You are on page 1of 20

PATOLOGI NIFAS

A. INFEKSI NIFAS (INFEKSI PUERPURALIS)


1. DEFINISI
Menurut Krisnadi (2005), infeksi nifas adalah infeksi jalan lahir pascapersalinan,
biasanya dari endometrium bekas insersi plasenta. Demam nifas juga disebut
morbiditas nifas dan merupakan indeks kejadian infeksi nifas. Demam dalam nifas
selain oleh infeksi nifas juga dapat disebabkan oleh pielitis, infeksi jalan pernafasan,
malaria, dan tifus.
Dalam Manuaba (1998) dijelaskan bahwa setelah persalinan, terjadi beberapa
perubahan penting diantaranya makin meningkatnya pembentukan urin untuk
mengurangi hemodilusi darah, terjadi penyerapan beberapa bahan tertentu melalui
pembuluh darah vena sehingga terjadi peningktan suhu badan sekitar 0,5°C yang
bukan merupakan keadaan patologis atau menyimpang pada hari pertama. Perlukaan
karena persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga
menimbulkan infeksi pada kala nifas. Oleh karena itu, infeksi kala nifas adalah infeksi
peradangan pada semua alat genetalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan
ketentuan meningkatnya suhu badan melebihi 38°C tanpa menghitung hari pertama
dan berturut-turut selama 2 hari.
Joseph dan Nugroho (2010) dan Prawirohardjo (2006) juga memberikan definisi
yang sama mengenai infeksi nifas yaitu infeksi bakteri pada dan melalui traktus
genitalia yang terjadi sesudah melahirkan , ditandai kenaikan suhu sampai 38°C atau
lebih selama 2 hari dalam 10 hari pertama pasca persalinan, dengan mengecualikan
24 jam pertama. Kenaikan suhu tubuh yang terjadi di dalam masa nifas, dianggap
sebagai infeksi nifas jika tidak ditemukan sebab-sebab ekstragenital (Prawirohardjo,
2006).
2. EPIDEMIOLOGI
CARI DULU TERBARU
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Krisnadi (2005) mikroorganisme penyebab infeksi puerpuralis dapat
berasal dari luar (eksogen) atau dari jalan lahir penderita sendiri (endogen).
Mikroorganisme endogen lebih sering menyebabkan infeksi.
a. Mikroorganisme endogen: golongan Streptococcus, basil koli, dan Stafilococcus
b. Mikroorganisme eksogen: Clostridium welchii, gonococcus, Salmonella typhii, atau
Clostridium tetani.
Faktor predisposisi infeksi nifas menurut Manuaba (1998), Joseph & Nugroho (2010)
antara lain:
a. Persalinan berlangsung lama
b. Tindakan operasi persalinan
c. Tertinggalnya placenta, selaput ketuban, dan bekuan darah
d. Ketuban pecah dini atau pembukaan masih kecil melebihi 6 jam
e. Keadaan yang dapat menurunkan keadaan umum, yaitu perdarahan antepartum
dan post partum, anemia pada saat kehamilan, malnutrisi, kelelahan, hygiene, dan
ibu hamil dengan penyakit infeksi.
Dalam Prawirohardjo (2006) juga disebutkan faktor predisposisi lain, yaitu:
a. Karioamnionitis
b. Kurang baiknya proses pencegahan infeksi
c. Manipulasi yang berlebihan
Perdarahan menurunkan daya tahan tubuh ibu, sedangkan trauma persalinan
memberikan port d’entrée dan jaringan nekrotis merupakan media yang subur bagi
mikroorganisme. Demikian juga partus lama, retensio placenta sebgaian atau
seluruhnya memudahkan terjadinya infeksi (Krisnadi, 2005).
4. MEKANISME TERJADINYA INFEKSI
Terjadinya infeksi kala nifas dalam Manuaba (1998) adalah sebagai berikut:
1. Manipulasi penolong: terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam, alat yang
dipakai kurang suci hama
Kemungkinan besar penolong persalinan membawa kuman ke dalam rahim
penderita, yakni dengan membawa mikroorganisme yang telah ada dalam vagina
ke atas, misalnya dengan pemeriksaan dalam. Mungkin juga tangan penolong atau
alat-alatnya masuk membawa kuman-kuman dari luar dan dengan infeksi tetes.
Oleh karena itu sebaiknya penolong persalinan memakai masker dalam kamar
bersalin dan pegawai dengan infeksi jalan nafas bagian atas hendaknya ditolak
bekerja di kamar bersalin (Krisnadi, 2005).
2. Infeksi yang didapat di rumah sakit (nosokomial)
Kadang-kadang sumber infeksi berasal dari penolong sendiri misalnya, jika
ada luka pada tangannya yang kotor atau dari pasien lain seperti pasien dengan
infeksi puerpuralis, luka operasi yang meradang, karsinoma uteri, atau dari bayi
dengan infeksi tali pusat (Krisnadi, 2005).
3. Hubungan seks menjelang persalinan
4. Sudah terdapat infeksi intrapartum: persalinan lama terlantar, ketuban pecah
lebih dari 6 jam, terdapat pusat infeksi dalam tubuh (fokal infeksi)
5. BENTUK INFEKSI
Bentuk infeksi kala nifas bervariasi dari yang bersifat lokal sampai terjadi sepsis dan
kematian puerperium. Bentuk infeksi dalam Manuaba (1998), Krisnadi (2005), dan
Joseph & Nugroho (2010) dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Bentuk infeksi lokal
1) Infeksi pada luka episiotomi
2) Infeksi pada vagina
3) Infeksi pada serviks yang luka
4) Infeksi pada endometrium
b. Bentuk infeksi general (menyebar)
1) Parametritis
2) Peritonitis
3) Septikekemia dan piemia
4) Tromboflebitis
5) Salpingitis
Penyebaran infeksi kala nifas menurut Manuaba (1998) dan Joseph & Nugroho
(2010) dapat meliputi:
a. Berkelanjutan-perkontinuitatum
b. Melalui pembuluh darah
c. Melalui pembuluh limfa
d. Penyebaran melalui bekas implantasi plasenta
Sedangkan dalam Krisnadi (2005), secara ikhtisar cara penjalaran infeksi alat
kandungan sebagai berikut:
a. Penjalaran pada permukaan
1) Endometritis
2) Salpingitis
3) Pelveoperitonitis
4) Peritonitis umum
b. Penjalaran ke lapisan yang lebih dalam
1) Endometritis
2) Miometritis
3) Perimetritis
4) Peritonitis
c. Penjalaran melalui pembuluh getah bening
1) Limfangitis
2) Perlimfangitis
3) Parametritis
4) Perimetritis
d. Penjalaran melalui pembuluh darah balik
1) Flebitis  sepsis
2) Perifleblitis
3) Parametritis
6. PATOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN PENATALAKSANAAN
Gambaran klinis infeksi nifas dalam Manuaba (1998) dapat dalam bentuk:
a. Infeksi lokal
1) Pembengkakan luka episiotomy
2) Terjadi penanahan
3) Perubahan warna lokal
4) Pengeluaran lokea bercampur nanah
5) Mobilitas terbatas karena rasa nyeri
6) Temperatur badan dapat meningkat
b. Infeksi umum
1) Tampak sakit dan lemah
2) Temperature meningkat di atas 39°C
3) Tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat
4) Pernafasan dapat meningkta dan terasa sesak
5) Kesadaran gelisah sampai menurun dan koma
6) Terjadi gangguan involusi uterus
7) Lokea berbau dan bernanah serta kotor
Penanganan umum menurut Prawirohardjo (2006) antara lain:
a. Antisipasi setiap kondisi (faktor predisposisi, dan masalah dalam proses persalinan
yang dapat berlanjut menjadi penyulit atau komplikasi dalam masa nifas.
b. Berikan pengobatan yang rasional dan efektif bagi ibu yang mengalami infeksi nifas
c. Lanjutkan pengamatan dan pengobatan terhadap masalah atau infeksi yang
dikenali pada saat kehamilan taupun persalinan
d. Jangan pulangkan penderita apabila masa kritis belum terlampaui
e. Beri acatan atau instruksi tertulis untuk asuhan mandiri di rumah dan gejala-gejala
yang harus diwaspadai dan harus mendapat pertolongan dengan segera.
f. Lakukan tindakan dan perawatan yang sesuai bagi bayi baru lahir, dari ibu yang
mengalami infeksi pada saat persalinan
g. Berikan hidrasi oral/IV secukupnya.
h. Beri infus heparin, obati dengan antibiotika dan berikan terapi suportif dan
observasi
i. Berikan terapi suportif (hepatoprotektor) dan observasi

