You are on page 1of 16

PENGUATAN KEKUATAN POLITIK SOEKARNO

MENJELANG DEMOKRASI TERPIMPIN

Ditujukan untuk memenuhi tugas akhir


Mata Kuliah Kekuatan Kekuatan Politik Indonesia

Disusun oleh:
Ari Setio Purnomo
0606094983

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2009
BAB I
PENDAHULUAN

I. I Latar Belakang
Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 ternyata masih belum
menemukan bentuk pemerintahannya, sehingga pada tahun – tahun setelah itu,
Indonesia sempat berganti – ganti sistem pemerintahan. Hingga tahun 1959,
Indonesia telah menggunakan dua bentuk ekstrim pemerintahan, yaitu
presidensialisme dan parlementarisme. Pada tahun 1945, tepatnya bulan
November, terjadi kejadian krusial yang sangat mempengaruhi system
pemerintahan Indonesia untuk beberapa tahun ke depannya, yaitu dikeluarkannya
maklumat no. X oleh Moh. Hatta, yaitu tentang partai politik, dimana pemerintah
membebaskan setiap orang dengan ideologi masing – masing untuk mendirikan
partai politik dengan aliran ideologi masing - masing. Inilah cikal bakal lahirnya
demokrasi parlementer di Indonesia, sebelum pada tahun 1949 menjadi Negara
serikat. Semenjak itulah parlemen menjadi lembaga “terkuat” di dalam sistem
pemerintahan Indonesia, hal ini dikarenakan parlemen, yang notabenenya adalah
perwujudan partai politik, tersusun dari partai – partai yang berbeda dalam hal
ideologi.
Ternyata 11 tahun kemudian, Ir. Soekarno menyesalkan apa yang terjadi
11 tahun silam, beliau menganggap maklumat X adalah suatu kesalahan fatal bagi
negeri ini. Beliau dengan gaya bahasanya yang khas menyebut fenomena itu
1
sebagai sebuah penyakit. Bung Karno melihat bahwa kuatnya parlemen telah
mengandaskan kestabilan politik nasional, hal ini tercermin dari seringnya
parlemen menyatakan sikap tak mendukung kabinet, atau yang dikenal dengan
menggunakan hak “mosi” untuk menjatuhkan parlemen. Melihat realita ini, BK
membuat suatu konsep demokrasi yang unik dan muncul dari pemikirannya
sendiri. Dalam makalah ini penulis berusaha menganalisis usaha Soekarno untuk
memperkuat kekuatan politiknya. Untuk memperkuat kekuatan politiknya, beliau
1
Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965, (Jakarta: LP3ES,
1988), hlm. 63.

2
menggagas sebuah konsep demokrasi terpimpin, atau yang beliau sebut “
Demokrasi ala Indonesia.”

I. II Permasalahan
Partai politik yang terlalu banyak pada masa demokrasi liberal telah
membuat politik Indonesia menjadi kacau. Sering terjadi pergantian kabinet.
Selain itu, posisi soekarno pada masa demokrasi liberal hanyalah seagai kepala
negara yang memiliki kekuasaan yang sangat terbatas.
Hal ini ternyata membuat Soekarno merasa bahwa demokrasi liberal dan
partai politik merupakan sesuatu yang menggaanggu kestabilan politik di
Indonesia. Bung Karno pun melakukan berbagai upaya untuk memperkuat
posisinya di dalam politik Indonesia, serta membawa kembali kestabilan politik
ke tanah Indonesia. Permasalahan di atas penulis rumuskan ke dalam pertanyaan
penelitian berupa “ Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Soekarno untuk
memperkuat kekuatan politiknya menjelang era demokrasi terpimpin?”

I. III Ruang Lingkup Permasalahan

Permasalahan yang penulis angkat pada makalah ini terbatas pada upaya
Presiden Soekarno untuk pembelengguan partai, sebagai langkah awal menuju
demokrasi terpimpin. Dianalisis melalui keadaan internal Soekarno, maupun
keadaan lingkungan luar yang turut mempengaruhi lahirnya pemikiran sang
Pemimpin Besar Revolusi, yaitu dari sekilas riwayat beliau, dan juga
membandingkan keadaan demokrasi parlementer dengan keadaan pada masa
demokrasi terpimpin, sehungga dapat diketahui seperti apa sebenarnya system
pemerintahan yang Bung Karno inginkan.

