You are on page 1of 13

Sastra Lama

Kesusastraan berasal dari bahasa Sanskerta sastra yang berarti "teks yang
mengandung instruksi" atau "pedoman". Dalam bahasa Indonesia, kata ini biasa
digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang
memiliki arti atau keindahan tertentu.

Kesusastraan juga didefinisikan sebagai ilmu atau pengetahuan tentang segala


hal yang bertalian dengan susastra. Kesusastraan di Indonesia terbagi dalam dua
zaman. Zaman Kesusastraan Lama dan Zaman Kesusastraan Baru. Masing-masing
karya memiliki ciri khas tersendiri.

Karya sastra lama lahir dalam masyarakat lama pada zamannya. Masyarakat
pada waktu itu masih memegang adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya sastra
lama biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran
agama.

Karya sastra merupakan hasil cipta rasa manusia. Karya sastra lahir dari
ekspresi jiwa seorang pengarang. Suatu hasil karya dikatakan memiliki nilai sastra jika
isinya dapat menimbulkan perasaan haru, menggugah, kagum, dan mendapat tempat di
hati pembacanya. Karya sastra seperti itu dapat dikatakan sebagai karya sastra yang
adiluhung, yaitu karya yang dapat menembus ruang dan waktu.

Karya Sastra Lama atau Klasik

Karya sastra lama atau klasik lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat
yang masih kental dengan adat istiadat dan lain-lain. Karya-karya kesusastraan lama
sangat dipengarui oleh muatan lokal berupa adat istiadat dan budaya yang berlaku pada
zamannya.

Di antara kesusastraan lama itu adalah pantun, hikayat, gurindam, dongeng,


syair, dan tambo. Jenis-jenis sastra lama ini berpengaruh besar dalam perkembangan
kesusastraan modern di Indonesia.

Pada umumnya, karya sastra zaman klasik cenderung menggunakan lisan


sebagai media penyebarannya. Oleh karena itu, sebuah karya pantun atau dongeng
tidak diketahui siapa pengarangnya. Cerita yang dilisankan itu menyebar dengan cepat
ke berbagai pelosok dan kalangan.

Bentuk sastra lama bermacam-macam. Secara umum karya sastra lama tediri atas
prosa dan puisi.
Istilah prosa diambil dari bahasa Latin yaitu oratio provorsa artinya ucapan langsung.
Dalam kesusastraan, prosa merupakan sejenis karya sastra yang bersifat paparan.
Prosa sering pula disebut karangan bebas karena tidak diikat oleh aturan-aturan khusus
(misalnya rima, ritme
seperti halnya dalam puisi).
Menurut zamannya (masanya) prosa dibedakan menjadi dua periode yaitu prosa
lama
dan prosa baru. Prosa lama sebagai gambaran kehidupan masyarakat pada zaman dahulu,
yaitu kehidupan masyarakat sebelum memiliki rasa kesadaran nasional. Jika dibatasi
dengan tahun, prosa lama ini berkembang sebelum tahun 1900.
Prosa lama dibedakan beberapa jenis di antaranya dongeng, cerita rakyat (fokslore),
cerita pelipur lara, hikayat, tambo, epos
(wiracarita), cerita berbingkai, dan kitab-kitab.

Sastra lama yang berbentuk prosa,umumnya mempunyai ciri-ciri:

1. Ceritanya seputar kehidupari istana. Karena itu bersifat istana sentris.


2. Menggambarkan tradisi masyarakat yang lebih menonjolkan kekolektifan daripada
keindividualan. Sebagai akibat logisnya, sastra lama dianggap milik bersama (kolektif).
3. Konsekuensi dari ciri kedua, sastra lama bersifat anonim, pengarangnya tidak dikenal.
4. Sastra lama bersifat lisan, disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan, dari
mulut.

Pantun

Pantun adalah salah satu jenis karya sastra lama. Pantun berkembang di
masyarakat menggunakan media lisan. Pantun sering disebut sebagai sastra lisan.
Penyebaran pantun dilakukan dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti siapa pengarang pantun. Dilihat dari bentuknya, pantun
termasuk jenis puisi lama.