INFEKSI LUKA PERINEUM (VULVA, VAGINA, SERVIKS) DAN LUKA ABDOMINAL


a. Etiologi
Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan tindakan pencegahan infeksi
kurang baik (Prawirohardjo, 2006).
b. Manifestasi Klinis
Menurut Krisnadi (2005), manifestasi klinis infeksi luka perineum dan
abdominal yaitu:
1) Luka perineum menjadi nyeri, merah, dan bengkak akhirnya luka terbuka dan
mengeluarkan getah bernanah. Perasaan nyeri dan panas timbul pada luka
yang terinfeksi dan jika terjadi pernanahan dapat disertai dengan dengan suhu
yang tinggi dan menggigil.
2) Infeksi luka serviks jika lukanya dalam sampai ke parametrium, dapat
menimbulkan parametritis
c. Penanganan
Penanganan spesifik pada infeksi luka perineum dan luka abdominal
menurut Prawirohardjo (2006) yaitu:
1) Bedakan antara wound abcess, wound seroma, wound hematoma, dan wound
cellulitis.
a) Wound abcess, wound seroma, dan wound hematomaI suatu pengerasan
yang tidak biasa dengan mengeluarkan cairan serousatau kemerahan dan
tidak ada / sedikit erithema sekitar luka.
b) Wound cellulitis didapatkan eritema dan edema meuluas mulai dari tempat
insisi dan melebar.
2) Bila didapatkan pus dan cairan pada luka, buka, dan lakukan pengeluaran.
3) Daerah jahitan yang terinfeksi dihilangkan dan lakukan debridement
4) Bila infeksi sedikit tidak perlu antibiotika
5) Bila infeksi relative superficial, berikan ampisilin 500 mg per oral setiap 6 jam
dan metronidazol 500 mg per oral 3x/hari selama 5 hari
6) Bila infeksi dalam dan melibatkan otot dan menyebabkan nekrosis, beri
penisilin G 2 juta U IV setiap 4 jam (atau ampisilin inj 1 g 4x/hari) ditambah
dengan gentamisisn 5 mg/kg berat badan perhari IV sekali ditambah dengan
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam, sampai bebas panas selama 24 jam. bila
ada jaringan nekrotik harus dibuang. Lakukan jahitan sekunder 2-4 minggu
setelah infeksi membaik.
7) Berikan nasehat kebersihan dan pemakaian pembalut yang bersih dan sering
diganti.

ENDOMETRITIS/METRITIS
Metritis adalah infeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu
penyebab terbesar kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau kuirang adekuat
dapat menjadi abses pelvic, peritonitis, syok septic, thrombosis vena yang dalam,
emboli pulmonal, infeksi pelvic yang menahun, dispareunia, penyumbatan tuba, dan
infertilitas (Prawirohardjo, 2006).
a. Patologi
Infeksi puerperalis paling sering menjelma sebagai endometritis. Setelah
masa inkubasi, kuman-kuman menyerbu ke dalam luka endometriumm, biasanya
pada bekas perlekatan plasenta. Leukosit-leukosit segera membuat pagar
pertahanan dan keluarlah serum yang mengndung zat anti, sedangkan otot-otot
berkontraksi dengan kuat, rupanya dengan maksud menutup aliran darah dan
limfe. Ada kalanya endometritis menghalangi involusi (Krisnadi, 2005).
b. Manifestasi Klinis
Menurut Krisnadi (2005), manifestasi klinis infeksi luka perineum dan
abdominal yaitu:
1) Gambaran klinik endometritis berbeda-beda bergantung virulensi kuman
penyebabnya. Biasanya demam mulai 48 jam pascapersalinan dan bersifat naik
turun (remitten).
2) His royan lebih nyeri dari biasa dan lebih lama dirasakan. Lokea bertambah
banyak, berwarna merah atau coklat, dan berbau. Lokea yang berbau tidak
selalu menyertai endometritis sebagai gejala. Sering ada subinvolusi. Leukosit
naik antara 15000-30000/mm3.
3) Sakit kepala, kurang tidur, dan kurang nafsu makan dapat mengganggu
penderita. Jika infeksi tidak meluas, suhu turun berangsur-angsur dan normal
pada hari ke-7-10.
c. Penanganan
Penanganan spesifik pada infeksi luka perineum dan luka abdominal
menurut Prawirohardjo (2006) yaitu:
1) Berikan transfuse jika dibutuhkan. Berikan Packed Red Cell.
2) Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi. Ampisilin 2 g IV,
kemudian 1 g setiap 6 jam ditambah gentamisisn 5 mg/kg berat badan IV dosis
tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam. Lanjutkan antobiotika ini
sampai ibu tidak panas dalam 24 jam.
3) Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis
4) Bila dicurigai adanya sisa placenta, lakukan pengeluaran (digital atau dengan
kuretase yang lebar)
5) Bila ada pus lakukan drainase (kalau perlu kolpotomi), ibu dalam posisi semi
fowler.
6) Bila tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada tanda
peritonitis generalisata lakukan laparatomi dan keluarkan pus. Bila pada
evaluasi uterus nekrotik dans septic lakukan histerektomi subtotal.

