You are on page 1of 10

MODUL 2

Hukum Perpajakan(3 SKS)

Oleh: Rahmawati,SE,MM

1. Pengertian
Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan terutang oleh yang
berwajib membayarnya menurut peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali,
yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran
umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.

Sedangkan menurut Rochmat Soemintro (1991),


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat
dipaksakan supaya tiada mendapat jasa timbul yang langsung dapat ditunjuk dan yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.

Dari kedua definisi tersebut dapat diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak
yaitu:
a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang atau peraturan perundangan
beserta aturan pelaksanaannya.
b. Pembayaran pajak yang dilakukan tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
secara individu oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh negara baik pusat maupun daerah
d. Peruntukan dari hasil pungut pajak dipergunakan untuk pengeluaran pemerintah
atau membiayai rumah tangga negara, bila pemasukan masih surplus
dipergunakan untuk membiayai “publik investment”.

Di abad 18 (delapan belas), Adam Smith mengidentifikasi aturan perpajakan (canons of


taxation) dalam bukunya, “An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations”, yang
turut dipertimbangkan saat mengevaluasi struktur pajak tertentu, yaitu:

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
1. Equality on Taxation, mensyaratkan bahwa hukum pajak
haruslah adil, merata, dan tidak diskriminasi dalam
menetapkan objek pajak, dan pembebanan kepada masing-
masing subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya. Dalam perkembangannya prinsip keadilan
dalam suatu sistem pajak diukur berdasar prinsip manfaat
(benefit principle) yang diterima oleh masyarakat Wajib Pajak
(ability to pay principle).
Berdasar kedua prinsip keadilan dalam pembebanan pajak tersebut, keadilan pajak
diperinci lebih lanjut menjadi keadilan horizontal (horizontal equity) dan keadilan
vertikal (vertical equity). Keadilan horizontal menganjurkan bahwa terhadap objek
pajak yang sama dan terhadap WP yang mempunyai kemampuan yang sama harus
dibebani pajak yang sama pula. Sedangkan keadilan vertikal memandang suatu
pembebanan pajak yang adil bilamana terhadap WP yang mempunyai kekayaan dan
kemampuan lebih besar harus dibebani pajak lebih daripada WP pada umumnya.
Proporsi keadilan pajak yang pertama menghasilkan kebijakan tarif proporsional
(single flat rate), dan proporsi keadilan pajak yang kedua menghasilkan tarif pajak
progresif (differential-progresive rate).
2. Certainty on Taxation, asas kepastian hukum dalam
perpajakan sebenarnya berlaku pula secara universal dalam
bidang hukum lainnya. Aturan hukum pajak harus secara
jelas dan pasti mengatur tentang apa yang menjadi objek
pajak, siapa yang menjadi subjek pajak, berapa tarif yang
berlaku, bagaimana cara menghitung dan membayarnya,
kapan batas waktu jatuh tempo pembayaran dan
pelaporannya, dan regulasi lain yang diperlukan, sehingga
tidak ada celah dan peluang untuk mengelakkan diri dari
pajak, menyelundupkan pajak, serta tidak mengenal
kompromi. Masalah kepastian hukum dan transparansi dalam
regulasi perpajakan menjadi sangat penting bagi seluruh
pelaku ekonomi sesuai dengan prinsip self-assessment dalam
perpajakan, dan meningkatkan daya saing pengusaha
nasional dalam forum ekonomi global.
3. Convenient of Payment, menyarankan agar pembayaran

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
pajak dipungut pada waktu yang tepat dan dengan cara yang
tepat, yang paling sesuai dan menyenangkan bagi Wajib
Pajak pada umumnya. Dalam perkembangan praktek
administrasi perpajakan, baik di negara maju maupun di
negara berkembang dengan aspek jaminan pengamanan
keuangan negara, dikenal sistem Witholding Tax, Pay as You
Earn (PAYE), Pay as You Go, dan berbagai sistem
pengenaan pajak secara final.
4. Efficient of Collection, menyatakan bahwa pemungutan pajak
harus dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya
administrasi yang hemat bagi aparat pajak, dan biaya
kepatuhan yang murah bagi Wajib Pajak. Prinsip efisiensi ini
juga berlaku umum bagi semua kegiatan pemerintah untuk
pelayanan publik, terlebih lagi untuk para pelaku ekonomi di
semua lapisan dan semua sektor.

