You are on page 1of 19

Teruntuk

Untuk seluruh aktifis biRU


Dulu, sekarang, dan …………..
Yang akan datang.
Pecinta Jurnalisme
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

Buku ini dibuat ………..


Karena kita tidak punya Gading untuk ditinggalkan
Ataupun tulang untuk difosilkan
Dan tanggung jawab kepada generasi mendatang
Yang masih belum dan sepertinya tidak akan pernah usai
OFF THE RECORD D

Jagad jurnalistik di IPB relatif aman dan tenteram. Bisa dibilang, inilah salah satu aktifitas
diluar kuliah yang memungkinkan sebuah individu menjadi seorang “selebritis” klas kampus
Darmaga. Di kampus, dimana organisasi mahasiswa berbasis keagamaan memiliki kapabilitas
untuk “menyetir” BEM, secara umum bisa dikatakan bahwa wartawan kampusnya tidak begitu
menyedihkan posisinya. Paling-paling didatengin sekelompok orang mengatasnamakan anu,
digunjingkan di atas meja Rapim Rektorat, di “nasehat”-in PD III, atau sekedar dibenci teman
sendiri (baik yang “dekat” ataupun yang tidak).
Namun pada umumnya, pers mahasiswa IPB sangat damai dan benar-benar tenang.
Kalau kita coba membolak-balik buku theori jurnalistik, dan menemukan istilah pers sebagai
Watchdog, anjing penjaga kata orang amerika, barangkali jidat kita akan berkerut. Pers walaupun
itu di lingkungan kampus, tetap berfungsi menjadi penjaga (seperti layaknya anjing yang benar-
benar anjing) lingkungan, dan menggonggong tiap kali mengendus kesalahan. Kalau ada maling,
dia akan menyalak keras-keras, atau kalau perlu sampai menggigit, jika si maling nekad masuk
ke dalam pagar. Tapi pers mahasiswa IPB, lebih banyak mengambil pepatah Cina kuno “Anjing
yang baik tidak menggonggong terlalu sering”. Jadilah anjing tersebut menjadi sosok yang
manis, yang saking manisnya sampai lupa menggonggong. Mungkinkah sudah terjadi mutasi
genetic dalam tubuh persma di IPB, sehingga sang anjing lebih suka bermain topeng monyet,
menghibur dan meramaikan suasana belaka. Selain karena keratan tebal daging kuliahn yang
(mau tidak mau, suka tidak suka) harus dihabiskan sang anjing, ternyata waktu juga tersita
sedemikian banyaknya. Sebuah pembelaan mungkin akan terucap seperti ini, “Bagaimana
sempat menggonggong, wong moncongnya masih dibuat sibuk dengan mengunyah daging yang
cukup alot”.
biRU, hadir sebagai trah “anjing penjaga” yang lain daripada yang pernah ada di IPB.
Walaupun kalau dirunut dari sejarah genetisnya dominan dengan humas, namun dalam
perwujudannya, menjadi sosok husky yang tangguh. Mengibarkan bendera di tingkat fakultas,
namun tapak kakinya mampu mencakar sampai rektorat. Bagi yang mengenalnya, mungkin akan
menangkap kepiawaiannya dalam bermimikri (kalau tidak boleh disebut oportunis) dalam
memarkan ciri fisiologisnya. Lembut dan manis, namun tiba2 bisa menjadi galak, sejurus
kemudian menjadi idealis tapi menggigit, untuk selanjutnya berubah narsis, egois dan pernah
nggak jelas.
Berbagai bahan kami gunakan sebagai modal awal untuk menyusun tulisan panjang ini,
antara lain sebuah diary milik mahasiswi perikanan angkatan 32, yang kala itu, menjadi tempat
curhatan beberapa aktifis angkatan 33. Sumber lainnya kami peroleh dari hasil wawancara
dengan beberapa senior yang aktif diluar biRU, yang kebetulan masih mengingat beberapa
kejadian dalam masa tersebut. Sumber-sumber tersebut kami baurkan dalam sebuah jalinan
cerita dengan meniti kronologis yang coba kami tangkap berikut romansanya yang menjadi
bumbu di sepanjang aktifitas mereka.
Pasang surut memang alami. Dan untuk sesuatu yang alami, mungkin kita harus lebih
arif dalam menyikapinya. Paparan ini akan coba menghadirkan sebuah fenomena generasi
perikanan di sekitar tahun 2000-an sampai tahun 2005. Bukan untuk bersombong diri, namun
sebagai bahan kajian bersikap dan bertingkah laku yang lebih bijak. Bagamanapun juga, kita
hidup di dunia.
SEBUAH CERITA v
Pertama- tama adalah masyarakat, kemudian sistem sosial, dimana di dalamnya mencakup
sistem komunikasi. Pers adalah bagian dari sistem komunikasi itu. Pada pertengahan tahun
1996, “masyarakat baru” yang terbentuk adalah hasil dari fusi dua angkatan, yakni 32 & 33,
karena mereka memiliki kesamaan nasib. Ospek (terutama jurusan) bareng yang membuat
mereka dekat baik dalam menghadapi konflik maupun emosional. Seperti biasa, kemunculan
sosok pemimpin juga tidak dapat dihindari pada masa itu. Ferry sutyawan adalah sosok
pemimpin nonformal pada masanya.

Cikal mula biRU sendiri kalau dirunut ke belakang, berasal dari dua mata air yang berbeda. Satu
mata air yang lebih tua, bersumber dari Ferry Sutyawan, mahasiswa PSP angkatan 32, yang kala
itu menjabat sebagai KaDept. Infokom SEMA-C. Biru merupakan sebuah eksekusi dari program
SEMA-C. Muncul dengan ukuran folio dengan jumlah halaman mencapai 12, dan dijilid seadanya
dengan hathcer di pojok kiri atas, dengan judul biru. “Gue nggak tahu alasan apa dibalik
pemilihan nama biru, yang jelas gue cuma mikirin satu kata yang ada hubungannya dengan
perikanan, yaitu biru. That’s it!!” kata Ferry waktu itu. Karena SEMA elum memiliki komputer,
maka proses pengerjaan dilakukan di indekosan Ferry di inzepocket (Babakan Lebak), dengan
sistem begadang. Biru dibawah Ferry, sempat terbit sebanyak dua kali, dimana edisi yang kedua
memakai kertas warna biru beneran.

Mata air yang kedua, memiliki jalinan cerita yang lebih kompleks, karena penuh jalan berliku dan
panjang. Semangat demokrasi yang dianut berbagai himpro, musti mensyaratkan peran serta
aktif anggotanya. Kalau menurut Amien Rais, ada kriteria baru demokrasi. Partisipasi para
anggota dalam pembuatan keputusan, ternyata terganjal dengan tidak adanya mediasi dengan
para pengurusnya. Untuk memperoleh legitimasi itu, dalam artian yang sebenarnya, dibuatlah
corong informasi, dimana yang pertama merintis adalah PSP News. Maklumlah, HP belum
membudaya pada masa itu, sehingga peranan pers, baik dalam bentuk selebaran, tempelan
maupun bullettin, menjadi sarana penting informasi kala itu. Di MSP, gerakan serupa juga terjadi,
beberapa saat kemudian. Di masa Indra djohar, sekretariat tidak terlalu aktif di kampus. Pranata
sosial di MSP dibentuk karena kesamaan orientasi jurusan MSP, dimana ada rasa senasib-
sepenanggungan. Mereka membabat sekat, berbekal ikatan antar sesama anak kelompok (AK),
maka ada Wahyu Mulyono (MSP) yang menyeberang dan mengenal Dedy Syahrul (THP),
Hamzah Priyantoro (PSP), Lilik teguh Pambudi (BDP), Bimo Adi Kurniawan (ITK), M. Darwin
Syahputra (SEI), dll.

Tatanan masyarakat yang sudah dirintis semenjak opspek ini akhirnya, melahirkan sebuah
struktur besar, yang saling berinteraksi dan berkomunikasi, tanpa sekat jurusan dan tanpa
adanya mediasi resmi. Namun lucunya, mereka tetap terikat satu sama lain, sebagai akibat dari
kharisma para pemimpin tradisional. PP muncul belakangan, dengan kapasitas awalnya sebagai
performer teater di jurusan MSP, untuk kemudian secara perlahan mulai dikenal setelah menjadi
MC di sebuah helatan temu alumni MSP, bersama Febriani Iskandar, pada tahun 1996. Karirnya
yang lebih banyak dihabiskan di Himasper ini, semakin benderang setelah Yon Vitner memegang
kursi Ketua. Sementara Wahyu Mulyono melakukan fast lap dengan masuk ke jajaran senat
mahasiswa, dan memuncak sampai ke HIMAPIKANI, si flamboyan ini menjadi tulang penguat
Jaringan Informasi Alumninya MSP, dibawah Dwi Rorin MI. Dari sana, ada banyak karya yang
sangat mungkin dilirik civa C pada masa itu, antara lain membuat mading Himasper, selebaran,
dan Koran dinding provokatif tentang gerakan mahasiswa dalam mendongkel Soeharto, dan
dipasang secara mencolok pada papan pengumuman MSP dibawah tangga masuk perikanan.