Pantun merupakan karangan yang terikat bentuk dan aturan. Terikat bentuk
yang terdiri atas bait dan larik. Larik atau baris kesatu dan ketiga merupakan sampiran
dan baris kedua dan keempat adalah isi pantun. Dilihat dari jenisnya, pantun ada
beberapa jenis, yaitu pantun anak-anak, pantun remaja, dan pantun orang tua.

Contoh pantun:

sungguh elok asam belimbing


tumbuh dekat limau mangga

sungguh elok berbibir sumbing


walaupun marah tertawa juga

***

Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian

Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Gurindam

Gurindam termasuk jenis puisi lama. Bentuknya hampir sama dengan pantun.
Bentuk gurindam terdiri atas dua baris. Baris pertama berisi sejenis perjanjian atau
syarat dan baris kedua menjadi akibat atau kejadian yang disebabkan dari isi baris
pertama.

Contoh gurindam:

Barang siapa mengenal Allah,

Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.

***

Barang siapa mengenal diri

Maka telah mengenal akan tuhan yang bahari.

***

Barang siapa mengenal dunia,

Tahulah ia barang yang terpedaya.

Gurindam yang terkenal adalah “Gurindam Dua Belas” karangan Raja Ali Haji.
Gurindam merupakan puisi lama yang berirama dan berisi nasihat dan ajaran kebaikan.

Hikayat

Hikayat termasuk karya sastra lama yang berkembang dalam masyarakat secara
turun temurun. Sebuah cerita hikayat biasanya berhubungan dengan kehidupan istana,
kesaktian senjata, dan kehebatan tokoh ksatria.

Hikayat banyak tersebar di masyarakat. Hikayat kebanyakan ditemukan dalam media


tulis, seperti kertas, daun, bambu, dan kulit binatang yang digunakan pada zaman
dahulu.

Mengidentifikasi Ciri Hikayat sebagai Bentuk Karya Sastra Lama


Hikayat artinya cerita atau riwayat, Secara lengkap, pengertian1 hikayat adalah sejenis
prosa sastra
melayu lama yang ceritanya berkisar pada sikap kepahlawanan tokoh-tokoh istana.
Sebagai karya sastra lama
ciri-ciri hikayat :

a. Ceritanya berkisar pada sikap kepahlawanan tokoh-tokoh istana (istana sentris).


b. Kisahnya bercampur dengan dunia khayal yang dalam banyak hal dilebih-lebihkan.
c. Pada umumnya dihubungkan dengan peristiwa sejarah tertentu.
karya sastra lama berbentuk hikayat misalnya Hikayat Si Miskin, Hikayat Hang Tuah,
Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Sang Boma, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja
Budiman,
dan lain-lain.

Contoh hikayat:

• Hikayat Hang Tuah

Hikayat Hang Tuah Dari Berbagai Versi

Hikayat Hang Tuah - Hikayat Laksamana Hang Tuah ini telah melegenda di
masyarakat Melayu baik itu di Semenanjung, Kepulauan Riau, maupun Riau Daratan.
Banyak simpang siur cerita Hikayat Hang Tuah ini, antara sejarah dan mitos. Maka saya
mencoba menghadirkan Hikayat Hang Tuah dari Berbagai Versi.

Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang
Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di
Sungai Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua
rakyatnya.Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada
istrinya yang bernama Dang Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu,
apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah
mencari pekerjaan.”Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari
langit. Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya.
Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud
pun menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya,
Dang Merdu pun langsung memandikan dan melulurkan anaknya.Setelah itu, ia
memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu
member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga memanggil para
pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai
dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita
ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.”Keesokan harinya, seperti biasa
Hang Tuah membelah kayu untuk persediaan.

Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan
luka-luka. Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke
kampong. Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang
yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah,” Hai, Hang Tuah, hendak
matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?”Maka kata Hang Tuah sambil membelah
kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati
olehnya.”Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju
Hang Tuah samil menghunuskan kerisnya.

Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas
toko!”Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan
memegang kapaknya menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke
hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan
mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu mengayunkan kapaknya ke kepala
orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kata seorang anak yang
menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”Terdengarlah
berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang
Lekui.

Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang
Kesturi bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan
kapak?” Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas
dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian
itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke
istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan
pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah
mereka ke hadapan Sang Raja.

Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya,
Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang
Raja, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang
penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-berita itu sudah lama saya dengar dari
para pegawai-pegawai saya.”Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun
terkejut lalu bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?”Maka
seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak
berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”Maka Baginda
bertitah, “Hai Tumenggung, katakana saja, kita akan membalasanya.”Maka Tumenggung
menjawab, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba
takut, karena yang melakukan hal itu, tuan sangat menyukainya. Baiklah kalau tuan
percaya pada perkataan saya, karena jika tidak, alangkah buruknya nama baik hamba,
seolah-olah menjelek-jelekkan orang itu.

Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka


Baginda bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”Maka Tumenggung
menjawab, “Siapa lagi yang berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-
pegawai hamba memberitahukan hal ini pada hamba, hamba sendiri juga tidak percaya,
lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicara dengan seorang perempuan di istana tuan
ini. Perempuan tersebut bernama Dang Setia.

Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan
dikawal datang untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah
ia, sampai mukanya berwarna merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang
berhati jahat itu, “Pergilah, singkirkanlah si durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak
pernah terdengar lagi di dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu
perwira besar, apalagi di menjadi wali Allah. Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di
puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan.
Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia
berkata, “Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin
mempunyai istri lagi.”Demikianlah cerita Hikayat Hang Tuah.

Hang Tuah Diutus ke Majapahit


Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan terdahulu yaitu Hikayat Hang Tuah Dari
Berbagai Versi. Sebenarnya kalau diceritakan semua, saya rasa buku-buku Hikayat Hang
Tuah telah banyak beredar. jadi Bisa didapatkan denmgan mudah di toko-toko buku
terdekat. Berikut ini cerita Hikayat Hang Tuah sewaktu di utus oleh Raja Malaka ke
Majapahit. Selamat Menikmati.

Raja Melaka mengutus Hang Tuah (Laksamana) mempersembahkan surat dan


bingkisan ke hadapan raja Majapahit, mertua baginda.

Maka Laksamana pun menjunjung duli. Maka dianugerahi persalin dan emas
sepuluh kati dan kain baju dua peti. Maka, Laksamana pun bermohonlah kepada
Bendahara dan Temenggung, lalu berjalan keluar diiringkan oleh Hang Jebat dan Kesturi
serta mengirimkan surat dan bingkisan, lalu turun ke perahu. Setelah sudah datang ke
perahu, maka surat dan bingkisan itu pun disambut oleh Laksamana, lalu naik ke atas
“Mendam Berahi”. Maka Laksamana pun berlayar.

Beberapa lamanya berlayar itu, maka sampailah ke Tuban. Maka Rangga dan
Barit seketika pun berjalan naik ke Majapahit.
Beberapa lamanya maka sampailah ke Majapahit. Maka dipersembahkan Patih Gajah
Mada kepada Batara Majapahit, “Ya,

Tuanku, utusan daripada anakanda Ratu Melaka datang bersamasama dengan


Rangga dan Barit Ketika; Laksamana panglimanya.”

Setelah Sri Batara mendengar sembah Patih Gajah Mada demikian itu, maka titah Sri
Batara, “Jika demikian, segeralah Patih berlengkap.”

Maka sembah Patih Gajah Mada, “Ya Tuanku, adapun patik dengar Laksamana
itu terlalu sekali beraninya, tiada berlawan pada tanah Melayu itu. Jikalau sekiranya dapat
patik hendak cobakan beraninya itu.”

Maka titah Sri Batara, “Mana yang berkenan pada Patih, kerjakanlah!”

Maka Patih pun menyembah lalu keluar mengerahkan segala pegawai dan priyayi akan
menyambut surat itu. Setelah sudah lengkap, maka pergilah Patih dengan segala bunyi-
bunyian.

