You are on page 1of 12

ISOLATION AND IDENTIFICATION OF FLAVONOIDS COMPOUNDS AND TOXICITY TEST OF METHANOL

EXTRACT FROM BROWN ALGAE (Sargassum cristaefolium)


1 2 3
Muhammad Fahri , Yenny Risjani , Sasangka P
1)
Post Graduent Student of Brawijaya University
2)
Brawijaya University
3)
Brawijaya University

ABSTRACT
Indonesia has a very high potential of algae. Noted there are at least 555 species of algae in the waters of
Indonesia. Sargassum is a brown algae (Phaeophyceae) multicellular suspected of secondary metabolic
compounds such as alkaloids or flavonoids. This compound may be bioactive compounds that can be used in
the medical world, such as anticancer.
Have been isolated and identification of flavonoid compounds and test the toxicity of methanol extract of
Sargassum cristaefolium. Extraction was done by maceration increased, so that the extract of chloroform,
acetone and methanol extracts. All three extracts obtained were tested by animal test activities Brine shrimp
Artemia salina L with BSLT method. Toxicity test is to extract showed chloroform extract with LC 50 value of 1.88
ppm, acetone extract with LC50 values of 3.97 ppm and methanol extracts with LC50 values of 3.02 ppm. All
three extracts are included in the category of very toxic.
Phitochemistry test of methanol extract from S. cristaefolium is compounds such as flavonoid, flavon,
alkaloids, terpenoids and steroids. The methanol extract of Thin Layer Chromatography (TLC) qualitative and
preparative with toluene : ether : acetic acid eluent (10:10:2) and HPLC qualitative analysis. Identification of
isolates by analysis of UV-vis spectrophotometer using shift reagents and Infrared Spectrophotometry (FT-IR).
The identification with the UV-visual and IR is estimated that isolates obtained flavonoids namely 5,6,7, -
dihidroflavonol.

Key words : Isolation, Identification, Toxicity Testing, Methanol, Flavonoids, S. cirstaefolium. dihidroflavonol.

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID SERTA UJI TOKSISITAS EKSTRAK METANOL
DARI ALGA COKLAT (Sargassum cristaefolium)

ABSTRAK
Indonesia memiliki potensi alga yang sangat tinggi. Tercatat sedikitnya ada 555 jenis alga di perairan
Indonesia. Sargassum merupakan alga coklat (Phaeophyceae) multiseluler yang diduga memiliki senyawa-
senyawa metabolisme sekunder berupa alkaloid atau flavonoid. Senyawa-senyawa tersebut kemungkinan
merupakan senyawa bioaktif yang dapat digunakan dalam dunia pengobatan, misalnya sebagai antikanker.
Telah dilakukan isolasi dan identifikasi senyawa golongan flavonoid serta uji toksisitas ekstrak metanol
Sargassum cristaefolium. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi bertingkat, menghasilkan ekstrak
kloroform, ekstrak aseton dan ekstrak metanol. Ketiga ekstrak yang diperoleh diuji aktifitasnya dengan hewan
uji larva udang Artemia salina L dengan metode BSLT. Hasil uji toksisitas ekstrak adalah ekstrak klorofom
dengan nilai LC50 sebesar 1,88 ppm, ekstrak aseton dengan nilai LC 50 sebesar 3,97 ppm dan ekstrak metanol
dengan nilai LC50 sebesar 3,02 ppm. Ketiga ekstrak termasuk dalam kategori bersifat sangat toksik.
Uji golongan fitokimia senyawa ekstrak metanol S. cristaefolium mengandung beberapa senyawa
diantaranya flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan steroid. Isolasi ekstrak metanol dilakukan dengan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) kualitatif dan preparatif dengan eluen toluen:eter:asam asetat (10:10:2) serta
analisa HPLC kualitatif. Analisa Identifikasi isolat dengan spektrofotometri UV-vis menggunakan pereaksi geser
dan Spektrofotometri Infrared (FT-IR).
Hasil identifikasi menggunakan UV-visual dan IR bahwa isolat yang diperoleh diduga merupakan senyawa
golongan flavonoid yakni 5,6,7,- dihidroflavonol .

Kata Kunci : Isolasi, Identifikasi, Uji Toksisitas, Metanol, Flavonoid, S. cirstaefolium. dihidroflavonol.

PENDAHULUAN (Kamiya, et al. 1987), antiviral (Rinehart et al., 1993),


Latar Belakang komponen sitotoksik (Schmitz et al. 1993), dan lain-
Kelautan meliputi hampir 70% dari permukaan lain. Studi-studi tersebut memperlihatkan bahwa
bumi merepresentasikan sumber terbaik bagi lingkungan kelautan merupakan sumber yang kaya
kekayaan bahan alam planet ini. Berbagai literatur akan komponen bioaktif, banyak di antaranya
mengemukakan bahwa banyak hasil bahan alam memiliki struktur kimiawi yang tidak ditemukan dalam
kelautan yang mempunyai bioaktivitas antitumor sumber dari lingkungan terestial (Jadulco, 2002).