Aktifitas ini belakangan akan kita catat sebagai sumber provokasi dalam tubuh biRU. Kembali ke
MSP, setelah Yon Vitner berganti teguh, JIA dipindah, konon karena terlalu ribut. Keramaian
berpindah dengan memfungsikan sekretariat HIMASPER dari “gudang”, menjadi aktif selama 24
jam penuh, dengan mengusung nama Komunitas Kampong Nelayan, atau KN 104 sebagai
bagian rumah tangganya. Gebrakan ini ternyata membuat tata sosial masyarakat perikanan kala
itu berubah. Himiteka mempercantik sekretnya dengan cukup signifikan, dan demikian juga
dengan himpro dan badan Otonom yang lain. Otomatis, semuanya menjadi mudah dalam
berkenalan dan tahu sama tahu.

Ketika Dwi Rorin berada di puncak SEMA –C, kebutuhan memediasi informasi sebagai bentuk
pencarian legitimasi menjadi semakin dibutuhkan, walaupun kala itu, komunikasi lisan lebih
berkembang. Blok dan geng hampir tidak ada di angkatan 33. Laki-laki perempuan sama, dalam
hubungan yang sangat cair sekali. Moment inilah yang menjadi awal kelahiran biru 97’ dari
tangan ferry Sutyawan, pada awal bulan Desember 1997, menjelang PORIKAN.

Sementara itu, angkatan 33 terus berkonsolidasi, dalam ikatan yang lebih kuat, lewat field trip
Oseanografi dan dipungkasi dengan fieldtrip Biologi Laut. Praktikum lapang yang disebut
belakangan ini, merupakan mission impossible yang berhasil dilakukan oleh angkatan 33 dengan
sukses pada waktu itu. Kebersamaan dan pengakuan terhadap kemampuan baik secara team
maupun individual tersebut, akhirnya mencapai puncaknya pada masa kepanitiaan MPKMB-C,
yang menggojlok angkatan 35 (banyak fihak yang berpendapat, bahwa kepada angkatan 35
inilah sifat 33 tertular cukup banyak).

Prosesi persiapan OPSPEK angkatan 35 (pertengahan bulan Juli 1998) ditandai dengan semakin
meningkatnya intensitas para panitia, yang berjumlah kurawa, melakukan rapat dengan formasi
tempat yang berbeda. Pondok kelapa (sekarang pondok AA) yang saat itu masih berhalaman
luas, menjadi basecamp sie keamanan. Sie acara, memilih basecamp-nya di pondok Jamilah,
lantai dua. Sementara kesekretariatan, terkonsentrasi di Pondok Dayeuh Kuring. Padatnya
jadwal rapat, dan banyaknya interaksi antar panitia, memunculkan banyak sekali kejadian.

Sekretariat memunculkan banyak sekali inovasi baru, mulai dari pengarsipan surat secara
sistematis dan pembuatan daftar pengumuman anak kelompok, berdasarkan urutan abjad nama
depan anak baru. (Tahun sebelumnya, pengumuman didasarkan pada pembagian Anak
kelompok) Jelas ini membingungkan peserta, namun tujuannya adalah, meskipun pengumuman,
tapi tetap dibaca dengan ketertarikan penuh. Kemudian sentuhan inovasi dilekatkan pula pada
buku panduan MPKMB, yang dibuat ulang dengan penambahan informasi yang lebih kompleks,
penambahan halaman dan ilustrasi yang sama sekali baru.

Ide ini muncul dari pembicaraan Dedy Syahrul dengan beberapa diantaranya Palaksa, Wahyu
Mulyono (Mengenai munculnya istilah2 ini, akan dibahas dalam bab yang lain) dan beberapa
teman panitia yang ngepos di Dayeuh Kuring. Kesepakatan tersebut akhirnya secara personal
dikomandani oleh Dedy Syahrul, dan masuk Dian Purnama Putra sebagai kreator isinya,
sementara Ilustrasinya digawangi oleh Adi Wok.

Saking banyaknya romantika, mereka sepakat untuk mendokumentasikannya dalam lembar


Jangkar News, yang berisi kilasan berita singkat seputar aktifitas panitia dengan wilayah edar
ketiga base camp dan kampus. Walau hanya ber-oplagh 50 lembar saja, berita seputar aktifitas
panitia ini konon laku keras. Padahal isinya cuma seputar Si Indro yang kecapekan, sehingga
saat sholat maghrib, dia malah sholat subuh dua rokaat, atau sie keamanan yang begadang
sambil main kartu dengan hukuman yang kalah jongkok, sampai lupa waktu, atau tentang si
Hamzah yang tiba-tiba memekikkan kalimat Allahu Akbar untuk menenangkan massa anak baru
yang sedang kacau. Benar-benar berita sepele, namun menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu
ditengah ribetnya urusan persiapan MPKMB. Maklum, Jangkar News terbit tidak menentu,
kadang sore hari atau bisa juga pagi hari.

Sementara acara jalan terus, persiapan buku panduan juga tidak berhenti. Logo C dalam
lingkaran, menjadi logo resmi MPKMB-C waktu itu. Desain kaos-pun dibuat beda, dengan
memainkan lambang 6 ikan yang diberi caption “Gerak rancak 6 ikan yang berbeda, dalam
kesatuan irama yang menggelorakan semangat perikanan”.
Mereka juga melakukan wawancara dengan pencipta lagu “Soldiers of Fisheries”, Bang Nazdan
(28’) yang dilakukan oleh Wahyu Mulyono. Serpihan potongan lagu, mulai dari KLA Project,
Oemar Bakrie, Satu Nusa satu Bangsa, mengisi halaman demi halaman. Pengelompokan dosen
berdasarkan jurusan, lengkap dengan nomer telphonnya, deskripsi masing-masing jurusan
diperbaharui dengan narasi anyar, bahkan sampai membabat naskah titipan dari Panitia
MPKMB-C pusat, dari yang semula 12 halaman, menjadi tinggal 6 halaman saja. Dengan lebih
menjabarkan perikanan, content master, ada di tangan Dian PP dan layout master, dipegang
langsung Dedy Syahrul, dengan sedikit template dari kumpulan buku fotonya Rama Surya, Yang
kalah yang terhempas, yang bermain pada warna hitam dan putih saja. Sampul dilengkapi
dengan lidah buku, dan untuk pencetakkannya diserahkan kepada Andri Dwi Sasono, (Indro)

Walaupun dibantu staf kesekretariatan untuk mengumpulkan materi, namun dedy dan dian ini
ternyata memutuskan untuk turun langsung menggali fakta di lapangan. Jadilah mereka di siang
hari hunting data, wawancara sana-sini, untuk kemudian malamnya ditulis dan dikerjakan. Inilah
kesamaan dari dua mata air biRU, begadang dalam mengerjakan dan sama-sama berangkat dari
komputer rumah. (pribadi). Buku itu selesai, dengan karikatur Sholeh Solahuddin diatas perahu
dengan memegang ikan. Kaos juga kelar, tas juga ada, slayer lengkap, dan jangkar News,
berkibar. Singkat cerita. MPKMB bubar, panitia untung.

Dalam lingkungan 33 yang berbau liberal inilah, biRU generasi anyar terlahir untuk merestorasi
biru hasil buah tangan Ferry Sutyawan. Inilah pertemuan dua muara biru. Konon, Dedy Syahrul,
sudah melihat masa depan dan menggalang “orang-orang biRU”. Setidaknya, ada lima orang
dalam setiap jurusan di angkatan 33 yang menjadi bagian biRU saat itu. Jadi lebih kurang ada
30-an lebih anggota non definitif dalam menyusun biRU 98’. Diperkirakan bulan september 1998,
adalah moment yang menyatukan ide Ferry dengan sentuhan para kreator 33, dan menghasilkan
edisi perdana biru dibawah masthead… lebih baik.

