Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
Dianjukan untuk Memenuhi Tugas, Mata Kuliah Perkembangan Hukum Islam,
Semester Genap, Tahun Akademik 2009/ 2010
Oleh:
Surya Sumarsono, npm.
;OGO
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2010/ 1431
BAB I : PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah ...................................................
B Identifikasi Masalah ..........................................................
MEMBUAT TIGA PERTANYAAN
C Tujuan .................................................................................
TIGA REDAKSI DARI I,MASALAJ
D Kerangka Pemikiran ............................................
1.GRAND THEORY 2.MIDLE THEORY 3.APPLY THEORY
E Metodologi ....................................................
F Sistematika ...................................................
BAB V : PENUTUP..........................................
A KESIMPULAN
1.KAL I.MASALAH NO 1 ADALAH ....................................
2.KAL I.MASALAH NO 2 ADALAH.....................................
3.KAL I.MASALAH NO 3 ADALAH.....................................
TARGET
1. MHS DAPAT MENYUSUN PAPER DGN BAIK;
2. MHS DAPAT TERBIASA MENGGUNAKAN TIK, ICT;
3. MHS DAPAT MEMPEROLEH POINT NILAI.
YG TDK MEMBUAT ATAU TDK IKUT DLM PRESENTASI GUGUR & MEMBUAT
KELOMPOK LAGI
TARGET
1. MHS DAPAT MENYUSUN & MEMPRESENTASIKAN MAKALAH DGN BAIK;
2. MHS DAPAT MEMBAWAKAN DISKUSI DENGAN BAIK;
3. MHS DAPAT BERKOMUNIKASI DENGAN BAIK DLM DISKUSI;
4. MHS DAPAT TERBIASA MENGGUNAKAN TIK, ICT;
5. MHS DAPAT MEMPEROLEH POINT NILAI.
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H.R.Otje Salman S.,S.H./
Ahmad Abdul Ghani, Drs.,S.H.,M.Ag
Oleh
Nama :Anzani Akbar
Kelas :D
N.P.M :071000231
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2009/1430 H
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbil’aalamin, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat
Allah SWT Sang pencipta alam semesta beserta segala isisnya yang Maha Besar, yang berkat
rahmat, bimbingan, izin dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaiakan makalah ini.
Shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW, beserta segenap keluarganya, sahabat-sahabatnya,serta seluruh pengikutnya hingga akhir
zaman.
Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Perkembangan Hukum Islam pada
program Ilmu Hukum semester genap, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, di mana
judul makalahnya adalah “Euthanasia Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana (KUHP) Di Indonesia”. Penulisan makalah ini berisikan pembahasan tentang bagaimana
praktek euthanasia apabila dihubungkan dengan kode etik kedokteran, kemudian bagaimana
sebenarnya pandangan hukum islam dan hukum positif Indonesia perihal euthanasia ini beserta
alasannya, dan terakhir sejauh manakah praktek euthanasia ini dilakukan di Indonesia.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas tentang sebenarnya bagaimana praktek
euthanasia apabila dihubungkan dengan kode etik kedokteran, kemudian untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya pandangan hukum islam dan hukum positif Indonesia perihal euthanasia
ini beserta
alasannya, dan terakhir adalah untuk mengetahui sejauh mana praktek euthanasia ini dilakukan
di Indonesia.
Dalam menyusun makalah ini, tentunya tidak mungkin terlaksana apabila tanpa semangat,
dukungan, serta bimbingan dari pihak-pihak yang sangat penulis hormati. Oleh karena itu,
pertama pemulis ingin berterimakasih kepada Bapak Prof.Dr.H.R.Otje Salman S.,S.H. dan Bapak
Ahmad Abdul Ghani, Drs.,S.H.,M.Ag selaku dosen mata kuliah Perkembangan Hukum Islam
yang telah membimbing penulis dalam menyusun makalah ini. Kedua, penulis ingin
berterimaksih kepada kedua orang tua penulis atas doa serta dukungan moril maupun materil
yang telah diberikannya. Kemudian, penulis juga ingin berterimakasih kepada rekan-rekan
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pasundan yang telah membantu penulis demi kelancaran
penulisan makalah ini.
