You are on page 1of 8

LAJU ENDAP DARAH

Proses pengendapan darah terjadi dalam 3 tahap yaitu tahap pembentukan rouleaux, tahap pengendapan dan tahap
pema-datan.Di laboratorium cara untuk memeriksa laju endap darah yang sering dipakai adalah cara Wintrobe dan cara
Weetergren. Pada cara Wintrobe nilai rujukan untuk wanita 0 -- 20 mm/jam dan untuk pria 0 -- 10 mm/jam, sedang pada
cara Westergren nilai rujukan untuk wanita 0 -- 15 mm/jam dan untuk pria 0 – 10 mm/jam. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi laju endap darah adalah faktor eritrosit, faktor plasma dan faktor teknik. Jumlah eritrosit/ul darah yang
kurang dari normal, ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan eritrosit yang mudah beraglutinasi
akan menyebabkan laju endap darah cepat. Walau pun demikian, tidak semua anemia disertai laju endap darah yang
cepat. Pada anemia sel sabit, akantositosis, sferositosis serta poikilositosis berat, laju endap darah tidak cepat, karena
pada keadaan-keadaan ini pembentukan rouleaux sukar terjadi.
Pada polisitemia dimana jumlah eritrosit/ µl darah meningkat, laju endap darah normal. Pembentukan rouleaux
tergantung dari komposisi protein plasma. Peningkatan kadar fibrinogen dan globulin memper-
mudah pembentukan roleaux sehingga laju endap darah cepat sedangkan kadar albumin yang tinggi menyebabkan laju
endap darah lambat.
Laju endap darah terutama mencerminkan perubahan protein plasma yang terjadi pada infeksi akut maupun kronik,
proses degenerasi dan penyakit limfoproliferatif. Peningkatan laju endap darah merupakan respons yang tidak spesifik
terhadap kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk adanya penyakit.
Bila dilakukan secara berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai perjalanan penyakit seperti tuberkulosis,
demam rematik, artritis dan nefritis. Laju endap darah yang cepat menunjukkan suatau lesi yang aktif, peningkatan laju
endap darah dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas, sedangkan laju endap darah yang menurun
dibandingkan sebelumnya menunjukkan suatu perbaikan Selain pada keadaan patologik, laju endap darah yang cepat
juga dapat dijumpai pada keadaan-keadaan fisiologik seperti pada waktu haid, kehamilan setelah bulan ketiga dan pada
orangtua.
Dan akhirnya yang perlu diperhatikan adalah faktor teknik yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pemeriksaan laju
endap darah. Selama pemeriksaan tabung atau pipet harus tegak lurus; miring dapat menimbulkan kesalahan 30%.
Tabung atau pipet tidak boleh digoyang atau bergetar, karena ini akan mempercepat pengendapan. Suhu optimum
selama pemeriksaan adalah 20°C, suhu yang tinggi akan mempercepat pengendapan dan sebaliknya suhu yang rendah
akan memperlambat. Bila darah yang diperiksa sudah membeku sebagian hasil pemeriksaan laju endap darah akan lebih
lambat karena sebagian fibrinogen sudah terpakai dalam pembekuan. Pemeriksaan laju endap darah harus dikerjakan
dalam waktu 2 jam setelah pengambilan darah, karena darah yang dibiarkan terlalu lama akan berbentuk sferik sehingga
sukar membentuk rouleaux dan hasil pemeriksaan laju endap darah menjadi lebih lambat.

LEUKOSIT
Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal dan lain-lain .
Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000--30.000/ µl. Jumlah
leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara 13.000 -- 38.000 / µl. Setelah itu jumlah leukosit turun secara
bertahap dan pada umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500 -- 11.000/ µl. Pada keadaan basal jumlah
leukosit pada orang dewasa berkisar antara 5000 -- 10.0004 /µ1.' Jumlah leukosit meningkat setelah melakukan aktifitas
fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari 11.000/ µl