Hatta maka sampailah ke Tuban. Maka Laksamana dan Hang Jebat dan Hang
Kesturi pun berlengkap memakai pakaian yang indah-indah. Maka surat dan bingkisan itu
pun dinaikkan oleh Laksamana ke atas gajah. Maka Laksamana dan Hang Jebat dan Hang
Kesturi pun naik kuda. Maka Rangga dan Barit Ketika pun naik kuda mengiringkan
Laksmana. Maka di hadapan Laksamana orang berjalan memikul pedang berikat empat
bilah berhulukan emas dan tumbak pengawinanbersampakemas empat puluh bilah dan
lembing bersampakkan emas bertanam pudi yang merah empat puluh rangkap. Maka
segala bunyi-bunyian pun dipalu orang terlalu ramai. Maka surat dan bingkisan itu pun
diarak oranglah ke Majapahit.

Hatta beberapa lamanya berjalan itu, maka sampailah. Maka Laksamana dan
Hang Jebat dan Hang Kesturi pun turun dari atas kuda, berjalan di atas gajah. Maka
Rangga pun berjalan serta berkata, “Mengapa maka Laksamana turun dari atas kuda itu?

Baik Laksamana naik kuda!”

Maka kata Laksamana, “Hai Rangga, adapun adat segala hulubalang Melayu itu, apabila
nama tuannya dibawa pada sebuah negeri itu, maka hendaklah sangat-sangat dihormatkan
dan takutkan nama tuannya itu. Jikalau sesuatu peri surat nama tuannya itu, sehingga
mati sudahlah; yang memberi aib itu sekali-kali tiada ia mau, dengan karena negeri
Majapahit itu negeri besar.”

Setelah Rangga mendengar kata Laksamana demikian itu, maka ia pun diam, lalu
turun berjalan sama-sama dengan Laksamana.

Maka surat dan bingkisan itu pun diarak masuk ke dalam kota, terlalu ramai orang
melihat terlalu penuh sesak sepanjang jalan dan pasar. Maka kata Patih Gajah Mada pada
penjurit dua ratus itu, “Hai, kamu sekalian, pergilah kamu mengamuk di hadapan utusan
itu, tetapi engkau mengamuk itu jangan bersungguh-sungguh, sekadar coba kamu
beraninya. Jika ia lari, gulung olehmu sekali. Jika ia bertahan, kamu sekalian
menyimpang, tetapi barang orang kita, mana yang terlintang bunuh olehmu sekali, supaya
main kita jangan diketahui.”

Maka penjurit dua ratus itu pun menyembah, lalu pergi ke tengah pasar. Waktu itu
sedang ramai orang di pasar, melihat orang mengarak surat itu. Maka penjurit itu pun
berlari-lari sambil menghunus kerisnya, lalu mengamuk di tengah pasar itu, barang yang
terlintang dibunuhnya. Maka orang di pasar itu gempar, berlari-lari kesana-kemari, tiada
berketahuan. Maka penjurit dua ratus itu pun datanglah ke hadapan Laksamana; dan anak
bayi priayi di atas kuda itu pun terkejut melihat orang mengamuk itu terlalu banyak, tiada
terkembali lagi. Maka barang mana yang ditempuhnya, habis pecah. Maka segala
pegawai itu pun habis lari beterjunan dari atas kudanya, lalu berlari masuk kampung
orang. Maka segala orang yang memalu bunyi-bunyian itu pun terkejutlah, habis lari naik
ke atas kedai, ada yang lari ke belakang Laksamana. Setelah dilihat oleh Laksamana
orang gempar itu tiada berketahuan lakunya, maka segala orang yang di hadapan
Laksamana itu pun habis lari. Maka prajurit yang dua ratus itu pun kelihatanlah. Dilihat
orang yang mengamuk itu terlalu banyak, seperti ribut datangnya, tiada berkeputusan.
Maka Laksamana pun tersenyum-senyum seraya memegang hulu keris panjangnya itu.

Maka Hang Jebar, Hang Kesturi pun tersenyum-senyum, seraya memegang hulu
kerisnya, berjalan dari kiri kanan Laksamana.