Penulis menyusun makalah ini dengan maksimal dan dengan segala kemampuan penulis
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Namun, kritik dan saran yang bersifat konsrtruktif
dan membangun penulis terima dengan senang hati.
Akhir kata makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang diharapkan, dan penulis berharap
mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat. Amin.
Wabillihi taufik walhidayah wassalammu’alaikum Wr.Wb
Bandung, Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR. i
DAFTAR ISI. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 2
C. Maksud dan Tujuan 3
D. Kerangka Pemikiran 3
E. Metode Penulisan 7
F. Sistematika Penulisan 7
BAB II PEMBUNUHAN DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM
PIDANA INDONESIA (KUHP)
A. Pembunuhan Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam 9
1. Definisi Pembunuhan.. 9
2. Macam-macam Pembunuhan.. 9
3. Sanksi Atas Pembunuhan... 14
B. Pembunuhan Dalam Pandangan Hukum Pidana Indonesia (KUHP). 19
1. Definisi Pembunuhan.. 19
2. Macam-macam Pembunuhan. 19
3. Sanksi Atas Pembunuhan. 21
BAB I
PENDAHULUAN
D. Kerangka Pemikiran
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari
proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta
diakhiri dengan kematian.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung
misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik
yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak
seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian.
Pembunuhan merupakan sesuatu yang memang dilarang oleh Allh SWT. Sebagaimana Allah
SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 93.
Artinya : “Barangsiapa dengan sengaja membunuh seorang Muslim dengan maksud permusuhan,
dan ia membenarkan tindakannya itu, maka balasannya adalah neraka Jahanam. Ia akan kekal di
dalamnya. Allah pun akan murka kepadanya dan menjauhkannya dari kasih sayang-Nya. Allah
akan menyiapkan baginya siksa yang sangat pedih di akhirat nanti. Sebab, pembunuhan
merupakan kejahatan terbesar yang ada di dunia.”
Dalam hukum positif Indonesia yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
menghukum suatu perbutan pembunuhan baik itu yang dilakukan secara sengaja, karena
kealpaan maupun berencana.
Pasal-pasal yang terkait beberapanya adalah pasal 338 KUHP yang menghukum pembunuhan
yang dilakukan dengan sengaja, lalu pasal 340 KUHP yang menghukum pembunuhan yang
dilakukan dengan berencana, dan pasal 359 KUHP yang menghukum suatu pembunuhan yang
dilakukan dengan tidak sengaja.
Euthanasia yang menjadi suatu perdebatan antara pro dan kontra merupakan salah satu bentuk
pembunuhan atas permintaan korban sendiri agar dibunuh oleh seseorang. Hal ini biasanya
mengingat bahwa ia memiliki suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Apabila ia terus
hidup maka akan menambah pemderitaan saja bagi orang yang mengidap penyakit tersebut.
Dalam KUHPidana di Indonesia euthanasia ini tersirat dalam pasal 344 KUHP yang menyatakan
“barang siapa yang merampas nyawa seseorang atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”
Dalam hukum islam sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT dalam surat surat An-Nisa
ayat 92 yang berbunyi:
Artinya: “Dan tidaklah layak bagi seorang mumin membunuh seorang mumin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mumin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mumin, maka
(hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mumin. Dan jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mumin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 4:92).
Dalam kaidah-kaidah di atas pembunuhan selayaknya merupakan sesuatu yang dilarang oleh
Allah SWT atas dasar bahwa pembunuhan merupakan perbuatan yang memang akan melanggar
hak hidup seseorang, yang apabila ditinjau berdasarkan segi HAM, sosiologis, hukum agama
memang melarangnya.
E. Metode Penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan, penulis menggunakan beberapa
metode antara lain :
1. Studi Pustaka
Pada metode ini, kami membaca buku-buku literatur yang berhubungan erat dengan penyusunan
makalah ini. Seperti buku-buku tentang Hukum Islam, Perkembangan Hukum Islam, Hukum
pidana Islam, Fiqh Islam, ensiklopedi Islam, dan buku-buku tentang pidana yang memang
menunjang untuk dipergunakan dalam penulisan makalah ini..
2. Pemikiran
Penulis mencoba untuk belajar mengungkapkan pemikiran sendiri dan kemudian dituangkan
pada makalah ini.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam makalah ini terdiri dari empat Bab, yang diawali dengan kata
pengantar kemudian daftar isi.
