Professional Documents
Culture Documents
org/wiki/Sikap
Sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek, orang atau peristiwa [1]. Hal ini mencerminkan
perasaan seseorang terhadap sesuatu[
Keyakinan bahwa "Diskriminasi itu salah" merupakan sebuah pernyataan evaluatif.[2] Opini
semacam ini adalah komponen kognitif dari sikap yang menentukan tingkatan untuk bagian yang
lebih penting dari sebuah sikap -komponen afektifnya.[2] Perasaan adalah segmen emosional atau
perasaan dari sebuah sikap dan tercermin dalam pernyataan seperti "Saya tidak menyukai John
karena ia mendiskriminasi orang-orang minoritas."[2] Akhirnya, perasaan bisa menimbulkan hasil
akhir dari perilaku[2]. Komponen perilaku dari sebuah sikap merujuk pada suatu maksud untuk
berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.[2].
Kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari
evaluasi karakteristik-karakteristiknya.[1]
Komitmen Afektif
Komitemn Berkelanjutan
Komitmen Normatif
[sunting]
http://www.scribd.com/doc/23729385/DEFINISI-SIKAP
Definisi Sikap:
sehari-hari
Sikap sering diartikan dengan mentalitas. Sering kita dengar bahwa seseorang
mind-setnya batur (jongos). Sikapnya seperti jongos. Sulit sekali baginya untuk
http://suryanto.blog.unair.ac.id/2009/02/09/sikap-pengukuran-dan-prediksi-perilaku/
Oleh: Suryanto
Studi tentang sikap ini merupakan hal yang paling alami dan perlu hati-hati bila mempelajari
buku psikologi sosial. Sikap terhadap suatu obyek, isue atau seseorang pada dasarnya
merupakan perasaan suka atau tidak suka, tertarik atau tidak, percaya atau tidak, dan seterusnya.
Kita juga berasumsi bahwa perasaan itu dapat direfleksikan dalam bentuk pernyataan yang
dibuatnya, cara seseorang melakukan tindakan terhadap obyek sikap, dan reaksinya terhadap
ekspresi opini dari orang lain. Dengan kata lain sikap memiliki keterkaitan dengan perasaan di
satu sisi dan perilaku disi lain.
Problem tentang sikap muncul ketika seseorang akan menghubungkan antara perasaan dengan
perilaku, dan menyusun definisi tentang sikap yang mencerminkan keduanya. Oleh karena itu
berbagai definisi ditawarkan oleh para ahi psikologi sosial, tidak hanya tetang apakah sikap itu,
tetapi juga tentang bagaimana proses belajar, memproses informasi, pembuatan keputusan,
memory, dan seterusnya tentang sikap. Asumsi-asumsi itu seringkali lebih dinyatakan sebagai
self-evident daripada uji empirisnya. Yang seringkali dilakukan oleh para ahli psikologi adalah
mereka ini membuat batasan tentang sikap baik definisinya ataupun teori konsepnya.
Dalam batasan itu sweringkali dibuat hubungan antara perasaan seseorang dan perilaku yang
menunjukkan perasaannya itu. Oleh karena itu perbedaan antara perasaan dengan ekspresi
perilaku secaraimplisit ditunjukkan sebagai stimulus dan respon atau antaa predisposisi yang
dipelajari dengan aksi tertentu, atau data subyektif dengan data obyektif. Menurut Eisher,
pandangan ini kehilangan titik dasarnya. Umumnya para ahli tu melakukan label ulang konsep
sikap, tanpa menyertakan fungsi logikanya.
Tugas utama dalam membuat definisi ini adalah dalam kaitannya dengan inferensi kausalnya.
Karena status kausal sikap itu tidak jelas. Seringkali ketika seseorang ingin mengatakan bahwa
sikap seseorang itu merupakan respon terhadap obyek sikap, dan seringkali juga dikataan bahwa
seseorang itu perilaku dalam cara tertentu karena sikapnya. Apabila sika dipandang sebagai
perasaan seseorang maka ia tidaklah dapat diobservasi secara langsung melalui perilaku verbal
dan non-verbal. Sementara itu yang seringkali terjadi adalah kita melakukan inferensi perasaa
seseorang dari perolakunya yang overt (apa yang dikatakannya dan apa yang
dilakukannya).