I. IV Kerangka Teori
Untuk menganalisis upaya Soekarno untuk memperkuat keuatan
politiknya, penulis menggunakan teori elit dari Pareto. Pareto menjelaskan bahwa
kelompok elit adalah kelompok yang terdiri dari orang – orng yang terbaik dan

3
2
mampu menjangkau pusat kekuasaan. Menurut Pareto, kelompok elit tersebut
mampu menjangkau pusat kekuasaan karena memiliki berbagai kelebihan.
Kelompok elit sendiri terbagi menjadi dua, yaitu elit yang mejalankan
pemerintahan dan elit yang tidak terlibat di dalam pemerintahan. Di dalam usaha
untuk memperoleh kekuatan politik yang maksimal, kelompok – kelomok elit
tersebut saling berkompetisi. Terkadang kompetisi ini menimbulkan konflik.
Menurut Pareto, ada dua macam upaya yang dilakukan oleh elit untuk
memaksimalkan kekuatan politiknya, yaitu upaya logis dan non logis. Paya logis
adalah upaya yang diarahkan pada tujuan yang mungkin tercapai berdasarkan
3
pemikiran yang dapat dijangkau. Usaha yang ke dua, yaitu upaya non logis
adalah sebaliknya, upay tersebut diarahkan pada tujuan yang tidak dapat
dilakukan, atau tidak memiliki faktor – faktor pendukung untk mencapai tujuan
tersebut.4
Selain itu, Pareto pun berpendapat bahw kelompok elit kerap kali
menggunakan mitos – mitos utuk memperkuat kekuatan politiknya. Mitos tersebut
digunakan untuk meraih perhatian serta dukungan masyarakat.5 Apabila merka
sudah mendapatkan kekuasaan politik yang mereka inginkan, mitos tersebut tetap
dipelihara untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

I. V Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan adalah metode kualitatif. Pengumpulan data
dan informasi dilakukang dengan metode studi pustaka. Sumber – sumber
informasi yang penulis gunakan adalah buku dan halaman web.

BAB II
2
S. P. Varma, Teori Politik Moderen, ( Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm. 200
3
Ibid., hlm. 201
4
Ibid.
5
Ibid., hlm. 202

4
PENGUATAN KEKUATAN POLITIK SOEKARNO MENJELANG MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN

II. I Sekilas Tentang Riwayat Bung Karno

Soekarno, beliau lahir di Blitar 6 Juni 1901, dari pasangan Raden Soekemi
Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai. Ia bersekolah di HIS, Surabaya, dan
ia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, setelah lulus, beliau meneruskan ke
HBS, dan lulus tahun 1920, lalu ia meraih gelar Ir. dari THS pada 1926. 6 Sejak
awal, hidup Soekarno memang dipenuhi mitos – mitos. Pada tahun kelahirannya,
Gunung Kelud meletus, dan peristiwa itu dikaitan dengan kelahirannya. Hal itu
dianggap sebagai penyambutan kelahiran Soekarno.7
Dari sedikit penggalan riwayat beliau, penulis menemukan beberapa faktor
yang membangun pemikiran Soekarno. Dilihat dari latar belakang keluarganya,
jelas bahwa BK adalah golongan ningrat, ayahnya memiliki gelar raden yang
merupakan cerminan feodalisme masyarakat tradisional Jawa, begitu juga ibunya,
dengan nama Ida Ayu, ibunya juga berasal dari kasta ksatria atau waisya, bukan
dari kasta rendah. Fakta lain bahwa Soekarno sangat dipengaruhi tradisionalisme
jawa adalah penggunaan konsep pewayangan serta konsep ratu adil dalam
menggambarkan dirinya.
Pengalaman hidupnya tinggal bersama HOS Tjokroaminoto tak
membuatnya menjadi seorang religius. Baginya yang penting adalah persatuan
bangsa.8 Hal ini tercermin dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha esa yang
hanya digunakan untuk mempersatukan Indonesia, bukan sebagai landasan bagi
masyarakat untuk menjalankan agama mereka.
Dari riwayat pendidikannya, ia mendapatkan kenyataan bahwa bangsanya
adalah bangsa yang terjajah, sehingga rasa nasionalismenya mulai tumbuh.
Soekarno muda adalah seorang yang idealis dan radikal. Ia juga sangat anti barat
yang ia anggap sebagai Negara imperialis dan kolonialis. Ia juga berjuang
menghidupkan nasionalisme masyarakat dengan berusaha menyadarkan bangsa
6
Bernard Simamora, Ir. Soekarno (01), dalam www.pelitanews.com, diakses pada 1 Januari 2007
7
Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Edisi Revisi, ( Jakarta: Penerbit Media
Pressindo, 2007), hlm. 22
8
Herbert Feith dan Lance Castles, Op. Cit., hlm. 15

