You are on page 1of 5

Penyelesaian Konflik dalam Perang Sipil

Perang sipil merupakan konflik internal sebuah negara yang melibatkan peranan
pemerintah. Perang sipil dapat berbentuk konflik antar etnis, kudeta militer yang berujung
pada kekerasan, pemberontakan terhadap suatu rezim pemerintahan, pergerakan
kemerdekaan, dan bahkan gerakan terorisme. Dalam hal ini, pemerintah merupakan actor
utama dalam penyelesaian konflik internal tersebut, hal ini dikarenakan pemerintah memiliki
pengaruh dan kekuasaan atas masyarakat dan lembaga hukum sehingga dipercaya dapat
meredam konflik internal yang terjadi.
Konflik internal terkadang sulit diatasi, banyak hal yang menjadi pertimbangan atas
penyelesaian sebuah konflik internal. Konflik internal terkadang melibatkan keadaan social
dan politik suatu negara. Dalam lingkup social, konflik internal terjadi di masyarakat, suku,
atau kelompok tertentu dalam sebuah negara, hal ini tentunya menyebabkan perpecahan yang
mengakibatkan rapuhnya keadaan social dalam negara tersebut. Dalam lingkup politik,
konflik internal sering kali diakibatkan dengan suatu rezim pemerintahan atau kepemimpinan
suatu negara, hal ini menyebabkan terjadinya kudeta, pemberontakan serta pergerakan-
pergarakan pembebasan lainnya.
Dalam penyelesaian konflik internal dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
beberapa kondisi di suatu negara tersebut, adapun hal yang perlu diperhatikan adalah
tingkat/eskalasi konflik internal yang terjadi, selain itu perlu dilihat actor-aktor yang berperan
dalam konflik internal tersebut, serta potensi penggunaan kekuatan militer atau kelompok
bersenjata lainnya yang akan mengancan jatuhnya korban jiwa.
Dalam penyelesaian konflik internal diredam atau diselesaiakan dengan adanya
negosiasi atau intervensi dari pihak asin selain daripada negara. hal ini dapat saja terjadi
apabila negara dinyatakan tidak dapan mengatasi eskalasi konflik yang terjadi di negaranya.
PBB sebagai organisasi internasional seringkali menjadi actor yang mengintervensi konflik
internal sebuah negara, hal ini dikarenakan PBB memiliki kewajiban guna menjaga stabilitas
dan keamanan dunia khususnya negara-negara anggotanya.
Dalam piagam PBB, dijabarkan bahwasannya organisasi internasional ini wajib
menjaga stabilitas dan keamanan dunia, tanggung jawab ini sepenuhnya diemban oleh Dewan
Keamana PBB kemudian akan berperan secara langsung dalam penyelesaian konflik. Dalam
piagam PBB Chapter VII, action with respect to threats to the peace, breaches of the peace,
and acts of aggression artike 39 menyatakan bahwasannya Dewan Keamanan PBB berhak
menentukan bentuk ancaman keamanan, pelanggaran keamanan, dan segala tindakan agresif
dan dapat memberikan rekomendasi untuk selanjutnya diambil tindakan guna menyelesaian
ancaman tersebut. Dan dalam artikel 41, Dewan keamanan PBB berhak mementukan
instrument yang digunakan dalam penyelesaian konflik dengan menggunakan kekuatan
militer ataupun tidak. Intervensi terhadap negara dengan konflik internal akan tetap dilakukan
oleh dunia internsional walaupun pada dasarnya intervensi yang dilakukan telah melanggar
kedaulatan sebuah negara dimana kedaulatan bagi tiap-tiap negara bersifat mutlak.
Eskalasi konflik internal terkadang menimbulkan jatunya korban jiwa, terlebih ketika
kekuatan militer ataupun kelopok bersenjata lainnya menjadi actor dari konflik tersebut.
Jatuhnya korban jiwa yang diakibatkan oleh suatu konflik merupakan pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM), dengan adanya pelanggaran HAM maka tentunya stabilitas dan keamanan
suatu negara akan terancam dan tentunya mengancam negera-negara di sekitarnya, di
kawasannya dan terlebih mengancam stabilitas dan keamanan dunia. Pelanggaran HAM
dapat menjadi alasan bagi dunia internasional untuk mengintervensi sebuah konflik internal.