Dalam Bab I (Pendahuluan) terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan
penulisan, kerangka pemikiran makalah,metode penulisan dan sistematika penulisan.
Dalam Bab II (Pembunuhan Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana
Indonesia (KUHP)) dimana menjelaskan pengertian pembunuhan dalam hukum pidana islam,
macam-macam pembunuhan dalam hukum pidana islam, dan sanksi atas pembunuhan dalam
hukum pidana islam. Kemudian menjelaskan pengertian pembunuhan dalam hukum pidana
Indonesia (KUHP), macam-macam pembunuhan dalam KUHP dan bagaimana sanksi dari
pembunuhan tersebut.
Dalam Bab III (Euthanasia) menjelaskan mengenai apa dan bagaimana euthanasia itu, apa
macam-macam, dan bagaimana pendapat para pakar dan ulama atas praktek euthanasia ini.
Dalam Bab IV (Euthanasia dalam Pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana (KUHP)
Indonesia) yang berisikan pembahasan bagaimana praktek eutnanasia apabila dihubungkan
dengan kode etik kedokteran, kemudian bagaimana pandangan hukum pidana islam dan hukum
pidana (KUHP) Indonesia atas praktek euthanasia ini serta dimana dasar hukumnya, dan yang
terakhir sejauh manakah praktek euthanasia ini dilakukan..
Dalam Bab V (Penutup) terdiri dari penutup yang berisikan mengenai kesimpulan dari
pembahasan makalah ini sebelumnya serta saran mengenai pembelajaran pembahasan makalah
dengan harapan semoga dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan masalah ini
guna dipakai sebagai bahan untuk mengadakan penyempurnaan.
BAB II
PEMBUNUHAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA UMUM
(KUHP)
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. 2:178).
Dalam surat Al-Baqarah ayat 179, yakni:
Artinya : “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. 2:179)
Kemudian surat Al-Maidah ayat 45, yakni:
Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS.
5:45)
(2) Hukuman asli yang mendampingi hukuman kisas menurut ulama Mahzab Syafi’i adalah
kafarat. Menurut mereka kafarat juga termasuk hukuman asli dari tindak pidana pembunuhan,
alasannya adalah ada pada firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 92 yang berbunyi:
Artinya: “Dan tidaklah layak bagi seorang mumin membunuh seorang mumin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mumin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mumin, maka
(hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mumin. Dan jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mumin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 4:92)
Hukuman pengganti;♣
: menurut ulama fikih, apabila kisas gugur disebabkan hal-hal yang menggugurkan hukuman
kisas, maka ada dua hukuman pengganti lain, yakni:
(1) diat yang harus ditanggung sendiri oleh pembunuh. Menurut ulama Mahzab Hanbali, diat ini
merupakan pengganti hukuman kisas; menurut ulama Mazhab Syafi’i kisas hanya bisa
dimaafkan oleh ahli waris terbunuh; dan menurut ulama Mahzab Hanafi dan Mahzab Maliki diat
itu boleh diterima bila atas kerelaan terpidana.
(2) Hukuman takzir, menurut ulama Mahzab maliki, dan atas kehendak hakim menurut jumhur
ulama. Artinya, jika kisas gugur, hukuman pengganti menurut ulama Mahzab Maliki adalah
hukuman takzir. Menurut jumhur ulama hukuman takzir hanya boleh dikenakan apabila menurut
pandangan hakim hal ini diperlukan, karenanya hukuman takzir tidak berstatus pengganti.
Hukuman tambahan atau♣ pelengkap;
: hukuman tambahan dalam pembunuhan sengaja menurut kesepakatan ulama fikih adalah (1)
terhalang hak warisnya, dan (2) terhalang mendapat wasiat dari korban. Hal ini didasarkan pada
sabda Rasullullah SAW : “pembunuh tidak berhak mendapatkan harta waarisan.”(HR.Malik,
Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majah dari Umar bin al-Khatab)
BAB III
PRAKTEK EUTHANASIA
A. Pengertian Euthanasia
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya “baik”, dan θάνατος, thanatos yang
berarti kematian) adalah merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui
cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal,
biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Dalam pengertian di atas bahwa ada kiranya praktek dari euthanasia ini kebanyakan sering
dikatkan dengan pembunuhan tergadap nyawa seseorang, dalam hal ini pembunuhan kepada
manusia.
