.
Namun tak diduga akhirnya ACFTA malah menyebabkan Indonesia terjerat dalam
tentakel Cina.
Menyadari implikasi negatif tersebut, publik domestik pun bergolak, lahirlah aksi-
aksi demonstrasi menentang ACFTA – yang marak terjadi di awal hingga
pertengahan tahun 2010. Tema utama yang diangkat adalah “bahwa pelaku
bisnis Indonesia, yang mayoritas UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) belum
siap bertarung dengan Cina”. Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA ini diyakini
sebagai sebuah ajang bunuh diri bagi pasar domestik, karena banyak pihak
meragukan kapabilitas pelaku bisnis domestik untuk memenangkan pertarungan
melawan Cina tersebut. Tanpa ACFTA saja, produk Cina, baik legal maupun
selundupan, telah membanjiri pasar Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia-
Cina terbukti defisit sejak tahun 2008. Ekspor Indonesia ke Cina sebesar US$11,6
milyar, sedangkan impor dari Cina ke Indonesia mencapai US$ 15,2 milyar pada
tahun 2008. Data Januari hingga September 2009, defisit perdagangan
Indonesia-Cina mencapai US$1,7 milyar karena ekspor Indonesia lebih rendah
daripada impor dari Cina. Ini hanya sekelumit bukti otentik bahwa produk
Indonesia terpuruk menghadapi serbuan produk Cina dengan harga murah dan
jumlah yang jauh lebih banyak.
Lebih parahnya lagi, jauh sebelum tahun 2010, Artikel 6 Perjanjian ACFTA
mencantumkan program penurunan tariff yang disebut Early Harvest Programme
(EHP) . Program ini bertujuan untuk mempercepat implementasi penurunan bea
masuk barang. Cakupan produk yang masuk dalam EHP adalah:
• Chapter 01 s.d 08 : Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran,
dan buah-buahan (SK Menkeu No 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang
Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA).
• Kesepakatan Bilateral (Produk Spesifik) antara lain kopi, minyak kelapa/CPO,
Coklat, Barang dari karet, dan perabotan (SK Menkeu No 356/KMK.01/2004
tanggal 21 juli 2004 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang
Dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA).
Program tersebut telah berlaku implementatif terhitung sejak 1 Januari 2004, hal
ini berarti jauh sebelum ACFTA efektif diberlakukan awal tahun 2010 lalu.
Sayangnya, sebelum meliberalisasi pasar domestik, pemerintah tidak sempat
mengidentifikasi seberapa jauh kesiapan sektor riil, UMKM, ekspor, dan industri
domestik. Dengan sangat gegabah mereka meratifikasi perjanjian ACFTA.
Kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini terlihat bagaikan keputusan
yang sangat prematur tanpa disertai kesiapan untuk menanggung
konsekwensinya. Sehingga akhirnya pasar domestik seolah menjadi “gudang”
barang Cina.
Namun semuanya sudah terlanjur terjadi, perjanjian ACFTA tak mungkin lagi
dapat diabrogasi. Namun sepanjang tahun 2010, jika disoroti lebih dalam,
pemerintah belum dapat sempat memformulasikan kebijakan yang dapat
mengeliminasi dampak negatif tersebut secara signifikan. Oleh karena itu,
pemerintah kini masih memiliki banyak 'pekerjaan rumah' yang berkaitan
dengan export chain di tahun 2011 ini.
Dari analisis di lapangan, sepanjang tahun 2010, lemahnya daya saing produk
ekspor Indonesia ternyata disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan
“ekonomi biaya tinggi” yang belum diatasi oleh pemeintah, yaitu:
1. Biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Ini
masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan.
2. Biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor. Pungli
masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan
perijinan baik di pusat maupun daerah. Pemerintah belum secara signifikan
berhasil mengurangi sumber-sumber ekonomi biaya tinggi ini.
3. Rendahnya lokal konten dalam proses produksi industri domestic. Karena
pengusaha domestik masih bergantung pada penggunaan bahan baku impor
yang berkisar antara 28-90 persen.
4. Masih lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri
domestik masih banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”, di
samping juga permasalahan rendahnya produktivitas tenaga kerja industri,
belum terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan
industri skala besar, kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor
industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati “monopoli”, dan masih
terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan Sumatra.
5. Indonesia masih mengalami fenomena rendahnya keunggulan komparatif.
Indonesia belum mampu menetapkan produk unggulannya, bahkan sebagai
negara agraris, Indonesia belum mampu menjadi sentrum produk pertanian.
Lebih jauh jika ingin disebut negara Industri, produk industri lokal pun masih
belum bisa bersaing dengan produk Cina, sebagai contoh, kini Batik Cina pun
kian menggeser eksistensi batik lokal.
6. Kurang signifikan-nya bargaining position Indonesia dalam melakukan
diplomasi ekonomi dengan Cina. Sehingga menyebabkan, hubungan
perdagangan Indonesia-Cina masih diwarnai banyak hambatan. Misalnya adanya
kasus-kasus sengketa perdagangan Indonesia-Cina. Seringkali dalam
penyelesaian sengketa perdagangan, Indonesia lebih sering mengalah dengan
Cina. Bahkan dalam formulasi kebijakan perdagangan pun, Indonesia masih di
bawah tekanan Cina, misalnya saja tentang penetapan tariff 0%, atau masalah
membanjirnya produk batik Cina yang menggeser batik lokal – Indonesia seolah
tak bisa berbuat banyak untuk menekan Cina. Sehingga akhirnya Cina pun
berani melakukan manuver politis yang bersifat intimidatif untuk memaksa
Indonesia membuat kebijakan yang bisa menguntungkan pengusaha Cina,
walupun harus mengorbankan industri lokal.