EKG
EKG tercatat pada kertas standard EKG dengan kecepatan 25 mm/s dan amplitudo voltage 1 mV tiap 10 mm. Walaupun
demikian kita bisa menyesuaikan kecepatan kertas sesuai kebutuhan. Kertas EKG terbagi dalam kotak besar dengan
lebar dan tinggi masing-masing 5 mm (5 mm lebar setara dengan 0,2 s dan 5 mm tinggi setara dengan 0,5 mV), dan tiap
kotak besar berisi 25 kotak kecil yang berukuran 1 mm² (1 mm lebar setara dengan 0,04 s dan 1 mm tinggi setara dengan
0,1 mV).
Sadapan/ Leads
Terdapat 12 sadapan (lead) standard yang perlu direkam pada EKG, yang digolongkan dalam 3 kelompok besar, yaitu:
Sadapan bipolar (bipolar limb leads = sadapan Einthoven)
Sadapan I: menunjukkan perbedaan potensial antara lengan kiri dan lengan kanan (lengan kiri positif).
Sadapan II: menunjukkan perbedaan potensial antara lengan kanan dan tungkai kiri (tungkai kiri positif)
Sadapan III: menunjukkan perbedaan potensial antara tangan kiri dan tungkai kiri (tungkai kiri positif)
Sadapan unipolar
Sadapan aVR: mempunyai elektrode positif pada lengan kanan, sementara lengan kiri dan tungkai kiri sebagai elektrode
indiferen (negatif)
Sadapan aVL: mempunyai elektrode positif pada lengan kiri, sementara lengan kanan dan tungkai kiri sebagai elektrode
indiferen (negatif)
Sadapan aVF: mempunyai elektrode positif pada tungkai kiri, sementara lengan kiri dan lengan kanan sebagai elektrode
indiferen (negatif)
Sadapan precordial
Sadapan V1: ditempatkan pada sela iga IV linea parasternalis kanan.
Sadapan V2: ditempatkan pada sela iga IV line aparasternalis kiri.
Sadapan V3: ditempatkan diantara sadapan V2 dan V4.
Sadapan V4: ditempatkan pada sela iga V kiri linea midclavicularis.
Sadapan V5: ditempatkan sejajar V4 pada linea axillaris anterior kiri.
Sadapan V6: ditempatkan sejajar V4 dan V5 pada linea axillaris media kiri.
Sadapan precordial atau sadapan dada akan melihat jantung secara bidang horizontal, sementara sadapan extremitas
akan melihat dada secara bidang vertikal (frontal). Gabungan beberapa sadapan menghasilkan hubungan secara
anatomi yang erat, yaitu: sadapan II, III dan aVF melihat sisi inferior jantung; sadapan V1 sampai V4 melihat sisi anterior
jantung; sadapan I, aVL, V5 dan V6 melihat sisi lateral jantung; V1 dan aVR melihat atrium kanan dan ruang ventrikel kiri;
V1 dan V2 sesuai dengan ventrikel kanan; V3 dan V4 sesuai dengan septum interventrikulare; V5 dan V6 sesuai dengan
ventrikel kiri.
Gelombang dan komponen EKG
Gelombang EKG terdiri atas gelombang P, kompleks QRS, gelombang T dan gelombang U, dengan beberapa komponen
lain yang perlu dianalisis, seperti tampak pada gambar 9, yang masing-masing akan dibahas lebih lanjut.

Tabel 1. Nomenklatur (tata nama) penulisan kompleks QRS


Gelombang Q wave: defleksi negatif (ke bawah) pertama setelah gelombang P
Gelombang R:: defleksi positif (ke atas)
Gelombang S:: defleksi negatif (ke bawah) setelah gelombang R