Menurut kamus Dwibahasa Oxford, euthanasia bermakud “Kematian (mencabut nyawa) dengan
cara lembut kerana kasihan, terutama untuk menamatkan siksa (penderitaan) seseorang”.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan, “Euthanasia
adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini
dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
Kemudian oleh komisi negara yang dibentuk oleh pemerintah Belanda tahun 1984 yang bernama
“Staats Commissie Euthanasia” dirumuskan dalam sebuah definisi, “Euthanasia, tindakan
mengakhiri hidup seseorang oleh orang lain dengan secara sengaja dan atas permintaan yang
bersangkutan kepadanya”.
B. Macam-macam Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia
pasif.
1.Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan
suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien
sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan
dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien
serta tidak akan mengurangi sakit.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan
akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis)
yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2. Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita
sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter
adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk
pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin
sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya.
3.Etanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (etanasia otomatis)yang
termasuk kategori etanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan
sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-etanasia pada dasarnya adalah suatu praktek etanasia
pasif atas permintaan.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka etanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
• Etanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan etanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan etanasia semacam ini dapat disamakan dengan
pembunuhan.
• Etanasia secara tidak sukarela: Etanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan
misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo).
Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
• Etanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih
merupakan hal kontroversial.
Berpijak dari pembagian itu, A.M. Capron (1983) dalam Encyclopedia of Crime and Justice,
kemudian memerinci euthanasia dalam epat jenis yaitu :
1. Aktif atas pesetujuan korban (active voluntary euthanasie)
2. Pasif atas pesetujuan korban (passive voluntary euthanasie)
3. Aktif tanpa persetujuan korban (active nonvoluntary euthanasie)
4. Pasif tanpa persetujuan korban (passive nonvoluntary euthanasia)
BAB IV
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA
(KUHP) DI INDONESIA
B. Pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia (KUHP) Terhadap Euthanasia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. pembunuhan atas permintaan
korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum
positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Perbuatan
tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut
menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya
dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban
itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan
korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum
positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan
demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan
“pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut
tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis
untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini. Sebagai contoh kasus Hasan Kesuma
yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang
mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha. Kedua kasus ini secara konseptual
dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua
kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Secara yuridis formal kualifikasi yang paling mungkin untuk kedua kasus ini adalah
pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas
dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama 15th”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,“ Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun”. Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga
mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya
bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum oleh korban agar ia meninggal dunia”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304
dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,“Barang siapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.Dua ketentuan terakhir
tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia,
meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di
Indonesia. Euthanasia di Negara lain Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus
Nyonya Agian mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk
mengagalkan keinginannya untuk meng-euthanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang
menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu
bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan
martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi
tujuan.
Euthanasia di Inonesia juga mengenai pasal: Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas
dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340
KUHP dinyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Di luar dua
ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan
yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan.
Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di Indonesia
yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai ke
pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan:
- Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit
untuk pengusutan lebih lanjut.
- Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat
Indonesia masih awam terhadap hukum, apalagi menyangkut masalah tentang praktek euthanasia
(pembunuhan) ini.
- Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun
ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah
kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi
unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka
dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia hendaknya
tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-
macam.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang
mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara
lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal &
tidak mungkin lagi diobati.
Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun bila
euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar
pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari
sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999
2.Menurut Hukum Islam
Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat
pada euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal) sebagaimana firman Allah dalam surat An-
Nisaa’ 93 dan Surat Al-Israa 33.
Artinya : “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mumin dengan sengaja, maka balasannya
ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. 4:93)
Artinya: “Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapak,dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab)
yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu
memahami(nya).” (QS. 6:151)
Dari dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif,
karena sengaja melakukan pembunuhan terhadap pasien, sekalipun atas permintaan keluarga atau
si pasien. Demikian halnya bagi si pasien, tindakan tersebut bisa dikategorikan tindakan putus
asa dan membunuh diri sendiri yang diharamkan oleh Allah SWT.
Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan euthanasia
aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris),
padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu
pengampunan dosa.