Fahri, M. (2010) 1
Indonesia memiliki potensi alga sangat tinggi Manfaat Penelitian
dengan panjang pantai sekitar 81.000 Km (Bengen, (1) Dapat memberikan informasi tentang metode
2001). Tercatat sedikitnya ada 555 jenis alga di isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dari S.
perairan Indonesia. Sebanyak 555 jenis dalam 4 suku cristaefolium.
alga yang dikenal, yakni alga biru (Cyanophyceae), (2) Memberikan informasi tentang daya toksisitas
alga hijau (Chlorophyceae) alga coklat ekatrak senyawa dari S. cristaefolium sehingga
(Phaeophyceae) dan alga merah (Rhodophyceae). dapat menjadi dasar pertimbangan untuk
Sargassum cristaefolium merupakan salah satu mengetahui potensi bioaktif senyawa sebagai
golongan alga coklat (Phaeophyceae). Makroalga salah satu alternatif bagi pengobatan berbasis
jenis ini belum banyak dimanfaatkan dan bahan alam.
dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. (3) Memberikan informasi kandungan senyawa dari
Sargassum merupakan alga multiseluler yang diduga S. cristaefolium sehingga dapat dimanfaatkan
memiliki senyawa-senyawa hasil metabolisme secara optimal dan dapat memberikan nilai
sekunder berupa alkaloid atau flavonoid. Senyawa- tambah dan nilai ekonomis serta peluang baru
senyawa tersebut kemungkinan merupakan senyawa bagi pengembangan lahan usaha budidaya laut
bioaktif yang dapat digunakan dalam dunia khususnya alga coklat yang bermanfaat dalam
pengobatan, misalnya sebagai antikanker peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
(Khurniasari, 2004). masyarakat pesisir pada umumnya.
Skrining awal untuk menguji bahan alam dengan
uji toksisitas terhadap larva udang Artemia salina L. METODELOGI PENELITIAN
sering digunakan untuk mengetahui senyawa aktif
yang terkandung dalam ekstrak tanaman, karena Tempat dan Waktu Penelitian
relatif murah, cepat, dan hasilnya dapat dipercaya. Uji Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia
senyawa aktif dilakukan dengan larva udang Artemia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
salina L. sampai diperoleh isolat aktif. (Ledenberg, Alam (FMIPA) dan Laboratorium Reproduksi Ikan
1992). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK),
Isolasi dan identifikasi senyawa bioaktif dari S. Universitas Brawijaya pada Bulan Juli 2009 sampai
cristaefolium dimaksudkan untuk mengetahui dengan Mei 2010.
senyawa-senyawa yang memiliki potensi untuk
digunakan dalam berbagai bidang yang dapat Rancangan Penelitian
meningkatkan peluang pemanfaatan alga coklat ini Ekstrak kasar yang diperoleh dari ekstraksi
sebagai alternatif baru sebagai bahan pengobatan. maserasi bertingkat dilakukan uji prekrening awal
Dalam penelitian ini dilakukan analisa fitokimia dengan hewan uji Artemia salina dengan metode
terhadap senyawa golongan flavonoid yang terdapat Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Keaktifan ekstrak
dalam S. cristaefolium. Tahapan penelitian meliputi senyawa dilihat dari nilai LC50 pada uji toksisitas.
pembuatan ekstrak S. cristaefolium, isolasi senyawa Ekstrak yang aktif dilanjutkan dengan isolasi senyawa
flavonoid secara KLT (Kromatografi Lapis Tipis) dan dengan KLT kualitatif dan preparatif serta HPLC.
analisa HPLC (High Performance Liquid Identifikasi senyawa dengan Spektrokopis UV-vis
Chromatography) dan dilanjutkan identifikasi dengan menggunakan pereaksi geser dan Spektrokopis
analisa senyawa kimia secara spektrofotometri UV- Infrared.
vis menggunakan pereaksi geser dan
Spektrofotometri Infrared (FT-IR). Sedangkan uji Rancangan Uji Toksisitas
potensi daya toksisitas ekstrak senyawa dengan Uji toksisitas menggunakan rancangan
metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test). eksperimental dengan perlakuan perbedaan
konsentrasi ekstrak S. cristaefolium terhadap
Rumusan Masalah kematian larva Artemia salina L umur 48-72 jam
Apakah kandungan senyawa bioaktif flavonoid setelah penetasan telur. Konsentrasi ekstrak yang
yang terkandung dalam ekstrak alga coklat S. digunakan adalah 0 μg/ml (kontrol), 6,25 μg/ml, 12,5
cristaefolium. Apakah ekstrak senyawa yang terdapat μg/ml, 25 μg/ml, 50 μg/ml, 100 μg/ml dengan 5 kali
pada S. cristaefolium mempunyai daya toksisitas ulangan. Penempatan perlakuan dilakukan secara
sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan acak. Parameter yang digunakan adalah jumlah A.
dalam dunia pengobatan seperti antikaknker atau salina L yang mati dari total larva hewan uji.
antitumor. Kemudian di hitung nilai LC50 dengan menggunakn
analisa probit (50% kematian hewan uji). Uji toksisitas
Tujuan Penelitian untuk mendapatkan nilai Lethal Concentration 50
(1) Isolasi dan Identifikasi senyawa flavonoid yang (LC50) dari ekstrak tersebut. Ekstrak yang bersifat
terdapat dalam S. cristaefolium. toksik dengan diketahui dari nilai LC50 pada uji
(2) Mengetahui daya toksiksitas ekstrak senyawa toksisitas.
pada S. cristaefolium sebagai uji pre-skrening
awal untuk senyawa yang memiliki potensi dalam Prosedur Penelitian
dunia pengobatan. Ekstraksi Metabolit Sekunder S. cristaefolium
Alga coklat S. cristaefolium yang digunakan
dalam penelitian ini berasal dari perairan Sumenep

Fahri, M. (2010) 2
Madura, yang telah dikeringkan dengan kadar air Pada control dimasukkan 2 mL air laut dalam
sekitar 10-20 %. Sampel dalam bentuk serbuk halus botol vial, 10 μL dimetil sulfoksida, 10 ekor larva A.
kering digunakan untuk diekstraksi. salina L dan setetes larutan ragi roti, kemudian
Ekstraksi senyawa bioaktif dari S. cristaefolium ditambahkan air laut sampai volumenya menjadi 5
menggunakan metode maserasi bertingkat. mL. Pengamatan Uji Toksisitas ini untuk mengetahui
Sebanyak 500 gram sampel diekstraksi nilai Lethal Concentration 50 (LC50) dengan
menggunakan pelarut dengan kepolaran berbeda. menghitung jumlah larva A. salina yang mati setelah
Pelarut non polar kloroform sebanyak 1 liter (1000 ml) perlakuan dengan pemberian ekstrak senyawa
selama 24 jam pertama kemudian disaring. Maserasi dengan konsentrasi berbeda dari S. cristaefolium
dengan pelarut kloroform ini sebanyak 3 kali. Setelah setelah 24 jam dari perlakuan.
itu ampas dikeringkan hingga terbebas dari pelarut Analisis Hasil Uji Toksisitas
kloroform dan dimaserasi kembali selama 24 jam Efek toksisitas dianalisis dari pengamatan
menggunakan pelarut semi polar aseton sebanyak 1 dengan persen kematian dengan rumus perhitungan
liter (1000 ml) kemudian disaring. Maserasi dengan sebagai berikut ini :
pelarut aseton ini sebanyak 2 kali. Setelah itu ampas
kembali dikeringkan sampai terbebas dari pelarutnya. Jumlah Larva Yang Mati
Selanjutnya dimaserasi kembali dengan pelarut polar % Larva = X 100 %
yaitu metanol sebanyak 1 liter (1000 ml) selama 24 Jumlah Larva Uji
jam kemudian disaring. Maserasi dengan pelarut
metanol ini sebanyak 2 kali. Ketiga ekstrak yang Dengan mengetahui kematian larva A. salina,
diperoleh dipekatkan dengan rotary vacum kemudian dicari angka probit dan dibuat persamaan
0
evaporator pada suhu 60 C sampai diperoleh ekstrak garis :
pekat kloroform, aseton, dan metanol. Asumsi Y = Bx + A
perbandingan pelarut kloroform, aseton, dan metanol dimana :
Y = Log konsentrasi
dengan sampel secara berturut-turut sebanyak 6:1,
X = Angka probit
4:1 dan 4:1.
Ketiga ekstrak pekat yang diperoleh selanjutnya Dari persamaan tersebut kemudian dihitung LC50
diuji toksisitasnya dengan mengunakan larva udang dengan memasukkan nilai probit (50 % kematian).
Artemia salina L. Apabila pada kontrol ada larva yang mati, maka %
kematian ditentukan dengan rumus Abbot (Meyer et
Uji Toksisitas Ekstrak Metode BSLT al., 1982).
. Media penetasan berupa air laut buatan dengan T–K
melarutkan garam dapur sebanyak 38 gram dalam % Kematian Larva = X 100 %
1000 ml air tawar sehingga salinitas air berkisar 32- 10
35 ppm. Salinitas ini sesuai dengan salinitas habitat Dimana :
hidup alami dari A. salina L. Media penetasan ini T = Jumlah larva uji yang mati
K = Jumlah larva kontrol yang mati
ditempatkan dengan pencahayaan yang cukup. 10 = Jumlah larva uji
Wadah penetasan A. salina L menggunakan botol
plastik transparan ukuran volume 1500 ml yang Uji Fitokimia Metabolit Sekunder
dimodifikasi dengan perlengkapan aerasi kuat a. Pemeriksaan Falvonoid, Fenolik dan Saponin.
Sebanyak 1 gram kista A. salina L dimasukan - Flavonoid, ekstrak air (aqueous extract) ditetesi
dalam media 1500 ml air laut buatan dengan larutan amoniak encer dan ditetesi asam sulfat
pemberian aerasi yang cukup. Suhu penetasan pekat. Terbentuknya warna kuning
0
adalah ± 25-30 C dan pH ± 6-7. Telur akan menetas mengindikasikan adanya flavonoid. Cara lain
setelah 18-24 jam dan larvanya disebut nauplii. dengan menambahkan HCl pekat dan beberapa
Nauplii siap untuk uji BSLT setelah larva ini berumur butir serbuk magnesium ke dalam ekstrak air.
48 jam (Subyakto, 2003). Pewarnaan oranye sampai merah
Konsentrasi masing-masing sampel dibuat 5 mengindikasikan adanya flavonoid.
konsentrasi berbeda yaitu 6,25 μg/mL, 12,5 μg/mL, - Fenolik, ekstrak dalam tabung reaksi ditetesi
25 μg/mL, 50 μg/mL, dan 100 μg/mL dan masing- larutan FeCl3. Pewarnaan biru atau biru keunguan
masing dengan kontrol (0 μg/mL). Ekstrak pekat menunjukkan positif fenolik.
kloroform, aseton dan metanol ditimbang sebanyak - Saponin, ekstrak dalam tabung reaksi dikocok
50 mg dan dilarutkan dengan menggunakan 5 ml kuat, pembentukan busa permanen (sekitar 15
pelarutnya masing-masing. Selanjutnya, larutan menit) dan tidak hilang dengan penambahan 1
dipipet masing-masing sebanyak 500 μL, 250 μL, 125 tetes HCl pekat menunjukkan positif adanya
μL, 62,5 μL, dan 31,25 μL, kemudian dimasukkan ke saponin.
dalam botol vial, pelarutnya diuapkan selama 24 jam. b. Pemeriksaan Alkaloid (Maldoni, 1991)
Masing-masing vial dimasukkan 2 mL air laut, 10 μL Penambahan larutan kloroform-amoniak 0,05 N
dimetil sulfoksida (DMSO) sebagai emulsigator, 10 pada ekstrak kloroform dalam tabung reaksi
ekor larva udang, dan setetes larutan ragi roti, kemudian ditambahkan H2SO4 2 N (10-20 tetes).
kemudian ditambahkan air laut sampai volumenya Pemberian pereaksi Meyer (1-2 tetes) dan pereaksi
menjadi 5 mL, sehingga konsentrasi masing-masing Dragendorff (1-2- tetes). Uji positif alkaloid ditandai
menjadi 100, 50, 25, 12,5 dan 6,25 ppm. dengan adanya endapan putih yang relatif banyak