Posisi penulis dalam hal itu lebih kompromistis. Di satu sisi, para behavioris akan menyatakan
bahwa pernyataan tentang sikap tidak lebih dari pernyataan-pernyataan tentang perilaku. Disisi
lain, para fenomenologis mungkin akan menyatakan bahwa pernyataan tentang sikap itu tidak
perlu memiliki implikasi perilaku yang nyata. Bila demikian halnya, maka pandangan
kompromistis bukanlah pilihan yang mengenakkan. Bila pernyataan tentang sikap seseorang itu
disimpulkan dari perilaku bagaimana kita dapat menyatakan bahwa kesimpulan itu valid?
Bagaimana pula kia dapat mengobservasi asosiasi statistik mencerminkan hubungan antara
perilaku yang overt dengan pengalaman pribadi seseorang?
Suatu kesalahan akan terjadi apabila kita berasumsi bahwa bila seseorang yang memiliki
pengalaman pribadi itu akan diartikan sebagai pengalaman pribadi yang sebanrnya. Bila
dikatakan “rose itu merah”, maka orang yang memiliki pengalaman bahwa bunga rose itu putih
akan mengalami kesulitan. Karena merah atau putihnya rose itu terkait dengan pengalaman
sensasi. Pernyataannya akan sedikit berbeda apabila dinyatakan bahwa “rose itu indah”. Orang
akan lebih menunjukkan setuju atau ketidaksetujuannya apabila dikaitkan dengan keindahan,
bukannya merah atau putihnya. Setuju atau ketidaksetujuan ini juga tetap terkait dengan atribut
bunga rose. Pernyataan–pernyataan ini akan lebih dikatakan sebagai pernyataan sikap,
bukannya deskripsi tentang sikap pembicara.
Dalam membuat definisi tentang sikap yang mencerminkan hubungan antara perasaan dan
pengalaman pribadi di satu sisi dan perilaku verbal maupun nonverbal yang dapat dobservasi di
sisi lain, para ahli psikologi tampaknya memiliki dua asumsi yang krusial. Pertama, sikap itu
berbeda dalam entitasna dengan eksistensi yang independen. Kedua adalah hubungannya dngan
perilaku yang observable sebagai kausal. Menurut penulis kedua pandangan itu salah. Hubungan
sikap dengan ekspresi perilaku analog dengan hubungan antara makna dengan ucapan. Kita perlu
berasumsi bahwa sebuah kata itu memiliki makna untuk memahami perilaku verbal, tetapi kita
tidak perlu melihat suatu makna kata sebagai yang memiliki eksistensi yang indpenden ataupun
sebagai entitas yang berbeda yangmenyebabkan perilaku verbal. Seperti halnya kata memiliki
makna, maka orang memiliki sikap, dan konsep sikap itu tidak kalah pentingnya untuk
memahami perilaku sosial dibandingkan dengan konsep makna untuk memahami bahasa. Sikap
seseorang merupakan makna dari ekspresi perilakunya.
Pengukuran Sikap
Salah satu problem metodologi dasar dalam psikologi ssial adalah bagaimana mengukur sikap
seseorang. Beberapa teknik pengukuran sikap: antara lain: Skala Thrustone, Likert, Unobstrusive
Measures, Analisis Skalogram dan Skala Kumulatif, dan Multidimensional Scaling.
Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada rentangan kontinum dari yang sangat
unfavorabel hingga sangat fafovabel terhadap suatu obyek sikap. Caranya dengan memberikan
orang tersebut sejumlah aitem sikap yang telah ditentukan derajad favorabilitasnya. Tahap yang
paling kritis dalam menyusun alat ini seleksi awal terhadap pernyataan sikap dan penghitungan
ukuran yang mencerminkan derajad favorabilitas dari masing-masing pernyataan. Derajat
(ukuran) favorabilitas ini disebut nilai skala.
Untuk menghitung nilai skala dan memilih pernyataan sikap, pembuat skala perlu membuat
sampel pernyataan sikap sekitar lebih 100 buah atau lebih. Penrnyataan-pernyataan itu kemudian
diberikan kepada beberapa orang penilai (judges). Penilai ini bertugas untuk menentukan derajat
favorabilitas masing-masing pernyataan. Favorabilitas penilai itu diekspresikan melalui titik
skala rating yang memiliki rentang 1-11. Sangat tidak setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sangat setuju Tugas penilai ini bukan untuk menyampaikan setuju tidaknya mereka terhadap
pernyataan itu. Median atau rerata perbedaan penilaian antar penilai terhadap aitem ini
kemudian dijadikan sebagai nilai skala masing-masing aitem. Pembuat skala kemudian
menyusun aitem mulai dari atem yang memiliki nilai skala terrendah hingga tertinggi. Dari
aitem-aitem tersebut, pembuat skala kemudian memilih aitem untuk kuesioner skala sikap yang
sesungguhnya. Dalam penelitian, skala yang telah dibuat ini kemudian diberikan pada responden.