Intervensi pihak asing diperlukan guna menyelesaikan dan meredam eskalasi konfli
internal di suatu negara, adanya pihak asing diharapkan dapat menjembatani perundingan
atau perjanjian damai antara pihak-pihak yang berseretu. Adanya pihak asing juga diharapkan
dapat membangun kembali keadaan suatu negara yang mengalami konflik internal baik dari
dalam lingkup social, politik, dan ekonomi.
Namun dalam implemetasinya, perjanjian atau negosiasi damai antara pihak-pihak
yang berseteru terkadang sulit dicapai, sehinnga dunia internasional menganggap perlu untuk
menggunakan kekuatan militer, terlebih ketika pihak-pihak yang bersengketa menggunakan
kekuatan bersenjata. dalam hal ini dunia internasional akan cenderung bersifat lebih menekan
pihak-pihak yang bersengketa agar meredam dan menghentikan eskalasi konflik internal yang
terjadi.
Mengacu pada hal tersebut, dimana dunia internasional menggunakan kekuatan
militer guna melemahkan kelompok bersenjata dalam suatu konflik internal sehingga proses
negosiasi perdamaian dapat dilaksanakan oleh kedua pihak yang bersengketa terjadi dalam
konflik antara etnis Serbia dan etnis Kosovo pada kurun waktu 1990’an hingga 2008. Konflik
etnis yang juga disebabkan oleh rezim pemerintahan yang dictator menimbulkan jatuhnya
korban jiwa dari pihak etnis Kosovo, pelanggaran HAM oleh etnis Serbia dan rezim
pemerintahan Milosevic telah mengancam stabilitas dan keamanan kawasan dan dunia
internasional, sehingga PBB mengeluarkan resolusi-resolusi yang bertujuan untuk
menghentikan konflik yang terjadi di Kosovo tesebut.
Resolusi PBB merupakan salah satu cara dunia internasional agar konflik internal di
suatu negara harus segara dihentikan dan pihak-pihak yang berkonflik harus dengan sesegera
mungkin melakukan upaya perdamaian dan selanjutnya membangun kembali negara tersebut
dari segala sector. Resolusi dapat bersifat memaksa dan adapun pelanggaran dari resolusi
tersebut akan berdampak pada penggunaan kekuatan militer atas negara yang berkonflik guna
melemahkan kekuatan kelompok-kelompok yang menghalangi proses perdamaian dari
sebuah konflik internal.
Ketika resolusi-resolusi yang dikeluarkan PBB tidak direspon oleh pihak yang
bersengketa maka dunia internasional mengambil langkah dengan menempatkan kekuatan
militer di daerah konflik yang bertujuan untuk mendukung proses perdamaian sebuah konflik
internal. Dalam konflik di Kosovo, penempatan kekuatan militer dilakukan oleh North
Atlantic Treaty Organization (NATO) dimana NATO bukan sekedar mengamankan daerah-
darah yang dianggap rawan konflik tetapi juga melakukan serangan udara pada sector-sektor
utama dan pusat-pusat pertahanan kelompok bersenjata di Kosovo.
Namun ternyata intervensi dengan melakukan penempatak kekuatan militer dan
melakukan serangan militer bukanlah hal yang dinilai cukup baik, terlebih ketika hal tersebut
justru meningkatkan jumlah jatuhnya korban di daerah konflik tersebut. Sehingga salah satu
pendekatan yang dinilai cukup mengakomodir kedua pihak yang bersengketa tanpa
menambah jumlah korban jiwa adalah negosiasi dan perundingan perdamaian.
Disbanding dengan NATO, PBB memiliki upaya-upaya dalam menyelesaikan konflik
yang lebih bersifat kepada diplomasi dan negosiasi dalam resolusi konflik. PBB tidak
menetapkan kekuatan militer, melainkan melakukan pendekatan-pendekatan kepada kedua
pihak yang bersengketa dan berupaya mengakomodir kepentingan-kepentingan mereka.
Mengingat dalam konflik internal menyebabkan rusaknya infrastruktur, system pemerintahan,
kemaslahatan rakyat dan system perekonomian, maka diperlukan upaya atau program yang
bertujuan untukmemperaiki system dan sector yang rusak tersebut. Dan tentunya hal ini tidak
akan tercapai jika kesepakatan dalam negosiasi dan perundingan tidak dicapai.