Fahri, M. (2010) 3
(+4), kabut putih tebal (+3), kabut tipis (+2) dan kabut memastikan kemurnian dari isolat maka dilakukan
putih tipis (+1) untuk uji pereaksi Meyer dan pereaksi analisis dengan menggunakan metode HPLC analitik
Dragendorff menunjukkan adanya endapan jingga dengan komposisi gradien (eluen) metanol-air ada
sampai merah coklat. kolom fase terbalik (reversed phase) C-18 (RP-18)
c. Pemeriksaan Terpenoid/Streoid (Libermann- dan detektor Photo Dioda Array untuk merunut
Burchard : AC2O/H2SO4) keberadaan senyawa utama. Kemudian dilakukan
Pemberian anhidrida asam asetat (AC2O) isolasi senyawa utama dengan HPLC preparatif,
sebanyak 1-2 tetes dalam ekstrak kloroform dan Pada penggunaan HPLC preparatif, dibuat gradien
sebagai pembanding menggunakan H2SO4 pekat (1-2 seoptimal dan sesingkat mungkin dengan cara
tetes). Perubahan warna menjadi merah atau merah mengubah atau mengganti konsentrasi eluen.
keunguan mengindikasikan terpenoid dan hijau atau Selanjutnya, setelah didapatkan senyawa utama,
hijau kebiruan untuk streoid. dilakukan penentuan struktur dengan metode
Uji terpenoid (Salkowski Test) dengan pemberian spektroskopis.
H2SO4 pekat pada ekstrak kloroform sehingga
terbentuk 2 lapisan fasa cair. Terbentuknya warna Identifikasi Senyawa Bioaktif Flavonoid
coklat kemerahan pada antar muka lapisan Spektrofotometri UV-vis
menunjukkan adanya terpenoid. Isolat hasil KLT dimasukkan ke dalam kuvet dan
diamati spektrumnya pada panjang gelombang 200-
Isolasi Senyawa Bioaktif Flavonoid 600 nm. Identifikasi dilanjutkan dengan penambahan
KLT Kualitatif pereaksi geser NaOH 2 M. AICl3 5 %, NaOAc, H3BO3,
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan plat kemudian diamati pergeseran puncak serapannya.
silika gel F254 dengan ukuran 2 X 10 cm. Ekstrak Tahapan prosedur penggunaan pereaksi geser
pekat S. cristaefolium ditotolkan pada plat silika jarak sebagai berikut :
1 cm dari bagian bawah dengan pipa kapiler. 1. Isolat yang diduga sebagai senyawa utama
Selanjutnya, dikeringkan dan dielusi dalam larutan diamati pada panjang gelombang 200-600 nm,
eluen yang dipersiapkan sesuai dengan tujuan direkam dan dicatat hasilnya.
senyawa apa yang akan diisolasi. Larutan eluen 2. Isolat dari tahap 1 ditambahkan 3 tetes NaOH 2
ditempatkan pada bejana kaca dengan bagian tutup M kemudian dikocok sehingga homogen dan
yang lebar. Selama perendaman bejana ditutup agar diamati hasilnya.
media jenuh dengan larutan eluen. Ekstrak akan 3. Isolat tahap 1 ditambahkan 6 tetes pereaksi AICl 3
ditarik ke atas oleh eluen sampai jarak 1 cm dari 5 % dalam metanol kemudian dicampur hingga
bagian atas plat. Plat selanjutnya dikeringkan. homogen dan diamati hasilnya.
Pengamatan warna yang muncul dibawah penyinaran 4. Isolat tahap 1 ditambahkan serbuk NaOAc kira-
sinar ultra violet dengan panjang gelombang 256-366 kira 250 mg, campuran dikocok sampai homogen
nm. Plat disemprot dengan dengan pelarut dari dan diamati spektrumnya, selanjutnya
campuran vanili 0,25 ml dan etanol 25 ml kemudian ditambahkan serbuk H3BO3 kira-kira 150 mg
disemprotkan dengan H2SO4 untuk memperkuat dikocok sampai homogen dan diamati
penampakan warna yang muncul pada plat. Untuk spektrumnya.
mengetahui nilai RF dengan mengukur jarak antara
titik awal dengan pusat bercak yang dihasilkan Spektrometri Infrared
senyawa dan dibagi dengan jarak antara titik awal Isolat hasil KLT preparatif yang menunjukkan
dan garis depan (jarak yang ditempuh oleh adanya senyawa utama berdasarkan identifikasi
pengembang). Eluen yang memberikan hasil terbaik dengan spetrofotometri UV-vis diuapkan pelarutnya.
akan digunakan dalam pemisahan dengan KLT Isolat pekat diteteskan pada pelet KBr, dikeringkan
preparatif. kemudian dibuat spektrumnya.

KLT Preparatif HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemisahan dengan KLT preparatif menggunakan
plat silika gel F254 dengan ukuran 10 X 20 cm. Ekstrak Ekstraksi
pekat hasil ekstraksi ditotolkan sepanjang plat pada Hasil ekstraksi S. cristaefolium selengkapnya
jarak 1 cm dari garis bawah dan 1 cm dari garis tepi. disajikan dalam Tabel 1, sebagai berikut :
Selanjutnya dielusi dengan menggunakan eluen yang
memberikan hasil pemisahan terbaik pada KLT Tabel 1. Hasil Ekstraksi S. cristaefolium.
kualitatif. Noda yang diperoleh dikerok dan dilarutkan No Jumlah Pelarut Jumlah Lama Ekstrak Ekstrak
dengan metanol. Kemudian disentrifuge untuk Serbuk Pelarut Maserasi Kasar Pekat
(gram) (ml) (jam) (ml) (mg)
mengendapkan silikanya. Supernatan yang diperoleh
1 500 Kloroform 3000 3 x 24 1838 53
dipekatkan sehingga diperoleh isolat berdasarkan
2 500 Aseton 2000 2 x 24 1169 34
harga RF-nya. 3 500 Metanol 2000 2 x 24 1247 14