TROMBOFLEBITIS
Perluasan infeksi nifas yang paling sering ialah perluasan invasi mikroorganisme
pathogen yang mengikuti aliran darah vena di sepanjang vena dan cabang-cabangnya
sehingga terjadi tromboflebitis (Praworohardjo, 2006). Penjalaran infeksi melalui vena
sering terjadi dan merupakan penyebab terpenting dari kematian karena infeksi
puerperalis (Krisnadi, 2005).
Klasifikasi menurut Prawirohardjo (2006) dan Krisnadi (2005) tromboflebitis dibagi
menjadi dua golongan berdasar jenis vena yang terkena yaitu:
a. Pelviotromboflebitis
Mengenai vena-vena dinding rahim dan ligament latum (vena ovarika, vena uterin,
dan vena hipogastrik). Vena yang paling sering terken aialah vena ovarika dextra
karena infeksi pada tempat omplantasi plasenta terletak di bagian tas uterus,
proses biasanya unilateral. perluasan infeksi dari vena ovarika sinistra ialah vena
renalis, sedangkan perluasan infeksi dari vena ovarika dektra adalah ke vena kava
inferior. Peritoneum, yang menutupi vena ovarika dektra mengalami inflamasi
dank an menyebabkan perisalpingo-ooforitis dan periapendisitis. perluasan infeksi
vena uterine adalah ke vena iliaka komunis (Prawihardjo, 2006).
b. Tromboplebitis femoralis
Mengenai vena-vena tungkai (vena femoralis, poplitea, dan safena).
Tromboflebitis Pelvika/Pelviotromboflebitis
a. Patologi
Yang paling sering meradang ialah vena ovarika karena mengalirkan darah
dan luka bekas plasenta di daerah fundus uteri.Penjalaran tromboflebitis pada
vena ovarika kiri ialah ke vena renalis dan vena ovarika kanan ke vena kava
inferior. Trombosis yang terjadi setelah peradangan bermaksud untuk
menghambat perjalanan mikroorganisme. Dengan proses ini, infeksi dapat
sembuh, tetapi jika daya tahan tubuh kurang, thrombus dapat menjadi nanah
(Krisnadi, 2005).
Bagian-bagian kecil thrombus terlepas dan terjadilah emboli atau sepsis dan
karena embolus ini mengandung pus disebut juga pyaemia. Embolus ini biasanya
tersangkut pada paru, ginjal, atau katub jantung. Pada paru dapat menimbulkan
infark,. Jika derah yang mengalami infark meluas, pasien meninggal dengan
mendadak dan jika pasien tidak meninggal, dapat timbul abses paru (Krisnadi,
2005).
b. Manifestasi Klinis
Biasanya terjadi pada minggu ke-2 seperti demam menggigil, biasanya pasien
sudah memperlihatkan suhu yang tidak tenang seperti pada endometritis
sebelumnya. Jika membuat kultur darah, sebaiknya diambil waktu pasien
menggigil atau sesaat sebelumnya. Penyulit adalah abses paru, pleuritis,
pneumoni, dan abses ginjal. Kematian biasanya karena penyulit paru (Krisnadi,
2005).
Manifestasi klinis lain dalam (Prawihardjo, 2006) antara lain:
1) Nyeri yang terdapat pada perut bagian bawah dan atau perut bagian samping,
timbul pada hari ke 2-3 masa nifas dengan atau tanpa panas.
2) Penderita tampak sakit berat
3) Menggigil berulang kali. Menggigil inisial terjdi sangat berat (30-40 menit)
dengan interval hanya beberapa jam saja dan kadang-kadang 3 hari. Pada
waktu menggigil penderita hampir tidak panas.
4) Suhu badan naik secara tajam (36°C menjadi 40°C), yang diikuti dengan
penurunan suhu dalam 1 jam (biasanya subfebris seperti pada endometritis)
5) Penyakit dapat berlangsung 1-3 bulan.
6) Cenderung terbentuk pus yang menjalar kemana-mana terutama ke paru-paru.
7) Pada pemeriksaan dalam hampir tidak ditemukan apa-apa karena yang paling
banyak terkena adalah vena ovarika, yang sukar dicapai pada pemeriksaan
dalam.
8) Gambaran darah:
a) Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin menyebar ke sirkulasi,
dapat segera terjadi leucopenia)
b) Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat yang tepat sebelum
mulainya menggigil. Meskipun bakteri ditemukan di dalam darah selama
menggigil, kultur darah sangat sukar dibuat karena bakterinya anaerob.
c. Penanganan
Dalam (Prawihardjo, 2006) dijelaskan penanganan tromboflebitis pelvic
sebagai berikut:
1) Rawat inap: penderita tirah baring untuk pemantauan gejala penyakitnya dan
mencegah terjadinya emboli pulmonal.
2) Terapi medik: pemberian antibiotika (lihat antibiotika kombinasi dan alternatif,