Sebagai pengembangan dari asas-asas pemungutan pajak yang dijabarkan oleh Adam
Smith, seorang pakar ilmu keuangan negara, Richard A. Musgrave memberikan beberapa
kriteria tambahan yang melengkapi The Four Maxims-nya Aam Smith, setelah memperoleh
data kajian empiris dari berbagai sistem keuangan negara modern yang berasaskan negara
kesejahteraan (welfare state), mensyaratkan adanya 7 (tujuh) kriteria struktur pajak yang baik,
yaitu:
1. Hasil penerimaan pajak yang harus cukup besar
Kriteria pemilihan suatu pajak yang dipungut oleh suatu negara di berbagai tingkat
pemerintah harus mampu menghasilkan penerimaan pajak (tax yield) yang cukup
besar. Hal ini adalah logis bahwa fungsi utama pajak adalah fungsi budgeter, untuk
menghasilkan uang bagi negara.
2. Distribusi beban pajak harus adil
Penentuan suatu jenis pajak harus mempertimbangkan struktur pajak yang ada dalam
suatu negara secara keseluruhan, merupakan satu kesatuan sistem yang saling
melengkapi sehingga terhindar dari pembebanan pajak berganda dan juga mampu
mengenakan pajak pada setiap warga negara sesuai dengan kemampuannya.
3. Tax incidence harus tepat
Pemilihan suatu jenis pajak yang baik tidak hanya mengatur subjek pajak, objek pajak,

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
tarif pajak, dan perbuatan, transaksi, keadaan, atau peristiwa apa yang menimbulkan
utang pajak (taatsbestand), tetapi yang lebih utama adalah menentukan siapa
sebenarnya yang paling material menanggung beban pajak (tax incidence). Pajak yang
baik adalah seminimal mungkin membebani masyarakat berpenghasilan rendah dan
lebih banyak memberikan beban pajak kepada golongan masyarakat yang lebih kaya.
4. Tidak memberikan efek distorsi pada aktivitas ekonomi.
Suatu pajak yang baik dapat menghindarkan atau meminimalkan distorsi terhadap
keputusan dalam aktivitas ekonomi, sehingga dapat menunjang pasar yang efisien.
Sifat non distorsi dari suatu pajak selain pemilihan objek pengenaan pajaknya harus
memperhitungkan tingkat elastisitas dari transaksi kena pajak atau peritiwa kena pajak,
juga dengan penentuan tarif nominal yang sedemikian rupa, sehingga tidak
menimbulkan dead weight loss.
5. Menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
Penerapan suatu pajak yang baik tidak membebani terhadap capital investment,
sehingga mendorong kegiatan investasi langsung baik dari dalam maupun luar negeri.
Pajak atas konsumsi harus diterapkan sedemikian rupa agar dapat dicegah “lock in
effect” dan menunjang peningkatan transaksi perdagangan semua komoditas yang
seimbang antara konsumsi dalam negeri dengan transaksi untuk ekspor. Begitu pula
tarif pajak diupayakan tidak mengurangi minat pemilik modal untuk menyimpan uang di
bank dan berinvestasi di bursa atau reksadana.
6. Regulasi yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami WP
Penyederhanaan peraturan perundang-undangan perpajakan telah menjadi
kecederungan bagi reformasi perpajakan di seluruh dunia, utamanya di negara-negara
yang sedang berkembang. Peraturan pajak yang sederhana dan jelas akan mudah
dipahami oleh WP dan diharapkan mereka dapat melaksanakan kewajiban
perpajakannya dengan baik, sekaligus dapat mencegah terjadinya korupsi dan kolusi
dengan aparat pajak dan pihak ketiga lainnya, sehingga penerimaan pajak dapat
berjalan baik karena mendapat dukungan sukarela masyarakat.
7. Biaya administrasi seefisien mungkin
Dengan peraturan yang jelas dan sederhana, disediakannya seluruh idakinformasi
peraturan perpajakan secara transparan dan dapat diakses oleh publik akan
memungkinkan pelaksanaan pembayaran pajak dengan biaya minimum.

Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak? Terdapat beberapa

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk
memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah:
1. Teori Asuransi
Menurut teori ini negara berhak memungut pajak karena negara bertugas untuk
melindungi orang dan segala kepentingannya, keselamatan, dan keamanan jiwa juga
harta bendanya. Pembayaran disamakan dengan pembayaran premi, seperti halnya
perjanjian asuransi, maka untuk perlindungan diperlukan pembayaran berupa premi.
Namun perbandingan dengan perusahaan asuransi ini dirasa tidak tepat karena dalam
hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara dan antara pembayaran
pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang langsung.
Teori ini tetap dipertahankan sekadar untuk memberi dasar hukum kepada
pemungutan pajak saja, tetapi karena pincangnya persamaan tersebut akhirnya
menimbulkan ketidakpuasan ditambah ajaran bahwa pajak bukanlah retribusi,
sehingga lambat laun teori ini mulai berkurang penganutnya.

2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini negara memungut pajak karena negara melindungi kepentingan
jiwa dan harta benda warganya. Teori ini memperhatikan pembagian beban pajak yang
harus dipungut dari seluruh penduduk. Pembagian beban ini harus didasarkan atas
kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat
baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya, maka sudah
selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan
kewajibannya dibebankan kepada mereka.
Terhadap teori ini banyak yang menyanggah karena dalam ajarannya pajak
dikacaukan dengan retribusi. Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap harta
benda yang lebih banyak harganya daripada harta si miskin harus membayar pajak
lebih besar, padahal mungkin si miskin mempunyai kepentingan yang lebih besar
dalam hal tertentu, misalnya dalam perlindungan yang termasuk jaminan sosial,
sehingga sebagai konsekuensinya harus membayar pajak lebih banyak, dan inilah
suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan. Untuk mengambil tingkat kepentingan
seseorang dalam usaha pemerintah sebagai ukuran, sejak dahulu belum ada alat
pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan dengan tegas. Makin lama teori
inipun ditinggalkan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
3. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, diajarkan bahwa justru
karena sifat negara inilah maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-
orang tidaklah berdiri sendiri tetapi membentuk persekutuan dan persekutuan itu
menjelma menjadi negara serta berhak atas satu dan lainnya. Sejak berabad-abad hak
ini telah diakui dan orang-orang selalu menyadarinya sebagai kewajiban untuk
membuktikan tanda baktinya terhadap negara dalam bentuk pembayaran pajak.

4. Teori Asas Daya Beli


Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, namun hanya
melihat kepada efeknya dan dapat memandang efek yang baik itu sebagai dasar
keadilannya. Menurut teori ini fungsi pemungutan pajak dapat disamakan dengan
pompa yang mengambil daya beli dari rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah
tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan maksud
untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu.

5. Teori Daya Pikul


Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa
yang diberikan negara pada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta benda. Untuk
keperluan ini diperlukan biaya-biaya yang dipikul oleh orang-orang yang menikmati
perlindungan itu berupa pajak. Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan
pajak harus sama berat untuk setiap orang. Pajak harus dipikul menurut daya pikulnya dan
sebagai ukuran dapat dipergunakan selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga
pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Selain itu, kekuatan untuk menyerahkan uang
kepada negara baru ada setelah dikurangi dengan kebutuhan minimum yang diperlukan
untuk kehidupannya.

PENGGOLONGAN PAJAK
Dalam Perpajakan Indonesia , pajak dikelompokkan menjadi:
a. Pajak pusat dan pajak daerah.
Apabila pemerintah pusat yang berwenang memajakinya, maka pajak itu
dikelompokkan ke dalam pajak pusat. Contoh pajak pusat adalah Pajak Penghasilan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN), Pajak Penjualan atas barang
mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Bea Masuk. Apabila pemerintah daerah
yang berwenang memajakinya, maka dinamakan pajak daerah. Contoh pajak daerah
adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Air Permukaan, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Parkir, dan lain-lain.
a. Pajak langsung dan pajak tidak
langsung.
Apabila pemajakannya dilakukan secara periodik dan secara yuridis beban pajaknya
harus dipikul oleh subjek yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (tidak
boleh dialihkan kepada pihak lain). Maka pajak itu dikelompokkan ke dalam pajak
langsung. Contoh pajak langsung adalah Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan
Bangunan, Pajak Kendaraan Bermotor, dan lain-lain. Apabila pemajakannya dilakukan
secara insidentil dan secara yuridis beban pajaknya bisa dialihkan kepada pihak lain,
maka dikelompokkan ke dalam pajak tidak langsung. Contoh pajak tidak langsung
adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa, Bea Meterai, Bea Masuk, Cukai, Pajak Hiburan, Pajak Hotel dan Restoran, dan
lain-lain.