Analisa HPLC kualitatif Ekstrak pekat yang diperoleh digunakan dalam uji
Uji HPLC kualitatif dilakukan untuk mengetahui toksisitas dengan metode BSL) menggunakan larva
komposisi kandungan senyawa yang terkandung A. salina umur 48-72 jam untuk mengetahui
dalam ekstrak Sargassum cristaefolium. Untuk kemampuan aktifitas senyawa dalam ekstrak. Dari uji

Fahri, M. (2010) 4
toksisitas dapat diketahui ekstrak yang aktif untuk mortalitas 70 persen, konsentrasi 25 ppm sebesar 80
dilanjutkan ke tahap isolasi dan identifikasi senyawa. persen, pada konsentrasi 50 ppm sebesar 82 persen
dan 80 persen pada konsentrasi 100 ppm.
Uji Toksisitas Penurunan mortalitas dengan semakin meningkatnya
Hasil pengamatan mortalitas A. salina dalam uji konsentrasi ini diduga karena ekstrak kasar masih
toksisitas dengan metode BSLT diperoleh persentase banyak mengandung senyawa yang bekerja saling
mortalitas hewan uji dari masing-masing konsentrasi kontraproduktif satu sama lainnya. Nilai LC 50 ekstrak
ekstrak yang diujikan. Berdasarkan data tersebut kloroform dari hasil analisa probit dengan selang
dilakukan perhitungan dan analisa probit dengan kepercayaan p = 0.00 adalah 1.88 ppm yang berarti
program SPSS13 untuk mencari nilai LC50 dari mortalitas hewan uji mencapai 50% pada saat
masing-masing ekstrak yang diujikan. Hasil konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 1.88 ppm.
perhitungan analisa probit ekstrak kloroform, aseton Nilai LC50 ini termasuk dalam kategori sangat toksik
dan metanol dari S. cristaefolium disajikan pada karena nilai LC50-nya dibawah 30 ppm.
Tabel 2 berikut : Hubungan antara persentase mortalitas dengan
konsentrasi ekstrak aseton disajikan pada Gambar 2
Tabel 2. Hasil perhitungan uji BSLT ekstrak berikut ini.
kloroform, aseton dan metanol dari S. 100
cristaefolium 95 96
Dosis Ekstrak Mortalitas Persamaan Garis LC50 92
90 90 90
(ppm) (%) (µg/mL) 88
85
Kloroform

% Mortality
6.25 72 80
y = 0.067x + 88.58
12.5 70 Y=0.093x+73.16 1.88 75
R² = 0.720
25 80 R2=0.437 70
50 82 65
100 80
60
Aseton
6.25 90 55
12.5 88 Y=0.067x+88.58 3.97 50
25 92 R2=0.720
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78 84 90 96 102
50 90 Dosis (µg/mL)
100 96
Metanol
6.25 80 Gambar 2. Hubungan persentase mortalitas dengan
12.5 84 Y=0.099x+83.75 3.02 konsentrasi dosis ekstrak aseton dari S
25 92 R2=0.498 cristaefolium.
50 90 Berdasarkan nilai LC50 hasil analisa probit
100 92
Ket : P = 0.00 dengan SPSS13
dengan selang kepercayaan p = 0.00 pada ekstrak
aseton yaitu sebesar 3,97 ppm menunjukkan bahwa
Dari data persentase mortalitas larva A. salina angka mortalitas hewan uji mencapai 50% pada saat
pada ekstrak kloroform tersebut, dapat dibuat grafik konsentrasi ekstrak senyawa mencapai 3,97 ppm.
yang menunjukkan hubungan antara persentase Berdasarkan nilai LC50 maka ekstrak aseton
mortalitas dengan konsentrasi (dosis) ekstrak yang termasuk dalam kategori sangat toksik karena berada
larut dalam kloroform seperti pada grafik Gambar 1 dibawah 30 ppm (Meyer et. al, 1982).
berikut ini : Grafik hubungan antara persentase kematian
dengan konsentrasi dosis ekstrak metanol disajikan
pada Gambar 3 berikut ini.
100
y = 0.093x + 73.16
95
90 R² = 0.437 100
85 95
82
% Mortality

80 80 80 92 92
90 90
75
70 72 70 85
84
% Mortalitas

65 80 80 y = 0.099x + 83.75
60 75 R² = 0.498
55 70
50 65
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78 84 90 96 102 60
Dosis (µg/mL
55
50
Gambar 1. Hubungan persentase mortalitas dengan
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 78 84 90 96 102
konsentrasi ekstrak kloroform dari S Dosis (µg/mL)
cristaefolium.
Gambar 3. Hubungan persentase mortalitas dengan
Grafik diatas menujukkan bahwa konsentrasi konsentrasi ekstrak metanol dari S.
dosis ekstrak kloroform pada 6,25 ppm mortalitas cristaefolium.
mencapai 72 persen. Pada dosis 12,5 ppm

