You are on page 1of 11

STRATEGI UNGGUL MEMBANGUN MASYARAKAT 

CITA
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI MANUSIA:

STRATEGI UNGGUL MEMBANGUN MASYARAKAT CITA

I. Pendahuluan

Percaturan global dengan muatan-muatannya yang sarat berimplikasi pada perubahan yang
cepat, spektakuler, sulit diprediksi, dan menuntut persaingan yang ketat. Kondisi ini hanya bisa disikapi
dengan satu kata kunci yaitu competitiveness. Pertanyaannya sekarang bukan saja mampukah kita
bersaing, tetapi dapatkah kita memenangkan persaingan tersebut?

Kemampuan dan kemenangan dalam bersaing akan tercapai bila didukung oleh sumber daya manusia
atau kompetensi manusia yang handal dan berkualitas tinggi, mampu membaca perkembangan zaman
serta mampu membuat prediksi dan perhitungan yang tepat, arif dan bijaksana dalam
mengantisipasinya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat Indonesia saat ini masih sangat
rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Laporan yang diterbitkan UNDP dengan mengacu
pada Human Development Index, menyebutkan bahwa posisi SDM Indonesia saat ini berada diperingkat
109 dari 174 negara di dunia. Ini terjadi sebagai akibat kurang berfungsinya bidang pendidikan dalam
memberdayakan masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, diperlukan persiapan yang matang, salah
satunya dapat diupayakan melalui aktualisasi peran pendidikan baik pada tataran mikro maupun makro
sehingga pendidikan sebagai tulang punggung pembangunan dapat memainkan peran nyata dalam
menciptakan human capital  yang handal.

Pendidikan adalah wahana untuk mempersiapkan manusia di dalam memecahkan problem kehidupan di
masa kini maupun di masa datang. Oleh karena itu sistem pendidikan yang dikembangkan oleh suatu
masyarakat atau institusi harus mampu membangun dan mengembangkan kompetensi manusia untuk
mempersiapkan kehidupan yang lebih baik. Suatu sistem pendidikan yang baik harus disusun atas dasar
kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun antisipasi kondisi di masa yang akan
datang. Derasnya arus perubahan yang terjadi saat ini berdampak pada cepat
usangnya hardware dan software  bidang pendidikan sehingga sektor pendidikan harus terus
diberdayakan agar mampu mengantisipasi setiap perubahan. Perubahan kondisi lingkungan ini adalah
merupakan tantangan sekaligus peluang yang harus direspon secara tepat dan memberikan nilai
tambah (added value).

II.      Perubahan Kondisi Lingkungan


Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi
perubahan di dalam lingkungan kehidupan manusia. Naisbitt (1995) bahkan berkata bahwa satu-
satunya yang tetap sekarang adalah perubahan (the constant one now is changing). Banyak paradigma
yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual, kehidupan organisasi maupun
kondisi suatu daerah yang pada waktu yang lalu tampak sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman.
Akhir-akhir ini banyak sekali muncul tulisan tentang pergeseran paradigma kehidupan. Umumnya tulisan
tersebut menganalisis tentang paradigma baru yang perlu diterapkan untuk memasuki milenium ketiga.
Tulisan tersebut berfokus pada perubahan paradigma yang membedakan milenium kedua dan milenium
ketiga.
Salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa
depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berfikir
bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Pada milenium ketiga terjadi pergeseran,
dimana semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang akan terjadi ke depan semakin
untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier. Banyak contoh
yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat tersebut. Bila pada awal tahun sembilanpuluhan
(akhir milenium kedua) para pakar memprediksi bahwa Asia akan menjadi pusat perdagangan dunia
karena jumlah penduduk yang besar sebagai pasar, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di atas 7%
(Naisbitt, 1995), tetapi tanpa diduga di penghujung dekade akhir millenium ketiga, ekonomi berbagai
negara Asia jatuh tersungkur dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mendekati nol atau minus.
Tidak ada orang yang menduga bahwa pertumbuhan ekonomi negara tersebut begitu mengenaskan.

Contoh lain kondisi negara kita sendiri yakni kuatnya pemerintahan Soeharto. Tidak ada dugaan kalau
rezim ini akan berakhir tragis dengan meninggalkan beban malapetaka yang besar menimpa rakyat
negeri ini. Berbagai krisis yang melanda Korea, Thailand, Filipina, Malaysia, Indonesia dan berbagai
negara Asia lainnya serta runtuhnya rezim Soeharto yang tanpa diduga adalah bukti bahwa paradigma
stabilitas dan prediktabilitas sudah harus ditinggalkan.