5
Indonesia tentang kemegahan masa lalunya. Ia berkaca pada sejarah Majapahit
yang agung.9
Setahun setelah lulus, BK mendirikan Partai Nasional Indonesia ( PNI )
10
pada tanggal 4 Juli 1927. Tujuan Bung Karno mendirikan PNI adalah untuk
mewujudkan Indoneia yang merdeka. Namun, karena dianggap berbahaya oleh
Belanda, maka ia dipenjarakan di Sukamiskin. Setelah bebas, BK bergabung
dengan Partindo, namun BK lagi – lagi dibuang ke Ende karena dianggap
berbahaya.
Dari perajlanan hidupnya, Soekarno sangat dipengaruhi oleh filsafat –
filsafat politik Marx. Itu sejalan dengan pemikirannya tentang marhaenisme dan
konsep Nasakom nya. Sebagai aktor politik, Soekarno sangat bertumpu pada
tindakan, bukan sekedar memikirkan tentang teori – teori belaka.11
Dari uraian di atas, penulis menggambarkan Soekarno dengan bagan
sebagai berikut:
PEMIKIRAN BARAT

Barat
( Demokrasi )
Marxisme

Marhaenisme Soekarno
Agama
Tradisionalisme Jawa

PEMIKIRAN TRADISIONAL

Dengan bagan ini pula penulis akan menganalisis mengapa Soekarno


begitu tak menyukai demokrasi liberal dan mencetuskan gagasan untuk mengubur
partai – partai politik sebagai langkah awal untuk mengganti sistem demokrasi di
Indonesia dengan demokrasi terpimpin.

9
Ibid., hlm. 3
10
Adams, Op. Cit., hlm. 95
11
Feith dan Castles, Op. Cit., hlm. 36.

6
II. II Gambaran tentang Demokrasi Liberal
Pada rentang waktu antara 1949 – 1959 Indonesia menggunakan
demokrasi liberal, yang benar – benar terapan dari demokrasi ala barat. Pada masa
ini, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Parlemen sangat
kuat, serta presiden hanya berupa simbol pemersatu bangsa. Posisi presiden di
dalam sistem demokrasi liberal hanyalah sebagai kepala negara. Presiden hampir
tidak memiliki kekuatan politik yang nyata.
Penulis akan menggambarkan tatanan politik yang terjadi selama masa
demokrasi demokrasi parlementer;

PARLEMEN
( 10 Partai )

Pe PRESIDEN SIMBO
rtang L
gung
jawab KABINET
an
pengawasa
n

MASYARAKAT

Dalam masa ini, keberlangsungan hidup kabinet benar – benar ada di


tangan parlemen. Presiden tak memiliki kekuasaan politik yang nyata, yang benar
– benar mampu mempengaruhi kebijakan umum yang diambil oleh kabinet
maupun parlemen. Hak – hak warga Negara yang terkait konstitusi sangat
terpelihara. Sayangnya, pada masa ini partai – partai politik saling berlomba –
lomba untuk menjadi yang terkuat, keadaan ini diperparah dengan beragamnya
ideologi partai – partai politik tersebut. Partai kuat yang mendominasi parlemen
12
pada masa demokrasi liberal adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Keberadaan
partai – partai politik tersebut beserta ideologinya membuat suatu kekhawatiran
12
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, ( Jakarta: Pustaka Antara, 1966), hlm. 35