Fahri, M. (2010) 5
Hasil analisa probit dengan selang kepercayaan Aseton H2SO4 Tidak Ada Negatif Flavon,
p = 0.00 diperoleh nilai LC50 dari ekstrak metanol Endapan Flavonoid
Meyer Tidak Ada Negatif Alkaloid
yaitu sebesar 3.02 ppm. Ini berarti bahwa mortalitas Endapan
hewan uji sebesar 50 persen dicapai pada saat Dragendorff Tidak Ada Negatif Alkaloid
konsentrasi dosis ekstrak metanol sebsar 3.02 ppm. Endapan
Berdasar pada nilai LC50 ini maka ekstrak metanol Salkowski Tidak Ada Negatif Terpenoid
Endapan
dikategorikan sebagai sangat toksik.
Metanol H2SO4 Endapan Terpenoid, Steroid
Dari hasil analisa data uji toksisitas ini, Oranye
memperlihatkan bahwa semakin besar nilai Meyer Endapan Putih Alkaloid
konsentrasi dosis ekstrak, maka mortalitas larva A. Dragendorff Endapan Alkaloid
salina juga semakin besar. Hal ini sejalan dengan Oranye
Salkowski Endapan Flavon, Flavonoid
Harbone (1994), bahwa semakin tinggi konsentrasi Merah/Oranye
ekstrak maka sifat toksiknya juga semakin tinggi.
Kematian larva uji pada kontrol (0 ppm) disebabkan Hasil uji golongan (fitokimia) yang dilakukan,
oleh kematian alami. Sedangkan kematian pada menunjukkan bahwa senyawa metabolit sekunder
perlakuan pemberian ekstrak disebabkan oleh yang terdapat pada ekstrak S. cristaefolium
pengaruh sifat toksik dari ekstrak yang terlarut dalam mengandung senyawa flavonoid. Harbone (1987)
media hidup larva tersebut. menjelaskan bahwa pada uji fitokimia terhadap
Menurut Meyer et. al, (1982) tingkat toksisitas senyawa golongan flavonoid akan menunjukkan hasil
dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan positif dengan terjadinya perubahan warna berupa
melihat harga LC50-nya. Suatu ekstrak dianggap warna kuning kemerahan (oranye). Hal ini dibuktikan
sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 30 dengan pembentukan warna yang terbentuk yaitu
ppm, dianggap toksik bila nilai LC50 30-1000 ppm dan warna kuning kemerahan (oranye).
dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm.
Semakin kecil harga LC50 semakin toksik suatu Kromatografi Lapis Tipis
senyawa. Berdasarkan hasil uji toksisitas diketahui bahwa
Lebih jauh, Meyer (1982) dan Anderson (1991) ekstrak metanol merupakan ekstrak yang mempuyai
menjelaskan bahwa aktifitas ketoksikan suatu ekstrak aktifitas yang sangat aktif (sangat toksik) dengan nilai
dalam BSLT jika ekstrak dapat menyebabkan LC50 sebesar 3,02 ppm. Pada uji golongan ekstrak
kematian 50% larva uji pada konsentrasi kurang dari metanol juga mengandung beberapa senyawa
1000 ppm. Dengan demikian, berdasarkan nilai LC50 diantaranya flavonoid, flavon, alkaloid, terpenoid dan
yang diperoleh dari ketiga ekstrak yang diujikan maka steroid. Pelarut metanol merupakan pelarut yang
dinyatakan bersifat sangat toksik karena memiliki nilai bersifat polar. Pelarut polar memiliki kemampuan
LC50 dibawah 30 ppm.. yang lebih baik dalam melarutkan senyawa organik
Ekstrak yang paling toksik dapat dilihat dari dari bahan alam terutama senyawa fenol dan
kemampuan menyebabkan kematian hewan uji yang flavonoid. (Harbone, 1987).
lebih besar dengan konsentrasi lebih kecil. Hal ini Dengan demikian, uji tahap lanjut untuk
menunjukkan bahwa secara berturut-turut ekstrak mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid
paling toksik berdasarkan nilai LC50 adalah ekstrak yang terdapat dalam ekstrak yang aktif dilakukan
kloroform dengan nilai 1,88 ppm, ekstrak metanol pada ekstrak metanol dari S. cristaefolium. Ekstrak
dengan nilai 3,02 ppm dan ekstrak aseton dengan metanol dilanjutkan ke tahap pemisahan dan
nilai 3,97 ppm. pemurnian selanjutnya dengan Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) kualitatif dan preparatif.
Isolasi Senyawa Flavonoid Analisa pemisahan senyawa dari ekstrak metanol
Uji Golongan Senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) kualitatif
Uji golongan fitokimia senyawa dari ekstrak kasar menggunakan beberapa eluen. Penggunaan
S. cristaefolium sebagai uji pendahuluan dan berbagai macam komposisi dan eluen ini
panduan dasar keberadaan senyawa bioaktif dimaksudkan mampu untuk memisahkan senyawa
flavonoid dalam rangka isolasi. Hasil uji golongan flavonoid yang terkandung dalam S. cristaefolium.
mengandung senyawa golongan flavonoid, alkaloid, Hasil KLT kualitatif berupa pola pemisahan pada
steroid dan terpenoid. Secara ringkas, hasil uji kromatogram dari berbagai eluen yang digunakan.
golongan ekstrak dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai Berdasarkan pola kromatogram yang terbentuk pada
berikut : plat silika gel dapat ditentukan resolusi senyawa
flavonoid dan jenis flavonoid yang terdapat dalam
Tabel 3. Hasil Uji Golongan Senyawa Ekstrak Kasar ekstrak. Markham (1988), bahwa eluen yang
S. cristaefolium. digunakan untuk memisahkan komponen dari bahan
Ekstrak Pereaksi Hasil / Warna Dugaan
alam yang diduga mengandung senyawa flavonoid
Kloroform H2SO4 Orangye/Kuning Flavon, Flavonoid
Tua adalah n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan
Meyer Endapan Putih Alkaloid komposisi (4:1:5), dan metanol : kloroform (7:3).
Dragendorff Endapan Alkaloid Eluen yang digunakan pada KLT kualitatif ini
Oranye adalah n-butanol : asam asetat : air (BAA) dengan
Salkowski Endapan Terpenoid, Steroid
Merah/Oranye
komposisi (4:1:5), metanol : kloroform (7:3), asam
asetat : benzene (2:8), etil asetat : n-heksan (7:5) dan

Fahri, M. (2010) 6
toluen : eter : asam asetat (10:10:2). Hasil KLT Data hasil analisa HPLC kualitatif terhadap
kualitatif dengan beberapa eluen tersebut disajikan ekstrak metanol S. cristaefolium menunjukkan bahwa
dalam Table 4. puncak utama senyawa yang terdapat dalam ekstrak
metanol berada pada puncak kedua dengan waktu
Tabel 4. Hasil KLT kualitatif beberapa eluen dari retensi (waktu hambat/tambat) 20.03 menit serta area
ekstrak metanol S. cristaefolium. persentase senyawa sebesar 38.505 %. Puncak ini
No Eluen Komposisi Hasil pada KLT kualitatif mempunyai nilai Rf 0.88 cm dan
1 n-butanol : asam 4:1:5 Senyawa tidak menunjukkan warna oranye keungunan menyala
asetat : air (BAA) memisah, warna
ungu kekuningan pada sinar UV 366 nm. Sedangkan puncak yang juga
2 metanol : kloroform 7:3 Senyawa terpecah, menunjukkan warna oranye menyala pada sinar UV
tidak memisah, 366 nm hasil KLT kualitatif dengan nilai Rf 0.77
warna seragam ditunjukkan oleh puncak keempat pada hasil HPLC
3 asam asetat : 2:8 Senyawa bergerak
benzene lurus, tidak memisah,
dengan waktu retensinya 29.92 menit dan area
warna seragam persentase senyawa sebesar 7.757 %.
4 etil asetat : n- 7:5 Noda 3 berhimpitan,
heksan warna ungu, biru Identifikasi Senyawa Flavonoid
muda dan ungu
muda
Identifikasi Pendahuluan
5 toluen : eter : asam 10:10:2 9 Noda, warna Identifikasi pendahuluan terhadap warna
asetat oranye, coklat, kromatogram pada plat silika gel hasil KLT kualitatif
kuning kehijauan, berdasarkan penampakan warna kromatogram yang
terbentuk. Penampakan warna diamati dengan sinar
Hasil pemisahan secara KLT kualitatif UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm
menunjukkan bahwa eluen yang memberikan hasil baik sebelum maupun sesudah disemprot dengan
terbaik adalah toluen : eter : asam asetat (10:10:2) pelarut berflourenses (larutan vanila 5% dalam etanol
mampu memberikan resolusi terbaik, terlihat dari dan H2SO4). Warna kromatogram dari masing-masing
terbentuknya noda yang terpisah dan jumlah noda noda yang terbentuk hasil KLT kualitatif disajikan
yang paling banyak yaitu 9 noda. Campuran eluen dalam Tabel 5.
lain yang menghasilkan noda adalah etil asetat : n-
heksan (7:5) tetapi tidak mampu memisah dengan Tabel 5. Harga RF dan warna noda kromatogram
baik noda yang masih berhimpitan dan jumlah noda hasil KLT kualitatif dengan eluen toluen :
hanya 3 noda. Sedangkan eluen lainnya tidak dapat eter : asam asetat (10:10:2).
memisahkan senyawa yang terlihat dari gerak Noda RF Warna Noda/Hasil
senyawa yang membentuk garis lurus. Dengan Tampa Sinar UV Vanila 5% dalam
demikian, eluen terbaik yang digunakan dalam UV + etanol+Sinar UV
Semprot 254 nm 366 nm 254 nm 366 nm
pemisahan senyawa flavonoid pada analisa 1 0.94 Hijau Coklat Coklat - Coklat
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) preparatif adalah muda muda muda
eluen campuran toluen : eter : asam asetat (10:10:2). 2 0.88 Hijau biru Coklat Oranye Biru Oranye
Hasil pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis muda muda muda terang
(KLT) preparatif hampir sama dengan KLT kualitatif 3 0.83 - - Putih - Coklat
muda
hanya berbeda pada kuantitas ekstrak lebih banyak 4 0.77 Hijau - Coklat Biru Oranye
yang digunakan. Penggunaan plat silika gel dengan kuning oranye muda ungu
ukuran yang besar dan lebih banyak. Noda-noda 5 0.72 Hijau biru Coklat Ungu - -
yang dihasilkan pada KLT preparatif ditandai muda muda
6 0.66 Coklat Coklat Coklat Coklat Ungu
selanjutnya dikerok dan dilarutkan pada pelarut
muda muda muda
metanol. Isolat yang diperoleh tersebut kemudian 7 0.61 Ungu - Coklat - Ungu
diidentifikasi dengan spektrofotometri UV-visual dan muda muda muda
Inframerah (FT-IR). 8 0.55 Oranye Coklat Coklat Biru Biru
kuning muda hitam
9 0.44 Hijau Coklat Coklat Coklat Coklat
HPLC kuning biru biru
Hasil analisa HPLC kualitatif terhadap ekstrak
metanol S. cristaefolium disajikan dalam gambar 4 Berdasarkan Tabel 5 tersebut, penampakan
sebagai berikut. warna kromatogram noda 2 dengan Rf 0,88 cm
tampak hijau kebiruan, pada sinar UV 254 nm
sebelum disemprot dengan pelarut berflourensens
(vanila 5 % dalam etanol dan H2SO4) tampak coklat
muda dan tampak oranye pada sinar UV 366 nm.
Untuk noda 4 dengan Rf 0,77 cm berwarna hijau
kekuningan. Sebelum disemprot tidak tampak pada
UV 254 nm dan terlihat coklat oranye pada UV 366
nm. Pada sinar UV 254 nm setelah disemprot tampak
biru muda dan oranye keunguan pada sinar Uv 366
Gambar 4. Hasil HPLC ekstrak metanol S.cristaefolium. nm.