b. Pajak subjektif dan pajak objektif.


Apabila dalam pengenaannya yang pertama-tama diperhatikan adalah subjek
pajaknya baru objeknya, maka dikelompokkan ke dalam pajak subjektif. Contoh pajak
subjektif adalah Pajak Penghasilan. Apabila yang pertama-tama dianalisis adalah objek
pajaknya baru subjeknya, maka dapat dikelompokkan ke dalam pajak objektif. Contoh
pajak objektif adalah Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Hiburan, dan lain-lain.

Syarat Pemungutan Pajak


Pemungutan pajak supaya tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pajak harus memenuhi syarat sebagi berikut :
a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan
merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam
pelaksanaannya yaitu memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan banding ke badan peradilan pajak.
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)
Pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2, hal ini memberikan jaminan hukum untuk
menyatakan keadilan baik bagi negara maupun warga negara.
c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian.
d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil)
e. Sistem pemungutan harus sederhana
Sistem pemungutan sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.

Sistem Pemungutan Pajak


1. Self Assesment, diberikan kepercayaan kepada WP untuk menghitung, membayar,
melaporkan pajak terutang sendiri.
2. Official asssestment, diberikan kepercayaan kepada Fiskus untuk menghitung,
membantu membayarkan dan melaporkan pajak terutangnya.
3. Witholding assessment, diberikan kepercayaan kepada pihak ketiga untuk menghitung,
membayar, melaporkan pajak terutangnya.

Kedudukan Hukum Pajak


Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH bahwa Hukum Pajak mempunyai kedudukan diantara
hukum-hukum sebagai berikut :
a. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya
b. Hukum Publik , mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini
dapat dirinci lagi sebagai berikut:
• Hukum Tata Negara
• Hukum Tata Usaha / Hukum Administrtatif
• Hukum Pajak
• Hukum Pidana

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
Dari pengertian tersebut, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.
Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak
dengan rakyat sebagai wajib pajak ada dua macam hukum pajak yaitu :
• Hukum Pajak Materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain
keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (obyek pajak), siapa yang
dikenakan pajak (subyek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan/tarif, segala
sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara
pemerintah dan wajib pajak. Contoh : UU PPH, UU PPN, UU PBB dan lainnya
• Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata-cara untuk mewujudkan hukum materiil
menjadi kenyataan. Hukum ini memuat antara lain:
a). Tata cara penyelenggaraan /prosedur penetapan suatu utang pajak
b). Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak
mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c). Kewajiban wajib pajak menyelenggarakan pembukuan, pencatatan, pelaporan,
sedangkan hak wajib pajak mengajukan permohonan keberatan, pengurangan
sanksi administrasi dan banding.
Contoh : Undang-undang KUP

Tarif Pajak
1. Tarif Progresif adalah tariff pajak yang persentasenya semakin besar jika dasar
pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya peningkatan dari tarifnya sama
besar.contoh Pajak penghasilan PPh Pasal 21
2. Tarif Degresif adalah tariff pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar
pengenaan pajaknya meningkat
3. Tarif sebanding adalah tariff pajak yang merupakan persentse yang tetap, tetapi jumlah
pajak yan gterutang akan berubah secara proporsional/ sebanding dengan dasar
pengenaan pajak.contohnya : PPN
4. Tarif tetap adalah tariff pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun dasar pengenaan
pajaknya berbeda/berubah, sehingga jumlah pajak yang terutang selalu tetap,
contohnya Bea meterai

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM


HUKUM PAJAK
Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Rahmawati,SE,MM
HUKUM PAJAK

You might also like