Responden diminta untuk menunjukkan seberapa besar kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada
masing-masing aitem sikap tersebut.
Teknik ini disusun oleh Thrustone didasarkan pada asumsi-asumsi: ukuran sikap seseorang itu
dapat digambarkan dengan interval skala sama. Perbedaan yang sama pada suatu skala
mencerminkan perbedaan yang sama pula dalam sikapnya. Asumsi kedua adalah Nilai skala
yang berasal dari rating para penilai tidak dipengaruhi oleh sikap penilai terhadap isue. Penilai
melakukanrating terjhadap aitem dalam tataran yang sama terhadap isue tersebut.
Likert (1932) mengajukan metodenya sebagai alternatif yang lebih sederhana dibandingkan
dengan skala Thurstone. Skala Thurstone yang terdiri dari 11 point disederhanakan menjadi dua
kelompok, yaitu yang favorable dan yang unfavorabel. Sedangkan aitem yang netral tidak
disertakan. Untuk mengatasi hilangnya netral tersebut, Likert menggunakan teknik konstruksi
test yang lain. Masing-masing responden diminta melakukan egreement atau disegreemenn-nya
untuk masing-masing aitem dalam skala yang terdiri dari 5 point ( Sangat seuju, Setuju, Ragu-
ragu, Tidak setuju, Sangat Tidak Setuju). Semua aitem yang favorabel kemudian diubah nilainya
dalam angka, yaitu untuk sangat setuju nilainya 5 sedangkan untuk yang Sangat Tidak setuju
nilainya 1. Sebaliknya, untuk aitem yang unfavorabel nilai skala Sangat Setuju adalah 1
sedangkan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 5. Seperti halnya skala Thurstone, skala
Likert disusun dan diberi skor sesuai dengan skala interval sama (equal-interval scale).
Unobstrusive Measures.
Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat aspek-aspek perilakunya
sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam pertanyaan.
Multidimensional Scaling.
Teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila dibandingkan dengan pengukuran
sikap yang bersifat unidimensional. Namun demikian, pengukuran ini kadangkala menyebabkan
asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur dimensinal kurang valid terutama apbila diterapkan
pada lain orang, lain isu, dan lain skala aitem.
Organisasi Sikap
Teori Balance dan teori konsistensi lainnya berasumsi bahwa seseorang akan cenderung mencari
struktur evaluatif yang sederhana dengan yang dievaluasi oleh orang lain dan objek-objek
dipandang sebagai hal yang berhubungan satu dengan lainnya.
Sejumlah studi telah gagal dalam memprediksi perilaku terutama yang terkait dengan sikap
seseorang terutama dengan ukuran-ukuran sikap yang bersifat verbal. (misalnya masalah rasial,
atau agama).
Telah banyak penelitian menunjukkan bahwa antara sikap dan perilaku itu tidak
berkorelasi, ataupun bila berkorelasi maka tidak menunjukkan arah yang hubungan kausalitas.
Sebagai penyebabnya karena sikap itu memiliki tiga komponen. Menurut pandangan ini,
(Rosenberg & Hovland, 1960) sikap itu merupakan predisposisi untuk merespon sejumlah
stimulus dengan sejumlah tertentu. Ketiga respon tersebut antara lain afektif (perasaan evaluatif
dan preferensi) kognitif (opini dan belief), dan behavioral atau konasi (over acion dan pernyataan
tentang kecenderungan).
Dari gambar di atas tampak bahwa konsep sikap lebih dipandang sebagai intervening variabel
(variabel antara) antara stimulus yang dapat diobservasi dengan respon yang terobservasi. Sikap
menurut pandangan ini bukanlah konstruk yang menggambarkan hubungan antara stimulus-
respon. Sikap bukan pula merupakan interpretasi individu tentang stimulus yang dialami. Sikap
lebih dipandang sebagai situasi yang ambigius dalam ikatan antara akibat (effect) dan penyebab
(cause) dari suatu peristiwa yang observabel. Bagian yang paling ambigius dalam siagram itu
adalah tanda panah antara sikap dengan tiga unsurnya. Karena dalam diagram itu sikap dapat
menyebabkan afektif, kognitif, dan konasi tertentu. Dan antara ketiganya dipisahkan satu per
satu.