Fahri, M. (2010) 7
Dari 9 noda tersebut, noda ke 2 dan ke 4 Markham (1988), sistem hidroksilasi pada flavon
memperlihatkan warna oranye terang keunguan ditunjukkan dengan pemunculan puncak yang
(lembayung) pada UV 366 nm setelah disemprot kadang-kadang berupa bahu pada spektrum pita I.
maka dapat diduga pada kedua noda tersebut Spektrum UV-vis isolat ekstrak metanol S.
terdapat senyawa flavonoid golongan flavon, cristaefolium yang disolasi disajikan dalam Gambar 5
isoflavon, flavonol, dihidroflavonol atau flavanon dan 6.
(Markham, 1998).
Kedua noda senyawa ini (2 dan 4) dilakukan
isolasi dengan kromatografi lapis tipis (KLT)
preparatif karena warna oranye menyala pada
gelombang UV 366 nm setelah disemprot dengan
larutan berflourensens vanila 5 % dalam etanol dan
H2SO4 pekat mengindikasikan keberadaan
kandungan senyawa flavonoid. Markham (1988),
vanila 5 % dalam etanol dan H2SO4 pekat
perbandingan 4:1 akan menimbulkan bercak merah Gambar 5. Spektrum UV Isolat Noda ke 2 Rf 0,88
atau merah lembayung segera setelah penyemprotan cm.
dan pemanasan (dengan pengering rambut) oleh
katekin dan proantosiniadin. Bila bercak terbentuk
lebih lambat disebabkan oleh flavanon dan
dihidroflavonol. Pereaksi bereaksi dengan semua
flavonoid yang mempunyai pola oksidasi lingkar-A
floroglusinol dan lingkar-C jenuh.

Spektrofotometri Ultra Violet Cahaya Tampak (UV-


vis)
Identifikasi senyawa flavonoid dengan
spektrofotometri UV-visual ini berdasarkan pada Gambar 6. Spektrum UV Isolat Noda ke 4 Rf 0,77
serapan cahaya oleh molekul dalam daerah cm.
ultraviolet dan tampak tergantung dari transisi Dari spektrum UV-vis setelah penambahan
elektroniknya. Markham (1988), Spektrofotometri pereaksi geser NaOH, AlCl3, NaOAc, dan campuran
serapan Ultra Violet dan serapan Tampak (UV-vis) NaOAc dan H3BO3 terhadap isolat memberikan pola
barangkali merupakan cara tunggal yang paling pergeseran yang berbeda-beda. Hasil pergeseran
berguna untuk menganalisis struktur flavonoid. spektrum UV dari isolat noda 2 dan 4 dengan adanya
Analisis dengan spektrofotometri UV-vis berguna pereaksi geser disajikan dalam Lampiran 7 dan Tabel
dalam mengidentifkasi jenis golongan senyawa 6.
flavonoid dan menentukan pola oksigenasinya. Tabel 6. Pergeseran rentang panjang gelombang
Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti puncak spektrum UV-vis Isolat 4 dengan
flavonoid dapat ditentukan dengan menambah adanya pereaksi geser.
pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan Pereaksi Geser Pita I Pita II Pergeseran Pergeseran Dugaan
(nm) (nm) Pita I Pita II Substitusi
mengamati puncak serapan yang terjadi. (nm) (nm)
Senyawa flavonoid mengandung cincin aromatik MeOH 300-550 240-285
yang tersusun dari 15 atom karbon dengan inti dasar MeOH+NaOH 300-550 240-285 +5 7-OH
MeOH+AICl3 300-550 240-285 tetap 5-OH
tersusun dalam konjungasi C6-C3-C6 (dua inti MeOH+NaOAc 300-550 240-285 kekuatan 6,7 –di OH
aromatik dihubungkan dengan atom karbon). Pita menurun
MeOH+NaOAc 300-550 240-285 +8
spektrumnya dapat terserap kuat pada panjang +H3BO3
gelombang UV disebabkan oleh keberadaan dari
cincin aromatik tersebut. Profil pita yang memberikan Berdasarkan Markham (1988) dapat diamati
spektrum UV khas flavonoid dapat diidentifikasi lebih bahwa pola grafik hidroksilasi isolat noda 4 yang
lanjut dengan pereaksi geser. Pereaksi geser ini diisolasi tersebut mengarah pada flavanon
untuk menentukan kedudukan gula dan gugus (naringenin) atau dihidroflavonol. Hal ini secara jelas
hidroksil fenol pada inti flavonoid dengan cara dapat diamati dari adanya pola dua puncak utama
mengamati pergeseran puncak (peak) serapan yang dari isolat noda ke 4 ini. Rentang serapan spektrum
terjadi. utama UV-visual flavonoid untuk flavanon dan
Pereaksi geser yang digunakan adalah NaOH, dihidroflavonol berada ada 275-295 nm pada pita II.
AlCl3, NaOAc, dan campuran NaOAc dan H3BO3. Rentang serapan spektrum utama UV-visual
Identifikasi dan analisa struktur flavonoid dengan flavonoid ini sesuai dengan spektrum yang muncul
spektrum UV dilakukan terhadap isolat noda oranye pada serapan pita II isolat noda 4 yaitu 280 nm.
yaitu noda 2 dan 4. Melihat perubahan spektrum dengan pereaksi
Menurut Markham (1988) dan Mabry (1970), geser pada isolat noda ke 4 dengan Rf 0,77 cm
spektrum khas flavonoid terdiri dari dua pita yaitu (Tabel 8) dengan didukung oleh pustaka (Markham,
pada rentang panjang gelombang 240-295 nm (pita 1998; Mabry, 1970) maka dapat dijelaskan bahwa
II) dan 300-350 nm (pita I). Lebih lanjut, menurut dengan adanya pereaksi geser NaOH terjadi