Masthead tersebut merupakan petikan kalimat dari pak Auf (Ahmad Fahruddin, PD III Perikanan
waktu itu), “MPKMB tahun ini lebih baik dari tahun kemarin”, dengan lebih baik-nya diperbesar.
Bermain pada desain cover yang berbeda dengan edisi biru garapan tangan ferry, dan typografi
yang ciamik, serta menampilkan foto Sekar (buah karya Dedy sendiri) sebagai aksentuasi.
Reformasi dan konsolidasi total, untuk kembali mengembangkan layar biRU, yang secara
struktural masih dibawah SEMA-C. Edisi satu biru dengan logo baru, merupakan ciptaan Dedy,
dengan bi kecil dan ru besar. Masteringnya dikerjakan dengan cara di print dengan deskjet canon
milik pribadi Dedy Syahrul. Master yang digarap dengan program Page maker itu (waktu itu
katanya masih belum gape benar), selanjutnya dieksekusi dengan diperbanyak dengan tehnik…
fotocopy. Nama ferry saat itu masih tercantum sebagai pemimpin redaksi (Subsidi SEMA). Edisi
1 keluar, dengan salah satu tulisannya dibuat oleh anak baru hasil MPKMB 98, Anton Aliabbas
dan Arga Krisnapati. Mulus, namun dengan sambutan yang sangat datar.

Edisi berikutnya, keluar lebih kurang sebulan kemudian, dengan respon yang cukup
mengejutkan. Dedy terkena terror dan Dian PP menerima ancaman fisik serius. Apa pasal,
ternyata mereka mengangkat materi rencana perubahan ITK menjadi jurusan dengan sebuah
isyu berlatar belakang dana. PP kena pojok, dan nyaris dihujani bogem mentah puluhan warga
ITK yang tak suka dengan pemberitaan tersebut. Untung tidak berlanjut, setelah Ferry “Ippei”
Indra jaya Assaad, Erdy Lazuardi, turun melerai. Dedy kena giliran di “sweap” di Dayeuh Kuring
pada malam harinya, dengan perlakuan yang lebih manusiawi, berusaha mendikte dedy untuk
membuat terbitan biRU revisi, dengan isi yang diralat sesuai dengan keinginan delegasi ITK yang
datang ke kamar indekosan Dedy wqaktu itu. Untunglah, pengetahuan pers yang lumayan telah
mereka kantongi, sehingga masalah tersebut dapat diatasi dengan metode pers yang benar.

Masalah ITK belum tuntas, sudah disusul dengan perwakilan diploma perikanan yang protes,
gara2 diberitakan masih menunggak biaya MKMB C. Padahal narasumber masalah ini cukup
solid, berasal dari ketua pelaksana MPKMB-C sendiri (Wahyu Mulyono). Dua kasus tersebut
disikapi dengan menawarkan hak jawab kepada pihak-pihak yang tidak puas terhadap
pemberitaan tersebut. Namun sayangnya, hak jawab ibi tidak pernah dipakai oleh ITK maupun
perwakilan diploma.

Langkah ini merupakan positioning biRU, yang langsung mencuri perhatian seluruh civa
perikanan, karena selama itu belum pernah ada media internal kampus yang mampu
menimbulkan masalah. Edisi biRU berikutnya sempat vakum beberapa saat, selain karena
kesibukan kuliah yang semakin meroket, kemungkinan juga karena shock. Menjelang gelombang
reformasi 98, mereka sempat menerbitkan satu edisi, yang berisi tentang liputan demo IPB ke
Senayan (Waktu itu Dedy Syahrul turun langsung meliput ke Senayan).

Hadirnya anak baru, dan juga karena yang aktifitas yang meroket, membuat biRU vakum. Saat
kesibukan menyambut anak baru angkatan 36, ada undangan TEKNOKRA Unila untuk acara
DJML99. Alkisah, undangan itu ngendon sekian lama di papan tancapnya BEM-IPB, sampai
akhirnya jatuh (dalam arti sebenarnya) ke tempat sampah. Rupanya ini menjadi perhatian Dian
PP yang saat itu seringkali keluar masuk BEM.

Dengan gaya maling, dia mengambil mengaduk tempat sampah. Saat ketemu, ide liarnya
bermain, mengapa bukan biRU saja yang berangkat? Pembicaraan singkat dengan dedy
membuahkan kesepakatan untuk berangkat bertiga dengan wahyu. Strategi pendanaan disusun,
dengan meminta “jatah” dari rektorat – Pak Supiandi Sabiham – dan menghasilkan check senilai
300 ribu perak. Dari Fakultas sendiri, turun Rp 600.000,- dengan catatan dari pak Auf, kalau
masih kurang, bisa nambah lagi (pak Auf ini ternyata dulunya adalah anggota redaksi Mina
Warta, majalah mahasiswa Perikanan pada masa beliau). Gema Almamater rupanya saat itu
juga sedang melakukan pelatihan. Dedy juga melepaskan Yeniche, Darya, dan Dwi Atmadja,
sebagai delegasi biRU kedalam acara tersebut. Ke Lampung, tetep jalan.

Rupanya inilah asal mula biRU bersentuhan dengan pers kampus nasional. Bertemu Himmah,
balairung, Edents, menjadi sebuah perjalanan tersendiri. Pulang dengan setumpuk semangat,
langsung mengubah biRU diatas kertas coklat samson dengan headline menantang –
menggugat Presiden Aly. Presiden BEM yang baru itu langsung kena tampar di edisi penuh
semangat ini. Edisi ini sekaligus menjadi tonggak awal positioning biRU untuk keluar dari tembok
perikanan, dengan sentuhan logo yang diperbaharui. Edisi berikutnya “Adik baru” dimunculkan,
dengan sentuhan yang semakin mantap. Permainan kata menjadi modal. Selanjutnya, dengan
awak yang sebagian besar angkatan 33, sebagian 34 dan 5 orang angkatan 35, biRU terus
melaju. Menjadi bacaan paling diminati di perikanan, dengan timeline dwi mingguan. Tirasnya
cukup konstan, dengan 350 eksemplar. Selain Dwi mingguan, biRU juga hadir dengan mencuri
waktu, misalnya pada saat sosialisasi IPB akan berubah menjadi BHMN, dan menjelang
pemilihan Dekan baru di Perikanan (Enang Harris Vs Tridoyo Kusumastanto).

Pergantian kekuasaan dari Dedy Syahrul kepada Beginner Subhan (sebuah trik politik terakhir
yang dimainkan Dedy Syahrul untuk biRU) menandai pencapaian puncak dari sebuah generasi
lembaga pewrs mahasiswa ini. Di masa Beginner-lah, keisengan dian PP memasukkan biRU ke
detikcom, baru dapat dirasakan hasilnya. Alkisah, sebuah proyek dari AJI dan detikcom untuk
memberikan pelatihan kepada anggota kanalkampusonline, ternyata disikapi dengan
keingintahuan dari antonaliabbas, untuk melakukan proyek tersebut di IPB cq biRU. Lobby2 yang
selama ini diajarkan oleh Dedy syahrul dan ke-liar-an gaya dian PP, membuat anton berinisiatif
untuk mengambil job tersebut, dan menempatkan biRU sebagai penyelenggara helatan
Workshop media Online tingkat nasional, yang mengundang lebih kurang perwakilan dari 51
penerbitan kampus dari seluruh penjuru Indonesia. Namun ada sumber lain yang mengatakan,
sebenarnya hal ini juga masih merupakan rekayasa dari seorang Dian PP, yang saat itu sudah
aktif di PT TEMPO Intimedia tbk., setelah melihat adik kelasnya di biRU khok tidak megalami
kemajuan yang signifikan. Peluang ini diendus olehnya, setelah melakukan pertemuan dengan
Sunarto Cipto Harjono, koordinator kanal kampusonline di detikcom. Singkat cerita, Mas narto
tidak memberikan lampu hijau kepada biRU, namun memberikan isyarat lampu kuning, untuk
biRU menjadi penyelenggara pelatihan tersebut. Karena dian sudah tidak aktif di biRU lagi, maka
manouver untuk mendapatkan proyek tersebut diamanatkan ke anton, lengkap dengan seabreg
pesan moral. Setelah itu, barulah anton yang bergerak, sambil tetap dipantau oleh dian PP. Hal
ini dapat kami katakan, setelah mendengar keterangan dari beberapa sumber (kebetulan ada
rekan satu angkatan Dian PP yang sama bekerja di TEMPO dan berseberangan meja
dengannya) yang menyatakan pernah melihatnya merancang logo, spanduk dan backdrop
workshop media online, dari kantornya di TEMPO, jalan Thamrin Jakarta pusat. Bahkan, sebuah
kejadian menarik pernah terjadi, ketika Dian mengajak Bobby Afyudi ke kantornya di Thamrin,
untuk mengambil majalah TEMPO edisi terbaru untuk dibagikan kepada peserta WMO. Entahlah,
kami masih belum mendapatkan konfirmasi kebenaran dari kisah tersebut.