Membaca EKG
Frekuensi
Langkah pertama pembacaan EKG adalah menghitung frekuensi denyut jantung. Dengan kecepatan kertas sebesar 25
mm/s, dapat ditentukan bahwa setiap detik kertas akan menggambarkan 5 kotak besar EKG dan setiap menit (60 s) akan
menggambarkan 300 kotak besar, atau setiap 1 kotak besar akan setara dengan 0,2 detik. Ini yang menjadi dasar
penghitungan frekuensi denyut jantung. Pada irama jantung yang reguler dan teratur, penghitungan frekuensi denyut
jantung dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu: 1) menghitung denyut jantung dalam interval 6 detik yang
kemudian dikalikan 10 (sadapan yang dijadikan sumber penghitungan harus direkam selama minimal 6 detik); 2)
menghitung dengan rumus 300 dibagi jumlah kotak besar antara 2 gelombang R; 3) menghitung dengan rumus 1500
dibagi jumlah kotak kecil antara 2 gelombang R; 4) menghitung dengan melihat pada alat penggaris berskala. Pada
keadaan irama jantung yang tidak teratur, penghitungan dapat dilakukan dengan cara sederhana menghitung jumlah
denyut jantung dalam EKG yang direkam selama 1 menit, atau menghitung jumlah denyut jantung dalam 10 detik yang
kemudian dikalikan dengan 6.
Istilah takikardia digunakan untuk menggambarkan frekuensi denyut jantung yang lebih dari 100 kali/menit, dan istilah
bradikardia untuk menggambarkan frekuensi denyut jantung yang kurang dari 60 kali/menit (atau kurang dari 50
kali/menit selama tidur). Perlu diingat bahwa beberapa negara menetapkan kecepatan kertas EKG sebesar 50 mm/s,
sehingga penghitungan frekuensi denyut jantung harus disesuaikan.
Irama
Ada beberapa hal yang harus diikuti untuk mengindentifikasi pasien dengan gangguan irama jantung. Frekuensi denyut
jantung, teratur atau tidaknya, adanya gelombang P dan QRS dengan rasio 1:1, dan interval PR yang konstan
merupakan beberapa hal yang perlu diperhatikan. Untuk mengidentifikasi secara akurat, rekaman panjang EKG
diperlukan, dan biasanya sadapan II digunakan untuk memperlihatkan gelombang P.

Tabel 2. Syarat-syarat untuk menentukan irama jantung sebagai irama sinus


Gelombang P defleksi ke atas pada sadapan I dan II
Setiap gelombang P diikuti dengan kompleks QRS
Frekuensi denyut jantung 60-99 kali/menit
Irama sinus merupakan irama jantung yang berasal dari nodus sinoaurikularis yang dihantarkan sampai ke ventrikel. Atlet
dan orang muda bisa memberi gambaran yang bervariasi berkaitan dengan irama jantung, terutama selama tidur. Sinus
aritmia yang berupa bervariasinya frekuensi jantung selama periode inspirasi dan ekspirasi pada anak-dewasa muda
adalah normal.
Tabel 3. Gambaran abnormal yang bisa ditemukan pada orang sehat
Tall R waves
Prominent U waves
ST segment elevation (high-take off, benign early repolarisation)
Exaggerated sinus arrhythmia
Sinus bradycardia
Wandering atrial pacemaker
Wenckebach phenomenon
Junctional rhythm
1st degree heart block

Aksis jantung
Aksis jantung menggambarkan kumpulan vektor gelombang depolarisasi ventrikel pada bidang vertikal (frontal) yang
diukur dari titik 0 acuan. Titik acuan ini sama dengan 0º atau searah sadapan I. Aksis yang terletak di atas garis ini
bernilai negatif dan yang terletak di bawah garis bernilai positif. Normalnya aksis jantung akan berada diantara -30º dan
90º. Aksis yang berada di atas -30º disebut left axis deviation, sementara yang berada > 90º disebut right axis deviation.
Deviasi sumbu kiri / left axis deviation (-30o hingga -90o) dapat menandakan blok fasciculus anterior kiri atau gelombang
Q dari infark otot jantung inferior. Sementara deviasi sumbu kanan / right axis deviation (+90o hingga +180o) dapat
menandakan blok fasciculus posterior kiri, gelombang Q dari infark otot jantung lateral atas, atau pola nada ventrikel
kanan.