Kondisi Alam
Kondisi alam 2011 mirip dengan kondisi alam tahun 2010. Di tahun 2010
pergerakan tanah ditekan oleh kayu sehingga pergerakan tanah akan
mengalami masalah. Akibatnya banyak terjadi tanah longsor. Di negara kita
sebenarnya masalah air dan banjir tidak akan selalu dominan. Kalaupun terjadi
banjir itu karena hujan yang merupakan akibat dari ekosistem yang sudah
kacau. Cuaca beberapa tahun terakhir memang sulit untuk diprediksi. Dimusim
yang harusnya kemarau malah terjadi hujan yang terus-menerus. Atau
sebaliknya disaat musim hujan malah terik matahari terus terjadi melebihi waktu
yang seharusnya.
Pada dasarnya, Indonesia berada di asia tenggara yang mempunyai elemen kayu
sehingga diharapkan air akan cukup terkuras oleh elemen kayu ini. Tahun 2011
masih akan terjadi longsor dimana-mana dan gempa bumi sesekali masih akan
mengguncang negeri ini. Namun hal tersebut tidak perlu dikuatirkan secara
berlebihan.
Musibah yang masih akan menghiasai 2011 adalah kebakaran yang masih akan
meluas di mana-mana. Aktivitas gunung berapi pun masih ada. Walaupun
volumenya tak sebesar tahun 2010 namun jika sampai terjadi maka kualitas
letusan tersebut akan lebih besar dari tahun sebelumnya.
Kondisi Ekonomi/Bisnis
Usaha yang cukup bagus di tahun 2011 adalah mereka yang bergerak
dibeberapa bidang yang berelemen api dan kayu. Bisnis yang berelemen api
misalnya kimia, biro jasa, listrik, minyak pembakar, restoran, minyak kelapa
sawit, pertambangan gas dan batu bara.
Sementara itu bisnis yang berelemen kayu yang akan cerah misalnya furnitur,
hasil perkebunan, fashion, kertas, percetakan. Bisnis yang berelemen air
walaupun mengalami sedikit penurunan tapi masih bisa dikatakan cukup
menguntungkan yakni biro wisata/perjalanan, perhotelan, ekspor-impor dan
perikanan.
Disisi lain, bisnis yang berelemen tanah seperti properti, pertambangan yang
elemennya batu/tanah diprediksi tidak baik/ciong. Untuk bisnis yang berkaitan
dengan elemen logam seperti otomotif, keuangan/perbankan akan mengalami
kondisi yang sulit sehingga para pebisnis tersebut harus fight dan mengeluarkan
biaya ekstra untuk berpromosi.
Saham yang terdiri atas berbagai macam produk juga termasuk bisnis yang
berlemen logam. Bagus tidaknya saham tergantung dari produknya. Jika ingin
bermain saham, sebaiknya tetap mengacu pada 5 unsur
(air,api,tanah,kayu,logam) di dalam satu tahun itu seperti apa. Jika mau main di
saham batubara, perlu anda lihat dulu saham perusahaan tersebut milik siapa
dan sehat atau tidak. Khusus untuk saham properti sebaiknya berhati-hati
karena saham tersebut diprediksi tidak akan mengalami kenaikan yang
signifikan.
Kondisi Politik
Presiden SBY ber-shio kerbau dan wapres Boediono ber-shio kambing. SBY cukup
mapan berkuasa namun sayangnya tak memperoleh bantuan yang cukup dari
lingkungannya. Sangat mungkin akan terjadi banyak perpecahan bahkan tak
tertutup kemungkinan koalisi yang ada akan berjalan sendiri-sendiri. Tahun 2011
adalah tahun yang memusingkan untuk RI-1.
Boediono sebagai RI-2 di tahun 2011 akan mendapat siklus yang positif sekali.
Untuk itu, diharapkan RI-1 mau meminta pertimbangan dari RI-2 karena posisi
RI-2 bintangnya/hokinya sangat terang sekali. Walaupun posisinya agak
terombang-ambing, asal bisa menahan diri, Boediono akan tetap mendapatkan
kepemimpinan yang luar biasa. Tahun 2011, Boediono harus berani mengambil
tindakan untuk melangkah. Boediono juga bisa menggalang bantuan dari banyak
pihak. Jadi diharapkan RI-1 bisa menggunakan kemampuan RI-2 untuk melobi
atau melakukan tugas penting sehingga diharapkan negara ini pamornya bisa
meningkat di dunia internasional.
Meskipun demikian RI-2 harus memikirkan secara matang sebelum mengambil
tindakan dan jangan bersikap otoriter karena jika bersikap demikian akan
dimusuhi banyak pihak.
Kondisi Global
Secara fengshui, negara-negara bagian utara dan selatan di tahun 2011 akan
mengalami peruntungan yang cukup bagus termasuk korut dan korsel
hubungannya akan lebih baik dan tidak setegang 2010. Kondisi yang tidak baik
adalah negara bagian barat dan timur seperti masalah israel, asia timur, asia
barat atau tepi barat yang konfliknya masih panjang.
katalogblog.elhusni.com/2011/.../langkah-pemerintah-dan-dunia-usaha-
menghadapi-acfta/ -
arsipberita.com/arsip/dampak-dari-pasar-bebas-di-indonesia.html