Aktifitas mencari
ANGGOTA a

Pada mulanya, biru memiliki daftar anggota yang berasal dari rekruitmen untuk mengisi bidang
infokom-nya SEMA-C. Jadi susunan awak redaksi pada terbitan biru edisi perdananay ferry,
berisikan formasi kepengurusan Infokom-nya SEMA-C, ditambah dengan personil cabutan dari
Inzepocket. Yang disebut terakhir ini adalah nama indekostan tempat ferry, dan menjadi base
keredaksian biru kala itu. Namanya juga medianya SEMA, maka posisinya juga tak jauh-jauh
amat dari aksi kehumas-annya senat. Satu informasi, Inzepocket juga menjadi base keredaksian
untuk PSP News, bullettin infokomnya HIMAFARIN, dimana keredaksiannya juga masih
dipegang oleh Ferry.

Ketika biru dipegang Dedy, masalah keanggotaan diterapkan dengan fleksibilitas yang cukup
tinggi. Masa awal restorasi biRU ini tampaknya benar-benar dimanfaatkan Dedy dengan cara
menghimpun semua kekuatan yang terserak di perikanan, dan berpotensi konstruktif, untuk
menjadi motor penggerak dalam membangun biRU. Dalam bab awal telah kami paparkan,
bahwasanya di masa awal biRU tercatat secara non definitif, lebih dari 30 orang yang terlibat
dalam biRU. Hal ini terutama sekali pada anggota yang berasal dari angkatan 33, angkatan 32
dan sebagian dari 34.

Secara umum, kita akan sulit melihat siapa sih sebenarnya yang menjadi orang-orang biRU kalau
sekedar membaca dari susunan redaksi yang tertera dalam box di halaman dua. Dedy dengan
piawai memainkan peranan dalam menyusun strategi yang bertujuan untuk menanamkan image
biRU secara kuat kepada khalayak publik perikanan. Beberapa hal yang dilakukan adalah
dengan merekrut freelancer dan pemasok berita, serta dengan memasukkan “duta besar
sukarela” biRU ke setiap institusi kemahasiswaan di lingkungan IPB. Sayangnya, langkah politis
ini tidak terdokumentasikan dalam bentuk manuskrip tertulis, dan hanya merupakan sejarah lisan
yang sulit untuk dicari asal-usul kebenarannya. Namun langkah ini terbukti mampu membuat
biRU dengan mudah diterima di setiap lapisan mahasiswa di IPB, dan bahkan mampu
menembus lingkungan fakultas selain perikanan di IPB.

Nama-nama seperti: Rr. Andrin Madyani (PSP), Solehatun Nupus (MSP), Dora (BDP), Steven
Glenn Tunas (THP), Gunadi (THP), Wendy (THP), Sofyan (THP), Andri Dwi sasono (MSP),
Kartika Dwi Yarmanti (MSP), Fatma Indriasari (MSP), mBak Teti (THP), Anggiola (PSP), Sari
Nuranti (ITK), Yoshi Nadia (ITK), Anisa Budi (ITK), Ramadian Bachtiar (ITK), Joy Marthen (PSP),
darwin Syahputra (SEI), Analisa (SEI), Lilik teguh (BDP), Beginner Subhan (ITK), Dena Nur
Ambarsari (SEI), Bobby (DIII SEI) Arga Krisnapati (THP), Anton Aliabbas (BDP), Yeniche (BDP),
Dwi Atmadja (MSP) adalah beberapa nama, yang sebagian besar menjadi duta sukarela yang
membawa nama biRU, bahkan sampai ke tingkatan BEM IPB. Sayangnya, kami tidak bisa
memperoleh secara utuh, nama-nama yang terlibat dalam gerakan positioning biRU yang
pertama kalinya ini, dalam sebuah daftar yang lengkap. Belakangan, untuk masalah duta ini, juga
dibebankan secara tidak langsung pada Arga Krisnapati dan Mulia Nurhasan.

Kepiawaian Dedy ini menciptakan posisi tawar tersendiri dari biRU yang sangat kuat, dimana
keberadaan biRU dikenal sampai ke fakultas lain seperti Peternakan, Kehutanan, Teknologi
Pertanian, dan Pertanian. Peranan tak kalah strategis adalah pada pundak Wahyu Mulyono,
yang menjadi sweaper terhadap semua pemberitaan biRU diluar. Kalaupun ada yang tidak beres,
maka beliau inilah yang akan coba mengatasinya dengan pendekatan dialogis. Bisa dibilang,
inilah intelnya biRU, atau kalau di AL, beliau ini adalah anggota Denjaka-nya biRU. The problem
solver man. Sementara itu, untuk urusan isi, dipegang sang koki, Dian PP, yang piawai meramu
dan menyajikan kata-kata sebagai amunisi yang menyengat. Jadilah biRU dengan tiga anggota
inti, dan puluhan anggota “sukarela” menciptakan struktur bangun pers mahasiswa yang cukup
mantap dalam usinya yang masih balita, di lingkungan perikanan.

Dalam masa tersebut, Ferry Sutyawan tak ubahnya seperti Komisaris, yang masih dengan
setianya dalam membina dan menyikapi perkembangan dalam biRU secara antusias, bahkan
turut serta dalam mengkampanyekan biRU di luar lingkungan Perikanan. Sebagai catatan, jalur
teman wanita juga dipakai dalam penanaman image biRU. Secara tak langsung, biRU juga
dipersonifikasikan dalam diri masing-masing pembaharu biRU ini. Dalam bab lain, mungkin akan
kita bahas cerita ringan seputar mereka, berikut sejumlah affair yang dijalani (ini juga ikut
mewarnai biRU).

Untuk meningkatkan kualitas kemampuan para anggotanya, biRU juga tak segan mengirimkan
anggotanya ke pelatihan Jurnalistik diluar kampus. Dalam catatan yang kami buat, sampai
dengan tahun 2005 ini adalah sebagai berikut:

Tahun Event Anggota Delegasi


1999 DJML Unila ke Lampung Dedy, PP, Wahyu
1999 Diklat Jurnalistik Tk dasar dan menengah GA Yeniche, Dwi Atmadja, Darya
2000 DMPM Edents ke Semarang Sari, Rahma, Anton
2000 STIKOM Malang Pandu meilaka
2001 WMO di Bogor Rika Fauziah
2001 DMPM Edents ke Semarang Beginner Subhan, Yeniche
2005 WJS Hawepos ke Semarang Deisi Heptarina, Ninik Sriyanthi

Namun ada satu hal yang patut disayangkan, dimana tak satupun dari mereka yang telah
mengikuti pelatihan tersebut yang meninggalkan catatan sendiri (misalkan catatan perjalanan).
Padahal, sebagai pembelajaran, keberadaan catatan tersebut akan menjadi sebuah record
penting, sebagai baromater keikutsertaan biRU dalam skala nasional. Selain itu, juga akan
menjadi motivasi bagi anggota yang lain yang belum pernah mengikuti pelatihan diluar kampus
IPB.

Sementara itu, proses penerimaan anggota di dalam lingkungan kampus perikanan juga
dilakukan. Tercatat, rekruitmen anggota resmi, untuk pertama kalinya baru dilakukan tahun 1998,
yang menghasilkan Pandu meilaka (35), dan generasi 36, seperti Rahma Widhiasari, Mulia
Nurhasan, Desi Imoetz maryati, Ismoko Widyaya, Tuti Rahmasari, dan Rika Ayuni. Diklat
pertama ini, menggunakan konsep secara total dari Dian PP. Angkatan kedua, Selvie Amalia,
Hariman, Herjuno

Pada tahun 200Angkatan Ketiga, Sari Izhar, Bobby Afyudhi, Rika Faizah, Fajar, Akbar
Ramadhan, Sang Made Mahaputra, Weni, dan tato.

Angkatan keempat, Deisi Heptarina, Rarrie,Sofyan, dll.

Angkatan kelima

Bagaimana si Dian PP yang tidak bisa ngomong sepatah katapun di depan Yana Yulio, dan
terulang saat Anton Aliabbas tak mampu membuka mulut saat mewawancarai Melly Goeslaw di
kamarnya di Hotel Salak. Dian PP adalah pembeli kertas pertama kali nya di Toko Kertas
kemenangan, Kebayoran Lama.

Korban Inkonsistensi adalah Rubrikasi dan Logo…

Edisi kebut semalam selalu banyak cerita

Ganti kepemimpinan. Ganti komputer

Kelemahan: pengarsipan yang lemah, sekaligus entry anggota yang amburadul. Dokumen
kontrak yang asli antara detikcom, AJI dan biRU, tentang persetujuan dengan kanalkampus,
lenyap dari laci Rahma.

Arga Krisnapati
The greatest seller, menjual dengan bermodal mulut sampai ke BS, sehingga mencapai rekor
300 eksemplar oleh dia sendiri.

Dalam layout, tidak ada panduan bakunya, atau sebenarnya ada, namun di hantam kromo saja,
dengan menempatkan tanpa presisi komposisi yang seimbang.