Maka Rangga dan Barit Ketika pun terkejut, disangkanya orang yang mengamuk itu
bersungguh-sungguh. Maka Rangga pun segera menghunus kerisnya, seraya berkata,
“Hai Laksamana, ingat-ingat, karena orang yang mengamuk itu terlalu banyak.”

Maka sahut Laksamana seraya memengkis, katanya,”Cih, mengapa pula begitu, bukan
orangnya yang hendak digertak-gertak itu.”

Maka Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi pun berjalanlah seorang orang Melayu
pun tiada yang undur dan tiada bergerak.

Maka kata Laksamana, “Hai segala tuan-tuan sekalian, seorang pun jangan kamu
undur dan bergerak. Jika kamu undur, sekarang ini juga kupenggal leher kamu!”

Maka dilihat oleh Barit Ketika, orang mengamuk banyak datang seperti belalang itu,
maka Barit Ketika pun segera undur ke belakang gajah itu. Maka prajurit yang dua ratus
itu pun berbagi tiga, menyimpang ke kanan dan ke kiri dan ke hadapan Laksamana
mengamuk itu, ke belakang Laksamana. Maka Laksamana pun berjalan juga di hadapan
gajah itu. Maka prajurit itu pun berbalik pula dari belakang Laksamana. Maka Barit
Ketika pun lari ke hadapan berdiri di belakang Laksamana itu. Maka, Laksamana pun
tersenyum-senyum seraya berkata, “Cih, mengapa begitu, bukan orangnya yang hendak
digertak gerantang itu.”
Maka, Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi pun berjalan juga, dengan segala
orangnya dan tiada diindahkannya orang mengamuk itu. Maka Rangga, dan Barit Ketika
pun heran melihat berani Laksamana dan segala Melayu-melayu itu, setelah dilihat oleh
penjurit dua ratus itu, Laksamana dan segala orangnya tiada bergerak dan tiada
diindahkannya lawan itu, maka prajurit itu pun mengamuk pula ke belakang Laksamana.
Seketika lagi datang pula prajurit itu mengamuk ke hadapan Laksamana, barang yang
terlintang dibunuhnya dengan tempik soraknya, katanya, “Bunuhlah akan segala Melayu
itu,” seraya mengusir ke sana kemari barang yang terlintang dibunuhnya. Maka prajurit
dua ratus itu pun bersungguh-sungguh rupanya.

Maka, sahut Laksamana, “Jika sebanyak ini prajurit Majapahit, tiada, kuindahkan;
tambahkan sebanyak ini lagi, pun tiada aku takut dan tiada aku indahkan. Jikalau luka
barang seorang saja akan Melayu ini, maka negeri Majapahit ini pun habislah aku
binasakan, serta Patih Gajah Mada pun aku bunuh,” serta ditendangnya bumi tiga kali.
Maka bumi pun bergerak-gerak. Maka, Laksamana pun memengkis pula, katanya “Cih,
tahanlah bekas tanganku baik-baik.”

Maka, prajurit itu pun sekonyong-konyong lari, tiada berketahuan perginya.


Maka, surat dan bingkisan itu pun sampailah ke peseban. Maka surat itu pun disambut
oleh Raden Aria, lalu dibacanya di hadapan Sri Batara. Maka, Laksamana dan Hang
Jebat, Hang Kesturi pun naik ke peseban. Maka segala bingkisan itu pun disambut
oranglah. Maka, titah Sri Batara, “Hai Laksamana, kita pun hendak mengutus ke Melaka,
menyuruh menyambut anak kita Ratu Malaka, karena kita pun terlalu amat rindu dendam
akan anak kita. Di dalam pada itu pun yang kita harap akan membawa anak kita kedua itu
ke Majapahit ini hanyalah Laksamana.”

Maka, sembah Laksamana, “Ya Tuanku, benarlah seperti titah andika Batara itu.”

Maka Batara pun memberi persalin akan Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi
dengan selengkap pakaian. Maka titah Sri Batara, “Hai Laksamana, duduklah hampir
kampong Patih Gajah Mada.”