Peranan PBB dalam konflik Kosovo berjalan pada tiga fase, namun secara
keseluruhan bertujuan untuk menciptakan perdamaian dengan melakuan proses-proses
mediasi atara pihak yang bersengketa agar dapat melakukan negosiasi damai dan pada
akhirnya menghentikan konflik yang terjadi. Pada fase pertama PBB telah berhasil
menjadikan Kosovo berada dibawah system negara perwalian. Hal ini merupakan langkah
awal yang dilakukan PBB dalam proses perdamaian di Kosovo. dengan menjadikan Kosovo
sebagai negara perwalian UN, maka PBB dapat melakukan pembenahan dan juga mengawasi
serta mengendalikan keadaan di Kosovo.
Pada fase kedua PBB membentuk dan menjadi pemerintahan sementara di Kosovo,
hal ini dilakukan agar keadaan politik di Kosovo dapat diatur. Dengan menjalankan peran
sementara sebagai pemerintah Kosovo, PBB juga dapat menjamin keamanan dan
kesejahteraan bagi masyarakat dengan melindungi hak-hak social mereka sebagai warga
negara Kosovo.
Kosovo Standart Implementation Plan merupakan program fase ketiga dalam upaya
PBB dalam menciptakan keamanan di Kosovo. KSIP merupakan acuan standart yang
ditentukan oleh PBB berdasarkan situasi yang terjadi di Kosovo. Selain acuan standart, KSIP
juga menentukan sektor-sektor yang menjadi tanggung jawab PBB dan menentukan tindakan
yang dapat dilakukan PBB guna menjalankan sector-sektor yang ditentukan tersebut. Peranan
PBB dalam konflik Kosovo berkecimpung dalam rekonstruksi administrasi publik, dan PBB
telah berhasil membentuk perundangundangan bagi angkatan bersenjata Kosovo.
Keberhasilan PBB dalam menjalankan dan menetapkan KSIP telah menbawa Kosovo
kedalam upaya untuk merdeka dan memiliki sistem pemerintahan sendiri (self government).
Upaya perdamaian konflik internal yang dilakukan oleh PBB dengan mengutamakan
diplomasi dan dialog guna mengakomodir kedua belah pihak yang bersengketa ternyata
membuahkan hasil. Pada tanggal 17 Februari 2008 Kosovo mendeklarasikan
kemerdekaannya dengan menganut Demokrasi sebagai system pemerintahannya dengan
pemerintahan yang multi etnik dan menjunjung persamaan dan hukum dan akan menjalankan
konstitusi.
Dalam sector politik, PBB telah berhasil menetapkan system pemerintahan bagi
Kosovo yaitu Demokrasi. Dalam sector social, PBB telah berhasil menciptakan persamaan
hak-dan kewajiban antara kedua etnis yang dahulu bersengketa, sedangkan dalam sector
ekonomi, PBB telah berhasil bembuka hubungan dagang Kosovo dengan negara-negara lain
baik dikawasan ataupun diluar kawasan.
Dengan menggunakan pendekatan diplomasi dan negosiasi dalam menyelesaikan
konflik internal tentunya akan menghasilkan suatu keputusan yang akan mengakomodir
kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa. Selain itu, dengan menggunakanan
pendekatan soft power, maka PBB dapat menjalankan pembangunan negara (state building)
sehingga setelah konflik internal di sebuah negara selesai makan negara tersebut telah
memiliki system pemerintahan yang mapan, kondisi perekonomian yang menunjang, dan
keadaaan social yang kondusif.
Dalam menangani penyelesaian konflik etnis, penggunaan kekuatan militer sebaiknya
digunakan untuk melindungi pihak-pihak yang dianggap paling dirugikan dalam konflik, dan
penggunaan kekuatan militer tersebut harusnya diatur lebih lanjut sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam mengimplementasikannya. Namun dibalik itu semua, negosiasi merupakan
upaya yang paling ideal dalam menyelesaikan konflik internal. Hal ini dikarenakan negosiasi
dapat mengakomodir kepentingan kedua belah pihak sekaligus merangsang terciptanya
stabilitas keamanan di negara konflik tersebut.

You might also like