Untuk menghadapi kondisi di milenium ketiga yang semakin tidak bisa diprediksi tersebut, diperlukan
perubahan sikap mental manusia. Orang tidak bisa lagi bersifat reaktif, menunggu dan menghindari
resiko demi mempertahankan status-quo. Orang harus bersifat proaktif dan memiliki toleransi atas
ketidakjelasan yang terjadi akibat perubahan dengan tingkat turbulensi yang tinggi. Banyak pakar
melihat kegagalan manusia, seperti kegagalan mengelola negara/daerah, mengelola usaha, dan
pengelolaan intitusi pendidikan karena sifat yang tidak proaktif dan melihat sukses masa lalu sebagai
suatu jaminan sukses di masa depan.

Padahal sukses di masa lalu tidak akan menjamin sukses di masa depan karena masa depan akan
sangat berbeda dengan masa lalu. Orang harus terus mempertanyakan formula sukses masa lalu
apakah masih bisa diterapkan untuk kondisi perubahan yang super cepat. Bila tidak dilihat dengan kritis
formula sukses di masa lalu akan menjadi sumber kegagalan di masa depan (Gibson, 1997).

Dalam praksis pendidikan nasional kita dewasa ini masih terdapat kelemahan sebagai akibat dari
kekurangkritisan kita dalam menyikapi formula sukses masa lalu. Penekanan pendidikan pada semua
jenjang yang masih menempatkan aspek kognitif, ternyata tidak lagi mampu mengakomodir tuntutan
pendidikan di masa depan. Proses pembelajaran hanya memusatkan perhatian pada pengembangan
otak belahan kiri dan kurang mengembangkan otak belahan kanan. Kondisi ini menyebabkan pendidikan
nasional kita hanya mampu menghasilkan orang-orang yang tidak mandiri, tidak kreatif, dan tidak
memiliki self awareness. Kondisi outcome  pendidikan seperti ini sungguh-sungguh tidak sesuai lagi
dengan tuntutan dan prasyarat bagi kehidupan dan persaingan di era global.

Dengan demikian harus ada kemauan keras untuk memberikan perhatian dan tidak menelantarkan
aspek afektif yang berproses pada belahan otak kanan seperti sikap, minat, motivasi berprestasi,
empati, toleransi, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, yang justru lebih banyak menentukan
peran dalam segala dimensi kehidupan manusia. Pendidikan nasional kita harus segera melakukan
redefinisi terhadap praksisnya yang telah lama keliru, bila tidak ingin mandeg menjadi barang usang
yang tidak dilirik oleh zaman karena tidak mampu menunjukkan aktualisasinya dalam menanggapi
aspirasi dan tuntutan masyarakat.

III. Kualitas Masyarakat Semakin Rendah


Banyak pakar yang prihatin terhadap terjadinya penurunan kualitas kehidupan masyarakat. Banyak
tulisan yang muncul yang menggambakan keprihatinan ini. Menurut pendapat saya ada berbagai
indikator yang dapat diajukan guna menjelaskan menurunnya mutu kehidupan masyarakat.

1. Orientasi pembangunan ekonomi pertumbuhan.

Menurut pandangan seorang ahli psikologi sosial, Paul Wachtel (1989) menyatakan timbulnya
bermacam-macam patologi sosial dikarenakan orientasi pembangunan yang selalu menekankan pada
pertumbuhan (growth) bukan pada pendistribusian hasil pembangunan dengan merata dan adil. Wachtel
berpendapat bahwa orientasi ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan telah menumbuhkan mental
pertumbuhan (growth mentality)  yang membuat orang mengakumulasi materi sebanyak-banyaknya,
dengan tidak memperdulikan orang lain yang sangat membutuhkan materi tersebut tetapi tidak
memperolehnya. Pola pikir (mind-set ) orang berubah untuk mengejar dan mengakumulasi materi
sebanyak-banyaknya, karena keyakinan bahwa materi yang banyak akan memberikan kepuasan hidup.
Kondisi demikian ini akan membuat orang semakin berorientasi pada dirinya sendiri dan kurang
memikirkan kesejahteraan orang lain.

Hasil kajian Wachtel pada masyarakat Amerika menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup
selalu berbanding terbalik dengan akumulasi kekayaan. Makin meningkat jumlah kekayaan materi yang
dimiliki, makin meningkat jumlah permasalahan kehidupan, dan makin tidak bahagia kehidupan
manusia. Dalam masyarakat yang terlalu berorientasi pada pengumpulan kekayaan sifat-sifat yang
hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lainnya akan makin berkembang. Ini adalah
buah dari suatu sistem kapitalis yang bisa menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat.