7
tentang persatuan bangsa. Pancasila menjadi kabur maknanya, apakah dengan
ideologi partai – partai yang sedemikian banyak, Pancasila tetap menjadi ideologi
Negara?
Sisi lain dari demokrasi liberal adalah sikap mereka yang agak condong ke
barat, serta berusaha memfokuskan pembangunan pada bidang ekonomi.
Pembangunan bidang politik kurang diperhatikan, sehingga timbul semacam
kemunduran semangat, serta lunturnya idealisme masyarakat, tidak seperti di
masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Hal ini juga sesuai dengan
keadaan pada masa ini, dimana revolusi sudah dianggap selesai.13 Hal lain yang
tidak disukai Bung Karno pada masa demokrasi liberal adalah sikap saling
menjatuhkan lawan politik di dalam parlemen.14

II. III Gambaran tentang Konsep Demokrasi Terpimpin Bung Karno


Secara nyata, demokrasi terpimpin dimulai sejak dekrit Presiden 5 Juli
1959. Pada masa ini, Ir. Soekarno menjadi sangat dominan, bahkan cenderung
menjadi penguasa tunggal. Beliau kemudian mempersatukan Indonesia dibawah
NASAKOM. Pada masa ini parlemen tidak memiliki kekuasaan sama sekali,
karena banyak anggota parlemen yang dijadikan anggota kabinet, ini
mencerminkan bahwa parlemen tunduk patuh pada eksekutuf. Apabila selama
periode demokrasi liberal Indonesia menggunakan UUDS 1950, maka, pada masa
ini UUD 1945 kembali menjadi konstitusi Negara. Ir. Soekarno juga mendirikan
Dewan Nasional dengan fungsinya adqalah untuk memberi saran kepada cabinet.
Soekarno menganggap bahwa demokrasi terpimpin adalah demokrasi ala
Indonesia. Konsep demokrasi terpimpin sendiri sebenarnya adalah konsep
demokrasi Barat yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan nilai – nilai Indonesia,
yaitu gotong royong. Demokrasi barat tidak sesuai dengan bangsa Indonesia yang
tidak mengenal individualisme dan liberalisme. 15
Apabila disederhanakan ke dalam sebuah bagan, maka keadaan pada masa
demokrasi terpimpin adala sebagai berikut;

13
Feith dan Catles, Op. Cit., hlm. 58
14
Isbodroini Suyanto, Bung Karno: Perjuangan dan Nasionalismenya, di dalam Syamsu Hadi, ed.,
Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran, ( Jakarta: Pustaka Simponi, 1991), hlm. 175
15
Ibid., hlm. 174

8
Presiden

DN Kabinet parlemen

TNI

Masyarakat NASAKOM

Dari bagan di atas, jelas bahwa, Ir.Soekarno sebagai Presiden / Panglima


Tertinggi Angkatan Perang sangat mendominasi perpolitikan masa demokrasi
terpimpin. Dengan komando yang jelas secara legal, ia menguasai 4 unsur yang
ada pada masa ini. Garis komando putus – putus penulis gunakan untuk
menggambarkan walaupun Ir. Soekarno tidak menguasai parlemen secara legal
formal, namun orang – orang dalam parlemen, serta partai – partai politik ayang
ada di dalam parlemen berada di bawah kekuasaannya. Beliau menganggkat
anggota parlemen untuk menjadi menteri cabinet, dan partai – partai politik yang
ada dalam parlemen adalah partai dengan ideology yang sesuai dengan konsep
NASAKOM yang dicetuskan Ir. Soekarno. Pada masa ini, Indonesia lebih
cenderung ke Timur, dan sangat anti Barat.