Tabel 4. Keadaan dimana aksis jantung sangat membantu dalam diagnosis


Defek konduksi, misalnya: hemiblok anterior kiri
Pembesaran ventrikel, misalnya: hipertrofi ventrikel kanan
Takikardia kompleks yang luas (Broad complex tachycardia), misalnya: aksis bizarre yang mengarah
ke penyebab ventricular
Penyakit jantung kongenital, misalnya: defek septum atriale
Pre-excited conduction, misalnya: Wolff-Parkinson-White syndrome
Pulmonary embolus

Beberapa metode dapat digunakan untuk menghitung aksis jantung. Metode yang sederhana adalah dengan melihat
kompleks QRS pada sadapan I, II, dan III seperti gambar 11. Cara yang lebih diakurat dapat dilakukan dengan melihat 6
sadapan ekstremitas yang kemudian dijumlahkan vektornya. Sebelumnya dicari dulu sadapan dengan kompleks QRS
yang equifasik/bifasik, karena aksis jantung pasti tegak lurus atau mendekati tegak lurus dengan sadapan tersebut.
Kemudian dengan berdasarkan diagram hexaxial, lihatlah kompleks QRS pada sadapan yang tegak lurus, jika nilainya
positif aksis jantung akan searah dengan arah sadapan dan jika nilainya negatif sebaliknya. Cara yang lain adalah
dengan menjumlahkan voltage kompleks QRS beberapa sadapan sebagai vektor, sampai kemudian ditentukan arah dan
besar sudut yang dihasilkan.

Gelombang P
Selama depolarisasi atrium, impuls listrik akan menjalar dari Nodus SA menuju nodus AV melalui atrium kanan dan
kemudian ke atrium kiri. Aktivitas ini akan tampak di EKG sebagai gelombang P, yang pada keadaan normal akan positif
di sadapan II, III, dan aVF, serta negatif (terbalik) di sadapan aVR yang menandai irama jantung sebagai irama sinus.
Gelombang P relatif kecil, amplitudonya jarang melebihi 2,5 kotak kecil (0,25 mV) dan durasinya kurang dari 3 kotak kecil
(0,12 s), biasanya paling kelihatan pada sadapan II dan V1. Kepentingannya berkaitan dengan indikasi adanya
pembesaran atrium (kanan atau kiri) dan untuk membedakan berbagai aritmia jantung. Gelombang P yang negatif
berkaitan dengan kesalahan peletakan elektrode (terbalik), dekstrokardia, atau kelainan aritmia atrium.
Tabel 5. Karakteristik gelombang P
Positif pada sadapan II
Paling baik terlihat pada sadapan II dan V1
Biasanya bifasik pada sadapan V1
Durasi <>kecil (<>
Amplitudo <>