Fahri, M. (2010) 8
pergeseran pita II sebesar 5 nm ke kanan mengarah
pada substitusi posisi 7-OH. Penambahan pereksi ‘3 CH3
geser AICl3 tidak terjadi pergeseran pada pita I (tetap) ‘2 ‘4
mengarah pada substitusi posisi 5-OH. Penambahan 1
B
pereaksi geser NaOAc (asam asetat) menurunkan HO 8 O ‘5
7 9 2 ‘1
kekuatan pita II yang mengarah pada substitusi posisi
‘6
6,7 atau 7,8 atau 3, 4’-di OH (gugus yang peka A C
6
terhadap basa). Pada pita I dengan pereaksi geser 3
HO 10
AICl3 ini mengalami pergeseran sebesar 7 nm 5 4
mengarah ada 7-OH. Sedangkan penambahan
NaOAc dan H3BO3 (asam borat) terjadi pergeseran OH O
pita I ke kanan sebesar 8 nm yang mengarah pada
substitusi o-di OH pada cincin A (6,7). Pergeseran 8
nm ini hanya menambah 1 nm dari pergeseran oleh Pita II (Cincin A) Pita I (Cincin B dan C)
NaOAc yang berarti tidak signifikan atau tetap (tidak
ada pergeseran). Hal ini membuktikan bahwa pada Gambar 7. Dugaan Struktur Senyawa 5,6,7,-
cincin B terjadi proses metilasi atau glikolisasi yang dihidroflavonol yang diperoleh.
menghambat hidrolisis (ionisasi). Dengan demikian
diduga bahwa isolat yang diisolasi adalah senyawa Untuk isolat noda ke 2 yang diisolasi dengan
flavonoid golongan dihidroflavonol yakni 5,6,7- melihat serapan panjang gelombang dari adanya
dihidroflavonol. pereaksi geser menunjukkan serapan panjang
Markham (1982), lebih jauh memaparkan bahwa gelombang berada diluar rentang panjang gelombang
spektrum khas jenis flavonoid utama dengan pola dari spektrum khas flavonoid (240-295 nm pita II dan
oksigenasinya yang setara (5,7,4’) adalah kekuatan 300-350 nm pita I) yaitu sebesar 610-660 nm pada
nisbi yang rendah pada pita I dalam dihidroflavon, pita I dan 408 nm pada pita II. Ini dapat diduga bahwa
dihidroflavonol dan isoflavon serta kedudukan pita I isolat noda ke 2 dengan Rf 0,88 cm bukan senyawa
pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang flavonoid yang menjadi senyawa target.
terdapat pada panjang gelombang yang tinggi.
Proses metilasi atau glikosilasi (terutama pada Spektroskopis Infrared (FT-IR)
3,5,7 dan 4’-hidroksil) mengakibatkan pergeseran pita Analisis spektrofotometri inframerah (Fourier
ke panjang gelombang yang lebih rendah. Sifat gula Transform Infrared, FT-IR) bertujuan untuk
pada glikosida biasanya tidak berpengaruh. Proses menentukan gugus fungsional suatu senyawa
metilasi terdeteksi dari pereaksi geser NaOAc yang berdasarkan serapan spektrum elektromagnetik pada
tidak mengakibatkan pergeseran pita serapan daerah IR. Hasil analisis spektrum IR menunjukkan
panjang gelombang pada cincin B diduga disebabkan bahwa isolat yang diisolasi mengandung gugus-
oleh keberadaan CH3 bukan oleh gula. Ini diperkuat gugus fungsional dengan perkiraan gugus fungsional
dengan data Infrared (IR) dimana muncul peak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15 dan Tabel
-1
serapan pada panjang gelombang 1347,19 cm 9.
-1
dimana pada daerah ini merupakan daerah serapan Pita lebar kuat pada puncak 3445,59 cm
khas gugus-gugus metil pada alkohol dan fenol. menunjukkan adanya gugus –OH, puncak 2973,07
-1
Pergeseran ke panjang gelombang yang lebih cm menunjukkan vibrasi ukur C-H asimetris dan
kecil pada pita II dengan NaOAc menunjukkan bahwa vibrasi ulur simetris terdapat pada puncak 2866,02
-1
pada posisi 7 terjadi metilasi atau glikolisasi. cm , yang diperkuat dengan adanya vibrasi tekuk
-1 -1
Pergeseran panjang gelombang 10 nm pada pita I =C-H pada 1457,12 cm dan 1347,19 cm . Hal ini
dengan AICl3 disebabkan karena mengandung gugus sesuai dengan Silverstein et al, (1986), bahwa gugus-
hidroksil pada posisi 5. Pergeseran ke arah gugus metil pada alkohol dan fenol biasanya memiliki
-1
batokromik mengakibatkan perpanjangan delokalisasi getaran tekuk simetrik (δsCH3) didekat 1375 cm
elektron oleh senyawa kompleks. Adanya gugus 5- (7,28 µm), sedangkan getaran tekuk tak-simetrik
-1
OH didukung oleh adanya serapan yang muncul (δαsCH3) di dekat 1450 cm (6,90 µm). Pita-pita khas
pada daerah 1639,38 cm-1 pada spektrum IR yang yang teramati dalam spektrum alkohol dan fenol
merupakan serapan khas flavonol dengan adanya dihasilkan oleh uluran (vibrasi) O-H dan uluran C-O.
gugus 5-OH (Geissman, 1969). (Silverstein, et. al., 1986).
Berdasarkan data analisa spektrum UV-vis dan Vibrasi ulur C=O karbonil ditunjukkan pada
-1
spektrum inframerah maka noda ke 4 (empat) diduga puncak 1639,38 cm menunjukkan adanya pita
merupakan senyawa flavonoid golongan kerangka C=C yang diperkuat adanya vibrasi ulur C-
-1
dihidroflavonol, dengan struktur sebagai berikut : O eter (jembatan O) pada puncak 1054,99 cm .
-1
Sedangkan daerah serapan pada puncak 800 cm
kebawah menunjukkan tekuk C-H keluar bidang yang
berarti adanya benzena tersubstitusi (substitusi cincin
aromatik).

Fahri, M. (2010) 9
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1.
Hasil skrining fitokimia (uji golongan) senyawa
ekstrak metanol S. cristaefolium mengandung
beberapa senyawa diantaranya flavonoid, flavon,
alkaloid, terpenoid dan steroid. Hasil analisis
dengan spektroskopi UV-visual dan spektroskopi
infrared (IR) diduga golongan flavonoid yang
terkandung dalam ekstrak metanol S. cristaefolium
adalah senyawa 5,6,7,-dihidroflavonol yang
diperoleh dari isolat noda ke 4 pada KLT kualitatif
dengan nilai Rf 0,77 cm.
Gambar 8. Spektrum Infrared dari isolat noda ke- 4 2. Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp
Rf 0.77 cm. Lethality Test (BSLT) ekstrak kasar senyawa dari
S. cristaefolium diperoleh nilai LC50 dari masing-
Tabel 7. Hasil analisa spektrum infrared dari isolat masing ekstrak yaitu ekstrak kloroform sebesar 1,
noda 4. 88 ppm yang merupakan ekstrak paling toksik,
Bilangan Rentang diikuti oleh ekstrak metanol dengan nilai sebesar
Gelombang Bilangan Perkiraan Gugus Fungsional 3,20 ppm dan ekstrak aseton sebesar 3,97 ppm.
(cm-1) Gelombang Hal ini menunjukkan bahwa ketiga ekstrak
-1
(cm ) senyawa dari S. cristaefolium mempunyai prospek
3445,59 3000-3750 Ikatan hidrogen antarmolekular,
uluran regang O-H dapat dikembangkan sebagai sumber senyawa
2973,07 2900-3300 Regangan C-H aromatik (asimetris) bioaktif dalam dunia farmasi, misalnya sebagai
2866,02 2700-3000 Regangan C-H metilena (simetris) antitumor atau antikanker.
2075,26 2100-2400 Nada lipat atau pita kombinasi
1639,38 1650-1900 Regangan cincin C=C alifatik / Saran
aromatis
14457,12 1300-1475 Tekukan O-H dalam bidang Disarankan untuk penelitian lebih lanjut
1347,19 Uluran C-H dengan melakukan analisa yang lebih lengkap
1
1109,96 Rentangan C-H terhadap ekstrak S. cristaefolium meliputi H-NMR,
1054,99 1000-13000 Rentangan C-O 13
LCMS, C-NMR untuk dapat menduga struktur
1013,52
senyawa secara lebih tepat terhadap senyawa yang
Tekukan C-H keluar bidang (800
800-kebawah 650-1000 cm-1), tekukan cincin C=H keluar telah diisolasi. Perlu adanya penelitian lebih lanjut
bidang (600 cm-1), ikatan hidrogen terhadap masing-masing ekstrak (kloroform, aseton
lebar, tekukan O-H keluar bidang dan metanol) dengan menggunakan konsentrasi
(650 cm-1) (dosis) dibawah 6,25 ppm terkait dengan potensi dan
prospeknya sebagai sumber senyawa bioaktif bahan
Dari analisis hasil spektroskopis infrared tersebut alam yang memiliki peran dalam dunia farmasi
menunjukkan bahwa senyawa yang diisolasi mengingat sifatnya yang sangat toksik. Selain itu,
kemungkinan mempunyai gugus fungsi –OH, C-H, disarankan untuk melakukan kajian-kajian terhadap
C=O, C-O, =C-H dan C-C (cincin benzena). manfaat alga coklat S. cristaefolium sehingga dapat
Berdasarkan interpretasi data yang diperoleh dari dimanfaatkan secara optimal. S. cristaefolium pada
analisa spektrum UV-vis dan spektrum inframerah saat ini belum dimanfaatkan dengan optimal
(IR) maka dapat disimpulkan bahwa isolat noda ke 4 meskipun jumlahnya sangat melimpah diperairan laut
(empat) dari ekstrak metanol S. cristaefolium yang Indonesia. Pemanfaatan S. cristaefolium dalam
diisolasi diduga merupakan senyawa flavonoid rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
golongan dihidroflavonol, dengan struktur sebagai secara luas.
berikut :
‘3 CH3
UCAPAN TERIMAKASIH
‘2 ‘4
1
B Penelitian ini merupakan bagian dari payung
HO 8 O ‘5 proyek dari penelitian Prof. Ir. Yenny Risjani, DEA.
7 9 2 ‘1
Ph.D. sekaligus sebagai pembimbing I. Kepada
‘6
A C beliau kami sampaikan ucapan terimakasih yang
6 sebesar-besarnya atas kesempatan yang telah
3
10
HO 5 4
diberikan ikut serta dalam penelitian ini. Ucapan
terimakasih juga kepada Dr. Drs. Sasangka
OH O Prasetyawan, MS selaku pembimbing II atas arahan
selama penelitian.
Gambar 9. Struktur Senyawa 5,6,7,-dihidroflavonol
yang diusulkan.
PUSTAKA