II. III Usaha Soekarno melemahkan Partai Politik untuk Memperkuat


Kekuatan Politiknya Menjelang Masa Demokrasi Terpimpin

Penulis akan menggunakan teori elit yang sudah dicantumkan di bab


sebelumnya untuk menganalisis mengapa BK membelenggu partai partai dan juga
ingin demokrasi terpimpin. Sungguh luar biasa tindakan yang diambil oleh BK, ia
benar – benar paham mengawali pra era demokrasi terpimpin, yaiu dengan
membelenggu partai politik yang merupakan nyawa dari masa demokrasi liberal.

9
Apabila kita mengaitkan antara keadaan pada masa demokrasi liberal dengan
kondisi pribadi BK, ini tentunya sangat berkebalikan. Itu sebabnya BK
menggagas demokrasi terpimpin.
Sekarang penulis akan melihat pribadi BK, BK bukanlah tipe manusia
yang hanya suka menonton serta memperhatikan sesuatu terjadi di sekelinlingnya,
namun sesuai dengan apa yang ia ungkapkan pada pidatonya tahun 1951, Tugas
Seorang pemimpin, secara eksplisit ia menyampaiakan seperti apa tugas seorang
pemimpin politik.
“ Saya dinamakan seorang pemimpin politik. Apakah kewajibanku? Kewajiban
ku, bahkan kewajiban tiap – tiap pemimpin politik, bukanlah menghanyutkan
diri dalam perenungan – perenungan teoritis, tetapi ialah: mengaktivir kepada
perbuatan.”16
Hal pertama yang penulis cermati adalah kedudukan BK di masa
demokrasi parlementer. BK sebagai presiden merupakan kepala Negara, yang
berarti hanya berupa symbol dan aktivitas politiknya hanya berkutat dalam hal –
hal seremonial. BK tak memiliki kekuasaan untuk mengaplikasikan ide – idenya,
karena pada masa demokrasi liberal, kekuasaan dimiliki oleh parlemen yang nota
bene nya adalah perwujudan dari partai – partai politik hasil pemilihan umum.
Namun dalam parlemen itu sendiri terdapat faksi – faksi, serta oposisi yang saling
berhadapan satu dengan lainnya sebagai lawan politik.17 Kekuasaan sendiri
dijalankan oleh Perdana Menteri. Sebagai seorang elit yang termasuk tipe elit
penguasa, maka Soekarno sangat menginginkan kekuatan politik yang real berada
di dalam genggaman tangannya. Beliau tidak setuju dengan model liberal pluralis
yang mendistribusikan kekuasaan ke banyak tangan. Beliau juga lebih tertarik
pada aksi, bukan renungan imajiner. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Niccolo
Machiavelli yang mengatakan bahwa seorang penguasa akan dipuji apabila ia
bersifat realistis.18
Dari sana kita bisa menganalisis mengapa BK ingin mengubah keadaan
pada demokrasi liberal, dengan cara membelenggu partai politik. Dengan
membelenggu partai politik, secara alamiah, parlemen pun ikut menjadi lemah

16
Ibid,. hlm. 37
17
Feith dan Castles, Op. Cit., hlm. 67
18
Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, terj. C. Workitsari, ( Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm.
64