Gelombang Q
Gelombang Q menggambarkan awal fase depolarisasi ventrikel, merupakan defleksi negatif (ke bawah) pertama setelah
gelombang P dan sebelum gelombang R. Biasanya menggambarkan adanya nekrosis miokardium, meskipun bisa juga
non-patologik yang tampak pada sadapan I, III, aVL, V5 dan V6.
Interval PR
Interval PR diukur dari awal gelombang P ke awal kompleks QRS, yang biasanya panjangnya 0,12 – 0,20 s atau 3-5
kotak kecil. Selama waktu ini impuls listrik menjalar melalui nodus AV, berkas His dan cabang-cabangnya, serta serabut
Purkinje. Jadi, interval PR adalah waktu dari onset depolarisasi atrium sampai onset depolarisasi ventrikel, atau dari awal
gelombang P sampai defleksi pertama kompleks QRS. Adanya interval PR lebih dari 0,20 s dapat menandakan blok
jantung derajat pertama, sementara interval PR yang pendek dapat menandakan sindrom pra-eksitasi melalui jalur
tambahan yang menimbulkan pengaktifan awal ventrikel, seperti yang terlihat di Sindrom Wolff-Parkinson-White. Pada
keadaan interval PR yang bervariasi dapat menandakan adanya blok jantung jenis lain, dan depresi segmen PR dapat
menandakan adanya lesi atrium atau perikarditis. Morfologi gelombang P yang bervariasi pada sadapan EKG tunggal
dapat menandakan irama pacemaker ektopik seperti pacemaker yang menyimpang maupun takikardi atrium multifokus.
Kompleks QRS
Kompleks QRS adalah struktur EKG yang berhubungan dengan depolarisasi ventrikel. Karena ventrikel mengandung
lebih banyak massa otot dibanding atrium, kompleks QRS terekam lebih besar daripada gelombang P. Depolarisasi
ventrikel kiri berlangsung lebih dulu, kemudian baru ke ventrikel kanan. Di samping itu, koordinasi sistem His/Purkinje
pada depolarisasi ventrikel, menyebabkan kompleks QRS cenderung runcing karena pertambahan kecepatan konduksi.
Kompleks QRS yang normal berdurasi 0,06-0.10 s (60-100 ms) yang ditunjukkan dengan 3 kotak kecil atau kurang,
namun setiap ketidaknormalan konduksi bisa lebih panjang, dan menyebabkan perluasan kompleks QRS. Tidak setiap
kompleks QRS memuat gelombang Q, gelombang R, dan gelombang S. Menurut aturan, setiap kombinasi gelombang-
gelombang itu dapat disebut sebagai kompleks QRS. Namun, penafsiran sesungguhnya pada EKG yang sulit
memerlukan penamaan yang pasti pada sejumlah gelombang. Beberapa penulis menggunakan huruf kecil dan besar,
bergantung pada ukuran relatif setiap gelombang. Sebagai contoh, sebuah kompleks Rs akan menunjukkan defleksi
positif, sedangkan kompleks rS akan menunjukkan defleksi negatif. Jika kedua kompleks itu dinamai RS, takkan mungkin
untuk menilai perbedaan ini tanpa melihat EKG yang sesungguhnya.
Durasi, amplitudo, dan morfologi kompleks QRS berguna untuk mendiagnosis aritmia jantung, abnormalitas konduksi,
hipertrofi ventrikel, infark miokardium, gangguan elektrolit, dan keadaan sakit lainnya. Perlambatan depolarisasi ventrikel
dengan kompleks QRS melebar (≥ 0,12 s) menggambarkan adanya blok (misal: bundle branch block)
Gelombang Q bisa normal (fisiologis) atau patologis. Bila ada, gelombang Q yang normal menggambarkan depolarisasi
septum interventriculare. Atas alasan ini, ini dapat disebut sebagai gelombang Q septum dan dapat dinilai di sadapan
lateral I, aVL, V5 dan V6 (panjang gelombang Q tidak boleh lebih dari 25% gelombang R). Gelombang Q lebih besar
daripada 1/3 tinggi gelombang R, berdurasi lebih besar daripada 0,04 s (40 ms), atau di sadapan prekordial kanan
dianggap tidak normal, dan mungkin menggambarkan infark miokardium.
Segmen ST
Segmen ST menghubungkan kompleks QRS dan gelombang T dengan durasi 0,08-0,12 s (80-120 ms). Segmen, yang
menggambarkan periode akhir depolarisasi dan awal repolarisasi ventrikel ini, bermula di titik J (persimpangan antara
kompleks QRS dan segmen ST) dan berakhir di awal gelombang T. Karena biasanya sulit menentukan dengan pasti di
mana segmen ST berakhir dan gelombang T berawal, hubungan antara segmen ST dan gelombang T harus ditentukan
bersama. Durasi segmen ST yang khas biasanya sekitar 0,08 s (80 ms), yang pada dasarnya setara dengan tingkatan
segmen PR dan TP.

Tabel 6. Beberapa keadaan segmen ST


Segmen ST normal sedikit cekung ke atas.
Segmen ST yang datar, sedikit landai, atau menurun dapat menandakan iskemia koroner.
Elevasi segmen ST bisa menandakan infark otot jantung. Elevasi lebih dari 1 mm dan lebih panjang dari 80
ms menyusul titik J. Tingkat ukuran ini bisa positif palsu sekitar 15-20% (yang sedikit lebih tinggi pada wanita
daripada pria) dan negatif palsu sebesar 20-30%.
Elevasi ST non-patologik berhubungan dengan repolarisasi dini, yang biasanya pada orang muda dan orang
kulit hitam.