Personil biRU bagaikan Hantu yang mampu menyelinap di semua penerbitan komunitas skala
Jurusan.

Pernah, biRU membeli kertas Samson eks GA, setelah bangkrutnya GA.

Positioning
Dilakukan dengan berbagai variasi antara lain yang kami daftar dalam list berikut:
™ Dengan logo biRU
™ Redesign Layout dengan pagemaker
™ Perubahan kertas dari HVS putih biasa menjadi kertas Samson
™ Promosi ke Alumni dengan menyebarkan ke Alumni di balai Sudirman Tebet
™ Ikut dalam jaringan kanal kampus Online
™ Penerbitan Edisi Khusus Wisuda sebanyak 2000 eksemplar (Masa beginner Subhan)
™ Mengadakan Workshop media Online (Masa Beginner Subhan)
™ Penambahan halaman, dari 8 menjadi 12 (Masa tato)
™ Penambahan divisi R&D (masa Deisi heptarina)
MANAJEMEN n

Istilah manajemen mencakup sekumpulan kekuatan, sistem, lembaga, gerakan, konflik, dan
akomodasi dengan mana manusia melakukan kerja sama dan bersaing 1. Tradisi adalah cara
yang dimiliki oleh komunitas untuk mengintegrasikan semacam pengamatan diri dengan
pengorganisasian waktu dan ruang. Singkatnya, tradisi adalah cara untuk mengorganisir masa
lalu, kini, dan masa depan dalam konteks masyarakat tradisional.

Menjadi pelaku manajemen dari sebuah lembaga pers kampus semacam biRU adalah sebuah
masalah tersendiri. biRU pada mas awal telah melakukan positioning yang sangat baik, dengan
mengambil bentuk bulletin dengan ukuran A4. Ukuran ini merupakan satu dari 4 ukuran modern.

Empat ukuran koran modern:


Broadsheet 749 x 597 mm
Tabloid 597 x 375 mm
Berliner / Midi 470 x 315 mm
A4 210 x 297 mm

Namun siapa sangka, walaupun ukurannya hanya A4. membuat biRU terus berjalan adalah
sebuah tantangan tersendiri buat para pengelolanya. Adalah Pemimpin Umum, yang dalam
struktural biRU menduduki puncak tangga manajemen.

Mengemudikan sekelompok intelektual dan sekaligus jurnalis (yang secara theori, masuk
kedalam strata politik teratas) dalam LPPM biRU, memerlukan kepiawaian dan gaya yang tidak
saja berlandaskan tehnik, namun juga skill yang dituntut cukup tinggi pula. Hal ini mengingat
dalam strata intelektual dan jurnalis ini, ada berbagai kelompok dengan fungsi yang berbeda-
beda, (Suzanne Keller menyebutnya sebagai “Elit Strategis”2) yang tentu saja memiliki isi kepala
masing-masing, yang satu sama lain bisa saja berbeda dan bahkan bertolak belakang. Selama
kurun waktu sewindu ini, biRU sudah mengalami satu kali giliran dan lima kali pergantian pucuk
pimpinan. Satu-satunya giliran, terjadi pada peralihan antara Ferry Sutyawan (Ka. Infokom
SEMA-C) kepada Dedy Syahrul (Ka. Infokom BEM-C), karena pergantian kepengurusan BEM.

Selanjutnya, kita mengenal adanya pergantian manajemen puncak, dengan melalui apa yang
dinamakan Musyawarah Kerja, yang telah dilakukan sebanyak lima kali, dengan hasil sebagai
berikut:

Kepengurusan 1998 – 2001 Dedy Syahrul THP


Kepengurusan 2001 – 2002 Beginner Subhan ITK
Kepengurusan 2002 – 2003 Dwi Atmadja MSP
Kepengurusan 2003 – 2004 Tato Bachtiar ITK
Kepengurusan 2004 – 2005 Deisi Heptarina BDP
Kepengurusan 2005 – 2006 Ragil Utomo PSP

Agar tidak dianggap sebagai orang pikun, yang terus bergerak ke depan tanpa menoleh sejenak
kebelakang, maka paparan ini juga akan mencoba menengok kebelakang. Memperhatikan
kembali sejarah dan perencanaan pada masa lalu, sebagai sarana pembelajaran, dengan subjek
utama para perintis biRU yang jumpalitan membangun lembaga ini. Dalam konteks yang lebih
luas lagi, diharapkan juga bisa menjadi memicu pemahaman yang lebih dalam lagi terhadap
karakter biRU dan hubunganya dengan komunitas perikanan secara umum.

1
Soedjatmiko, Menjelajah Cakrawala, kumpulan karya visioner Soedjatmiko, Jakarta, GPU, 1994
2
Etika Media Massa dan kecenderungan untuk melarangnya, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta,
Gajah Mada Utama Press, 1993, hal 85 - 87
biRU lahir di awal masa teknologi seluler mulai merambah kehidupan kampus. Di saat lalunya,
dia sangat menikmati kelemahan publik yang masih relatif buram teknologi. Demikian halnya
setahun kemudian, kala teknlogi masih diterima secara gagap oleh civa perikanan IPB,
keberadaan biRU masih sangat signifikan dalam perikehidupan di kampus Darmaga.

Ferry tidak terlalu melakukan langkah manajemen yang strategis, karena biru saat itu, hanya
merupakan salah satu dari sekian banyak rangkaian program milik divisi infokom SEMA-C.
Penanganan manajemennya tidak terlalu membutuhkan banyak tenaga, cukup kemauan yang
keras untuk begadang dan membuat sebuah media dengan ajian kebut semalam.

Manajemen dedy syahrul adalah manajemen yang memiliki eskalasi kesulitan yang semakin
meningkat dari waktu-ke waktu. Berbeda dengan manajemen keanggotaan yang relatif fleksibel
dan terkesan terbuka, dalam hal manajemen organisasi Dedy tidak terlalu mengumbar
kebebasan pada setiap orang. Selain budgeting yang memang terbatas, jumlah SDM yang
mengerti tentang bagaimana memegang sebuah organisasi pers di kampus hanya bisa dihitung
dengan sebelah jari saja.

Dedy sendiri tidak secara langsung memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik. Namun kala
masih memakai seragam putih abu2, Dedy yang mantan ketua pecinta alam SMA 70 Jakarta ini
punya hobi fotografi, yang mengantarkannya untuk mengikuti pendidikan jurnalistik yang
diadakan oleh Remaja Islam Masjid Sunda Kelapa (RISKA). Dalam forum ini, bakat jurnalistiknya
dikombinasi dengan bekal kepemimpinan yang memang telah dia miliki, menjadi terasah. Selain
itu, skill fotografinya yang berada diatas rata-rata, pernah mengantarkannya untuk mendapatkan
Free Pass untuk masuk ke FDC, sebagai kandidat underwater Fotografer. Sayang, sinus yang
menyerang hidungnya memudarkan karirnya di FDC, dan menghentikan kegiatan menyelamnya.
Orang kedua yang memiliki background jurnalistik adalah Wahyu Mulyono. Namun setali tiga
uang dengan Dedy, pers abu-abu yang menjadi tempat gemblengan wahyu adalah pers masjid,
dimana wahyu ini merupakan aktifis rohaniawan islam di SMA 6 Jakarta, yang sering
menerbitkan bullettin dakwah. Semenjak tingkat satu di Perikanan, tokoh kita ini sudah menjadi
sorotan oranag banyak. Selain karena bentuk badannya yang memang besar, juga skill
organisasinya yang berada di level atas kebanyakan aktifis di lingkungan perikanan.
Keluwesannya dalam bergaul, pernah menempatkannya dalam jajaran tim khusus di
HIMAPIKANI, meskipun masih berada di jenjang TPB. Orang ketiga yang dapat disebut disini
adalah Dian Purnama Putra. Inilah satu-satunya tokoh di biRU yang memang sudah cukup
matang dalam pengetahuan jurnalistik semenjak SMA. Mantan ketua jurnalistik di pers abu2 SMA
1 Blitar ini, pernah digembleng dalam pendidikan dasar jurnalistik tingkat dasar se Jawa Timurdi
Kota Malang, dan sempat menjadi koordinator liputan untuk majalah AQUA dan jurnal Juvenil di
Universitas Brawijaya, Malang.

Koordinasi awal Dedy dengan Dian inilah yang memunculkan reformasi dalam penampakan
visual biRU. Dedy yang juga dikaruniai kemampuan grafis yang memadai, ditunjang oleh
kemampuan menulis Dian yang di masa itu sangat berbeda dengan kebanyakan tulisan yang
beredar di kampus IPB, menjadikan wajah biRU yang sangat berbeda dari sebelumnya. Awalnya
manajemen yang diterapkan hanya sederhana, sekedar mengatur jadwal terbit secara rutin,
mencarikan tempat fotocopy yang baik dan menyediakan cemilan seadanya untuk begadang.
Kebetulan, saat itu kantor redaksi menggunakan kamar Dedy di dayeuh Kuring.