Kehadiran teknologi informasi yang makin canggih telah mengikat kehidupan antar manusia dalam
sebuah kepentingan yang menekankan pada pengembangan kekayaan informasi. Don Tapscott (1996)
menggambarkan era ini sebagai era yang merubah wajah ekonomi menjadi ekonomi yang dihela oleh
teknologi informasi digital. Kehidupan masyarakat makin terintegrasi secara semu, karena interaksi
melalui teknologi informasi sangat menekan pada spek kognitif dan kurang melibatkan aspek afeksi.

Dari perspektif psikologi sosial kehidupan masyarakat dalam ekonomi yang dihela oleh teknologi
informasi akan banyak menimbulkan banyak konflik antar unsur-unsur dalam masyarakat (discordance).
Dalam kondisi ekonomi yang dihela oleh sistem informasi teknologi yang canggih, masyarakat yang
unggullah yang akan memetik keuntungan yang besar. Masyarakat yang berpendidikan rendah, secara
ekonomi lemah, dan tidak memiliki akses kekuasaan akan ketinggalan jauh. Kondisi demikian akan
menumbuhkan masalah sosial dan psikologis. Kesenjangan ekonomi antara golongan atas dan golongan
bawah semakin melebar. Untuk menjadi pemain dalam era ekonomi baru diperlukan manusia yang
memiliki pengetahuan yang luas (knowledge workers). Mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang
cukup akan tidak bisa memasuki pasaran kerja.

Dalam era ekonomi digital, berbagai bentuk patologi sosial akan semakin tinggi kualitas dan
kuantitasnya. Pengangguran akan semakin meningkat, yang selanjutnya akan diikuti oleh meningkatnya
angka kriminalitas. Ketegangan karena kesenjangan sosial yang melebar ini dapat mengambil bentuk
mudahnya masyarakat terlibat dalam kerusuhan sosial.

Ketegangan emosi yang amat tinggi akan menyebabkan manusia dengan mudah mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri. Orientasi sistem kapitalis yang sangat menekankan efisiensi tanpa ditemani oleh
orientasi manusiawi telah menghancurkan karakter manusia. Kebermaknaan hidup dalam dunia kerja
dan komitmen pada organisasi menjadi luntur. Dalam upaya peningkatan daya saing perusahaan,
manajemen melakukan penciutan organisasi, dan memperkecil jumlah karyawan tetap. Karyawan yang
dipertahankan hanyalah karyawan inti (core) yang memegang peran strategis.

Karyawan inti ini adalah mereka yang berpengetahuan luas (knowledge worker). Sedangkan mereka
yang berkerja di bagian yang tidak inti (non-core) tidak diangkat sebagai karyawan tetap tetapi disewa
dari luar (outsourcing) untuk waktu yang pendek selama ada pekerjaan yang perlu dilakukan. Kondisi
yang demikian ini merubah kontrak hubungan kerja dari kontrak yang seharusnya bersifat sosial
ekonomi berubah menjadi kontrak yang sangat berorientasi ekonomi. Kondisi yang demikian ini
menyebabkan kehidupan dalam organisasi binis yang seharusnya menjadi komunitas yang saling
mengasihi berubah menjadi arena pertarungan untuk mencapai keunggulan dengan mengalahkan orang
lain.

2. Orientasi pengembangan manusia yang berfokus pada aspek kognitif

Untuk menopang kehidupan manusia dalam suatu sistem ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan
diperlukan manusia yang cocok untuk orientasi yang demikian. Orientasi pendidikan di Indonesia pun
ditekankan pada pengembangan kompetensi dengan fokus yang sangat dominan pada pengembangan
aspek kognitif. Kata-kata yang paling banyak muncul dalam perdebatan tentang arah pendidikan
manusia adalah membangun manusia yang memiliki daya saing tinggi yang hanya berfokus pada
penguasaan ilmu dan teknologi yang mengabaikan aspek pengembangan karakter. Dengan orientasi
pemikiran yang demikian itu semua pihak yang terkait dengan pendidikan formal amat menekankan
pada peningkatan kemampuan kognitif. Porsi waktu yang diberikan untuk mengembangkan karakter
manusia yang kondusif untuk hidup bersama secara damai kurang mendapat perhatian.

Dalam dunia bisnis, pengembangan sumberdaya manusia hanya menitik beratkan pada pengembangan
kompetensi di bidang kerja dan mengabaikan upaya untuk membangun manusia yang memiliki karakter
cinta kasih pada sesama.