Gelombang T
Gelombang T menggambarkan repolarisasi ventrikel. Interval dari awal kompleks QRS ke puncak gelombang T disebut
sebagai periode refraksi absolut. Separuh terakhir gelombang T disebut sebagai periode refraksi relatif (atau periode
vulnerabel).
Pada sebagian besar sadapan, gelombang T positif dan terbalik di sadapan aVR dan III. Gelombang T pada V2 saja
adalah abnormal, dan gelombang T yang terletak pada 2 atau lebih sadapan precordial disebut sebagai pola juvenile
persisten (persistent juvenile pattern).
Seharusnya amplitudonya antara 1/8 sampai 2/3 dibanding gelombang R, dan jarang mencapai 10 mm. Namun,
gelombang T negatif normal di sadapan aVR. Sadapan V1 bisa memiliki gelombang T yang positif, negatif, atau bifase. Di
samping itu, tidak umum untuk mendapatkan gelombang T negatif terisolasi di sadapan III, aVL, atau aVF.

Tabel 7. Beberapa keadaan gelombang T


Gelombang T terbalik (atau negatif) bisa terjadi pada iskemia koroner, sindrom Wellens, hipertrofi ventrikel kiri,
atau gangguan SSP.
Gelombang T yang tinggi atau "bertenda" bisa menandakan hiperkalemia.
Gelombang T yang datar dapat menandakan iskemia koroner atau hipokalemia.
Penemuan elektrokardiografi awal atas infark otot jantung akut terkadang gelombang T hiperakut, yang dapat
dibedakan dari hiperkalemia oleh dasar yang luas dan sedikit asimetri.
Saat terjadi abnormalitas konduksi (mis., blok cabang berkas, irama bolak-balik), gelombang T harus
didefleksikan berlawanan dengan defleksi terminal kompleks QRS, yang dikenal sebagai kejanggalan
gelombang T yang tepat.

Interval QT
Interval QT diukur dari awal kompleks QRS ke akhir gelombang T dan menggambarkan waktu yang diperlukan untuk
depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Untuk menilainya biasanya digunakan sadapan aVL karena tidak tampaknya
gelombang U. Interval QT yang normal biasanya sekitar 0,40 s. Interval QT selain untuk koreksi, juga untuk menentukan
dalam diagnosis sindrom QT panjang dan sindrom QT pendek. Interval QT bervariasi sesuai dengan denyut jantung, dan
sejumlah faktor koreksi telah dikembangkan untuk mengoreksi denyut jantung. Seharusnya nilainya antara 0,35 – 0,45 s,
dan tidak lebih dari setengah interval R-R, dan biasanya meningkat seiring dengan umur dan lebih lama pada wanita
dibanding pada pria. Cara yang paling umum digunakan untuk mengoreksi denyut jantung dari interval QT dirumuskan
oleh Bazett pada tahun 1920.

Rumus Bazett adalah


di mana QTc merupakan interval QT yang dikoreksi untuk denyut, dan RR adalah interval dari bermulanya satu kompleks
QRS ke bermulanya kompleks QRS berikutnya, diukur dalam detik.
Namun, rumus ini cenderung tidak akurat, dan terjadi kelebihan koreksi di denyut jantung tinggi dan kurang dari koreksi di
denyut jantung rendah.

Gelombang U
Gelombang U tak selalu terlihat. Biasanya merupakan defleksi kecil setelah gelombang T, yang tampak pada sadapan V2
sampai V4. Gelombang U menggambarkan repolarisasi sel-sel mid-myocardium antara endokardium dan epikardium,
dan sistem His-serabut Purkinje. Gelombang U yang menonjol sering terlihat di hipokalemia, namun bisa ada di
hiperkalsemia, tirotoksikosis, atau pemajanan terhadap digitalis, epinefrin, dan antiaritmia Kelas 1A dan 3, begitupun di
sindrom QT panjang bawaan dan di keadaan pendarahan intrakranial. Sebuah gelombang U yang terbalik dapat
menggambarkan iskemia otot jantung atau kelebihan muatan volume di ventrikel kiri.
Kumpulan sadapan klinis
Beberapa sadapan memberikan gambaran listrik sesuai daerah anatomi jantung, yang masing-masing dinamakan sesuai
daerahnya, yaitu:
Sadapan inferior (sadapan II, III dan aVF) menampilkan dinding inferior (atau diafragmatik) ventrikel kiri
Sadapan lateral (I, aVL, V5 dan V6) menampilkan dinding lateral ventrikel kiri. Karena elektrode positif untuk sadapan I
dan aVL terletak di bahu kiri, sadapan I dan aVL terkadang disebut sebagai sadapan lateral atas. Karena ada di dada
pasien, elektode positif untuk sadapan V5 dan V6 disebut sebagai sadapan lateral bawah.
Sadapan septum (V1 dan V2) menampilkan dinding septum anatomi kiri, yang sering dikelompokkan bersama dengan
sadapan anterior.
Sadapan anterior (V3 dan V4) menampilkan bagian anterior ventrikel kiri.
Sadapan aVR melihat bagian dalam dinding endokardium dari sudut pandangnya di bahu kanan.