Namun peningkatan popularitas biRU menjadikan sisi manajerial perlu mendapatkan sentuhan
yang lebih intensif. Dedy harus mulai mengatur bagaimana mendapatkan tempat fotocopy yang
berharga miring, dan kalau bisa mau dibayar mundur, sukur2 dengan korting atau barter iklan,
bagaimana menyiasati ngeprint master sementara tinta di kamar kost sudah menipis, dan dana
infokom juga sudah cekak. Akhirnya salah satu langkah historis yang secara strategis mampu
menyambung nafas biRU adalah lobby-lobby yang dilakukan Dedy dengan merangkul PKSPL,
sehingga menghasilkan nilai Rp. 900.000,- untuk membiayai operasional biRU. Dana ini
merupakan kontraprestasi atas pencantuman logo PKSPL di kanan atas, tepat di sebelah logo
biRU di bagian cover. Hal ini harus dilakukan, mengingat saat itu, struktur pemimpin perusahaan
masih belum terbentuk. Sementara itu, disisi keredaksian, Dedy merasa sudah bisa dengan
tenang melepaskan tangan, dan mempercayakannya secara penuh kepada Wahyu Mulyono
(Pemimpin Redaksi) dan Dian PP (Redaktur Pelaksana). Di masa ini, posisi pemimpin redaksi
sebagai jabatan politis, dan bukan operasional, seperti layaknya di media massa umum,
sepertinya berjalan dengan baik di biRU. Fleksibilitas Dedy dalam merekrut anggota ternyata
juga tidak pernah mendapat tentangan dari Wahyu maupun Dian di sisi operasional. Sepertinya
mereka bertiga sudah sehati dalam manajemen, tanpa perlu adu argumen yang memakan waktu.
Demikian halnya ketika struktur baru yang kemudian mengubah posisi Dian PP keatas kursi
Pemimpin Redaksi dan Wahyu ke deretan anggota redaksi saja, semuanya diterima dengan
tenang, tanpa adanya suatu konflik yang hebat (Ini terjadi setelah kepulangan dari DJML 1999 di
Unila). Oh, ya, saaat itu, biRU masih tetap dibawah bendera BEM-C (Namun secara isi,
sebenarnya biRU sudah memiliki sikap politis yang berseberangan dengan BEM-C, dan ini
dibuktikan dengan terbitnya edisi biRU yang mengangkat jumlah dana kemahasiswaan yang
seharusnya dibagikan dengan transparan kepada seluruh komponen organisasi perikanan,
namun malah ada indikasi akan dilakukan pengontrolan dana itu dari tangan BEM)

Sementara Dedy melakukan konsolidasi dan sistem manajerial dengan melakukan rekruitment
anggota dengan cara fleksibel, dian masih disibukkan dengan masalah kontent biRU. Dari hasil
penelusuran kami, Dedy adalah satu-satunya personal di biRU yang pada saat itu paling
menyadari perlunya rekruitment dengan jalur yang baik dan benar, selain harus memakai jalur
khusus. Akhirnya ide ini dieksekusi oleh konsep dari Dian PP, dan menghasilkan rekruitment
anggota yang pertama kali, pada tahun 1999. Sementara itu, semakin menipisnya kas biRU, juga
dirasakan berpengaruh pada keredaksian, dan membuat Dian PP mencari alternatif jalan keluar
melalui sudut pandang keredaksian. Entah bagaimana caranya, dia berhasil mendapatkan akses
ke kanal kampusonline-detikcom, dan secara langsung mendaftarkan biRU menjadi salah satu
anggotanya. Langkah ini mulanya belum mendapatkan persetujuan dari Dedy Syahrul dan
Pemimpin perusahaan waktu itu, Sari Nuranti, yang masih tidak tahu menahu akan sikap
lembaga yang ditekel langsung oleh Pemimpin redaksi. Dari sinilah kemungkinan bibit-bibit aksi
overlap dan uncoordinated action –nya biRU bermuara. Sementara itu, sikap politik biRU setelah
Kusdiantoro memilih hengkang ke HIMAPIKANI, adalah keluar dari BEM, dan berdiri sendiri,
dengan mengambil sekretariat, yang sekarang dikenal dengan sebutan MC. Mengenai riwayat
MC, sebenarnya ini merupakan hasil karya Dian PP, yang hobi dalam mencari ruangan kosong di
kawasan kampus Perikanan. Alkisah, ruangan gudang di lantai 4 tersebut, awalnya tidak
diperuntukkan untuk biRU. Namun bujukan dari dian kepada Dedy, akhirnya membuat dedy
luluh dan mencari legitimasi dari pihak dekanat, agar biRU mendapatkan hak untuk memakai
tempat tersebut. Kapabilitas lobby Dedy berhasil mendapatkan selembar surat penetapan
pemakaian ruangan tersebut dengan tanda tangan dekan langsung (Kala itu masih Pak Enang
Harris), dan resmilah biRU memiliki sekretariat yang baru.

Manajemen personal juga diterapkan Dedy dalam membina anak biRU dan anggota hasil
rekruitmentnya. Diskusi kecil di kampus, disusul dengan penanaman ideologi di kamar
indekosannya di Dayeuh Kuring, merupakan akademi pengemblengan terbaik bagi generasi
biRU saat itu. Baik Arga Krisnapati, Anton Aliabbas, Darya, dan Dwi Atmadja, sebagai formatur
awal keanggotaan biRU, bahkan sampai ke anggiola, Joy Marthen, dan masih banyak lagi yang
merasakan “proses cuci otak” di kamar Dedy. Sementara itu, bandul yang terus berayun,
menempatkan biRU naik terus ke jajaran persma nasional, dengan berkiprah di situs
kampusonline-detikcom. Mulanya, hanya Dian PP sendirian yang menjadi pengisi tetap disana,
dan belakangan dia mengajak anton untuk aktif disana, setelah melihat kinerja anton di
keredaksian yang dinilai kurang produktif. Upaya ini terbukti manjur, mengubah anton menjadi
lebih produktif. Sampai dengan perguliran tampuk kekuasaan ke tangan Beginner Subhan, posisi
anton sebagai reporter paling produktif dari biRU, tak tergantikan sampai masa penutupan
kampusonline.

Masa-masa Beginner Subhan memegang tampuk adalah masa-masa SDM bagus menumpuk,
namun potensial memicu konflik. Selain karena para personel biRU yang kehilang sosok panutan
Dedy, Wahyu dan Dian PP (Budaya patron-client yang tidak disadari oleh mereka bertiga) juga
karena adanya kesangsian akan kapabilitas beginner subhan, karena bukan berasal dari diklat,
namun dari jalur khusus. Namun personal approach ala Begin, berhasil meredam keraguan
tersebut. Salah satu penandanya adalah kenangan dari Desi Maryati, Redaktur Pelaksana
dimasa Beginner Subhan, yang mengatakan “Daripada ketemu Jokaw, mendingan menghindar,
masih mending ketemu Begin.. pasti dapet makanan.” Badai keanggotaan masih terus
berkecamuk di biRU pada masa Begin, dengan konflik kecil antar anggota, adanya anggota yang
ingin mengundurkan diri. Namun dimasa begin-lah, kas biRU terisi penuh, antara lain karena
menerbitkan edisi khusus wisuda, dengan oplagh mencapai 2000 exp, dan mengambil job untuk
mengerjakan warta FPIK, bullettin humas Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB, sampai tuntas.
Tak disangsikan lagi, puncak keemasan biRU dicapai pada masa kepemimpinan Beginner ini.