Fahri, M. (2010) 10
18. Parveen Akhtar And Viqar Sultana, 2004,
1. Anderson DP. 1974. Fish Immunologi. TFH Biochemical Studies Of Some Seaweed Species
Publication Ltd Hongkong. 239 p. From Karachi Coast, Zoological Survey
2. Anonymous, 2004. Buku Petunjuk Rumput Laut Department, Government of Pakistan, Karachi
Ditjen P. Budidaya. Dinas Kelautan dan (PA); Department of Biochemistry, University of
Perikanan Republik Indonesia. Karachi (VS). Rec. Zool. Surv. Pakistan, 14: 1-4
3. Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan (2002)
Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian 19. Parveen Akhtar And Viqar Sultana, 2004,
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Biochemical Studies Of Some Seaweed Species
Bogor. Bogor . (Khurniasari, 2004). From Karachi Coast, Zoological Survey
4. Boney, A. D. 1965. Aspect of the biology of the Department, Government of Pakistan, Karachi
seaweeds of economic importance. In : Basic in (PA); Department of Biochemistry, University of
Mar. Bot. 3 : 205 – 253. Karachi (VS). Rec. Zool. Surv. Pakistan, 14: 1-4
5. BOYD, J. & TURVEY, J.R. (1978). Structural (2002)
studies of alginic acid using a bacterial poly-a-L-
guluronate lyase. Carbohydr. Res., 66: 187 – 20. Perez, H., Diaz, F., and Medina, J. D. 1997.
194. Chemical investigation and in vitro antimalarial
6. Cabbalo, J.L., Hernandez-Inda, Z.L., Perez, P., activity of Tabebuia ochracea ssp.
Gravalos, M.D. 2002. A Comparison between two neochrysantha. International Journal of
brine shrimp assy to detect in vitro cytotoxicity in Pharmacog, 35: 227-231.
marine natural product (methodology article). 21. Rao,-A.S.; Rao,-M.U. 2002. Seasonal growth
BMC Biotechnology. 2:1-5. pattern in Sargassum polycystum C. Agardh
7. Calleja M.C, Persoone G, 1992. Cyst based (Phaeophyta, Fucales) occurring at
toxicity test IV, The potential of ecotoxicological Visakhapatnam, east coast of India. Indian
test for the prediction of acute toxicity in man as Journal of Marine Sciences [Indian-J-Mar-Sci].
evaluated on the first ten chemicals of the MEIC vol. 31, no. 1, pp. 26-32.
programme, ATLA-Altern Lab Animals, 20:396- 22. Robert, M. Silverstein, G. Clayton Bassler,
405. Terence C. Morril. 1986. Penyidikan
8. Cutler, SJ., H. Cutler. Biologically Active Natural Spektrometrik Senyawa Organik, Penerbit
Products: Pharmaceuticals. CRC Press LLC. Erlangga. Jakartan (Terjemahan A. J. Hartomo
Boca Raton. USA 2000;1-13, 17-22, 73-92. dkk).
9. Gritten, R.J., J.M. Bobbit, and A.E. Schwarling, 23. Sovia Lenny. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil
"Pengantar Kromatografi", terjemahan K. Propanoida, Alkaloida. USU Repository
Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, 24. Stahl, E., "Analisis Obat Secara Kromatografi dan
Bandung, 1991, 5-9. Mikroskopik", terjemahan K. Radmawinata dan I.
10. Harborne, JB., 1973, Phytochemical Methods: Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1985, 3-18. 15.
Chapman and Hall, Ltd., London, pp. 49-188 25. Tetsuro Ajisaka, 2006, Problems in the
11. Harborne, JB., et.al., Phytochemical Dictionary: A identification of “Sargassum duplcatum” Group,
Handbook of Bioactive Compounds from Plants, Coastal Marine Science 30(1): 174-178. Kyoto
2nd ed., Taylor & Francis Ltd., London., University, Japan.
1999;396, 487, 494. 26. Wiryowidagdo, Sumali. Kimia dan Farmakologi
12. Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rohman. 2007. Kimia Bahan Alam. Dirjen Dikti–Universitas Indonesia.
Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Jakarta 2000; viii + 339 hlm.
13. J.B. Harborne, Metode Fitokimia, Penuntun cara
modern menganalisis tumbuhan, (Terjemahan
Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro),
Penerbit ITB, Bandung, 1987
14. Jadulco, R.C. 2002, Isolation and Structure
Elucidation of Bioactive Secondary Metabolites
from Marine sponges and Sponges-derived Apakah kandungan senyawa bioaktif flavonoid yang
Fungi. Dissertation of Doktorgrades, University of terkandung dalam ekstrak alga coklat S.
Wuerzburg. 176p. cristaefolium.
15. Ledenberg, J., 1992. Encylopedi of Microbiology, Apakah ekstrak senyawa yang terdapat pada S.
Volume Academic Press Inc, Rockefller cristaefolium mempunyai daya toksisitas sehingga
University, New York memiliki potensi untuk dikembangkan dalam dunia
16. Markham. K.R., "Cara Mengindentifikasi pengobatan seperti antikaknker atau antitumor.
Flavonoid", terjemahan K. Radmawinata,
Penerbit ITB, Bandung, 1988, 1-117. 10.
17. Meyer, B. N., Ferrigni, N. R., Putnam, J. E.,
Jacobson, L. B., Nichols, D. E., and McLaughlin,
J. L. 1982. Brine shrimp: a convenient general
bioassay for active plant constituents. Planta
Medica, 45: 31-34.

Fahri, M. (2010) 11
Fahri, M. (2010) 12

You might also like