You are on page 1of 4

TANGGUNG JAWAB DALAM RUMAH TANGGA

Rumah tangga atau pernikahan yang sakinah di dalamnya terdapat kerja sama dan saling
membantu antara pasangan suami istri. Dengan begitu, mereka akan menciptakan banyak
tanggung jawab bersama di antara mereka berdua.

Ketika setiap pasangan melaksanakan tugasnya masing-masing dan tanggung jawab bersama
dengan baik, berarti mereka akan mampu mencapai kesuksesan dalam hidup berumah tangga.
Keluarga akan terdiri dari seorang suami sekaligus pemimpin yang sukses, seorang istri yang
mampu menjadi teladan, serta anak-anak yang berprestasi dan berguna bagi nusa dan bangsanya.

Di balik itu semua, ada kerja sama antara suami dan istri, dimana sang istri yang menunaikan
tugasnya dengan baik  akan mampu membuat prestasi suaminya meningkat sehingga meraih
kesuksesan. Ibaratnya, di balik setiap orang besar terdapat jasa seorang wanita. Begitupun sang
suami yang menunaikan tugasnya dengan baik akan dapat memberikan kesempatan bagi istrinya 
untuk dapat sukses mengatur rumah tangganya.

Tugas dan tanggung jawab yang dikerjakan secara bersama-sama tentunya akan dapat
meringankan pekerjaan yang berat dan sulit sekalipun.  Ibarat pepatah, berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing. Begitulah seharusnya yang terjadi dalam rumah tangga, saling membantu
dan bekerja sama.

Kita dapat bercermin kepada kehidupan rumah tangga Rasulullah saw yang menempatkan
akhlak sebagai jalan utama tercapainya kebahagiaan. Beliau tidak pernah memaksakan sesuatu
apapun terhadap istri-istrinya. Ia selalu mengisi kehidupan rumah tangganya dengan kehangatan
dan kebersamaan yang menyenangkan. Dan, beliau juga tak segan-segan ikut membantu istrinya
dalam mengerjakan kewajiban rumah tangganya.

Pembagian tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga hendaknya jangan sampai melanggar
rambu-rambu syariah. Dalam Islam, seorang istri keluar mencari nafkah hanya bersifat anjuran,
sunnah. Namun bagi suami itu wajib. Maka dahulukan yang wajib. Artinya, saling bantu dalam
urusan rumah tapi bukan berarti bertukar peran. Suami atau istri yang saling membantu dalam
tugas dan tanggung jawab pasangannya akan menciptakan kebaikan, seolah-olah dia juga ikut
bertanggung jawab dalam pelaksanaannya.

Tegaknya sebuah keluarga muslim memberikan andil yang sangat besar bagi terlaksananya
dakwah islamiyah. Islam sendiri memberikan tanggung jawab yang begitu agung kepada
keluarga baik dia seorang ayah maupun ibu untuk memberikan pendidikan, pengetahuan,
dakwah dan bimbingan kepada anggota keluarga. Pembinaan yang demikian inilah yang akan
menyelamatkan dan memberikan penjagaan kepada diri dan keluarga.

Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar
rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih
jika keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu / babysitter.

Islam justru memberi pekerjaan yang mulia kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah
mereka? Mereka diberi tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab tersebut, bisakah diterima
bila mereka dikatakan menganggur, tidak memberikan sumbangsih apa-apa kepada masyarakat
dan negerinya? Dalam bentuk pendapatan berupa materi mungkin tidak. Tapi dalam
mempersiapkan generasi yang sehat agamanya dan fisiknya?
Tentu tak dapat dipungkiri peran mereka oleh orang yang berakal sehat dan lurus serta mau
menggunakan akalnya. Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi. Dalam sebuah hadits
yang shahih disebutkan:

“Setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham
(pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang
ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya
tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya
dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta tuannya dan
ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in dan setiap kalian
akan ditanya tentang ra’iyahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang
dapat membaikkan amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan
menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan kepadanya. (Al-
Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)

Berdasarkan makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah, bertindak sebagai
penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang diamanahkan kepadanya. Seorang
pemimpin manusia, sebagai kepala negara ataupun wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan
pemegang amanah dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan
ditanya tentang kepemimpinannya.