3. Melemahnya infrastruktur sosial pengikat silaturahmi

Oleh karena pengaruh modernisasi banyak organisasi tradisional seperti banjar yang dijumpai di Bali,
lembaga adat, perkumpulan pengairan sawah, kelompok yasinan, lumbung paceklik, dan berbagai
bentuk lembaga sosial lainnya semakin diancam kepunahan. Sistem birokrasi modern yang diadopsi oleh
pemerintah dari konsep barat telah diterapkan tanpa memperhatikan unsur budaya lokal. Organisasi
sosial yang tradisional diganti oleh LKMD, karang taruna, PKK, P2KSS dan berbagai bentuk organisasi
lainnya. Tentu saja pembentukan organisasi yang demikian ini tidak terlepas dari kepentingan politik
pada zaman orde baru. Organisasi ini telah dijadikan wadah untuk pengembangan kader politik yang
mendukung kepentingan partai pemegang kekuasaan. Organisasi modern yang dibentuk pemerintah
telah menjadi predator bagi organisasi sosial yang tumbuh dari masyarakat sendiri. Pemberian dana
kepada organisasi moderen untuk menunjang kegiatan organisasi telah menyebabkan berubahnya
motivasi untuk terlibat dalam organisasi. Semula orientasinya adalah sangat sosial demi kemaslahatan
bersama, kemudian berubah menjadi kehidupan yang berfokus pada ekonomi. Banyak lembaga sosial
ciptaan pemerintah yang ditujukan sebagai wadah untuk peningkatan penghasilan (income
generating) anggota organisasi. Tentu orientasi ini tidak salah, tetapi tanpa ditekankan pada semangat
kebersamaan organisasi yang demikian akan membunuh semangat sosial masyarakat.

Organisasi sosial yang tradisional dibangun masyarakat untuk kepentingan bersama. Mereka terlibat
dalam organisasi didasari oleh kontrak sosial. Para anggota berkumpul diikat oleh kepentingan
emosional dan sosial, tidak menekankan pada kepentingan bersifat materi. Selain itu para anggota
berpartisipasi dalam kegiatan organisasi sejak perencanaan sampai dengan implementasi kegiatan.
Partisipasi penuh seperti ini akan menimbulkan rasa memiliki organisasi (sense of ownership).

Kehadiran organisasi moderen yang dibangun pemerintah dengan pemberian dana kegiatan, telah
merubah motivasi berkelompok lebih pada orientasi eksterinsik berupa penambahan pendapatan. Pada
organisasi yang demikian ini kontrak antar sesama anggota lebih bersifat kontrak ekonomi. Menurut
pandangan psikologi lembaga yang dibangun sendiri oleh anggotanya akan memiliki nilai instrinsik yang
tinggi. Orang termotivasi karena adanya faktor suka dengan keterlibatan dalam organisasi tersebut.
Organisasi yang dibentuk oleh pemerintah dengan janji-janji akan memperoleh dana bagi kegiatan
anggota kelompok akan menghilangkan motivasi intrinsik tersebut, dan beralih ke motivasi ekstrinsik
(dapat dana).

IV.      Manusia dalam Perspektif  NDP


Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah
pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya
manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu
manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan
aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat
mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya.

Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang
mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat
dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti
pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.

Dengan demikian nilai substansi kemanusiaan adalah akal, yang menjadi batas tegas antara manusia
dengan “kerabat” terdekatnya, yaitu hewan, sehingga manusia didefenisikan sebagai “hewan yang
berpikir” atau “hewan yang berakal”. Dengan demikian manusia selain merupakan
makhluk basyariah(dimensi fisiologis) dan annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki
aspekinsan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki
kecenderungan yang paling kompleks.[1] Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan
intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.

Dengan nilai-nilai yang dimilikinya menjadikan manusia bersifat dinamis dan diberikan hak istimewa
untuk menentukan langkah dan arah hidupnya. Tuhan tidak memaksakan kehendak-Nya kepada
manusia, akan tetapi Tuhan akan senantiasa memberikan pilihan untuk diikuti oleh manusia dengan
berbagai konsekuensi logis dan akibat dari sebuah perbuatan yang senantiasa mengiringinya.

Manusia “bermain” di antara keharusan universal (takwini) dan kemerdekaan bertindak (tasyri’i), artinya
Tuhan telah menetapkan hukum keciscayaan universal berupa hukum sebab akibat, dimana manusia
dan seluruh makhluk tidak mungkin keluar dari lingkaran tersebut. Di dalam hukum inilah manusia
bergerak bebas menentukan pilihan, dari berjuta pilihan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Jadi manusia
terpaksa untuk bebas atau bebas untuk dipaksa?