10
dan terbelenggu. Langkah – langkah yang Soekarno lakukan pun dapat
dikatagorikan sebagai upaya logis untuk memperoleh kekuaan politik. Seperti
yang sudah penulis singgung, partai – partai politik yang tersisa di masa
demokrasi terpimpin hanyalah partai – partai politik yang sejalan degan ide
NASAKOM ala BK. Setelah berhasil melemahkan partai politik dan palemen,
Soekarno menjadi elit penguasa yang memiliki kekuasaan yang hampir tak
terbatas. Dari cuplikn pidato Soekarno di atas, tampk jelas bahwa beliau
menginginkan untuk menjadi seorang elit penguasa. Keberhasilan dalam
melemahkan partai politik pun dapt menjelaskan bahwa upaya logis yang
Soekarno lakukan berhasil mencapai tujuannya.
Hal kedua yang penulis gunakan untuk menganalisis hal ini adalah ketidak
stabilan politik nasional pada masa demokrasi liberal, sehingga berimbas pada
mental bangsa Indonesia secara keseluruhan. BK menyadari bahwa mentalitas
masyarakat telah berubah, tak seperti pada masa revolusi. Karena seringnya jatuh
bangun kabinet, masyarakat hidup dalam suatu keadaan yang tak menentu, di sisi
lain partai politik saling berlomba menyebarkan ideologi mereka untuk
kepentingan masing – masing partai. Hal ini juga sangat bertentangan dengan
pribadi BK, BK sangat mengedepankan stabilitas politik, serta keingina untuk
merangkul dan mengayomi semua pihak.
Kita dapat menganalisis hal ini dengan corak tradisionalis Jawa yang ada
pada diri BK. Darah ningrat Jawa yang mengalir dalam tubuh BK juga ikut andil
dalam menentukan arah berfikir BK. Sesuai dengan budaya Jawa yang menganut
patron client, BK melihat dalam masa parlementer, sering terjadi cek – cok dalam
urusan rumah tangga politik nasional antara parlemen dan cabinet, sehingga anak
– anak bangsa, yaitu masyarakat menjadi terabaikan. Parlemen yang terdiri dari
partai – partai asyik dengan urusan sendiri, sedangkan kabinet memiliki
kedudukan yang lemah.
Apabila kita bandingkan keadaan pada masa parlementer dengan masa
demokrasi terpimpin, maka jelas, tradisionalisme Jawa ikut mengalir dalam
pemikiran BK. BK dengan posisinya yang sangat dominan dapat diilustrasikan
sebagai ayah yang mengayomi semua anggota keluarga. Sebagai ayah, ia
memiliki kekuasaan tertinggi, pemegang otoritas, serta penentu arah kebijakan.

11
Keadaan demokrasi terpimpin sangat sesuai dengan konsep
tradisionalisme Jawa tentang hak – hak orang bijaksana.19 Teori elit Pareto
mengungkapkan hal yang senada dengan pidato Soekarno tersebut. Elit penguasa
adalah seseorang yang superior dan memiliki kelebihan di antara orang – orang
sekitarnya. Soekarno hanya mengganti kata “superior” dengan kata “orang
bijaksana”. Namun menurut hemat penulis, di dalam kosakata “ orang bijaksana “
tersebut, Soekarno berusaha untuk menunjukkan bahwa beliau lebih superior dan
lebih pantas memangku kekuasaan politik daripada parlemen. Di dalam konsep
demokrasi terpimpin, posisi BK adalah sebagai seorang ayah. Ayah
mengendalikan semua anggota keluarga ( parlemen, Dewan Nasional, Angkatan
Perang, cabinet, serta mengayomi masyarakat ). Sangat jelas bahwa BK tak
menyukai ada cek – cok dalam rumah tangga politik nasional, sebagai orang
bijaksana, BK ingin menyatukan semuanya dalam rumah tangga yang damai.
Terkait dengan sisi tradisionalisme Soekarno, beliau menggunakan mitos –
mitos untuk meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa demokrasi liberal adalah
buruk. Propaganda yang dilakukan dngan mitos ini sesuai dengan yang dikatakan
oleh Pareto. Elit penguasa kerap kali menggunakan mitos dan simbolisasi untuk
memperdaya masyarakat.
Hal ketiga yang penulis analisis adalah ide tentang musyawarah, BK
seperti telah penulis singgung, sangat mengedepankan urusan persatuan, baginya,
itu jauh lebih penting dari agama. Dalam masa demokrasi liberal, masing –
masing partai politik mengejar kepentingannya sendiri – sendiri, menyebarluaskan
ideology masing – masing untuk memperebutkan massa. BK menilai ini adalah
suatu ancaman terhadap persatuan nasional, ia menganggap masa demokrasi
liberal adalah suatu keadaan yang bertentangan dengan mental orang Indonesia. 20
Oleh sebab itu BK mengusulkan sebuah demokrasi yang mencerminikan
mentalitas bangsa Indonesia, yaitu dengan melibatkan musyawarah, gotong
21
royong, serta kekeluargaan dalam sebuah demokrasi. Dalam penerapannya, ide
ini tertuang dalam pembentukan kabinet Gotong Royong serta Dewan Nasional.
Dimana BK mengilustrasikan kedua lembaga tersebut saling bekerja sama dengan