Dewasa ini, biRU mendapat saingan berat, dengan semakin mudahnya civa perikanan dalam
mengakses informasi, lewat HP dan internet. Di masa Bang Dwi Atmadja, secara tidak disadari,
sebenarnya posisi biRU dimata publik sudah mulai bergeser menjauh. Hal ini dikarenakan
kualitas anggota yang semakin menurun, karena semenjak era Dedy syahrul, tidak ada satupun
awak redaksi yang di’sekolahkan’. Krisis kemampuan, penurunan insting jurnalis, hilangnya
berkurangnya senior yang bermutu (Anton aliabbas, Ismoko, dan beberapa awak dengan
kemampuan jurnalistik yang memadai, satu-persatu undur diri dari kampus). Ditambah lagi,
miskoordinasi antar PU dengan penanggung jawab diklat, yang melahirkan konflik yang berekses
panjang sampai ke masa ragil. Versi yang kami peroleh adalah adanya penolakan dari
manajemen biRU terhadap inisiatif beberapa anggota muda biRU untuk menerbitkan salah satu
edisi dwimingguan. Penolakan ini berbuntut insiden, dengan penarikan maundur dari status
keanggotaan biRU. Padahal, mereka ini adalah generasi yang telah dipersiapkan oleh PJ diklat,
antonaliabbas, untuk memegang manajemen di tongkat estafet selanjutnya. Sayanagnya, hal ini
tidak disikapi secara serius, dan membuat popularitas biRU semakin terpuruk sehingga
memunculkan kejenuhan dikalangan para pengelolanya. Hal ini ditambah lagi dengan masa
pergantian pengurus dari Dwi ke tato, yang hanya mengambil tempat di kampus (padahal
sebelumnya selalu mengambil tempat diluar kota. PU selanjutnya, Tato, mendapatkan warisan
sebuah lembaga yang demam, dan compang-camping, meskipun kas lembaga cukup gemuk.
Pergantian tampuk, ternyata tidak dibarengi dengan pemberian alternatif solusi terhadap
permasalahan yang mnasih menggantung, sehingga memunculkan miskoordinasi yang semakin
parah. Beruntung, kepengurusan ini diselamatkan oleh awak redaksi (dibawah komando Sang
Made Mahaputra) yang masih cukup solid, dan berkenan mengambil pekerjaan awak
perusahaan (Bahkan tak aneh kalau di masa tato ini, kita pernah mendengar, sebuah terbitan
biRU, sebenarnya merupakan hasil dari One Man Show). Bagaikan seorang prajurit yang terluka
di garis terdepan sebuah pertempuran besar, mungkin itu yang bisa dipakai untuk
menggambarkan kondisi biRU saat ini. Celakanya, luka menganga itu tak dirasakan oleh sang
prajurit, selain karena menganggap perang dengan bedil di tangannya masih sangat seru
(sementara prajurit yang lain sudah memakai bedil laser ala Stars wars) juga karena tidak tahu
bagaimana cara memanggil gadis palang merah nan cantik itu untuk menyembuhkan luka.
Disamping itu, rasa gengsi, untuk mengakui bahwa “hei.. gw terluka lho… “ menjadi hal yang
malah dibangga-banggakan. Memang, wajar karna kalau menitik pada syair lagunya seurius
yang digubah:
biRU bukan manusia
Tanpa rasa tanpa hati.
Maka samakan dengan pisau belati
Namun kita lupa, sebuah belati kalau dipakai juga bisa gores, ada bagiannya yang terlepas,
karena bersinggungan dengan logam lain.

Identiknya biRU dengan manajemen laki2, adalah sebuah anggapan yang wajar, mengingat para
pendiri nya adalah para laki2 pada masanya. Namun ternyata, sentuhan dari venus, ternyata juga
dapat diterima oleh lembaga ini, walaupun dalam perjalanan yang telah ditempuhnya, masih
belum mampu memberikan solusi atas “luka” dalam lembaga. Paling tidak, manajemen wanitalah
yang berhasil mengembalikan tradisi lama, mengirim delegasi keluar kampus, di tutup tahun
kepengurusannya. Sebuah ending yang cukup baik, dari kepengurusan dibawah PU yang
tercantik dalam rentetan sejarah biRU. (dan sebagai sesama wanita cantik, saya bangga akan
itu).

Litbang, sebagai maha karya kepengurusan Deisi Heptarina, di beberapa lembaga pers yang
lebih mapan di universitas yang lain, litbang dihuni oleh para eks “pejabat” di lembaga pers
tersebut. Bukan sekedar penampungan pengungsi, namun merupakan ajang besar dan lebih
bebas untuk berkarya, dan melakukan perbaikan terhadap lembaga yang pernah dipegangnya.
Inilah yang menjadi jawaban, mengapa dalam usia lebih kurang 1 ½ tahun, litbang masih belum
memberikan sumbangan signifikan, namun cukup menjadi tonggak sejarah di biRU, misalkan
dengan keberadaan milis biRU yang sedikit ogah-ogahan. Sebenarnya dalam kepemimpinan
yang sangat feminin tersebut, terjadi penurunan aktifitas dan tanda-tanda statisme yang semakin
menguat. Selain itu, hilangnya nyawa dari seluruh kegiatan biRU, yang notabene prosesnya
sudah berlangsung semenjak masa kepemimpinan Dwi Atmadja, juga menjadi masalah tersendiri
yang tidak mudah untuk diatasi. Namun seperti layaknya wanita dan perempuan, konflik tersebut
tidak sampai mencuat menjadi tindakan fisik, namun menjadi batubara kebingungan dalam
menentukan arah biRU ke depan, yang tidak sampai menghasilkan jilatan api, namun cukup
dengan bara yang mampu membuat leleh dan menguap semua ide kreatif yang ada di setiap
kepala. Di masa ini pula, kesepakatan politis yang membawa serta kepemimpinan tato dan pada
akhirnya malah berekses pada kepengurusan Ragil. Ini terjadi karena munculnya perasaan ragu
akibat lebarnya jurang ilmu manajemen pers antara kepengurusan tato dengan kepengurusan
Ririen. Hasil investigasi kami menyebutkan, dalam sebuah kesepakatan yang tidak tertulis,
dicapailah persetujuan antara kedua kepengurusan ini untuk melakukan transfer ilmu secara
aktif, dan dalam tempo yang sesingkat mungkin. Untuk itu, sebagai booster dan sekaligus
sebagai pengikat, disepakati, perpindahan uang kas dari kantung kepengurusan tato kepada
rekening kepengurusan ririen, akan dilakukan secara bertahap (sekedar catatan, ini pertama
kalinya dilakukan di biRU) dalam tiga tahapan (?). Langkah ini masih terbukti manjur pada
tahapan pertama dan kedua, namun seret di langkah terakhir. Mulanya ini tidak menjadi problem,
namun di kepengurusan Ragil, menjadi tanggungan utang masalah yang masih belum tuntas,
dan berakibat pada kinerja organisasi yang relatif lamban. Barangkali yang perlu digaris bawahi
disini adalah bukan dari nilai nominal uangnya (hasil investigasi kami menghasilkan angka Rp.
600 ribu), namun proses pada transfer ilmu yang disinyalir masih belum kelar. Ini berarti, ada
jurang kemampuan manajemen yang semakin lebar, apabila di perbandingkan dengan jumlah
dana yang masih tertahan di kantong kas kepengurusan Tato. Masalah dana, mungkin bukan
menjadi hambatan, kalau mengingat catatan reputasi biRU yang tidak pernah “kesulitan” uang
secara akut.

Memori adalah3 benang yang membentuk identitas pribadi, sejarah, dan identitas bersama.
Manusia dibentuk oleh kenangan-kenangan. Demikian juga negara dan kota. Kenangan bukan
cuma konsumsi para pengkhayal romantisisme masa lalu, Kenangan berarti juga sebuah
identitas, sebuah jatidiri.

“Kenangan itu seperti batu, waktu dan jarak menggerusnya seperti asam” 4.

Statisme yang melanda biRU, disaat persma lain berpesta dalam hal beragam produk inovatif,
dan megap-megap (kalau belum boleh dibilang tenggelam) dalam berkreasi, adalah sebuah ironi.
Status ini berpotensi untuk menjadi preseden buruk bagi persma yang mengemban motto SIMBa
ini, dengan melantunkan nada yang semakin sumbang, yang notabene merupakan milik civitas
perikanan dan kelautan. Dinyatakan Offe, statisme yang ekstrim5 seringkali menanamkan
dependensi, inaktifitas, clientelisme, otoritarianisme, sinisme, tidak adanya tanggungjawab,
keuangan, menghindari tanggungjawab, tidak adanya inisiatif dan kebencian terhadap inovasi,
jika bukan masalah korupsi yang absolut – dan disi lain sering menimbulkan pembagian
administrasi – pengguna.

3
Richard hofstadter - The Progressive Historian
4
Penyair Italia, Ugo Betti
5
Claus Offe, The Present Historical Transformation, Hal 7
Redefinisi kelembagaan, sepertinya masih belum menjadi agenda penting biRU, bahkan sampai
pertengahan tahun 2005. Beberapa penanda, misalkan pada proses terbit dwimingguan yang
tergantung pada keberadaan PU dan Pimred (kalau dalam prosesnya PU atau Pimred nggak
ada, dwi mingguan tidak bakalan terbit) merupakan indikasi dependensi yang telah diamanatkan
Offe. Diversifikasi produk, sebagai cermin inovasi, malah sudah lama tenggelam di dasar kalbu.
Jurus yang sebenarnya dipercaya banyak pihak mampu melipur kejenuhan dan memicu
kegairahan dalam berkarya (meskipun dengan SDM yang terbatas).