Dalam hal ini HMI bukanlah sebuah organisasi sufi yang kader-kadernya senantiasa asyik masyuk
dengan Tuhannya, akan tetapi kader HMI adalah kader yang mesra dengan Tuhan dan “membawa”
Tuhan berjalan di muka bumi dengan melakukan revolusi sosial dan senantiasa bergerak menuju yang
lebih baik.
V.     Manusia Global Yang Perlu Dipersiapkan
Milenium ketiga adalah masa yang menawarkan banyak peluang dan sekaligus banyak tantangan yang
menyulitkan. Kesuksesan merebut peluang dan mengatasi kendala semuanya terpulang pada
kemampuan manusia untuk mengelola peluang dan tantangan tersebut. Untuk itu, manusia harus
menghadapinya secara bersama-sama dengan memiliki visi, misi dan nilai (value) yang sama. Memasuki
pusaran global adalah suatu keharusan, tetapi bermain pada pusaran tersebut tanpa persiapan atau
kompetensi yang memadai adalah suatu kekonyolan. Maynard dan Mehrtens (1993) beranggapan
milenium ketiga adalah kelanjutan tahap perubahan dunia yang digambarkan oleh Alvin Toffler dalam
buku Pergeseran Kekuasaan (1991).[2]Alvin Toffler beranggapan bahwa perubahan dunia terjadi dalam
tahapan yang berbeda mulai dari gelombang pertama (first wave), gelombang kedua (second wave),
dan gelombang ketiga (third wave). Maynard dan Mehrtens (1993) menamakan milenium ketiga sebagai
gelombang keempat (fourth wave) dari perkembangan dunia.

Gelombang pertama adalah era pertanian, yang berfokus pada kehidupan yang bergelut dengan alam.
Hubungan manusia dengan alam lebih tertuju pada perlakuan individu terhadap alam, dan manusia lebih
dikuasai oleh alam ketimbang dia menguasai alam. Pada masa ini manusia bisa hidup sendiri-sendiri
untuk mencari kehidupan. Peranan otot (brawn) akan lebih besar dari peranan otak (brain) di dalam
kelansungan hidup manusia. Pekerjaan manusia di era pertanian lebih didominasi oleh kerja otot
mengolah alam daripada kerja otak. Pada era ini kerjasama antara manusia tidak terlalu urgen untuk
keberlangsungan hidup. Pada masa ini nuansa kempetisi antar manusia sangat lemah atau hampir tidak
ada kompetisi.

Gelombang kedua adalah era industrialisasi. Manusia semakin menggunakan akalnya untuk


menciptakan mesin untuk mempermudah kehidupan manusia. Pada masa ini diciptakan mesin uap,
pembangkit tenaga listrik, alat-alat transportasi dan alat komunikasi yang semakin canggih. Di era ini
nuansa kompetisi antar manusia semakin mengental. Manusia berkempetisi untuk menguasai sumber
daya alam. Persaingan menuntut mereka untuk unggul dan mandiri.  Dalam masa ini ada
kecenderungan kuat untuk melihat pihak lain sebagai kompetitor. Masa ini ditandai dengan suatu pola
permainan zero-sum game. Saya menang kamu kalah, atau sebaliknya kamu menang saya kalah.
Nuansa keserakahan manusia untuk menguasai sumber daya sangat menonjol.

Gelombang ketiga adalah era informasi. Era ini merupakan bagian penting dari awal milenium ketiga,
dimana manusia memanfaatkan informasi informasi sebagai kekuatan dalam kehidupan. Teknologi
komputer menjadi penguasa. Hampir semua pekerjaan sudah bisa diatur oleh komputer dan banyak
pekerjaan sudah bisa dilakukan oleh robot yang diprogram oleh komputer. Manusia pada era ini saling
terkait satu dengan lainnya dan mereka harus bekerja sama termasuk dalam berbagi wawasan guna
memperoleh keuntungan bersama. Keterkaitan manusia terjadi melalui internet. Manusia memiliki
peluang yang sangat besar untuk belajar dengan memanfaatkan internet sebagai sarana untuk
memperluas pengetahuannya. Kemampuan belajar untuk memperluas pengetahuan akan menjadi faktor
survival. Pada masa ini masyarakat harus membangun learning society  .

Gelombang keempat adalah era yang ditandai oleh semakin intensifnya pemanfaatan teknologi
komputer dan semakin canggihnya perangkat informasi. Nuansa perubahan pada gelombang ketiga
yang menekankan pada kerjasama ternyata tidak cukup kuat untuk menangkal dampak negatif yang
muncul dari nilai baru. Manusia di berbagai negara akan survival bila mereka dapat melihat dirinya
dalam suatu kesatuan. Manusia harus menjadi pelayan dunia (serve as a global steward), harus
memiliki visi, misi, dan value yang sama untuk menjaga kelangsungan hidup alam semesta, termasuk
kehidupan bersama untuk manusia. Hidup pada era gelombang keempat tidak lagi hanya berfokus pada
kelangsungan hidup manusia, tetapi juga kelangsungan hidup alam yang berfungsi sebagai penyangga
kehidupan manusia. Fokus perhatian dalam kegiatan pembangunan harus berorientasi pada
kelansungan hidup di masa depan. Hal ini sesuai pula dengan ajaran agama yang memerintahkan
manusia untuk menjaga alam semesta ini. Manusia harus melihat dirinya sebagai ummat yang satu
(ummataw-wahidah) sebagai halifatullah fil-ard yang harus memelihara alam semesta dan secara
bersama-sama berbuat untuk kepentingan bersama. Maynard dan Mehrtens (1993) menggambarkan
kondisi tersebut dalam suatu paradigma kehidupan baru berorientasi pada we are one and choose to co-
create .