Maka sembah Laksamana, “Daulat tuanku, mana titah patik junjung.”

Maka Sri Batara pun berangkat masuk. Maka Patih Gajah Mada, dan Laksamana
pun bermohonlah, lalu keluar kembali ke rumahnya. Maka akan Laksamana pun diberi
tempat oleh Patih Gajah Mada hampir kampungnya.
Hikayat Bayan Budiman
Khoja Mubarak seorang saudagar kaya di negeri yang bernama Ajam. Beliau
mempunyai seorang anak yang bernama Khoja Maimun. Apabila cukup umurnya, Khoja
Maimun telah dikahwinkan dengan Bibi Zainab.

Oleh kerana hampir kehabisan harta, Khoja Maimun bercadang untuk pergi
belayar dan berniaga. Sebelum belayar, Khoja Maimun telah membeli dua ekor burung
sebagai peneman isterinya sepeninggalan beliau pergi belayar. Seekor burung bayan dan
seekor burung tiung. Apabila sampai masa hendak pergi belayar, Khoja Maimun
berpesan kepada isterinya supaya sentiasa bermuafakat dengan burung-burung itu
sebelum melakukan sesuatu perkara.

Sepeninggalan Khoja Maimun, Bibi Zainab yang tinggal sendiri berasa


kesunyian. Semasa duduk termenung di tingkap, seorang putera raja lalu dihadapan
rumahnya. Kedua-duanya saling berpandangan dan berbalas senyum.

Sejak hari itu Bibi Zainab telah jatuh berahi terhadap putera raja itu. Putera Raja
itu juga telah jatuh cinta pada Bibi Zainab. Dengan perantaraan seorang perempuan tua,
pertemuan antara mereka berdua telah dapat di atur.

Sebelum meninggalkan rumahnya, Bibi Zainab telah menyatakan hasratnya


kepada burung tiung betina yang diharapnya akan lebih memahami perasaannya. Maka
jawab tiung;

“ya, tuan yang kecil molek, siti yang baik rupa, pekerjaan apakah yang tuan hamba
hendak kerjakan ini? Tiadakah tuan takut akan Allah subhanahu wataala dan tiadakah
tuan malu akan Nabi Muhammad, maka tuan hendak mengerjakan maksiat lagi
dilarangkan Allah Taala dan ditegahkan Rasulullah s.a.w. Istimewanya pula sangat
kejahatan, dan tiada wajib atas segala perempuan membuat pekerjaan demikian itu.
Tiadakah tuan mendengar di dalam al-Quran dan kitab hadis Nabi, maka barangsiapa
perempuan yang menduakan suaminya, bahawa sesungguhnya disulakan oleh malaikat
di dalam neraka jahanam seribu tahun lamanya…”

Teguran burung tiung betina itu membuatkan Bibi zainab marah lalu dihempaskan
burung itu ke bumi. Matilah burung itu.

Bibi Zainab setertusnya meminta nasihat daripada burung bayan pula sambil
mencurahkan hasrat hatinya itu. Setelah mendengar semuanya, burung bayan pun
berkata;

“Adapun hamba ini haraplah tuan, jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan, insyaAllah di
atas kepala hambalah menanggungnya, jika datang suami tuan pun, tiada mengapa,
daripada hamba inipun hendak membuat bakti kepada tuan dan berbuat muka pada
suami tuan itu. Baiklah tuan segera pergi, kalau-kalau lamalah anak raja itu menantikan
tuan, kerana ia hendak bertemu dengan tuan. apatah dicari oleh segala manusia di
dalam dunia ini, melainkan martabat, kebesaran dan kekayaan?Adakah yang lebih
daripada martabat anakj raja? tetapi dengan ikhtiar juga sempurnalah adanya. Adapun
akan hamba tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayn yang dicabut bulunya
oleh seorang isteri saudagar….“

Burung Bayan tidak melarang malah dia menyuruh Bibi Zainab meneruskan
rancangannya itu, tetapi dia berjaya menarik perhatian serta melalaikan Bibi Zainab
dengan cerita-ceritanya. Bibi Zainab terpaksa menangguh dari satu malam ke satu malam
pertemuannya dengan putera raja. begitulah seterunya sehingga Khoja Maimun pulang
dari pelayarannya.