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag
dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena
itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat
pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah.
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-
tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,
seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat,
sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas
(wajib), tapi tuntutan yang memang sangat bukan tegas atau tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak
terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam
hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits
lain itu membolehkan untuk tidak berobat atau tidak melakukan suau pengobatan.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam
pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan
(epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga.
Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering
tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.”
Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits
pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah),
bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum
berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini
memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah
dokter berhak mencabutnya dari pasien yang memang pada kenyataannya telah atau sudah kritis
keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si
pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti
menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat
bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib.
Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi
pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat
mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi lagi dikemudian hari yang akan datang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia
pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah
mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan
tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakan yang telah ia perbut itu sebelumnya
kepada korban.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika
pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa.
BAB V
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil
adalah:
1. Praktek euthanasia ini apabila dihubungkan dengan kode etik kedokteran jelas bahwa
euthanasia ini dilarang karena sebisa mungkin seorang dokter harus menyelamakan nyawa
pasien. Namun di sini praktek euthanasia dimunginkan dilakukan dengan syarat-syarat yang
cukup banyak tenunya dengan persetujuan korban dan keluarga terkait.
2. Pandangan hukum islam dan hukum positif terhadap perkawinan beda agama, adalah:
Hukum Pidana Islam: Dalam hukum pidana Islam praktek♣ euthanasia ini sangat dilarang, baik
itu euthanasia yang aktif maupun yang pasif walaupun dengan alasan apapun juga, karena sudah
melanggar perintah Allh SWT.
Hukum Pidana Indonesia (KUHP) : Berdasarkan♣ hukum di Indonesia maka eutanasia adalah
sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-
undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Un
ang-undang Hukum Pidana. Namun, Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika
pengadilan megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan
rumah sakit bisa
dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan
menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No.
39 tahun 1999.
3. Praktek euthanasia di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Satjipto Rahardjo dkk dari
Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 1989 bahwa praktek euthnasia sudah banyak
terjadi di Indonesia dan sekitar 14 dari 38 responden yang seorang dokter menyatakan setuhu
akan euthanasia ini, dan dari 25 responden sarjana hukum 12 responden menyatakan setuju akan
euthanasia, sedangkan 14
responden mensyaratkan euthanasia dengan beberapa syarat.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka saran yang penulis berikan pada permasalahan
adalah:
1. Praktek euthanasia ini sekiranya harus dapat diminimalisir atau bahkan jangan sampai
dilakukan walaupun dengan syarat yang cukup berat, karena pada dasarnya seorang dokter harus
melindungi dan menyelamatkan nyawa pasiennya.
2. Dengan adanya beberapa pandangan baik dari hukum islam khususnya hukum pidana islam
serta hukum pidana Indonesia (KUHP) yang melarang euthanasia, maka selayaknya eunahasia
ini menjadi suatu hal yang diperhatikan pelaksanaannya karena euthanasia ini sangat dilarang
dari berbagai bidang
3. Praktek euthanasia yang menjadi pro dan kontra di Indonesia ini kiranya harus dipayakan agar
tidak dilaksanakan dengan alasan apapun karena kegiatan ini apabila ditinjau dari berbagai aspek
sangat tidak baik, dan menurut agama pun hal ini dilarang keras oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Ali, Zainudin, 2006. “Hukum Islam”. Jakarta: Sinar Grafika
________.2007.”Hukum Pidana Islam”.Jakarta: Sinar Grafika
Ensiklopedi Hukum Islam.
I Doi,Rahman.1996,”Hudud dan Kewarisan”.Jakarta, Raja Grafindo Persada
Prodjodikoro, Wirjono. 2003.”Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indoesia”.Bandung:Refika
Aditama
Rasjid, Sulaiman.1995.”Fiqh Islam”.Bandung:Sinar Baru Algensindo Offset
Suryana, Toto.et al.2006.”Pendidikan Agama Islam”.Bandung:Tiga Mutiara.
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kompilasi Hukum Islam
SKPBDI no.221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang Kode Etik Kedokteran
C. Internet
www.alquran-digital.com
www.euthanasia4iWorldConservation.com
www.filsufgaul.wordpress.com
www.wikisource.org.
www.kompas.com