Penghargaan terhadap keanekaragaman (diversity) pada era gelombang keempat ini menjadi semakin
penting. Kelangsungan hidup bermasyarakat dan berusaha dalam bidang apa saja sangat tergantung
pada pengakuan dan penghargaan pada keanekaragaman tersebut. Mengambil contoh pada kehidupan
biologis misalnya tanaman yang hanya terdiri atas satu jenis tanaman saja akan sangat mudah sekali
diserang penyakit. Keunggulan satu spesies tanaman sangat tergantung pada dukungan dari berbagai
jenis tanaman lainnya (bio-diversity). Suatu organisasi termasuk institusi pendidikan akan berusia
panjang bila dia memperhatikan ekosistem usaha yang beraneka ragam, dan membangun sinerji
dengan berbagai organisasi atau institusi lain yang merupakan komponen ekosistem tersebut.
Kekacauan antar etnik yang mengganggu keamanan masyarakat terjadi karena kurangnya penghargaan
antar etnik yang menjadi komponen bangsa. Peristiwa kerusuhan etnis ataupun melibatkan unsur sara
seperti di Ambon, Poso dan Mamasa Sulawesi Barat menjadi salah satu contoh dari kurangnya
penghargaan terhadap keanekaragaman. Padahal agamapun mengajarkan bahwa perbedaan yang diikat
dengan rasa saling menghargai dan tidak saling menguasai akan mendatangkan kekuatan. Konsep ini
keanekaragaman sangat sesuai dengan ajaran agama Islam yang mengajarkan kita untuk menghargai
perbedaan, karena perbedaan itu adalah hikmah bagi mereka yang mengerti.

VI.  Peranan HMI dalam Menyiapkan Kompetensi Manusia


HMI mengemban berbagai tugas, tugas pendidikan dan pelatihan, tugas penelitian dan pengembangan
ilmu, tugas pengabdian pada masyarakat, serta tugas pengembangan nilai dan kepribadian. Tugas-
tugas ini tertuang secara implisit dalam tujuan HMI. Sebagai suatu sub-sistem dalam masyarakat HMI
harus dapat menyiapkan manusia yang memiliki kompetensi untuk hidup bersama dalam ikatan global.
HMI harus dapat mengembangkan dimensi yang diperlukan untuk memasuki kehidupan milenium
ketiga, dan juga sebagai prasyarat pengembangan kehidupan masyarakat. Menurut penulis ada tiga
dimensi yang diperlukan untuk menghadapi era postmodern, yaitu: dimensi keilmuan, dimensi spritual
dan dimensi sosial. Sejalan dengan itu Ancok mengatakan bahwa jenis kapital yang diperlukan untuk
menghadapi era globalisasi, yaitu kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spiritual.
[3] Dengan menumbuhkan kompetensi manusia melalui ketiga dimensi ini diharapkan akan terwujud
manusia yang berorientasi ‘kita’ bukan berorientasi ‘saya’ (diri saya, keluarga saya, sekolah saya, partai
saya, golongan saya, dan sebagainya). Manusia yang demikian inilah yang oleh Stephen Covey disebut
sebagai manusia yang efektif (Covey, 1989).

1. Dimensi Keilmuan

Dimensi keilmuan adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukan peluang dan mengelola
ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa dimensi keilmuan ini sangat besar
perannya dalam menambah nilai suatu kegiatan, termasuk dalam mewujudkan masyarakat cita.
Berbagai organisasi, lembaga dan strata sosial yang unggul dan meraih banyak keuntungan atau
manfaat adalah karena mereka terus menerus mengembangkan sumberdaya atau kompetensi
manusianya.
Manusia harus memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan kehidupan
(ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum, dll) yang sangat tinggi kecepatannya. Mereka yang tidak
beradaptasi dengan perubahan yang super cepat ini akan dilanda kesulitan. Pada saat ini manusia,
organisasi, negara, dan daerah tidak lagi berlayar di sungai yang tenang yang segala sesuatunya dapat
diprediksi dengan tepat. Kini sungai yang dilayari adalah sebuah jeram yang ketidakpastian jalannya
perahu semakin tidak bisa diprediksi karena begitu banyaknya rintangan yang tidak terduga. Dalam
kondisi yang ditandai oleh perubahan yang super cepat manusia harus terus memperluas dan
mempertajam pengetahuannya dan mengembangkan kreatifitasnya untuk berinovasi dan
berimprovisasi.