Begitu pula seorang suami sebagai kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga
serta pengatur bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang
dipimpinnya.

Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur
urusan dalam rumah suaminya berikut anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya
tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata, “Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang
imam/pemimpin negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya berserikat dalam
penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna atau tugas/peran mereka berbeda-beda.

Amanah dan tanggung jawab imam a’zham (pemimpin negara) adalah untuk menjaga syariat
dengan menegakkan hukum had dan berlaku adil dalam hukum. Sementara kepemimpinan
seorang suami terhadap keluarganya adalah pengaturannya terhadap perkara mereka dan
menunaikan hak-hak mereka.

Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah mengatur urusan rumahnya, anak-
anaknya, pembantunya dan mengatur semua itu dengan baik untuk suaminya. Seorang pelayan
ataupun budak, ia bertanggung jawab menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan
menunaikan pelayanan yang wajib baginya.” (Fathul Bari, 13/141)

Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang
mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk berlaku adil di dalamnya,
menunaikan haknya yang wajib, menegakkan perkara yang dapat memberi maslahat kepada
apa yang diurusinya. Seperti, seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya
terhadap rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan
pengaturannya terhadap harta tuannya.” (Al-Ikmal, 6/230)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, “Setiap ra’in
bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada yang tanggung
jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya kecil. Karena itulah Nabi bersabda: ”
ia akan ditanya tentang ra’iyahnya (rakyatnya/ apa yang diatur dan dipimpinnya)”, seorang
suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya, yaitu istrinya, anak laki-
lakinya, anak perempuannya, saudara perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di
rumahnya. Ia ra’in bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib baginya
untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik pengaturan/pengurusan, karena ia
akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban tentang mereka.

Demikian pula seorang istri merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya tentang
urusannya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, dalam memasak, dalam
menyiapkan teh, dalam menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia memasak lebih dari yang
semestinya. Jangan ia membuat minuman teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi
seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-
lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak melampaui batas
dalam apa yang tidak sepantasnya.

Si istri bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya dalam perbaikan mereka dan perbaikan
keadaan serta urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada mereka,
melepaskan pakaian yang tidak bersih dari tubuh mereka, merapikan tempat tidur mereka,
memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin.

Demikian, ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana ia akan ditanya tentang memasaknya
untuk keluarganya, baiknya dalam penyiapan dan pengolahannya. Demikianlah ia akan ditanya
tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya.” (Syarhu Riyadhus Shalihin, 2/106,107)

Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan sebaik-
baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas tersebut bukan sembarang orang tapi manusia
yang paling mulia, paling berilmu dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pengemban syariat yang diturunkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari atas langit yang ketujuh. Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari
hawa nafsunya, melainkan semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan tertipu dengan teriakan orang-orang bodoh di
luar sana (para pejuang feminis/hak asasi wanita menurut pandangan barat, red) sehingga timbul
rasa minder berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma menganggur di
rumah.

Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan dikhidmatinya. Ada anak-anak yang harus
ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan
yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka kelak pada hari kiamat akan ditanya
tentang amanah yang dibebankan kepadanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:
”Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat, apakah ia menunaikan
perintah Allah atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
rahimahullahu dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma di atas )

Dan juga hadits: “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang
dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah menyia-nyiakannya.” (HR. Ibnu
‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari, dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini
seorang istri sebagai ibu rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya
terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari, 13/141)

Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Dan sadarilah bahwa peran
wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar dan penting. Di mana ia harus menunaikan hak
suaminya dan kewajibannya terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan
menyiapkan kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya dengan
kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)

Wallahu a’lam bish-shawab.

You might also like