Kesimpulan
Secara praktis, ada 6 aspek penting yang perlu dinilai dari EKG, yaitu: frekuensi denyut jantung, irama jantung, aksis
jantung, tanda-tanda hipertrofi, tanda iskemik dan infark, dan hal-hal penting lain selain yang disebutkan di atas. Perlu
latihan dan pengalaman yang berkelanjutan untuk dapat menerapkan penggunaan EKG dalam praktek klinis maupun
teoritis yang optimal.

Kardiomiopati hipertrofik
Kardiomiopati hipertrofik ini ditandai dengan adanya penebalan pada dinding ventrikel tanpa dilatasi, pada
kebanyakan kasus ini menyebabkan gagal jantung. Penyakit ini diturunkan secara genetic (dominant autosomal) dan
diduga juga karena rangsangan katekolamin, kelainan pembuluh darah koroner kecil, kelainan yang menyebabkan iskemi
miokard, kelainan konduksi atrioventrikuler. Ada 2 macam kerdiomiopati hipertrofik yaitu hipertrofi yang simetris atau
kosentris dan hipertrofi septal asimetris. Perubahan makroskopik dapat ditemukan pada daerah septum,
interventrikularis. Hipertrifi asimetris pada septum ini bias ditemukan pada daerahdistal katup aorta, ditengah-tengah
septum saja,difus atau di daerah apeks sedang pada hipertrofi simetris jarang ditemukan.

Gejala kardiomiopati hipertrofik ini menyerupai gagal jantung dan angina pectoris, pada usia lanjut bias
memberikan gejala stenonis atau regurgitas mitral. Pada pemeriksaan fisik ini denyut jantung teratur atau normal, dapat
ditemukan bising siltolik dapat berubah, bisa hilang atau mengurang bila posisidari berdiri lalu jongkok.

Pemeriksaan penunjang radiology (rongen thorax) menunjukan pembesaran jantung mulai ringan sampai berat,
dan EKG ditemukan hipertrofi ventrikel kiri (kompleks QRS yang sangat tinggi), kelainan segmen ST dan gelombang T,
gelombang Q yang abnormal dan aritmia atrial dan vebtrikular. Ekokardiografi ditemukan pengecilan rongga ventrikel kiri,
penebalan septum ventrikel dibandingkan dengan dinding posterior ventrikel kiri  dengan rasio > 1,5 : 1, penurunan
derajat penutupan katup mitral, SAM katup mitral, obstruksi jalur keluar ventrikel kiri, imobilitas relatif septum ventrikel
dengan kontraksi yang hebat dinding posterior. Dengan ekokardiografi 2 D dapat dibedakan 3 jenis hipertrofi ventrikel kiri,
yaitu hipertrofi septum saja (41%), hipertrofi septum disertai hipertrofi dinding lateral (53%) dan hipertrofi apikal distal
(6%). Pemeriksaan lain yaitu radionuklir akan ditemukan ventrikel kiri mengecil atau normal. Fungsi sistolik menguat dan
hipertrofi septal asimetrik. Sedang pada MRI berbagai jenis hipertrofi apical ventrikel kiri dapat dibedakan.

Penatalaksanaan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencegah terjadinya kematian mendadak.
Obat-obatan yang dipakai meliputi penyekat beta (beta bloker), penghambat saluran kalsium (kalsium antagonis), anti
aritmia dan obat profilaksis  endokarditis infektif. Miomektomi juga dapat dilakukan pada keadaan tertentu yaitu bila
gejalanya tidak membaik dengan terapi obat, pembedahan ini tidak mengurangi resiko kematian tetapi hanya mengurangi
gejala saja.