19
Feith dan Castles, Op. Cit., hlm. 171.
20
Ibid., hlm. 62.
21
Ibid., hal 23

12
musyawarah dengar pendapat antara yang satu dengan yang lainnya.22 Sebagai
seorang pengayom, Soekarno menunjukkan bahwa beliau adalah pemimpin yang
ulung dan terampil dalam mengelola negara. Hal ini ditujukan untuk mendapat
respect dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Machiavelli tentang cara
mendapat keseganan masyarakat.23
Penulis juga mencermati tentang NASAKOM, sebenarnya apabila kita
kaitkan ini dengan konsep Pancasila yang dicetuskan BK pada tahun 1945,
terdapat sebuah persamaan yang mendasar, yaitu merangkul seluruh keberagaman
dalam satu wadah, yaitu wadah yang abstrak, terbuka, dan sangat rapuh karena tak
memiliki pengikat yang melekat kuat pada diri anggota – anggotanya. Sama
dengan konsep Pancasila, BK tak memperdulikan agama sebagai sesuatu yang
saKral dan harus dijunjung tinggi. Baginya, persatuan adalah yang terpenting.
Setelah BK “ mengubur “ partai – partai, ia menyatukan partai yang tersisa di
dalam wadah NASAKOM.
Dilihat dari berbagai aspek, jelaslah bahwa BK secara pribadi dan apabila
kita telaah pemikiran sebelum – sebelumnya sangat menolak keberadaan
demokrasi barat, yang tertuang dalam masa demokrasi parlementer di Indonesia.
Kritik serta ketidak cocokan itulah yang membuat BK ingin “ menyelamatkan “
tataran demokrasi di Indonesia, dari demokrasi parlementer, ke demokrasi ala
Indonesia yang ia awali dengan mengubur partai – partai sebagai ruh demokrasi
barat. Di balik aksi penyelamatan tersebut sebenarnya tersembunyi upaya logis
Bung Karno untuk menguatkan kekuatan politiknya di NKRI.
BAB III
PENUTUP

III. I Kesimpulan
Upaya logis Soekarno untuk menguburkan partai – partai relevan dengan
teori elit yang dicetuskan oleh Pareto. Sebagai seorang elit penguasa, BK adalah
seorang keturunan bangsawan Jawa yang sangat terpengaruh dengan ide – ide
marxisme dan Marhaenisme yang di dalamnya terdapat ide – ide tentang
masyarakat sosialis. Soekarno juga dipengaruhi alam pemikiran tradisionalis Jawa
22
Ibid. ,hal. 64.
23
Machiavelli, Op. Cit., hlm. 91