seperti pada penatalaksaan korioamnionitis), heparin jika terdapat tanda atau
dugaan adanya emboli pulmonum
3) Terapi operatif: pengikatan vena kava inferior dan vena ovarika jika emboli
septic terus berlangsung sampai mencapai paru-paru, meskipun sedang
dilakukan heparinasi.
d. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang dapat timbul dalam (Prawihardjo, 2006) antara
lain:
1) Komplikasi pada paru-paru: infark, abses, penuemonia
2) Komplikasi pada ginjal sinistra, nyeri mendadak, yang diikuti dengan proteinuria
dan hematuri
3) Komplikasi pada persendian, mata, dan jaringan subkutan
Tromboflebitis Femoralis
a. Patologi
Dapat terjadi tromboflebitis vena safena magna atau peradangan vena
femoralis sendiri, penjalaran tromboflebitis vena uterine (vena uterine, vena
hipogastrika, vena iliaka eksterna, vena femoralis), dan akibat parametritis.
Tromboflebitis vena femoralis mungkin terjadi karena aliran darah lambat di
daerah lipat paha karena vena tersebut, yang tertekan oleh ligament inguinale,
juga karena dalam masa nifas kadar fibrinogen meninggi (Krisnadi, 2005).
Pada tromboflebitis femoralis terjadi edema tungkai yang mulai pada jari
kaki, naik ke kaki, betis, dan paha, bila tromboflebitis itu mulai pada vena safena
atau vena femoralis. Sebaliknya bila terjadi sebagai lanjutan dari tromboflebitis
pelvika, edema mulai terjadi pada paha dan kemudian turun ke betis (Krisnadi,
2005).
Biasanya hanya satu kaki yang bengkak, tetapi kadang-kadang keduanya.
Tromboflebitis femoralis jarang menimbulkan emboli. Penyakit ini juga terkenal
dengan nama phlegmasia alba dolens (radang yang putih dan nyeri) (Krisnadi,
2005).
b. Manifestasi Klinis
Dalam Krisnadi (2005) dan Prawihardjo (2006) manifestasi klinis dari
tromboflebitis femoralis antara lain:
1) Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris selama 7-10 hari, kemudian
mendadak naik kira-kira pada hari ke 10-20, yang disertai dengan menggigil
nyeri sekali pada tungkai, biasanya yang kiri.
2) Kaki yang sakit biasanya lebih panas dari kaki yang sehat.
3) Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi ke luar serta sukar bergerak.
4) Palpasi menunjukkan adanya nyeri hebat (pada lipat paha dan daerah paha)
sepanjang salah satu vena kaki yang teraba sebagai alur yang keras dan tegang
biasanya pada paha.
5) Timbul edema yang jelas sebelum atau setelah nyeri, yang biasanya mulai pada
ujung kaki atau pada paha dan kemudian naik ke atas. Edema ini lambat sekali
hilang. Keadaan umum pasien tetap baik. Kadang-kadang terjadi tromboflebitis
pada kedua tungkai.
6) Reflektorik akan terjadi spasmus srteria sehingga kaki menjadi bengka , tegang,
putih, nyeri dan dingin, dan penurunan pulsasi.
7) Nyeri pada betis yang dapat terjadi spontan atau dengan memijit betis atau
dengan meregangkan tendon achiles (tanda Hoffman)
c. Penanganan
Penangan tromboflebitis femoralis dalam Prawihardjo (2006) antara lain:
1) Perawatan: kaki ditinggikan untuk mengurangi edema, lakukan kompresi pada
kaki. Setelah mobilisasi kaki hendaknya tetap dibalut elastik atau memakai kaos
kaki panjang yang elastik selama mungkin.
2) Mengingat kondidi ibu yang sangat jelek, sebaiknya jangan menyusui.
3) Terapi medik: pemberian antibiotic dan analgesia
Sepsis Puerperalis
a. Patologi
Terjadi kalau setelah persalinan ada sarang sepsis dalam badan yang secara
terus-menerus atau periodic melepaskan mikroorganisme pathogen ke dalam
peredaran darah (Krisnadi, 2005).
Pada sepsis ini dibedakan menjadi:
1) Port d’entrée: biasanya bekas insersi placenta
2) Sarang sepsis primer: tomboplebitis pada vena uterine atau vena ovarika
3) Sarang sepsis sekunder (metastasis): misalnya di paru sebagai abses paru atau
pada katup jantung sebagai endokarditis ulserosa septika. dasamping itu, dapat
terjadi abses di ginjal, di hati, limpa, dan otak (Krisnadi, 2005).
b. Manifestasi Klinis
Suhu tinggi (40°C atau lebih, biasanya remittens), menggigil, keadaan umum
memburuk (nadi kecil dan tinggi, nafas cepat, dan gelisah), dan Hb menurun
karena hemolisis dan lekositosis (Krisnadi, 2005).