Bayan yang bijak bukan sahaja dapat menyelamatkan nyawanya tetapi juga dapat
menyekat isteri tuannya daripada menjadi isteri yang curang. Dia juga dapat menjaga
nama baik tuannya serta menyelamatkan rumahtangga tuannya.

Antara ceriota bayan itu ialah mengenai seekor bayan yang mempunyai tiga ekor
anak yang masih kecil. Ibu bayan itu menasihatkan anak-anaknya supaya jangan
berkawan dengan anak cerpelai yang tinggal berhampiran. Ibu bayan telah bercerita
kepada anak-anaknya tentang seekor anak kera yang bersahabat dengan seorang anak
saudagar. Pada suatu hari mereka berselisih faham. Anak saudagar mendapat luka di
tangannya. Luka tersebut tidak sembuh melainkan diubati dengan hati kera. Maka
saudagar itupun menangkap dan membunuh anak kera itu untuk mengubati anaknya.

Sebuah lagi cerita bayan ialah mengenai seorang lelaki yang sangat mengasihi
isterinya. Apbila isterinya meninggal dunia, dia telahj memohon dioa kepada Tuhan
supaya separuh daripada umurnya dibahagikan kepada isterinya. Doa itu dikabulkan dan
isterinya hidup semual. Namun, si isteri tidak jujur dan lari dengan seorang saudagar
kaya. Lelaki itu menjejaki isterinya kerana menyangka isterinya dilarikan oleh saudagar
kaya itu. Tetapi dia telah dihina dan diusir oleh isterinya. Kerana marah dan kecewa,
lelaki itu memohon agar Tuhan mengembalikan usianya yang telah diberi kepada
isterinya. Dengan kehendak Tuhan, isterinya mati semula.

Dalam cerita yang lain pula, bayan bercerita mengenai pengorbanan seorang
isteri. seorang puteri raja yang kejam telah membunuh 39 orang suaminya. suaminya
yang keempat puluh telah berjaya menginsafkannya dengan sebuah cerita mengenai
seekor rusa betina yang sanggup menggantikan pasangannya, rusa jantan, untuk
disembelih. Begitu kasih rusa betina kepada pasangannya sehingga sanggip
mengorbankan diri untuk disembelih. Puteri itu insaf dan tidak jadi membunuh suaminya
yang keempat puluh itu, malah sanggup berkorban apa sahaja untuk suaminya.
Pantun

Kumpulan Pantun Teka-Teki, Nasehat

PANTUN TEKA-TEKI

Ada orang mempunyai mobil mini


Ada juga orang yang mempunyai rumah yang megah

Jika kalian bisa menebak teka-teki ini


Buah apa yang berwarna merah?

Kalau tuan bawa keladi


Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk dihidung ?

Air dalam bertambah dalam


Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh

Beras ladang sulung tahun


Malam malam memasak nasi
Dalam batang ada daun
Dalam daun ada isi

Terendak bentan lalu dibeli


Untuk pakaian saya turun kesawah
Kalaulah tuan bijak bestari
Apa binatang kepala dibawah ?

Kalau tuan muda teruna


Pakai seluar dengan gayanya
Kalau tuan bijak laksana
Biji diluar apa buahnya

Tugal padi jangan bertangguh


Kunyit kebun siapa galinya
Kalau tuan cerdik sungguh
Langit tergantung mana talinya ?
PANTUN NASEHAT

Kayu cendana diatas batu


Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang

Kemuning ditengah balai


Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencungkil duri

Parang ditetak kebatang sena


Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu

Padang temu padang baiduri


Tempat raja membangun kota
Bijak bertemu dengan jauhari
Bagaikan cincin dengan permata

Ngun Syah Betara Sakti


Panahnya bernama Nila Gandi
Bilanya emas banyak dipeti
Sembarang kerja boleh menjadi

You might also like