13
dalam memandang pola kepemimpinan, saluran pemecahan masalah, dan pola
pengerjaan tugas. Soekarno menganggap bahwa kepemimpinan harus dipegang
satu orang bijaksana seperti layaknya seorang ayah dalam keluarga, yang
mengayomi semua lapisan keluarga, menyelesaikan masalah dengan cara
berembuk ( musyawarah ) dan juga dalam mengerjakan apapun harus
dilaksanakan secara gotong royong.
Demokrasi liberal adalah penerapan demokrasi murni ala barat. Dalam
sistem ini parlemen menjadi lembaga terkuat. Parlemen terdiri dari partai – partai
politik dengan ideologi yang beragam. Pada masa ini parlemen sangat
menentukan kelangsungan hidup kabinet. Pada masa ini presiden hanya sebagai
simbol belaka. Pada masa ini hak – hak konstitusi rakyat sangat terpenuhi.
Kebebasan individu menjadi hal yang sangat dihormati. Pada masa ini politik luar
negeri Indonesia lebih condong ke Barat. Pada masa ini pula terjadi bias ideologi,
beragamnya ideologi partai menjadikan tanda tanya besar apakah Pancaila masih
menjadi ideologi bangsa. Hal ini menimbulkan perubhan mental bangsa. Bangsa
Indonesia di mata Ir. Soekarno mengalami kekesuan.
Demokrasi terpimpin adalah konsep demokrasi Indonesia ala BK, dimana
BK memasukan unsur gotong royong, musyawarah, dan sifat kekeluargaan.
Dalam masa ini BK laksana menjadi ayah bagi bangsa Indonesia. BK menjadi
sangat dominant dengan kekuasaannya membawahi Dewan Nasional, parlemen,
Angkatan Perang, dan juga memimpin cabinet. Ia juga merekayasa persatuan
bangsa melalui konsep NASAKOM. Sebagai cerminan sifat gotong royong dan
kekeluargaan, BK membuat Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional,
dengan maksud agar kedua lembaga ini bekerja sama secara gotong royong
dengan landasan kekeluargaan, serta menjadikan musyawarah antara dua lembaga
ini sebagai jalan keluar apabila menemui suatu permasalahan. Namun sayangnya
kedua lembaga ini dipimpin oleh BK, sehingga ide siapapun yang diterima dalam
musyawarah antara DN maupun cabinet, ide BK lah yang sebenarnya diterima.
Di dalam kondisi seperti ini, Soekarno mampu melakukan aktualisasi diri.
Bung Karno ingin menyudahi masa demokrasi parlementer dengan
langkah awalnya adalah mengubur partai – partai politik. Langkah tersebut
merupakan upaya logis untuk memperkuat kekuatan politiknya. Bung Karno

14
menilai bahwa beragamnya ideolog partai politik yang ada sangat membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa. Hal pertama adalah berubahnya mentalitas
bangsa, tak seperti pada masa revolusi, Bung Karno menyebutnya sebagai
kelesuan. Kedua, Ideologi – ideology partai ini membahayakan Pancasila sebagai
ideologi bangsa. Pertarungan politik antara pimpinan partai politik pun menjadi
suatu poin tersendiri yang dicermati Bung Karno. Bung Karno menginginkan agar
seluruh lapisan masyarakat terayomi, tak menimbang agama, suku, dam
keberagaman lainnya. Oleh karene itu, Bung Karno sangat anti pada oposisi yang
membuat pergolakan politik. Maka dari itu Bung Karno menginginkan suatu
keadaan dimana semua masalah diselesaikan dengan cara musyawarah dan
dilandasi rasa kekeluargaan.
Fakta tentang partai politik yang membentuk parlemen dengan oposisi
sangat bertentangan dengan idenya, dan dengan inilah Bung Karno menyerang
demokrasi parlementer. Bung Karno menganggap ciri – ciri demokrasi
parlementer tersebut bertentangan dengan kearifan bangsa Indonesia. Pada
akhirnya ia membuat konsep tentang demokrasi terpimpin yang Bung Karno
pimpin sendiri. Bung Karno menginginkan seluruh bangsa Indonesia terayomi
dengan Bung Karno yang mengyomi mereka layaknya seorang ayah mengayomi
keluarganya. Tapi dari beberapa alas an di atas, tentu alas an tentang kekuasaan
yang sangat mendorong Bung Karno untuk megubur partai – partai. Karena, pada
masa demokrasi liberal, Bung Karno hanya sebagai symbol, sedangkan pada masa
demokrasi terpimpin Bung Karno adalah pusat dari segala kegiatan politik di
Indonesia.
Daftar Pustaka

Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Edisi Revisi, Jakarta:
Penerbit Media Pressindo, 2007
Feith, Herbert, dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965,
Jakarta: LP3ES, 1988
Hadi, Syamsu, ed., Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran, Jakarta: Pustaka
Simponi, 1991
Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Jakarta: Pustaka Antara, 1966
Machiavelli, Niccolo, Sang Penguasa, terj. C. Workitsari, Jakarta: PT Gramedia,
1987
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 1992

15
Varma, S. P. , Teori Politik Moderen, Jakarta: Rajawali Press, 2007

16

You might also like