Peritonitis
a. Patologi
Infeksi puerpuralis melalui saluran getah bening dapat menjalar ke
peritoneum hingga terjadi peritonitis atau ke parametrium menyebabkan
parametritis. Jika peritonitis ini terbatas pada rongga panggul disebut pelveo
peritonitis, sedangkan jika seluruh peritoneum meradang kita mengahadapi
peritonitis umum. Prognosis peritonitis umum jauh lebih buruk dari pelveo
peritonitis (Krisnadi, 2005).
b. Manifestasi Klinis
Nyeri seluruh perut spontan maupun pada palpasi, demam menggigil, nadi
tinggi dan kecil, perut kembung (kadang-kadang ada diare), muntah, pasien gelisah
dan mata cekung dan sebelum mati ada delirium dan koma (Krisnadi, 2005).
c. Penanganan
Dalam Prawihardjo (2006) penanganan dibedakan berdasarkan penyebaran
atau keparahan akibat peritonitis dijelaskan sebagai berikut:
Abses pelvis
1) Bila pelvic abses ada tanda cairan fluktuasi pada daerah cul-de-sac, lakukan
kolpotomi atau dengan laparotomi. Ibu posisi Fowler.
2) Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi.
Ampisilin 2 gr IV, kemudian 1 gr setiap 6 jam, ditambah gentamisin 5mg/kg
berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.
lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam
Peritonitis
1) Lakukan nasogastric sunction
2) Berikan infus (NaCl atau Ringer Laktat)
3) Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam. Ampisilin 2 gr IV,
kemudian 1 gr selama 6 jam, ditambah gentamisisn 5mg/kg berat badan IV
dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.
4) Laparatomi diperlukan untuk pembersihan perut (peritoneal lavage)