Kendala dana barangkali bisa diajukan untuk memotong ide diversifikasi produk diatas. Namun,
kalau kita mencoba menengok sejarah biRU sendiri, mungkin akan memunculkan satu tanda
tanya, tentang jumlah nominal yang dimiliki saat dengan “nekad”-nya mengambil peluang untuk
menjadi host bagi detikcom dan AJI dalam perhelatan WMO? Barangkali itulah helatan besar
(tanpa modal nominal besar) yang mampu menyedot keuntungan yang cukup signifikan (denger2
mencapai 4 juta lebih) buat lembaga. Barangkali metode masa itu sudah tidak tepat lagi untuk
diterapkan pada kondisi sekarang, karena strategi itu dibuat dalam masa liberalisasi biRU pada
tahun 2000-an. Ataupun kalau puny lagi PU sebaik dan se-sabar Beginner Subhan, yang mampu
untuk mengakomodasi keinginan anggotanya, meskipun harus berhutang kepada Fakultas.
Jadi, kenapa kendala dana harus menjadi bahan ketakutan, atau malah dijadikan momok di siang
hari?

Uang bukanlah batasan berkreasi. Sebuah perubahan dalam prespektif manajemen, dengan
strategi pendanaan yang mengunakan taktik publik investment, penyertaan modal mahasiswa,
atau semacam perusahaan mahasiswa, barangkali bisa diusulkan menjadi agenda baru. Cara
lain, dengan melakukan pinjaman lunak kepada senior, macam bang Wahyu atau bang Dedy
atau bang Ippei, yang sudah ketahuan suksesnya, dengan perjanjian profesional. Untuk masalah
uang, ucapan seorang bijak bolehlah kita jadikan arah pandang, “Janganlah terlalu berhati-hati,
ataupun terlalu ceroboh dalam hidup ini.. kata pak Sunardi.. :)

So, kata orang bijak, dimana ada kemauan, disitu ada jalan.

Saatnya biRU berterimakasih pada bang Dedy, begin, Dwi, tato, dan kak Ririen, atas apapun
(sekali lagi apapun) yang telah mereka lakukan selama memegang biRU. Mulai melihat diri
sendiri, mengidentifikassi potensi yang dimiliki saat ini, dan SDM potensial yang mampu diraup.
Paling-paling ada satu masalah, tidak adanya satu-pun lembaga mahasiswa di lingkungan IPB ini
yang bisa dijadikan “kaca brengggala” untuk dicontoh sistem manajemennya… benar-benar sulit
yah…

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebagaimana tanda tanya yang lain harus kita hadapi saat ini,
yang bisa jadi berkaitan dengan politik pilihan hidup. Politik yang menuntut kita mesti merespon
dunia dimana tradisi-tradisi dan kebiasaan kehilangan cengkeramannya terhadap kehidupan kita,
dan ketika ilmu dan teknologi telah merubah apa yang sebelumnya “bersifat alamiah” 6. Penuaan
misalnya. Kita harus mengkaji masalah, misalnya peran apa yang bisa dimainkan oleh seorang
tua (biRU yang menjelang 8 tahun in, di kehidupan mahasiswa IPB yang life cycle mahasiswa
S1-nya rata2 4,5 tahun itu sudah dianggap tua) dalam sebuah masyarakat kampus dimana
penuaan sedang mengalami perubahan makna, bagaimana relasi yang mesti dijalankan antar
generasi, dan beragam persoalan lain.

Meminjam istilah dari Anton aliabbas, “Perlu kontemplasi untuk kita semua!” untuk menyikapi
jurus apa yang akan diandalkan. biRU sudah terlalu statis dalam dunai yang dinamis, dimana
masih terus dengan setianya mendaur ulang sejarah dan bukan menciptakan sejarah.

Tantangan biRU saat ini adalah


™ Sementasi pembaca yang semakin kompleks

6
Anthony Giddens, Beyond Left & Right, Cambridge, Polity Press 1984
™ Penambahan jumlah Mahasiswa yang cukup signifikan
™ Kompleksitas keinginan dan harapan setiap individu utamanya mhs FPIK IPB
™ SDM

Cerminan komunitarianisme7 juga terasa semakin menyeruak di biRU, sebagai usaha untuk
memulihkan kebaikan2 sipil dan membangun landasan moral masyarakat. Dalam faham ini, rasa
diri (sense of self) yang stabil harus dilekatkan pada suatu komunitas sebagai sumber nilai2 etik
yang karenanya kehidupan sipil yang sehat itu dimungkinkan. Komunitas selanjutnya
menghasilkan politik identitas an karenanya punya potensi pembagian sosial, atau bahkan
disintegrasi. Bahkan dalam bentuk yang lebih lemah, politik identitas cenderung bersifat eksklusif
dan sulit direkonsiliasikan dengan prinsip2 toleransi dan keragaman, dimana masyarakat sipil
yang efektf itu bergantung.

Fleksibilitas, bagi banyak orang adalah sesuatu yang mendorong timbulnya kemarahan.
Khususnya jika diterapkan dalam manajemen biRU, fleksibilitas berarti deregulasi, menjadikan
anggota lebih terbuka terhadap kendala dan permasalahan internal biRU. Bahkan kalau perlu
sampai mencampakkan atau membentuk kembali, aturan2 dan regulasi yang menghambat
inovasi dan perubahan teknologis.
Eksklusivisme, melahirkan batasan sehingga perlu penyelesaian model baru, model shift, kerja
akhir pekan – Kerja paruh waktu (part time), sebagai cara untuk beradaptasi dengan ketatnya
peraturan, menjadi kendala.

Karir di biRU, seperti yang sudah terjadi, pada umumnya selalu berakhir setelah memasuki
tingkat 4. Berhenti, disini dapat diartikan sebagai tidak perduli, menghindar, malas, sudah bosan
atau bahkan menghilang. Padahal, selama masih memiliki status mahasiswa, keanggotaan biRU
niscaya akan tetap berlaku. Disini kita menemui sebuah penyikapan terhadap sistem
keanggotaan persma yang dianalogikan dengan organisasi kemahasiswaan umumnya di kampus
IPB, dimana karir akan berakhir setelah tidak menjabat lagi. Mengacu kepada posisi pers sebagai
pengemban aspirasi masyarakat, maka peran seorang individu sebagai wartawan, tidak akan
bisa berhenti sampai dia mati.

Masyarakat kontemporer, sebaliknya, ditandai oleh yang disebut giddens, detradisionalisasi.


Derasnya lalu lintas informasi menyurutkan peran tradisi sebagai kerangka tafsir. Implikasinya,
saat ini tidak ada tradisi yang bisa berdiri kukuh didera derasnya informasi itu, dan yang tinggal
adalah tradisi yang terus-menerus mengalami penemuan (Invented Tradition)

Lewat kacamata waktu, biRU telah bermain di halaman Gedung MPR/DPR RI pada 21 Mei 1998,
bahkan pernah memberikan dukungan moral terhadap brdirinya Departemen Perikanan di masa
Sarwono. Menusuk konsep BHMN dan memancangkan tonggak Jurnalisme Online secara
nasional, dan pernah mencetak degan oplagh mencapai 2000 eksemplar.

Kami yakin, bahwa kewajiban pertama dari seseorang adalah untuk membuang ketakutan.
Melenyapkan ketakutan dari roh dan bathinnya. Kita harus merdeka dari ketakutan itu. Selama
kita masih belum berani membuang sifat budak itu, selama itu pula kita masih menjadi budak
yang terhina 8.

Laku moral
Seperti apapun pribadi personal, tapi dalam hasil karya tulisnya harus jujur kepada kebenaran
(yang mungkin saja bertentangan dengan sikap pribadi) sebagai konsekuensi pers sebagai wakil
dari masyarakat tersebut.

7
Amitai Etzioni, The Spirit of Community, London, Fontana, 1995, hal 31
8
Thomas Carlyle, Cover Majalah Politik Fikiran Ra’jat terbitan 8 Agustus 1932
Ini sudah tidak pernah lagi digarap sebagai sebuah misi besar. Para manajer tersebut hanya
menjalankan rutinitas, kalau bisa cari selamet, dan aman dalam menghadapi LPJ. Ketika aktifis
persma sudah demikian, maka ini tak beda dengan praktek melacurkan diri. Sebuah moralitas
yang dipandang sebagai ebuah kehinaan.

Karena kesadaran ini harus dipupuk dan dibina, perlu proses panjang, dan sistem regenerasi
yang mantap, maka peran senior menjadi sangat penting untuk dibahas.

Anggaplah senior harus secara personal menanamkan laku moral ini, sebagai sebuah tanggung
jawab profesi. Kalau tidak, sebuah generasi penerus tanpa moral, adalah hasil karya senior yang
bodoh dan bejad, karena melakukan aksi penjerumusan. Pembenaran mungkin akan muncul dari
anda masing-masing, mengcounter tesis saya ini.

You might also like