Prognosis kardiomiopati ini cukup baik, dimana angka mortalitasnya hanya 1% hingga 4% per tahun. Sebagian
dapat berubah menjadi menjadi kardiomiopati kongestif sekalipun sudah dilakukan miomektomi.

Creatine kinase

Creatine kinase (CK), also known as phosphocreatine kinase or creatine phosphokinase (CPK) is an enzyme (EC 2.7.3.2)
expressed by various tissue types. It catalyses the conversion of creatine to phosphocreatine, consuming adenosine
triphosphate (ATP) and generating adenosine diphosphate (ADP).

In tissues that consume ATP rapidly, especially skeletal muscle, but also brain and smooth muscle, phosphocreatine
serves as an energy reservoir for the rapid regeneration of ATP. Thus Creatine Kinase is an important enzyme in such
tissues.

Clinically, creatine kinase is assayed in blood tests as a marker of myocardial infarction (heart attack), rhabdomyolysis
(severe muscle breakdown), muscular dystrophy and in acute renal failure.
Types

In most of the cell, the CK enzyme consists of two subunits, which can be either B (brain type) or M (muscle type). There
are, therefore, three different isoenzymes: CK-MM, CK-BB and CK-MB. The genes for these subunits are located on
different chromosomes: B on 14q32 and M on 19q13. In addition to those, there are two mitochondrial creatine kinases,
the ubiquitous and sarcomeric form.

creatine kinase, brain


Identifiers
Symbol CKB
Alt. Symbols CKBB, CK-1
Entrez 1152
HUGO 1991
OMIM 123280
RefSeq NM_001823
UniProt P12277
Other data
EC number 2.7.3.2
Locus Chr. 14 q32.3

creatine kinase, muscle


Identifiers
Symbol CKM
Alt. Symbols CKMM, CK-3
Entrez 1158
HUGO 1994
OMIM 123310
RefSeq NM_001824
UniProt P06732
Other data
EC number 2.7.3.2
Locus Chr. 19 q13.2-13.3

Isoenzyme patterns differ in tissues. CK-BB occurs mainly in tissues, and its levels do rarely have any significance in
bloodstream. Skeletal muscle expresses CK-MM (98%) and low levels of CK-MB (1%). The myocardium (heart muscle),
in contrast, expresses CK-MM at 70% and CK-MB at 25-30%. CK-BB is expressed in all tissues at low levels and has
little clinical relevance.

The mitochondrial creatine kinase (CKm), which produces ATP from ADP by converting creatine phosphate to creatine, is
present in the mitochondrial intermembrane space. Apart from the mitochondrial form, there are three forms present in the
cytosol—CKa (in times of acute need, produces ATP in the cytosol at the cost of creatine phosphate), CK c (maintains
critical concentration of creatine and creatine phosphate in the cytosol by coupling their phosphorylation and
dephosphorylation respectively with ATP and ADP) and CK g (which couples direct phosphorylation of creatine to the
glycolytic pathway (see glycolysis)).
Laboratory testing

CK is often determined routinely in emergency patients. In addition, it is determined specifically in patients with chest pain
and acute renal failure is suspected. Normal values are usually between 25 and 200 U/L. This test is not specific for the
type of CK that is elevated.

Elevation of CK is an indication of damage to muscle. It is therefore indicative of injury, rhabdomyolysis, myocardial


infarction, muscular dystrophy, myositis, myocarditis, malignant hyperthermia and neuroleptic malignant syndrome. It is
also seen in McLeod syndrome and hypothyroidism. The use of statin medications, which are commonly used to
decrease serum cholesterol levels, may be associated with elevation of the CPK level in about 1% of the patients taking
these medications, and with actual muscle damage in a much smaller proportion.

Lowered CK can be an indication of alcoholic liver disease and rheumatoid arthritis.

Isoenzyme determination has been used extensively as an indication for myocardial damage in heart attacks. Troponin
measurement has largely replaced this in many hospitals, although some centers still rely on CK-MB.

Additional images

creatine

You might also like