Parametritis (cellulitis pelvic)


a. Patologi
Menurut Mochtar (1998) parametritis dapat terjadi dengan 3 cara yaitu:
a. Melalui robekan serviks yang dalam
b. Penjalaran endometritis atau luka serviks yang terinfeksi melalui saluran getah
bening
c. Sebagai lanjutan tromboflebitis pelvika
Jika terjadi infeksi parametrium, timbulah pembengkakan yang mula-mula
lunak, tetapi kemudian menjadi keras sekali. Infiltrat ini dapat terjdi hanya pada
dasar ligament latum, tetapi dapat juga bersifat luas, misalnya dapat menempati
seluruh parametrium sampai dinding panggul dan dinding perut perut depan di
atas ligament inguinale. Jika infiltrate menjalar ke belakang dapat menimbulkan
pembengkakan di belakang serviks (Krisnadi, 2005).
Eksudat ini lambat laun diresorpsi atau menjadi abmemecah di daerah lipat
paha di atas ligament inguinale atau ke dalam cavem Douglas. Parametritis
biasanya unilateral dan karena biasanya sebagai akibat luka serviks, lebih sering
terdapat pada primipara daripada multipara (Krisnadi, 2005).
b. Manifestasi Klinis
Parametritis harus dicurigai bila suhu pasca persalinan tetap tinggi lebih dari
1 minggu. Gejala berupa nyeri pada sebelah atau kedua belah perut bagian bawah
sering memancar pada kai. Setelah beberapa waktu pada pemeriksaan dalam,
dapat teraba infiltrate dalam parametrium yang kadang-kadang mencapai dinding
panggul. Infiltrat ini dapat diresorpsi kembali, tetapi lambat sekali, menjadi keras,
dan tidak dapat digerakkan. Kadang-kadang infiltrate ini menjadi abses (Krisnadi,
2005).
Salpingitis (salfingo-ooforitis)
Salpingitis adalah peradangan pada adnekssa. Terdiri atas akut dan kronik. Diagnosis
dan gejala klinis hampir sama dengan parametritis. Bila infeksi berlanjut dapat terjadi
piosalfing (Mochtar, 1998). Sering disebabkan oleh gonore, biasanya terjadi pada
minggu ke-2. Pasien demam menggigil dan nyeri pada perut bagian bawah biasanya
kiri dan kanan. Salpingitis dapat sembuh dalam 2 minggu, tetapi dapat mengakibatkan
kemandulan (Krisnadi, 2005).

B. INFEKSI SALURAN KEMIH


Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relative tinggi dan hal ini
dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih waktu
persalinan, pemeriksaan dalam yang sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau
katerisasi yang sering (Krisnadi, 2005).
Sistitis biasanya memberikan gejala berupa nyeri berkemih (dysuri) sering berkemih,
dan tak dapat ditahan. Demam biasanya jarang terjadi. Adanya retensi urine
pascapersalinan umumnya merupakan tanda adanya infeksi. Pielonefritis memberikan
gejala yang lebih berat, demam, menggigil, perasaan mual dan muntah. Selain disuri,
dapat juga terjadi piuri dan hematuri (Krisnadi, 2005).
Pengobatan antibiotic yang terpilih meliputi golongan nitrofurantoin, sulfonamide,
trimetroprim, sulfametoksazol, atau sefalosporin. Banyak penelitian yang melaporkan
resistensi microbial terhadap golongan penisilin (Krisnadi, 2005).