HMI sebagai “anak kandung ummat” harus siap berada di garda paling depan di dalam mengembangkan
nuansa keilmuan ini dan harus mampu membangun suatu masyarakat pengetahuan (knowledge
community). Hal ini tersirat dalam Mission HMI yang tertuang dalam pasal 4 AD HMI yang merupakan
tujuan HMI dan bermuara pada peran HMI sebagai organisasi perjuangan. Tentu saja sesuai dengan
ranahnya untuk masing-masing jenjang struktur di HMI.

Pekerjaan membangun dimensi ini adalah pekerjaan yang tiada akhir, karena ilmu yang dimiliki akan
mudah sekali ketinggalan zaman. Kita akan menjadi penyebar kerusakan bila konsep yang kita ajarkan
adalah konsep yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan perubahan. Budaya saling tukar menukar
informasi dan wawasan yang melibatkan seluruh komponen kader HMI dalam forum-forum tertentu
akan semakin mengembangkan dimensi keilmuan.

2. Dimensi Spiritual

Belakangan ini kajian-kajian yang berkaitan dengan dimensi spritual banyak dibicarakan oleh para
pakar. Sebut saja seperti Zohar dan Marshall (2000), Agustian (2001), Tasmara (2001). Dimensi ini
menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ yang
tinggi tidaklah menghantarkan manusia pada kebermaknaan hidup. Padahal kebermaknaan hidup
adalah sebuah motivasi yang kuat yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu kegiatan yang
berguna. Hidup yang berguna adalah hidup yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Selain
itu dimensi spiritual ini juga memberikan perasaan hidup yang komplit (wholeness). Inilah yang disebut
oleh Abraham Maslow dengan Peak Experience  , yaitu perasaan yang muncul karena kedekatan dengan
sang pencipta.

Bagi HMI dimensi keilmuan akan sangat menunjang dimensi yang kedua ini, sehingga dikatakan, “orang
yang beribadah tanpa ilmu adalah buta”. Sehingga ketinggian ilmu mesti seiring dengan peningkatan
spritual, sebab dimensi spritual merupakan ilmu tertinggi yang dapat dicapai manusia.

Namun demikian banyak akademisi yang menyarankan agar dimensi spiritual ini dipisahkan dari dimensi
keilmuan dan sosial dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa pentingnya upaya
pengembangan keberagamaan manusia dan menjaga nilai-nilai agama tetap murni, tidak terkontaminasi
dengan disiplin keilmuan yang bersifat tentatif. Agama dianggap sebagai pembimbing kehidupan agar
tidak menjadi egoistis yang orientasinya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja. Karena itu,
upaya untuk mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama bagi tumbuhnya
masyarakat yang makmur dan sejahtera, serta aman dan damai.

3. Dimensi Sosial

Dimensi intelektual dan spiritual baru akan tumbuh dan berkembang bila masing-masing orang mau
berbagi wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun jaringan hubungan sosial
dengan orang lainnya. Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang disebut dengan dimensi
sosial. Semakin luas pergaulan sosial seseorang akan semakin luas jaringan hubungan sosial (social
networking) semakin tinggi nilai seseorang.

Dimensi sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan
menghargai perbedaan. Pengakuan dan penghargaan atas berbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya
kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang lain yang berbeda, dan menghargai serta
memanfaatkan secara bersama perbedaan akan memberikan kebaikan buat semua. Dalam ajaran
agama setiap manusia diminta membangun hubungan dengan sesama karena silaturrahmi akan
memberikan kebaikan. Ide kreatif seringkali muncul melalui diskusi.

Demikian pula peluang usaha atau berprestasi seringkali terbuka karena adanya jaringan hubungan
silaturrahmi yang berlangsung damai dan harmoni. Islam juga dengan tegas menganjurkan untuk
membangun dimensi sosial ini. Allah berfirman: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kenal mengenal .[4] Karena itu, untuk menumbuhkan dimensi sosial pada diri kader
diperlukan kegiatan pengabdian masyarakat untuk menumbuhkan sifat-sifat demikian. Banyak pelatihan
yang bisa ditawarkan untuk menumbuhkan dimensi sosial, misalnya pelatihan untuk
menumbuhkan social skill, pelatihan keterampilan berkomunikasi efektif, dan pelatihan untuk menjadi
manusia efektif seperti Paket Seven Habits of Highly Effective People  yang sekarang ini sangat populer
di beberapa negara. Berbagai ilmu di bidang human relation telah memberikan jalan bagaimana
manusia harus berinteraksi dalam suatu kebersamaan yang saling menguntungkan.