C. PERDARAHAN DALAM NIFAS


Menurut Krisnadi (2005) penyebab perdarahan dalam nifas yaitu sisa placenta dan
polip placenta, endometritis puerpuralis, sebab-sebab fungsional, dan perdarahan luka.
1. Sisa Plasenta dan Polip Plasenta
Sisa placenta dalam nifas menyebabkan perdarahan dan infeksi. Perdarahan yang
banyak dalam nifas hampir selalu disebabkan oleh sisa placenta. Terapinya dengan
perlindungan antibiotic sisa placenta dikeluarkan secara digital atau dengan kuret
besar. Jika ada demam ditunggu dulu sampai suhu turun dengan pemberian antibiotic
dan 3-4 hari kemudian rahim dibersihkan, tetapi jika perdarahan banyak, rahim
segera dibersihakan walaupun demam.
2. Endometritis Puerpuralis: perdarahan biasanya tidak banyak
3. Perdarahan Fungsional
Dalam golongan ini termasuk:
a. Perdarahan karena hyperplasia glandularis yang dapat terjadi akibat siklus yang
anovulatoir dalam nifas
b. Perubahan dinding pembuluh darah: pada golongan ini tidak ditemukan sisa
placenta, endometritis, ataupun luka.
4. Perdarahan karena luka
Kadang-kadang robekan serviks atau robekan rahim tidak didiagnosis sewaktu
persalinan karena perdarahan pada waktu itu tidak menonjol, beberapa hari
pascapersalinan dapat terjadi perdarahan yang banyak.

D. PATOLOGI MENYUSU
Masalah menyusu pada umumnya terjadi dalam dua minggu pertama masa nifas
(Krisnadi, 2005). Payudara telah dipersiapkan sejak mulai terlambat datang bulan
sehingga pada waktunya pada memberikan ASI dengan sempurna. Untuk dapat
melancarkan pengeluaran ASI dilakukan persiapan sejak awal hamil dengan melakukan
masase, menghilangkan kerak pada puting susu sehingga duktusnya tidak tersumbat.
Puting susu saat mandi perlu ditarik-tarik sehingga menonjol untuk memudahkan
mengisap ASI (Manuaba, 1998).
Berbagai variasi puting susu dapat terjadi diantaranya terlalu kecil, puting susu
mendatar dan puting susu masuk ke dalam. Pengeluaran ASI pun dapat bervariasi seperti
tidak keluar sama sekali (agalaksia), ASI sedikit (oligolaksia), terlalu banyak
(poligolaksia), dan pengeluaran berkepanjangan (galaktorea) (Manuaba, 1998).
1. Payudara bengkak (Engorgement)
Bendungan payudara dalah peningkatan aliran vena dan limfe pada payudara dalam
rangka mempersiapkan diri untuk laktasi (Prawirohardjo, 2006). Payudara terasa lebih
penuh, tegang dan nyeri. Terjadi pada hari ketiga atau keempat pasca persalinan.
Disebabkan oleh bendungan vena dan pembuluh getah bening. Hal ini merupakan
tanda bahwa ASI mulai banyak disekresi, namun pengeluaran belum lancar. Bila
karena nyeri ibu tidak mau menyusui, keadaan ini akan berlanjut. ASI yang disekresi
akan menumpuk sehingga payudara bertambah tegang, gelanggang susu menonjol,
dan puting menjadi lebih datar. Bayi menjadi lebih sulit menyusu (Krisnadi 2005).
Pencegahan dan penanganannya dalam Krisnadi (2005) dijelaskan sebagai berikut:
Pencegahan:
a. Menyusui dini, susui bayi sesegera mungkin (sebelum 30 menit) setelah dilahirkan
b. Susui bayi tanpa dijadwal
c. Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi melebihi kebutuhan bayi
d. Perawatan payudara pasca persalinan
Penanganan :
a. Kompres hangat agar payudara menjadi lebih lembek
b. Keluarkan sedikit ASI sebelum menyusui sehingga puting lebih mudah ditangkap
dan diisap oleh bayi
c. Sesudah bayi kenyang, keluarkan sisa ASI
d. Untuk mengurangi rasa sakit pada payudara, berikan kompres dingin
e. Untuk mengurangi stasis di vena dan pembuluh getah bening, lakukan pengurutan
(masase) payudara yang dimulai dari puting ke arah korpus.

2. Kelainan puting
Kelainan puting ditemukan lebih dini pada saat pemeriksaan kehamilan agar segera
dapat dikoreksi sebelum menyusui. Kelainan puting yang dapat mengganggu proses
menyusui adalah puting susu datar dan puting susu tenggelam (inverted).
Penanggulangan puting datar dan tenggelam dapat diperbaiki denganperasat
Hoffman, yaitu dengan meletakkan kedua jari telunjuk atau ibu jari di daerah
gelanggang susu, kemudian dilakukan urutan menuju ke arah berlawanan.Pada true
inverted nipple perasat Hoffman tidak dapat memperbaiki keadaan, harus dilakukan
tindakan operatif. Pada keadaan ini, ASI harus dikeluarkan secara manual atau dengan
pompa susu dan diberikan pada bayi dengan sendok, gelas atau pipet (Krisnadi, 2005).
3. Puting nyeri (sore nipple) dan Puting lecet (cracked nipple)
Puting susu nyeri terjadi karena posis bayi saat menyusui salah, karena puting tidak
masuk ke dalam mulut bayi sampai gelanggang susu sehingga bayi hanya mengisap
pada puting susu saja. Tekanan terus-menerus hanya pada tempat tertentu akan
menimbulkan puting nyeri waktu diisap, meskipun kulitnya masih utuh (Krisnadi,
2005).
Penyebab lain yang dapat menimbulkan puting nyeri adalah penggunaan sabun,
cairan, krim, alcohol untuk membersihkan puting susu sehingga terjadi iritasi. Iritasi
pada puting susu juga dapat terjadi pada bayi dengan tali lidah (frenulum linguae)
yang pendek sehingga bayi tidak dapat mengisap sampai gelanggang susu dan
lidahnya menggeser ke puting. Puting akan nyeri bila terus disusukan lama-lama dan
akan menjjadi lecet atau luka (Krisnadi, 2005).
Penanggulangannya adalah dengan memberikan teknik menyusui yang benar,
khususnya letak puting dalam mulut bayi, yaitu:
a. Bibir bayi menutup areola sehingga tidak tampak
b. Puting diatas lidah bayi
c. Areola diantara gusi atas dan bawah
4. Saluran susu tersumbat (Obstructive Duct)
Sumbatan pada saluran susu disebabkan oleh tekanan yang terus-menerus. Tekanan
dapat berasal dari pemakaian bra yang terlalu ketat, tekanan jari pada tempat yang
sama setiap menyusui, atau kelanjutan dari payudara bengkak. Pencegahan dapat
dilakukan dengan memakai bra dengan ukuran memadai dan menopang payudara
dengan baik, pengurutan payudara yang teratur dan dengan teknik menyusui yang
baik (Krisnadi, 2005).
Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan kompres hangat sebelum
menyusui, pengurutan payudara, mengeluarkan sisa ASI setelah menyusui dan
kompres dingin setelah menyusui untuk mengurangi rasa sakit.
Saluran susu yang tersumbat bila tidak ditangani sebagaimana mestinya dapat
menjadi mastitis (radang payudara) (Krisnadi, 2005).
5. Radang payudara (Mastitis)
Proses infeksi pada payudara menimbulkan pembengkakan lokal atau seluruh
payudara, merah dan nyeri. Peradangan mengenai stroma payudara yang terdiri dari
jaringan ikat, lemak, pembuluh darah, dan getah bening. Biasanya terjadi pada
minggu kedua, ibu merasa demam umum seperti influenza (Krisnadi, 2005).
Biasanya didahului oleh putting lecet, payudara bengkak atau sumbatan saluran
susu. Ibu dengan anemi, gizi buruk, kelelahan dan stress juga merupakan factor
predisposisi. Penanggulangannya adalah sebagai berikut:
a. Ibu harus terus menyusui agar payudara
b. Kompres hangat dan dingin seperti pada payudara bengkak
c. Memperbaiki posisi menyusui, terutama bila terdapat putting lecet
d. Istirahat cukup, makanan yang bergizi
e. Minum sekitar 2 liter per hari
f. Antibiotic
g. Analgesic
Dalam Prawirohardjo (2006), penanganan untuk ibu yang menusui bayinya dan
tidak menyusui dibedakan.
Bila ibu menyusui bayinya:
a. Susukan sesering mungkin
b. Kedua payudara disusukan
c. Kompres hangat payudara sebelum disusukan
d. Bantu dengan memijat payudara untuk permulaan menyusui
e. Sangga payudara
f. Kompres dingin pada payudara di antara waktu menyusui
g. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam
h. Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk mengevaluasi hasil
Bila ibu tidak menyusui bayinya:
a. Sangga payudara
b. Kompres dingin pada payudara untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit
c. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral selama 4 jam
d. Jangan dipijat atau memakai kompres hangat pada payudara.
6. Abses payudara
Berbeda dengan mastitis, pada abses payudara :
a. Infeksi mengenai jaringan parenkim dan besar nanah
b. Payudara yang sakit tidak boleh disusukan, sedangkan payudara yang sehat tetap
disusukan
c. Terjadi sebagai komplikasi dari mastitis
d. Pemberian antibiotic dan analgesic
e. Bila perlu lakukan insisi abses
Payudara yang sakit sementara tidak disusukan, namun ASI tetap dikeluarkan
manual atau dengan pompa agar produksi ASI tetap baik. Dalam beberapa hari dapat
disusukan kembali (Krisnadi, 2005).

DAFTAR PUSTAKA
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1 Obstetri fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta:
EGC.
Krisnadi, Sofie. 2005. Obstetri Patologi ilmu kesehatan Reproduksi Edisi 2 FK Universitas
Padjadjaran. Jakarta: EGC.
Manuaba, Ida. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo.
Joseph, H. K dan Nugroho. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (Obsgyn).
Yogayakarta: Nuha Medika.

You might also like