VII.   Penutup
Mengingat perubahan lingkungan yang sangat cepat dan percepatan akumulasi pengetahuan baru
menyebabkan jarak ketidakpastian dan kesenjangan sosial kian melebar. Sehingga formula yang tepat
untuk mengejar perubahan tersebut dan menciptakan masyarakat cita (masyarakat adil makmur yang
diridhoi oleh Allah SWT) adalah dengan merubah paradigma pendidikan dan lebih dispesifikasikan pada
ranah perkaderan.

Dengan orientasi pendidikan seperti ini, maka organisasi-organisasi kader harus terintegrasi dalam 3 hal
berikut:

(1)   Proses perkaderan harus mengacu pada konsep belajar dan bekerja, untuk itu perlu
dilakukan need assessment dan resources mapping guna memahami karakteristik lingkungan dan
sumber belajar yang tersedia di daerah, baik dari aspek geografis maupun demografi sehingga
kompetensi manusia yang dikembangkan sejalan dengan usaha-usaha menuju masyarakat cita,

(2)   Perkaderan harus menjamin life long learning,

(3)   Perkaderan harus berimbang antara pendidikan sekolah formal dan informal (seimbang antara
pengembangan nalar dan emosi).

Akhirnya, apakah kemandirian suatu daerah atau negara dalam mengejar ketertinggalannya dapat
terwujud menyamai atau bahkan melebihi dari daerah lainnya sangat tergantung kepada upaya manusia
untuk mempersiapkan kompetensi dirinya.

Banyak hal yang harus dipersiapkan baik dari segi perangkat keras maupun perangkat lunak. Manusia
sebagai perangkat lunak sudah selayaknyalah berbuat untuk mengembangkan ketiga dimensi yang
diuraikan sebelumnya. Organisasi dengan perangkatnya diharapkan mampu mengembangkan sistem
pembelajaran produktif yang dapat mengantarkan kadernya menemukan kecakapan hidup agar
bisa survival  dalam kompleksitas kehidupannya, dan dalam skala makro mampu membawa kecerahan
bagi ummat manusia.

Dengan demikian peranan organisasi sangat diperlukan dalam merubah cara pandang dan paradigma
pendidikan, akan tetapi ditengah fenomena banyaknya organisasi yang tidak berorientasi pada kader,
maka HMI hari ini menjadi organisasi alternatif untuk mencapai masyarakat cita, masyarakat adil
makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al Karim terbitan Departemen Agama RI tahun 2002.

Hasil-Hasil Kongres XXV HMI tahun 2006 di Makassar.

Amien, Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Aristoteles. 2004. The Nicomachean Ethic (Sebuah “Kitab Suci” Etika). Jakarta: Teraju.

Efendi, Sofyan, dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta: UGM Press.

Hafidhuddin, Didin. 2003. Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani.

Kartakusumah, Berliana. 2006. Pemimpin Adiluhung. Jakarta: Teraju.

Ma’arif, Ahmad Syafi’i.. 1995. Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahmat, F. Miftah. 1997. Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik dan Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosyda Karya.

Sarbini. 1989. Menuju Masyarakat Adil Makmur. Jakarta: Gramedia.

Sitompul, Agus Salim. 1986. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan
Bangsa Indonesia. ___ : Integrita Dinamika Press.

Soedjatmoko dan Conny Setiawan. 1991. Mancari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional


Menjelang Abad XXI. Jakarta: Gramedia Widyasarana Indonesia.

Sularto. 1999. Refleksi Agenda Reformasi: Membangun Masyarakat Madani. ___: Kanisius.

Syahrur, Mahmoud. 2004. Dialektika Kosmos dan Manusia (Dasar-Dasar Epistemologi Qur’ani).


Bandung: Nuansa.

Tarigan, Azhari Akmal. 2006. Islam Mazhab HMI. __:

Toffler, Alvin. 1992. Pegeseran Kekuasaan. Jakarta: Pantji Simpati.


[1] Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI,

[2] Alvin Toffler, Pegeseran Kekuasaan,  (Jakarta: Pantji Simpati, 1992).

[3] Djamaluddin Ancok, Revitalisasi SDM Dalam Menghadapi Perubahan Pada Pasca Krisis, (Makalah


Fak. Psikologi UGM: 2001). h. 8

[4] Q.S. Al-Hujarat: 13

You might also like